Upload
vannhi
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDUHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Takkan Melayu Hilang di Dunia”
Kajian mengenai budaya melayu selalu menarik untuk didiskusikan.
Bukan saja karena budaya melayu menawarkan sebuah pengetahuan tentang seni
dan adat istiadat melainkan juga memberikan sumbangsih terhadap pola hidup
dengan nilai-nilai tentang kehidupan, moral, etika dan hukum. Disatu sisi, secara
turun temurun, dari generasi ke generasi, budaya melayu menjadi pedoman nilai
dalam kehidupan sehari-hari. Disisi yang lain, di era globalisasi ia harus
dihadapkan dengan arus perubahan zaman yang memungkinkan budaya melayu
tereduksi oleh berbagai ragam budaya.
Era globalisasi, melalui kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi
menawarkan berbagai keterbukaan dan keanekaragaman informasi serta interaksi
lintas batas ruang dan waktu. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
inilah yang kemudian mendorong situs www.melayuonline.com merintis dunia
melayu berbasis virtual. Portal pangkalan data berbasis virtual tersebut lahir dan
berkembang dalam misi menghidupkan kembali aspek-aspek kebudayaan melayu
masa silam dengan menggunakan teknologi masa depan.
2
Melayuonline.com dengan ke-melayu-an “global”nya mencoba
menghadirkan dunia melayu global berbasis virtual. Melayu yang digambarkan
di dalam situs Melayuonline.com tidak lagi berskala lokal melainkan Melayu
global sesuai dengan salah satu slogannya yang tertera di halaman depan situs
yang tertulis “Dunia Melayu se-Dunia”.
Namun demikian, aspek ke-global-an melayu tersebut tidak lantas
terlepas dari pusaran industri. Bahkan ia hidup ditengah-tengah riuh rendah dunia
industri dengan berbagai ragam kepentingannya. Tercampur aduknya budaya
melayu ke dalam pusaran industri pada akhirnya membuka peluang terjadinya
pergeseran bentuk budaya dari yang bernilai substansi menjadi citra luaran yang
dangkal, artifisial bahkan hanya dijadikan topeng berwajah komodifikasi.
Konten-konten budaya tidak lagi dinilai dan diukur secara estetika nilai
tetapi dinilai dan diukur dari kemampuan daya jual dan nilai tukarnya dengan
perhitungan kalkulasi laba. Pada posisi itu, konten-konten budaya melayu
termasuk audien pengakses sangat rentan tereduksi dalam derap arus
komodifikasi. Melayuonline lahir dan hadir ditengah-tengah derap arus
komodifikasi tersebut khususnya komodifikasi budaya. Dalam pada itu, nilai-
nilai serta konten-konten budaya hanya diposisikan sebagai bagian dari industri
yang siap dieksploitasi dan siap dijual ke dalam hiruk pikuk pasar global.
Situs melayuonline.com dengan ide tentang “Melayu Raya”nya mencoba
merintis konten-konten budaya melayu global berbasis virtual. Didalamnya
terintegrasi dunia industri yang menawarkan berbagai ragam perjalanan
3
pariwisata budaya khususnya pariwisata budaya melayu.1
B. Rumusan Masalah
Potensi budaya yang
ada pada budaya melayu tersebut sangat apik untuk dilestarikan akan tetapi juga
sangat potensial dan prospektif untuk dijual dan dipasarkan kepada masyarakat
global.
Tercampur aduknya relasi antara kebudayaan dan pasar mendorong
lahirnya suatu relasi yang tidak lagi harmonis dalam satu kesatuan nilai substansi
melainkan hanya sebatas pada tujuan-tujuan praktis, pragmatis dan bermotif
ekonomi yang cenderung bersifat sesaat. Berangkat dari fenomena tersebut pada
akhirnya mendorong penulis untuk meneliti, membedah dan membongkar lebih
jauh tentang bagaimana praktik komodifikasi budaya yang berlangsung pada
situs melayuonline.com.
Dari pemaparan diatas kemudian muncul pertanyaan yang menjadi benang
merah dalam penelitian ini yaitu:
Bagaimana proses komodifikasi budaya yang berlangsung pada situs
www.melayuonline.com?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya,
setidaknya tujuan dari penelitian ini adalah untuk membedah atau membongkar
1 Wadah virtual Melayu Online dan wadah empirik bernama Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) kini telah memiliki penginapan Balai Melayu Museum Hotel (BMMH), Agen Perjalanan Maharatu Tour & Travel, serta beberapa website pendukung turunan dari Melayu Online yaitu www.wisatamelayu.com, www.tengkuamirhamzah.com, www.rajaalihaji.com, www ceritarakyatnusantara.com www.kerajaannusantara.com, www.maharatu.com dan www.jogjatrip.com
4
praktik komodifikasi budaya yang berlangsung pada situs
www.melayuonline.com. Dengan dibedahnya praktek komodifikasi tersebut
diharapkan dapat memberikan wacana baru tentang budaya melayu yang diusung
oleh www.melayuonline.com.
D. Batasan Penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam telaah ekonomi politik media yang
dimaknai sebagai telaah tentang relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, proses
produksi dan distribusi informasi serta konsumsi sumber daya.
“Study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources”.2
Diantara tiga dimensi kajian ekonomi politik media perspektif Vincent
Mosco, penelitian ini memiliki titik fokus pada dimensi komodifikasi, khususnya
Pada awalnya penelitian ini bergaya “mood of production”, namun
logika produksi kurang menghadirkan telaah yang lengkap, meluas dan
mendalam. Oleh karena itu, penelitian ini selain beratmosfer “mood of
production” juga berupaya menyentuh sisi “mood of consumption”. Logika
konsumsi ditopang oleh kerangka pemikiran Jean Baudrillard, sedangkan logika
produksi ditopang oleh Vincent Mosco. Keduanya, baik logika produksi maupun
logika konsumsi menjadi satu kesatuan kajian guna menghasilkan penelitian
yang integratif dan holistik.
2 Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, Sage Publication: London, 1996, hal 25-24.
5
komodifikasi budaya. Penelitian ini tidak mengungkap lebih dalam pada ranah
spasialisasi dan strukturasi. Tidak diungkapnya dimensi dimensi tersebut
dikarenakan keterbatasan data termasuk sulitnya peneliti dalam mengakses data-
data yang diperlukan.
E. Objek Penelitian
Berangkat dari uraian permasalahan diatas, objek penelitian ini berfokus
pada proses komodifikasi budaya pada situs www.melayuonline.com. Situs
tersebut merupakan buah karya BKPBM (Balai Kajian & Pengembangan Budaya
Melayu) Yogyakarta.
F. Glosarium Penelitian
Penggunaan terminologi komodifikasi didalam penelitian ini mengacu
pada arti komodifikasi yang dipaparkan oleh Vincent Mosco yaitu proses
transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.3
3 Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, Sage Publication: London, 1996, hal 127.
Sehingga istilah komodifikasi
budaya didalam penelitian ini dapat diartikan sebagai transformasi nilai guna
budaya melayu menjadi nilai tukar bermotif ekonomi. Penelitian ini tetap berada
dalam teori ekonomi politik komunikasi yang menitikberatkan pada proses
komodifikasi budaya dalam ruang virtual. Penelitian ini tidak berada pada
pendekatan positivis yang cenderung normatif melainkan pendekatan kritis yang
bersumber pada mazhab Frankfurt. Mengenai mazhab Frankfurt dikatakan
bahwa:
6
“Frankfurt school began to address mass communication and media as structures of oppression in capitalistic societies. Culture is communicative structure that reflects the social order.” 4
G. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran pustaka, setidaknya terdapat beberapa karya
akademik yang secara spesifik membahas tentang praktek komodifikasi
diantaranya yaitu karya Riswan Yulianingsih tentang “Identitas,
Komodifikasi,dan Dominasi: Manifestasi Agama Hindu di Bali”.5
Titik kesamaan antara penelitian Riswan Yulianingsih dengan penelitian
ini yaitu terletak pada identitas lokal yang terkomodifikasi. Namun demikian,
penelitian ini tidak spesifik mengkaji lebih dalam tentang identitas lokal kultural
melayu melainkan berfokus pada keberlangsungan praktek komodifikasi budaya
yang terjadi pada situs
Riswan
Yulianingsih mencoba membongkar tentang bagaimana budaya diproduksi dan
bagaimana identitas terkomodifikasi. Identitas budaya tercerabut dari akar nilai
substansialnya dan hanya sebatas berperan sebagai “modal” sekaligus alat yang
dapat melipatgandakan keuntungan.
www.melayuonline.com.
Praktek komodifikasi budaya dalam penelitian ini cenderung
menggunakan logika produksi dan logika konsumsi, khususnya konsumsi tanda
atau simbol-simbol budaya. Penelitian tentang komodifikasi simbol pada
4 Stephen W Littlejohn & Karen A Foss, Encyclopedia of Communication Theory”, Sage Publication: London, 2009, hal 280. 5 Lihat Riswan Yulianingsih, Identitas, Komodifikasi, dan Dominasi: Manifestasi Agama Hindu di Bali, Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana Ilmu Perbandingan Agama UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2008.
7
dasarnya telah dilakukan oleh Saiful Totona tentang “Representasi Kemiskinan
sebagai Praktek Komodifikasi: Kajian atas Program Reality Show Kemiskinan
di Televisi”.6 Penelitian tersebut menganalisis lebih jauh tentang fenomena
komodifikasi kemiskinan yang direpresentasikan dalam tayangan-tayangan
Reality Show. Saiful Totona mencoba menunjukkan praktek komodifikasi
kemiskinan melalui pertukaran air mata audien dijual dan ditukar dengan iklan
yang menjadi sumber pendapatan pada tayangan-tayangan Reality Show. Kajian
lainnya yang memiliki titik fokus pada praktek-praktek komodifikasi yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Suryanto tentang “Iklan dan Komodifikasi
Agama”.7
Perbedaan mendasar antara penelitian yang dilakukan oleh Saiful Totona
dan Suryanto dengan penelitian ini yaitu terletak pada media tempat
berlangsungnya praktek komodifikasi. Keberlangsungan praktek komodifikasi
dalam dua penelitian diatas terjadi pada media televisi. Sedangkan praktek
komodifikasi yang dikaji dalam penelitian ini terjadi didalam ruang virtual yaitu
Dalam kajiannya, Suryanto mencoba membongkar praktek
komodifikasi agama berupa pertukaran simbol-simbol agama dalam bentuk
materil. Simbol-simbol agama yang memiliki daya tukar tersebut dilekatkan
pada produk guna memperkuat legitimasi pasar dan mempengaruhi audien
sebagai konsumen.
6 Lihat Saiful Totona, Representasi Kemiskinan sebagai Praktek Komodifikasi: Kajian atas Program Reality Show Kemiskinan di Televisi, Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana Sosiologi UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2010. 7 Lihat Suryanto, Iklan dan Komodifikasi Agama, Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana Sosiologi UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2011.
8
internet. Posisi penelitian ini berada pada wilayah penambah kajian wacana
tentang praktek komodifikasi khususnya komodifikasi budaya yang terjadi di
ruang virtual. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya kajian-kajian tentang
komodifikasi.
H. Landasan Teori
1. Ruang Virtual dan Masyarakat Jaringan
Era masyarakat informasi ditandai dengan hadirnya ruang virtual dalam
proses informasi dan komunikasi. Ruang virtual berupa internet memungkinkan
masyarakat terhubung ke dalam jaringan interkoneksi lintas batas ruang dan
waktu. Ia meliputi segala bentuk konten media berupa data, teks, suara, gambar,
video yang terkombinasi dan terintegrasi serta terdistribusikan secara lintas
jaringan.8
In the industrial mode of development, the main source of productivity lies in the introduction of new energy source, and in the ability to decentralize the use of energy through the production and circulation process. In the new, informational mode of development, the source of productivity lies in the technology of knowledge generation, information processing, and symbol communication.
Pada era ini, sumber produksi tidak lagi terletak pada energi seperti
pada era industri melainkan terletak pada kekuatan teknologi, komunikasi
simbol dan proses informasi. Lebih jauh Manuel Castells mengatakan bahwa:
9
8 Terry Flew, New Media An Introduction,United Kingdom: Oxford University Press, 2004, hal. XVIII 9 Manuel Castells, The Rise of the Network Society,vol 1 of the Information Age: Economy, Society and Culture, Malden: Blackwell, 1996, hal 17.
9
Pergeseran dari era ke era tersebut juga ditandai dengan adanya
peningkatan kecepatan dan percepatan dalam proses informasi dan komunikasi.
Melalui kecepatan dan percepatan teknologi itu ruang dan waktu mengalami
pemampatan atau terkompresi. David harvey menyebutnya sebagai time and
space compression atau time and space distinction dalam istilah Antony
Giddens.
Ruang virtual lahir dan hadir menjadi semacam ruang sosial. Menurut
Henri Lafebvre dalam tulisannya yang berjudul “ The Production of Space”,
ruang sosial merupakan produk sosial yang diproduksi secara sosial oleh
pengguna ruang tersebut bahkan tidak jarang ruang-ruang itu dijadikan sebagai
alat kontrol, dominasi dan kekuasaan.10
Melalui teknologi, nilai budaya yang cenderung lokal berubah menjadi
nilai pasar berdimensi global. Orientasi tidak lagi bersifat nasional tetapi
meluas ke global dengan serangkaian norma dan nilai yang baru. Selain itu
sumber daya modal dan sumber daya manusia juga dimobilisir secara lebih
luas.
Ruang virtual menjadi arena atau
sarana pertukaran informasi dan pertukaran simbolik. Didalamnya terdapat
berbagai unsur baik unsur ekonomi, politik maupun unsur budaya.
11
10 Henri Lafebvre, The Production of Space, Basil: Blackwell, 1992, hal 26 11 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 18
Guna mendudukan dimensi teknologi dan budaya kedalam timbangan
yang lebih adil, berikut perbedaan teknologi dan budaya secara definitif.
10
Tabel 1. Definisi Teknologi dan Budaya12
Level
Definisi Teknologi Definisi Budaya
Level 1: Pendapat Umum
Teknologi sebagai benda/barang, alat dan artefak.
Budaya sebagai seni dan estetika.
Level 2: Definisi Kontekstual
Teknologi sebagai isi atau perangkat lunak (software), didefinisikan berdasarkan bagaimana ia digunakan.
Budaya sebagai jalan hidup (ways of life), pengalaman hidup individu, komunitas atau kelompok.
Level 3: Definisi Struktural
Teknologi sebagai sistem pengetahuan
Budaya sebagai dasar sistem struktural.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa teknologi
memungkinkan interaksi antar individu lintas batas ruang dan waktu. Sisi
interaktivitas individu yang saling terhubung ini kemudian memungkinkan
terbentuknya tantanan masyarakat jaringan dengan skala dan daya jangkau yang
meluas serta mengglobal. Sifat komponennya juga lebih heterogen, berbeda
dengan sifat komponen masyarakat massa yang cenderung homogen. Untuk
melihat perbedaan antara karakteristik masyarakat massa dan masyarakat
jaringan tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Karakteristik Masyarakat Massa dan Masyarakat Jaringan.13
Karakteristik
Masyarakat Massa Masyarakat Jaringan
Komponen Utama Kolektivitas (Grup,
Organisasi, Komunitas)
Individualitas (terhubung
jaringan)
12 Terry Flew, New Media An Introduction,United Kingdom: Oxford University Press, 2004, hal.27 13 Jan Van Dijk, The Network Society, London: Sage Publication, 2006, hal 33.
11
Sifat Komponen Homogen Heterogen
Skala Memperluas
Memperluas &
Mereduksi
Jangkauan Lokal
Global dan Lokal
(Glokal)
Kepadatan
Penduduk Tinggi Rendah
Sentralisasi Tinggi Rendah
Tipe Komunitas Fisik dan Kesatuan
Virtual dan bermacam-
macam
Tipe Organisasi Birokrasi (integrasi
vertikal)
Infokrasi (Diferensiasi
Horizontal)
Tipe Komunikasi Face to face Termediasi
Jenis Media Media Massa Penyiaran Media Interaktif
Banyaknya Media Rendah Tinggi
Komponen individu yang saling terhubung tidak lagi terajut kedalam
sebuah tatanan komunitas-komunitas fisik melainkan menjadi komunitas-
komunitas berbasis virtual. Komunitas-komunitas virtual ini membayangkan
tentang kedekatan dan kebersamaan mereka. Sebuah imajinasi yang bertumpu
pada realitas virtual dan bukan pada realitas empirik. Realitas virtual ini
perlahan-lahan meresap kedalam imajinasi individu-individu yang saling
terhubung itu.
Daya resap realitas tersebut persis dengan apa yang dicontohkan oleh
Benedict Anderson tentang fiksi Noli Me Tangere, dimana fiksi tersebut
12
meresap diam-diam secara diam-diam kedalam realitas, menciptakan keyakinan
yang menakjubkan tentang adanya komunitas dengan orang-orang yang tidak
saling kenal.14
2. Simulasi dan Masyarakat Konsumsi
Demikian pula komunitas virtual, individu satu dengan individu
lainnya saling berimajinasi membayangkan kehadiran, keberadaan, bahkan
“cita-cita” mereka meskipun hanya didalam alam virtual maya.
Dalam dunia postmodern, citra dan simbol menjadi sebuah komoditas.
Dengan kata lain, simbol menjadi komoditas tersendiri yang berbeda dari
komoditas barang dan jasa. Jean Baudrillard berpendapat bahwa analisis
tentang komoditas produksi milik Marx telah ketinggalan zaman karena
sebagian besar kapitalisme sekarang menitikberatkan perhatiannya kepada
produksi tanda, citra dan sistem tanda.
Marx’s analysis of commodity production is outdated because capitalism is now predominantly concerned with the production of sign, image, and sign system.15
Pengkonsumsian tanda merupakan salah satu ciri khas masyarakat
postmodern yang secara terus menerus dan bersama-sama memproduksi tanda
dan menjadi komoditas tanda (commodity sign). Masyarakat postmodern
14 Benedict Anderson, Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist Press, 2001, hal.53 15 David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge: Blackwell Publisher, 1991, hal 287
13
menduplikasi tanda, imaji, citraan dan simulasi melalui media massa dan
akhirnya tidak ada lagi distingsi antara imaji dan realita.16
Lebih jauh, dalam pemikiran-pemikiran Jean Baudrillard, ia membagi
tiga orde, antara lain: Couterfeit yaitu sebuah pola yang dominan pada periode
klasik renaisanse menuju revolusi industri. Kemudian production mengacu
pada pola yang dominan pada era industri. Terakhir, simulation yang merujuk
pada pola yang dikontrol oleh sistem kode seperti pada era sekarang ini. Dalam
telaah Baudrillard simulasi dimaknai dan dalam pengertian bahwa suatu tidak
meniru, menduplikasi sesuatu yang lainnya sebagai model rujukannya, akan
tetapi menduplikasi dirinya sendiri.
17
Simulasi atau simulacrum cenderung terlepas dari realitas yang
dirujukannya,anti representasi anti signifikasi dan tidak mewakili realitas
apapun kecuali mewakili realitas dirinya sendiri. Tidak terjalinnya interrelasi
antara tanda dengan realitas rujukan inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard
sebagai simulasi. Menurut baudrillard hiperrealitas seratus persen terdapat
dalam simulasi.
18
Dalam tulisannya tentang simulation di tahun 1981 Baudrillard
memaparkan bahwa antara objek, tanda yang direpresentasikan, ide dan benda
16 David J Ary Julia J ary, Collin Directory of Sociology. Collins: Harper Collin Publisher, 1991, hal 94. 17 Imam Mawardi, 2011, Makna Realitas Media Televisi menurut Jean Baudrillard dalam Perspektif Ontologi Relevansinya dengan Pembentukan Identitas Budaya Indonesia, thesis tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada. 18 George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, Penerj. Muhammad Taufiq, Yogyakarta: Juxtapose And Publication Study Club & Kreasi Wacana, 2003, hal 163.
14
sudah tidak lagi memililki perbedaan yang jelas. Lahir sebuah dunia yang ia
sebut dengan simulacra yaitu sebuah konstruksi dunia baru yang terlepas dari
model dasarnya, tercerabut dari realitasnya, sebuah dunia yang tidak memiliki
kerangka acuan kecuali mengacu pada dirinya sendiri. Muncul sebuah dunia
yang penuh citra. Demikian pula tulisannya yang berjudul “The Precession of
Simulacra” Baudrillard memaknai simulasi sebagai citra tanpa referensi atau
yang ia sebut simulacrum.
Di dalam era konsumsi tanda, posisi citra luaran, profan, dangkal dan
artifial lebih mendominasi daripada dimensi isi yang bersifat substantif.
Berkaitan dengan dunia citra, setidaknya terdapat empat fase dalam
perkembangan citra, diantaranya yaitu: citra sebagai refleksi dari realitas, citra
menyembunyikan atau menutupi realitas, citra yang absen dari realitas dan
terakhir citra yang tidak berhubungan dengan realitas apapun.19
Jean Baudrillard lebih jauh memaparkan bahwa setidaknya terdapat
tiga tahap nilai dalam perkembangan masyarakat diantaranya yaitu, tahap
alamiah atau nilai guna, tahap komoditi atau nilai tukar dan tahap struktural atau
nilai tanda atau nilai semiotik.
20
19 Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M.Kellner, Media and Cultural Studies, UK: Blackwell Publishing, 2006, hal. 456 20 Jean Baudrillard, The Transparancy of Evil, Verso: London, 1993, hal 5.
Pada tahapan alamiah, segala sesuatu bersandar
pada alam dan nilai-nilai disusun berdasarkan pemanfaatan dunia secara
alamiah. Kemudian tahap kedua fokus pada hukum pertukaran dimana nilai-
nilai disusun berdasarkan pada logika komoditi.
15
Tahap ketiga yaitu pengontrolan kode-kode dan kerangka acuan nilai-
nilai akan sangat bergantung pada seperangkat tanda dan model. Namun
demikian, perkembangan tahapan nilai tersebut terus berkembang mengikuti
atmosfer globalisasi. Kemudian Jean Baudrillard menambahkan sistem nilai
tahap empat yang ia sebut sebagai nilai viral atau fraktal. Sistem nilai viral atau
fraktal berkembangbiak melalui pelipatgandaan tanpa akhir dan tidak lagi
dikenal titik referensi. Nilai-nilai memancar ke segala arah, menulari dan
mengkontaminasi setiap sudut kehidupan dalam kecepatan tinggi sebelum ia
kemudian menghilang.21
Melalui karya-karyanya Baudrillard berupaya memperluas arti dan
makna konsumsi yang tidak hanya sebatas barang dan jasa melainkan juga
terjadi pada simbol. Seperti yang telah dipaparkan diawal bahwa analisis
tentang komoditas produksi milik Marx telah ketinggalan zaman karena
sebagian besar kapitalisme sekarang menitikberatkan perhatiannya kepada
produksi tanda, citra dan sistem tanda. Konsumsi tanda ini menurut George
Ritzer dalam kata pengantarnya pada buku La Societe de Consommation karya
Baudrillard mengatakan bahwa konsumsi telah meluas kepada semua
kebudayaan dan kita tengah menyaksikan komodifikasi budaya diberbagai
bidang termasuk seni.
22
21 Yasraf Amir Piliang, Opcit, hal. 134. 22 Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, Penerj. Wahyunto, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004, hal xxxv
16
Logika konsumsi tanda yang digagas oleh Jean Baudrillard dalam
penelitian ini sengaja digunakan guna menopang logika produksi dan logika
distribusi yang dirintis oleh melayuonline.com. Dengan demikian telaah
komodifikasi budaya lebih lengkap dan menyeluruh mencakup produksi,
distribusi dan konsumsi sumber daya sebagaimana telaah-telaah ekonomi
politik media lainnya.
3. Komodifikasi: Konten, Audien & Pekerja Media
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi disatu sisi mampu
memberikan warna baru dalam pola-pola interaksi. Namun disisi yang lain, ia
juga berpotensi membuka peluang terjadinya proses pertukaran nilai guna
menjadi nilai tukar dalam dimensi ekonomi dan politik. Kemajuan di bidang
media internet misalnya, mempermudah ekspansi bisnis, memperluas daya
jangkau baik produksi, distribusi maupun skala penjualan. Namun demikian,
tidak jarang pada proses-proses tersebut terjadi benturan-benturan persoalan.
Baik persoalan antara konglomerasi dan para pekerja maupun persoalan
terjadinya praktek komodifikasi. Oleh karenanya, telaah ekonomi politik hadir
guna memberikan kritik sosial, pengkajian tentang relasi sosial serta
memberikan sebuah pandangan alternatif yang mengutamakan estetika moral
dan bukan hanya sebatas pengutamaan akumulasi modal serta kalkulasi laba.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak kerangka konseptual tentang
teori ekonomi politik media atau ekonomi politik komunikasi diantaranya yaitu
Graham Murdock, Peter Golding, Vincent Mosco, Janet Wasco dan lain
17
sebagainya. Namun demikian, dari sekian banyak kerangka konsep yang
dipaparkan, penelitian ini menggunakan kerangka konsep komodifikasi Vincent
Mosco. Dipilihnya kerangka konsep tersebut dikarenakan Mosco menawarkan
kerangka konsep yang dapat memberikan telaah konseptual yang komprehensif
dari beberapa generasi dan benua.23
“Study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources”.
Vincent Mosco mencoba maknai kajian ekonomi politik dengan
membedakan menjadi dua makna yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit ekonomi politik media dimaknai sebagai kajian relasi sosial,
khususnya relasi kekuasaan, proses produksi dan distribusi informasi serta
konsumsi sumber daya.
24
Dalam pengertian luas, dalam teori-teori ekonomi politik, terminologi
ekonomi politik dapat diartikan sebagai sebuah pembahasan mengenai kontrol
pertahanan kehidupan sosial. Kontrol tersebut dimaknai sebagai pengelolaan
individu dan kelompok dalam memproduksi dan mereproduksi diri agar supaya
dapat bertahan.
25
23 Andrew Calabrese & Colin Sparks, Toward a Political Economy of Culture Capitalism and Communication in the Twenty-First Century, Rawman & Littlefield Publisher: United Kingdom, 2004, hal 2. 24 Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, Sage Publication: London, 1996, hal 25-24. 25 Ibid., hal. 25-38.
Mosco menawarkan sebuah telaah konseptual mengenai
ekonomi politik komunikasi dengan tiga pintu masuk yaitu komodifikasi,
18
spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi yaitu transformasi nilai guna menjadi
nilai tukar. Spasialisasi mengacu pada proses untuk mengatasi limitasi ruang
dan waktu dalam kehidupan sosial. Sedangkan strukturasi merupakan proses
membentuk relasi sosial yang sebagian besar berada pada seputar kelas sosial,
gender dan ras.26
4. Operasionalisasi Konsep
Kerangka berfikir Mosco tersebut sedikit lebih banyak dipengaruhi oleh
kerangka berfikir Marx, Henry Levebvre, dan Antony Giddens. Kerangka
konsep komodifikasi merupakan turunan dari logika “commodity” Marx yang
memiliki dua dimensi yaitu dimensi nilai guna (use value) dan dimensi nilai
tukar (exchange value). Demikian pula halnya dengan konsep strukturasi yang
berakar dari kerangka pemikiran Antony Giddens serta konsep spasialisasi yang
telah lebih dulu diperkenalkan oleh ilmuan sosial Henry Levebvre.
Komodifikasi berkaitan dengan sistem produksi, distribusi dan
konsumsi yang kesemuanya berada dalam satu kesatuan proses. Bagi Mosco
komodifikasi dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu komodifikasi konten,
komodifikasi audien dan komodifikasi pekerja. Seperti yang telah dipaparkan
diawal, komodifikasi merujuk pada pertukaran nilai guna menjadi nilai tukar.
Nilai tukar disini diartikan sebagai nilai yang memiliki daya tawar atau dapat
juga disebut sebagai peletakan nilai tawar. Peletakan nilai tawar atau nilai tukar
ini tidak hanya sebatas pada nilai tukar yang bermotif materi namun merujuk 26 Ibid., hal. 2
19
pada semua bentuk nilai tukar termasuk nilai tukar tanda atau nilai tukar
simbol, nilai tukar hubungan politik simbiosis mutualisme dan lain sebagainya.
Maka, antara definisi komodifikasi dengan komersialisasi memiliki perbedaan
yang tipis, dimana komodifikasi merujuk pada semua bentuk nilai tukar
sedangkan komersialisasi merujuk pada nilai tukar ekonomi.
Tabel 3. Indikator Komodifikasi dan Non Komodifikasi
No Non Komodifikasi Komodifikasi
1
Tidak terjadi pergeseran dari nilai guna menjadi nilai tukar
Terjadi pergeseran dari nilai guna menjadi nilai tukar
2
Orientasi pemilik media: Non Profit, fokus pada masyarakat grassroot. Tidak bercampur dengan lahan bisnis
Orientasi pemilik media: Profit, fokus pada akumulasi modal-kalkulasi laba.Bercampur dgn ragam kepentingan-lahan bisnis menjadi utama
3
Pekerja Media: Minim kontrolisasi, tidak ada fleksibilitas pekerja media, tidak eksploitatif.
Pekerja Media: Kontrolisasi, kolonialisasi kesadaran, flexible accumulation- eksploitatif
4
Informasi yang disampaikan tidak menggiring audien kepada industri media & industri pariwisata
Informasi yang disampaikan menggiring audien kepada industri media & industri pariwisata (pariwisata budaya)
Komodifikasi konten dimaknai sebagai proses perubahan pesan ke
dalam sistem makna dalam bentuk produk yang memiliki nilai tukar dan dapat
20
dipasarkan. Menurut mosco, proses terjadinya nilai tukar pada konten media
melibatkan pekerja media, audien pengkonsumsi dan modal.27
New media expand opportunities to commodify content because they are fundamentally grounded in the process of digitization, which refers specificially to the transformation of communication, including data, words, images, motion pictures, and sound, into a common language.
Dalam penelitian ini, komodifikasi konten dioperasionalisasikan pada
aspek kebaruan, sensasi, human interest. Kebaruan merujuk pada bagaimana
melayuonline.com mengubah konten konten budaya melayu yang cenderung
usang menjadi sesuatu yang baru dan dapat dijadikan nilai tukar di dunia
virtual. Melayuonline.com juga mengkomodifikasikan konten medianya dengan
cara menimbulkan efek sensasi. Konten-konten budaya melayu yang eksotis
mendorong audien virtual merasakan sensasi dan “suasana” virtual imajinatif
menjadi seolah-olah nyata. Selanjutnya human interest merujuk pada
bagaimana konten budaya melayu yang ada dalam situs melayuonline.com
memancing minat dan kepedulian masyarakat virtual untuk melestarikan serta
terlibat aktif dalam berbagai bentuk termasuk menjadi audien tetap sebagai
pengkonsumsi simbol-simbol budaya melayu.
Mengenai komodifikasi konten ini, Mosco menambahkan bahwa
kehadiran new media dapat memperluas peluang proses modifikasi konten
dikarenakan berbasis pada proses digitalisasi.
28
27 Ibid., hal. 147 28 Vincent Mosco, Opcit, hal.135
21
Selanjutnya komodifikasi audien yaitu proses modifikasi audien dari
peran awal sebagai konsumen media menjadi konsumen selain media atau
dalam hal ini pihak pengiklan. Dalam komodifikasi audien terjadi transaksi
yang saling menguntungkan antara perusahaan media dan pemilik modal.
Pada posisi itu, audien media ditukar dan dijual ke pemilik modal guna
mendapatkan keuntungan ekonomi. Dalam konteks penelitian ini nilai tukar
audien lebih difokuskan pada bagaimana akumulasi akses audien dapat
mendorong para donatur untuk menyumbangkan dana-dananya.
Dalam perkembangannya, nilai tukar audien ditopang oleh media
dengan sistem digital. Bagi Mosco, sistem digital dapat mengukur dan
memonitor secara tepat bagaimana transaksi informasi yang sedang diakses
oleh audien, baik audien penonton, pembaca, penggemar film, dan pengguna
komputer.29
29 Vincent Mosco, Opcit, hal.137
Tidak hanya itu, perusahaan media pun dapat mengemas dan
menempatkan audien atau pelanggan kedalam bentuk yang lebih spesifik
terutama disesuaikan menurut minat dan daya beli audien pengakses serta
disesuaikan menurut karakteristik demografisnya.
Dibalik produksi konten dan produksi audien terdapat pekerja media
yang menggerakan proses produksi konten beserta distribusinya. Bagi Mosco,
pekerja disusun oleh kesatuan konsepsi, kekuatan menuangkan visi atau cita-
cita, imajinasi, desain kerja dan eksekusi.
22
Labor is constituted out of unity of conception, or the power to envision, imagine, and design work, and the execution, or the power to carry it out.30
Tidak hanya itu, ekploitasi dan fleksibilitas pekerja media juga
mengacu pada rangkap tugas dan peran. Artinya satu pekerja selain dituntut
untuk berperan dan bertugas sebagai redaktur juga merangkap sebagai
wartawan lapangan, editor, pengobservasi dan peneliti. Optimalisasi
fleksibilitas pekerja media bertujuan memangkas biaya-biaya produksi dan
meningkatkan akumulasi modal dan kalkulasi laba, David Harvey
menyebutnya sebagai flexible accumulation.
Pekerja media baik secara kemampuan maupun kekuatannya
dimanfaatkan semaksimal mungkin guna meningkatkan akumulasi modal
serta kalkulasi laba. Demi keuntungan yang instan dan pragmatis itu,
perusahaan media mengekploitasi kemampuan pekerja media. Bentuk
eksploitasi disini berupa optimalisasi fleksibilitas pekerja media. Artinya, satu
pekerja media dioptimalkan tenaga dan pikirannya untuk bekerja dilebih dari
satu media guna memproduksi berbagai macam konten media kemudian
didistribusikan kedalam berbagai macam bentuk media.
31
Penelitian ini berfokus pada komodifikasi budaya. Artinya pertukaran
nilai guna budaya menjadi berbagai macam nilai tukar. Nilai tukar tersebut
diartikan sebagai nilai yang memiliki daya tukar atau daya tawar. Peletakan
30 Ibid., hal. 139 31 David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge: Blackwell Publisher, 1991, hal 294
23
nilai tawar atau nilai tukar ini tidak hanya sebatas pada nilai tukar yang
bermotif materi namun merujuk pada semua bentuk nilai tukar termasuk nilai
tukar tanda budaya atau nilai tukar simbol budaya, nilai tukar audien
pengakses konten budaya serta nilai tukar pekerja media yang memproduksi
dan mendistribusikan konten-konten budaya.
Tabel 4. Kerangka Konsep Penelitian
Konsep Dimensi yang dikaji Sumber
Komodifikasi
1. Konten Media
2. Audien
3. Pekerja Media
Vincent Mosco
I. Metodologi Penelitian
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Sifat penelitian ini yaitu kualitatif yang berupaya menggali lebih dalam
terkait objek yang diteliti. Guna membongkar praktik komodifikasi budaya
yang berlangsung pada situs www.melayuonline.com digunakan metode
etnoografi virtual. Digunakannya metode etnografi virtual karena disesuaikan
dengan permasalahan utama dalam penelitian ini yang bersentuhan langsung
dengan dunia virtual yang juga melibatkan sistem budaya, komunikasi dan
relasi-relasi sosial lintas batas ruang dan waktu.
Virtual ethnography can exploit mobility to explore the making of spaces and times, and the relationships between them. The mobility of this etnography across the different social spaces of newsgroups
24
highlighted the ways in which these spaces were sustained in the interactions of participants.32
2. Metode Pengumpulan Data
Menurut Christine Hine, metode etnografi virtual merupakan pendekatan
yang berupaya mengeksplorasi lebih dalam tentang interaksi objek yang terjadi
di dunia virtual. Dalam penelitian ini, oleh karena etnografi virtual sangat khas
dengan telaah holistik-integratifnya maka penelitian ini pun difokuskan kepada
apa saja dan bagaimana produsen memproduksi konten budaya serta bagaimana
audien masyarakat virtual menggunakan artefak budaya yang terpublikasikan
dalam ruang virtual. Dengan menggunakan metode etnografi virtual,
memungkinkan tergalinya data dan fakta serta fenomena komunikasi yang terjadi
didalam ruang virtual dimana data dan fakta tidak akan tergali jika menggunakan
metode etnografi pada umumnya.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dirintis berdasarkan
metode etnografi virtual yaitu obsevasi online, wawancara mendalam online serta
kajian pustaka atau kajian literatur. Namun demikian, agar penelitian ini tetap
holistik dan integratif maka observasi dan wawancara mendalam tidak hanya
melalui dunia virtual (online) akan tetapi juga dilakukan secara empirik offline.
Dengan mengobservasi peneliti secara bebas dapat mengajukan
pertanyaan sebanyak-banyaknya sesuai dengan pengetahuan tentang subjek yang
32 Christine Hine, Virtual Etnography, Sage Publications: London, 2000, hal 116.
25
diteliti.33 Observasi lebih memiliki fleksibilitas dalam membingkai gagasan ke
dalam realitas. Selain itu, observasi jika digabungkan dengan metode lain, akan
menghasilkan temuan-temuan yang mendalam dan memiliki cakupan yang lebih
luas sehingga dapat mengukuhkan konsistensi dan validitas temuan.34
Metode pengumpulan data lainnya yaitu melalui wawancara mendalam
secara informal. Wawancara informal (Informal Interviews) biasa digunakan
untuk mengeksplorasi berbagai aspek atau topik-topik penting guna investigasi.
35
Namun demikian, guna mendapatkan gambaran yang lebih objektif dan
menyeluruh tidak menutup kemungkinan dilakukan juga wawancara mendalam
terhadap berbagai lembaga, instansi, tokoh-tokoh adat yang telah bekerjasama,
serta mantan-mantan staf yang pernah bekerja pada situs
Selanjutnya, untuk menggali data dan fakta yang lebih mendalam tentang
produksi dan konsumsi konten budaya melayu, wawancara mendalam ini
dilakukan secara online maupun secara offline sesuai dengan target data dan fakta
yang dicari. Guna membedah praktek komodifikasi konten, komodifikasi audien
dan komodifikasi pekerja media, setidaknya terdapat beberapa staf –staf redaksi
BKPBM yang dijadikan informan utama diantaranya yaitu Tunggul Tauladan
S.S, Agus, Mujibur Rohman, Sutar, dan Yusuf Efendi.
www.melayuonline.com serta para barisan “patah hati” (kecewa) atas
33 Norman K.Denzin & Yvonna S.Lincoln, Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication, 2000, hal. 530. 34 Ibid., hal. 530. 35 Sari Wahyuni, Qualitative Research Method, Theory and Practice, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2012, hal. 57.
26
pragmatisme ruang budaya melayu didalam www.melayuonline.com. Terakhir,
metode pengumpulan data lainnya yaitu kajian pustaka atau studi literatur. Kajian
pustaka atau studi literatur dalam penelitian ini digali melalui buku-buku, jurnal
ilmiah, data internet serta dokumen-dokumen yang mendukung penelitian ini.
Kajian pustaka atau studi literatur diperlukan dalam upaya menggali data-data
yang relevan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini.
J. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi empat bab yang
disusun secara sistematis. Pada bab I menguraikan latar belakang masalah
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka teoritik dan sistematika penulisan. Pada bab II dipaparkan
mengenai gambaran umum situs www.melayuonline.com. Kemudian pada bab
II dibahas tentang motif berdiri dan modal ekonomi, modal sosial dan modal
kultural serta aktor-aktor dibalik layar situs www.melayuonline.com. Bab II
juga mengulas gambaran umum tentang pergeseran identitas budaya dari
realitas empirik menuju realitas virtual.
Kemudian pada bab III menguraikan secara lebih terperinci tentang
Produksi Konten dan Produksi Audien di www.melayuonline.com, Space &
Time Budaya Melayu di www.melayuonline.com serta mengulas tentang
pragmatisme Ruang Budaya Melayu. Dalam penjabaran selanjutnya, pada Bab
III memaparkan lebih dalam tentang komodifikasi konten, komodifikasi audien
27
dan komodifikasi pekerja media. Selain itu pada bagian akhir bab III juga
dipaparkan tentang bagaimana ruang Budaya Melayu dalam Pusaran Industri
Media & Industri Pariwisata Budaya. Terakhir, bab IV penutup yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi.