Upload
dinhkhuong
View
274
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai sebuah sistem berarti mempunyai susunan yang teratur
berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna dan berfungsi
(Hidayatullah, 2012: 3), sehingga terbentuklah tatanan bahasa yang bersifat
sistematis dan sistemis (Chaer, 2007: 35). Hampir semua bahasa yang ada
memiliki susunan yang bersifat sistematis dan sistemis, termasuk juga salah satu
bahasa rumpun Semit yakni bahasa Arab (selanjutnya disingkat dengan bA).
Susunan yang bersistem tersebut adalah struktur tata bahasa yang meliputi
subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis. Semua subsistem tata bahasa
tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain, dan
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karena tiap unsur dalam
subsistem tersebut tersusun menurut aturan atau pola tertentu yang secara
keseluruhan membuat satu sistem.
Bagian dari subsistem tata bahasa yang membicarakan tentang seluk beluk
kata, juga menyelidiki segala proses perubahan golongan dan arti kata sebagai
akibat dari perubahan bentuk kata disebut morfologi (Ramlan, 1987: 21). Dalam
bahasa Arab morfologi lebih dikenal dengan ‘ilm a’sh-sharf (al-Khuli, 1982:
175). ‘Ilm a’sh-sharf merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk
dari suatu kata dan perubahan keadaan suatu kata yang tidak dipengaruhi oleh
i‘ra>b dan bentuknya (ar-Ra>jachi>, 2008: 17). ‘Ilm a’sh-sharf juga merupakan ilmu
yang membahas tentang berbagai kata dari sisi tashri>f atau perubahan bentuk kata,
ibda>l, idgha>m, dan i‘la>l (al-Ghula>yaini>, 2006: 8). Dalam ‘ilmu a’sh-sharf yang
2
menjadi objek pembahasan yaitu mengenai ism mutamakkin (ism yang mu‘rab
atau ism yang dapat menerima tanda-tanda i‘ra>b) dan fi‘l mutasharrif (verba yang
dapat berubah bentuk sesuai dengan proses perubahan infleksi) (al-Ghula>yaini>,
2006: 8). Kedua objek tersebut berkaitan dengan pembicaraan tentang kata dan
segala hal yang berhubungan dengannya, seperti perubahan bentuk kata, asal-usul
kata, dan pemecahan kata. Dengan demikian, morfologi atau ‘ilm a’sh-sharf
merupakan ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk dari suatu kata serta
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kata tersebut.
Suatu kata ketika mengalami proses perubahan bentuk akan diperoleh
bentukan-bentukan yang berubah hanya asalnya atau bentuk dasar, identitas
leksikalnya, maupun status kategori katanya. Proses perubahan bentuk yang
menghasilkan bentukaan-bentukan dari kata yang sama identitas leksikalnya
disebut dengan fleksi atau infleksi, sedangkan proses yang menghasilkan
bentukan kata-kata yang tidak sama identitas leksikalnya tanpa perubahan
kategori atau sekaligus perubahan kategorinya disebut dengan derivasi (Verhaar,
2012: 118).
Dalam ‘ilm a’sh-sharf dua pembahasan tentang proses perubahan kata
tersebut dibagi menjadi dua jenis pembahasan besar yakni al-istiqa>q ‘derivasi’
dan a’t-tashri>f ‘infleksi’. Kedua proses morfologis tersebut meliputi proses
perubahan bentuk yang terjadi pada ism „nomina‟ dan fi‘l „verba‟. Adapun di
dalam fi‘l disebut dengan isytiqa>qul af‘a>l dan tashri>ful af‘a>l.
Pada pembentukan kata bA terdapat perbedaan pendapat dalam hal akar kata
yang menjadi dasar pembentukan kata. Para linguis Kufah mengatakan bahwa
3
akar kata dalam bA adalah dari fi‘l „verba‟, sedangkan linguis Bashrah
mengatakan akar kata dalam bA adalah mashdar (al-Labdi>, 1985: 123). Dari
kedua pendapat tersebut penulis lebih condong kepada bahwa akar kata dalam bA
berasal dari fi‘l „verba‟ karena dalam satu fi‘l bisa terdapat mashdar lebih dari
satu. Tidaklah dapat diterima jika sesuatu yang dijadikan dasar memiliki
bermacam-macam bentuk.
Selaras dengan pendapat bahwa akar kata dalam bA adalah fi‘l,
pembentukan kata terutama pada verba bA diketahui melalui sistem akar pola
yang biasa disebut sebagai wazn atau miqyas (a’r-Ra>jachi>, 2008: 19). Wazn
digunakan sebagai standar untuk menunjukkan pola dari suatu verba. Ahli bA
menggunakan paling sedikit tiga huruf asli (ف ع ل) dari verba فعل fa‘ala untuk
mewakili huruf-huruf dari wazn akar kata bA (a’r-Ra>jachi>, 2008: 32). Ketiga
huruf tersebut yakni huruf fa>‘ menjadi huruf pertama yang mewakili akar kata
dalam bA, kemudian huruf ‘ain mewakili huruf kedua, dan huruf la>m mewakili
huruf yang ketiga (a’r-Ra>jachi>, 2008: 19). Para ahli nahwu memilih kata فعل fa‘ala sebagai standar karena keberadaan tiga huruf tersebut yakni fa>’, ‘ain, dan
la>m mengandung perpaduan beberapa makhraj yaitu syafatun „bibir‟, fammun
„mulut', chalqun „tenggorokan‟. Di samping itu juga ada alasan lain dari ketiga
huruf tersebut yaitu ketiga huruf tersebut yang dilihat paling umum dari beberapa
kata kerja lain ditinjau dari segi makna (‘Utsma>n, 1939: 7). Ketiga huruf yang
menjadi wakil tiap huruf dari pada wazn dasar verba bA mempunyai penyebutan
tersendiri, huruf pertama yakni fa>’ pada pola disebut dengan fa>‘ul kalimah, huruf
4
kedua yakni ‘ain disebut dengan ‘ainul kalimah, dan huruf ketiga yakni la>m
dinamakan dengan la>mul kalimah (a’r-Ra>jachi>, 2008: 19).
Dari pola dasar yang terdiri dari tiga huruf fa‘, ‘ain, la>m tersebut
dikembangkan menjadi wazn atau pola dari verba dan nomina seperti fa‘ala pola
dari verba كتب kataba, fa‘ila pola dari verba حسب chasiba, fu‘ila pola dari
verba ضرب dhuriba, fu‘lun pola dari nomina رمح rumchun, fi‘lun pola dari
nomina ملح milchun, fu‘ulun pola dari nomina كتب kutubun, dan selainnya (a’r-
Ra>jachi>, 2008: 19).
Verba dalam bA ditinjau dari jumlah huruf penyusunnya dibedakan menjadi
dua yaitu tsula>tsi „verba yang terdiri dari tiga huruf konsonan asli‟ dan ruba>’i
„verba yang terdiri dari empat huruf konsonan asli‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).
Masing-masing dari verba tsula>tsi> dan ruba>‘i> dibedakan lagi menurut polanya
menjadi mujarrad tsula>tsi> (triliteral denude), mazi>d tsula>tsi> (triliteral
augmented), mujarrad ruba>‘i> (quadriliteral denude) dan mazi>d ruba>‘i>
(quadriliteral augmented) (a’d-Dahdah, tt: 564). Selanjutnya dari verba triliteral
dan kuadriliteral tersebut akan dibentuk menjadi berbagai macam jenis dan bentuk
kata.
Verba dasar triliteral terbagi menjadi tiga pola dasar yaitu fa‘ala, fa‘ila,
fa‘ula. Ketiga pola dasar tersebut dipecah lagi menjadi enam pola, yaitu fa‘ala-
yaf‘ilu, fa‘ala-yaf‘ulu, fa‘ala-yaf‘alu, fa‘ila-yaf‘alu, fa‘ila-yaf‘ilu, fa‘ula-yaf‘ulu.
Dari masing-masing enam pola verba tersebut dalam tashri>ful af‘al kemudian
dibagi lagi menurut shi>ghat ‘bentuk‟nya yaitu menjadi verba perfek, imperfek,
imperatif (a’d-Dahdah, 2000: 228). Pada verba perfek, imperfek dan imperatif
5
tersebut memiliki proses perubahan bentuk yang beragam menurut jenis verba
yang mengikutinya. Menurut pengamatan penulis sebagian besar penyebab utama
dari beragamnya proses perubahan bentuk internal pada verba bA yaitu karena
adanya huruf ‘illah yang menyusun verba-verba tersebut. Seperti contoh verba
perfek qawala قول qa>la dari jenis mu‘tal ajwa>f, yang asalnya adalah قال
mengikuti pola فعل fa‘ala. Huruf wau tersebut berubah menjadi alif karena
berdasarkan kaidah i‘la>l, apabila wau berharakat yang terletak setelah harakat
fatchah, maka huruf wau tersebut wajib diganti dengan alif. Contoh lain yaitu
verba imperfek للونن yatlu>na dari jenis verba mu‘tal na>qi>sh, yang asalnya adalah ينتي
yaf‘ulu>na. Huruf wau sukun yang berada فعلون yatluwu>na mengikuti pola ينتيللول نن
di akhir kata tersebut dibuang dan wau berharakat yang berada pada la>m fi‘l
disukunkan. Hal tersebut terjadi karena berdasarkan kaidah i‘la>l yaitu apabila
terdapat wau sukun di akhir kata dan huruf wau yang terletak pada la>m kalimah
berharakat, maka harakat pada huruf wau yang terletak pada la>m kalimah harus
disukun jika wau tersebut berharakat dhammah.
Di antara verba-verba bA, verba yang mengandung huruf ‘illah sangat
berpotensi terjadi proses perubahan bentuk internal. Verba berhuruf ‘illah tersebut
seperti fi‘l ajwa>f , fi‘l mitsa>l, fi‘l na>qish, dan fi‘l lafi>f yang masuk dalam jenis fi‘l
mu‘tal. Verba tersebut sangat berpotensi terjadi perubahan bentuk ketika
bersambung dhami>r, seperti ن- ي ,أي dalam proses infleksi verba. Perubahan
bentuk ini banyak terjadi pada verba-verba dasar terutama pada verba dasar
triliteral. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis mengambil pembahasan
tentang perubahan bentuk pada verba-verba dasar tsula>tsi> mujarrad „verba dasar
6
triliteral‟ berpola fa‘ala-yaf‘ulu untuk mengetahui lebih lanjut mengenai variasi
proses perubahan bentuk yang terjadi pada verba-verba bA.
Proses perubahan bentuk suatu kata menjadi bentuk yang lain disebut
dengan a’t-tashri>f ‘infleksi’ (Ba‘albaki, 1990: 246). Proses infleksi yang terjadi
pada verba disebut dengan tashri>ful af’a>l ‘konjugasi‟. Tashri>f af’a>l „konjugasi‟
merupakan proses perubahan verba yang menunjukkan pada perubahan kala,
jumlah (tunggal, dual, dan plural), atau jenis (laki-laki dan perempuan)
(Ba„albaki, 1990: 113). Misalnya pada pembentukan verba kala kini (perfek)
untuk persona yang berbeda-beda seperti verba درست darasta „kamu p2.m.s telah
belajar‟ untuk persona tunggal, berbeda dengan verba درستما darastuma> „kamu
p2.m.d telah belajar‟ untuk persona dual, dan درسنا darasna> „kami p1.n.p telah
belajar‟ untuk persona plural. Bentuk-bentuk kata yang berbeda itu sesungguhnya
memiliki identitas kata atau leksikal yang sama dengan kata dasarnya sedangkan
yang berbeda yaitu perubahan bentuk afiks pada verba tersebut. Perubahan bentuk
afiks pada verba di atas merupakan perwujudan dari proses infleksi dengan
konsep penanda persona, jumlah dan gender dalam verba bA.
Dalam perubahan bentuk verba bA banyak proses perubahan yang menjadi
pendukungnya. Proses-proses tersebut di antaranya berupa modifikasi internal
seperti i‘la>l (vocalization), idgha>m (elipsis), dan ibda>l (mutation). Proses-proses
itu menjadi pendukung perubahan terutama pada verba-verba yang berhuruf ‘illah
wa>w, ya>’ dan alif. Verba berhuruf ‘illah tersebut oleh al-Ghula>yaini> disebut
dengan fi‘l mu‘tal (2006: 40). Proses perubahan tersebut juga tidak dipungkiri
terjadi juga pada fi‘l shachi>ch, namun hanya fi‘l shachi>ch jenis mahmu>z saja yang
7
mengalami proses perubahan bentuk meskipun hanya pada verba imperatif dan
beberapa verba imperfeknya saja.
Seperti proses perubahan pada fi‘l mu‘tal ajwa>f bentuk verba imperatif
ta>ba نابن tub ‘bertaubatlah p2.m.s’ berasal dari verba dasar لب yatu>bu ينتيلوبل -
‘bertaubat’ yang mengikuti pola fa‘ala-yaf‘ulu asalnya ل يولب 'utwub. ل يولب 'utwub berubah menjadi لب tub karena terdapat huruf ‘illah wau yang berharakat
dhammah dan huruf sebelumnya yakni huruf ta>’ berharakat sukun atau mati,
maka agar tidak berat saat mengucapkan kata tersebut harakat pada huruf ‘illah
wau dipindahkan ke huruf sebelumnya yakni huruf ta>’, sehingga menjadi ل يلوب 'utu>b. Kemudian untuk menghindari bertemunya dua huruf mati, maka huruf
‘illah yang berharakar sukun dihapus sehingga menjadi ل لب 'utub. Setelah itu,
karena hamzah washl pada ل لب 'utub tidak dibutuhkan lagi maka dibuang
sehingga menjadi لب tub. Proses perubahan yang terjadi pada fi‘l mu‘tal ajwa>f
.tub yaitu proses i‘la>l لب
Fenomena dari proses perubahan bentuk pada verba atau disebut dengan
konjugasi yang dalam bA dikenal dengan tashri>ful af‘a>l (Ba„albaki, 1990: 113)
seperti i‘la>l (vocalization), idgha>m (elipsis), dan ibda>l (mutation) terjadi tidak lain
juga karena pengaruh dari afiksasi yang ada pada suatu verba. Perubahan afiks
pada suatu verba merupakan perwujudan dari proses infleksi atau tashri>f pada
verba yang disertai dengan perubahan dhami>r pelakunya. Perubahan pelaku
tersebut berdasarkan jumlahnya yang berupa dhami>r mufrad (tunggal), mutsanna
(dual), dan jama‘ (plural); berdasarkan jenis gendernya yaitu berupa maskulin
(dhami>r mudzakkar) dan feminin (muannats); serta berdasarkan posisi pelakunya
8
berupa orang pertama (mutakallim), atau orang kedua (mukha>thab), atau orang
ketiga (gha>‘ib).
Penelitian tentang tata bahasa yang berkaitan dengan kaidah bahasa
khususnya mengenai proses perubahan bentuk kata terutama verba telah banyak
dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan. Meskipun demikian, peneliti merasa
masih perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan lebih terperinci
tentang proses perubahan internal seperti i‘la>l dan idgha>m pada verba bA. Peneliti
juga tertarik untuk melakukan penelitian ini karena terkait dengan ketatabahasaan
yang dapat membantu para pembelajar untuk memahami tata bahasa terutama
kaidah morfologi dalam bA. Penelitian dengan judul infleksi kata kerja berpola
fa‘ala-yaf‘ulu yang ada dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia sejauh
pengamatan penulis dari berbagai perpustakan belum pernah dibahas.
Alasan dari pemilihan kamus al-Munawwir (1997) sebagai sumber
penelitian yaitu dipilih berdasarkan pada pertimbangan antara lain, karena kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia yang disusun dengan sistem pola akar kata
(Mahbib, 28 Oktober 2014: Diakses 24 Juli 2015 jam 20.26 wib). Pada kamus al-
Munawwir sejatinya ketika digunakan untuk mencari akar suatu kata,
mengharuskan penggunanya paham dengan dasar-dasar ‘ilm a’sh-sharf dan
nahwu, karena untuk mencari akar kata atau kata dasar kita harus mengetahui
bentuk fi‘l ma>dhi> dari kata tersebut. Selain itu, kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia merupakan kamus terlengkap dan juga merupakan salah satu kamus
yang banyak digunakan oleh pembelajar bahasa Arab.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan proses
pembentukan verba dasar triliteral secara infleksi serta dapat mendeskripsikan
9
macam-macam verba dasar triliteral yang mengikuti pola fa‘ala - yaf‘ulu yang
terdapat dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia edisi ke-2 cet.ke-14 tahun
1997 yang kemudian dapat memperkaya para peneliti bahasa dalam mempelajari
verba dasar triliteral dalam bA. Diharapkan juga dari penelitian yang dilakukan ini
dapat memberikan informasi mengenai afiks-afiks infleksi penanda persona,
jumlah dan gender pada verba dasar berbentuk ma>dhi> „perfek‟, mudha>ri’
„imperfek‟, dan amr „imperatif‟.
Penelitian tentang verba secara umum telah banyak dilakukan oleh peneliti
terdahulu, tetapi penelitian yang secara khusus membahas tentang pola
pembentukan secara infleksi pada verba triliteral serta afiks-afiks penanda
persona, jumlah dan gender pada verba dasar triliteral bA sejauh yang penulis
baca belum banyak dikaji. Beberapa penelitian dianggap mendasari penelitian ini
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Taqiyah (2009), Luthfan (2010), Afrizal
(2013), Ridwan (2014), Aliyah (2014) dan Idiatussaufiah (2015).
Taqiyyah (2009), telah melakukan penelitian dengan judul al-I‘la>l wal
Ibda>l fi> Su>rah al-Ahqa>f (dira>sah tahli>liyyah sharfiyyah). Permasalahan dalam
penelitian ini meliputi jumlah kalimat yang mengandung proses i‘la>l dan ibda>l
dalam pengucapan dan penulisan serta proses i‘la>l yang ada dalam surat al-Ahqa>f.
Hasil dari penelitian ini di antaranya penyebab dari terjadinya i‘la>l dan ibda>l
adalah a’ts-tsiqa>l dan yang mempengaruhi terjadinya i‘la>l dan ibda>l adalah at-
takhfi>f. Dalam surat al-Ahqa>f kalimat yang mengadung i‘la>l dan ibda>l ada 112
dengan perincian 52 i‘la>l bi’l-qalb, 27 i‘la>l bi’t-taski>n, 24 i‘la>l bi’l-hadzf, 5 i‘la>l
bil’-hamzah dan 4 ibda>l.
10
Luthfan (2010), telah melakukan penelitian dalam bentuk jurnal tentang
Sistem Morfologi Verba Bahasa Arab. Permasalahan yang dikaji yaitu sistem
morfologi verba dalam bA dengan perspektif linguistik modern. Sistem morfologi
tersebut mencakup tiga hal, yaitu: karakter morfologi, sistematika morfologi dan
proses morfologi. Penelitian ini menghasilkan tiga poin penting, yaitu (1) karakter
pembentukan kata dalam bA berdasarkan pada interdigitasi akar radikal dan pola,
(2) sistem morfologi bA bersifat infleksional dan derivasional, dan (3) proses
morfologi dalam bA tidak mengenal reduplikasi, komposisi dan konversi.
Afrizal (2013), telah melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan
judul Morfem-Morfem Pembentuk Verba Dasar Triliteral Bahasa Arab.
Penelitian ini berusaha mengungkap jumlah dan bentuk morfem yang terdapat
pada suatu verba dasar triliteral serta proses morfologis dan morfofonologis
beserta makna yang dikandung masing-masing morfem pembentuk verba dasar
triliteral. Hasil dari penelitian ini adalah verba dasar triliteral tersusun atas
morfem akar, transfiks, dan afiks persona, jumlah serta jenis. Proses morfologis
suatu verba dasar triliteral diawali dengan morfem akar yang mengalami
transfiksasi, sehingga menjadi pangkal dan dilanjutkan dengan afiksasi persona,
jumlah, dan jenis. Dari proses morfologi menyebabkan perubahan fonologis atau
disebut dengan proses morfofonologis yakni proses yang melibatkan fonem /w/,
/y/, /‟/ dan geminasi sebagai bagian dari morfem akar.
Ridwan (2014), telah melakukan penelitian yang disampaikan pada acara
Forum Ilmiah X (Seminar Internasional) dengan judul Verba Triliteral Bahasa
Arab: Tinjauan dari Prespektif Morfologi Derivasi dan Infleksi. Penelitian ini
mengungkapkan tentang paradigma infleksi persona, jumlah, dan gender dan
11
fungsi afiks infleksi penanda persona, jumlah, dan gender pada verba dasar
trilateral. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa verba dasar triliteral tersusun atas
morfem akar, transfiks, dan afiks persona, jumlah dan jenis. Proses morfologis
suatu verba dasar triliteral diawali dengan morfem akar yang mengalami
transfiksasi sehingga menjadi pangkal dan dilanjutkan dengan afiksasi persona,
jumlah, jenis. Proses morfologis tersebut dapat menyebabkan perubahan fonologis
atau yang biasa disebut proses morfofonologis. Proses morfofonologis ini
melibatkan fonem /w/,/y/, /ʔ/ dan geminasi sebagai bagian dari morfem akar.
Aliyah (2014), telah melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan
judul I‘la>l bil Ibdal dalam Kitab Ayyuhal Walad (Analisis Morfofonologi).
Penelitian ini membahas tentang proses i‘la>l bil ibdal dari kalimah yang ada
dalam kitab Ayyuhal Walad yang mengalami i’lal bil ibdal dan memaparkan
kalimah apa saja yang mengalami i‘la>l bil ibdal. Hasil dari penelitian ini di
antaranya ditemukan 93 data kalimah yang mengalami i’lal bil ibdal yang terdiri
atas 31 fi‘l ma>dh>i (verba perfektum), 15 fi‘l mudha>ri’ (verba imperfektum), 1 fi‘l
amr (verba imperatif), 23 ism mashdar (nomina original), 18 ism fa>’il (nomina
agentif), 2 ism maf’u>l (patient-noun), dan 2 ism makan (nomina lokal) dengan
proses analisis i‘la>l yang berbeda-beda yang terdiri atas 22 kalimah yang
mengganti huruf wau dengan huruf alif, 23 kalimah yang mengganti huruf ya>’
dengan huruf alif, 17 kalimah yang mengganti huruf wau dengan huruf ya’, 13
kalimah yang mengganti huruf wau dengan huruf hamzah, 14 kalimah yang
mengganti huruf ya>’ dengan huruf hamzah, 6 kalimah yang mengganti huruf
hamzah dengan huruf ma>d, 3 kalimah yang mengganti huruf wau dengan huruf
ta’, dan 1 kalimah yang mengganti huruf ya>’ dengan huruf ta’.
12
Idiatussaufiah (2015), telah melakukan penelitian dalam bentuk Tesis
dengan judul Sinonim Khamr dalam Bahasa Arab pada Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia (1997) (Analisis Semantik Leksikal). Penelitian mengungkapkan
tentang kata-kata yang bersinonim dengan khamr pada kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia (1997) dan medan semantik serta komponen makna dari masing-masing
sinonim tersebut. Selain itu penelitian ini juga mengungkapkan apakah kata-kata
tersebut benar-benar bersinonim mutlak atau hanya berdekatan saja. Adapun hasil
penelitian dari penelitian ini antara lain: ditemukannya beberapa kata yang
dianggap bersinonim dengan kata khamr dalan kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia (1997) yang dianalisis menggunakan analisis paradigmatik di antaranya
al-bit’u, al-jafnah, al-khafis, az-zarajun, nabiz, as-sakaru dan as-sulafu.
Sedangkan menurut komponen makna, terdapat 28 komponen makna yang
berbeda karena masing-masing kata yang bersinonim tersebut memiliki makna
yang berbeda ditinjau dari segi bahan, bentuk, rasa, warna dan proses
pembuatannya. Selain itu, kata-kata yang bersinonim itu tidak ada yang
bersinonim mutlak karena setiap kata memiliki beberapa komponen makna
pembeda antara kata satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai proses infleksi pada verba
dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu perlu dilakukan. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian di atas. Dalam penelitian ini mengambil fokus mengenai
proses-proses pendukung dalam perubahan bentuk verba pada proses infleksi
verba dasar triliteral berpola fa‘ala-yaf‘ulu yang ada dalam kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia, karena di antara pola-pola verba dasar, pola tersebutlah yang
13
banyak ditemukan dalam kamus al-Munawwir dan dalam proses pembentukan
verba, pola tersebut juga mengalami proses perubahan bentuk yang beragam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang tersebut di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana proses perubahan bentuk pada verba dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu
secara infleksi?
2. Bagaimana persebaran verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu dalam kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan deskripsi permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan proses perubahan bentuk pada verba dasar berpola fa‘ala-
yaf‘ulu secara infleksi.
2. Mendeskripsikan persebaran verba berpola verba fa‘ala-yaf‘ulu yang ada
dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia.
D. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan luasnya permasalahan mengenai proses infleksi pada
verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu, maka dalam penelitian ini hanya terbatas pada proses
perubahan pada verba jenis shachi>ch dan mu‘tal bentuk fi’l ma>dhi> ma’lu>m „verba
perfek aktif‟, dan fi’l mudha>ri’ ma‘lu>m „verba imperfek aktif‟, dan fi’l amr „verba
imperatif‟. Adapun untuk melihat persebaran verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu dalam
kamus al-Munawwir Arab-Indonesia tidak terbatas pada abjad-abjad tertentu,
akan tetapi menyeluruh dari abjad alif hingga ya>’.
14
E. Landasan Teori
1. Morfologi
a. Konsep Dasar Morfologi
Morfologi, secara etimologi berasal dari kata morf yang artinya „bentuk‟
dan kata logi yang berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah morfologi berarti „ilmu
mengenai bentuk‟ (Chaer, 2008: 3). Morfologi merupakan salah satu cabang
linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan
gramatikal (Verhaar, 1977: 52). Morfologi juga mempelajari seluk-beluk bentuk
kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk katanya terhadap golongan dan
arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari
seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu baik
fungsi gramatikalnya maupun fungsi semantik (Ramlan, 1987: 21).
Adapun dalam bahasa Arab ilmu ini lebih dikenal dengan istilah ‘ilm ash-
sharf (Ba‘albaki, 1990: 318 dan al-Khuli, 1982: 175). „Ilm a’sh-sharf merupakan
ilmu yang membahas tentang berbagai kata dari sisi tashri>f „perubahan bentuk
kata‟, ibda>l „penggantian huruf lain pada posisinya‟, idgha>m „memasukkan satu
huruf ke huruf lain‟, dan penggantian huruf (al-Ghula>yaini>, 2006: 8)
Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata. Satuan yang paling kecil
diselidiki oleh morfologi ialah morfem dan yang paling besar berupa kata.
Adapun satuan gramatikal yang salah satu unsurnya berupa afiks juga termasuk
dari satuan yang diselidiki oleh morfologi (Ramlan, 1987: 23-25).
15
b. Kata
Kata adalah satuan atau bentuk “bebas” dalam tuturan. Bentuk “bebas”
secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, atau tidak
membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari
bentuk-bentuk “bebas” lainnya di depannya dan dibelakangnya dalam tuturan
(Verhaar, 2012: 97). Kata dapat terbentuk dari satu morfem bebas, misalnya
rumah, rijl (Asrori, 2004: 24), atau pada verba bA seperti kata fahima
(Hidayatullah, 2012: 55). Morfem bebas berbeda dengan morfem terikat. Morfem
terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan yang hanya dapat
meleburkan diri pada morfem lain (Verhaar, 2012: 97), apabila tidak digabungkan
dengan morfem lain tidak akan muncul dalam pertuturan (Chaer, 2007: 152),
misalnya dalam bA pada partikel al- (Verhaar, 2012: 55). Dalam verba bA, satu
kata dapat terdiri dari satu atau lebih morfem terikat seperti kata yaktubna, yang
terdiri dari satu morfem bebas (KtuB) dan dua morfem terikat (ya- dan -na)
(Verhaar, 2012: 55-56).
Morfem tidak dapat dianalisis menjadi bentuk yang lebih kecil lagi,
(kecuali menjadi bentuk fonem) yang disebut dengan akar kata (root) (Bauer,
1988: 11). Misalnya dalam bA pada kata kataba mempunyai akar kata KTB. Akar
kata tersebut nantinya akan melahirkan bentuk kata yang lain yang disebut dengan
pola atau wazn (Hidayatullah, 2012: 56). Morfem yang dilekati oleh afiks atau
unit morfologis lainnya disebut dengan morfem dasar (base) (Bauer, 1988: 12).
Adapun menurut Chaer istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya
digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar dalam proses
morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal atau dapat juga berupa
16
gabungan morfem. Misalnya dalam bahasa Inggris kata singers bentuk dasarnya
adalah singer, sedangkan kata singer itu sendiri bentuk dasarnya adalah sing
(Chaer, 2007: 159). Sedangkan morfem pangkal digunakan untuk menyebut
bentuk dasar dalam proses infleksi atau pembubuhan afiks inflektif. Contoh dalam
bahasa Indonesia kata menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi, dan morfem
me- adalah bentuk afiks inflektif (2007: 160).
Kata dalam bA dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ism „nomina‟, fi‘l „verba‟,
dan charf „partikel‟. (1) Ism atau yang lebih dikenal dengan kata benda adalah
kata yang menunjukkan pada makna mandiri dan tidak berkaitan dengan waktu
(a’d-Dahdah, 2000: 15). Lebih spesifiknya ism merupakan kata yang menunjukan
pada makna manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, tempat, waktu, sifat, atau
makna yang bebas dari waktu (Ni‟mah, tt: 17). (2) Fi‘l „verba‟ adalah kata yang
menunjukkan kepada suatu kejadian di waktu tertentu (Ni„mah, tt: 18). (3) Charf
„partikel‟ adalah setiap kata yang tidak memiliki makna kecuali bersamaan
dengan kata yang lain. Seperti, fi>, hal, an, la>m (Ni„mah, tt: 18).
Fi‘l adalah kata yang menunjukkan kepada dua perkara yang terjadi
bersamaan yaitu suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan pada waktu tertentu.
Fi‘l atau verba bA memiliki keistimewaan yang dilihat dari kaidahnya dengan
memiliki dua tema yang berbeda, yaitu menurut jenisnya dan keadaannya.
Menurut jenisnya verba bA dibagi menjadi dua, yaitu al-fi‘l at-ta>m, seperti kataba
dan al-fi‘l an-na>qish, seperti ka>na. Kemudian al-fi‘l at-ta>m dibagi lagi menjadi
dua, yakni al-fi‘l al-muta’addi>, seperti qathafa dan al-fi‘l al-la>zim, seperti jalasa.
al-fi‘l al-la>zim kemudian dibagi juga menjadi dua macam yaitu, al-fi‘l al-ma‘lu>m,
seperti saraqa dan al-fi‘l al-majhu>l, seperti suriqa (a’d-Dahdah, 2000: 228).
17
Fi‘l ‘verba’ menurut keadaannya dibagi menurut tema-tema tertentu di
antaranya sebagai berikut: (1) dilihat dari segi shigha>t „bentuknya‟ terbagi
menjadi ma>dhi, mudha>ri’, dan amr. (2) dilihat dari segi waktunya terbagi menjadi
ma>dhi, cha>dhir, dan mustaqbal. (3) dilihat dari segi wazn „polanya‟ terbagi
menjadi mujarrad tsula>tsi>, mazi>d tsula>tsi, mujarrad ruba’i>, dan mazid ruba’i>. (4)
dilihat dari segi huruf ‘illahnya terbagi menjadi shachi>h dan mu‘tal. (5) dilihat
dari segi ‘amalnya, terbagi menjadi ‘a>mil dan makfu>f. (6) dilihat dari segi
penetapannya terbagi menjadi mutsbat dan manfi>. (7) dilihat dari segi
penegasnya terbagi menjadi mu’akkad dan ghairu mu’akkad. (8) dilihat dari segi
i‘ra>b ‘harakat akhirnya’, terbagi menjadi mu’rab dan mabni>. (9) dilihat dari segi
tashri>f ‘perubahannya’ terbagi menjadi mutasharrif dan ja>mid (a’d-Dahdah, 2000:
228).
Adapun dalam kitabnya Ja>mi’ud Duru>s al-‘Arabiyyah, al-Ghula>yaini>
menggolongkan verba shachi>ch dan mu‘tal ke dalam jenis verba menurut kuat dan
lemah huruf-hurufnya (2006: 39-40). Berikut definisi dan pembagian shachi>ch
dan mu‘tal menurut al-Ghula>yaini>.
a. Al-Fi‘l A’sh-Shachi>ch
Al-fi‘l a’sh-shachi>ch yaitu verba yang huruf-hurufnya berupa huruf asli,
bukan berupa huruf ‘illah alif, wa>w, ya>’ ( ي, , ) (al-Ghula>yaini>, 2006: 40) dan
yang tidak mengalami i‘la>l (al-Qu>ri>, tt: 2). Contoh: كتب kataba „menulis‟, بدل badala „mengganti‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).
Fi‘l shachi>ch menurut al-Ghula>yaini> terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Fi‘l shachi>ch sa>lim adalah verba yang salah satu hurufnya bukan berupa
huruf ‘illah, hamzah ataupun tadh‘i>f „dua huruf yang melebur jadi satu‟
18
(al-Ghula>yaini>, 2006: 40), dan yang tidak mengalami i‘la>l (al-Qu>ri>, tt: 2).
Contoh: ,‟nashara „menolong نصنر ,<qatala „membunuh‟ (al-Ghula>yaini قتل
2006: 40).
2) Fi‘l shachi>ch mahmu>z adalah verba yang salah satu huruf aslinya berupa
huruf hamzah. Letak hamzah tersebut dapat berada di depan (fa>‘ fi‘l), tengah
(‘ain fi‘l) atau di akhir kata (la>m fi‘l) (al-Hamalawi>, 1893: 59). Kata kerja
jenis ini terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
a) Mahmu>z Fa>’, yaitu verba yang fa>’ fi‘lnya berupa hamzah.
contoh: أنكنل akala „makan‟ (a’d-Dahdah, tt: 434).
b) Mahmu>z ‘ain, yaitu verba yang ‘ain fi‘lnya berupa hamzah.
contoh: لؤم la‘uma „kikir‟ (a’d-Dahdah, tt: 434), رأى raa> ‘melihat’,
.sa’ala „bertanya‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40)سأل
c) Mahmu>z La>m, yaitu verba yang la>m fi‘lnya berupa hamzah.
contoh: خطئ khathi‘a „salah‟ (a’d-Dahdah, tt: 434). قرأ qara’a „membaca‟
(al-Ghula>yaini>, 2006: 40).
d) Fi‘l shachi>ch mudha>’af adalah kata kerja penyusun huruf aslinya berupa dua
huruf yang sejenis, tapi bukan sebagai tambahan (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).
Kata kerja jenis ini terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a) Mudha>’af tsula>tsi>, yaitu verba yang ‘ain fi‘l dan la>m fi‘lnya berupa huruf
sejenis.
Contoh: منرر marra „lewat‟
b) Mudha>’af ruba>’i>, yaitu verba yang fa>‘ fi‘l dan la>m fi‘l pertama sejenis
dengan huruf di fa>’ fi‘l dan la>m fi‘l kedua.
Contoh: زنلزنل zalzala „bergoncang‟
19
b. Al-Fi‘l Al-Mu‘tal
Al-fi‘l al-mu‘tal yaitu verba yang salah satu huruf aslinya berupa huruf
‘illah. Fi‘l mu‘tal ini terbagi menjadi empat macam yaitu 1) Fi‘l Mitsal, 2) Fi‘l
Ajwa>f, 3) Fi‘l Na>qish, dan 4) Fi‘l Lafi>f (al-Ghula>yaini>, 2006: 40). Berikut
definisinya :
1) Fi‘l mitsa>l
Fi‘l mitsa>l adalah verba yang fa>’ fi‘lnya atau huruf pertamanya berupa huruf
‘illah (al-Ghula>yaini>, 2006: 40). Verba ini dinamakan dengan “mitsa>l‛ karena
dia semisal dengan fi‘l shachi>ch dalam proses i‘la>l fi‘l ma>dhi>nya (al-Hamalawi>,
1893: 60). Yakni maksudnya ketika proses i‘la>l fi‘l mitsa>l bentuk ma>dhi> „perfek‟,
huruf ‘illah tidak masuk dalam proses i‘la>l fi‘l ma>dhi> (‘Ali>m, 2004: 403).
Contoh: عد wa‘ada „berjanji‟, سر yasara „mudah‟ (al-Hamalawi>, 1893: 60)
2) Fi‘l ajwa>f
Fi‘l ajwa>f adalah kata kerja yang‘ain fi‘lnya atau huruf keduanya berupa
huruf ‘illah. Contoh: قال qa>la ‘berkata’, باع ba>’a „menjual‟ (al-Ghula>yaini>,
2006: 40).
Verba ini dinamakan dengan “ajwa>f ” karena bagian tengahnya (‘ain fi‘l)
bukan huruf shachi>ch, dan dinamakan juga verba yang mempunyai tiga huruf
karena ketika bersambung dengan dhami>r ta>’ fa>‘il verba ajwa>f menjadi tiga
huruf, seperti قلت qultu „p1.n.s telah berkata‟, بعت bi‘tu „p1.n.s telah
menjual‟ (al-Hamalawi>, 1893: 60).
20
3) Fi‘l na>qish
Fi‘l na>qish adalah kata kerja yang la>m fi‘lnya berupa huruf ‘illah (al-
Ghula>yaini>, 2006: 40). Verba ini dinamakan dengan na>qish yaitu karena huruf
akhirnya (lam fi‘l) dihapus karena terjadi perubahan.
Contoh: غز ghaza> „menyerang‟, رنمنى rama> ‘melemparkan’ (al-Hamalawi>, 1893:
.radhiya ‘ridha’ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40) رضي ,(60
4) Fi‘l lafi>f
Fi‘l lafi>f adalah kata kerja yang dua huruf penyusunnya berupa hururf ‘illah
asli. Fi‘l lafi>f terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
(a) Lafi>f maqru>n adalah kata kerja yang dua huruf ‘illah penyusunnya
terkumpul menjadi satu (al-Ghula>yaini>, 2006: 40), terletak di ‘ain kalimah
dan la>m kalimah (al-Hamalawi>, 1893: 60). Dinamakan dengan “maqru>n”
yaitu karena kedua huruf ‘illah letaknnya saling berdekatan (1893: 60).
Contoh: نينونى nawa> ‘berniat’ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).
(b) Lafi>f mafru>q adalah kata kerja yang dua huruf ‘illah penyusunnya terletak
secara terpisah (al-Ghula>yaini>, 2006: 40), yaitu terletak di fa>‘ fi‘l dan la>m
fi‘lnya (al-Hamalawi>, 1893: 60). Dinamakan dengan “mafru>q” yaitu karena
kedua huruf ‘illah letaknnya terspisah dari huruf ‘illah yang lainnya (1893:
60). Contoh: نقنى waqa> ‘menjaga’ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).
2. Proses Morfologis
a. Derivasi
Derivasi atau derivational merupakan pembentukan kata baru dengan
identitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya (Chaer, 2007: 175). Seperti
dari kata bahasa inggris sing “menyanyi” terbentuk kata singer “penyanyi”. Pada
21
kata tersebut jelas terdapat perbedaan identitas leksikal, sebab selain perbedaan
makna juga terdapat perbedaan kelas katanya; sing berkelas verba, sedangkan
singer berkelas nomina.
Dalam bA derivasi dikenal dengan istilah إلشتقاق al-isytiqa>q (Ba‘albaki,
1990: 142 dan al-Khuli 1982: 70). al-Khuli (1982: 70) dalam kamusnya A
Dictionary of Theoretical Linguistics English-Arabic menjelaskan bahwa derivasi
adalah,
من ملشتقة (كا ب) مثل , جلذر يف معها تحد أخرى كلمة كو ن : إلشتقاق حدة ز ئدة بإضافة عادة ألشتقاق كنونwrite . ملشتقة من writer (كتب) . لساق أ جلذر إىل أكثر أ
Al-Isytiqāqu: takwīnu kalimatin ukhrā tattachidu ma’ahā fi>l judzri, mitslu (kātibun) al-musytaqqatu min (kataba) wa ‚writer‛ al-musytaqatu min ‚write‛. Wa yukawwinu al-isytiqāqu ‘ādatan bi-idhāfatin zāidatin wāchidatin aw aktsara ilāl judzri awi’s-sāqi.
“Derivasi yaitu pembentukan satu kata baru yang serupa dengan kata
sebelumnya ditinjau dari akar kata pembentukannya, seperti kata
kātibun dibentuk dari kata kataba, sama halnya seperti kata writer
yang dibentuk dari kata write. Biasanya Pembentukan kata derivasi
yaitu dengan menambahkan satu huruf tambahan atau lebih kepada
akar kata aslinya.”
al-Isytiqa>q pada asalnya adalah mengambil pecahan dari sesuatu atau
mengambil setengah bagian dari sesuatu. Secara terminologi al-Isytiqa>q adalah
mengambil suatu kata dengan adanya syarat antara kedua kata tersebut
mempunyai keserupaan dalam hal lafaznya, maknanya dan susunan hurufnya serta
perubahan dalam hal bentuknya. Seperti kata كتب uktub „tulislah‟ asalnya كتب yaktubu „sedang menulis‟, كتب yaktubu berasal dari verba perfek كتب kataba
„telah menulis‟, كتب kataba berasal dari mashdar كتابة kita>batan „tulisan‟ (al-
Ghula>yaini>, 2006: 156).
22
Al-Ghula>yaini> membagi al-Isytiqa>q yang terjadi pada verba menjadi tiga
macam (2006: 156-157), yaitu :
1) Al-Isytiqa>qul Ma>dhi>
Proses pembentukan pada fi‘l ma>dhi> ini, fi‘l ma>dhi> diambil dari pola
sumber yang berbeda-beda.
2) Al-Isytiqa>qul Mudha>ri’
Proses pembentukan pada fi‘l mudha>ri’ yaitu diambil dari fi‘l ma>dhi>,
dengan menambahkan huruf-huruf mudha>ra’ah (sebagai penanda fi‘l mudha>ri’) di
awal katanya. Huruf-huruf mudha>ra’ah ada empat yakni أ hamzah, ت ta>’, ن nu>n,
dan ي ya>’, yang disingkat menjadi “أنيت” (al-Ghula>yaini>, 2006: 156).
Huruf-huruf mudhar>a’ah tersebut memiliki fungsi sebagai berikut (al-
Ghula>yaini>, 2006: 156-157) :
a) Huruf أ hamzah
Digunakan untuk orang pertama sebagai pelaku (mutakallim) ketika dalam
keadaan tunggal. Contoh: ذهب dzahaba „dia p3.m.s telah pergi‟, dimasuki dhami>r
.‟adzhaba „saya sedang pergi' أذهب ana> menjadi' أنا
b) Huruf ت ta>’
(1) Untuk orang kedua (mukha>thab) maskula (mudzakkar) ketika dalam
keadaan tunggal, dual, dan plural.
Contoh:
Tunggal
أنتن 'Anta
„kamu p2.m.s‟
ذهبTadzhabu
„kamu p2.m.s sedang pergi‟
Dual
نتما'Antuma>
„kamu p2.n.d’
ذهبانTadzhaba>ni
„kamu p2.m.s sedang pergi‟
23
Plural
نتم'antum
„kalian p2.m.p‟
ذهبونtadzhabu>na
„kalian p2.m.p sedang pergi‟
(2) Untuk orang kedua (mukha>thab) femina (muannats) ketika dalam keadaan
tunggal, dual, dan plural.
Contoh:
Tunggal
أنت'anti
„kamu p2.f.s‟
ذهبنيtadzhabi>na
„kamu p2.f.s sedang pergi‟
Dual
نتما'antuma>
„kamu p2.f.d‟
ذهبانtadzhaba>ni
„kamu p2.f.s sedang pergi‟
Plural
نن 'antuna
„kalian p2.f.p
ذهنبtadzhabi>n
„kalian p2.f.p sedang pergi‟.
(3) Untuk orang ketiga (gha>’ib) maskula/femina ketika dalam keadaan tunggal
dan dual.
Contoh:
Tunggal
هي
hiya
„dia p3.f.s‟
ذهبtadzhabu
„dia p3.f.s sedang pergi‟
Dual
مهاhuma>
„dia p3.n.d‟
ذهبانtadzhaba>ni
„dia p3.f.d sedang pergi‟
c) Huruf ن nu>n
Digunakan untuk orang pertama (mutakallim) ketika dalam keadaan
plural. Contoh: حنن nahnu „kami (lk/pr)‟, masuk ke dalam verba imperfek menjadi
seperti: نذهب nadzhabu „kami (lk/pr) sedang pergi‟.
d) Huruf ي ya’>
Digunakan untuk orang ketiga (gha>’ib) maskula/femina ketika dalam
keadaan tunggal, dual dan plural.
24
Contoh :
Tunggal هو
huwa „dia p3.m.s‟
ذهبyadzhabu
„dia p3.m.s sedang pergi‟
Dual مها
huma> ‘dia p3.n.d’
ذهبانyadzhaba>ni
„dia p3.n.d sedang pergi‟
Plural
همhum
„mereka p3.m.p‟
ذهبونyadzhabu>na
„mereka p3.m.p sedang pergi‟
هن hunna
„mereka p3.f.p‟
ذهنبyadzhabna
„mereka p3.f.p sedang pergi‟
Berikut cara pembentukan fi‘l mudha>ri’ yang diambil dari fi‘l ma>dhi>
dengan menambahkan huruf mudha>ra’ah di awal katanya (al-Ghula>yaini>, 2006:
157) :
(1) Huruf pertama disukunkan setelah dimasuki oleh huruf mudha>ra‘ah.
Contoh:
(2) Kemudian huruf yang keduanya difatchahkan, didhammahkan atau
dikasrahkan sesuai dengan kehendak bahasa (menurut penulisan bahasa
yang telah banyak dikenal dan yang benar).
Contoh: علم ya’LAmu „p3.m.s sedang mengetahui‟, كتب yakTUbu
„p3.m.s sedang menulis‟, حيمل yachMIlu „p3.m.s sedang membawa‟.
نأكل أكل أكلakala 'kala ya’kulu
„p3.m.s telah makan‟ „p3.m.s sedang makan‟
نسأل سأنلن سنأنلن Sa’ala s’ala Yas’alu
„p3.m.s telah bertanya‟ „p3.m.s sedang bertanya‟
25
3) al-Isytiqa>qul Amr
Proses pembentukan pada fi‘l amr yaitu diambil dari fi‘l mudha>ri’ dengan
membuang huruf mudha>ra‘ah yang ada di awal fi‘l mudha>ri’. Apabila setelah
huruf mudha>ra’ah adalah huruf yang berharakat maka keadaannya tetap (al-
Ghula>yaini>, 2006: 157). Seperti: تعلم yata‘allamu „p3.m.s sedang belajar‟, bentuk
fi‘l amrnya yaitu علم ta‘allam „belajarlah p2.m.s‟.
Kemudian apabila setelah huruf mudha>ra‘ah itu huruf yang berharakat
sukun, maka yang semula tempat huruf mudha>ra‘ah diganti sebagai ditempati
oleh hamzah za>idah (huruf hamzah tambahan), Contoh: كتبت taktubu „p2.m.s
sedang menulis‟, bentuk fi‘l amrnya yaitu كتب 'uktub „tulislah p2.m.s‟.
Hamzah yang terdapat pada fi‘l amr adalah hamzah washl yang berharakat
kasrah. Contoh: علم 'i‘lam „ketahuilah p2.m.s‟, كتب 'uktub „tulislah p2.m.s‟.
Kecuali, apabila fi‘l ma>dhi>nya terdiri dari empat huruf, maka hamzahnya adalah
hamzah qath‘i yang dibaca fatchah. Contoh: م أكر 'akrama „memuliakan‟, أحسن 'achsana „membaguskan‟, ىأعط 'a‘tha> ‘memberikan’. Serta apabila fi‘l ma>dhi>
yang terdiri dari tiga huruf yang ‘ain fi‘lnya berharakat dhammah (فعلل yaf‘ulu),
maka hamzahnya adalah hamzah washl yang dibaca dhammah. Contoh: دخلت tadkhulu „p2.m.s sedang masuk‟, bentuk fi‘l amrnya yaitu دخل udkhul
„masuklah p2.m.s‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).
b. Infleksi
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa fleksi, ketika menggunakan kata-
kata dalam bahasa berfleksi di dalam sebuah kalimat, maka harus disesuaikan
dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa
26
itu. Penyesuaian bentuk itu dengan menggunakan alat-alat gramatikal yang
biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga
berupa modifikasi internal yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasarnya
(Chaer, 2007: 170).
Infleksi atau inflection merupakan perubahan bentuk kata yang
menunjukkan pelbagai hubungan gramatikal; mencakup deklinasi nomina,
pronominal, ajektiva, dan konjungsi verba. Dalam proses Infleksi juga ada unsur
yang ditambahkan pada sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan
gramatikal; mis, s dalam boys menunjukkan infleksi plural, s dalam reads
menunjukkan infleksi verba orang ketiga (Kridalaksana, 2008: 93).
Definisi infleksi menurut Kridalaksana selaras dengan definisi infleksi
menurut al-Khuli. al-Khuli (1982: 131) mendifinisikan infleksi atau لتصر ف a’t-
tashri>f dengan :
.بسو ها عالقتها جلملة يف ظيفتها على لتدل لكنلمة ز ئد إضافة : لتصر فA’t-tashri>fu: idhāfatu zawāidil-kalimati litadulla ‘alā wazhīfatihā fi>l jumlati wa ‘alāqatiha> bisiwāhā.
“Infleksi yaitu menambahkan beberapa huruf tambahan pada suatu
kata dengan tujuan merubah fungsinya dalam suatu kalimat dan
merubah hubungannya dengan kata-kata yang sebelum dan
sesudahnya).”
Adapun menurut Ba‘albaki> (1990: 246) infleksi disebut dengan لتصر ف a’t-tashri>f yang maknanya غيري taghyi>r „perubahan‟. Berikut penjelasan infleksi
menurut Ba‘albaki> dalam Dictionary Of Linguistic Terms English-Arabic, أ , " ناجح" من "ناجون": مثال )حتو ل صيغة لكلمة إىل صيغة أخرى : لتصر ف
eatمنeat .) A’t-tahri>fu: Tachwi>lu shi>ghatil kalimati ila> shi>ghatin ukhra> (mistla>: ‚na>jichu>na‛ min ‚na>jichu‛, aw ‚eat min eat‛.
27
“Tashri>f adalah mengubah bentuk suatu kata menjadi bentuk yang lain
(Seperti: kata na>jichu>na asalnya na>jichu, atau “eat” asalnya “eat”).”
Definisi Ba‘alba>ki di atas menjelaskan bahwa infleksi mengubah suatu kata
menjadi kata yang lain yang sama identitas leksikalnya, seperti yang dicontohkan
bahwa kata na>jichu berubah menjadi na>jichu>na yang memiliki identitas leksikal
sama yaitu sama-sama verba.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Samsuri, bahwa infleksi
adalah suatu konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya
(Samsuri dalam Putrayasa, 2008: 113). Hal itu dapat juga dikatakan bahwa
infleksi merupakan sebuah proses morfologi karena afiksasi yang menyebabkan
terbentuknya berbagai bentukan dengan ketentuan bahwa bentukan tersebut tetap
dalam kelas kata yang sama, dan tidak terjadi perubahan kelas kata. Bahwa pada
umumnya, perubahan bentuk atau proses morfologis (infleksi) tersebut hanyalah
menyatakan hubungan sintaksis dan tidak membawa pemindahan dari satu kelas
ke kelas yang lain (Parera (1994) dalam Putrayasa, 2008: 113).
Jika dalam sebuah proses morfologis menimbulkan perubahan bentuk atau
kata yang bermorfem plural dan bentuk-bentuk tersebut secara sintaksis tidak
mempunyai ekuivalen dalam distribusi sintaksis dengan sebuah kata bermorfem
tunggal, maka bentuk ini disebut dengan bentuk infleksi. Jadi pada umumnya
bahwa perubahan bentuk itu hanya menyatakan hubungan sintaksis dan tidak
membawa pemindahan dari satu kelas kata ke dalam kelas kata yang lain (Parera,
2007: 23).
Dalam proses distribusinya proses infleksi mengalami distribusi yang lebih
luas dari pada proses derivasi. Karena pada proses infleksi biasanya memberikan
28
atau menyatakan beberapa kategori ketatabahasaan seperti, tunggal dan plural,
jenis kelamin (pria/jantan dan wanita/betina), aspek dan waktu, bentuk aktif dan
pasif, tata tingkat sifat (biasa, lebih, sangat/amat) dan beberapa kategori yang
mungkin terjadi sesuai dengan kekhasan bahasa tertentu masing-masing (Parera,
2007: 23).
Proses infleksi tidak hanya terjadi pada kata benda, akan tetapi dapat pula
terjadi pada kata kerja. Infleksi yang terjadi pada kata kerja dinamakan dengan
konjugasi. Konjugasi adalah klasifikasi verba menurut bentuk-bentuk infleksinya
atas kala, persona, dan jumlah; infleksi kata kerja; seperangkat verba yang
mempunyai sistem infleksi yang hampir bersamaan (Kridalaksana, 2008 : 131).
Konjugasi oleh Ba‘albaki (1990: 113) disebut dengan صر ف ألفعال
tashri>ful af‘a>l yaitu,
نية جلمع أ لتذكري ثأ إلفر د لت, غيري صورة لفعل للداللة على لزمن . خل, ذهبان , ذهب , ذهبو , ذهبت , ذهب: مثال: لتأنيث
Taghyi>ru shu>ratil fi‘li liddila>lati ‘ala’z-zamani, awil ifra>di wa’t-tatsniyati wal jam’i awi’t-tadzki>ri wa’t-ta’ni>tsi, mistla>: dzahaba, dzahabat, dzahabu>, yadzhabu, yadzhaba>ni. “proses perubahan verba yang menunjukkan pada perubahan kala,
jumlah (tunggal, dual, dan plural), atau jenis (laki-laki dan
perempuan), seperti dzahaba, dzahabat, dzahabu>, yadzhabu,
yadzhaba>ni, dan selainnya.”
Dalam bahasa Arab infleksi atau tashri>f pada kata kerja terjadi disertai
dengan perubahan dhami>rnya. Seperti yang dikatakan oleh al-Ghula>yaini> bahwa
perubahan yang terjadi pada verba adalah perubahan yang terjadi berdasarkan
pelakunya atau fa>‘ilnya (2006: 167). Perubahan pelaku atau fa>‘ilnya berdasarkan
jumlahnya yaitu berupa dhami>r mufrad „kata ganti untuk tunggal‟, mutsanna „kata
ganti untuk dua orang‟ atau jama’ „kata ganti untuk tiga orang atau lebih‟,
29
berdasarkan gendernya yaitu berupa dhami>r mudzakkar „kata ganti orang berjenis
laki-laki‟ dan dhami>r muannats „kata ganti orang berjenis perempuan‟ dan
berdasarkan posisinya pelakunya yaitu berupa dhami>r gha>’ib „kata ganti orang
untuk orang ketiga‟ hingga dhami>r mukha>thab „kata ganti orang untuk orang
kedua‟.
Perubahan yang terjadi pada fi‘l ma>dhi> dan fi‘l mudha>ri’ ada empat belas
bentuk, di antaranya tiga dari bentuk gha>’ib, tiga dari bentuk gha>’ibah, tiga
berbentuk mukha>thab, tiga berbentuk mukha>thabah, dan dua bentuknya berupa
mutakallim. Adapun perubahan yang terjadi pada fi‘l amr ada enam bentuk yaitu
tiga berupa mukha>thab dan tiga berupa mukha>thabah.
Berikut perubahan yang terjadi pada kata kerja yang dilihat dari jenis kata
kerjanya berdasarkan huruf penyusunnya beserta perubahan pada dhami>rnya:
1) Tashri>f pada fi‘l shachi>ch sa>lim
Pada fi‘l shachi>ch sa>lim dari jenis fi‘l tsula>tsi>, padanya tidak terjadi
perubahan (al-Ghula>yaini>, 2006: 168). Maksud dari tidak terjadi perubahan yakni
tidak mengalami perubahan dalam mengikuti standar wazn „polanya‟ dalam
tashri>f, meskipun ketika disandarkan kepada ism dhami>r (tunggal, dual, plural)
ataupun ism zhahi>r. Contoh نصر nashara, نصر nashara>, نصر nasharu>.
2) Tashri>f pada fi‘l shachi>ch mahmu>z
Pada fi‘l shachi>ch mahmu>z dari jenis fi‘l tsula>tsi>, padanya tidak terjadi
perubahan kecuali hanya terjadi pada bentuk fi‘l amr saja, seperti أخذ 'akhadza
„mengambil‟, أكل 'akala „makan‟, dan terkadang fi‘l amr datang dalam bentuk
30
hamzah yang telah dihapus seperti, خلذ khudz „ambillah‟, كلل kul „makanlah‟
(al-Ghula>yaini>, 2006: 168).
Pada fi‘l mahmu>z yang berupa fi‘l mudha>ri’, ketika huruf pertama
disandarkan pada bentuk orang pertama atau mutakallim, maka kedua hamzah
diganti menjadi bentuk ma>d, seperti آمر ,‟a>khadza „saya sedang mengambil' آخذ'a>mara „p1.n.s sedang memerintahkan‟. Dan ketika fi‘l mahmu>z fa> ‘ berupa fi‘l
amr yang huruf pertamanya berharakat dhammah, maka huruf hamzah yang kedua
diganti dengan huruf wau seperti, ا زلهريل ارين ا وا ل 'u>mul ya> zuhairul khaira
„berharaplah kebaikan wahai zuhair‟. Adapun ketika hamzah itu diucapkan
dengan disambungkan dengan kata sebelumnya, maka hamzah itu menjadi tetap
sesuai dengan keadaannya seperti .ya> zuhairu’ mulul khaira ارين ؤلوا زهريل ا
3) Tashri>f pada fi‘l mudha>’af
Perubahan yang terjadi pada fi‘l mudha>’af yakni dengan melepaskan
penekanan tasydi>d bersama dengan dhami>r rafa>‘ mutacharrikah seperti pada
verba مددت madadta „p2.m.s telah membentangkan‟, مددت madattu „p1.n.s
telah membentangkan‟, مددن madadna> „p1.n.p telah membentangkan‟, ميددن yamdudna „p3.f.p telah membentangkan‟, مددن 'umdudna „bentangkanlah p2.f.p‟
(al-Ghula>yaini>, 2006: 168).
Diperbolehkan juga apabila fi‘l amr tersebut dalam bentuk tunggal atau
berupa fi‘l mudha>ri’ yang bersambung dengan la>m amr, disandarkan pada bentuk
tunggal dengan memberi tasydi>d seperti, مد mudda „bentangkanlah p2.m.s‟ dan مد تل la-tamudda „jangan dibentangkan p2.m.s‟, atau dengan menguraikannya
31
seperti, مدد 'umdud „bentangkanlah p2.m.s‟, dan مددتل la-yamduda „jangan
bentangkan p2.m.s‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 168).
4) Tashri>f pada fi‘l ajwa>f
Perubahan yang terjadi pada fi‘l ajwa>f yakni dengan menghapus huruf
‘illah yang ada bersama dengan dhami>r rafa>‘ mutacharrikah, seperti قلت qultu
„p1.ns telah mengatakan‟, قلنا qulna> „p1.n.p telah mengatakan‟, قلتم qultum
„p2.m.p telah mengatakan‟, قلن taqalna „p2.f.p telah mengatakan‟, قلن qulna
„katakanlah p2.f.p‟. Adapun pada fi‘l amr ketika dalam keadaaan mufrad
mukha>thab „bentuk tunggal pelaku orang pertama‟, seperti قل qul „katakanlah
p2.m.s‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 169).
Apabila fi‘l ma>dhi> ajwa>f tsula>tsi> mujarrad disandari oleh dhami>r rafa>‘
mutacharrikah huruf pertamanya didhammahkan ketika berbentuk fi‘l ajwa>f wa>wi
wazn fa‘ala-yaf‘ulu seperti قلت qultu „p1.n.s telah mengatakan‟ atau لنساءل قلن an-nisa>u qulna „para wanita itu telah mengatakan sesuatu‟ (al-Ghula>yaini>, 2006:
169).
Faidah dari bentuk fi‘l ma>dhi> dan fi‘l amr jenis fi‘l ajwa>f ini keduanya
disandarkan pada nun niswah, dalam bentuk yang sama seperti pada kata قلن qulna dan بعن bi‘na dalam kalimat قلن بعن لنساءل an-nisa>u qulna wa bi’na „para
wanita itu telah mengatakan dan membeli sesuatu‟. Kecuali apabila asal fi‘l
ma>dhi>nya adalah قالن qa>lna, dan asal fi‘l amrnya قولن qu>lna, (al-Ghula>yaini>,
2006: 169).
32
5) Tashri>f pada fi‘l na>qish
Perubahan pada fi‘l na>qish yaitu pada fi‘l ma>dhi> huruf alif dihapus ketika
bersambung dengan ta>’ a’t-ta’ni>ts seperti pada verba دعت da‘at „p3.m.s telah
memanggil‟, دعتا da‘ata > „p3.m.s telah memanggil‟. Sedangkan apabila pelaku
berupa orang ketiga yang asalnya berupa wau, maka wau diganti ketika
bersambung dengan dhami>r seperti, دعو da‘au „p3.m.p telah memanggil‟, دعون da‘auna „p3.f.p telah memanggil‟, دعوت da‘auta „p2.m.s telah memanggil‟, دعونا da‘auna> „p1.n.p telah memanggil‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 169).
Apabila yang dihapus adalah huruf ‘illah wau, maka huruf yang
bersambung dengan wa>wul-jama>‘ah menjadi berharakat dhammah seperti دعون yad‘U>na ‘p3.m.p sedang memanggil’, دعو ud‘U< \ ‘panggillah p2.m.p’. Adapun
yang bersambung dengan ya>’ mukha>thabah harakat berubah menjadi kasrah,
seperti , دعني tad‘I<na „p2.f.s sedang memanggil‟, دعي 'ud‘I< „panggillah p2.f.s‟
(al-Ghula>yaini>, 2006: 170).
3. Proses Perubahan Verba Dalam Bahasa Arab
a. Al-Idgha>m
Idgha>m secara bahasa adalah idkha>l „memasukkan‟(al-Hamalawi>,
1893:224). Secara terminologi idgha>m menurut „Alim (2002: 20) adalah
mengucapkan dua huruf yang sama dan tidak ada pemisah di antara keduanya,
huruf pertama bersukun sedangkan yang kedua berharakat. Adapun idgha>m
menurut al-Ghula>yaini> adalah memasukkan suatu huruf kepada huruf yang
sejenis, menjadikan dua huruf tersebut menjadi satu dengan cara diberi tasydi>d (يي) seperti مندر madda asalnya مندندن madada „p3.m.s telah membentangkan‟, مينلدد yamuddu asalnya دلدل maddan مند ,‟yamdudu „p3.m.s sedang membentangkan مين
33
asalnya مندد maddan „bentangan‟ (2006: 66). Dengan demikian idgha>m
merupakan proses pengucapan dua huruf yang sejenis yang berdampingan, huruf
pertama sukun dan yang kedua berharakat dengan cara diberi tasydi>d (يي).
Adapun hukum dua huruf tersebut, dalam hukum idgha>m yakni bahwa
huruf yang pertama dalam keadaan sukun sedangkan huruf yang kedua dalam
keadaan berharakat serta tidak adanya pemisah di antara dua huruf tersebut.
Sukunnya huruf pertama adakalanya memang asli seperti مند maddun dan شند
syaddun dan adakalanya dengan pembuangan harakat seperti مدر madda dan شدر
syadda, atau dengan memindahkan harakat huruf yang pertama pada huruf
sebelumnya seperti مينلد yamuddu dan شلدد yasyuddu (al-Ghula>yaini>, 2006: 66).
1) Pembagian Idgha>m
Menurut al-Ghula>yaini> (2006: 66), idgha>m terbagi menjadi dua macam,
yaitu Idgha>m shaghi>r dan Idgha>m kabi>r.
a) Idgha>m Shaghi>r , adalah huruf pertama dari dua huruf yang sejenis atau
sama dalam keadaan sukun secara asal.
Contoh : سلككنر sukkarun menjadi سلكرر sukkarun , منددن maddun menjadi
maddun مند
b) Idgha>m Kabi>r adalah kedua huruf penyusunnya sama-sama berharakat
kemudian huruf yang pertama disukunkan atau memindah harakat huruf
yang pertama pada huruf sebelumya. Adapun alasan dikatakan idgha>m
kabir> yaitu karena dalam idgha>m kabi>r terdapat dua tahapan, yaitu
mensukunkan dan memasukkan sedangkan dalam idgha>m shaghi>r hanya
memasukkan saja. Contoh : دلدل yamuddu مينلدد yamdudu menjadi مين
34
2) Hukum al-Idgha>m
Dalam Kitab Ja>mi’ud Duru>s al-Ghula>yaini> membagi idgha>m menurut
hukumnya menjadi tiga macam, yaitu wajib, boleh, dan tidak boleh (2006: 67-70).
a) Idgha>m yang Diwajibkan
Pada idgha>m semua huruf masuk tanpa terkecuali yakni Alif layyinah
yang menunjukkan dua alif yang sama tanpa pemisah di antara keduanya.
Menurut ‘Ali>m (2002: 20) wajib melakukan idgha>m apabila bertemu dengan
syarat-syarat berikut :
(1) Dua huruf tersebut sama atau sejenis.
(2) Huruf yang pertama sukun yang kedua berharakat.
Idgha>m pada VDT yang dihukumi wajib menurut al-Ghula>yaini> (2006:
67) yaitu :
(1) Ketika ada dua huruf yang sejenis dan berkumpul dalam satu kata baik
kedua huruf tersebut berharakat atau huruf yang pertama sukun sedangkan
huruf yang kedua berharakat.
Contoh : منر marra ‘p3.m.s telah lewat’ asalnya منرنرن marara,
رلرن yamurru ‘p3.m.s sedang lewat’ asalnya مير -yamruru (al مين
Ghula>yaini>, 2006: 67).
(2) Apabila huruf yang sebelumnya sukun, maka harakat huruf pertama
dipindahkan kepada huruf sebelumnya.
Contoh : ينرلدد yaruddu ‘p3.m.s sedang mengembalikan’ asalnya ينردلدل yardudu (al-Ghula>yaini>, 2006: 67).
35
(3) Apabila ada dua huruf yang sama bersandingan, yang mana huruf pertama
sukun, ketika berada dalam dua kata seperti satu kata, hanya saja huruf
yang kedua berupa dhami>r, maka wajib mengidgha>mkan secara lafaz dan
penulisan.
Contoh : سنكنتد sakattu „p1.n.s telah diam‟, عنرا ’anna> ‘dari kami’.
Selain kedua kedua jenis dhami>r tersebut, wajib mengidgha>mkan secara
lafaz dan tulisan, namun jika selain dari dhami>r tersebut maka
pengidgha>man hanya secara lafaz dan tidak secara tulisan (al-Ghula>yaini>,
2006: 67).
(4) Apabila huruf yang kedua bukan berbentuk dhami>r, maka wajib
mengidgha>mkan secara lafaz saja.
Contoh: له قل qul lahu ‘katakan padanya’, ربك ستغفر istaghfir Rabbaka
„minta ampunlah kepada Rabbmu‟.
Dikatakan sya>d atau menyimpang dari aturan apabila tidak melakukan
pengidgha>man pada beberapa lafaz yang tidak dapat dibuat analogi yang
seharusnya pada lafaz tersebut dilakukan pengidgha>man di dalam, contoh:
qathitha’s-syi‘ru „syair itu telah terpotong‟ apabila diidgha>mkan لشعر قطط
menjadi قنطر qaththa; لعني لححت lachichatil-‘ainu „kotoran mata itu melekat
di kelopak mata‟ apabila diidgha>mkan menjadi ت lachchat (al-Ghula>yaini>,
2006: 67).
b) Idgha>m yang Diperbolehkan
Menurut al-Ghula>yaini> (2006: 68-69) diperbolehkan mengidgha>mkan
huruf atau tidak mengidgha>mkan huruf pada VDT dalam empat keadaan:
36
Pertama, Pada dua huruf yang sama, huruf pertamanya berharakat
sedangkan huruf yang kedua disukunkan dengan sukun yang bukan harakat
asalnya karena disukunkan. Contoh: ميلد مل la>m yamudda „jangan
membentangkan‟ diidgha>mkan menjadi مل ميدلد la>m yamdud.
Apabila huruf yang diidgha>m bersambung dengan alif tatsniyah „huruf
alif sebagai penanda dual‟ atau wa>wul-jama>‘ah „huruf wau sebagai penanda
plural‟ atau ya>’ mukha>tabah „huruf ya>’ sebagai penanda orang pertama‟ atau
nun tauki>d, maka wajib diidgha>mkan karena harakat sukun pada huruf yang
kedua dari huruf yang sejenis, sudah hilang.
Contoh :
(1) Huruf yang diidhgha>m bersambung dengan alif tatsniyah, yaitu
.’lam yamudda> ‘p2.m.d jangan bentangkanمل ميلدر
(2) Huruf yang diidhgha>m bersambung dengan wa>wul-jama>’ah, yaitu ملla>m yamuddu ميلدد > ‘p2.m.p jangan bentangkan’.
(3) Huruf yang diidhgha>m bersambung dengan ya>’ mukha>tabah, yaitu مل .’la>m tamuddi> ‘p2.f.p jangan bentangkan تنلدي
Sedangkan apabila huruf yang diidgha>m bersambung dengan dhami>r rafa>‘
mutacharrikah, maka tidak boleh diidgha>mkan (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).
Harakat yang sejenis pada huruf kedua fi‘l mudha>ri’ majzu>m dan fi‘l
amr diidgha>mkan mengikuti harakat fa>‘ fi‘lnya, hal ini menurut mayoritas
pendapat ulama‟. Contoh: رلدد rudda ‘kembalikan’ dan ملن ينرلدد la>m yaruddu
‘jangan dikembalikan’. Namun juga diperbolehkan membaca dengan fatchah
atau kasrah meskipun pada asalnya fa>‘ fi‘l dibaca dhammah, seperti رندر radda
„kembalikan!‟, ملن ينرندر la>m yarudda ‘jangan dikembalikan’. Serta boleh
37
membaca kasrah walaupun fa>‘ fi‘lnya dibaca fatchah, seperti: ع ر ‘idhdha
„menundukkan‟, ملن نع ر la>m ya‘idhdha „jangan menundukkan‟, dan boleh
membaca dengan kasrah walaupun fa>’ fi‘lnya dibaca fatchah: فرر firra
„melarikan diri‟, ملن نفرر la>m yafirra „jangan melarikan diri‟ (al-Ghula>yaini>,
2006: 68).
Jadi, apabila fa>‘ fi‘lnya dibaca dhammah, huruf yang diidgha>m boleh
dibaca dhammah, fatchah dan kasrah. Namun dengan membaca kasrah huruf
tersebut merupakan pendapat yang lemah, sedangkan dengan membaca
fatchah sama dengan membaca dhammah menurut pendapat yang kuat dan
kebanyakan penggunaannya. Adapun fa>’ fi‘l yang dibaca fatchah, maka huruf
yang diidgha>m boleh dibaca fatchah atau kasrah, tapi yang lebih utama dan
lebih sering digunakan yaitu dibaca dengan fatchah, sedangkan apabila fa>‘
fi‘lnya dibaca kasrah, maka huruf yang diidgha>m boleh dibaca kasrah dan
fatchah dan keduanya mempunyai kredibilitas hukum yang sama (al-
Ghula>yaini>, 2006: 68).
Dalam keadaan seperti ini yakni adanya proses idgha>m dalam fi‘l
mudha>ri’, maka jazmnya fi‘l mudha>ri’ dikira-kirakan di akhir hurufnya sebab
adanya harakat pengidgha>man mencegah untuk menjelaskannya sebab
jazmnya fi‘l mudha>ri’. Serta mabni> sukunnya fi‘l amr juga dikira-kirakan
pada huruf yang terakhir sebab adanya harakat pengidgha>man mencegah
untuk menampakkan harakat idgha>mnya dari sukunnya fi‘l amr (al-
Ghula>yaini>, 2006: 68).
Bahwasanya adanya hamzah washl dalam fi‘l amr dari fi‘l tsula>tsi
mujarrad, seperti: مدلد ل 'umdud „bentangkan‟, tidak dibutuhkan lagi setelah
38
adanya proses idgha>m, maka dibuang sehingga menjadi ملدر mudda
„bentangkan‟. Alasan dari adanya hamzah washl pada fi‘l amr adalah agar
suatu kata tidak dimulai dengan huruf yang sukun. Seiring dengan adanya
kaidah idgha>m, penyebab tersebut telah hilang karena huruf pertama pada fi‘l
amr sudah berharakat (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).
Kedua, Apabila ‘ain fi‘l dan la>m fi‘l suatu kata berupa ya>’ yang lazim
serta y>a’ yang kedua berharakat, seperti: حنيين chayiya „hidup‟, boleh dibaca
idgha>m: menjadi حنير chayya (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).
Apabila harakat huruf kedua tidak asli karena adanya i‘ra>b, seperti:
lan لنن حيليين ,‟ra’aitu muchayiyan „saya melihat suatu kehidupan رنأن ت منييا
yuchyiya „jangan pernah dihidupkan‟. Maka tidak boleh diidgha>mkan juga
apabila sukun pada huruf yang kedua tidak asli, seperti: حني تل chayi>tu
„p1.n.s telah hidup‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).
Ketiga, dua huruf yang sama bersandingkan dalam dua kalimat serta
sama-sama berharakat, contoh: ,‟ja’ala-li> „dia telah membuatkanku يل جعلن
بالقلم كتبن kataba bil-qalami „dia telah menulis dengan pena‟ maka boleh
diidgha>mkan dengan mensukunkan huruf yang pertama, seperti: جعل يل
ja’a’l-li>, كتب بالقلم katab-bil-qalami. Hanya saja dalam hal ini
pengidgha>man khusus secara lafaz bukan secara tulisan (al-Ghula>yaini>,
2006: 69).
c) Idgha>m yang Dilarang
Di dalam VDT ada beberapa tempat yang tidak boleh melakukan
idgha>m, pada VDT tidak boleh dilakukan idgha>m yaitu :
39
(1) Apabila salah satunya sukun (bukan sukun yang asli) dikarenakan
bertemu dengan dhami >r rafa>‘ mutacharrikah.
Contoh: مددتل madadtu „p1.n.s telah memanjangkan‟,
مددننا madadna> „p1.n.p telah memanjangkan‟,
,‟madadtum „p2.m.p telah memanjangkan مدد ل
‟madadtunna „p2.f.p telah memanjangkan مدد لنر
(al-Ghula>yaini>, 2006: 69-70)
(2) Apabila huruf yang pertama berharakat dan yang kedua sukun.
Contoh : ظنلنلتل zhalaltu ‘p1.n.s senantiasa’ (al-Hamalawi>, 1893: 224)
(3) Tidak boleh ada pemisah di antara keduanya.
Contoh : ندن د wada>dun ‘menyayangi’ (‘Ali>m, 2002: 20)
(4) Huruf pertama dari dua huruf yang sejenis, letaknya tidak boleh berada
di awal kata.
Contoh : دندن dadanun ‘sendau gurau’ (‘Ali>m, 2002: 20)
b. Al-I‘la>l
I‘la>l menurut al-Ghula>yaini> merupakan salah satu kaidah atau aturan bahasa
dalam ‘ilm a’sh-sharf (morfologi) yang membahas bagaimana cara menghapus
huruf ‘illah, mengganti huruf ‘illah, dan menjadikan sukun pada huruf ‘illah
tersebut (2006: 71). Senada dengan definisi al-Hamalāwi> (1893: 200) tentang i‘la>l
yakni,
. أ إسكانه حذفه, إلعالل هو غيري حرف لعلة للتخفيف بقلبه Al- i‘la>lu huwa taghyi>ru charful ‘illati li’t-takhfi>>fi wa bi-qalbihi aw iska>nihi aw chadzfihi.\
40
“I‘la>l yaitu perubahan huruf ‘illah pada suatu kata agar ringan
(ketika diucapkan) dengan cara mengganti, menjadikannya sukun
atau dengan menghapus huruf ‘illah tersebut.”
Adapun al-Khuli dan Ba‘albaki di dalam kamusnya mendefinisikan i‘la>l
(vocalfatchah / vocalization) dengan pengertian yang sama pula yaitu,
قلب صامت إىل صامتQalbu sha>mati ila> sha>mati.
“Mengganti bunyi satu kepada bunyi yang lain (al-Khuli, 1982: 303).”
Definisi tentang i‘la>l yang di atas disempurnakan oleh definisi Ba‘albaki
(1990: 530) dengan menggunakan contoh, yaitu sebagai berikut :
)) لد (( من)) لولد((: مثال: حتو ل لصامت إىل شبه لصامتTachwi>lu’sh-sha>mati ila> syibhu’sh-sha>mati; mitsla>: ((yu>lidu)) min ((walada)). “Mengubah bentuk suatu suara menjadi seperti suara yang lain,
seperti yu>lidu yang berasal dari verba walada.”
Dari semua definisi tentang i‘la>l di atas, jelas terlihat bahwa i‘la>l merupakan
sebuah proses perubahan dengan penggantian bunyi huruf ‘illah, penghapusan
huruf ‘illah, dan menjadikan huruf ‘illah berharakat sukun.
Menurut al-Ghula>yaini> (2006:71) i‘la>l pada verba terbagi menjadi empat,
yaitu: (a) al-Hadzfu, (b) al-Qalbu, (c) al-Iska>nu, dan (d) i‘la>l hamzah. Adapun
i‘la>l pada VDT pola fa‘ala-yaf‘ulu terbagi menjadi tiga juga, yaitu: (a) al-
Hadzfu, (b) al-Qalbu, (c) al-Iska>nu, dan (d) i‘la>l hamzah . Berikut penjelasannya:
1) Al-I‘la>l bil-Chadzfi
Al-I‘la>l bil-Chadzfi yaitu i‘la>l dengan menghapus huruf ‘illah. Poses i‘la>l
dengan menghapus huruf ‘illah pada VDT di antaranya terjadi pada tempat-
tempat berikut, yaitu :
41
Pertama, ketika ada huruf ‘illah yang berstatus sebagai huruf ma>d dan
bertemu dengan huruf sukun sesudahnya, maka huruf ‘illah dihapus (al-
Ghula>yaini>, 2006: 71).
Contoh :
(a) Asalnya : يلبتل Tubtu „p1.n.s telah bertaubat‟
tubtu يلبتل tabtu ينبتل ta>btu نابتل tawabtu ينونبتل
(b) Asalnya : ينتلنبن yatubna „p3.f.p sedang bertaubat‟
yatubna ينتلنبن yatuwbna ينتيلوبنن yatwubna ينتيولبنن
(c) Asalnya : لب tub „bertaubatlah p2.m.s‟
tub لب utub ' ل لب utu>b ' ل يلوب utwub ' ل يولب
Kedua, Apabila verba berupa fi‘l mu‘talul-a>khir, maka huruf akhirnya
harus dihapus ketika menjadi (al-Ghula>yaini>, 2006: 72) :
(1) Fi‘l amr yang menunjukkan arti mufrad mudzakkar.
Contoh: ل لل 'utlu „bacalah p2.m.s‟, asalnya ل يللو 'utlu>
.<undu' لندل undu „bermurah hatilah p2.m.s‟, asalnya' لندل
(2) Fi‘l mudha>ri’ majzu>m yang huruf akhirnya tidak bersambung dengan
sesuatu apapun.
Contoh: ندعل ملن la>m yad’u, asalnya ندعل ملن la>m yad’u> ‘jangan memanggil’.
Hanya saja penghapusan huruf ‘illah pada keadaan di atas bukanlah karena
i‘la>l, akan tetapi sebagai pengganti dari sukun ketika berbentuk fi‘l amr dan
sebagai ganti sukun pada i‘ra>b fi‘l mudha>ri’.
Ketiga, fi‘l ajwa>f yang huruf terakhirnya bersukun, maka huruf ‘illah yang
ada di ‘ain fi‘l dihapus karena pertemuan dua sukun. Contoh كلن kun ‘jadilah
p2.m.s’, قيللتل qultu ‘p1.n.s telah mengatakan’ (al-Hamalawi>, 1893: 224).
42
2) Al-I‘la>l bil-Qalbi
al-I‘la>l bil-Qalbi yaitu i‘la>l dengan mengganti huruf ‘illah. Dalam i‘la>l
penggantian huruf ‘illah pada fi‘l pola fa‘ala-yaf‘ulu terjadi pada dua tempat,
yaitu :
(1) Qalbul-wa>wi alifan „mengganti wau dengan alif‟
Qalbul-wa>wi alifan yaitu apabila huruf ‘illah wau yang berharakat dengan
harakat aslinya bersama dengan huruf sebelumnya yang berharakat fatchah, maka
huruf ‘illah wau wajib diganti dengan alif .
Contoh : دنعنا da’a> ‘mengundang’, asalnya دنعنون da’awa ,
,talawa ينلنون tala> ‘membaca’, asalnya نالن
.tawaba (al-Ghula>yaini>, 2006: 72) ينونبن ta>ba ‘bertaubat’, asalnya نابن
(2) I‘la>lul-alif „mengganti alif’
I‘la>lul-alif yaitu apabila huruf alif sebagai huruf yang ketiga dan berasal
dari wau, maka harus dikembalikan ke asalnya. Contoh : نندنى nada> ‘bermurah
hati’, asalnya نندن ن nadawa (al-Ghula>yaini>, 2006: 76-77).
3) Al-I‘la>l bi’t-Taski>n
Al-Ghula>yaini> (2006: 77) membagi al-I‘la>l bi’t-taski>n menjadi dua, yaitu
(1) i‘la>l dengan membuang harakat huruf ‘illah agar tidak berat ketika diucapkan
dan (2) i‘la>l dengan memindahkan harakat huruf ‘illah kepada huruf shachi>ch
sebelumnya yang bersukun.
43
Al-I‘la>l bi’t-taski>n pada VDT ini terdapat beberapa keadaan yaitu :
Pertama, I‘la>l dengan membuang harakat huruf ‘illah agar tidak berat
ketika diucapkan mempunyai ketentuan yaitu,
(1) Apabila wau atau ya>’ yang berada di akhir kata berharakat dhammah atau
kasrah dan huruf sebelumnya juga berharakat, maka la>m fi‘l yang berharakat
harus dihapus dengan disukunkan. Hal ini bertujuan agar tidak memberatkan
dalam pengucapan dan agar kedua huruf yang bersukun tidak berkumpul.
Contoh :
(a) ندعلو yad‘u> „p3.m.s sedang memanggil‟ asalnya ندعلول yad‘uwu
(b) ينق ي yaqdhi> ‘p3.m.s sedang menghakimi‟ asalnya ينق يل yaqdhiyu
(2) Apabila terkumpul dua sukun dalam satu kata yaitu sukun pada la>m fi‘l dan
sukun pada wa>wul jama>‘ah, maka harakat la>m fi‘l dihapus.
Contoh:
(a) نغنيلونن yaghnu>na „p3.m.p sedang memiliki banyak harta‟ asalnya نغنيلول نن yaghnuwu>na
غنيلونن ين yaghnu>wna ينغنيلو نن yaghnuwu>na ينغنيلول نن yaghnu>na.
(c) للونن yatluwu>na ينتيللول نن yatlu>n „p3.m.p sedang membaca‟ asalnya ينتي
للو نن yatluwu>na ينتيللول نن للونن yatlu>wna ينتي yatlu>na ينتي
Kedua, I‘la>l dengan memindahkan harakat huruf ‘illah kepada huruf
shachi>ch sebelumnya yang bersukun terbagi menjadi dua yaitu (al-Ghula>yaini>,
2006: 77-79):
(1) I‘la>l Naql Murni
I‘la>l Naql Murni yaitu pemindahan harakat tanpa mengganti atau
menghilangkan huruf ‘illah. Pemindahan harakat dilakukan jika ‘ain fi‘lnya
44
berupa wau atau ya>’ berharakat serta terletak setelah huruf shachi>ch bersukun,
maka wajib memindahkan harakat ke huruf shachi>ch bersukun sebelumnya.
Pemindahan ini berlaku apabila harakat yang dipindahkan sesuai dengan huruf
‘illah. Contoh : ينقلومل yaqu>mu „p3.m.p sedang berdiri‟ asalnya ينقولمل yaqwumu
(al-Ghula>yaini>, 2006: 77-78).
(2) I‘la>l Naql Tidak Murni
I‘la>l Naql Tidak Murni yaitu pemindahan harakat dengan disertai
penggantian atau penghilangan huruf ‘illah (al-Ghula>yaini>, 2006: 78).
1) I‘la>l bi’n-Naql wal-Qalb
I‘la>l bi’n-Naql wal-Qalb, yaitu pemindahan harakat huruf ‘illah kepada
huruf shachi>ch sebelumnya yang bersukun kemudian mengganti huruf ‘illah
dengan dengan alif jika harakat huruf sebelumnya adalah fatchah dan
menggantinya dengan ya>’ jika harakat huruf sebelumnya adalah kasrah (al-
Ghula>yaini>, 2006: 78). Pemindahan ini dilakukan apabila harakat yang
dipindahkan dengan huruf ‘illah tidak memiliki kesesuaian.
Contoh : (1.a) نبنيل yabi>nu ‘ asalnya ينبنيل yabyinu ‘menjelaskan’
(1.b) أنقنامن 'aqa>ma asalnya أنقيونمن 'aqwama ‘mendirikan’
(1.c) ’yuqwimu ‘mendirikan يلقومل yuqi>mu asalnya لقيمل
2) I‘la>l bi’n-Naql wal-Chadzf,
I‘la>l bi’n-Naql wal-Chadzf, yaitu pemindahan harakat ‘ain fi‘l yang
menyebabkan terkumpulnya dua sukun, yakni sukun pada huruf ‘illah dengan
sukun pada akhir kata yakni la>m fi‘l, maka huruf ‘illah harus dihapus (al-
Ghula>yaini>, 2006: 79).
45
Contoh : (2.a) خنف khaf asalnya خونف ikhwaf „p2.m.s takutlah‟
(2.b) لب tub asalnya ل يولب utwub „p2.m.s bertaubatlah‟
(2.c) ملن لقم la>m yuqim asalnya ملن يلقوم la>m yuqwim „p3.m.s
jangan berdiri‟
4) Al-I‘la>l Al-Hamzah
Hamzah merupakan huruf shachi>ch dan berbeda dengan huruf ‘illah, oleh
karena itu i‘la>lnya diganti dengan beberapa cara lain, berikut i‘la>l hamzah pada
verba bahasa Arab (al-Ghula>yaini>, 2006: 79-81) :
a) Jika hamzah yang pertama berharakat dan hamzah yang kedua disukun, maka
wajib mengganti harakat hamzah yang kedua dengan huruf ma>d yang sejenis
dengan harakat huruf sebelumnya.
Contoh : آمننن 'a>mana ‘mengamankan’ asalnya أنأمننن 'a’mana (al-Ghula>yaini>,
2006: 79)
b) Jika hamzah yang pertama disukun dan hamzah yang kedua berharakat, maka
harakat pada hamzah yang pertama diidgha >mkan kepada hamzah setelahnya.
Contoh: ل سنأر sa‘‘a>la ‘yang banyak bertanya’ asalnya أأن ل -sa‘‘a>la (al سن
Ghula>yaini>, 2006: 79).
c) Apabila hamzah terletak setelah huruf yang berharakat, maka boleh
diringankan dengan mengganti harakat yang sesuai dengan harakat huruf
sebelumnya.
Contoh: قينرنأن qara’a ‘p3.m.s telah membaca’ menjadi قينرن qara>
<yaqra ينقرن yaqrau ‘p3.m.s sedang membaca’ menjadi ينقرنأل
yajru نرل yajru’u menjadi نرلؤل > „p3.m.s berani‟
(al-Ghula>yaini>, 2006: 80).
46
d) Apabila kata tersebut merupakan bentuk fi‘l amr yang berasal dari bentuk
kata أكل 'akala dan أخذ 'akhadza maka wajib dihapus.
Contoh : أنخنذن 'akhadza „mengambil‟ menjadi خلذ khudz „ambillah‟,
,<kul „makanlah‟ (al-Ghula>yaini كلل akala „makan‟ menjadi' أنكنلن
2006: 80).
e) Kebanyakan yang dihapus pada bentuk amr musytaq.
Contoh: أنمنرن 'amara - نأملرل ya‘muru fi‘l amrnya ملر mur „perintahlah‟ (al-
Ghula>yaini>, 2006: 80)
f) Wajib dihapus hamzah pada wazn أفعل af‘ala pada bentuk mudha>ri’nya.
Contoh: أنكرنمن 'akrama – لكرمل yukrimu ; لكرمل yukrimu asalnya يلؤنكرمل yu‘akrimu „memuliakan‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 80-81).
F. Metodologi Penelitian
Menurut Subroto (1992:31-32) metode mencakup kesatuan dan
serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan
populasi dan sampel data, tahap pemerolehan data, dan analisis data. Dalam
metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal, antara lain: (1) jenis
penelitian, (2) data dan sumber data, (3) populasi dan sampel, (5) tahap
pengumpulan data, (6) tahap analisis data, dan (7) tahap penyajian hasil analisis.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menyajikan data berdasarkan objek penelitian berdasarkan fakta-
fakta yang ada (Sudaryanto, 1992: 5). Penelitian ini juga bersifat deskriptif yaitu
47
rancangan yang didasarkan pada data yang berupa kata-kata bukan data yang
berupa angka (Sudaryanto, 1993: 62).
2. Data Dan Sumber Data
Data merupakan semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam
(dalam arti luas), yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti
(Subroto, 1992: 34). Oleh karena itu, data disebut juga dengan bahan penelitian
(Sudaryanto, 1990:9). Data sebagai bahan penelitiaan bukanlah bahan mentah
atau calon data, melainkan bahan jadi yang siap untuk dianalisis (1990: 3). Dalam
penelitian ini yang menjadi data adalah leksikon-leksikon verba dasar bA berpola
fa‘ala–yaf‘ulu. Seperti data verba dasar berpola fa‘ala–yaf‘ulu dalam kamus al-
Munawwir berikut :
(a) ال يلي tala> ‘membaca’ (fi‘l na>qish , MNWR / hal.138)
(b) اب يلي ta>ba ‘taubat’ (fi‘l ajwa>f, MNWR / hal.140)
(c) أخذ يلي akhadza ‘mengambil’ (fi‘l mahmu>z, MNWR / hal.12)
Data lingual tidaklah muncul dari suatu ketiadaan, tetapi data itu
mempunyai sumber atau ada asalnya. Dari suatu sumber data dapat diperoleh data
yang dimaksud dan yang diinginkan (Sudaryanto, 1990: 33). Sumber data dalam
penelitian kebahasaan dibagi menjadi dua, yaitu sumber data lisan dan sumber
data tertulis (Subroto, 1992: 33). Mengingat penelitian ini adalah studi
kepustakaan maka sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber
data tertulis berupa kamus al-Munawwir Arab-Indonesia edisi ke-2, cetakan ke-14
tahun 1997 karangan Ahmad Warson Munawwir.
48
3. Populasi dan Sampel
Populasi merupakan keseluruhan obyek penelitian yang memiliki
karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 1993: 141). Adapun
Populasi dalam penelitian ini adalah 1811 fi‘l tsula>tsi> mujarrad „VDT‟ pola
fa‘ala-yaf‘ulu yang terdapat dalam sumber data yakni kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia edisi ke-2, cetakan ke-14 tahun 1997.
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian
langsung. Sampel hendaknya mewakili atau dianggap mewakili populasi secara
keseluruhan (Subroto, 1992: 32). Dalam penelitian ini penulis tidak mengambil
semua populasinya untuk dijadikan sampel dalam menganalisis data. Penulis
memperoleh sampel dengan menggunakan teknik random sampling yang mana
dalam teknik ini pengambilan sampel dilakukan secara acak. Sampel yang diambil
dari jumlah populasi yang merupakan fi‘l tsula>tsi> mujarrad atau VDT yang
terdapat dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia adalah sebanyak 8 verba.
Jumlah tersebut dapat dikatakan cukup mewakili untuk dijadikan sampel dalam
analisis data. Kemudian dari sampel yang telah ditemukan dari abjad alif hingga
ya>’, dikelompokkan berdasarkan kategori jenis verba shachi>ch dan mu‘tal yang
sesuai dengan pola verba fa‘ala-yaf‘ulu yaitu seperti shachi>ch sa>lim, shachi>ch
mahmu>z, shachi>ch mudha>‘af, mu‘tal ajwa>f dan mu‘tal na>qish. Adapun sampel
yang dimaksud adalah verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu yang termasuk dari jenis :
1. Shachi>ch sa>lim.
2. Shachi>ch mahmu>z fa>’.
3. Shachi>ch mahmu>z ‘ain.
4. Shachi>ch mahmu>z la>m.
49
5. Shachi>ch mudha>‘af yang fa>’ fi‘lnya berupa huruf hamzah.
6. Shachi>ch mudha>‘af yang fa>’ fi‘lnya tidak berupa huruf hamzah.
7. Mu‘tal ajwa>f wa>wi.
8. Mu‘tal na>qish wa>wi.
4. Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap ini data penelitian dikumpulkan dengan metode simak. Metode
simak dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa VDT dalam kamus al-
Munawwir Arab-Indonesia. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik
sadap, sedangkan teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik catat.
Dalam penelitian ini metode simak menggunakan teknik simak bebas libat
cakap atau teknik SBLC, di mana peneliti tidak ikut serta secara langsung dalam
proses menentukan pemunculan calon data, akan tetapi peneliti hanya sebagai
pemerhati saja. Kemudian dilanjutkan dengan teknik dasar dari teknik SBLC
yakni teknik sadap.
Teknik sadap merupakan kegiatan menyadap yang digunakan sebagai
teknik dasar dalam pengumpulan data tulis. Dalam penelitian ini yang disadap
adalah data tulis yang berhubungan dengan objek penelitian. Teknik sadap
dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988: 2).
Penggunaan bahasa yang dimaksud yaitu VDT dalam kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia. Untuk mengetahui verba dasar yang terdapat dalam kamus al-
Munawwir tersebut masuk ke dalam kategori verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu atau
bukan yaitu dengan cara melihat harakat di atas garis (seperti: ـــ) yang terdapat
pada samping kiri verba yang bertanda (*). Kemudian dilanjutkan dengan teknik
50
lanjutan yakni teknik catat. Untuk memudahkan melakukan pencatatan, maka
pada verba dasar triliteral yang sudah ditemukan diberikan nomer urut, seperti
contoh berikut :
Setelah melakukan penyadapan dengan menyimak VDT dalam kamus al-
Munawwir Arab-Indonesia, maka dilanjutkan dengan teknik catat. Teknik catat
ini dipandang sebagai teknik lanjutan (Sudaryanto, 1988: 5). Teknik catat
diwujudkan dengan melakukan pencatatan langsung dari sumber data ke dalam
kartu data dengan menggunakan alat tulis tertentu yang kemudian dilanjutkan
dengan mengklasifikasikan data. Adapun teknik catat dalam penelitian ini
dilakukan dengan mengadakan pencatatan ke dalam kartu data terhadap data
verba dasar yang berpola fa‘ala-yaf‘ulu yang terdapat pada kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia. Pencatatan ke dalam kartu data dilakukan dengan
mengklasifikasikan data menurut jenis verba berdasarkan kuat-lemah hurufnya
atau berdasarkan verba shachi>ch dan mu‘tal. Kemudian dari klasifikasi data
berdasarkan verba shachi>ch dan mu‘tal dipilih lagi berdasarkan jumlah verba
terbanyak dari abjad alif hingga ya>’ menurut jenis verba shachi>ch dan mu‘tal.
Pencatatan pada kartu data tersebut dilakukan dengan memberi tanda lengkap
51
dengan nama sumber datanya sesuai dengan masalah yang akan diteliti sehingga
mempermudah dalam pengklasifikasian dan analisis data.
Berikut adalah contoh kartu data :
Kartu data terdiri dari sumber data dan nomor data, halaman di mana data tersebut
ditemukan, data verba dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu, kemudian jenis verba.
5. Tahap Analisis Data
Setelah tahap pengumpulan data selanjutnya dilakukan tahap analisis data
sebagai langkah kedua. Untuk mengawali tahap analisis data, 8 verba yang telah
dipilih berdasarkan jumlah verba terbanyak dari abjad alif hingga ya>’ menurut
jenis verba shachi>ch dan mu‘tal kemudian dilakukan proses tashri>f istila>chi> atau
infleksi berdasarkan bentuknya yakni ma>dhi> ‘perfek’, mudha>ri’ ‘imperfek’, dan
amr ‘imperatif’.
Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam tahap analisis data
adalah metode agih. Metode agih merupakan suatu metode yang alat penentunya
bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri atau dengan kata lain unsur
penentunya adalah bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993: 15). Dalam
penelitian ini metode agih digunakan untuk menganalisis VDT berpola fa‘ala-
yaf‘ulu yang mengalami proses perubahan bentuk internal seperti i‘la>l dan
idgha>m.
No. : Mnwr/93
Hal. : 1298 Data verba : ال ال Jenis verba : Mu‘tal Ajwa>f wa>wi
52
Teknik dasar yang digunakan untuk menganalisis adalah teknik bagi unsur
langsung (BUL). Teknik BUL dianggap sebagai teknik dasar karena cara yang
digunakan pada awal analisis adalah membagi satuan lingual data menjadi
beberapa bagian atau unsur, yang dipandang sebagai bagian yang langsung
membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto,1993: 31). Adapun dalam
penelitian ini satuan lingual data yang dibagi menjadi beberapa unsur yakni
berupa verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu.
Adapun teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik ganti dan teknik
lesap. Teknik ganti yaitu teknik dengan menggantikan unsur tertentu satuan
lingual yang bersangkutan dengan unsur tertentu yang lain di luar satuan lingual
yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 37). Penggantian ini digunakan untuk
mengetahui kadar kesaman kelas atau kategori unsur yang terganti atau yang
diganti. Apabila dapat digantikan maka kategori atau kelas kedua unsur tersebut
sama. Yang dimaksud dengan kelas dan kategori dapat meliputi superkelas atau
superkategori (kelas atasan) dan subkelas atau subkategori (kelas bawahan).
Berikut contoh pengaplikasian teknik ganti :
Data 2 : أبر 'abara, bentuk imperatif بري لأ 'u’buri> ‘memfitnahlah p2.f.s’
Pada verba بري لأ 'u’buri> berubah bentuk menjadi بري buri> karena terdapat
dua hamzah yang pertama berharakat dan yang kedua sukun berdampingan dalam
satu kata dengan tanpa adanya pemisah. Ketika dalam keadaan demikian, maka
harakat sukun pada hamzah kedua diganti dengan huruf wau. Penggantian harakat
sukun menjadi wau pada hamzah kedua yaitu karena hamzah pertama berharakat
dhammah, penggantian huruf tersebut disesuaikan dengan harakat yang ada pada
huruf sebelumnya yakni hamzah pertama, sehingga menjadi ي ل بر 'u>buri>.
53
Unsur sukun yang terdapat pada hamzah kedua dalam verba بري لأ 'u’buri>
digantikan dengan unsur wau sehingga menjadi verba bentuk يأ بر 'u>buri> apabila
berterima berarti kedua unsur tersebut mempunyai kesamaan. Proses penggantian
ini dengan menggunakan teknik ganti turun tataran.
Teknik lanjutan lain yang digunakan adalah teknik lesap. Teknik lesap
merupakan teknik analisis yang dilakukan dengan melesapkan yakni dengan
menghilangkan, menghapus, mengurangi unsur tertentu dari satuan lingual yang
bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 41). Pelesapan unsur dalam teknik lesap
berfungsi untuk mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan baik dari unsur
gramatikalnya maupun tidak gramatikal.
Seperti penggunaan teknik lesap dalam proses perubahan verba berikut :
Data 2 : أبر 'abara, bentuk imperatif بر bura> ‘memfitnahlah p2.n.d’
Dengan menggunakan teknik lesap yaitu menghapus atau menghilangkan
huruf nu>n dan hamzah washl yang berfungsi sebagai penanda dual dan hamzah
washl sebagai huruf tambahan saja pada kata لأبيلرن ن 'u’bura>ni, sehingga menjadi بيلرن bura>. Penghapusan huruf nu>n dan hamzah washl pada kata لأبيلرن ن 'u’bura>ni tidak
mengubah kelas kata, huruf nu>n tersebut hanya sebagai penanda dual saja dan
huruf hamzah washl hanya huruf tambahan saja.
Metode agih dengan teknik BUL yang dilanjutkan dengan teknik lesap dan
teknik ganti ini digunakan dalam menganalisis bab dua untuk mengetahui proses
perubahan bentuk yang terjadi dalam VDT berpola fa‘ala-yaf‘ulu.
54
6. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, penyajian hasil analisis data
disajikan dengan menggunakan teknik informal dan teknik formal. Teknik
informal yaitu teknik dengan bentuk penyajian hasil analisis data dengan
menggunakan kata-kata biasa atau dengan uraian berwujud kalimat-kalimat yang
diikuti pemerian secara terperinci (Sudaryanto, 1993: 145). Teknik formal yaitu
teknik dengan penyajian hasil analisis data dengan menggunakan tanda dan
lambang-lambang tertentu (Sudaryanto, 1993: 145). Adapun dalam penelitian ini
teknik formal yang digunakan dalam penyajian data yaitu dengan menggunakan
lambang seperti tanda panah () artinya menjadi dan dan lambang-lambang huruf
sebagai singkatan nama.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini meliputi empat bab yaitu sebagai
berikut.
Bab I: Pendahuluan. Pada bab ini meliputi latar belakang penulisan
laporan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah,
landasan teori, metodelogi penelitian yang meliputi jenis penelitian, populasi dan
sampel, sumber data dan data, tahap pengumpulan data penelitian, tahap analisis
data, tahap penyajian hasil analisis data, serta sistematika penulisan.
Bab II: Proses infleksi verba dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu.
Bab III: Persebaran verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu dalam kamus al-
Munawwir Arab-Indonesia.
Bab IV: Penutup, berisi kesimpulan dan saran.