54
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 2-8 Juli 2012 memuat berita berjudul “Sandi Kiai Proyek Kitab Suci” dan “Jalan Miring Pencetak Firman”. Narasumber kedua item berita itu antara lain sumber Tempo, sumber‟, „salah seorang pegawai sekretaris jenderal yang mendampingi penggeledahan, seorang mantan anggota dewan, sumber lain‟, „seorang pria berjenggot dan berpakaian gamis‟, petugas keamanan dan resepsionis kantor‟, seorang sumber, sejumlah sumber‟, dan sumber Tempo yang dekat dengan Nazaruddin. Pernyataan masing-masing narasumber tanpa nama (anonim) itu muncul rata-rata lebih dari satu kali dalam tujuh halaman rubrik itu. Sementara itu, persentase frekuensi pemuatan narasumber anonim hampir seimbang dibanding narasumber beridentitas jelas. “Cerita di Balik Pelarian Nazaruddin” menjadi salah satu judul item berita Laporan Utama majalah Tempo edisi 22-28 Agustus 2011. Narasumber berita itu muncul sebagai „seorang anggota tim‟, sumber Tempo‟, „seorang penjemput (mendengar dari polisi Kolombia)‟, „sumber yang lain, sumber itu, seorang sumber‟, sumber-sumber Tempo yang lain‟, dan seorang advokat. Informasi yang didapat Tempo dari beraneka narasumber anonim itu termuat baik dalam kalimat langsung maupun tidak langsung. Apabila dihitung, persentase frekuensi kemunculan narasumber anonim melebihi narasumber beridentitas jelas. Rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013 memuat berita berjudul “Dagang Kuota Partai Sejahtera”. Berita itu mengandung tulisan berbunyi: “Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah sedang membicarakan sesuatu yang mereka sebut sebagai „titipan‟” (halaman 34, alinea 3). Tempo mendapat informasi itu dari seseorang yang disebut sebagai sumber Tempo. Dalam konteks peristiwa yang sama, perkataan „sumber Tempoitu dikutip langsung oleh Tempo demikian: “Titipan itu ditafsirkan sebagai uang”. Dua hal itu memancing pertanyaan. Pertama, identitas sang sumber Tempo: siapakah dia, sedekat apakah dia dengan kasus itu, motivasi apa yang mendorongnya membeberkan informasi tersebut kepada media, dan alasan apa yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 2-8 Juli 2012 memuat berita

berjudul “Sandi Kiai Proyek Kitab Suci” dan “Jalan Miring Pencetak Firman”.

Narasumber kedua item berita itu antara lain „sumber Tempo‟, „sumber‟, „salah seorang

pegawai sekretaris jenderal yang mendampingi penggeledahan‟, „seorang mantan

anggota dewan‟, „sumber lain‟, „seorang pria berjenggot dan berpakaian gamis‟,

„petugas keamanan dan resepsionis kantor‟, „seorang sumber‟, „sejumlah sumber‟, dan

„sumber Tempo yang dekat dengan Nazaruddin‟. Pernyataan masing-masing

narasumber tanpa nama (anonim) itu muncul rata-rata lebih dari satu kali dalam tujuh

halaman rubrik itu. Sementara itu, persentase frekuensi pemuatan narasumber anonim

hampir seimbang dibanding narasumber beridentitas jelas.

“Cerita di Balik Pelarian Nazaruddin” menjadi salah satu judul item berita

Laporan Utama majalah Tempo edisi 22-28 Agustus 2011. Narasumber berita itu

muncul sebagai „seorang anggota tim‟, „sumber Tempo‟, „seorang penjemput

(mendengar dari polisi Kolombia)‟, „sumber yang lain‟, „sumber itu‟, „seorang sumber‟,

„sumber-sumber Tempo yang lain‟, dan „seorang advokat‟. Informasi yang didapat

Tempo dari beraneka narasumber anonim itu termuat baik dalam kalimat langsung

maupun tidak langsung. Apabila dihitung, persentase frekuensi kemunculan narasumber

anonim melebihi narasumber beridentitas jelas.

Rubrik Laporan Utama majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013 memuat berita

berjudul “Dagang Kuota Partai Sejahtera”. Berita itu mengandung tulisan berbunyi:

“Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah sedang membicarakan sesuatu yang mereka

sebut sebagai „titipan‟” (halaman 34, alinea 3). Tempo mendapat informasi itu dari

seseorang yang disebut sebagai „sumber Tempo‟. Dalam konteks peristiwa yang sama,

perkataan „sumber Tempo‟ itu dikutip langsung oleh Tempo demikian: “Titipan itu

ditafsirkan sebagai uang”.

Dua hal itu memancing pertanyaan. Pertama, identitas sang „sumber Tempo‟:

siapakah dia, sedekat apakah dia dengan kasus itu, motivasi apa yang mendorongnya

membeberkan informasi tersebut kepada media, dan alasan apa yang menyebabkan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

2

Tempo tidak memuat identitasnya. Kedua, kutipan langsung Tempo itu masih

mengandung penafsiran dari sang „sumber Tempo‟ sendiri. Kedua hal itu dapat

menyulitkan pembaca untuk menimbang kredibilitas narasumber dan kadar kebenaran

dari penafsiran seseorang yang tidak ia ketahui identitasnya.

Berita-berita lain di rubrik Laporan Utama Tempo juga memuat informasi dari

narasumber anonim. Misalnya, berita kasus cek pelawat pemenangan Miranda S.

Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kasus itu dibongkar Tempo

berkat pengakuan seorang narasumber anonim. Agus Condro, salah satu anggota DPR

yang mendapat jatah pembagian cek itu, belakangan diketahui sebagai sang narasumber

anonim. Berita korupsi proyek Hambalang berbuntut penangkapan Mindo Rosalina

Manulang. Kasus itu terbongkar berdasarkan informasi dari narasumber anonim internal

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekan bisnis yang kecewa membuka tabir

korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Kini, kasus itu menjadikan Inspektur

Jenderal Djoko Susilo sebagai terdakwa. Sukotjo S. Bambang menjadi narasumber

anonim di awal kisah itu.

Sementara itu, Tempo sendiri pernah digugat oleh kuasa hukum Tomy Winata.

Pasalnya, berita Tempo berjudul “Ada Tomy Di Tenabang?”, pada edisi 3-9 maret 2003,

dianggap telah menyebarkan berita bohong dan mencoreng nama baik salah satu

pengusaha terkemuka di Indonesia itu. Dalam berita itu, Tomy Winata disebut telah

mengajukan proposal proyek renovasi pasar Tanah Abang sebesar 53 miliar sebelum

pasar itu mengalami kebakaran.

Tempo, melalui reporternya, mendapat informasi dari narasumber anonim yang

disebutnya sebagai „konsultan arsitek‟. Tempo tidak dapat membuktikan adanya

dokumen resmi atau salinan proposal proyek itu karena sang narasumber tidak

mengizinkan Tempo untuk menggandakannya. Alhasil, reporter Tempo mencatatnya.

Dan catatan itu menjadi bukti terakhir dari fakta yang didapat Tempo sebab Tempo tidak

bersedia membuka identitas sang narasumber karena alasan keselamatan nyawanya.1

Salah satu buntut dari gugatan itu adalah tuntutan ganti rugi kepada Tempo sebesar 400

1 Septiawan Santana Kurnia, “Mencermati Kembali Kasus ‘Tempo’”, Pikiran Rakyat, Bandung, 9

Oktober 2004, dalam http://www.andreasharsono.net/2004/10/mencermati-kembali-kasus-tempo.html., diakses pada 29 April 2013 pukul 22.52 WIB.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

3

miliar rupiah dan tuntutan pidana kepada pemimpin redaksi Tempo saat itu, Bambang

Harymurti.2

Debat panjang kasus Tempo-Tomy Winata ini (2003-2006) jelas berkaitan

dengan kebijakan redaksional Tempo menyangkut pemuatan narasumber anonim.

Tempo bertahan untuk tidak membuka identitas „konsultan arsitek‟ itu hingga

pengadilan memutuskan mereka bersalah.3 Ini adalah konsekuensi dari kebijakan

redaksional Tempo dalam memuat narasumber anonim yang keterangannya diragukan

oleh pihak lain, dalam hal ini Tomy Winata.

Kasus Tempo di atas memberi gambaran bahwa kebijakan redaksional sebuah

media jurnalisme dalam hubungan dengan penggunaan narasumber anonim menjadi

sangat krusial untuk ditelaah lebih jauh. Sebuah media jurnalisme yang telah

menentukan kebijakan menggunakan narasumber anonim dapat pula rentan mengalami

permasalahan seperti di atas. Sebab kebijakan tersebut memiliki potensi singgungan

yang hebat antara media jurnalisme dengan institusi atau organisasi sosial lain yang

juga memiliki kepentingan masing-masing. Apabila kerentanan ini disadari oleh media

jurnalisme yang tetap menggunakan narausumber anonim, maka peneliti menduga ada

pertimbangan-pertimbangan khusus dalam penyusunan kebijakan mengenainya.

Keuntungan dan kerugian akibat pemuatan narasumber anonim dalam berita

telah menuai debat panjang pula. Dalam konteks Indonesia, hal itu dapat membuka

peluang namun sekaligus membatasi akses terhadap informasi. Di satu sisi, secara tidak

langsung, keuntungan itu dilegitimasi oleh kemenangan Tempo dalam kasusnya

melawan Tomy Winata yang membawa angin segar bagi kehidupan media di Indonesia.

Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Bambang Harymurti meskipun Tempo tidak

bersedia membuka identitas narasumber anonimnya hingga akhir proses pengadilan.

2 Pada 16 September 2004, Bambang Harymurti divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat. Pada 14 April 2005, putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri itu. Pada 9 Februari 2006, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Bambang Harymurti melalui putusan Mahkamah Agung No. 1608 K/PID/2005. Keterangan lebih lengkap mengenai hal ini silakan simak Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 29-39.

3 Janet Steele menuliskan bahwa jika pada hari Sabtu pertama setelah keluarnya artikel “Ada

Tomy di Tenabang?” itu pihak Tempo memberikan identitas sang narasumber, maka penyerangan oleh orang-orang yang mengaku utusan Tomy Winata ke kantor Tempo itu tidak berujung rusuh. Dan masalah itu pun tidak akan berkepanjangan. Selengkapnya silakan lihat Janet Steele, Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), hlm. 251-256.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

4

Keputusan ini mendulang peluang bagi yurisprudensi Mahkamah Agung itu untuk

menjadikan UU Pers No. 40 tahun 1999 menjadi lex specialis.4

Dengan demikian, Hak Tolak, sebagai salah satu bagian dari pasal UU tersebut

mendapat legitimasi pula. Hal ini mengisyaratkan bahwa narasumber-narasumber berita

yang menginginkan dirinya anonim dapat lebih terjaga kerahasiaannya di tangan media.

Isyarat itu dapat memunculkan dugaan melonggarnya kebijakan dan praktik

penggunaan narasumber anonim oleh media. Alhasil, informasi yang paling rahasia,

sensitif, dan kontroversial sekalipun dapat lebih terakomodasi.5

Namun, dari sisi publik, paduan antara narasumber dan media itu dapat

menimbulkan kesangsian baru. Sebab, praktik penggunaan narasumber anonim ini

berpeluang membatasi akses publik untuk mengetahui, setidaknya, latar belakang,

motivasi, dan reliabilitas pernyataan sang narasumber dan alasan pemuatannya. Hal ini

berhubungan erat dengan transparansi media terhadap khalayaknya. Sejauh mana media

tetap dapat menunjukkan ketiga hal itu tanpa mengurangi tingkat perlindungan terhadap

narasumber-narasumbernya. Lebih jauh, transparansi ini dapat memengaruhi penilaian

publik terhadap kredibilitas sang narasumber dan media itu sendiri.

Pasca transisi orde baru-era reformasi, setelah selama empat tahun (1994-1998)

sebelumnya terpasung bredel pemerintah, Tempo pun lahir kembali. Kelahiran baru—di

era yang baru—itu ditandai dengan beberapa pembeda bila dibandingkan dengan Tempo

sebelumnya dan media cetak lain, terutama majalah. Pembeda itu di antaranya adalah

munculnya rubrik Opini, rubrik Investigasi,6 dan sistem jaringan intranet.

7

Jaringan intranet ini mewajibkan setiap tulisan yang akan terbit mampir ke meja

editor. Di sana, setidaknya, tulisan-tulisan itu akan mengalami cek ulang mengenai isi,

4 Lihat Juniver Girsang, ibid.

5 Menurut Zurbuchen, keterbukaan berekspresi ini semakin nyata setelah Indonesia menjalani

fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada 1997, mundurnya Soeharto dan mulai masuknya kepemimpinan Habibie pada 1998, serta pemilihan legistatif dan naiknya Abdurrahman Wahid menjadi presiden pada 1999. Zurbuchen menegaskan hal ini demikian: “Dramatic changes have occurred as direct television news reporting lively current events, talk-shows and debates in radio and TV, and unprecedented openness in the press have brought public commentary, engagement and critique to new levels.” Silakan simak Zurbuchen, “The Media in Indonesia’s Transition”, Prakata dalam Dedy N. Hidayat, dkk., Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. xi.

6 Tim Buku Tempo, Cerita di Balik Dapur Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011),

hlm. 118. 7 Ibid. Hlm. 99.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

5

keseimbangan berita, dan logikanya, sebelum sampai ke gerbang terakhir: redaktur

bahasa.8 Keputusan ini membawa konsekuensi pada kebijakan redaksi dalam menyikapi

adanya narasumber anonim. Redaktur berhak mengetahui identitas narasumber anonim

yang diduga merupakan hasil tawar-menawar antara narasumber bersangkutan dengan

reporter di lapangan.9

Masalah ini tidak hanya menyangkut media jurnalisme saja tetapi juga pihak-

pihak yang menjadi narasumber berita. Narasumber berita tertentu, misalnya dalam

berita kasus korupsi, bisa sangat beragam. Salah satunya adalah orang dalam institusi

yang dikorupsi, rekan bisnis yang kecewa, pesaing bisnis yang meradang karena

kecurangan kompetitornya sudah berlebihan, maupun sang pelaku sendiri. Beraneka

tipe narasumber kasus korupsi tersebut biasanya tidak berkenan bila identitasnya

tersebar luas melalui media. Alasan beragam, seperti keselamatan diri dan keluarga,

pemotongan gaji dan tersendatnya jenjang karier, serta pemutusan hubungan kerja,

menyebabkan narasumber-narasumber itu meminta agar identitasnya tidak

dipublikasikan, baik sebagian atau seluruhnya.

Berkait erat dengan hal itu, kiranya, kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dinilai telah membawa angin baru bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tahun 2013, komisi ini mendapatkan anugerah prestisius dari Ramon Magsaysay Award

Foundation karena performanya.10

Sejak berdiri tahun 2003, KPK dinilai sukses

terutama karena berhasil membongkar pelbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh

aparatur negara. Komisi ini juga dipuji karena berhasil mengembalikan uang negara

yang dikorupsi senilai 820 miliar rupiah (80 juta dolar AS).11

KPK menyadari bahwa

pelaporan kasus-kasus korupsi membawa risiko tertentu bagi sang pelapor. Oleh karena

itu, KPK membangun sebuah sistem pelaporan yang dapat menjamin kerahasiaan

8 Ibid.

9 Hal ini sesuai dengan pernyataan Sunudyantoro, kepala biro Tempo Yogyakarta, melalui

wawancara dengan peneliti di Yogyakarta pada 10 April 2013. 10

Lihat Rizky Amelia, KPK Wins 2013 Magsaysay Award, The Jakarta Globe Online, 24 Juli 2013, diunduh dari http://www.thejakartaglobe.com/news/kpk-wins-2013-magsaysay-award/ pada 1 Agustus 2013 pukul 10:21 WIB. Lihat pula Margareth S. Aritonang dan Ina Parlina, KPK Wins Prestigious Magsaysay Award, The Jakarta Post Online, 25 Juli 2013, diunduh dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/25/kpk-wins-prestigious-magsaysay-award.html pada 1 Agustus 2013 pukul 10:28 WIB.

11 Lihat Manuel Mogato, Afghan, Myanmar Women in Magsaysay Awards for Work Amod

Conflict, Manila, 24 Juli 2013, diunduh dari http://www.reuters.com/article/2013/07/24/us-philippines-award-idUSBRE96N0BL20130724 pada 1 Agustus 2013 pukul 10:34 WIB.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

6

identitas sang pelapor, yaitu KPK Whistleblower‟s System (KWS). Melalui situs

kws.kpk.go.id, KPK membuka jalan bagi setiap pelapor kasus korupsi (whistleblower)

yang ingin identitasnya dirahasiakan.12

Sepak terjang KPK ini memunculkan dugaan bahwa kehadirannya telah

membangun kondisi baru bagi semakin terbukanya sumber informasi mengenai kasus-

kasus korupsi. Keberanian KPK membongkar kasus korupsi pejabat tinggi negara

mengilhami masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus korupsi lain yang terjadi di

lingkungan dekatnya. Banyak kasus korupsi yang ditangani KPK terbongkar akibat

laporan dari para whistleblower ini. Ilham dari semangat KPK ini diduga menjadi

pemicu semakin terbukanya masyarakat melaporkan kasus korupsi kepada media.

Sebab media pun memiliki mekanisme perlindungan terhadap para whistleblower itu

melalui pemberian identitas anonim terhadapnya.

Di dalam orde pemerintahan yang diangankan lebih terbuka ini, kaitan antara

majalah Tempo dan narasumber anonim menjadi sebuah kontradiksi tersendiri. Tempo,

dalam salah satu publikasi peringatan 40 tahun berdirinya, menuliskan:

“... Kami berusaha mengembangkan jurnalisme yang menjunjung argumen

kuat, data terpercaya, dan kejelasan. Hanya dengan itu, setiap tulisan bisa memandu

para pembaca—bukan menyiarkan kepentingan pemodal, kelompok politik, atau

kekuatan mayoritas. Edisi khusus 40 tahun ini adalah semacam pertanggungjawaban

kepada publik: satu-satunya “majikan” Tempo.”13

Pernyataan tersebut, setidaknya, mengindikasikan bahwa sebagai “majikan”,

publik berhak dipandu oleh Tempo untuk sedapat mungkin bisa menilai sendiri

kredibilitas dan reliabilitas narasumber-narasumber yang diajukan Tempo.

Frekuensi dan pola pemuatan narasumber anonim serta kebijakan redaksional

majalah Tempo menyangkut hal itu sangat signifikan untuk diteliti. Setidaknya karena

tiga alasan berikut: Pertama, analisis komprehensif mengenai narasumber anonim

dalam pemberitaan media jurnalisme di Indonesia, baik media cetak maupun penyiaran,

masih sangat jarang dilakukan. Analisis yang pernah ada biasanya tidak menukik pada

12

Lihat artikel berjudul Jadi ‘Whistleblower’ KPK Bisa Dilakukan dengan SMS, 28 Oktober 2011, diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2011/10/28/063363690/Jadi--Whistleblower-KPK-Bisa-Dilakukan-dengan-SMS pada 1 Agustus 2013 pukul 10:59 WIB. Lihat pula KPK, Ketentuan Pengaduan Masyarakat, diakses dari http://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/pengaduan-masyarakat/ketentuan-pengaduan-masyarakat pada 1 Agustus 2013 pukul 16:14 WIB.

13 Tim Buku Tempo, Cerita di Balik Dapur Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011),

hlm. 1.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

7

tema yang sangat spesifik (narasumber anonim), sekaligus mampu bersinggungan

dengan satu topik berita yang spesifik pula (kasus korupsi).

Kedua, periode penelitian yang relatif baru (analisis khusus terhadap teks berita

majalah Tempo akan dilakukan pada edisi Januari 2011 hingga Oktober 2013) dapat

memberikan gambaran kontemporer dan menyeluruh atas dinamika internal kebijakan

redaksional sebuah media menyangkut satu tema dan topik berita yang spesifik.

Ketiga, mekanisme pemuatan narasumber anonim belum diatur secara mendetail

oleh undang-undang dan kode etik-kode etik kewartawanan di Indonesia. Pengaturan

yang ada hanya terbatas pada pembahasan di permukaan saja dan tidak mengarah pada

prosedur-prosedur atau pedoman teknis yang sebenarnya krusial untuk para pekerja

media. Oleh karena itu, setiap media jurnalisme, baik cetak, penyiaran, maupun online,

diisyaratkan untuk menyusun dan mengembangkan kebijakan sendiri (internal)

menyangkut hal tersebut.

Hal-hal di atas sekiranya dapat memberikan latar permasalahan penelitian ini.

Kebijakan redaksional Tempo mengenai narasumber anonim, para whistleblower yang

menjadi narasumber, dan berita-berita mengenai kasus korupsi menjadi fokus perhatian

utama penelitian ini. Deskripsi menyeluruh terhadap hubungan hal-hal tersebut kiranya

dapat menjadi jawaban atas permasalahan di atas.

B. Rumusan Masalah

Fenomena yang telah terjabarkan dalam latar belakang masalah penelitian ini

mendorong peneliti untuk menjawab pertanyaan berikut: “Bagaimana kebijakan

redaksional majalah Tempo mengenai narasumber anonim dalam rubrik Laporan Utama

kasus korupsi?”

C. Tujuan Penelitian

Paparan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas memberikan

gambaran mengenai tujuan penelitian ini, sebagai berikut:

1. Mengetahui secara komprehensif kebijakan redaksional majalah Tempo mengenai

pemuatan narasumber anonim dalam rubrik Laporan Utama-nya.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

8

2. Memetakan dinamika kebijakan redaksional sebuah organisasi media jurnalisme

mengenai satu tema dan topik berita spesifik dalam kurun waktu yang relatif

panjang.

3. Memberikan gambaran mengenai kebijakan redaksional sebuah organisasi media

dalam menanggapi minimnya peraturan dan pedoman kerja untuk para awaknya.

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai frekuensi dan pola

kemunculan narasumber anonim, serta latar belakang dan pertimbangan-

pertimbangan yang mendasari kebijakan redaksional mengenai pemuatan

narasumber anonim oleh media cetak di Indonesia.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau rekomendasi bagi para

pengelola media, khususnya media cetak, dalam mempertimbangkan pemuatan

narasumber anonim dalam berita-beritanya.

E. Objek Penelitian

1. Majalah Tempo

Majalah Tempo dibredel untuk kedua kalinya pada Juni 1994. Reaksi terhadap

pemberedelan itu datang dari mahasiswa, ahli hukum, seniman, intelektual, dan

masyarakat kalangan menengah lain yang selama hampir 30 tahun tak pernah bersuara.

Bagi orang kebanyakan, Tempo adalah simbol status kelas menengah, indikator

pencapaian yang membuat mereka menjadi bagian dari pembaca majalah Indonesia

berkelas dunia.14

Hal ini merupakan salah satu indikator yang menggambarkan bahwa pembaca

majalah Tempo adalah para pejabat dan pembuat keputusan di pelbagai bidang,

organisasi, dan perusahaan, baik swasta maupun pemerintah. Berdasarkan survei iklan

Tempo pada 1981, 1986, 1992, 1993, 1994, dan 1998, Janet Steele mengemukakan

bahwa mayoritas pembaca Tempo adalah mereka yang berada pada posisi “pemilik”

atau “manajemen” di berbagai sektor publik atau swasta, dan “menikmati penghasilan

14

Janet Steele, op. cit., hlm. xiii-xiv.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

9

tingkat tinggi”.15

Hal ini penting untuk diungkapkan karena dapat menunjukkan

setidaknya tingkat terpaan majalah Tempo, yaitu pada pihak-pihak (kelas menengah)

yang dalam interaksi sosialnya cenderung dapat memengaruhi orang lain di sekitarnya.

Perkiraan angka penjualan sebelum dibredel pada Juni 1994 adalah sekitar

187.000 eksemplar.16

Dan Tempo mampu mendekati jumlah eksemplar yang sama saat

pertama kali terbit setelah dibredel, Oktober 1998. Hal ini membuktikan bahwa

informasi yang diusung Tempo dirindukan oleh para pembacanya. Suatu hal yang tidak

mudah dilakukan oleh media lain.

Keunikan tingkat terpaan Tempo itu dipertebal dengan adanya pergeseran

penggunaan narasumber anonim. Analisis Janet Steele terhadap Tempo mengenai unsur

“Who” dalam pemberitaan Tempo pada 1971-1994 menunjukkan bahwa narasumber

anonim muncul hanya 2 (dua) kali dalam 1188 penggunaan narasumber secara

keseluruhan atau hanya 0,17%. Angka yang jauh berbeda dibandingkan dengan

penggunaan narasumber presiden (76,68%) dan menteri, pejabat setingkat menteri, serta

mantan pejabat (19,19%).17

Hal ini kontras dengan hasil pengamatan sementara peneliti

terhadap penggunaan narasumber anonim sejumlah Laporan Utama majalah Tempo

yang terbit setelah 1998 (antara tahun 2011-2013). Persentase pemunculannya dapat

mencapai 50% dibandingkan narasumber beridentitas jelas dari pelbagai kalangan. Hal

ini memunculkan dugaan peneliti bahwa ada perubahan signifikan terhadap kebijakan

redaksional Tempo menyangkut hal itu.

2. Rubrik Laporan Utama

Rubrik Laporan Utama Tempo adalah bagian berita yang paling panjang

pemuatannya di tiap edisi. Ia bisa lebih pendek dari rubrik Investigasi, namun frekuensi

kemunculannya lebih sering. Rubrik investigasi muncul rata-rata satu setengah atau dua

bulan sekali, sedangkan Laporan Utama ada pada setiap edisi (per minggu). Kedua

rubrik itu memiliki daya tarik yang kurang lebih sama, misalnya kedalaman reportase

dan pengungkapan bukti-bukti kejadian yang sebagian di antaranya belum didapatkan

oleh para penyidik, baik kepolisian maupun kejaksaan.

15

Ibid., hlm. 149-151. 16

David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 43. 17

Simak Janet Steele, ibid., hlm. 270.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

10

Peneliti memfokuskan penelitian pada rubrik Laporan Utama saja karena rubrik

tersebut dianggap paling mampu memberikan gambaran dan representasi dari kinerja

awak media dan kebijakan redaksional Tempo dari edisi-ke edisi. Keunggulan rubrik

tersebut dibanding rubrik Investigasi adalah kemampuannya untuk menunjukkan

rutinitas kerja Tempo per minggunya. Frekuensi muat yang ketat (deadline) dan

informasi yang panjang diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih padat

mengenai denyut nadi dan detak jantung keseluruhan tubuh redaksional Tempo. Di

samping itu, rubrik ini juga membutuhkan keterlibatan personel yang lebih besar

dibanding rubrik-rubrik lain.

Isu-isu besar yang diangkat dalam rubrik ini diharapkan dapat memberikan

gambaran komprehensif kebijakan redaksional Tempo terhadap reaksinya mengenai

situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial-kultural terkini/kontemporer. Tema-tema

besar yang sering kali masuk menjadi item berita Laporan Utama Tempo berasal dari

bidang „politik‟, „ekonomi‟, „hukum dan kriminal‟, serta „sosial dan budaya‟. Isu-isu

besar ini pula yang judul dan ilustrasi beritanya akan memenuhi sebagian besar halaman

sampul majalah Tempo (cover story) setiap edisinya.

3. Kasus Korupsi

Tahun 1998 adalah awal baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Sejak itu,

banyak pembaruan terjadi dalam segenap aspek kehidupan bernegara dan

bermasyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah pembaruan undang-undang yang

mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang memancing

reformasi terhadap pemerintahan Orde Baru adalah kasus-kasus korupsi yang memusat

di lingkar-dalam kekuasaan negara. Dan undang-undang tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi yang mengaturnya (UU Nomor 3 tahun 1971) dianggap gagal dan tidak

sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan masyarakat.18

Oleh karena itu,

pembentukan kaidah hukum baru sangat dibutuhkan. Maka, lahirlah Undang-Undang

18

Lihat bagian pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

11

Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.19

Peraturan yang menjadi pedoman kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi

dikeluarkan tiga tahun sejak UU Nomor 31 tahun 1999 berlaku. Peraturan itu adalah

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Komisi itulah yang kemudian disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK).20

Satu tahun setelah disahkannya UU tersebut, 27 Desember 2003, KPK resmi

terbentuk. Sejak terbentuk, KPK mengklaim telah menyelesaikan banyak kasus korupsi

yang melibatkan para penguasa yang sebelumnya nyaris tak tersentuh hukum.21

Zulkarnain, salah satu Pimpinan KPK periode 2011-2015, menyebutkan

bahwa:

“Dalam kurun waktu 2004 sd Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para

koruptor kelas kakap ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus

bersalah (100% conviction rate). Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat

Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1 Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29

Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan

Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan

Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk Mantan Kapolri), Jaksa senior,

Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I & II (Direktur Umum, Sekretaris

Jenderal, Deputi, Direktur, dll.), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik negara (BUMN) dan

pihak swasta yang terlibat dalam korupsi.”

Pencapaian ini diklaim sebagai hasil paling baik di sepanjang sejarah

pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan dan pencegahan korupsi oleh KPK

ini juga telah merangsang partisipasi masyarakat. Sampai tahun 2012, KPK rata-rata

telah menerima pengaduan tentang dugaan tindak pidana korupsi sebanyak 500 aduan

setiap bulannya. Aduan itu dilaporkan kepada KPK baik secara langsung (pelapor

datang ke kantor KPK—rata-rata 6-10 aduan per hari) maupun tidak langsung (melalui

surat, email, telepon, SMS, dan online).22

Jumlah pelaporan masyarakat yang melonjak

19

Pengubahan terhadap undang-undang ini terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

20 Lihat UU Nomor 30 tahun 2002 pasal 2.

21 Lihat Zulkarnain, KPK Lembaga Permanen, dimut di Koran Tempo, 10 Juli 2012, diakses dari

http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290-kpk-lembaga-permanen pada 1 Agustus 2013 pukul 15:52 WIB.

22 Simak Humas KPK, Menengok Penanganan Pengaduan Masyarakat KPK, 30 Maret 2012, diakses

dari http://kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/369-menengok-penanganan-pengaduan-masyarakat-kpk pada 1 Agustus 2013 pukul 16:23 WIB.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

12

setelah terbentuknya KPK ini juga dapat menjadi indikator keberhasilan KPK dalam

melindungi para whistleblower-nya. Mereka ini adalah orang-orang yang “melaporkan

perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi

tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya

indikasi tindak pidana korupsi tersebut”.23

Naiknya animo masyarakat untuk turut serta dalam proses penegakan hukum

ini diduga dapat terjadi pula terhadap para whistleblower yang bersedia menjadi

narasumber media jurnalisme. Sebab, seperti halnya KPK, media jurnalisme juga

memiliki mekanisme perlindungan terhadap narasumber yang menjanjikan kerahasiaan

identitas para pelapornya jika mereka menghendaki. Sepak terjang KPK selama kurang

lebih satu dekade terakhir telah menempatkan kasus-kasus korupsi menjadi headline

media-media di Indonesia. Hal tersebut memunculkan signifikansi tersendiri untuk

menjadikan kasus korupsi sebagai batu pijakan peneliti dalam memetakan frekuensi dan

pola penggunaan narasumber anonim di majalah Tempo.

F. Literature Review

Penelitian mengenai narasumber anonim dalam media massa yang pernah

dilakukan oleh beberapa peneliti (Sheehy, 200624

; Duffy, 201025

; dan Carlson, 200826

)

membahas topik-topik seperti: (i) penggunaan narasumber anonim di media-media lokal

yang kebijakan medianya banyak dipengaruhi oleh kultur masyarakat setempat, (ii) titik

berat kajian-kajiannya terletak pada frekuensi dan tren penggunaan narasumber anonim

secara kuantitatif, (iii) beberapa di antaranya mendedah penggunaan narasumber

anonim pada kasus-kasus tertentu yang pernah dialami secara langsung oleh beberapa

media massa bersangkutan.

Sementara itu, penelitian ini membahas penggunaan narasumber anonim pada

satu majalah berita yang didistribusikan secara nasional. Sehingga fokus kajian terhadap

23

Lihat KPK Whistleblower’s System, dapat diakses melalui https://kws.kpk.go.id/. Terakhir diakses pada 1 Agustus 2013 pukul 16:33 WIB.

24 Michael W. Sheehy, From Watergate to Lewinsky: Unnamed Sources in the Washington Post,

1970-2000, a dissertation (Ohio University, 2006). 25

Matt J. Duffy, Unnamed Sources: A Longitudinal Rreview of The Practice and Its Merits, a dissertation (Georgia State University, 2010).

26 Matt Carlson, On the Condition of Anonymity: Unnamed Sources and Journalistic Authority, a

dissertation (USA: Proquest Information and Learning Company, 2008).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

13

pengaruh pada kebijakan media bukanlah para aras lokal atau kedaerahan, melainkan

nasional. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada pendekatan kualitatif, sehingga

temuan-temuan atas dasar perhitungan kuantitatif hanya akan dipergunakan untuk

mendukung proses penelitian melangkah pada tahap selanjutnya.

Penelitian ini tidak terbatas pada pembahasan mengenai penggunaan

narasumber anonim pada semua kasus yang pernah dialami oleh media. Namun,

penelitian ini akan berfokus pada satu topik berita yang spesifik, yaitu berita mengenai

kasus-kasus korupsi. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

lebih menyeluruh mengenai satu tema khusus dan satu topik spesifik dalam bidang yang

beragam, seperti ekonomi, politik, sosial-budaya, serta hukum dan kriminal.

Penelitian-penelitian sebelumnya yang disebut di atas melakukan eksplorasi

secara terbatas pada penggalian makna yang lebih laten dari teks-teks berita. Beberapa

di antaranya berfokus pada teks berita media dan dokumen-dokumen tertulis, kurang

menggali latar belakang, setting, dan motivasi para pembuat kebijakan media

menyangkut penggunaan narasumber anonim tersebut. Sementara itu, penelitian ini juga

akan mengeksplorasi teks berita media bersangkutan, namun analisis kuantitatif

terhadap objek tersebut dilakukan pada tahap pre-research. Dengan melakukan pre-

research ini, magnitude gejala narasumber anonim bisa diketahui sehingga penelitian

ini memiliki basis empirik yang memadai—bukan sekadar segelintir kasus yang

mungkin secara kebetulan terjadi.

Analisis terhadap teks ini bukanlah hal yang utama, namun akan digunakan

sebagai modal awal peneliti untuk masuk ke jenjang penelitian yang lebih jauh. Jenjang

yang lebih jauh ini akan dibedah dengan metode studi kasus yang mengutamakan

kualitas wawancara mendalam dan studi dokumen. Keduanya tidak hanya dikenakan

pada para pembuat kebijakan saja, namun juga pihak-pihak yang

mengimplementasikannya dalam praktik kerja lapangan.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

14

G. Kerangka Pemikiran

Praktik kerja jurnalisme tidak berdiri dan berlari dengan kakinya sendiri. Hal

tersebut, dalam bahasa McChesney tersurat demikian: “the practice of journalism did

not really lend itself to unified scientific code. The claim that it was possible to provide

neutral and objective news was suspect”.27

Kebijakan redaksional sebuah media

jurnalisme menjadi salah satu roh sentral praktik tersebut. Pilihan nilai dalam debat

ruang redaksi yang mendasari berita mana yang layak muat dan tidak layak muat,

misalnya, bukanlah tanpa selubung kepentingan yang lebih luas. Dalam hal ini

McChesney menegaskan bahwa “... journalism cannot actually be neutral or

objective—and unless one acknowledges that, it is impossible to detect the actual values

at play that determine what becomes news and what does not.”28

Praktik hubungan media dan narasumber berita merupakan langkah lanjut dari

kebijakan redaksional media bersangkutan. Hal ini tidak lepas dari selubung

kepentingan yang lebih luas itu. Kiranya, penelitian ini akan mencoba memberikan

kerangka pikir atas selubung tersebut, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar29

organisasi media jurnalisme bersangkutan. Kemungkinan penjelasan lain adalah bahwa

kebijakan redaksional media jurnalisme merupakan cerminan sebuah ideal yang hendak

diraih oleh pengelola media. Tarik-menarik pelbagai faktor inilah yang hendak dikaji di

penelitian ini.

1. Fungsi Watchdog Jurnalisme

Salah satu fungsi ideal30

jurnalisme adalah menjadi „anjing penjaga‟

(watchdog).31

Penjagaan mengarah pada para pemegang kekuasaan, seperti pemerintah

27

Robert W. McChesney, The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the 21st Century (New York: Monthly Review Press, 2004), hlm. 68.

28 Ibid.

29 Pamela J. Shoemaker & Stephen D. Reese, Mediating the Message: Theories of Influences on

Mass Media Content, 2nd Edition (USA: Longman Publishers, 1996). 30

Adakalanya istilah yang disematkan kepadanya adalah ‘normatif ideal’. Oleh karena itu, fungsi ini sulit tergantikan (lihat Steven E. Clayman, dkk., “When Does the Watchdog Bark? Conditions of Aggressive Questioning in Presidential News Conferences”, dalam American Sociological Review, 2007, Vol. 72 (February: 23-41). Fungsi ini diamini oleh kebanyakan media jurnalisme di Amerika, namun, di saat yang sama, tidak banyak pula media di negeri Abang Sam itu yang mendarah-dagingkannya dalam praktik jurnalistik mereka (lihat Murrey Marder, “This is Whatchdog Journalism”, Nieman Reports, Winter 1999-Spring 2000, hlm. 78-79).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

15

atau pengelola institusi publik lainnya. Fungsi ini diharapkan dapat menyorot mereka

supaya tidak menjadi korup dan bertindak melewati batas-batas kewenangannya.32

Publik pun bisa lebih tahu segala tindak-tanduk mereka.33

Gans merincikan aktivitas

penjagaan ini sebagai:

“... role to expose corruption, malfeasance, dishonesty, hypocrisy, scandal and

the violation of other mainstream rules or behavior ... the watchdog role is usually

associated with investigative reporting that results in individual wrongdoing or systemic by

malfeasance being exposed.”34

Akar dari fungsi watchdog adalah Teori Pers Liberal.35

Teori ini berasumsi

bahwa apabila iklim kebebasan berpendapat dijamin, maka manusia sebagai individu

dapat mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya sendiri. Iklim kebebasan ini

tidak mungkin terbentuk bila akses informasi dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah.36

Kebebasan berpendapat bagi setiap individu berakar dari perubahan pemikiran

masyarakat Barat akibat revolusi industri yang melatari munculnya zaman Pencerahan.

Iklim kebebasan ini menggeser kecenderungan tertutupnya sumber dan akses informasi

di seputaran kehidupan elite penguasa menjadi tanggung jawab individu-individu di

dalam masyarakat. Tanggung jawab ini membutuhkan media yang independen, seperti

dinyatakan John C. Merrill demikian:

31

Entman menempatkannya sebagai salah satu komponen kunci demokrasi (lihat R. M. Entman, “Improving Newspapers Economic Prospects by Augmenting Their Contributions to Democracy”, dalam The International Journal of Press/Politics (2010), 15 (1), hlm. 104-125).

32 Lihat Greta K. Weiderman, The Watchdog Role of Newspapers: Newspaper Coverage of Sinclair

Broadcasting Announcement to Air a One-Sided Documentary Right Before the 2004 Presidential Election, a theses, Bowling Green State University (2002), hlm. 42.

33 Marsha A. Ducey, Newspaper Journalism in a Time of Industry Change: An Evaluation of the

Current State of the Watchdog Role of Print Journalists, a dissertation, (USA: Proquest LLC, 2011), hlm. 3. 34

Herbert J. Gans, “News and Democracy in the United States: Current Problems, Future Possibilities, dalam Stuart Allan, The Routledge Companion to News and Journalism (New York: Routledge, 2010), hlm. 97.

35 Lihat Elizabeth Katherine Viall, Hyper-Local Citizen Journalism Sites and Traditional Media Sites:

Similarities and Contrasts in Theme, Objectivity, and Watchdogging, a dissertation, School of Journalism, Indiana university Press (2009), hlm. 25. Teori ini merupakan kritik terhadap Teori Pers Otoriter yang berasumsi bahwa media massa akan lebih berfungsi untuk masyarakat jika dikontrol oleh pemerintahan suatu negara. Masyarakat akan lebih maju jika media massa diatur oleh negara. Oleh karena itu, teori tersebut menganjurkan agar negara menerapkan satu sistem kontrol yang efektif pada media massa. Lebih jauh, teori ini cenderung mendorong aparat negara menjadikan media massa sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan inilah yang membayang-bayangi kinerja media massa (lihat F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 31-32). Melalui media massa, kadar kebaikan dan kebenaran suatu informasi, ditentukan oleh pemerintah. Orientasi media massa terhadap kemajuan masyarakat pun dapat bergeser menjadi pelanggengan kekuasaan.

36 Ibid., hlm. 34.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

16

“This independence has been viewed as essential because a democracy requires

inform citizens, and citizens rely on news media for much of their information about

government. Freedom leads to the truth, truth is essential for credibility, and credibility is

essential for faith in government and wise populist decision-making.”37

Lepas dari kontrol pemerintah, pers menjadi leluasa mengawasi pemerintahan.

Marsha A. Ducey, mengutip Kovach dan Rosenstiel (2007), mengemukakan bahwa

ketika ”two periodicals in mid-17th century England emphasized investigating and

making the workings of government available to all, not just to the elites, early

watchdog journalism was born.”38

Sementara itu, Siebert, Peterson, dan Schramm

menyebut bahwa salah satu asumsi teori pers liberal ini adalah “the press was free to

tell people information and let the people decide what it means.”39

Asumsi ini

memungkinkan pers lebih bebas bergerak dan berperan sebagai pengawas

pemerintahan. Peran inilah yang memfungsikan pers sebagai watchdog dan

membebaskannya untuk mencari dan membuka fakta publik selengkap-lengkapnya.

Selanjutnya, Siebert, Peterson, dan Schramm menyebut kondisi ini sebagai “the transfer

of the press from authoritarian to libertarian principles.”40

Pers bebas (free press) yang dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Libertarian ini

telah memosisikan institusi media menjadi lembaga yang terhormat di tengah

masyarakat. Namun, di sisi lain, kehormatan ini bergulir menjadi kebanggaan yang

berorientasi pada kemajuan institusi media masing-masing, baik secara ekonomi

maupun politik. Kebebasan media yang absolut cenderung dapat dimanfaatkan oleh

pemilik media menjadi penyalur kepentingan dan alat pemupukan modal sebanyak-

banyaknya. Media dianggap sebagai sebuah perusahaan swasta yang tidak memiliki

utang apapun kepada masyarakat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan media tidak ada

sangkut-pautnya dengan kepentingan masyarakat.41

Prinsip kebebasan murni seperti ini kemudian direvisi oleh Teori Pers

Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Press). Asumsi dasarnya adalah

37

John C. Merrill, “Journalism and Democracy”, dalam Wilson Lowrey dan Peter J. Gade (ed.), Changing the News: The Forces Shaping Journalism in Uncertain Times (New York: Routledge, 2011), hlm. 46.

38 Ibid.

39 Simak Marsha A. Ducey, op. cit., hlm. 27.

40 Seperti dikutip dalam Clifford G. Christians, John P. Ferre, dan P. Mark Fackler, Good News:

Social Ethics and The Press (USA: Oxford University Press, 1993), hlm. 26. 41

Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Putu Laxman Sanjaya Pendit (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), hlm. 83.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

17

kebebasan pers itu mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan.

Orientasi kebebasannya bukan lagi pada diri sendiri, tetapi harus pula bertanggung

jawab kepada masyarakat.42

Kesadaran akan konsekuensi melayani kepentingan publik

ini telah menggeser pemahaman para pemilik media di awal abad ke-20 mengenai

posisi media mereka terhadap masyarakat.

Teori Pers Tanggung Jawab Sosial ini bermula dari konsep A Free and

Responsible Press yang dikeluarkan oleh The Hutchins Commission tahun 1947. Komisi

ini menegaskan bahwa pers bebas dan sekaligus bertanggung jawab ini merupakan

esensi utama etika jurnalisme. Konsep tersebut muncul sebagai kritik terhadap performa

pers pada tahun-tahun sebelumnya. Salah satu kritik tersebut demikian:

“Too much of the regular output of the press consists of miscellaneous

succession of stories and image which have no relation to typical lives of real people

anywhere. The result is a meaninglessness, flatness, distortion, and the perpetuation of

misunderstanding.

The press emphasizes the exceptional rather than the representative, the

sensational rather than the significant. The press is preoccupied with these incidents to

such an extend that the citizen is not supplied with the information and discussion he needs

to discharge his responsibilities to the community.”43

Konsep A Free and Responsible Press itu didukung oleh kondisi sosial-politik

pasca perang dunia kedua yang menguatkan prinsip-prinsip demokrasi di pelbagai

belahan dunia. Kondisi tersebut meningkatkan penghargaan terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM). Hal ini termaktub di antaranya pada sejumlah norma yang terkandung

dalam United Nation Charter (Piagam PBB) tahun 1945 yang berkaitan dengan

kesepakatan atas keberadaan negara-negara bebas dalam perdamaian, United Nation

Declaration of Human Rights tahun 1948 yang menjamin HAM, dan penjabarannya ke

dalam hak-hak yang lebih spesifik melalui United Nation Convenant on Civil and

Political Rights tahun 1966.44

Salah satu unsur penghargaan terhadap HAM itu adalah kebebasan pers.

Kebebasan pers ini dapat terpenuhi bila ada jaminan terhadap dua hal sekaligus, yaitu

42

Ibid. 43

Lihat Jeremy Iggers, Good News, Bad News: Journalism Ethics and the Public Interest (USA: Westview, 1999), hlm. 67-68.

44 Lihat Ashadi Siregar, “Kode Etik Sebagai Landasan Moral dan Kaidah Penuntun Bagi

Wartawan”, makalah disampaikan pada Pertemuan/Lokakarya Penyempurnaan Kode Etik Jurnalistik dan Penyusunan Kode Etik Siaran, Departemen Penerangan RI dan Persatuan Wartawan Indonesia, Solo, 23-26 Maret 1998. Diunduh dari http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/kode-etik-sebagai-landasan-moral.pdf pada 31 Juli 2013 pukul 12:03 WIB.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

18

hak publik untuk tahu (public‟s right to know) dan hak publik untuk berekspresi

(public‟s right to expression). Kedua hak yang hakiki ini tidak dapat dipisahkan. Publik

bisa berekspresi dengan baik bila ada jaminan terhadap kondisi yang memungkinkannya

memperoleh informasi yang benar menyangkut masalah-masalah mereka. Terutama

informasi yang aktual dan kontroversial. Dalam konteks ini, pers diharapkan dapat

menjamin publik menerima informasi yang benar. Informasi tersebut akan dipakai

sebagai sumber pembentukan pikiran dan pendapat publik sebagai respons terhadap

masalah-masalah publik. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari tugas pers

sebagai public servant.45

Selanjutnya, respons publik itu akan memancing dialog pro dan kontra

mengenai masalah-masalah bersama. Hal ini merupakan salah satu jaminan

berlangsungnya proses negosiasi sosial. Negosiasi sosial itu sendiri diharapkan dapat

mengarah pada sebuah konsensus sosial. Konsensus inilah yang nantinya akan menjadi

dasar pembentukan kebijakan publik. Kebijakan ini akan terlihat melalui

implementasinya dalam pelayanan dan akuntabilitas pemerintah terhadap publiknya.

Kondisi semacam inilah yang diharapkan tumbuh dalam kehidupan demokrasi sebuah

negara. Sebagai public servant, pers berkewajiban melayani hak publik tersebut.

Pelayanan ini pun dapat berjalan bila ada jaminan terhadap pers untuk bebas dari

pengaruh apapun dari luar dirinya dan bebas untuk mencari, mendapatkan, menyimpan,

dan memberitakan informasi publik.46

Dalam praktik, akar konseptual fungsi pengawasan pers tersebut telah

menjadikan Bob Woodward dan Carl Bernstein idola jurnalisme Amerika hingga kini—

sekaligus memaksa Richard M. Nixon menjadi satu-satunya presiden Amerika yang

mengundurkan diri dari kursi kepresidenannya (akibat skandal Watergate yang

dibongkar kedua wartawan itu). Hasil kerja kedua wartawan The Washington Post itu

menjadi patokan bagaimana jurnalisme investigasi dan fungsi pengawasan pers

seharusnya berjalan. Meskipun mereka harus membongkar skandal besar itu melalui

45

Lihat Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2011), hlm. 22.

46 Disarikan dari Ashadi Siregar, “Kode Etik Jurnalisme dan Kode Perilaku Profesional Jurnalis”,

disampaikan pada International Seminar on Press Ethics and Code, Yayasan Jurnalis Independen dan Dewan Pers, Jakarta, 12 Juli 2000. Diunduh dari http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/kode-etik-jurnalisme-dan-kode-perilaku-profesional.pdf pada 18 Juni 2013 pukul 08:32 WIB.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

19

“Deep Throat”, sang narasumber anonim yang belakangan, tahun 2005, mengaku

sebagai Mark Felt, mantan orang nomor dua di biro investigasi federal Amerika (FBI).

Di Indonesia, kasus pembongkaran skandal di birokrasi negara juga terjadi

melalui media. Agus Condro, dalam kasus cek pelawat pemenangan Miranda S.

Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia, berperan sebagai

whistleblower. Ia meniupkan informasi korupsi di tubuh Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan membawa puluhan anggota dewan—yang notabene adalah teman-temannya

sendiri—menjadi incaran KPK. Mengenai hal ini, Overholser dan Jamieson (2005) dan

Schudson (1995) menyatakan bahwa “Whistleblowers play an important role in

journalism‟s function as a „watchdog‟ for society.”47

Seperti halnya Mark Felt dan Agus Condro, para whistleblowers lain pun

seringkali adalah orang yang berada di jantung organisasi atau birokrasi yang

bermasalah. Informasi dari orang-orang seperti mereka inilah yang sangat membantu

jurnalis untuk mengungkap skandal-skandal yang patut diketahui publik. Mengenai hal

ini, Flyn (2006) menambahkan demikian: “Frequently, information that exposes

corruption and illegal activities in bereaucracies come from people in the middle ranks

of public service, as „they occupy the engine room of the organization and have custody

of primary information‟.”48

Menyebarluaskan informasi publik seperti di atas adalah kewajiban pers.

Namun, dilema muncul ketika narasumber seperti Agus Condro dan Mark Felt meminta

jaminan agar identitas mereka tak dipublikasikan. Dengan demikian, informasi yang

teramat penting bagi publik, semacam kasus cek pelawat dan skandal Watergate itu,

menyimpan satu kesangsian baru: „ketertutupan identitas sang narasumber‟. Hal ini

berkaitan dengan akses publik untuk dapat menilai sendiri kredibilitas narasumber yang

diajukan oleh media. Di sini problem transparansi media terhadap publiknya

mengemuka. Transparansi ini berhubungan erat dengan kredibilitas media di mata

47

Simak John Huxford dan Maria A. More, “Teaching Journalism Students About Confidential Whistleblower Sources: An Analysis of Introductory News Writing Textbooks”, dalam Journal of College Teaching & Learning, October 2011, Vol. 8, No. 10, hlm. 1.

48 Ibid., hlm. 2.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

20

khalayaknya.49

Padahal kredibilitas inilah yang mendasari kepercayaan publik kepada

media bersangkutan.

Dilema transparansi ini pun sering berbenturan dengan persoalan hukum. Tahun

1970, HB Jasin, pemimpin redaksi majalah Sastra, memuat sebuah cerpen berjudul

“Langit Makin Mendung” di majalahnya. Penulisnya memakai nama samaran Ki Panji

Kusmin. Cerpen tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat. Pihak kepolisian

bereaksi dan meminta HB Jasin memberikan identitas asli Ki Panji Kusmin. Namun,

HB Jasin menolaknya. Dan saat dimintai keterangan mengenai hal yang sama di

pengadilan pun, ia tetap bersikukuh memakai Hak Tolak-nya. HB Jasin kemudian

dihukum penjara dengan masa percobaan karena penolakannya itu.50

Kasus hukum

antara majalah Tempo dan Tomy Winata, seperti dijelaskan dalam latar belakang

penelitian ini, dapat pula dijadikan contoh.

Kasus-kasus tersebut berhubungan erat dengan salah satu jaminan hukum bagi

para jurnalis untuk melaksanakan tugasnya, yaitu Hak Tolak. Hak Tolak ini merupakan

sebuah upaya perlindungan hukum yang diberikan kepada para pekerja jurnalisme

untuk melindungi narasumbernya. Hak ini diatur dalam UU Pers No. 40 tahun 1999

pasal 4 ayat 4, KUHAP pasal 170, dan KUHP pasal 322. Seorang jurnalis, berkaitan

dengan jabatan atau profesinya, diwajibkan untuk menyimpan rahasia. Hak istimewa

ini diberikan juga kepada para dokter, rohaniwan, notaris, dan pejabat bank.51

Hak inilah yang memungkinkan narasumber-narasumber berita memberitahukan

informasi yang diketahuinya tanpa membuka identitas mereka, alias anonim. Hak untuk

melindungi narasumber ini menjadi legitimasi para pekerja media untuk tidak

mencantumkan dengan terang identitas narasumber mereka jika informasi yang

diberikannya dinilai rahasia. Matt Carlson menegaskan hal ini demikian: “Throught

this technique, journalists may bring to light hidden information‟s stated goal of

holding society‟s institutions accountable.”52

Hak tolak inilah yang menjembatani

49

Terence Smith, All things Considered, NPR, 28 November 2005 seperti dikutip Matt Carlson, op. cit., hlm. 257.

50 RH. Siregar, “Beberapa Persoalan Ketentuan UU Pers dan KUHPidana”, makalah lokakarya

Dewan Pers, dalam Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum (Jakarta: Dewan Pers, 2005), hlm. 45.

51 Lukas Luwarso, ibid., hlm. 43-44.

52 Matt Carlson, On the Condition of Anonymity: Unnamed Sources and Journalistic Authority, a

dissertation (USA: Proquest Information and Learning Company, 2008), hlm. 1.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

21

jurnalis untuk mendapatkan informasi dari narasumber yang tidak bersedia

memberikan informasi jika identitasnya diketahui publik.

Fungsi watchdog sering kali bersandar pada sumber internal lembaga atau

organisasi yang sedang diliput. Akses media terhadap sumber internal itu dipengaruhi

oleh tingkat kedekatan hubungan media dan narasumber tersebut. Tolak-tarik hal

tersebut, dalam konteks hubungan jurnalis dan pegawai pemerintahan, ditegaskan oleh

Waisbord demikian, “... distance between news organization and government officials

is fundamental in feeding and chilling watchdog reporting ... Without distance, news

media are prone to offer complacent coverage; to much distance deprives reporters to

have acces to inside sources.”53

Pemeliharaan jauh-dekat hubungan ini penting bagi

media untuk membangun kepercayaan sumber-sumber internal itu. Kepercayaan itu

menjaga asa media untuk bisa mendapatkan informasi rahasia jika suatu saat sumber-

sumber internal itu bersedia menjadi whistleblower kasus-kasus tertentu. Tak jarang

para whistleblower bersedia membuka infomasinya kepada media sebagai “the last

resort of frustrated civil servants who feel they cannot correct a perceived wrong

through regular government channels.”54

Ada kalanya, para whistleblower itu memilih media juga karena beberapa alasan

lain. Misalnya, pelanggaran yang mereka laporkan diabaikan atau ditolak kalangan

internal organisasi, pelanggaran itu melibatkan atasan mereka, dan kekhawatiran akan

adanya balas dendam sesama pekerja atau atasan yang sakit hati terhadap laporkan

mereka. Selain mengkhawatirkan keselamatan dan kesehatan jiwa-raganya, para

whistleblower itu membuka informasi kepada media karena pelanggaran yang mereka

ketahui menyangkut jumlah materi atau kerugian yang sangat banyak.55

Dalam kondisi semacam itu, peran sebagai public servant diamanatkan

sepenuhnya kepada media. Idealisme media yang menjalar melalui fungsinya sebagai

watchdog mendapatkan tempatnya. Semakin besar nilai informasi rahasia itu bagi

publik, semakin besar pula nilai eksklusivitas berita yang dibawanya. Media yang

53

Silvio Waisbord, Watchdog Journalism in South America: News, Accountability, and Democracy (New York: Columbia University Press, 2000), hlm. 93.

54 Simak John Huxford dan Maria A. More, “Teaching Journalism Students About Confidential

Whistleblower Sources: An Analysis of Introductory News Writing Textbooks”, dalam Journal of College Teaching & Learning, October 2011, Vol. 8, No. 10, hlm. 5.

55 Ibid., hlm. 3.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

22

mendapatkan kepercayaan dari narasumber internal semacam ini sulit untuk menolak.

Media sangat mempertimbangkan sumber informasi tersebut sekalipun para

whistleblower itu meminta identitas mereka tidak turut dipublikasikan. Media

mengambil tanggung jawab penuh atas kebenaran informasi dari narasumber anonim

mereka. Hingga di sini, dilema menyeruak. Semakin banyak whistleblower yang

menginginkan diri mereka anonim, semakin besar pula kredibilitas media itu

dipertaruhkan di hadapan publik yang dilayaninya.

Di Indonesia, dalam kasus-kasus korupsi, jumlah wistleblower ini terus

meningkat, seiring suksesnya sepak terjang KPK. Media pun turut menjadi tumpuan

kepercayaan publik untuk memberitakan—bahkan membongkar—kasus-kasus korupsi

tersebut. Publik berhak mengetahui informasi mengenai setiap kasus korupsi, yaitu

tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.56

Hingga

nantinya publik pun berhak mengetahui informasi mengenai laporan hasil

pengembalian uang hasil korupsi tersebut.57

Bergulirnya rangkaian informasi yang

penting untuk publik ini sering kali bertumpu pada para narasumber anonim. Kondisi

semacam ini dapat memancing kebijakan redaksional media untuk memunculkan pola-

pola tertentu guna mereduksi dilema yang ada pada praktik penggunaan narasumber

anonim tersebut.

56

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1.

57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik pasal 18 ayat 1 huruf f.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

23

Kerangka pikir di atas dapat diringkas dalam skema sebagai berikut:

Skema 1.1 Fungsi Ideal Pers: Watchdog

Keterangan panah: (pengaruh atau implementasi peran)

(hubungan timbal-balik, saling membutuhkan)

(hubungan timbal-balik, saling memengaruhi)

2. Narasumber Anonim, Hukum Media, dan Otonomi Jurnalis

Penjelasan mengenai narasumber anonim dapat didahului dengan paparan

konsep anonimitas (anonymity) itu sendiri. Latar belakang kemunculan fenomena

anonimitas ini dapat menjadi pemandu untuk menelusuri implikasi lebih lanjut dalam

konteks jurnalisme.

a. Anonimitas

Anonimitas atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai anonymity dapat diartikan

sebagai keadaan yang membuat seseorang tidak bisa dilacak atau diidentifikasi ciri dan

karakteristik khasnya.58

Ciri dan karakteristik tersebut dapat berupa nama, alamat,

58

Lihat Kathleen A. Wallace, “Anonymity”, Ethics and Information Technology, 1: 23-35, 1999. Kluwer Academic Publisher, Netherlands. Hlm. 24.

Media

Jurnalisme

Pemerintah

dan Pengelola

Institusi Publik

lainnya

Narasumber

Whistleblower

Jurnalis

Watchdog

Function

Public Servant

Role

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

24

nomor telepon, keadaan fisik, atau nomor khas identifikasi sosial lainnya. Namun ada

pula yang mengartikan anonimitas secara lebih sederhana, yaitu dengan memakai istilah

„tanpa nama‟ (nameless) atau anonim.59

Salah satu turunan dari pengertian yang

berfokus pada „nama‟ ini nantinya memunculkan istilah „nama palsu‟ atau „nama

samaran‟ (pseudonym).

Secara lebih lengkap, Marx (1999) menyusun 7 (tujuh) identitas yang

memungkinkan seseorang masih dapat dikenali. Ketujuh identitas tersebut tidak hanya

(i) nama asli seseorang (legal name), tetapi juga, (ii) alamat seseorang, (iii) susunan

huruf maupun angka yang dapat merujuk pada keberadaan seseorang, (iv) simbol-

simbol tertentu yang dipakai seseorang untuk menggantikan identitas asli dirinya,

seperti nama samaran atau simbol-simbol pengecoh, (v) gaya dan kebiasaan seseorang,

misalnya gaya tulisan maupaun berbicara, (vi) identifikasi berdasarkan kategori sosial,

seperti jenis kelamin, agama, umur, pendidikan, maupun ras), dan (vii) seseorang dapat

dikenali melalui kode-kode yang spesifik (password), artifak (tato, seragam), atau

keterampilan dan pengetahuannya.60

Tanpa nama pun, seseorang masih dapat dikenali

dengan mudah bila identitas lainnya mengemuka.

Penyembunyian identitas mengejar tujuan tertentu, seperti melindungi seseorang

dari ancaman pihak lain, menghindari diskriminasi dan stigmatisasi, melindungi privasi

seseorang, maupun mrmfasilitasi proses komunikasi. Wallace (1999) mengidentifikasi

banyak alasan atau tujuan mengapa anonimitas muncul dan merangkumnya dalam 3

(tiga) kelompok besar sebagai berikut:

“(1) anonymity for sake of furthering action by the anonymous person, or agent

anonymity; (2) anonymity for the sake of preventing or protecting the anonymous person

from actions by others, or recipient anonymity; (3) anonymity for the sake of process, or

process of anonymity.”61

Ketiga tujuan besar itu mengisyaratkan bahwa anonimitas dapat dipakai untuk

memperlancar tindakan seseorang, baik tindakan yang baik, buruk, maupun netral. Hal

ini bisa terjadi karena anonimitas menyebabkan orang lain tidak bisa melacak identitas

orang tersebut dan mencegah tindakannya. Contohnya, akun anonim yang sulit dilacak

59

Lihat David Rohret dan Michael Kraft, “Catch Me if You Can: Cyber Anonymity”, Joint Information Operations Warfare Center (JIOWC), Texas, USA.

60 Gary T. Marx. “What’s in a Name: Some Reflection on the Sociology of Anonymity”, The

Information Society, Forum 15 (2): , 1999. Diunduh dari http://web.mit.edu/gtmarx/www/anon.html pada 3 Februari 2014 pukul 11.00 WIB.

61 Kathleen A. Wallace, op. cit., hlm. 29.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

25

dan telah menyebar virus ke jaringan komputer tertentu. Sementara itu, anonimitas juga

dapat berlaku untuk melindungi seseorang dari tindakan pihak lain. Tindakan ini dapat

berupa ancaman, sindiran, hujatan, gugatan hukum, diskriminasi, atau stigmatisasi.

Contohnya, penyembunyian nama tersangka pelaku kejahatan, korban kejahatan

(terutama anak di bawah umur), dan penderita HIV/AIDS. Anonimitas juga bisa dipakai

untuk mendukung netralitas dan imparsialitas sebuah proses. Misalnya, proses pengisian

lembar jawab tes atau kuesionair atau hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan.

Dalam konteks fenomena media jurnalisme, dua alasan pertama tersebut sangat

relevan. Seorang narasumber yang menginginkan dirinya anonim, bisa membawa

agenda tertentu guna memperlancar pencapaian tujuan atau kepentingannya. Media bisa

saja menginginkan informasi dari sang narasumber untuk kepentingan publik, namun

sang narasumber anonim dapat pula menyelipkan informasi yang menguntungkan

pribadi dan kelompoknya. Dan dengan identitas yang tersembunyi, maka akan semakin

sulit publik (khalayak media) menelusuri keberadaannya. Ketersembunyian identitas

narasumber ini semakin terjamin dengan hak media jurnalisme untuk melindungi

keberadaan narasumber-narasumbernya.

b. Anonimitas, Hukum Media, dan Otonomi Jurnalis

Satu pemahaman penting menyangkut hubungan antara narasumber anonim dan

jurnalis adalah adanya risiko yang harus ditanggung oleh narasumber jika ia membuka

informasi tertentu kepada jurnalis. Risiko itu dapat berupa ancaman keselamatan

narasumber beserta keluarganya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penghambatan

jenjang karier, pengucilan atau pemindahan posisi kerja, serta penurunan atau

pemotongan gaji/pendapatan.62

Orang yang mengetahui atau menyimpan informasi

tentang tindak pelanggaran hukum di suatu institusi publik, misalnya, pasti

mempertimbangkan risiko-risiko di atas jika ia memutuskan untuk membagi informasi

itu kepada jurnalis. Oleh karena itu, untuk meniadakan atau meminimalkan risiko-risiko

itu, seorang narasumber tidak berkenan bila identitasnya ikut dipublikasikan bersama

informasi yang diberikannya.

62

John Huxford dan Maria A. More, “Teaching Journalism Students About Confidential Whistleblower Sources: An Analysis of Introductory News Writing Textbooks”, dalam Journal of College Teaching & Learning, October 2011, Vol. 8, No. 10, hlm. 3.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

26

Pemilihan narasumber peliputan menjadi salah satu patokan objektivitas kerja

jurnalisme. Di saat seorang jurnalis bertemu dengan narasumber yang memiliki

informasi publik yang penting, sensitif dan kontroversial, dan di saat yang sama sang

narasumber tidak ingin identitasnya diketahui publik, maka di saat itulah sang jurnalis

menghadapi kondisi yang sulit. Menurut Andrew Alexander, salah seorang anggota tim

Ombudsman suratkabar The Washington Post, kondisi itu digambarkannya demikian:

Anonymous sources are critical to newsgathering—and to informing readers.

Without a guarantee of confidentiality, many sources wouldn't share sensitive information

on corruption or misconduct. But anonymity can be overused and abused. Sources can

make false or misleading assertions with impunity. Journalists can inflate a source's

reliability or even fabricate his or her existence.63

Narasumber dapat memakai keadaan anonim tersebut dengan pelbagai dalih.

Mulai dari yang serius karena berhubungan dengan keselamatan dirinya, bersembunyi

karena sedang mengritik lawan politiknya, atau hal yang remeh-temeh, misalnya hanya

karena enggan namanya muncul di suratkabar. Howard Kurtz menggambarkannya

secara menarik demikian:

“... Journalists seem more addicted than ever to the elixir of anonymous sources. I'd

be fine with unnamed sources who'd tell us what was really going on at the Minerals

Management Agency while oil companies were allowed to write their own ticket with no

real contingency plans. You know, people who might lose their jobs if they blew the whistle

on wrongdoing—the kind of folks for whom the shield of anonymity was intended. For day-

to-day political potshots, though, it's really become a kind of free pass: Here, say

something snarky about someone who ticks you off and we'll publish it ... In April, a source

was granted anonymity for an inoffensive quote 'because he is reluctant to have his name in

the paper‟.”64

Para reporter, sebagai ujung tombak peliputan dan sekaligus wakil dari pihak

media, berhadapan langsung dengan kondisi tersebut. Mereka-lah yang pertama-tama

melakukan interaksi dan kesepakatan-kesepakatan dengan narasumber beritanya. Dalam

interaksi dan kesepakatan-kesepakatan tersebut, sang reporter dapat saja mengusung

agenda, visi, misi, dan ideologi tertentu medianya. Dan sang narasumber, dapat pula

63

Andrew Alexander, Post Often Ignores Its Own Rules on Anonymous Sources, Washington Post, 16 Agustus 2009, dalam http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/08/14/AR2009081401928.html, hlm. 1, diakses pada 29 April 2013 pukul 09.56 WIB.

64 Howard Kurtz, Don’t Use My Name: The Anonymity Game, Washington Post, 15 Juni 2010,

dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2010/06/15/AR2010061501315.html, hlm. 1-2, diakses pada 29 April 2013 pukul 19.32 WIB.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

27

membawa kepentingan tertentu pula. Maka, berkelindannya kepentingan narasumber

dan media dapat menggandakan potensi pemanfaatan kerja jurnalisme sebagai alat

kepentingan masing-masing. Orientasi kepada kebutuhan publik dapat saja

dinomorduakan.

Di sisi lain lagi, kebutuhan publik terhadap informasi yang objektif dan hasrat

keingintahuannya terhadap seluk-beluk berita semakin berpotensi tereduksi. Di satu titik

tertentu, terlebih pada isu-isu besar dan penting, semacam korupsi, publik tidak bisa

menahan kuriositasnya terhadap identitas narasumber berita yang memberikan

pernyataan-pernyataan kontroversialnya. Namun, justru di sinilah potensi kelindan

kepentingan antara narasumber dan media dapat mencapai puncaknya, yaitu pernyataan

kontroversial dibalut dengan tidak tampilnya identitas narasumber secara utuh. Publik

yang penasaran berkecenderungan untuk terus mengikuti alur berita (menguntungkan

media) dan alur cerita (menguntungkan narasumber).

Secara umum, banyak media membagi kesepakatan alur informasi antara

narasumber dan reporter ke dalam dua tipe, yaitu on the record dan off the record.

Menurut Sheehy, dua tipe lagi ditambahkan oleh kultur media jurnalisme yang hidup di

Washington, Amerika Serikat. Kedua tipe itu adalah background dan deep background.

Dalam penjelasannya, Sheehy mengemukakan bahwa on the record merupakan

kesepakatan yang memperbolehkan jurnalis mempublikasikan informasi dan identitas

narasumber. Sedangkan off the record adalah kesepakatan untuk tidak memublikasikan

baik informasi maupun identitas sang narasumber. Informasi berdasarkan kesepakatan

off the record ini biasanya digunakan narasumber untuk membantu jurnalis semakin

mengenali duduk perkara yang sedang diliput. Atau bisa juga menuntun jurnalis untuk

menemukan narasumber-narasumber lain yang dapat memberikan keterangan lebih

detail secara on the record.

Sementara itu, background adalah kesepakatan bahwa informasi yang diberikan

narasumber dapat dipublikasikan, namun nama narasumber tidak disertakan. Informasi

tetap bisa dipublikasikan dengan menyebutkan identitas narasumber menggunakan

atribut tertentu yang mengarah kepada keberadaannya. Misalnya, „seorang pejabat

kementerian itu‟, „seorang staf instansi tersebut‟, atau „seorang mantan polisi‟.

Sedangkan deep background adalah kesepakatan bahwa informasi yang diberikan

narasumber dapat dipublikasikan, namun identitas narasumber tidak dapat

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

28

dipublikasikan dengan atribusi apapun. Frasa seperti „Washington Post telah

mempelajari bahwa‟ muncul mendampingi informasi yang diberikan narasumber.65

Di Indonesia, kriteria mengenai narasumber anonim belum termuat secara

mendetail, baik dalam undang-undang Pers maupun kode etik-kode etik kewartawanan.

Namun, paling tidak, pengaturan tentang hubungan media pers dengan narasumber

termuat dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 pada pasal 4 ayat 4 yang

berbunyi: “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan

mempunyai Hak Tolak”. Penjelasan undang-undang mengenai ayat tersebut

menyebutkan bahwa tujuan utama Hak Tolak itu adalah agar wartawan atau media

dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan menolak menyebutkan identitas

narasumbernya. Hak ini dapat digunakan oleh wartawan saat dimintai keterangan oleh

pejabat penyidik dan/atau bersaksi di pengadilan.66

Sementara itu, dalam pedoman etik yang dikeluarkan oleh Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) pasal 7 disebutkan bahwa: “Wartawan Indonesia memiliki hak tolak

untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun

keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the

record sesuai dengan kesepakatan.”67

Dalam penafsiran mengenai pasal tersebut,

disebutkan pula arti dari „hak tolak‟, „embargo‟, „informasi latar belakang‟, dan „off the

record‟. Namun, naskah itu tidak menjelaskan secara detail argumen atau alasan apa

yang mendasari, bilamana, dan bagaimana keempat istilah itu dapat diimplementasikan

untuk menjadi pedoman praktis para pekerja media.

Minimnya regulasi menyangkut penggunaan narasumber anonim ini, secara

implisit, memberikan tanggung jawab pengaturannya kepada masing-masing media

pers. Oleh karena itu, kebijakan redaksional tiap-tiap media sangat berpengaruh pada

praktik penggunaan narasumber anonim ini.

65

Simak selengkapnya dalam Michael W. Sheehy, From Watergate to Lewinsky: Unnamed Sources in the Washington Post, 1970-2000, dissertation (Ohio University, 2006), hlm. 35-39.

66 Lihat keterangan selengkapnya di Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999

tentang Pers. Sementara itu, dasar hukum Hak Tolak tersebut juga terdapat pada pasal 50 KUHP dan pasal 170 KUHAP. (Simak Pedoman Dewan Pers Nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik, diunduh dari http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/pedoman/?id=492 pada 3 Juni 2013).

67 “Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)”, dalam

http://ajiindonesia.or.id/read/page/halaman/40/kode-etik.html., diakses pada 7 Juni 2013.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

29

Di Amerika, kondisinya tidak jauh berbeda. Masing-masing media mempunyai

pedoman sendiri mengenai penggunaan narasumber anonim ini. Biasanya, Stylebook

dan Standard Operational Procedure (SOP) mengenai hal itu didasarkan pada

pengalaman media bersangkutan terhadap keuntungan dan kerugian praktik

penggunaannya. Selain pengalaman praktis itu, beberapa kriteria umum dipakai menjadi

kaidah normatif atau acuan awal oleh media-media tersebut. Di antaranya, tujuh kaidah

pemakaian dan pemuatan narasumber anonim dalam berita yang diungkapkan oleh Bill

Kovach dan Tom Rosenstiel berikut, pertama, narasumber berada di lingkaran utama

peristiwa. Kedua, Keselamatan narasumber terancam bila identitasnya dibuka. Ketiga,

motivasi narasumber murni untuk kepentingan publik. Keempat, integritas narasumber

benar-benar diperhatikan. Kelima, atasan memberikan izin. Keenam, narasumber

anonim minimal dua pihak yang independen satu sama lain. Dan ketujuh, perjanjian

penggunaan identitas anonim akan batal bila di kemudian hari keterangan narasumber

tidak sesuai kenyataan atau bohong belaka.68

Hasil investigasi Tempo melalui narasumber anonim—pada latar belakang

masalah penelitian ini—mengingatkan kita pada Bob Woodward dan Carl Bernstein

(1972). Mereka adalah wartawan salah satu suratkabar terkemuka Amerika, The

Washington Post, yang berhasil membuka tabir kecurangan presiden Amerika Ricard

M. Nixon melalui skandal Watergate. Nixon akhirnya mundur dari kursi kepresidenan

karena desakan pelbagai kalangan sebagai buntut pemberitaan itu. Narasumber utama

berita itu anonim. Ia lebih dikenal dengan nama samaran “Deep Throat”. Berita

mengenai skandal Watergate itu dinilai pelbagai kalangan telah membuktikan bahwa

pers Amerika berhasil berperan sebagai the fourth estate. Sejak itu pula, anak-anak

muda Amerika semakin menggandrungi sekolah-sekolah jurnalisme. Prestise jurnalisme

Amerika pun membumbung tinggi pasca kemunduran Nixon. Akibat ikutannya,

intensitas praktik penggunaan narasumber anonim dalam pelbagai pemberitaan media

jurnalisme di Amerika pun semakin tinggi.

Namun, kepercayaan media yang semakin tinggi terhadap narasumber anonim

ini membawa petaka. Salah satu petaka itu, ironisnya, dialami juga oleh The

Washington Post satu dekade setelah Watergate. Kredibilitas suratkabar itu terguncang

68

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Warp Speed (USA: Brookings Institution Press, 1999), hlm. 33-42.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

30

akibat berita yang dibuat oleh Janet Cooke, salah seorang reporter mudanya (1981).69

Berita berseri yang dibuat Cooke itu bercerita mengenai Jimmy, seorang anak berumur

delapan tahun yang kecanduan heroin. Liputan berjudul “Jimmy‟s World” itu

dianugerahi Pulitzer untuk kategori berita features.

Berita tersebut mengguncang publik dan menyebabkan kecemasan di pelbagai

kalangan. Aparat kepolisian dan sebagian publik yang cemas itu mengkritik tajam The

Washington Post karena gagal mengidentifikasi identitas anak itu, sehingga anak itu

sulit untuk diberi bantuan. Para editor The Washington Post pun menekan Cooke untuk

memberikan gambaran identitas yang jelas mengenai Jimmy. Namun Cooke tidak bisa

memberikannya. Belakangan diketahui bahwa kesulitan Cooke membuka identitas

Jimmy karena anak yang bernama Jimmy itu memang tidak ada. Di dalam berita itu,

Cooke terkesan telah melakukan wawancara dengan Jimmy, ibu Jimmy, dan teman dari

ibu Jimmy. Namun akhirnya Cooke mengakui bahwa dia tidak pernah menemui

mereka. Ia mendapat kabar tentang keadaan mereka dari para pekerja sosial dan

sumber-sumber lain.70

Skandal Janet Cooke itu membuat kebijakan redaksional beberapa media

terkemuka Amerika menegaskan kembali peraturan mengenai narasumber anonim. The

Washington Post tidak akan mengeluarkan berita sebelum para redaktur atau pejabat di

bawahnya mengetahui nama dari setiap narasumber anonim yang diajukan reporter. Di

tahun itu pula, Boston Globe mengeluarkan edaran yang mengimbau agar suratkabar itu

menghindari narasumber anonim. Mereka menginginkan nama narasumber, tidak hanya

identitas yang muncul sebagai „sumber‟, „pejabat tinggi‟, „pejabat yang berwenang‟, dan

semacamnya. Kemudian menyusul Los Angeles Times yang menyerukan peperangan

terhadap sindrom pemakaian narasumber anonim itu.71

Secara umum, para redaktur

senior suratkabar di Amerika cenderung menganggap episode skandal Janet Cooke ini

sebagai bukti atau legitimasi bahwa mereka harus memiliki hak untuk melakukan

69

Ironisnya lagi, salah satu editor tulisan Janet Cooke saat itu adalah Bob Woodward. 70

David A. Maraniss, “Post Reporter's Pulitzer Prize Is Withdrawn: Pulitzer Board Withdraws Post Reporter's Prize”, 16 April 1981, dalam http://academics.smcvt.edu/dmindich/Jimmy%27s%20World.htm diakses 29 April 2013.

71 David Shaw, A Provocative Look at How Newspapers Report the News, (New York: Macmillan

Publishing Company, 1984), hlm. 71-72.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

31

kontrol lebih besar dan pengawasan ketat atas pekerjaan para reporter mereka.

Sementara itu, para reporter cenderung untuk menolak sikap tersebut.72

Signifikansi perkara pemuatan atau penolakan pemuatan narasumber anonim ini

digambarkan oleh Hohenberg demikian:

“When New York Times published the Pentagon Papers, with much

classified information on how United States was drawn into the Vietnam War, the

decision was made by the publisher, Arthur Ochs Sulzberger, and the source has

never been given by the newspaper itself despite admissions from Daniel Ellsberg that

provided that materials. Similarly, Katherine Graham, the publisher of The

Washington Post, took the responsibility for her newspaper‟s Watergate disclosure

and the validity of the mysterious “Deep Throat” as a source.”73

Tantangan redaksi sehubungan dengan hal itu adalah sejauh mana mereka

tetap bisa memertahankan status anonim narasumber sembari meyakinkan para pemilik

media dan institusi-institusi sosial di luar media yang berkepentingan dengan hal itu,

misalnya para penyidik dan hakim di pengadilan, bahwa narasumber mereka valid dan

informasi yang diberikannya akurat.

Judith Miller, seorang wartawan The New York Times menolak membuka

identitas narasumbernya di hadapan hakim pengadilan federal Amerika. Kemudian ia

dipenjara karena penolakan itu. Ia dibebaskan saat sudah menjalani hukuman selama 85

hari, setelah sang narasumber anonim membatalkan perjanjian itu. Sehubungan dengan

kasus itu, Miller mengatakan “If journalist cannot be trusted to guarantee

confidentiality, then journalist cannot function and there cannot be a free press.”

Melalui peryataannya itu, Miller ingin menegaskan bahwa freedom of the press di

Amerika berkait erat tidak hanya dengan etika tetapi juga dengan hukum.74

Suratkabar The Washington Post terus menyesuaikan pedoman praktis

penggunaan narasumber anonim mereka, seperti melalui buku pedoman kerja

(Stylebook) awak medianya. Stylebook The Washington Post yang dikeluarkan tahun

1962 mengharuskan para reporternya untuk membuka identitas narasumbernya kepada

salah satu redaktur seniornya. Tercantum di buku pedoman itu bahwa para reporter: “...

72

Jeremy Iggers, Good News, Bad News: Journalism Ethics and the Public Interest (USA: Westview, 1999), hlm. 70.

73 John Hohenberg, The Professional Journalist: A Guide to a Practices and Principles of the News

Media, (USA: Holt, Reinhart, and Winston, 1978), hlm. 103-104. 74

Jason M. Shepard, The Journalist’s Duty to go to Jail: Confidential Sources, Journalism Ethics and Freedom of the Press, dissertation (university of Madison, 2009), hlm. 1.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

32

has the right to, and should, inform his desk and the editors of the event and the source

....”75

Hal itu kemudian diubah di Stylebook tahun 1978 (setelah kasus Watergate).

Buku pedoman itu bahkan tidak mencantumkan perihal tersebut. Namun, The

Washington Post menegaskan bahwa setidaknya harus ada dua narasumber anonim

yang independen satu sama lain. Pada Stylebook tahun 2004, hal mengenai dua

narasumber minimal tersebut dipertahankan. Namun demikian, kewajiban membuka

identitas narasumber kepada redaktur senior berubah lagi. Tepatnya dikatakan di

Stylebook itu bahwa “Editors have an obligation to know the identity of unnamed

sources used in a story, so that editors and reporters can jointly assess the

appropruateness of using them.”76

Kerangka pikir tersebut dapat diringkas melalui skema berikut:

Skema 1.2 Hukum Media & Otonomi Jurnalis

Keterangan panah: (pengaruh atau implementasi peran)

(hubungan timbal-balik, saling membutuhkan)

(hubungan timbal-balik, saling memengaruhi)

75

The Washington Post Policy Guide and Stylebook (1962), 55, dikutip dalam Michael W. Sheehy, “Study Examines Unnamed Source Policies at The Washington Post”, dalam Newspaper Research Journal, Vol. 31, No. 1, Winter 2010, hlm. 86.

76 Ibid., hlm. 88.

Narasumber

Whistleblower

Jurnalis

Media

Jurnalisme Hukum Media

Otonomi Jurnalis

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

33

3. Lobi Politik dan Kepentingan Komersial Media

Di Inggris, setidaknya pada dua dekade terakhir, fungsi watchdog media—yang

telah dibahas pada sub bab sebelumnya—terantuk kritik tajam. Kritik itu berdasar pada

fakta semakin ekspansifnya kegiatan Public Relations (PR), baik dari sektor

pemerintah maupun swasta. PR disinyalir tidak hanya menjadi kekuatan besar penyetir

agenda media, tetapi telah melangkah lebih jauh dengan menjadi pemasok berita utama

yang sering kali disalin mentah-mentah oleh para jurnalis.77

Oscar Gandy menyebut

kondisi ini dengan istilah subsidi informasi. Lebih rinci, pandangan Gandy ini dikutip

Franklin, Lewis, dan Williams demikian: “PR practitioners offer a form of subsidy to

news organisations via press release, press conferences, VNRs (Video News Releases),

press briefings, and lobbying”.78

Salah satu penyebab ketergantungan para jurnalis terhadap PR itu, menurut

Lewis, Williams, dan Franklin, adalah krisis finansial internal media—akibat penurunan

oplah dan pemasukan dari iklan. Krisis itu memaksa media memangkas jumlah para

jurnalisnya. Karena tuntutan deadline tetap sama, para jurnalis cenderung banyak

menggantungkan liputannya pada informasi dari PR yang notabene lebih mudah mereka

kejar dan tidak merepotkan. Hal ini dimantapkan oleh Nick Davies dalam bukunya „Flat

Earth News‟. Menurutnya, selain Kantor Berita, PR adalah salah satu narasumber

penyumbang utama bahan mentah informasi yang dipakai oleh para jurnalis untuk

membuat berita nasional di media mereka.79

Franklin, Lewis, dan Williams menajamkan pendapat mereka itu dengan

mengatakan bahwa:

“... the recent rapid growth in public relations across the 1990s, in tandem with

the statis in the number of journalists engaged in news production, has impacted on

journalists‟ news room practice, transforming them into mere processors rather than

originators of news. This increasingly significant role for PR in shaping news agendas

has triggered what has variously been described as „churnalism‟ (Davies 2008),

„McJournalism‟ (Franklin 2005) and „newszak‟ (Franklin 1997).”80

77

Bob Franklin, Justin Lewis, dan Andrew Williams, “Journalism, News Sources, and Public Relations”, dalam Stuart Allan, The Routledge Companion to News and Journalism (New York: Routledge, 2010), hlm. 202.

78 Ibid., hlm. 204.

79 Ibid., hlm. 202.

80 Ibid., hlm. 202-203.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

34

Ben Bagdikian, seperti dikutip McChesney, mendeteksi ada tiga bias utama yang

melekat pada media Jurnalisme di Amerika. Pertama, ketergantungan pada narasumber

resmi, seperti pegawai pemerintah dan figur publik, serta para ahli/profesional di

pelbagai bidang. Kedua, minim dalam memberitakan peristiwa secara kontekstual,

sampai sebuah peristiwa besar „memaksa‟ media untuk meliputnya atau sampai sumber-

sumber resmi „menetapkan‟nya sebagai sebuah kisah penting. Ketiga, cenderung

menata iklim yang kondusif untuk tujuan komersial pemilik media dan para pengiklan,

serta tujuan politik pelebaran sayap-sayap bisnis.81

Bila diringkas, ketiga hal tersebut

mengindikasikan bahwa segala berita tidak lepas dari ketergantungan media terhadap

narasumber tertentu, kemudahan dan kecepatan mencari informasi sebagai bahan berita,

dan pertimbangan keuntungan yang didapatkan setelah media memberitakannya.

Khusus mengenai hubungannnya dengan pemilihan narasumber berita, bias

pertama dan kedua di atas merupakan „simbiosis mutualisme‟ dengan semakin masifnya

peran PR. McChesney menegaskannya demikian:

“Both of these biases of profesional journalism—official sourcing and the need for

news hook—helped stimulate the birth and rapid rise of the public relations industry. By

providing slick press releases, paid-for “experts”, ostensibly neutral but actually bogus

citizen groups, and canned news events, crafty PR agents can shape the news to suit their

mostly corporate clientele.”82

Alhasil, narasumber berita yang informasinya benar-benar penting untuk publik

tidak mudah didapatkan. Apabila jurnalis menemukan narasumber yang mengaku

memiliki informasi semacam itu, bukan mustahil narasumber itu memiliki kepentingan

tertentu di balik pembeberan informasi itu. Gans menyebutkan bahwa:

“Perhaps the most able sources are organizations that carry out equivalent of

investigative reporting, offer the results of their works as „exclusives‟, and can afford to

do so anonymously, foregoing the rewards of publicity .... The news which the agencies

supply always serves their organizational self-interest in one way or another; journalists

may know this, but in return, they initially secure a monopoly on a sensational story and

can thereby scoop their competitors.”83

Dunia yang sudah semakin dipenuhi oleh pihak-pihak yang memahami media

strategy seperti sekarang ini seakan telah menegaskan bahwa kaitan antara media

jurnalisme dan narasumbernya bersifat timbal balik dan semakin kompleks. Kedua

pihak bisa saling mengejar untuk memenuhi kebutuhan dan agenda masing-masing.

81 Robert W. McChesney, Op. Cit., hlm. 67-77.

82 Robert W. McChesney, Op. Cit., hlm. 71.

83 Herbert J. Gans, Deciding What’s News: A Study of CBS Evening News, NBC Nightly News,

Newsweek, and Time (USA: Northwestern University Press, 2004), hlm. 121.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

35

Gans menggambarkan kondisi tersebut melalui sebuah metafora yang menarik seperti

berikut:

“The relationship between sources and journalist resembles a dance, for

sources seek access to journalist, and journalist seek access to sources. Although it

takes to two tango, either sources to journalist can lead, but more often than not,

sources do the leading. Staff and time being in short supply, journalist actively pursue

only in small number of regular sources who have been available and suitable in the

past, and are passive toward other possible news sources”.84

Pertemuan antara jurnalis dan narasumber memiliki polemik tersendiri dalam

kasus-kasus tertentu. Misalnya, saat reporter bersentuhan dengan isu politik. Wartawan

pasti akan bertemu dengan para politisi. Di era demokrasi, hubungan media-politisi ini

semakin sulit untuk dianalisis. Hal ini digambarkan Blumer dan Gurevich demikian:

“... The process whereby media constructions of political issues are shaped and

produced is subtle and complex. It involves a close interaction between political advocates

and media professionals, in the course of which the two sides may virtually be said to

constitute a subtly composite unity. This is not to say that they merge to form a new unified

whole in which their separate identities are lost. On the contrary, each side to some extent

retains its separate purposes, its distance from the other, and occasionally even its

oppositional stance towards the other. Nevertheless, the political messages which emanate

from the dominant patterns of interaction between the two sides are in a sense traceable to

a composite source. In fact, it would be extremely difficult to detect, within any given

political message, the specific contribution to its shaping that was uniquely made by either

side. They are inextricably intertwined.”85

Kedua entitas yang berada di jantung komunikasi politik ini memiliki kedekatan

khusus dan saling memengaruhi. Para politisi menjadi narasumber yang sangat

menonjol dan hampir tak terelakkan untuk isu-isu politik. Mereka seringkali menjadi

sumber internal atau “orang dalam” dalam kasus-kasus politik tertentu, memberikan

validasi pada informasi politik yang masih ambigu atau kabur, dan sekaligus menjadi

audiens berita media yang dapat memberikan umpan balik yang substantif dan relevan.

Di samping itu, para politisi itu juga membangun keterkenalan atau popularitas

dengan terus berusaha memosisikan diri menjadi narasumber berita. Lewat media,

mereka juga berusaha membangun opini para konstituen, meningkatkan kesadaran dan

dukungan terhadap kebijakan mereka, dan melakukan tes untuk mengetahui reaksi

publik dan pesaing politik mereka terhadap isu-isu tertentu.86

Dalam kadar yang sama,

84

Herbert J. Gans, Ibid., hlm. 116. 85

Lihat Jay G. Blumer dan Michael Gurevitch, The Crisis of Public Communication, (Taylor & Francis e-Library, 2001), hlm. 26.

86 Ibid.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

36

namun konteks yang berbeda, kaitan antara politisi dengan media semacam itu juga

terjadi pada para pebisnis, polisi, pegawai pemerintah, dan para pekerja profesional

lainnya. Hubungan semacam itu memungkinkan para politisi memanfaatkan media

untuk menjadi narasumber kasus khusus, sensitif, dan kontroversial melalui kesepakatan

anonim dengan para reporter.87

Kritik terhadap hubungan media-narasumber ini sudah muncul sejak awal proses

pertalian keduanya, yaitu saat media melakukan pemilihan terhadap narasumber.

Whitney, dkk. (1989) dan Brown, dkk. (1987) menemukan bahwa pegawai

pemerintahan menjadi narasumber yang paling banyak dipilih oleh media, baik cetak

maupun penyiaran. Whitney, dkk. dan Hoynes dan Croteau (1989) mengumunkan

temuan mereka bahwa wanita lebih jarang muncul dalam berita televisi berjaringan. Hal

yang sama juga terjadi pada kelompok-kelompok yang berfokus pada aktivitas advokasi

hak-hak sipil, HAM, dan buruh. Sementara itu, temuan Herman dan Chomsky (1988),

dan Hoynes dan Croteau (1989) menyatakan bahwa pria kulit putih dari institusi-

institusi besar adalah pihak yang paling sering muncul menjadi narasumber.88

Hal ini

menunjukkan bahwa bias dan tawar-menawar kepentingan antara media-narasumber

sudah terjadi sejak awal proses hubungan mereka.89

Kontrol hubungan media-politik, dalam kacamata Graber, McQuail, dan Norris,

mengerucut pada tiga stakeholder utama. Pertama, para pembuat berita (news

producers), termasuk di dalamnya adalah jurnalis, editor, dan pemilik media, kedua,

para aktor politik, dan ketiga publik. Kompleksitas hubungan ketiganya dapat diwakili

oleh pertanyaan-pertanyaan berikut:

87

Simak analisis Denise Rudnicki dalam Denise Rudnicki, “’Insiders Say’: The Use of Unnamed Sources in the Globe and Mail” dalam Canadian Journal of Media Studies. Vol. 2(1).

88 Lihat Lawrence C. Soley. Ibid. Bias pemilihan narasumber ini dapat pula dilihat pada hasil

penelitian Ina Howard yang melakukan identifikasi di stasiun berita ABC, CBS, dan NBC tahun 2001 (seperti dikutip McChesney dalam Robert W. McChesney, The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the 21st Century (New York: Monthly Review Press, 2004), hlm. 70-71).

89 Dari sisi media, menurut Graber, McQuail, dan Norris, ada dua hal yang mendukung kondisi ini.

Lebih jelas mereka menyatakan bahwa: “In Democracies, gatekeeping—the decision of what news will be published and what news will be ignored—and framing news—expressing it in ways that convey particular meanings—are matters of political struggle. The struggle occurs because democracies encourage the expression of diverse views by people whose policy interests and orientations vary widely while leaving it up to them to find venues for expressing their views.” (lihat Graber, McQuail, dan Norris, “Introduction: The Politics of News and Democracies”, dalam Graber, McQuail, dan Norris (eds.), The Politics of News, the News of Politics (Washington, DC, CQ Press: 2008), hlm. 1).

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

37

“Should journalist act as „impartial‟ observers and informers of the public,

functioning like common carriers who accept all legitimate messages and transmit them in

roughly the order in which they were received, or should they take the position of advocacy

that makes journalist direct players in the political game? .... Can government conduct

effective information campaigns through press briefings, officials speaking on the record,

the release or withholding of government documents, or control of journalists‟ access to

government officials? .... Do polls articulate the concerns of citizens, or are they simply

pseudo-news events that distort public opinion and displace real news?”90

Hubungan media-politisi sendiri tidak sederhana. Kadang kala, sebagian

narasumber-narasumber itu memberikan informasi penting yang tidak diketahui oleh

banyak pihak lain. Untuk menjaga eksklusivitasnya, mereka hanya memberikan

informasi tersebut pada media jurnalisme tertentu saja. Lili Levi, dalam bukunya

Dangerous Liaisons: Seduction and Betrayal in Confidential Press-Sources Relations,

mengatakan bahwa informasi rahasia semacam itu dapat bergulir melalui dua kelompok

narasumber, yaitu „sources‟ dan „sourcerer‟. Pendapat tersebut dijelaskan oleh Joseph

W. Ragusa secara menarik demikian:

“Sources are sympathetic whistleblowers, whose main motivation is to „impact true

and important information to oversight bodies or to the press (in an attempt) to enhance

government accountability (and reveal) hidden abuse‟. Sourcerers are „strategically

manipulative leaker(s) .... They consist of politically motivated members of government or

of a political campaign whose information tends to be self serving .... Unlike the pure

wishtleblower, these anonymous sources are thought to be politically savvy. They act with

selfish motives in order to promote their own agendas rather than the public interest. Even

if they believe they are acting to promote public aims, their purpose in talking to the press

„is not so much to pass information along to the public ... (but rather) to use the press, and

ultimately the public, as a means to an end.”91

Kekhawatiran yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Karen Sanders

demikian, “Sources are essential for journalists; at the same time sources have their

own agendas to which they will inevitably seek to enlist a willing reporter.”92

Kaitan

antara media, narasumber dan audiens tidak linier sifatnya. Ia melalui sebuah proses

yang kompleks dan rentan tersisipi kepentingan tersembunyi di antaranya. Dalam hal

ini, Gans juga menyatakan bahwa:

90

Graber, McQuail, dan Norris, ibid., hlm. 4-8. Pihak-pihak yang bisa dimasukkan dalam stakeholder kedua (‘para aktor politik’) di atas adalah “executives, political parties, parliamentary factions, interest and advocacy groups, social movements, individual politicians, and political entrepreneurs” (lihat Barbara Ffetsch, “Government News Management: Institituonal Approaches and Strategies in Three Wertern Democracies Reconsidered”, dalam Graber, McQuail, dan Norris (eds.), The Politics of News, the News of Politics (Washington, DC, CQ Press: 2008), hlm. 71).

91 Lihat Joseph W. Ragusa, "Biting the Hand that Feeds You: The Reporter-Confidential Source

Relationship in the Wake of Cohen v. Cowles," St. John's Law Review (1993): Vol. 67: Iss. 1, Article 6, hlm. 125-143. Dapat diakses di: http://scholarship.law.stjohns.edu/lawreview/vol67/iss1/6

92 Karen Sanders, Ethics and Journalism (London: Sage Publications, 2003), hlm. 107.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

38

“Sources cannot provide information until they make contact with a member of a

news organization; and that organization will choose the sources it considers suitable for

the audience, even as it is chosen by sources who want to transmit information to the

audience .... Power is exercised by all participants in the transmittal of information; it is

also in evidence inside the news organization, which is hierarchically organized.”93

Kepentingan tersembunyi ini dalam praktik jurnalisme kontemporer Amerika

masih marak. Narasumber berlindung di bawah selimut anonimitas. Kasus

„penyerangan‟ oleh narasumber bernama semu Politico terhadap sebuah organisasi

buruh mencuat melalui sebuah suratkabar besar. Politico yang dikenal oleh publik

sebagai „seorang pegawai Gedung Putih senior‟, menyasar organisasi buruh itu dengan

dugaan korupsi besar-besaran. Berita ini mengundang reaksi dari pelbagai pihak di

Amerika. Salah satu tanggapan Glenn Greenwald mengenai kasus itu, dikutip langsung

oleh Kurtz seperti berikut:

“That there is no remote journalistic justification for granting anonymity for these

kinds of catty comments is self-evident, but that‟s not worth discussing, since the

Drudgeified Politico has long ago established that they operate without any ethical

constraints of any kind when it comes to such matters. The only anonymity standard

Politico has is this: we want it automatically the minute someone in power wants it.”94

Dalam konteks media di Indonesia, majalah Tempo juga pernah memiliki

hubungan pelik dengan salah satu narasumber yang dekat dengan kekuasaan. Semasa

Orde Baru, seorang Jenderal bernama L.B. Moerdani yang pernah menjabat sebagai

Panglima ABRI, dikenal dekat dengan sebagian jurnalis Tempo. Tempo sendiri akrab

memanggilnya dengan Benny Moerdani. Kedekatan hubungan antara Tempo-Benny ini

dalam beberapa kasus sempat memunculkan dilema para awak Tempo saat

merekonstruksi peristiwa (termasuk dalam membingkai suatu berita). Dalam beberapa

hal, Tempo meminta pertimbangan Benny mengenai pemuatan kabar-kabar tertentu.

93

Ibid., Hal. 81. 94

Simak Howard Kurtz, Don’t Use My Name: The Anonymity Game, Washington Post, 15 Juni 2010, dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2010/06/15/AR2010061501315.html, hlm. 1, diakses pada 29 April 2013 pukul 19.32 WIB. Berlindungnya kepentingan golongan atau pribadi—dengan menyerang lawan politik atau lawan konflik suatu perkara—di balik anonimitas kerap terjadi. Seperti kasus di atas, berita mengenai sengketa antara keluarga Michael Jackson (MJ) dan pihak yang akan mengeksekusi hunian mewah MJ memancing polemik yang senada (lihat Clark Hoyt, Cloacked Identities, Even With Names, The New York Times Online, 15 Agustus 2009, dalam http://www.nytimes.com/2009/08/16/opinion/16pubed.html?_r=0, diakses 29 April 2013 pukul 13:01 WIB).

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

39

Benny sendiri diyakini telah menjadi salah satu narasumber anonim beridentitas semu

„pejabat‟ saat menjelaskan satu peristiwa konfrontasi antara ABRI dan massa pada

rangkaian peristiwa Tanjung Priok (September 1984)95

, serta tersembunyi pula

identitasnya pada pemberitaan kasus penembakan misterius („petrus‟), antara tahun

1982-1985.96

Martin Aleida, dalam salah satu artikelnya berjudul „Perang di Dalam Tempo‟,

menyebut sikap di atas sebagai buah dari strategi lobi politik Tempo. Dalam bahasa

Aleida, Tempo telah menerapkan strategi yang “kompromistis, penuh pertimbangan,

supaya bisa bertahan hidup”, terutama setelah pembredelan pertamanya pada 1982.

Kritik Aleida terhadap perubahan sikap Tempo tersurat lugas sebagai berikut, “ ... untuk

menjaga agar perahu jangan sampai tenggelam lagi di bawah tekanan gelombang

kekuasaan politik yang zalim ketika itu, majalah berita itu memasang kemudi strategi

yang bernama lobby untuk menakar ke mana arus politik bergerak, supaya bisa

mengelak”.97

Selain lobi politik, di pemerintahan Orde Baru yang otoriter, strategi bertahan

hidup——juga menyelubungi sektor ekonomi. Dalam konteks Tempo, Daniel Dhakidae

menyebut strategi komersial ini sebagai Politics of Commoditization.98

Sebagai

komoditas, Tempo berkonsentrasi pada para pembaca muda berusia antara 21-40 tahun

yang mendominasi hingga 82 persen dari jumlah total pembaca (survei tahun 1985).

Sedangkan berdasar latar belakang pendidikan, Tempo berhasil menggaet pembaca

lulusan universitas dan mahasiswa—termasuk yang dropout—(72 persen), lulusan

Sekolah Menengah Atas (24 persen), dan pembaca yang berpendidikan di bawah itu (4

persen). Pada survei tahun 1987, kenaikan terjadi pada segmen pembaca tertinggi tiap

kategorinya.99

Survei tersebut mengindikasikan bahwa ladang komersial Tempo adalah

masyarakat menengah atas dan para profesional baru di pelbagai bidang keahlian.

95

Lihat Janet Steele, Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), terutama pada bab berjudul ‘Insiden’, hlm. 99-126.

96 Lihat Martin Aleida, “Perang di Dalam Tempo”, dalam Majalah Basis, No. 11-12, tahun ke -54,

November-Desember 2005, hlm. 61-65. 97

Lihat Martin Aleida, dalam ibid., hlm. 62. 98

Daniel Dhakidae, The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry, a dissertation (Cornell University, 1991), hlm. 351.

99 Ibid., hlm. 352-353.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

40

Seiring dengan pertumbuhan bidang periklanan di Indonesia, kesuksesan membangun

loyalitas pembaca itu terus mengalami kenaikan signifikan hingga sebelum dibredel,

awal dekade 1990-an. Oleh karena itu, Tempo melakukan penyesuaian-penyesuaian

ekonomi yang tidak menutup kemungkinan merasuk hingga ruang redaksional.

Mengenai hal ini, Eric Samola, salah satu direktur Tempo saat itu, seperti dikutip

Dhakidae, menyatakan demikian:

“I think the press business is also industry, it should go parallel with other

industry. To my analysis the gained profit is nothing different from the profit gained in the

real estate. Thus, the company should be developed. This also means all levels of

leadership should be involved in their overall thought about the company. An editor should

not be limited in knowledge about the editorial things (hanya mau tahu soal redaksi)

without any single knowledge of finance, for example. We should put an end to this kind of

attitude (tak bisa begitu). We are determined to get back our invested capital (modal harus

kembali).100

Memasuki masa reformasi, setelah Tempo lahir kembali, majalah ini pun

tidak memiliki kesulitan berarti untuk menemukan kembali para pembacanya

yang loyal tersebut. Setahun setelah masa baru itu, Tempo berhasil

mengembalikan jumlah pembacanya seperti sebelum dibredel. Data yang

menggembirakan itu merangsang para pemilik Tempo untuk berinvestasi dengan

mengeluarkan publikasi-publikasi baru dan menyerukan penyesuaian-

penyesuaian, pun dalam bidang redaksional101

—dengan tidak melupakan goresan

luka pengalaman bredel yang meruntuhkan sendi-sendi ekonominya.

Penyajian isu kontroversial melalui berita dapat menjadi tolok ukur

penilaian pembaca dalam memelihara kuriositasnya. Berita yang sensasional,

seperti korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara atau ketua partai

misalnya, akan ditunggu-tunggu oleh pembaca kelas menengah (Tempo).

Penilaian ini akan dilakukan pembaca dari edisi-ke edisi. Oleh karena itu,

„keterlambatan‟ penyajiannya dapat memengaruhi penilaian tersebut. Berita yang

sangat memenuhi kebutuhan pembaca (baca: pasar) tersebut tak pelak lagi akan

100

Ibid., hlm. 353-354. 101

Setelah lahir kembali tahun 1998, dengan dalih ‘pelajaran berharga dari saat diberedel penguasa’, Tempo pun berekspansi dengan mengeluarkan ‘perahu-perahu’ baru membidik segmen pembaca yang berlainan. ‘Perahu-perahu baru yang dimaksud adalah Tempo English Edition, Koran Tempo, majalah gaya hidup pria U-Mag, majalah perjalanan Travelounge, dan Tempo TV (lihat Tim Buku Tempo, Cerita di Balik Dapur Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), hlm. 107-112).

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

41

mendapat perhatian khusus dalam debat di ruang redaksi, sekalipun berita tersebut

bertabur informasi-informasi dari narasumber anonim.

Penjelasan kerangka pikir di atas dapat diringkas melalui skema berikut:

Skema 1.3 Lobi Politik & Kepentingan Komersial Media

Keterangan panah: pengaruh atau implementasi peran

hubungan timbal-balik, saling membutuhkan

hubungan timbal-balik, saling memengaruhi

4. Kebijakan Redaksional: Story Selection

Pada dasarnya, seperti telah tersirat dalam pemaparan di atas, berita adalah

produk kerja jurnalisme. Di dalam sebuah media pers—yang mengutamakan berita

sebagai produknya, kerja jurnalisme tersebut bertumpu pada kebijakan redaksional.

Kebijakan redaksional adalah ruh dan pedoman bagi redaksi dan jurnalis dalam

melaksanakan tugas-tugas mereka sebagai pekerja jurnalisme. Kebijakan redaksional

inilah yang menentukan seluk-beluk kerja jurnalisme, seperti: pemilihan isu yang akan

diliput, sudut pandang peliputan, penugasan jurnalis, format penulisan berita, dan—

tidak terkecuali—praktik pemilihan dan penggunaan narasumber.

Salah satu titik debat yang dapat mewakili singgungan antara kebijakan

redaksional dan signifikansi penelitian ini adalah proses pemilihan berita (story

selection). Proses tersebut melibatkan beberapa konsep penting yang dapat menambah

kemungkinan penjelasan penelitian ini. Konsep tersebut berkaitan dengan

pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan oleh media jurnalisme untuk

Narasumber

Whistleblower

Jurnalis

Media

Jurnalisme

Lobi Politik

Kepentingan

Komersial

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

42

menentukan kebijakan redaksionalnya, termasuk di antaranya pertimbangan mengenai

nilai berita, khalayak, aspek komersial, politik dan kompleksitas hubungan antara

jurnalis dan narasumbernya.

Untuk menjabarkan mekanisme kebijakan redaksional media jurnalisme melalui

konsep pemilihan berita ini, peneliti meminjam pendekatan Herbert J. Gans (2004).

Gans memandang bahwa proses pemilihan berita sangat ditentukan oleh dua hal,

pertama, availability atau tingkat ketersediaan informasi/bahan berita (berhubungan erat

narasumber). Dan kedua, suitability atau tingkat kelayakan/kecocokan berita

(berhubungan erat dengan audiens). Kedua hal di atas sangat ditentukan oleh

pertimbangan-pertimbangan berikut, (i) source considerations, (ii) substantive

considerations, (iii) product considerations, (iv) value considerations, (v) commercial

considerations, (vi) audiens considerations, dan (vii) political consideration.102

Penjabaran ketujuh hal tersebut akan mendasari pemahaman konsep Gans (2004)

mengenai kebijakan redaksional melalui proses story selection.103

Pertama, source considerations yang mencakup source availability

(pemeliharaan akses timbal balik antara jurnalis dan narasumber), dan source suitability

(kelayakan informasi yang diberikan narasumber-narasumber yang ada). Source

availability ditentukan oleh dorongan narasumber saat berhubungan dengan media,

akses narasumber terhadap kekuasaan (power), kemampuan/keahlian narasumber dalam

memasok berita, dan kedekatan narasumber dengan media baik secara geografis

maupun sosial. Sedangkan source suitability ditentukan oleh kelayakan informasi yang

diberikan narasumber waktu lalu, produktivitas pasokan informasi, tingkat kepercayaan

yang dibangun narasumber, posisi/jabatan narasumber, dan artikulasi narasumber.

Kedua, substantive considerations yang dapat dinilai dari dua segi, yaitu

„penting‟ (important) dan „menarik‟ (interesting). Informasi menjadi semakin penting

bila berasal dari level tinggi dalam hierarki lembaga pemerintah atau swasta, berdampak

pada kepentingan bangsa dan berskala nasional, semakin banyak orang yang terlibat dan

terpengaruh, dan berhubungan erat dengan sejarah sekaligus masa depan masyarakat.

Sementara itu, informasi yang tergolong menarik adalah informasi yang behubungan

102

Herbert J. Gans, Deciding What’s News: A Study of CBS Evening News, NBC Nightly News, Newsweek, and Time (USA: Northwestern University Press, 2004), hlm. 81-82.

103 Penjelasan konsep story selection ini diambil dari pemikiran Gans dalam Herbert J. Gans, ibid.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

43

sisi-sisi manusiawi seseorang, peristiwa yang menyentuh perasaan atau mengundang

empati, kisah-kisah yang mengundang anekdot, kisah kepahlawanan seseorang, dan

peristiwa yang tidak biasa terjadi dan bisa menimbulkan keterkejutan banyak orang.

Ketiga, product considerations yang merujuk pada pertimbangan tipe dan

format media jurnalisme. Berita yang penting dan menarik tetap harus disesuaikan

dengan tipe media yang akan digunakan untuk mempresentasikannya. Perlakuan

berbeda akan diterapkan terhadap satu berita yang sama untuk televisi dan majalah.

Berita yang sisi important-nya berada di level terbawah, maka pertimbangan tipe dan

format berita ini menjadi mengemuka. Format pemberitaan menjadi ciri khas masing-

masing media jurnalisme. Hal ini dapat berhungan dengan kenyamanan audiens dalam

menikmati berita yang tersaji dan loyalitas mereka dalam mengakses media

bersangkutan. Singgungan dengan satu atau lebih kompetitor dalam satu tipe media

yang sama menjadi pertimbangan khusus pula.

Keempat, value considerations yang merujuk pada nilai bawaan jurnalisme.

Nilai-nilai, seperti objektivitas misalnya, menjadi pedoman bagi jurnalis untuk

menentukan pilihan beritanya. Nilai ini menjadi salah satu pegangan media jurnalisme

untuk memelihara profesionalitas kerja para jurnalis dan kebijakan ruang redaksinya.

Debat seputar nilai ini mengamuka tatkala pertanyana menganai dari mana asal muasal

nilai tersebut hingga dapat menjadi pedoman kerja dan kebijakan sebuah media

jurnalisme. Titik kulminasi debat tersebut terletak pada pertanyaan: apakah nilai

tersebut murni terbangun secara profesional ataukah muncul karena pengaruh dan

desakan nilai dari institusi-institusi lain.

Kelima, commercial consideration yang berhubungan erat dengan perampingan

(cost cutting) biaya pemilihan dan produksi berita dan peningkatan pendapatan

(increase income) perusahaan melalui perhatian audiens dan pengiklan. Pertimbangan

perampingan ini memerlukan kebijakan khusus tatkala berhubungan dengan informasi-

informasi eksklusif dan breaking news. Bertambahnya biaya secara mencolok dapat

ditoleransi apabila informasi yang didapatkan dianggap dapat memenangi persaingan

dengan media lain. Debat mengenai peningkatan pendapatan melalui pemilihan berita di

ruang redaksi bertumpu pada tarik-menarik antara kebutuhan redaksi dengan

kepentingan bisnis media. Pilihan cenderung jatuh pada informasi yang bisa mendukung

dan mendongkrak keduanya.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

44

Keenam, audiens considerations yang berkaitan dengan informasi yang dapat

menarik (attract) bagi audiens dan mampu melindungi (protect) audiens dari hal-hal

yang membuat mereka menjauh atau menolak berita. Informasi yang dapat menarik

audiens menyuguhkan kisah pengundang identifikasi diri audiens terhadap aspek-aspek

yang ada di dalamnya, seperti identifikasi terhadap berita kepahlawanan, penjahat,

maupun korban. Pertimbangan lain adalah informasi yang menyuguhkan data-data yang

dapat membantu audiens mengurangi kebingungannya mengenai fanomena tertentu,

namun data-data tersebut dipresentasikan secara proporsional sehingga justru tidak

membebani audiens.

Ketujuh, political considerations. Pertimbangan ini berkait dengan informasi

yang mengandung desakan-desakan dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan

kekuasaan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, secara eksplisit Gans menyebutnya

demikian,

“Story selection and production is, therefore, a power struggle over what

messages enter the symbolic arena. Most of the time, the power struggle is covert, for it is

built in to news judgement; but it becomes overt when unhappy sources, audiences, and

others express their displeasure with the outcome of news judgements.”104

Desakan atau tekanan terhadap kebijakan media jurnalisme tersebut dapat

berasal dari pemangku kepentingan bisnis seperti para pengiklan dan pemilik jaringan

media, pun bisa berasal dari pemegang kekuasaan politik seperti pemerintah, serta

kelompok-kelompok kepentingan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan

organisasi-organisasi profesi kewartawanan.

Penelitian ini mengadopsi pemikiran Gans mengenai story selection tersebut

untuk menambah kemungkinan penjelasan mengenai kebijakan redaksional sebuah

media jurnalisme. Konsep ini diharapkan dapat membantu menguraikan kompleksnya

pertimbangan sebuah media jurnalisme dalam menentukan kebijakannya, terutama

berhubungan dengan narasumber anonim. Saling kait antara pertimbangan satu dengan

pertimbangan yang lain, seperti dijelaskan oleh Gans sendiri, merupakan cermin

tingginya dinamika proses kebijakan redaksional media jurnalisme sebagai sebuah

institusi sosial.

104

Ibid., hlm. 249-250.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

45

Sketsa pemikiran di atas dapat dilihat melalui skema berikut:

Skema 1.4 Kebijakan Redaksional Media Jurnalisme

(adaptasi pendekatan Herbert J. Gans mengenai Story Selection)

***

Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa kebijakan redaksional media

jurnalisme menjadi titik sentral debat penggunaan narasumber anonim. Pelbagai

kemungkinan penjelasan di atas diharapkan dapat membantu peneliti dalam

menguraikan dinamika kebijakan redaksional majalah Tempo dalam kaitan khusus

dengan narasumber anonimnya. Kebijakan redaksional ini menjadi ruh Tempo dalam

berhubungan dengan narsumber anonim mulai dari hulu hingga hilir. Dan dapat

berimplikasi pada kuat-lemahnya kredibilitas Tempo.

Dalam konteks penggunaan narasumber anonim ini, penjagaan terhadap

kredibilitas media di mata publiknya menjadikan problem transparansi mendapatkan

perhatian khusus. Media jurnalisme yang melakukan liputan-liputan investigasi

memerlukan jembatan yang dapat menghubungkan antara pemberitaan informasi

rahasia dengan penjagaan kepercayaan publik terhadap narasumber anonim yang

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

46

mereka gunakan. Hal ini kemudian memunculkan beberapa pola pemuatan narasumber

anonim itu.

Culbertson mengemukakan beberapa pola pemuatan narasumber anonim untuk

menjaga transparansi sebagai berikut105

: pertama, media pers harus membuka sebanyak

mungkin informasi mengenai motivasi narasumber dalam mengungkapkan

pernyatannya. Kedua, mengemukakan kemungkinan bias dari pernyataan narasumber.

Ketiga, menjelaskan keahlian yang dimiliki oleh narasumber. Keempat, proses

kesepakatan penggunaan anonim antara jurnalis dan narasumber. Kelima, alasan

jurnalis memilihnya sebagai narasumber. Dan keenam, sejauh mana jurnalis telah

memverifikasi penyataan narasumber.

Kiranya, seluruh sketsa pemikiran di atas dapat diringkas dalam skema berikut:

Skema 1.5 Kebijakan Redaksional & Narasumber Anonim

Keterangan panah: pengaruh atau implementasi kebijakan

105

Hugh M. Culbertson, Book Review of “On the Condition of Anonymity: Unnamed Sources and Journalistic Authority” by Matt Carlson (Urbana, IL: University of Illinois Press, 2011), dalam Journalism & Mass Communication Quarterly 89 (1).

Kebijakan

Redaksional

Idealisme Media

Lobi Politik &

Kepentingan

Komersial Media

Hukum Media &

Otonomi Jurnalis

Pola Penggunaan

Narasumber Anonim

Pola Penggunaan

Narasumber Anonim

Pola Penggunaan

Narasumber Anonim

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

47

H. Metodologi Penelitian

Metode utama tesis ini adalah studi kasus. Namun, untuk mendapatkan data

pendukung, peneliti menerapkan metode analisis isi untuk mendedah teks berita majalah

Tempo pada tahap pre-research.

1. Metode Penelitian

Pisau analisis utama yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus.

Sebuah fenomena unik, spesifik, dan kontemporer yang terjadi atau dialami oleh sebuah

institusi dapat menjadi kasus yang dimaksud. Metode ini diandalkan oleh penulis untuk

mendapatkan jawaban menyeluruh atas kasus yang terjadi pada kebijakan redaksional

majalah Tempo. Konteks permasalahan, setting, dan penyusunan bukti-bukti yang

merujuk pada fakta yang terjadi saat pembentukan kebijakan diharapkan dapat

terungkap.106

Desain studi kasus yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah desain studi

instrinsik. Alasannya adalah studi ini akan mengelaborasi suatu kasus khusus mengenai

satu topik khusus pada satu organisasi media dalam konteks perkembangannya yang

khusus pula. Sehingga hasil analisis studi ini sulit untuk digeneralisasikan pada kasus-

kasus lain.107

Sementara itu, tipe studi kasus yang akan dipakai adalah tipe deskriptif. Tipe

studi ini memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena secara lengkap

dan komprehensif beserta konteks permasalahan yang melingkupinya.108

2. Pengumpulan Data

Tiga hal yang menjadi pijakan pokok dalam pengambilan data menurut metode

studi kasus adalah analisis dokumen/literatur, wawancara mendalam, dan observasi

lapangan.109

Penjabaran ketiganya adalah sebagai berikut:

106

Simak Bill Gillham, Case Study Research Methods (London: Continuum, 2000), hlm. 1-2. 107

Dawson R. Hancock & Bob Algozzine, Doing Case Study Research: A Practical Guide for Beginning Researchers (New York: Teachers College Press, 2006), hlm. 33.

108 Ibid., hlm. 33-34.

109 Di samping itu, untuk mendapatkan data pendukung, sebagai pre-research, peneliti juga akan

melakukan analisis isi terhadap teks berita majalah Tempo. Rincian penjelasannya akan dijabarkan setelah penjelasan mengenai metode ‘Studi Kasus’ ini.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

48

a. Analisis Dokumen/Literatur

Dokumen lain tentang kebijakan redaksional dalam bentuk Stylebook, Standard

Operational Procedure (SOP), memo-memo khusus, dan dokumen Ombudsmen Tempo

yang langsung berkaitan atau membahas masalah narasumber anonim akan menjadi

objek analisis selanjutnya. Selain itu, analisis juga akan dilakukan terhadap literatur

khusus yang diproduksi oleh awak kerja Tempo, baik yang dipublikasikan maupun

tidak, seperti artikel maupun buku-buku yang berkaitan erat dengan keberadaan

organisasi Tempo.

Analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut diharapkan dapat melengkapi

hasil analisis isi terhadap berita Tempo—yang penjelasan detailnya akan dipaparkan

setelah bagian ini. Sebagai bukti tertulis, dokumen-dokumen tersebut akan sangat

berguna untuk menggambarkan dinamika perubahan kebijakan redaksional Tempo

menyangkut penggunaan narasumber anonim.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara akan dilakukan terhadap pejabat redaksi, seperti pemimpin redaksi,

redaktur senior, redaktur eksekutif, redaktur pelaksana, serta anggota redaksi lain yang

berwenang saat kebijakan dibuat akan memberikan gambaran terang pembentukan

kebijakan yang bersangkutan.

Wawancara juga akan dilakukan terhadap wartawan-wartawan bersangkutan

yang pernah melakukan praktik empiris penggunaan narasumber anonim dan sekaligus

person yang terikat dengan Stylebook, SOP, memo-memo, dan keputusan Ombudsmen

Tempo yang telah dibuat menyangkut hal tersebut.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan dari studi dokumen/literatur dan wawancara akan

menjalani dua perlakuan. Pertama, reduksi. Seluruh data yang telah masuk akan

direduksi untuk menghasilkan data terpilih yang berkait erat atau relevan dengan

pertanyaan penelitian. Kedua, kategorisasi. Data terpilih tersebut akan diseleksi dan

dikategorisasikan supaya lebih memudahkan peneliti untuk melakukan verifikasi. Hasil

verifikasi ini diharapkan dapat menjadi kumpulan data kualitatif yang siap dianalisis.

Pengkategorisasian data itu dilakukan berdasarkan variabel-variabel yang menentukan

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

49

kebijakan redaksional, misalnya benturan antara praktik empiris dan kebijakan normatif

organisasi Tempo.

Tahap analisis akan menginterpretasikan data yang telah dikategorisasikan.

Interpretasi tersebut dilakukan dengan bantuan teori dan konseptualisasi menuju fokus

terhadap jawaban pertanyaan penelitian. Selanjutnya, hasil analisis tersebut akan

diterjemahkan dalam bentuk deskripsi melalui tulisan.

4. Metode Pendukung untuk Pengumpulan Data

Selain studi kasus, penelitian ini juga akan menggunakan metode analisis isi

untuk membantu mengumpulkan dan memetakan data pendukung. Pisau analisis kedua

ini akan dipakai pada tahap awal penelitian guna memeroleh gambaran umum mengenai

frekuensi dan pola distribusi pemuatan narasumber anonim pada teks berita Tempo. Hal

ini penting untuk dilakukan mengingat teks berita tersebut adalah salah satu produk

akhir sebuah kebijakan redaksional media yang langsung berhubungan dengan khalayak

secara periodik (dari edisi-ke edisi).

Analisis Teks Berita Tempo

Analisis isi akan dilakukan terhadap teks berita pada rubrik Laporan Utama

Tempo periode Januari 2011 hingga Oktober 2013. Analisis ini digunakan untuk

mengetahui frekuensi dan pola penggunaan narasumber anonim di majalah Tempo

sehubungan sehubungan dengan kasus-kasus korupsi. Dalam seluruh rangkaian

penelitian, analisis terhadap teks berita Tempo ini merupakan tahap pre-research.

Analisis ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui dinamika kebijakan redaksional

Tempo yang termanifestasikan di dalam teks berita yang dipublikasikan secara berkala

(dari edisi-ke edisi). Teks berita yang manifes tersebut diharapkan dapat

mengungkapkan peta distribusi penggunaan narasumber anonim oleh Tempo. Hasilnya

diharapkan dapat digunakan oleh peneliti sebagai modal untuk mendukung tahap

penelitian selanjutnya.

Frekuensi penggunaan narasumber anonim akan diperoleh melalui

perbandingan kemunculan narasumber anonim dengan narasumber-narasumber lain

yang beridentitas jelas. Sedangkan pola distribusi pemuatan narasumber anonim akan

diperoleh setelah mengetahui frekuensi pemuatan narasumber anonim berdasarkan tipe

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

50

narasumber background dan deep background seperti yang diungkapkan oleh Michael

W. Sheehy pada definisi konseptual di bawah. Sementara itu, pendekatan yang akan

dipakai dalam analisis teks berita ini adalah pendekatan kuantitatif.

(1) Populasi

Satuan yang diteliti secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah majalah

Tempo. Wilayah kajiannya adalah rubrik Laporan Utama majalah tersebut. Dan periode

waktu yang dipilih adalah majalah Tempo yang terbit antara Januari 2011 hingga

Oktober 2013.

(2) Sampling

Peneliti akan melakukan analisis isi terhadap teks berita-berita Tempo bertema

kasus korupsi yang termasuk dalam wilayah kajian dan periode waktu yang telah

ditetapkan di atas.

(3) Definisi Konseptual

Pertemuan antara jurnalis dan narasumbernya memunculkan beberapa tipe

kesepakatan mengenai pemuatan informasi yang diberikan narasumber dan identitas

narasumber itu sendiri. Secara umum, banyak media membaginya ke dalam dua tipe,

yaitu on the record dan off the record. Menurut Sheehy, dua tipe lagi ditambahkan oleh

kultur media jurnalisme yang hidup di Washington, Amerika Serikat. Kedua tipe itu

adalah background dan deep background.110

Dalam penjelasannya, Sheehy mengemukakan bahwa on the record merupakan

kesepakatan yang memerbolehkan jurnalis memublikasikan informasi dan identitas

narasumber. Sedangkan off the record adalah kesepakatan untuk tidak memublikasikan

baik informasi maupun identitas sang narasumber. Informasi berdasarkan kesepakatan

off the record ini biasanya digunakan narasumber untuk membantu jurnalis semakin

mengenali duduk perkara yang sedang ia liput. Atau bisa juga menuntun jurnalis untuk

menemukan narasumber-narasumber lain yang dapat memberikan keterangan lebih

detail secara on the record.

110

Michael W. Sheehy, From Watergate to Lewinsky: Unnamed Sources in the Washington Post, 1970-2000, dissertation (Ohio University, 2006), hlm. 35-36.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

51

Sementara itu, background adalah kesepakatan bahwa informasi yang

diberikan narasumber dapat dipublikasikan, namun nama narasumber tidak disertakan.

Informasi tetap bisa dipublikasikan dengan menyebutkan identitas narasumber

menggunakan atribut tertentu yang mengarah kepada keberadaannya. Misalnya,

„seorang pejabat kementerian itu‟, „seorang staf instansi tersebut‟, atau „seorang mantan

polisi‟. Sedangkan deep background adalah kesepakatan bahwa informasi yang

diberikan narasumber dapat dipublikasikan, namun identitas narasumber tidak dapat

dipublikasikan. Frasa seperti „Washington Post telah memelajari bahwa‟ muncul

mendampingi informasi yang diberikan narasumber.111

Menurut pengamatan sementara

peneliti, tipe narasumber berdasarkan kesepakatan yang muncul tanpa atribut yang

mengarah pada identitas narasumber sama sekali, seperti „sumber‟, „sumber terpercaya‟,

dan „sumber yang tidak mau disebut identitasnya‟, termasuk di dalamnya.

(4) Definisi Operasional

Definisi operasional seharusnya memuat penjelasan mengenai konsep-konsep

kunci di skema 1.5. Sementara, definisi operasional di sini dimaksudkan untuk

memberikan penjelasan mengenai operasionalisasi konsep-konsep unit analisis isi di

atas untuk kebutuhan pre-research. Oleh karena itu, beberapa penjelasan berikut

diharapkan dapat membantu peneliti untuk menguantifikasikan kemunculan indikator-

indikator unit analisis di atas dalam unit terkecil berupa „kata‟ atau „frasa‟.

(i) Narasumber anonim ‘Tanpa Atribut’

Hal ini adalah tipe pemuatan identitas narasumber anonim paling minim.

Maksudnya, media bersangkutan hampir tidak membuka sama sekali petunjuk, atribut,

atau keterangan lain yang dapat mengarahkan publik media untuk dapat menerka

keberadaan dan/atau kredibilitas narasumber yang dimaksud. Tipe pemuatan ini dapat

muncul dalam frasa seperti: „sumber‟, „sumber Tempo‟, „sumber lain‟, „sumber-sumber

Tempo yang lain‟, „seorang sumber‟, „sumber yang dapat dipercaya‟, „sumber lain yang

tidak mau disebut namanya‟, dan semacamnya.

111

Ibid., hlm. 36-39.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

52

(ii) Narasumber anonim ‘Dengan Atribut’

Hal ini adalah tipe pemuatan narasumber anonim dengan menggunakan

petunjuk, atribut, atau keterangan tambahan yang dapat membantu pembaca menerka

keberadaan dan/atau kredibilitas narasumber bersangkutan. Petunjuk, atribut, atau

keterangan tambahan itu dapat berupa informasi mengenai posisi narasumber dalam

sebuah peristiwa (misalnya: saksi mata, pelaku, korban, tersangka), profesi (misalnya:

dokter, apoteker, akademisi, polisi, pengacara, hakim, jaksa), jabatan (misalnya:

presiden direktur, bendahara, sekretaris, menteri, lurah, camat), maupun atribut fisik

yang dipakai narasumber (misalnya: topi, baju, sepatu, ikat kepala, kacamata), dan lain-

lain. Tipe pemuatan ini dapat muncul dalam frasa seperti: „salah satu saksi mata‟, „salah

seorang pegawai sekretaris jenderal yang mendampingi penggeledahan‟, „seorang

mantan anggota dewan‟, „petugas keamanan dan resepsionis kantor‟, „seorang advocat‟,

„seorang pria berjenggot dan berpakaian gamis‟, dan semacamnya.

(iii) Formal information channel

Narasumber yang termasuk dalam tipe ini adalah sumber-sumber formal

pemerintah, seperti pejabat dan staf instansi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,

kepolisian, militer, dan lain-lain, baik yang berada di lingkup nasional maupun daerah.

(iv) First-hand reports

Narasumber yang termasuk dalam tipe ini adalah sumber-sumber yang terlibat

langsung dengan peristiwa, seperti saksi mata, pelaku, korban, tersangka, dan lain-lain.

(v) Enterprise

Narasumber yang termasuk dalam tipe ini adalah para pemimpin, pejabat, staf,

aktivis, pengusaha, akademisi, dan lain-lain yang instansi atau lembaganya berada di

luar instansi atau lembaga pemerintah seperti tersebut di atas.

(5) Unit Recording dan Unit Analisis

Berdasarkan penjelasan di atas, unit recording dan unit analisis teks berita

Tempo yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

53

A. Unit Recording:

Item berita dalam Rubrik Laporan Utama kasus korupsi

B. Unit Analisis:

B.1. Lokus Korupsi

B.1.a. Legislatif

B.1.b. Eksekutif

B.1.c. Yudikatif

B.1.d. BUMN

B.1.e. Komisi/Lembaga Independen

B.2. Level Kelembagaan

A.2.a. Nasional

A.2.b. Daerah

B.3. Pelaku Korupsi

B.3.a. Pejabat publik

B.3.b. Non-pejabat Publik

B.4. Narasumber

B.4.a. Anonim

B.4.a.i. Anonim „Tanpa Atribut‟

B.4.a.ii. Anonim „Dengan Atribut‟

B.4.b. Beridentitas jelas

B.4.b.i. Formal information channel

B.4.b.ii. Firts-hand reports

B.4.b.iii. Enterprise

(6) Analisis dan Pengolahan Data

Frekuensi pemuatan narasumber, baik anonim maupun beridentitas jelas, tidak

dihitung berdasarkan banyaknya pernyataan yang dikutip oleh Tempo. Maksudnya,

dalam satu rubrik Laporan Utama, kemunculan seorang narasumber tetap akan dihitung

satu kali walaupun pernyataan-pernyataannya dikutip oleh Tempo lebih dari satu kali.

Banyak atau sedikitnya kutipan tidak relevan untuk masuk dalam hitungan sebab,

menurut pengamatan sementara peneliti, pemuatan seorang narasumber anonim berlaku

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68800/potongan/S2-2014... · fase transformasi yang menegangkan sejak krisis ekonomi regional pada

54

untuk semua pernyataannya dalam satu item berita.

Hasil pre-research di atas diharapkan dapat memudahkan peneliti untuk

melangkah ke tahap penelitian selanjutnya melalui pisau analisis utama, yaitu studi

kasus.

Pengolahan data tahap pertama akan dilakukan pada data yang diperoleh dari

analisis isi terhadap berita Tempo ini. Data yang diperoleh dari hasil analisis isi tersebut

akan dianalisis lebih dulu sampai pada tahap interpretasi terhadapnya. Hasilnya tidak

hanya akan diperlakukan oleh peneliti sebagai data penunjang dan sumber pelengkap

interview guide, tetapi diperlakukan juga untuk diolah bersama data-data lain.[]