Upload
kadek-dwi-saputra
View
27
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk kepentingan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring, orofaring dan
laringofaring atau hipofaring. Nasofaring, bagian dari faring yang terletak di atas palatum
mole, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum mole dan tulang hyoid dan
laryngofaring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid.
Orofaring termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkumferensial disebut cincin
Waldeyer. Termasuk didalamnya adenoid (tonsila faringeal), tonsila palatine atau fausial,
tonsila lingual, dan tonsil tuba (gerlach’s tonsil). Semuanya mempunyai struktur dasar
yang sama: massa limfoid ditunjang oleh kerangka retinakulum jaringan penyambung.
Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dalam cincin waldeyer dari jaringan
limfoid, yang mengelilingi faring. Unsur lain yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar- kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa rosanmuller, dibawah mukosa
dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius (tonsil gerlach’s). Cincin
Waldeyer ikut berperan dalam reaksi imunologi dalam tubuh (tidak berhubungan dengan
timus, atau dikenal sebagai sel B). Hubungan tersebut sangat penting dalam beberapa
tahun pertama kehidupan. Tonsil juga merupakan bagian dari MALT (Mucosa
Associated Lympoid Tissue), sekurang-kurangnya 50% dari seluruh limfosit jaringan
berhubungan dengan permukaan mukosa, menekankan bahwa ini adalah tempat utama
masuknya benda asing. Agregat limfoid tampak menonjol pada lokasi yang rawan ini
(tonsil dan adenoid).
AdenoTonsilo Kronik (ATK) cukup sering terjadi terutama pada kelompok usia antara 5
sampai 10 tahun. Pembesaran adenoid meningkat secara cepat setelah lahir dan mencapai
ukuran maksimum pada saat usia 4 – 6 tahun kemudian menetap sampai usia 8 sampai 9
tahun dan setelah usia 14 tahun bertahap mengalami involusi / regresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tonsil
A. Tonsil Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-
20 kripte. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil
dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut
“Capsula” tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar.
Arteri carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsila.
Vaskularisasi tonsil diperoleh Arteri terutama masuk melalui polus caudalis, tapi juga
bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr. tonsillaris a. dorsalis linguae, a.
palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica
ascendens dan a. palatina minor. Semua cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari
a. carotis eksterna. Darah venous dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v.
lingualis dan di sekitar kapsula tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai
hubungan dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole menuju
ke bawah lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk menuangkan isinya ke dalam pleksus
pharyngealis.
Cairan limfe dituangkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan sebagian
besar ke lnn. cervicalis profundus superior terutama pada limfonodi yang terdapat di
dorsal
angulus mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting pada kelompok ini adalah
nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.
Gambar Anatomi Tonsil Palatina
B. Adenoid
Adenoid / tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang
terletak pada aspek posterior nasofaring. Adenoid terletak pada dinding posterior
nasofaring, berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior,
kompleks tuba eustachius-telinga tengah-kavum mastoid pada bagain lateral. Adenoid
tidak memiliki kriptus.
Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal, beberapa
cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis. Inervasi sensible merupakan
cabang dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan makroskopik dari adenoid
menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan tonsila palatine. Adenoid adalah
organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang dalam, hanya terdiri
beberapa kripte berbeda dengan tonsila palatine yang memiliki jumlah kripte lebih
banyak.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
Gambar anatomi adenoid
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa initerdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.Gambar anatomi tonsil
lingual
D. Tonsil Tuba Eusthacius
Tonsil ini terletak dekat dengan torus tubarius sehingga dinamakan tonsil tuba. Gambar
anatomi tonsil
2.2 Fisiologi
Tonsil membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran napas dan saluran
pencernaan yang dikenal sebagai cincin Waldeyer. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik . Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap
bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi
sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai
fossa supratonsilar. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang di dalamnya terdapat sel
limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada
orang dewasa. Proporsi limfosit B danT padatonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah
55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam
proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis
immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa Ig G.
2.3 Histologi
A. Tonsil Palatina
Permukaan tonsila palatina yang dilapisi mukosa terdiri dari epitel berlapis pipih yang
mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana mukosa
tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga memerlukan
perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan terhadap trauma.Kripte pada tonsila
palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte dalam jumlah yang banyak.
Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa yang terdapat di sekitar tonsil.
B. Adenoid
Secara histologis, adenoid tersusun atas 3 jenis epitel pada permukaannya: epitel
kolumnar bertingkat dengan silia, epitel berlapis skuamous dan epitel transisional. Infeksi
kronik atau pembesaran adenoid cenderung akibat peningkatan proporsi epitel berlapis
skuamous (aktif untuk proses antigen) dan berkurangnya epitel respirasi (aktif untuk
klirens mukosilier).
2.4 Definisi Adenotonsilitis
Adenotonsilitis kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari tonsil dan adenoid.
Ciri khas dari adenotonsilitis kronis adalah kegagalan dari terapi dengan antibiotik.
Adenoiditis adalah kondisi medis dimana terjadi peradangan pada adenoid yang biasanya
disebabkan sering terpapar kuman akibat infeksi kronis atau rekuren pada saluran
pernafasan atas karena letak adenoid tepat di dinding belakang nasofaring. Adenoiditis
berulang akan menyebabkan hipertrofi adenoid.
Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun.
Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau karena
pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari tempat lain,
misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung (sinusistis kronis dan
rhinitis kronik), atau karies gigi. Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi
atau inflamasi pada tonsil palatina lebih dari tiga bulan.
2.5 Etiologi Adenotonsilitis Kronis
Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara fisiologis dan
faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya
yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan
gejala.
Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yang berulang kali antara usia 4-14 tahun.
Risiko terjangkitnya adenoiditis meningkat bila menderita infeksi hidung dan infeksi
tenggorokan. Penyebab adenoiditis adalah infeksi virus dan infeksi bakteri.
Etiologi untuk tonsillitis kronis dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat
terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada
umumnya sama dengan tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak
ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus β hemolyticus. Beberapa jenis
bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus
influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob. Meskipun tonsilitis kronis dapat disebabkan
berbagai bakteri namun streptococcus β hemolyticus group A perlu mendapatkan
perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius
diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik, penyakit sendi rematik dan
glomerulonefritis
2.6 Patogenesis Adenotonsilitis
Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang dinding posterior dan
nasofaring, fungsi utama dari adenoid adalah sebagai pertahanan tubuh, dalam hal ini
apabila terjadi invasi bakteri melalui hidung yang menuju ke nasofaring. Apabila sering
terjadi invasi kuman maka adenoid semakin lama akan membesar karena sebagai
kompensasi bagian atas maka dapat terjadi hiperplasi adenoid. Faktor predisposisi untuk
adenoiditis kronik adalah sering terjadinya infeksi saluran nafas bagian atas, yang dapat
menimbulkan sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius.
Proses imunologi pada adenoid dimulai ketika bakteri, virus atau antigen makanan
memasuki nasofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen adenoid
pertama sebagai barier imunologis. Kemudian akan diabsorbsi secara selektif oleh
makrofag, sel HLA dan sel M dari tepi adenoid. Antigen selanjutnya diangkut dan
dipresentasikan ke sel T pada area ekstra folikuler dan ke sel B pada sentrum
germinativum oleh follicular dendritic cells (FDC).
Pada tonsillitis kronis karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid terkikis, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut
sehingga kripte pada tonsil akan melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh
detritus (epitel mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa
eksudat berwarna kekuning-kuningan). Prosis ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsil. Pada anak proses ini
dapat terjadi disertai pembesaran kelenjar submandibular. Faktor predisposisi timbulnya
tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsiltis akut
yang tidak adekuat.
Infeksi virus dengan infeksi sekunder bakteri merupakan salah satu mekanisme terjadinya
ATK. Adenoid dan tonsil dapat mengalami pembesaran yang disebebkan karena proses
hipertrofi sel akibat respon terhadap infeksi tersebut. Faktor lain yang berpengaruh adalah
lingkungan, faktor inang (alergi), penggunaan antibiotika yang tidak adekuat,
pertimbangan ekologis, dan diet. Infeksi dan hilangnya keutuhan epitel kripte
menyebabkan kriptitis dan obstruksi kripte, lalu menimbulkan stasis debris kripte dan
persistensi antigen, bakteri pada tonsil dapat berlipat – lipat jumlahnya, menetap dan
menjadi infeksi kronik.
2.7 Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang dapat terjadi sebagai gambaran klinik ATK diantaranya adalah
anak sering demam, terutama demam yang disertai pilek dan batuk, sering sakit kepala,
lesu, mudah mengantuk, tenggorok sering berdahak, tenggorok terasa kering, rasa mual
terutama waktu gosok gigi, suara sengau, “ngorok”, gangguan bernafas terutama waktu
tidur terlentang, nafas bau, sering “seret” bila makan, sering batuk, pendengaran terasa
tidak enak, nafsu makan berkurang, prestasi belajar menurun, fascies adenoid yaitu
apabila sumbatan berlangsung bertahun – tahun, akibat sumbatan koana, pasien akan
bernafas melalui mulut sehingga terjadi a) fasies adenoid yaitu hidung tampak kecil, gigi
insisivus ke depan, arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien seperti
orang bodoh, b) faringitis dan bronkitis, c) gangguan ventilasi dan dreinase sinus
paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik.
Pada pemeriksaan didapatkan bagian anterior hiperemis, tonsil membesar (hipertrofi),
kripte melebar, detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe subangulus
mandibula. Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan vellum
palatum mole pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior, pemeriksaan digital
untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral
kepala.
Perbedaan Tonsilitis akut, eksaserbasi akut dan kronis.
1. Tonsilitis Akut
a. Hiperemis dan edema
b. Kripte tidak melebar
c. Detritus dapat ada
d. Tidak ada perlengketan
2. Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
a. Hiperemis dan edema
b. Kripte melebar
c. Detritus (+)
d. Perlengketan (+)
3. Tonsillitis kronis
a. Membesar/mengecil namun tidak hiperemis
b. Kripte melebar
c. Detritus tidak ada
d. Perlengketan (+)
Standar klasifikasi derajat pembesaran tonsil dibuatkan berdasarkan rasio tonsil terhadap
orofaring (dari sisi medial ke lateral) diantara pilar anterior, yaitu:
o T0: tonsil sudah diangkat
o T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
o T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
o T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
o T4: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
2.8 Diagnosis Adenotonsilitis Kronis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis berulang berupa
nyeri tenggorok yang berulang atau menetap, rasa yang mengganjal pada tenggorok, rasa
kering pada tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorok, dan obstruksi pada saluran
napas yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertrofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak signifikan. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfa submandibular.
Pada pemeriksaan fisik adenoid dan tonsillitis dapat menggunakan pemeriksaan
Rinoskopi anterior : untuk melihat tertahannya gerakan palatum mole pada waktu fonasi
dan pemeriksaan fenomena palatum untuk melihat pembesaran adenoid. Sedangkan
untuk
2.9 Diagnosis Banding
1. Tonsilitis difteriDisebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri
sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 5 tahun. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, nyeri menelan dan
pada pemeriksaan terdapat bercak putih kotor yang makin lama makin meluas pada
tonsil.
2. FaringitisFaringitis merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan
oleh virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin. Gejala klinis secara umum berupa
demam, nyeri tenggorok, sulit menelan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil tampak hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya, dan beberapa hari timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa, kenyal dan nyeri tekan.tonsillitis dapat secara
inspeksi menggunakan tongue spatel, sehingga dapat melihat kondisi akut/kronis
serta derajat pembesaran tonsil.
3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseremembranosa)Penyebab penyakit ini
adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala klinis berupa demam, nyeri kepala,
badan lemah rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membrane putih keabuan diatas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi srta prosesus alveolaris, mulut berbau, dan
pembesaran kelenjar submandibular.
2.10 Penatalaksanaan
Pada hipertrofi adenoid dilakukan tindakan bedah adenoidektomi dengan cara kuretase
memakai alat khusus (adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau
insufisiensi palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta.Indikasi
adenoidektomi:
1. Sumbatan: sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep apnea,
gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi
(adenoid face ).
2. Infeksi: adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik, otitis media
akut berulang.
3. Kecurigaan neoplasma jinak / ganas.
Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :
1. Eksisi melalui mulut
merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan melalui
mulut setelah mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-
langit mulut. Suatu cermin digunakan untuk melihat adenoid karena adenoid
terletak pada rongga hidung bagian belakang melalui pendekatan ini beberapa
instrumen dapat dimasukkan.
a. Cold Surgical Technique:• Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode
konvensional yang sukses dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang
tajam dan bengkok. Untuk mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam
setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat dikontrol
dengan elektrocauter. • Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan
menggunakan satu instrumen bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di
atas adenoid kumudian celah itu ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.•
Magill Forceps : Adalah suatu instrumen yang berbentuk bengkok yang
digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.
b. Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan
elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut jaringan
adenoid.
c. Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan metode
microdebrider, sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan pasti
terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan perdarahan
denganmenggunakan tradisional currete. Mikrodebrider memindahkan
jaringanadenoid yang sulit di jangkau oleh teknik lain.
2. Eksisi melalui hidung.
Satu-salunya teknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melalui rongga
hidung dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi
perdarahan dikontrol dengan menggunakan cauter suction.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam
De Medicina. Indikasi tonsilektomi menurut The America Academy of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery adalah:
1.Indikasi Absolut
a. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia
menetap, gangguan tidur atau komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak respon terhadapat pengobatan medis
c. Tonsillitis yang menimbulkan febrisd. Biopsi untuk curiga keganasan
2. Indikasi relative
a. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
meskipun denganterapi adekuat
b. Bau mulut atau bau nafas yang menetap
c. Tonsillitis kronis atau rekuren yang disebabkan oleh streptococcus yang resisten
terhadapantibiotic beta lactamase
d. Pembesaran tonsil unilateral cuirga neoplasma
Kontra indikasi
. diskrasia darah-
. usia dibawah 2 tahun bila tim anestesi dan bedah tidak mempunyai pengalaman
khusus
. infeksi saluran nafas berulang
. perdarahan atau pasien dengan peyakit sistemik tak terkontrol
. celah pada palatum
Teknik tonsilektomi tersering dilakukan di Indonesia adalah teknik Guillotine dan
diseksi. Teknik Guillotine dilakukan dengan mengangkat tonsil dan memotong uvula
yang edematosa atau elongasi dengan menggunakan tonsilotom atau guillotine. Teknik
ini merupakan teknik tonsilektomi tertua dan aman.
11. Komplikasi
Beragam komplikasi dapat terjadi akibat ATK, diantaranya adalah komplikasi adenoid
dan tonsil tersebut menjadi fokus infeksi, sumbatan jalan nafas dan / atau makan serta
disfungsi tuba eustachius. Adenoiditis kronik dapat menimbulkan disfungsi tuba akibat
penutupan ostium faringeum tuba secara langsung oleh pembesaran adenoid (adenoiditis
kronik hipertrofi) atau akibat penekanan pada lumen tuba oleh jaringan limfe perituba /
limfadenitis perituba.
Tonsilitis kronis dapat menimbulkan komplikasi perkontinuitatum atau secara hematogen
dan limfogen. Komplikasi perkontinuitatum dapat berupa rhinitis kronis, sinusitis, atau
otitis media, sementara penyebaran secara hematogen dan limfogen antara lain dapat
berupa miokarditis, endokarditis, dan glomerulonephritis.
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan apabila pengerokan adenoid
kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang
faring, bila kuretase terlalau ke lateral maka tobus tubarius akan rusak dan dapat
mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul tuli konduktif.
12. Prognosis
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu.
Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Supardi, E.A., Iskandar, N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, ed. 6, Balai FKUI, Jakarta, 2007, hal : 221.
2. Anonim. 2008. Adenotonsilitis kronis . www.klinikindonesia.com
3. Hatmansjah. 1993.Tonsilektomi. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Jayapur