34
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yugoslavia pada tahun 1991 merupakan negara yang terdiri dari 23 juta penduduk dari etnis yang berbeda-beda. Yugoslavia terdiri dari enam daerah republik yang semi otonom dan salah satunya adalah Bosnia-Herzegovina yang sejak April 1992 diakui oleh Komunitas Eropa dan Amerika Serikat sebagai negara independen. Pengakuan ini diikuti oleh hampir delapan puluh komunitas internasional lainnya. Nama Bosnia-Herzegovina sendiri berasal dari penggabungan dua propinsi yaitu Herzegovina dan Bosnia. Jumlah penduduk Bosnia-Herzegovina adalah 4,53 juta yang terdiri dari 43,7 persen Slavic Muslims, 31,3 persen Etnis Serbia dan 17,3 persennya Etnis Kroasia. Kelompok etnis yang berbeda-beda ini semuanya saling bercampur, walaupun di beberapa wilayah tertentu, satu jenis etnis merupakan mayoritas dibandingkan dengan etnis lainnya. Etnis Muslim merupakan etnis yang dominan pada bagian paling ujung di Barat Daya Bosnia dan di bagian Timur Bosnia. Pada daerah sebagian besar Barat Daya Bosnia dan sebagian wilayah timur Bosnia didominasi oleh mayoritas etnis Serbia. Pada bagian Barat Bosnia didominasi oleh mayoritas etnis Kroasia. Pada bagian Tengah Bosnia, ketiga etnis ini hidup secara berdampingan. 1 Menjelang pemilihan umum multi partai yang diadakan di Bosnia- Herzegovina pada akhir tahun 1990, tiga partai politik muncul sebagai 1 Lihat Helsinki Watch, 1992, War Crimes in Bosnia-Herzegovina, Human Rights Watch, United States of America, hlm.7 PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINA SAFIQ MUHAMMADIN Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66957/potongan/S1-2013-155960... · Timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional didasarkan

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Yugoslavia pada tahun 1991 merupakan negara yang terdiri dari 23 juta

penduduk dari etnis yang berbeda-beda. Yugoslavia terdiri dari enam daerah

republik yang semi otonom dan salah satunya adalah Bosnia-Herzegovina yang

sejak April 1992 diakui oleh Komunitas Eropa dan Amerika Serikat sebagai

negara independen. Pengakuan ini diikuti oleh hampir delapan puluh komunitas

internasional lainnya. Nama Bosnia-Herzegovina sendiri berasal dari

penggabungan dua propinsi yaitu Herzegovina dan Bosnia. Jumlah penduduk

Bosnia-Herzegovina adalah 4,53 juta yang terdiri dari 43,7 persen Slavic

Muslims, 31,3 persen Etnis Serbia dan 17,3 persennya Etnis Kroasia. Kelompok

etnis yang berbeda-beda ini semuanya saling bercampur, walaupun di beberapa

wilayah tertentu, satu jenis etnis merupakan mayoritas dibandingkan dengan etnis

lainnya. Etnis Muslim merupakan etnis yang dominan pada bagian paling ujung

di Barat Daya Bosnia dan di bagian Timur Bosnia. Pada daerah sebagian besar

Barat Daya Bosnia dan sebagian wilayah timur Bosnia didominasi oleh mayoritas

etnis Serbia. Pada bagian Barat Bosnia didominasi oleh mayoritas etnis Kroasia.

Pada bagian Tengah Bosnia, ketiga etnis ini hidup secara berdampingan.1

Menjelang pemilihan umum multi partai yang diadakan di Bosnia-

Herzegovina pada akhir tahun 1990, tiga partai politik muncul sebagai

1 Lihat Helsinki Watch, 1992, War Crimes in Bosnia-Herzegovina, Human Rights Watch, United

States of America, hlm.7

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

perwakilan dari beragam kelompok etnis yang ada di Bosnia-Herzegovina. Tiga

partai politik tersebut mewakili etnis Muslim Bosnia, etnis Serbia dan etnis

Kroasia. Walaupun mendapat tentangan etnis Serbia, perwakilan etnis Muslim

Bosnia dan etnis Kroasia yang berada di dalam Parlemen Bosnia-Herzegovina

mendeklarasikan kemerdekaan Republik Bosnia-Herzegovina pada Oktober

1991. Hal ini mengakibatkan ketegangan antar etnis mulai meningkat. Etnis

Serbia menginginkan agar Bosnia-Herzegovina tetap tergabung sebagai salah

satu propinsi Yugoslavia, sedangkan etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia

menginginkan Bosnia-Herzegovina menjadi negara yang merdeka terlepas dari

Yugoslavia. Pada akhir Desember 1991, etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia

memutuskan untuk mencari pengakuan internasional secara de facto dan de jure

agar Bosnia-Herzegovina diakui sebagai negara yang merdeka. Tetapi etnis

Serbia menentang keras langkah ini dan memutuskan untuk mendeklarasikan

sendiri negara mereka di dalam Bosnia-Herzegovina pada awal Januari 1992.

Pada 29 Februari dan 1 Maret 1992, sebuah referendum diadakan di Bosnia-

Herzegovina. Referendum ini dimenangkan oleh etnis Muslim Bosnia dan etnis

Kroasia yang memilih agar Bosnia-Herzegovina menjadi negara yang merdeka.

Kebanyakan etnis Serbia memboikot referendum tersebut dan menyatakan bahwa

referendum tersebut tidak sah. Kekerasan antar etnis terus meningkat menjelang

dan setelah referendum, dan akhirnya meningkat menjadi perang antar etnis pada

awal April 1992, yaitu ketika komunitas-komunitas internasional mengakui

kemerdekaan Bosnia-Herzegovina dan mengakui Bosnia-Herzegovina sebagai

sebuah negara.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

Peperangan antara etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia terhadap etnis Muslim

Bosnia mulai pecah pada April 1992 yang di tandai dengan dikuasainya kota

Bijeljina, yaitu kota yang dihuni oleh etnis Muslim Bosnia, oleh Serbia.

Kemudian diikuti dengan diambil alihnya kota Sarajevo pada tanggal 5 April

1992.

Etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia ketika hendak mengambil alih suatu kota

pertama-pertama akan mengirimkan pasukan Serbia Bosnia (regular Bosnia Serb

forces) dan Yugoslav People‟s Army troops untuk membuat barikade

mengelilingi kota atau desa yang hendak diserang. Kemudian mereka akan

meminta seluruh etnis Serbia yang tinggal di kota atau desa tersebut untuk pergi,

dan diikuti dengan penyerangan terhadap kota atau desa tersebut. Pengepungan

terhadap wilayah yang diserang akan memutus segala pasokan bahan-bahan

makanan, obat-obatan dan air masuk ke kota atau desa yang diserang. Setelah

tidak mendapatkan perlawanan lagi, maka etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia

akan mengirimkan pasukan khususnya untuk memasuki dan membersihkan kota

atau desa tersebut dari etnis Muslim Bosnia atau etnis Kroasia yang tersisa.

Kemudian, etnis Serbia yang sebelumnya telah meninggalkan kota atau desa

sebelum penyerangan, akan kembali dan menguasai seluruh rumah dan unit-unit

usaha dari penduduk sebelumnya.2

Hal ini dilakukan sebagai rangkaian kebijakan politik Presiden Serbia

Slobodan Milosevic yang mengatakan pada diplomat-diplomat Eropa Barat

bahwa akan ada sebuah negara Serbia baru sebagai The Fatherland of all Serbs.

2Lihat Howard Ball, 1999, Prosecuting War Crimes and Genocide: The Twentieth-Century,

University Press of Kansas, Kansas, hlm.128

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

Milosevic juga mengatakan bahwa musuh Serbia adalah kaum nasionalis

Slovenia dan Kroasia serta kaum fundamentalis Muslim Bosnia, kemudian Serbia

akan melakukan tindakan-tindakan untuk menghancurkan mereka.3

Sejak April 1992 sampai dengan Januari 1993, jumlah orang yang tewas

akibat dari perang saudara antar etnis di Bosnia-Herzegovina diperkirakan sekitar

17.000 orang, dengan kurang lebih dua juta pengungsi yang lari meninggalkan

Bosnia-Herzegovina.4 Pasukan bersenjata Serbia di Bosnia-Herzegovina

diperkirakan telah membunuh sekitar antara 128.000 sampai dengan 200.000

warga etnis Muslim Bosnia atau dengan perbandingan satu tentara membunuh

sepuluh orang warga etnis Muslim Bosnia.5

Tindakan-tindakan yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, dapat dikategorikan

sebagai grave breaches sesuai dengan rumusan dalam Pasal 147 Konvensi

Jenewa Keempat,

“…willfully causing great suffering or serious injury to body or health,

unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a protected

person…”

Kemudian Pasal 85 paragraf 4 menambahkan beberapa tindakan pelanggaran

yang dikategorikan sebagai grave breaches yaitu jika dilakukan dengan sengaja

dan bertentangan dengan Konvensi atau Protokol I. Tindakan pelanggaran

tersebut adalah :

“(a) the transfer by the occupying Power of parts of its own civilian

population into the territory it occupies, or the deportation or transfer of all

3 Dikutip dalam Honog dan Both, Srebrenica, hlm. 71-72

4 Lihat Charles L. Nier III, The Yugoslavian Civil War: An Analysis of the applicability of the Laws of

War Governing Non-International Armed Conflicts in the Modern World, 10 DICK.J. INT'L L. 310. 5 Lihat Fred McCloskey, The U.S. is Appeasing Fascism and Genocide, THE CHRISTIAN SCI.

MONITOR, Dec. 31, 1992, hlm. 19

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

or parts of the population of the occupied territory within or outside this

territory, in violation of Article 49 of the Fourth Convention…”

Pasal 85 paragraf 5 menyebutkan bahwa grave breaches menurut Konvensi

Jenewa dan Protokol I dianggap sebagai war crimes atau kejahatan perang.

Secara khusus, di Bosnia-Herzegovina telah terjadi tindakan pengusiran

secara paksa terhadap etnis tertentu dengan menggunakan intimidasi dan

tindakan-tindakan kekerasan, agar etnis tersebut meninggalkan wilayah asalnya.

Tindakan seperti ini dikategorikan sebagai tindakan pembersihan etnis.

Istilah pembersihan etnis baru dikenal pada tahun 1990. Istilah pembersihan

etnis ini dapat ditemukan dalam resolusi dari organisasi-organisasi internasional,

sebagaimana yang dirumuskan oleh komisi yang terdiri dari para ahli bentukan

Dewan Keamanan PBB yaitu,

“ Rendering an area ethnically homogeneous by using force or intimidation

to remove persons of given groups from the area." 6

Kemudian dalam laporan finalnya, komisi tersebut menyebut pembersihan

etnis sebagai,

"a purposeful policy designed by one ethnic or religious group to remove by

violent and terror-inspiring means the civilian population of another ethnic

or religious group from certain geographic areas." 7

The Security Council's Commission of Experts menyatakan bahwa

pembersihan etnis dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, meliputi :

“ by means of murder, torture, arbitrary arrest and detention, extra-judicial

executions, rape and sexual assault, confinement of civilian population in

ghetto areas, forcible removal, displacement and deportation of civilian

6 Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 7 Lihat Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex 1, at 33, U.N. Doc. S/1994/674 (1994)

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

population, deliberate military attacks or threats of attacks on civilians and

civilian areas, and wanton destruction of property.” 8

Dari rumusan diatas, maka istilah pembersihan etnis sesungguhnya

merupakan istilah yang melingkupi berbagai jenis tindakan delik yang memiliki

tujuan akhir untuk mengarahkan anggota dari kelompok etnis tertentu untuk

keluar dari wilayah asal mereka dengan maksud untuk mengurangi jumlah

anggota dari kelompok tersebut.

Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyebutkan bahwa :

“ (1) Individual or mass forcible transfers, as well as deportations of

protected persons from occupied territory to the territory of the Occupying

Power or to that of any other country, occupied or not, are prohibited,

regardless of their motive.

(6) The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its own civilian

population into the territory it occupies.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 paragraf (1) Konvensi Jenewa Keempat,

maka tindakan-tindakan pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia-Herzegovina

adalah dilarang, baik dilakukan ke wilayah lain dari wilayah yang dikuasai atau

ke negara lain.9 Demikian juga tindakan pemindahan penduduk Serbia ke

wilayah yang diduduki atau dikuasainya adalah dilarang. Hal ini sesuai Pasal 49

paragraf (6) Konvensi Jenewa Keempat yang mencegah adanya pemindahan

penduduk dari penduduk pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu

wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya baik karena alasan politis

atau alasan suku dan ras. Pemindahan penduduk dari pihak yang menduduki atau

yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya akan

8 Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 9 Lihat Knut Dormann, 2003, Element of War Crimes Under The Rome Statute of The International

Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm. 109

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

menyebabkan memperburuknya keadaan ekonomi penduduk asli setempat dan

juga akan membahayakan keberadaan dari suatu suku atau ras.10

Berdasarkan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR),

disebutkan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan, dan

keselamatan individu. Dalam Pasal 5 UDHR disebutkan bahwa tidak seorang pun

boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau

dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hak-hak ini

merupakan hak dasar dan merupakan hak-hak yang bersifat non-derogable.

Pembersihan etnis merupakan perbuatan yang melanggar sejumlah HAM yang

bersifat non-derogable rights, maka pembersihan etnis dapat dikategorikan

sebagai pelanggaran berat HAM.

Timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional didasarkan

pada, bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa

menghormati negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain

menyebabkan negara pelanggar harus bertanggung jawab atas tindakannya

tersebut.11

Harus diakui bahwa hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum

internasional yang mapan mengenai tanggung jawab negara. Hal tersebut, antara

lain, ditandai dengan belum adanya perjanjian internasional yang khusus

mengatur mengenai tanggung jawab negara. Namun, para ahli hukum

10

Lihat International Committee Of The Red Cross, 1994, Commentary IV Geneva Convention

Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of War , International Committee Of The Red

Cross, Geneva, hlm. 283 11

Hingorani, Modern International Law, edisi ke-2, 1984 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara

dalam Hukum Internasional, Jakarta: CV. Rajawali, 1991, hlm. 173.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

internasional telah mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu

prinsip fundamental dalam hukum internasional.

Pembahasan mengenai tanggung jawab negara dapat mengacu pada

rancangan pasal-pasal atau Draft Articles mengenai tanggung jawab negara yang

disusun oleh Komisi Hukum Internasional atau International Law Commission (

ILC ).12

Menurut Anthony Aust, tanggung jawab negara muncul dari hukum

kebiasaan internasional yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan

putusan pengadilan internasional yang mengacu kepada final draft Articles („the

Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts dan

the ILC‟s Commentary on the Articles.13

Dasar tanggung jawab negara juga berasal dari ketentuan-ketentuan yang

terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan

internasional. Hal tersebut, antara lain, diatur dalam Prinsip ke-21 dari Deklarasi

Stockholm tentang Lingkungan Hidup atau Stockholm Declaration on the Human

Environment tahun 1972 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap negara

memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, sekaligus

pula tanggung jawab untuk menjamin kegiatan tersebut tidak menimbulkan

kerusakan lingkungan terhadap negara lain atau terhadap wilayah-wilayah di luar

batas-batas yurisdiksi nasionalnya.

12

Nama lengkap rancangan pasal-pasal tersebut adalah Rancangan Pasal-pasal mengenai

Pertanggungjawaban Negara atas Tindakan-tindakan Salah Secara Internasional (“Draft Articles on

Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts”). “Draft Articles” terakhir diadopsi oleh

ILC pada sidang ke-2709, tanggal 9 Agustus 2001. 13

Lihat Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press, New York,

2005, hlm. 407 – 408.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

Tindakan pembersihan etnis yang dilakukan oleh Serbia di Bosnia-

Herzegovina, selain dapat dikategorikan sebagai grave breaches dan war crimes

menurut Konvensi Jenewa dan Protokol I. Dapat dikategorikan juga sebagai

pembersihan etnis (ethnic cleansing) oleh The Security Council's Commission of

Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 tahun 1992.

Serta dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia

internasional berdasarkan pada Universal Declaration of Human Rights.

Berdasarkan hal tersebut, maka timbul tanggung jawab negara, karena telah

terjadi pelanggaran terhadap hak negara lain yang menyebabkan negara

pelanggar harus bertanggung jawab atas tindakannya.

B. Perumusan Masalah

Berpangkal dari uraian di atas, maka dalam penulisan hukum ini diangkat

permasalahan :

1. Bagaimanakah pertanggung jawaban negara terhadap tindakan pembersihan

etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina ?

2. Bagaimanakah tindakan yang harus ditempuh oleh negara sebagai

perwujudan tanggung jawabnya atas tindakan pembersihan etnis (ethnic

cleansing) di Bosnia-Herzegovina ?

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan objektif dari penelitian adalah:

a. Menganalisis bentuk-bentuk pertanggung jawaban negara terhadap

tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina

b. Menganalisis dan mengidentifikasi langkah-langkah yang harus ditempuh

oleh negara sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya atas tindakan

pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina

2. Tujuan subjektif dari penelitian adalah:

Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap dan akurat dalam

rangka penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pembersihan Etnis

a. Pengertian Pembersihan Etnis

Istilah pembersihan etnis baru dikenal pada tahun 1990, dalam

hubungannya dengan rangkaian kejadian di negara bekas Yugoslavia.14

Istilah ini menggambarkan peristiwa pengusiran paksa terhadap

sekelompok orang atau bangsa tertentu dari negara asalnya. Istilah ethnic

cleansing muncul dan pertama kali mulai dikenal pada bulan Mei tahun

1992 dan terus dipergunakan seiring dengan meningkatnya intensitas

14

Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, hlm. 16, U.N. Doc. S/25274 (1993)

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

kekerasan yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, yaitu dengan adanya

serangan etnis Serbia terhadap etnis muslim Bosnia.15

Pada tahun 1992, Dewan Keamanan PBB bermaksud untuk menuntut

para pelaku yang turut serta dalam tindakan pembersihan etnis sepanjang

awal tahun 1990 di negara bekas Yugoslavia. Untuk kepentingan tersebut,

maka Dewan Keamanan PBB membuat komisi yang terdiri dari para ahli

untuk menganalisis fakta-fakta yang terjadi dan berhasil dikumpulkan,

serta mempersiapkan untuk tindakan penuntutan.16

Komisi bentukan Dewan Keamanan PBB tersebut dalam laporan

interimnya memberikan definisi pembersihan etnis sebagai berikut:

“…Rendering an area ethnically homogeneous by using force or

intimidation to remove persons of given groups from the area." 17

Dalam laporan finalnya, komisi tersebut menyebut pembersihan etnis

sebagai,

"a purposeful policy designed by one ethnic or religious group to

remove by violent and terror-inspiring means the civilian population

of another ethnic or religious group from certain geographic areas." 18

The Security Council's Commission of Experts menyatakan bahwa

pembersihan etnis dapat dilakukan dengan cara-cara:

“…murder, torture, arbitrary arrest and detention, extra-judicial

executions, rape and sexual assault, confinement of civilian

population in ghetto areas, forcible removal, displacement and

15

R. Gutman, A Witness to Genocide, Macmillan, New York, 1993 16

Lihat S.C. Res. 780, U.N. SCOR, 3119th mtg. at 2, U.N. Doc. S/RES/780 (1992) (requesting that

Security Council establish Commission of Experts to analyze breaches of Geneva Convention) 17

Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 18

Lihat Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex 1, at 33, U.N. Doc. S/1994/674 (1994)

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

deportation of civilian population, deliberate military attacks or

threats of attacks on civilians and civilian areas, and wanton

destruction of property.” 19

The Committee on the Elimination of Racial Discrimination mengutuk

pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia yang termasuk didalamnya

tindakan:

“…forced population transfers, torture, rape, summary executions,

the blockading of international humanitarian aid and the commission

of atrocities for the purpose of instilling terror among the civilian

population.”20

Komite tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa pelanggaran-

pelanggaran tersebut dilakukan berdasarkan basis identitas etnis dengan

tujuan untuk menciptakan etnis yang murni dan bukan etnis campuran

dengan etnis lain.

Istilah pembersihan etnis atau ethnic cleansing, sesungguhnya

merupakan istilah yang tidak hanya memberikan definisi terhadap satu

tindakan tertentu yang dapat dimintakan pertanggung jawaban

berdasarkan hukum internasional, melainkan suatu istilah yang meliputi

berbagai macam tindakan yang masing-masing dari tindakan tersebut

dapat dimintakan pertanggung jawabannya berdasarkan hukum

internasional.

b. Aspek-Aspek Hukum Pembersihan Etnis

a) Pembersihan Etnis Dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol

Tambahan 1977

19

Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council

Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 20

Lihat Report of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, U.N. GAOR, 48th

Sess., Supp No. 18, at 91, U.N. Doc. A/48/18 (1993)

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

Sesuai dengan rumusan Pasal 147 Konvensi Jenewa Keempat,

pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat atau

grave breaches,

“…unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a

protected person…”

Pasal 85 paragraf 3 Protocol I, juga menyebutkan bahwa tindakan

yang dinyatakan sebagai pelanggaran berat atau grave breaches dalam

Konvensi Jenewa, juga merupakan pelanggaran berat dalam Protokol

I ini, apabila dilakukan dengan sengaja, bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Protokol I ini, dan yang

mengakibatkan kematian atau luka-luka parah pada badan atau

kesehatan sebagaimana yang terjadi pada pembersihan etnis, tindakan

tersebut:

“…(a) making the civilian population or individual civilians the

object of attack;

(b) launching an indiscriminate attack affecting the civilian

population or civilian objects in the knowledge that such attack

will cause excessive loss of life, injury to civilians or damage to

civilian objects, as defined in Article 57, paragraph 2 (a)(iii)…”

Kemudian Pasal 85 paragraf 4 menambahkan beberapa tindakan

pelanggaran yang dikategorikan sebagai grave breaches, jika

dilakukan dengan sengaja dan bertentangan dengan Konvensi atau

Protokol I ini. Tindakan pelanggaran tersebut adalah :

“…(a) the transfer by the occupying Power of parts of its own

civilian population into the territory it occupies, or the

deportation or transfer of all or parts of the population of the occupied territory within or outside this territory, in violation of

Article 49 of the Fourth Convention…”

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Pasal 85 paragraf 5 lebih lanjut menyebutkan bahwa grave

breaches yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan Protokol I ini

harus dianggap sebagai war crimes atau kejahatan perang.

“ Without prejudice to the application of the Conventions and of

this Protocol, grave breaches of these instruments shall be

regarded as war crimes.”

Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyebutkan bahwa :

“ (1) Individual or mass forcible transfers, as well as deportations

of protected persons from occupied territory to the territory of the

Occupying Power or to that of any other country, occupied or not,

are prohibited, regardless of their motive.

(6) The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its

own civilian population into the territory it occupies.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 paragraf 1 Konvensi Jenewa

Keempat, tindakan-tindakan pembersihan etnis adalah dilarang, baik

tindakan pemindahan tersebut dilakukan ke wilayah lain dari wilayah

yang dikuasai atau ke negara lain.21

Demikian juga tindakan

pemindahan penduduk ke kewilayah yang diduduki atau dikuasainya

adalah dilarang. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 paragraf 6 Konvensi

Jenewa Keempat yang mencegah adanya pemindahan penduduk dari

penduduk pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu wilayah

kewilayah yang diduduki atau dikuasainya baik karena alasan politis

atau alasan suku dan ras. Pemindahan penduduk dari pihak yang

menduduki atau yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang

diduduki atau dikuasainya akan memperburuk keadaan ekonomi

21

Lihat Knut Dormann, 2003, Element of War Crimes Under The Rome Statute of The International

Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm. 109

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

penduduk asli setempat dan juga akan membahayakan keberadaan

dari suatu suku atau ras.22

Berdasarkan Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat, para pihak

diharuskan untuk membuat peraturan yang diperlukan guna

menyediakan hukuman pidana yang efektif terhadap setiap orang

yang melakukan atau menyuruh melakukan segala tindakan yang

dikategorikan sebagai grave breaches berdasarkan Konvensi Jenewa

Keempat ini dan diharuskan untuk mencari orang tersebut serta

membawa orang tersebut ke depan pengadilannya apa pun

kewarganegaraan orang tersebut. Pasal 129 dan 130 Konvensi Jenewa

Ketiga mengharuskan para pihak untuk membuat peraturan yang

diperlukan guna menyediakan hukuman pidana yang efektif terhadap

setiap orang yang melakukan atau menyuruh melakukan segala

tindakan yang dikategorikan sebagai grave breaches.

b) Pembersihan Etnis Dalam Universal Declaration of Human Rights

Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), pada

menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan,

kebebasan, dan keselamatan individu. Disebutkan dalam Pasal 5

UDHR bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan

secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak

manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hak-hak ini merupakan

hak dasar dan merupakan hak-hak yang bersifat non-derogable.

22

Lihat International Committee Of The Red Cross, 1994, Commentary IV Geneva Convention

Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of War , International Committee Of The Red

Cross, Geneva, hlm. 283

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

Pembersihan etnis berdasarkan definisi komisi bentukan Dewan

Keamanan PBB dalam laporan interimnya, merupakan perbuatan

yang melanggar sejumlah HAM yang bersifat non-derogable rights,

maka pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran

berat HAM.23

Unsur-unsur yang menyertai pelanggaran berat HAM adalah

dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis

dapat diartikan perbuatan itu dilakukan sebagai suatu kebijakan yang

sebelumnya telah direncanakan. Secara meluas dapat diartikan bahwa

biasanya akan mengarah kepada sejumlah korban yang sangat besar

dan kerusakan parah secara meluas yang ditimbulkannya.24

Peter Baehr menyebutkan bahwa pelanggaran HAM akan

menyangkut masalah-masalah yang meliputi:

“The prohibition of slavery, the right to life, torture and cruel,

inhuman or degrading treatment or punishmnet, genocide,

disapprearences and „ethnic cleansing”.25

c) Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia

Penyelesaian terhadap pelanggaran berat HAM secara hukum

pada dasarnya mengacu pada prinsip exhaustion of local remedies

melalui mekanisme forum pengadilan nasional. Mekanisme

penyelesaian pelanggaran berat HAM di tingkat nasional biasanya

23

Lihat Theo van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi,

Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta: ELSAM 24

Lihat Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Systematic Violations and The

Inter-American System, Dordrech/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1988, hlm. 16. 25

Lihat Peter R. Baehr, Human Rights Universality in Practice, New York: St. Martin‟sPress, 1999,

hlm. 20

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

dibentuk oleh suatu negara dengan cara mendirikan suatu pengadilan

khusus HAM.

Penyelesaian pelanggaran berat HAM pada tingkat nasional juga

dapat dilakukan melalui pengadilan nasional atas dasar prinsip

yuridiksi universal. Berdasarkan prinsip yuridiksi universal,

pengadilan nasional setiap negara memiliki kompetensi untuk

melaksanakan yuridiksinya untuk mengadili para pelaku kejahatan-

kejahatan internasional yang dianggap menyangkut umat manusia

secara keseluruhan yaitu, kejahatan yang merupakan ancaman bagi

perdamaian dan keamanan internasional.

Mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM di tingkat

internasional terdiri dari Mahkamah HAM yang bersifat ad hoc dan

permanen. Mahkamah HAM internasional ad hoc dibentuk

berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB atas dasar adanya

ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia. Ketidakmauan

(unwillingness) dan ketidakmampuan (inability) negara yang diduga

melakukan pelanggaran berat HAM untuk menyelesaikan masalah

pelanggaran tersebut di tingkat nasional dapat mendasari dibentuknya

Mahkamah HAM internasional ad hoc.

Ukuran adanya faktor ketidakmauan (unwillingness) dan

ketidakmampuan (inability) pengadilan nasional dari suatu negara

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

yang diduga melakukan pelanggaran berat HAM telah diatur dalam

pasal 17 ayat (2) dan pasal 17 ayat (3) Statuta Roma.26

d) Pembersihan Etnis dalam Rome Statute of the International Criminal

Court

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma 1998

atau Rome Satute Of The International Criminal Court, Pasal 7

paragraf 1 terdapat situasi yang disyaratkan bagi kejahatan terhadap

kemanusiaan yaitu:

“…committed as part of a widespread or systematic attack

directed against any civilian population, with knowledge of the

attack”

Apabila kita bandingkan dengan Final Report of the Commission

of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780,

maka dapat kita simpulkan bahwa definisi ethnic cleansing sesuai

dengan situasi yang disyaratkan bagi terjadinya kejahatan terhadap

kemanusiaan menurut Statuta Roma.

Dalam Pasal 7 paragraf 1 butir (d) Statuta Roma disebutkan

bahwa deportation or forcible transfer of population termasuk

kedalam tindakan-tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan. Pasal 7 paragraf 2 butir (d) Statuta Roma

mendefinisikan deportation or forcible transfer of population sebagai

tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan

26

Lihat Supriyadi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam Perspektif Hukum Pidana

Nasional dan Internasional, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No.43/II/2003, hlm. 31-32

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

lain dari tempat penduduk itu secara sah berada, tanpa adanya dasar

yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional.27

2. Tanggung Jawab Negara

1. Latar Belakang Tanggung Jawab Negara

Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum

internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-

haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran

terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk

memperbaiki pelanggaran hak itu. Apabila kewajiban internasional ini

dilanggar sehingga merugikan pihak lain, maka lahirlah tanggung jawab

negara. Itulah sebabnya mengapa hukum internasional melembagakan

kewajiban tersebut sebagai prinsip yang fundamental.28

Tanggung-jawab negara merupakan prinsip fundamental dalam

hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan

persamaan hak antarnegara. Tanggung-jawab negara timbul bila ada

pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau

27

"Deportation or forcible transfer of population" means forced displacement of the persons

concerned by expulsion or other coercive acts from the area in which they are lawfully present,

without grounds permitted under international law 28

Lihat Pasal 2 Draft Articles on State Responsibility yang menyatakan bahwa “every state is subject

to the possibility of being held to have commited an internationally wrongful act entailing its national

responsibility”, dikutip dari Marina Spinedi et.al (ed), United Nations Codification of State

Responsibility, Oceana Publications, Inc., New York, 1987, hlm. 325.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu

perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.29

2. Perkembangan Pengaturan Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum

Internasional

Dalam setiap sistem hukum telah dikenal tanggung-jawab atas

pelaksanaan kewajiban yang diatur berdasarkan ketentuan hukumnya.

Tanggung-jawab tersebut dalam hukum internasional dikenal sebagai

responsibility,30

Namun, sampai saat ini belum ada ketentuan-ketentuan

hukum internasional yang secara tegas mengatur mengenai tanggung-

jawab negara, tetapi para ahli hukum internasional telah mengakui bahwa

tanggung-jawab negara ini merupakan suatu prinsip fundamental dari

hukum internasional.31

Itulah sebabnya mengapa PBB telah meminta Komisi Hukum

Internasional (International Law Commission, ILC) untuk menyusun

formulasi aturan-aturan tentang tanggung jawab negara. Pada tahun 2001,

ILC menghasilkan final draft Articles („the Articles‟) on the

Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts.32

Menurut

Anthony Aust, tanggung jawab negara muncul dari hukum kebiasaan

internasional yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan

29

Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung-jawab Negara dan Individu dalam Hukum Internasional,

(makalah yang disampaikan pada Penataran Tindak Lanjut Dosen Hukum Humaniter Internasional

Indonesia Bagian Barat, di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 24-25 Juli 2000), hlm. 3. 30

D.J. Harris, Cases an Material on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1998, hlm. 484. 31

Lihat Ian Browlie, Principles of Public International Law, ILBS and Oxford University Press,

Oxford, 1979, hlm. 431. 32

Final draft Articles dan ILC Commentary dapat dilihat di ILC‟s 2001 report (A/56/10) dan juga

pada www.un.org/law/ilc/.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

putusan pengadilan internasional yang mengacu kepada final draft

Articles („the Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally

Wrongful Acts dan the ILC‟s Commentary on the Articles.33

Jadi, sekalipun aturan-aturan tentang tanggung jawab negara ini masih

dalam proses pertumbuhan dan belum menjadi konvensi, prinsip-prinsip

yang terkandung di dalamnya telah diterima sebagai suatu prinsip umum

hukum internasional.34

3. Prinsip Tanggung Jawab Negara

Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian

sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu

negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi

(negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap

korban.35

Dalam ILC Articles, lebih tegas dinyatakan bahwa, tanggung jawab

negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai

tindakan salah secara internasional. Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal

1,

“Every internationally wrongful act of a State entails the international

responsibility of that State.” 36

Pada bagian commentary dari ILC Articles tersebut, selanjutnya

dijelaskan bahwa.

33

Lihat Anthony Aust, op. cit., hlm. 407 – 408. 34

Lihat Ian Browlie, op. cit., hlm 431. 35

Karl Zemanek, Responsibility of States: General Principles, dalam Rudolf L. Bindshdler, et.

al.,Encyclopedia of Public International Law, 10, State Responsibility of States, International Law

and Municipal Law,Jilid ke-10, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987, hlm. 363. 36

Pasal 1 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22

“...a breach of international law by a state entails its international

responsibility. An internationally wrongful act of a State may consist

in one or more actions or omissions or a combination of both…” 37

Adapun yang dimaksud dengan act adalah:

“an act considered internationally wrongful if its author violates an

obligation which custom or treaty establishes in favour of another

specific State; in that case the author is internationally responsible to

the victim and to the victim alone.” 38

Adapun yang menjadi elements of an internationally wrongful act of a

State sebagaimana yang diatur di dalam ILC Articles adalah,

“There is an internationally wrongful act of a State when conduct

consisting of an action or omission: (a) Is attributable to the State

under international law; and (b) Constitutes a breach of an

international obligation of the State.” 39

Dengan demikian unsur-unsur tindakan salah secara internasional

meliputi tindakan yang dilakukan negara tersebut harus dapat

diatribusikan kepada negara menurut hukum internasional dan tindakan

tersebut harus menimbulkan suatu kewajiban hukum internasional yang

berlaku bagi negara tersebut pada saat tindakan tersebut dilakukan.40

Tindakan salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara

tidak semata-mata menimbulkan hubungan hukum antar dua negara

(bilateral), yaitu negara yang merugikan dan dirugikan saja. Akan tetapi

tindakan tersebut dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap beberapa

37

The United Nations, Report of the International Law Commission Fifty-third Session (23 April-1

June and 2 July-10 August 2001), New York, 2001, hlm. 63. 38

Ibid. 39

Pasal 2 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001. 40

The United Nations, op. cit., hlm 68

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

23

negara, bahkan dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap masyarakat

internasional secara keseluruhan.41

4. Dasar dan Sifat Tanggung Jawab Negara

Dasar tanggung jawab negara berasal dari ketentuan ketentuan yang

terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan

internasional. Hal tersebut antara lain diatur dalam Prinsip ke-21

Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972.42

Tanggung jawab negara menurut hukum internasional juga memiliki

perbedaan dengan tanggung jawab negara menurut hukum nasional.

Menurut hukum internasional, tanggung jawab negara timbul akibat dari

pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun hukum nasional

menganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum,

namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara

harus tetap bertanggungjawab. Dengan demikian, hukum internasional

mengatasi hukum nasional.43

Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai

dasar alasan untuk menghindari suatu kewajiban internasional. Hukum

internasional menentukan kapan suatu negara dianggap bertanggung

jawab atas tindakan dari organ-organnya.44

41

Ibid., hlm. 66 42

Prinsip ke-21 dari Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972 menyebutkan,

“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the Principles of International

Law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their environmental policies, and

the responsibility to ensure the activities within their jurisdiction or control do not cause damage to

the environmental of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction...” 43

F. Sugeng Istanto, op. cit., hlm. 78 44

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.

395-396

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24

5. Doktrin Imputabilitas

Malcolm N Shaw memberikan definisi mengenai doktrin

imputabilitas sebagai berikut:45

“ Imputability is the legal fiction which assimilates the actions or

omissions of state officials to the state itself and which renders the

state liable for damage resulting to the property or person of an

alien.”

Latar belakang doktrin ini yaitu, bahwa negara sebagai suatu kesatuan

hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan nyata”,

negara baru dapat melakukan tindakan hukum tertentu melalui pejabat-

pejabat atau perwakilan-perwakilanya yang sah. Jadi, terdapat suatu

ikatan yang erat antara negara dengan subjek hukum yang bertindak

untuk negara. Ikatan yang dimaksud adalah bahwa subjek hukum tersebut

bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas atau wakil negaranya.

Negara tidak bertanggung jawab, menurut hukum internasional, atas

semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya.

Jadi, doktrin ini “mengasimilasikan” tindakan-tindakan pejabat-pejabat

negara dengan negaranya yang menyebabkan negara tersebut bertanggung

jawab atas semua kerugian atau kerusakan terhadap harta benda atau

orang asing. Doktrin imputabilitas menegaskan, tindakan salah dari organ

negara dianggap merupakan suatu tindakan negara. Hal itu diatur pula

dalam Pasal 4 ILC Articles.46

45

Malcolm N Shaw, International Law Fifth edition, Cambridge University Press 2003, hlm. 701 46

Pasal 4 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

25

Pada dasarnya, hanya tindakan-tindakan yang memiliki unsur

pemerintahan yang akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada

negara. Suatu tindakan yang tidak memiliki keterkaitan dengan negara

(pemerintah) maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Mengenai hal ini, pada bagian commentary ILC Articles dinyatakan,

“Thus the general rule is that the only conduct attributed to the State

at the international level is that of its organs of government, or of

others who have acted under the direction, instigation or control of

those organs, i.e., as agents of the State.” 47

Dalam ILC Articles, tindakan negara atau attribution of conduct of a

State meliputi:48

“…conduct of organs of a State; conduct of persons or entities

exercising element of governmental authority; conduct of organs

placed at the disposal of a State by another State; excess of authority

or contravention of instructions; conduct directed or controlled by a

State; conduct carried out in the absence or default if the official

authorities; conduct of an insurrectional or other movement; conduct

acknowledged and adopted by a State as its own.”

6. Akibat Dari Tindakan Salah Secara Internasional

Mengenai wujud tanggung jawab negara atas suatu tindakan salah

secara internasional dikenal dua bentuk yaitu cessation dan reparation.

a) Cessation

Negara yang bertanggung jawab terhadap tindakan salah

secara internasional memiliki kewajiban untuk menghentikan (to

cease) tindakan salahnya tersebut, apabila tindakan tersebut masih

berlangsung. Negara yang bertanggung jawab tersebut juga

47

The United Nations, op. cit., hlm. 80. 48

Pasal 4-11 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

26

berkewajiban untuk memastikan dan menjamin bahwa tindakan

salah secara internasionalnya tersebut tidak akan terulang

kembali.49

b) Reparation

Prinsip dasar adanya reparation pertama kali dikenal dalam

putusan Permanent Court of International Justice atas Corzow

Factory Case, yang menyatakan bahwa:

“…reparation must so far as possible, wipe out all the

consequences of the illegal act and re-establish the situation

which would, in all probability, have existed if that act had not

been committed.”50

Kewajiban untuk melakukan reparation dalam segala

aspeknya diatur dalam hukum internasional, dengan mengabaikan

ketentuan hukum nasional yang berlaku.51

Menurut Black‟s Law Dictionary, reparation memiliki arti

sebagai berikut:

“1. The act of making amends for a wrong; 2. Compensation

for an injury or wrong, esp. for wartime damages or breach of

an international obligation.” 52

Pasal 34 ILC Articles menentukan bahwa ada tiga bentuk

reparation yaitu restitution, compensation, dan satisfaction yang

dapat berdiri sendiri-sendiri atau pun gabungannya.53

49

Pasal 30 ILC Articles menyebutkan: The State responsible for the internationally wrongful act is

under an obligation: (a) to cease that act, if it is continuing; (b) to offer appropriate assurances and

guarantees of non-repetition, if circumstances so require. Lihat Malcolm N. Shaw, op. cit., hlm. 714 50

Factory at Corzo, Merits, 1928, PCIJ, Series A, no. 17, hlm. 47 dalam ibid., hlm. 715 51

Lihat Suarez-Rosero v. Ecuador (Reparations), Inter-American Court of Human Rights, 1999,

Series C, No. 44 at para. 42. 52

Bryan A. Garner, (edit), Black‟s Law Dictionary, 7th edition, St. Paul Minn: West Group, 1999, hlm.

1301.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

27

1) Restitution

Menurut Malcolm N Shaw, tujuan restitution adalah untuk

mengembalikan keadaan yang ada sebelum tindakan salah

secara internasional tersebut terjadi.54

2) Compensation

Menurut Ian Browlie,

“ Compensation will be used to describe reparation in the

narrow sense of the payment of money as a valuation of

the wrong done.” 55

Monetary compensation dapat terdiri dari: (a) penggantian

biaya pada waktu keputusan pengadilan dikeluarkan,

meskipun jumlah penggantian tersebut menjadi lebih besar

dari nilai pada waktu perbuatan melawan hukum oleh negara

lain terjadi; (b) kerugian tak langsung atau indirect damages.

Sepanjang kerugian ini mempunyai kaitan yang langsung

dengan tindakan tidak sah tersebut (Pengadilan Arbitrase

antara Portugal dan Jerman tahun 1930); (c) hilangnya

keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut

mungkin dalam situasi atau perkembangan yang normal; (d)

pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena

adanya tindakan melanggar hukum.56

53

Lihat ILC Commentary 2001, p. 235 juga lihat Suarez-Rosero v. Eczrizdor (Reparations), Inter-

American Court of Human Rights, 1999, Series C, No. 44 at para. 42 54

Malcolm N. Shaw, op. cit., hlm. 716 55

Browlie, op. cit., hlm. 461. 56

Lihat Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia,

Timor Leste dan Lainnya, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 44-45

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

28

3) Satisfaction

Ian Browlie mendefinisikan satisfaction sebagai setiap

upaya yang dilakukan oleh si pelanggar suatu kewajiban untuk

mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu

perjanjian, dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, yang

bukan berupa restitution (restitusi/pemulihan) atau

compensation. Satisfaction merupakan pemulihan atas

perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction

dialakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup

diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau

jaminan tidak akan terulangnya perbuatan.57

E. Metode Penelitian

a. Jenis dan tipe penelitian

Penelitian ini termasuk kedalam penelitian hukum normatif yang

menggunakan data sekunder58

dengan metode studi pustaka. Tipe penelitian

hukumnya adalah kajian komprehensif analitis terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder. Hasil kajian dipaparkan secara lengkap, rinci,

jelas dan sistematis sebagai karya ilmiah.

b. Data yang dicari

a) Ketetapan hukum internasional yang terdiri dari perjanjian internasional

yang berhubungan, terdiri dari:

57

Andrey Sujatmoko, ibid, hlm.45 58

Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung; Penerbit PT Citra Aditya

Bakti, 2004, hlm. 52.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

29

1. Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War.

Geneva 12 August 1949 dan Convention (IV) relative to the

Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva 12 August

1949, dan Commentary;

2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949,

and relating to the Protection of Victims of International Armed

Conflicts (Protocol I) dan Commentary;

3. Universal Declaration of Human Rights;

4. United Nations Convention On The Prevention And Punishment Of

The Crime Of The Genocide;

5. Statuta Mahkamah Internasional, Statuta International Criminal

Court, Statuta International Criminal Tribunal For The Former

Yugoslavia, Statuta International Criminal Tribunal For Rwanda; dan

6. Perundang-undangan lain yang relevan.

b) Data lain yang berupa tulisan atau karya ilmuwan dan praktisi hukum

serta disiplin ilmu lain yang relevan dengan permasalahan, ajaran-ajaran

para ahli hukum dan hasil-hasil pertemuan internasional yang membahas

tentang pembersihan etnis atau tanggung jawab negara.

c) Fakta dan peristiwa mengenai pembersihan etnis yang terjadi

c. Jalannya penelitian

1. Cara pengumpulan

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

30

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yang dilakukan

dengan tahap-tahap sebagai berikut: 59

a) Penentuan sumber data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh

peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang

merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah

tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi.

b) Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yang terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang menjadi

sumber utama dan mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari:

a) Konvensi-Konvesi Jenewa tahun 1949 dan Commentary;

b) Protokol-Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977

dan Commentary

c) Universal Declaration of Human Rights;

d) United Nations Convention On The Prevention And

Punishment Of The Crime Of The Genocide;

e) Statuta Mahkamah Internasional, Statuta International

Criminal Court, Statuta International Criminal Tribunal

For The Former Yugoslavia, Statuta International

Criminal Tribunal For Rwanda; dan

f) Perundang-undangan lain yang relevan.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer:

59

Abdulkadir Muhammad, ibid, hlm. 125

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

31

a) Buku-buku yang membahas tentang tanggung jawab

negara, hak asasi manusia internasional, kejahatan perang,

dan genosida serta metodologi penelitian hukum;

b) Karya-karya ilmiah yang terhimpun dalam jurnal hukum;

c) Berbagai surat kabar dan majalah; dan

d) Media website di internet.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder, terdiri dari:

a) Kamus hukum;

b) Kamus bahasa Inggris-Indonesia; dan

c) Kamus besar Bahasa Indonesia.

c) Inventarisasi data sekunder yang relevan dengan rumusan masalah

dengan cara pengutipan dan pencatatan.

d) Pengkajian data sekunder yang terkumpul untuk menentukan

relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

2. Alat penelitan

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penelitian dilakukan

dengan cara melakukan studi pustaka60

untuk mendapatkan gambaran

secara umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan.

3. Lokasi penelitian

60

Abdulkadir Muhammad,ibid, hlm. 81: “Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis

mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan

dalam penelitian hukum normatif.“

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

32

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan studi

dokumen, yakni mempelajari dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan

dengan permasalahan, yang dilakukan di:

a) Perpustakaan International Committee of the Red Cross ( ICRC )

Delegasi Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM

Fakultas Hukum Universitas Trisakti ( terAs ), Centre for Strategic

and International Studies ( CSIS ), Kedutaan Besar Bosnia-

Herzegovina di Jakarta

b) Perpustakaan-perpustakaan yang terletak di Yogyakarta

d. Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif,

yang artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang

teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga

memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.61

Dalam menyusun dan menganalisis data, digunakan cara berfikir deduksi

dan induksi yaitu:

1. Cara berfikir secara deduksi adalah cara berfikir yang bersifat umum

kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

2. Cara berfikir secara induksi adalah cara berfikir yang bersifat khusus

kemudian diterapkan pada hal-hal yang bersifat umum.

3. Setelah data dianalisis dengan menggunakan cara berfikir secara

induksi, kemudian diambil kesimpulan dengan membandingkan

61

Abdulkadir Muhammad,ibid, hlm. 127

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

33

antara ketentuan perjanjian internasional yang satu dengan ketentuan

perjanjian internasional yang lain atau fakta yang satu dengan fakta

yang lain.

Perjanjian internasional yang terkumpul akan ditafsirkan menggunakan

prinsip-prinsip umum tentang penafsiran yaitu,62

1. Gramatical interpretation and the intention of the parties

Yaitu analisis kata-kata atau susunan kata-kata yang harus

diartikan sesuai dengan artinya yang biasa dan wajar, kemudian

dilanjutkan dengan menganalisis maksud para pihak saat instrumen

dibuat

2. Object and context of treaty

Apabila terdapat kata-kata atau susunan kata-kata yang

meragukan, konstruksinya harus dikaitkan dengan tujuan kejadian

tersebut. Hal ini dilakukan dengan hanya mempelajari bagian-bagian

tertentu dari kata-kata atau susunan kata-kata yang meragukan itu

3. Reasonableness and consistency

Bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan mengutamakan arti

yang wajar dari kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan

keselarasan dengan bagian-bagian yang lainnya dari perjanjian

tersebut.

4. The Principle of Effectiveness

62

Lihat Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Penerbit PT. Alumni,

Bandung, 2003, hlm. 116-117

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

34

Apabila perjanjian harus ditafsirkan secara keseluruhan yang akan

menjadikan perjanjian itu paling efektif dan bermanfaat.

5. Resource to Extrinsic Materials

Penggunaan bahan-bahan ekstrinsik, apabila dalam melakukan

penafsiran dibatasi pada isi perjanjian tersebut atau pada apa yang

tercantum dalam perjanjian itu.

PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/