Upload
dwikyap92
View
37
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
keluhan nyeri msds pekerja
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDS) adalah perusahaan yang bergerak
dibidang pengerolan slab menjadi plate. PT. GDS terletak di kota Surabaya
Provinsi Jawa Timur tepatnya di jalan Margomulyo No. 29 A. PT. GDS
merupakan salah satu industri baja terkemuka di Indonesia dengan Produksi
dengan cara di roll. PT. GDS mampu menghasilkan hingga total 350.000 ton
pertahun, dan dipasok keluar Indonesia.
Di bagian produksi PT.GDS terdapat sepuluh stasiun kerja dengan
beberapa operator di setiap unitnya, yakni stasiun kerja cutting slab dengan 4
operator, 1 area reheating furnace dengan 2 operator, 1 area descaler dengan 2
operator, 1 area rolling mill dengan 2 operator, 1 area hot leveller dengan 2
operator, 1 area dividing shear dengan 2 operator, 1 area cooling bed dengan 2
operator, 14 area cutting plate dengan 26 operator, 1 area cropping & side shear
dengan 2 operator dan 1 area gudang penyimpanan plat yang telah jadi.
Risiko bahaya yang terdapat pada PT. GDS yakni kebisingan yang
terdapat pada seluruh area produksi, lingkungan kerja yang panas pada area
reheating furnace, hot leveller dan area cooling bed, risiko terkena Gram dibagian
workshop, risiko terkena semburan api pada Gas Cutting slab dan gas cutting
plate, bahaya ergonomi pada operator Gas cutting slab maupun operator Gas
cutting plate karena para operator bekerja yang berkaitan dengan mengangkat,
menurunkan, mendorong dan menarik alat kerjanya secara manual dengan
1
2
menggunakan satu atau dua tangan operator. Para operator bekerja dengan
pekerjaan manual handling.
Menurut Tarwaka (2014) pekerjaan dengan manual handling akan dapat
menyebabkan stress pada kondisi fisik pekerja seperti pengerahan tenaga, sikap
tubuh yang dipaksakan dan gerakan berulang yang dapat mengakibatkan cedera
sepert gangguan Musculoskletal ataupun gangguan tulang yang lain, energi yang
terbuang scara percuma dan waktu kerja menjadi tidak efisien.
Gangguan Musculoskletal adalah gangguan otot rangka yang disebabkan
karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam
jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan pada sendi, ligamen dan
tendon. Berdasarkan data dapertemen kesehatan RI (2006), gangguan kesehatan
yang dialam pekerja 40,5% dari pekerjaannya yaitu sebanyak 9482 pekerja di 12
kabupaten/kota di Indonesia, 16% dantaranya menderita gangguan
Musculoskletal, 8% penyakit kardiovaskuler, 6% ganguuan syaraf, dan gangguan
pernafasan sebanyak 3%.
Data ILO pada tahun 2013 menyebutkan bahwa gangguan Musculoskletal,
berada di urutan kedua penyakit akibat kerja setelah Pneumoconios. Gangguan
Musculoskletal, menyebabkan kerugian pada pekerja seperti jumlah hari yang
hilang akibat sakit dan besarnya kompensasi yang harus dikeluarkan. Menurut
ILO tahu 2007, 34% total hari kerja yang hilang karena cedera dan sakit
diakibatkan oleh Musculoskletal Disorder (MSDs)
2
3
World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 2%-5% dari
karyawan di negara industri tiap tahun mengalami Gangguan Musculoskletal, dan
15% dari absenteisme di industri baja serta industri perdagangan disebabkan
karena Gangguan Musculoskletal. Data statistik Amerika Serikat memperlihatkan
angka kejadian sebesar 15%-20% per tahun. Sebanyak 90% kasus Gangguan
Musculoskletal bukan disebabkan oleh kelainan organik, melainkan oleh
kesalahan posisi tubuh dalam bekerja. Gangguan Musculoskletal menyebabkan
lebih banyak waktu hilang dari pada pemogokan kerja sebanyak 20 juta hari kerja
(Muheri,2010). National Academy of Science (1999) melaporkan lebih 1 juta
pekerja kehilangan jam kerjanya setiap tahun karena Gangguan Musculoskletal
menghabiskan $15 M per tahun, sedangkan jika dihitung dari biaya tidak langsung
seperti berkurangnya produktivitas, kehilangan pelanggan dan pergantian
karyawan, maka total biaya yang dikeluarkan per tahunnya mencapai $1 triliun
atau sekitar 10% dari Gross Domestic Product Amerika (Melhorn & Wilkinson,
2008).
MSDs dalam suatu industri seringkali kurang mendapat perhatian dan
dianggap sepele oleh pihak manajemen atau pengelola, bahkan di beberapa
perusahaan masih ada yang belom memahami apa saj yang menjadi faktor-faktor
penyebabnya, sehingga resiko MSDs dapat timbul di suatu perusahaan tanpa
disadari, padahal hal lain secara sadar ataupun tidak akan berpengaruh terhadap
produktivitass, efisiensi dan efektivitas pekerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya, dan dapat menganggu kesehatan pekerja (Rohjani,2003)
3
4
Menurut NIOSH (1997) yang dimaksud dengan Muskuloskletal disorders
(MSDs) adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal
dari jaringan halus sistem muskulosletal yang mencakup sistem syaraf, tendon,
otot, san struktur penunjang lain, MSDs dapat berupa peradangan dan penyakit
degeneratif yang menyebabkan melemahnya fungsi tubuh. Gangguan sistem
muskuloskletal ini hampir tidak pernah terjadi secara langsung, tetapi lebih
merupakan akumulasi dari benturan-benturan kecil maupun besar yang terjadi
terus menerusdan dalam waktu yang relatif lama. Hal ini bisa terjadi dalam
hitungan hari, bulan, atau tahun, tergantung dari berat ringannya trauma, sehingga
akan membentuk cidera yang cukup besar yang diekspresikan sebagai rasa sakit
atau kesemutan, nyari tekan, pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau
kelemahan pada jaringan atau anggota tubuh yang terkena trauma. Trauma timbul
jaringan karena kronisitas atau berulang-ulang proses penyebabnya.
MSDs dapat menjadi suatu permasalahan penting karema dapat
menyebabkan antara lain aktu yang hilang, menurunkann produktivitas kerja,
penanganannya membutuhkan biaya yang tinggi, penurunan kewaspadaan,
meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan (Bird, 2005). Macam-mcam gejala
kesehatan dirasakan oleh pekerja disebabkan faktor risiko MSDs yang memanajan
tubuhnya. Tiap bagian tubuh memiliki risiko ergonomi dan gangguan kesehatan
yang dapat melemahkan fungsi tubuh dan menurunkan kinerja pekerja, bagian-
bagian tubuh seperti lengan, leher, bahu, puggung, dan kaki merupakan bagian
tubuh yang sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya (NIOSH,
2007).
4
5
Dari hasil wawancara penulis dengan 7 orang operator Gas Cutting Plate,
5 orang diantaranya mengeluhkan adanya rasa nyeri. Keluhan yang dirasakan
adanya rasa nyeri di bagian pingang dan bagian leher bagian atas.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan serta belum pernah
dilakukannya identifikasi permasalahan MSDs di PT. Gunawan Dianjaya Steel
Tbk Surabaya, maka penelti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui bagaimana gambaran nyeri Muskuloskeletal Disorders(MSDs)
pada operator gas cutting plate di PT. Gunawan dianjaya Steel Tbk Surabaya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah adalah sebagai berikut :
Bagaimanakah gambaran keluhan nyeri Muskuloskeletal Disorders(MSDs)
pada operator gas cutting plate di PT. Gunawan dianjaya Steel. Tbk Surabaya?
1.3 TUJUAN
1.3.1. Tujuan Umum
Menggambarkan Keluhan Nyeri Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada
operator gas cutting plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, status Gizi, lama bekerja,
dan kebiasaan merokok) pada operator gas cutting plate di PT. Gunawan
Dianjaya Steel Tbk
2. Mengidentifikasi keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada
operator gas cutting plate di PT. Gunawan dianjaya Steel Tbk Surabaya.
5
6
1.4 MANFAAT
Kegiatan residensi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang terkait di dalamnya.
1.4.1 Bagi Mahasiswa
1. Mahasiswa dapat berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan
dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan kerja.
2. Mahasiswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih
aplikatif dalam bidang kesehatan masyarakat.
3. Mahasiswa mendapatkan pengalaman bekerja dalam tim untuk
memecahkan suatu permasalahan.
4. Mahasiswa menjalin hubungan langsung dengan personal di dunia
kerja sebagai bekal jejaring sosial di kemudian hari.
1.4.2 Bagi Program Studi S2 K3
Terbinanya suatu jejaring kerjasama antara institusi tempat residensi dalam
upaya meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara
substansi akademik dengan kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja.
1.4.3 Bagi Perusahaan/Institusi
1. Pengembangan kemitraan antara FKM UNAIR dengan PT. Gunawan
Dianjaya Steel Tbk untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di
bidang K3.
2. Memperoleh masukan tentang pemecahan masalah yang ada dengan
PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk terkait masalah Kesehatan dan
Keselamatan kerja.
6
7
3. Memperoleh gambaran tentang permasalahan Keluhan Nyeri
Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada Operator gas cutting plate
sehingga dapat merencanakan program pengendalian di perusahaan.
7
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Menurut Humantech (1995) Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah
kelainan yang disebabkan penumpukan cidera atau kerusakan kecil-kecil pada
sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak sempat
sembuh secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk
menimbulkan rasa sakit. Menurut OSHA (2002), MSDs merupakan sekumpulan
gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligament, kartilago,
sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya
menyebabkan rasa sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan,
gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar.
Menurut National Safety Council (2002), MSDs juga bisa diartikan
sebagai gangguan fungsi normal dari otot, tendon, saraf, pembuluh darah, tulang
dan ligament akibat berubahnya struktur dan berubahnya sistem muskuloskeletal.
MSDs adalah cidera atau penyakit pada sistem syaraf atau jaringan seperti otot,
tendon, ligament, tulang sendi, tulang rawan ataupun pembuluh darah. Rasa sakit
akibat MSDs dapat digambarkan seperti kaku, tidak fleksibel, panas/terbakar,
kesemutan, mati rasa, dingin dan rasa tidak nyaman. Keluhan muskuloskeletal
adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari
keluhan ringan hingga keluhan yang terasa sangat sakit (Humantech, 2003).
8
9
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, MSDs bukanlah diagnosis
klinis, melainkan rasa nyeri karena kumpulan cedera pada sistem muskuloskeletal
ekstremitas atas akibat gerakan kerja biomekanik berulang-ulang. Pada beberapa
negara, digunakan istilah yang berbeda-beda untuk menggambarkan kejadian
MSDs tersebut, diantaranya (NIOSH, 1993):
a. Cumulative Trauma Disorders (CTDs)
b. Repetitive Strain Injuries (RSIs)
c. Occupational Overuse Syndrome
d. Neck and Limb Disorders
e. Overuse Syndrome
f. Wear and Tear Disorders
g. Occupational Cervico Bracial Disorders (OCD)
Menurut Humantech (1995), gejala MSDs biasanya sering disertai dengan
keluhan yang sifatnya subjektif, sehingga sulit untuk menentukan derajat
keparahan penyakit tersebut. MSDs ditandai dengan beberapa gejala yaitu sakit,
nyeri, rasa tidak nyaman, mati rasa, rasa lemas atau kehilangan daya dan
koordinasi tangan, rasa panas, agak sukar bergerak, rasa kaku dan retak pada
sendi, kemerahan, bengkak, panas, dan rasa sakit yang membuat terjaga di tengah
malam dan rasa untuk memijit tangan, pergelangan, dan lengan.
Menurut Suma’mur (1996), gejala-gejala MSDs yang biasa dirasakan oleh
seseorang adalah:
a. Leher dan punggung terasa kaku
b. Bahu terasa nyeri, kaku ataupun kehilangan fleksibelitas
9
10
c. Tangan dan kaki terasa nyeri seperti tertusuk.
d. Siku ataupun mata kaki mengalami sakit, bengkak dan kaku.
e. Tangan dan pergelangan tangan merasakan gejala sakit atau nyeri disertai
bengkak.
f. Mati rasa, terasa dingin, rasa terbakar ataupun tidak kuat.
g. Jari menjadi kehilangan mobitasnya, kaku dan kehilangan kekuatan serta
kehilangan kepekaan.
h. Kaki dan tumit merasakan kesemutan, dingin, kaku ataupun sensasi rasa
panas.
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat
sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang
lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament,
dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan
keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau cedera pada sistem
muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Secara garis besar keluhan otot dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan.
b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
10
11
Selain itu, menurut Humantech (1995), keluhan yang menggambarkan
keparahan penyakit MSDs terbagi menjadi:
1) Tahap 1
Nyeri dan kelelahan pada saat bekerja tetapi setelah beristirahat yang cukup
tubuh akan pulih kembali. Tidak mengganggu kapasitas kerja.
2) Tahap 2
Keluhan rasa nyeri tetap ada setelah waktu semalam, istirahat, timbul
gangguan tidur, dan sedikit mengurangi performa kerja.
3) Tahap 3
Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat, nyeri dirasakan saat bekerja,
saat melakukan gerakan yang repetitif, tidur terganggu, dan kesulitan dalam
menjalankan pekerjaan yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
inkapasitas.
Faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap
timbulnya MSDs dapat dikategorikan dalam 3 kategori yaitu ( Bridger,1995)
a. Faktor Pekerjaan
1) Postur kerja
Postur tubuh dapat didefinisikan sebagai orientasi relatif dari bagian
tubuh terhadap ruang. Untuk melakukan orientasi tubuh tersebut selama
beberapa rentang waktu dibutuhkan kerja otot untuk menyangga atau
menggerakkan tubuh.
11
12
Postur dapat diartikan sebagai konfigurasi dari tubuh manusia, yang
meliputi kepala, punggung, dan tulang belakang (Pheasant, 1991).Secara
alamiah postur tubuh dapat terbagi menjadi:
a) Statis
Postur kerja statis didefinisikan sebagai postur kerja isometris
dengan sangat sedikit gerakan sepanjang waktu kerja sehingga dapat
menyebabkan beban statis pada otot, khususnya otot pinggang, seperti
duduk terus-menerus atau posisi kerja berdiri terus-menerus (Bernard et al,
1997).
Pada postur statis persendian tidak bergerak, dan beban yang ada
adalah beban statis. Dengan keadaan statis suplai nutrisi kebagian tubuh
akan terganggu begitupula dengan suplai oksigen dan proses metabolisme
pembuangan tubuh. Posisi tubuh yang senantiasa berada pada posisi yang
sama dari waktu ke waktu secara alamiah akan membuat bagian tubuh
tersebut stres (Bridger, 2003).
b) Dinamis
Stres akan meningkat ketika posisi tubuh menjauhi posisi normal
tersebut. Pekerjaan yang dilakukan secara dinamis menjadi berbahaya
ketika tubuh melakukan pergerakan yang terlalu ekstrim sehingga energi
yang dikeluarkan otot menjadi lebih besar atau tubuh menahan beban yang
cukup besar sehingga timbul hentakan tenaga yang tiba-tiba dan hal
tersebut dapat menimbulkan cedera.
12
13
Perbedaan antara postur statis dan dinamis juga dapat dilihat dari kerja otot,
aliran darah, oksigen dan energi yang dikeluarkan pada kedua jenis postur
tersebut. Berikut perbandingan kebutuhan otot pada postur statis dan dinamis
menurut Bridger (2003) :
Tabel 2.1 Perbandingan Kebutuhan Otot pada Postur Statis dan Dinamis
Otot Statis Otot Dinamis
Kontraksi otot secara terus menerus Pergantian fase konstruksi danRelaksasi
Aliran darah ke otot berkurang Aliran darah ke otot bertambah
Produksi energi bersifat oksigen independen Glikogen otot diubah menjadi asam laktat.
Produksi energi bersifat oksigen Dependen Glikogen otot=CO2 + H2O otot mengambil glukosa dan asam lemak dari darah
Sumber: Bridger (2003)
Untuk jenis bentuk postur tubuh terdiri dari (Pheasant, 1991) :
(1) Postur netral
Merupakan postur ketika seseorang sedang melakukan proses pekerjaannya
sesuai dengan struktur anatomi tubuh seseorang dan tidak terjadi penekanan
atau pergeseran tubuh pada bagian penting tubuh, serta tidak menimbulkan
keluhan.
(2) Postur janggal
Merupakan postur yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh seseorang untuk
membawa beban dalam jangka waktu yang lama dan dapat menyebabkan
terjadinya berbagai akibat yang merugikan tubuh seperti kelelahan otot, rasa
nyeri, serta menjadi tidak tenang.
13
14
2) Beban
Istilah beban tidak sama dengan berat, beban menunjuk kepada tenaga.
Dalam penilaian risiko, berat hanyalah salah satu aspek dari beban terhadap
tubuh, beban maksimal yang diperbolehkan untuk diangkat oleh orang dewasa
yaitu 23-25 kg untuk pengangkatan single (tidak berulang). Bentuk dan ukuran
objek ikut mempengaruhi hal tersebut, semakin kecil objek semakin baik agar
dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh (Nursatya, 2008).
Ukuran objek yang dapat membebani otot pundak/bahu dengan leher
lebih dari 300-400 mm, panjang lebih dari 350 mm dan ketinggian lebih dari
450 mm (Idem). Beban dapat diartikan sebagai muatan (berat) dan kekuatan
pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan dalam newton atau pounds, atau
dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari kapasitas kekuatan individu (NIOSH,
1997).
Pembebanan fisik pada pekerjaan dapat mepengaruhi terjadinya
kesakitan pada muskuloskeletal tubuh. Pembebanan fisik yang dibenarkan
adalah pembebanan yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja
maksimum tenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan peraturan
jam kerja yang berlaku. Semakin berat beban maka semakin singkat waktu
pekerjaan (Suma’mur 1989).
Pada sebuah penelitian cross sectional, didapatkan hasil bahwa
pekerjaan dengan beban dan tingkat pengulangan yang rendah, memiliki kasus
muskuloskeletal yang lebih sedikit, dan pekerjaan dengan tingkat beban dan
14
15
peanggulangan yang tinggi, memiliki angka kesakitan muskuloskeletal 30 kali
lebih besar (Kumar, 1999).
3) Durasi
Menurut NIOSH (1997), durasi merupakan jumlah waktu dimana
pekerja terpajan oleh faktor resiko. Beberapa penelitian menemukan dugaan
adanya hubungan antara meningkatnya level atau durasi pajanan dan jumlah
kasus MSDs pada bagian leher. Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor
resiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja
terpajan resiko. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada faktor risiko,
semakin besar pula tingkat resikonya. Durasi dibagi sebagai berikut:
a) Durasi singkat : < 1 jam/hari
b) Durasi sedang : 1-2 jam/hari
c) Durasi lama : > 2 jam/hari
Risiko fisiologis utama yang dikaitkan dengan gerakan yang sering dan
berulang-ulang adalah keletihan dan kelelahan otot. Sepanjang otot mengalami
kontraksi, otot tersebut harus menerima pasokan tetap oksigen dan bahan gizi
dari aliran darah. Jika gerakan berulang-ulang dari otot menjadi terlalu cepat
untuk membiarkan oksigen yang memadai mencapai jaringan atau membiarkan
uptake kalsium, terjadilah kelelahan otot (Bird, 2005).
Selain itu, menurut Humantech (1995), pekerjaan yang menggunakan
otot yang sama untuk durasi yang lama dapat meningkatkan potensi timbulnya
fatigue dan menyebabkan MSDs, bila waktu istirahat/pemulihan tidak
mencukupi. Durasi terjadinya postur janggal yang beresiko bila postur tersebut
15
16
dipertahankan lebih dari 10 detik atau postur kaki bertahan selama lebih dari 2
jam sehari.
Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan
maksimum tidak dapat bertahan lebih dari 1 menit, jika kekuatan digunakan
kurang dari 20% kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus
untuk beberapa waktu. Sedangkan untuk durasi aktivitas dinamis selama 4
menit atau kurang seseorang dapat bekerja dengan intensitas sama dengan
kapasitas aerobik sebelum beristirahat (Grandjean, 1993). Lamanya waktu
kerja (durasi) berkaitan dengan keadaan fisik tubuh pekerja. Pekerjaan fisik
yang berat akan mempengaruhi kerja otot, kardiovaskular, sistem pernafasan
dan lainnya. Jika pekerjaan berlangsung dalam waktu yang lama tanpa
istirahat, kemampuan tubuh akan menurun dan dapat menyebabkan kesakitan
pada anggota tubuh (Suma’mur, 1989). Semakin lama durasi melakukan
pekerjaan yang beresiko maka waktu yang diperlukan untuk recovery
(pemulihan) juga akan semakin lama (NIOSH, 1997).
4) Frekuensi
Banyaknya frekuensi aktifitas (mengangkat atau memindahkan) dalam
satuan waktu (menit) yang dilakukan oleh pekerja dalam satu hari. Frekuensi
gerakan postur janggal ≥ 2 kali/menit merupakan faktor resiko terhadap
pinggang. Pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dapat menyebabkan rasa
lelah bahkan nyeri/sakit pada otot karena adanya akumulasi produk sisa berupa
asam laktat pada jaringan. Akibat lain dari pekerjaan yang dilakukan berulang-
ulang akan menyebabkan tekanan pada otot dengan akibat terjadinya
16
17
penekanan di otot yang akan mengganggu fungsi syaraf. Terganggunya fungsi
syaraf, destruksi serabut saraf atau kerusakan yang menyebabkan berkurangnya
respon saraf dapat menyebabkan kelemahan pada otot (Humantech, 1995).
Frekuensi terjadinya postur janggal terkait dengan terjadinya repetitive
motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima
tekanan akibat kerja terus-menerus tanpa melakukan relaksasi. Secara umum,
semakin banyak pengulangan gerakan dalam suatu aktivitas kerja, maka akan
mengakibatkan keluhan otot semakin besar. Pekerjaan yang dilakukan secara
repetitif dalam jangka waktu lama akan meningkatkan risiko MSDs apalagi
bila ditambah dengan gaya/beban dan postur janggal (OHSC, 2007).
Menurut Bridger (1995) postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan
yang sering dapat mengakibatkan tubuh kurang suplai darah, asam laktat yang
terakumulasi, inflamasi, tekanan pada otot dan trauma mekanis.
5) Alat perangkai/genggaman
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak sebagai
contoh pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang
lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat. Apabila hal ini
sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka,
2004).
b. Faktor Pekerja
1) Usia
Menurut Supardi (2004) dalam Wibowo (2010), usia adalah lama
hidup responden atau seseorang yang dihitung berdasarkan ulangtahun
17
18
terakhir. Sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada
tulang dan keadaan ini mulai terjadi disaat seseorang berusia 30 tahun
(Bridger, 2003). Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan
jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan.
Hal tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang.
Jadi, semakin tua seseorang, semakin tinggi risiko orang tersebut mengalami
penurunan elastis pada tulang, yang menjadi pemicu timbulnya gejala MSDs
(Kurniasih, 2009).
Pekerja dengan usia dibawah 18 tahun memiliki risiko lebih tinggi
daripada pekerja dengan usia dewasa. Hal ini disebabkan karena pekerja
dengan usia dibawah 18 tahun masih mengalami perkembangan fisik. Pekerja
dengan usia dibawah 18 tahun tidak diperkenankan untuk melakukan aktifitas
manual handling dengan berat lebih dari 16 kg tanpa bantuan mekanik dan
pelatihan tertentu (OHSC, 2007).
Chaffin (1979) dalam Grandjean (1993) menyatakan bahwa pada
umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-26
tahun. Grandjean (1993), menyebutkan bahwa umur 50-60 tahun kekuatan
otot menurun sebanyak 60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang
yang berumur > 60 tahun tinggal mencapai 50% dari umur orang yang
berumur 25 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Rahardjo
tahun 2009, pekerja dengan umur 35 tahun atau lebih mempunyai risiko
2,556 kali lebih besar untuk mengalami MSDs dibandingkan pekerja dengan
18
19
umur dibawah 35 tahun. Hal ini diperkuat juga dengan hasil penelitian
Amalia (2010) pada pekerja kuli panggul didapatkan hasil bahwa kelompok
usia 31- 49 tahun memiliki tingkat keluhan paling tinggi yaitu sebesar 68.1%.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang terdapat dalam Oborne
(1995) bahwa keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia
kerja yaitu 24-65 tahun dan keluhan pertama biasa dialami pada usia 35 tahun
serta tingkat keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot rangka.
Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah
daripada pria. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan prevalensi
beberapa kasus MSDs lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (NIOSH,
1997).
Studi dynamometri menyatakan bahwa wanita mengalami peningkatan
ketegangan otot yang tiba-tiba beberapa hari sebelum haid dimulai dan
berlanjut dengan tingkat ketegangan otot yang rendah selama haid. Selain itu,
kebiasaan-kebiasaan khas wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya LBP
serta mengenakan sepatu hak tinggi atau menjinjing barang-barang belanjaan
secara tidak seimbang. Artinya beban bagian kanan atau kiri lebih berat dari
bagian satunya (Syafitri, 2010).
Astrand dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita
hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria
pun lebih tinggi dibandingkan wanita. Hasil penelitian Betti’e et al (1989)
19
20
menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60%
dari kekuatan pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki.
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al (1993), Bernard et al
(1994). Hales et al (1994), dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa
perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3 (Tarwaka, 2004).
3) Waktu Kerja
Penentuan waktu dapat diartikan sebagai teknik pengukuran kerja untuk
mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja mengenai suatu unsur
pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu pula serta untuk
menganalisa keterangan itu hingga ditemukan waktu yang diperlukan untuk
pelaksanaan pekerjaan itu pada tingkat prestasi tertentu.
Berdasarkan hasil studi mengenai keluhan MSDs pada supir bis yang
dilakukan oleh Karuniasih (2009), diketahui 34 bahwa supir yang telah
bekerja/mengendarai lebih dari 2 jam merasakan pegal-pegal pada punggung
dan leher.
4) Kebiasaan Merokok
Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan
tingkat kebiasaan merokok. Mereka yang telah berhenti merokok selama
setahun memiliki risiko LBP sama dengan mereka yang tidak merokok.
Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga
kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila orang
tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga,
20
21
maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah
(Kurniasih, 2009).
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Muliana (2003), kebiasaan
merokok dapat menyebabkan LBP karena merokok dapat menimbulkan batuk
dan zat nikotin yang ada dalam rokok tersebut. Satu hipotesa menyebutkan
bahwa LBP diakibatkan karena batuk terus-menerus akibat merokok.
Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah pinggang
daripada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat
daripada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk
setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991). Selain itu, menurut Tarwaka
(2004), semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan.
Pada sebuah survei di Britania oleh Palmer et al (1996) ditemukan
13.000 orang yang merokok sering mengeluhkan rasa tidak nyaman pada
muskuloskeletal dan rasa lumpuh terhadap cidera muskuloskeletal
dibandingkan mereka yang tidak pernah merokok. Hal ini disebabkan rokok
dapat merusak jaringan otot dan mengurangi respon syaraf terhadap rasa sakit.
Berdasarkan hasil survei oleh Annuals of Rheumatic Diseases diperoleh
hubungan antara perokok dengan munculnya keluhan MSDs dan dilaporkan
bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih besar untuk merasakan MSDs
(Tarwaka, 2004).
Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan
terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun saat
21
22
melewati umur 35 tahun efek rokok pada tulang akan mulai terasa karena
proses pembentukan tulang pada umur tersebut sudah berhenti (Boisvert,
2009).
Perokok juga beresiko mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan
tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Bila darah sudah tersumbat, maka
proses pembentukan tulang sulit terjadi. Hal ini dapat terjadi karena nikotin
pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain
itu, merokok dapat pula menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau
kerusakan pada tulang (Bernard et al, 1997).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syafitri (2010), didapatkan
hasil bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan
terjadinya keluhan LBP. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Tarwaka (2004) bahwa semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok,
semakin tinggi pula keluhan yang dirasakan.
5) Kebiasaan Olahraga
Olahraga dapat dikatakan sebagai terminologi umum dari semua
kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan jasmani. Bahkan dalam UU No.3
Tahun 2005 mempunyai arti yang lebih luas. Didefinisikan bahwa olahraga
adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina serta
mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial. (Bustan, 2007)
Departemen Kesehatan melalui Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001
menemukan masih tingginya prevalensi masyarakat yang kurang atau tidak
melakukan olahraga secara rutin dalam kehidupan sehari-harinya. Kurang atau
22
23
tidak melakukan olahraga merupakan salah satu faktor resiko utama penyakit
tidak menular diantaranya yang berhubungan dengan otot dan tulang. Hal ini
disebabkan karena salah satu manfaat dari olahraga adalah memperkuat otot-
otot, tulang, dan jaringan ligamen serta meningkatkan sirkulasi darah dan
nutrisi pada semua jaringan tubuh (Bustan, 2007).
Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran
tubuh atau kebiasaan olahraga yang dilakukan. Laporan NIOSH menyatakan
bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh rendah, maka risiko terjadinya keluhan
adalah 7.1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3.2%, dan tingkat
kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8% (Tarwaka, 2004).
Salah satu bentuk olahraga untuk kesehatan atau pencegahan penyakit
dapat dilakukan dalam bentuk olahraga aerobik yang sedang (moderate
physical activity) selama 30 menit dari waktu 1440 menit dalam sehari.
Seseorang dikategorikan kurang melakukan olahraga jika melakukan senam
pagi/olahraga < 5 x/minggu. Sebaliknya, dikategorikan cukup jika melakukan
senam pagi/olahraga ≥ 5 x/minggu. Bagaimana bentuk olahraga yang sehat itu
menjadi pilihan tersendiri, yang penting fun sehingga peserta tetap dapat
berminat dan tertarik secara terus-menerus melakukan olahraga itu. Bentuk-
bentuk itu bisa berupa jalan cepat, lari di taman, dancing, berenang, mengayuh
sepeda, dan lain-lain (Bustan, 2007).
Dari hasil penelitan yang dilakukan oleh Zulfiqor (2010) didapatkan
bahwa paling banyak pekerja yang mengalami keluhan MSDs adalah pekerja
yang kurang melakukan olahraga dan memiliki keluhan MSDs ringan yaitu
23
24
sejumlah 41 orang (54,7%). Sedangkan persentase pekerja yang paling sedikit
adalah yang kurang melakukan olahraga dan tidak memiliki keluhan MSDs
yaitu satu orang (1,3%).
6) Masa Kerja
Penyakit MSDs ini merupakan penyakit kronis yang membutuhkan
waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin lama waktu
bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko MSDs ini maka
semakin besar pula risiko untuk mengalami MSDs (Nursatya, 2008). Lamanya
seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam dan sisanya untuk
istirahat. Memperpanjang waktu kerja dari itu biasanya disertai penurunan
efisiensi, timbulnya kelelahan dan penyakit akibat kerja. Secara fisiologis
istirahat sangat perlu untuk mempertahankan kapasitas kerja. Insiden tertinggi
untuk terjadinya keluhan sakit pada pinggang pekerja ada kaitannya dengan
penambahan waktu kerja dan lamanya masa kerja seseorang (Hasyim, 1999
dalam Syafitri, 2010).
Gangguan pada sistem muskuloskeletal ini hampir tidak pernah terjadi
secara langsung, tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan-
benturan kecil maupun besar yang terjadi secara terus-menerus dan dalam
waktu yang relatif lama.
Hal ini bisa terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau tahun, tergantung
dari berat ringannya trauma, sehingga akan terbentuk cidera yang cukup besar
yang diekspresikan sebagai rasa sakit atau kesemutan, nyeri tekan,
pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau kelemahan pada jaringan
24
25
anggota tubuh yang terkena trauma. Trauma jaringan timbul karena kronisitas
atau berulang-ulangnya proses penyebabnya (Nursatya, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2010) memperlihatkan bahwa
keluhan MSDs terbanyak pada responden dengan masa kerja diatas lima tahun.
Hal ini disebabkan karena pada masa kerja tersebut telah terjadi akumulasi
cidera-cidera ringan yang selama ini dianggap sepele.
Selain itu, menurut Zulfiqor (2010), keluhan MSDs berbanding lurus
dengan bertambahnya masa kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hendra dan Rahardjo (2009), pekerja yang mempunyai masa
kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,775 kali dibandingkan pekerja
dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Rihiimaki et al (1989) dalam Tarwaka
(2004)menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan
keluhan otot.
7) Indeks Masa Tubuh (IMT)
Berat badan, tinggi badan, status gizi (IMT) dan obesitas
diidentifikasikan sebagai faktor resiko untuk beberapa kasus MSDs. Secara
rata-rata, populasi dengan LBP mempunyai tinggi badan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak LBP.
Sedangkan asosiasi antara obesitas dan MSDs berkaitan dengan
degenerasi radiologi pada sendi (Muliana, 2003). Meskipun pengaruhnya
relatif kecil, tinggi badan dan berat badan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Schierhout (1995) menemukan
bahwa seseorang yang mempunyai ukuran tubuh yang pendek berasosiasi
25
26
dengan keluhan pada leher dan bahu (Karuniasih, 2009). Berdasarkan
penelitian Heliovara (1987) yang dikutip NIOSH (1997) menyebutkan bahwa
tinggi seseorang berpengaruh terhadap timbulnya herniated lumbar disc pada
jenis kelamin wanita dan pria, tapi berdasarkan IMT hanya berpengaruh pada
jenis kelamin pria.
Vessy et al (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai
resiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus untuk mengalami keluhan otot
skeletal. Hal ini diperkuat dengan oleh Werner et al (1994) yang menyatakan
bahwa bagi pasien gemuk mempunyai resiko 2,5 kali lebih tinggi
dibandingkandengan pasien yang kurus, khususnya untuk otot kaki. Keluhan
otot skeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi
keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat
tubuh maupun berat tambahan lainnya (Tarwaka, 2004).
Menurut Depkes (1994), kategori ambang batas IMT untuk Indonesia adalah
sebagai berikut:
a) Kurus jika IMT ≤ 18.
b) Normal jika IMT > 18,5-25,0.
c) Gemuk jika IMT > 25,5.
8) Riwayat Penyakit MSDs
Seseorang dengan riwayat penyakit Low Back Pain (LBP) mempunyai
kecenderungan untuk mengalami kejadian lanjutan (Nursatya, 2008). Penyakit
pada tulang belakang yang menyebabkan LBP adalah (Nolan dan Saladin,
2004) :
26
27
a) Spinal stenosis adalah sakit pada saluran tulang belakang atau invertebral
foramina yang disebabkan oleh hypertrophy tulang belakang. Kondisi ini
dapat dihasilkan dari penyakit lain, seperti sakit pada paget atau
osteoarthritis, dan hal itu paling sering terjadi pada orang usia menengah
dan usia tua.
b) Sakit degenerative disc terjadi ketika gelatinous nucleus pulpous berubah
menjadi fibrocartilage akibat penuaan, kadang-kadang menjadi tulang
belakang tidak stabil dan membuat tidak sejajarannya tulang belakang dan
putusnya disc.
c) Spondylolysis adalah kondisi dimana lamina tulang belakang bagian
pinggang tidak sempurna.
d) Spondylolisthesis terjadi ketika tidak sempurnanya tulang belakang
anteriorly, khususnya pada tingkat L5-S1. Berkurangnya derajat berat
Spondylolisthesis dapat dianggap hanya untuk meredakan (meringankan
nyeri), tetapi tingkat berat yang berlebih mungkin membutuhkan operasi
untuk meringankan tekanan pada syaraf tulang belakang atau menstabilkan
tulang belakang.
e) Osteoporosis, adalah suatu penyakit dengan tanda utama berupa
berkurangnya kepadatan massa tulang, yang berakibat meningkatnya risiko
patah tulang dan LBP (Junaidi, 2007 dalam Syafitri, 2010).
Menurut Beth Loy dari US. Departement of Labour dalam
Luthfiyah et al (2009) beberapa kondisi seperti patah dan/dislokasi tulang,
artritis, diabetes, gangguan kelenjar thiroid, menopause, dan beberapa
27
28
kondisi lain dapat memberikan kontribusi bagi timbulnya keluhan
Cummulative Trauma Disorders.
9) Kekuatan Fisik
Kejadian MSDs dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individu, salah
satunya adalah kekuatan fisik individu tersebut. Menurut Tarwaka (2004),
kekuatan/kemampuan kerja fisik adalah suatu kemampuan fungsional
seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu yang memerlukan
aktifitas otot pada periode waktu tertentu.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973)
yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan
punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut
kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan
ototnya rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai
kekuatan tinggi (Bukhori, 2010).
c. Faktor Lingkungan
1) Suhu dan Kelembaban
Paparan suhu dingin maupun panas yang berlebihan dapat
menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan
pekerja menjadi lamban, sulit bergerak dan kekuatan otot menurun. Beda
suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan
sebagian besar energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh
28
29
untuk berdapatasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah
kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri otot (Tarwaka, 2004).
Berdasarkan NIOSH (1993) tentang kriteria suhu nyaman, suhu
udara dalam ruang dapat diterima adalah berkisar antara 20- 24°C (untuk
musim dingin) dan 23-26°C (untuk musim panas) pada kelembapan 35-
65%. Rata-rata gerakan udara dalam ruang yang ditempati tidak melebihi
0,15 m/det untuk musim dingin dan 0,25 m/det untuk musim panas.
Kecepatan udara di bawah 0,07 m/det akan memberikan rasa tidak enak di
badan dan rasa tidak nyaman. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
pada temperatur 27-30°C, maka performa kerja dalam pekerjaan fisik akan
menurun. Sebagai bahan pertimbangan dimana Indonesia merupakan daerah
tropis yang mempunyai suhu udara lebih panas dengan kelembapan yang
jauh lebih tinngi, maka rekomendasi dari NIOSH (1993) tersebut perlu
doikoreksi apabila ditempatkan di daerah tropis. Temperatur yang normal
untuk orang Indonesia adalah 22.5-26°C dengan kelembapan udara sebesar
40-75% (Tarwaka, 2004). Suhu yang ekstrim akan memberikan efek
fisiologis heat stress dan cold stress. Stres fisik terjadi ketika jaringan tubuh
inadekuat terhadap suplai darah yang mengandung oksigen dan nutrisi
sehingga akan meningkatkan potensi terjadinya gangguan muskuloskeletal.
29
30
Bahaya yang spesifik akan terjadi pada saat suhu udara dingin dengan
menggunakan alat vibrasi (Amalia,2010).
2) Getaran
Vibrasi dapat menyebabkan perubahan fungsi aliran darah pada
ekstremitas yang terpapar bahaya vibrasi (Oborne, 1995). Getaran dengan
frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Konstruksi statis
ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat
meningkat, dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka, 2004).
Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak
dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan
tangan. Paparan getaran seluruh tubuh terjadi ketika berdiri atau duduk dalam
lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan kendaraan
mesin yang besar (Bridger, 1995). Pekerja yang mengalami vibrasi dapat
menyebabkan mati rasa pada tangan sehingga membutuhkan tenaga lebih saat
menggenggam (Nursatya, 2008).
3) Iluminasi
Depkes RI (1992) mendefinisikan pencahayaan sebagai jumlah
penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan secara efektif. Tingkat iluminasi berkaitan dengan sifat pekerjaan
yang membutuhkan ketelitian atau tidak. Pekerjaan yang membutuhkan
ketelitian tinggi maka memerlukan iluminasi yang cukup banyak yakni
mencapai 1000 lux sedangkan pekerjaan yang tidak membutuhkan ketelitian
hanya memerlukan tingkat iluminasi yang rendah. Jika tingkat iluminasi pada
30
31
suatu tempat tidak memenuhi persyaratan maka akan menyebabkan postur
leher untuk fleksi ke depan (menunduk) dan postur tubuh untuk fleksi
(membungkuk) yang berisiko mengalami MSDs (Bridger, 1995).
d. Faktor Psikososial
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik
yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik
(Muliana, 2003). Menurut penelitian yang dikonduksi oleh National Institute of
Occupational Safety and Health (NIOSH, 1997) terdapat indikasi dan semakin
banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa faktor psikososial turut
berkontribusi terhadap terjadinya MSDs pada ekstremitas atas dan bagian
belakang tubuh (Bernard et al, 1997).
Beberapa cara faktor psikososial dapat mempengaruhi terjadinya
MSDS adalah sebagai berikut:
1) Faktor Psikologis dapat mengakibatkan tekanan fisik
Teori tersebut menyatakan bahwa stres dapat meningkatkan tekanan
darah, kortikosterid, peripheral neurotransmitter, dan meningkatkan
tekanan pada otot. Dalam keadaan lemah dan kaku, otot punggung
mengalami spasme (kejang). Kondisi ini menyebabkan aliran darah yang
mengangkut oksigen menjadi terhambat, sehingga otot kekurangan
oksigen. Akibatnya penderita mengalami sakit yang semakin parah jika
tidak segera ditangani dokter.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Johanson dan
Aronson dalam Muliana (2003) menyebutkan bahwa tekanan psikologi,
31
32
seperti keterbatasan kebebasan dalam membuat keputusan, rasa bosan, dan
cara kerja yang berulang-ulang dapat mengakibatkan pula tekanan
fisiologis, seperti peningkatan tekanan darah, detak jantung, dan level
kortikosteroid. Menurut Smith dan Carayon (1996) dalam Bernard et al
(1997), reaksi fisiologis tersebut dapat meningkatkan kemmungkinan
kerusakan atau cedera pada urat syaraf dan otot.
2) Efek langsung faktor psikososial terhadap tekanan fisik
Menurut penelitian Lim dan Carayon dalam Bernard et al (1997),
tekanan psikososial dapat memperburuk kondisi ergonomi di tempat kerja.
Faktor psikososial seperti tekanan pekerjaan, standar produksi,
pengawasan kerja, dan sebagainya secara langsung dapat mempengaruhi
aspek ergonomi dari pekerjaan, seperti gerakan repetitif dan postur kerja
yang merupakan faktor risiko terjadinya MSDs.
Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek ekonomi perusahaan yaitu
(Pheasant, 1991) :
a. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material,
produk yang akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline/target
produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dan lainlain.
b. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan
penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang
menggantikan pekerja yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan
atau agensi.
c. Biaya pergantian pekerja (turnover) untuk recruitment dan pelatihan.
32
33
d. Biaya asuransi.
e. Biaya lainnya (opportunity cost).
Sementara itu, menurut Bird (2005), MSDs dapat menjadi suatu
permasalahan penting karena dapat :
1) Waktu kerja yang hilang karena sakit umumnya disebabkan penyakit
otot rangka.
2) Menurunkan produktivitas kerja.
3) MSDs terutama yang berhubungan dengan punggung merupakan
masalah penyakit akibat kerja yang penanganannya membutuhkan
biaya yang tinggi.
4) Penyakit MSDs bersifat multikausal sehingga sulit untuk menentukan
proporsi yang semata-mata akibat hubungan kerja.
5) Penurunan kewaspasdaan.
6) Meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan.
2.2 Tindakan Pengendalian MSDs
Pengendalian pada umumnya terbagi menjadi tiga (Cohen et al, 1997):
a. Mengurangi atau mengeliminasi kondisi yang berpotensi bahaya
menggunakan pengendalian teknik.
b. Mengubah dalam praktek kerja dan kebijkan manajemen yang sering
disebut pengendalian administratif.
c. Menggunakan alat pelindung diri.
Agar tidak mengalami risiko MSDs pada saat melakukan pekerjaan,
maka ada beberapa hal yang harus dihindari. Hal tersebut adalah :
33
34
1) Jangan memutar atau membungkukkan badan ke samping.
2) Jangan menggerakkan, mendorong atau menarik secara sembarangan,
karena dapat meningkatkan risiko cidera.
3) Jangan ragu meminta tolong pada orang.
4) Apabila jangkauan tidak cukup, jangan memindahkan barang.
5) Apabila barang yang hendak dipindahkan terlalu berat, jangan
melanjutkan.Lakukan senam/peregangan otot sebelum bekerja.
2.3 Metode Penilaian Ergonomi
Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi
keluhan ergonomi untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan
risiko keluan sistem muskuloskeletal. Pengukuran terhadap tekanan fisik ini
cukup sulit karena melibatkan berbagai faktor subjektif seperti : kinerja,
motivasi, harapan dan toleransi kelelahan ( Waters & Anderson 1996).
Alat ukur ergonomi yang dapat digunakan cukup banyak dan bervariasi.
Namun demikian, dari berbagai metode yang ada tentunya mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada beberapa metode observasi
postur tubuh yang berkaitan dengan risiko gangguan muskuloskletal seperti
OWAS, RULA, REBA dan untuk penilaian subjektif terhadap tingkat
keparahan pada sistem muskluloskletal dengan metode Nordic Body Map serta
checlist sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi
bahaya pekerjaan dengan risiko MSDs.
34
35
Penulisan ini bertujuan untuk melihat tingkat keparahan keluhan MSDs
maka metode yang digunakan adalah metode Nordic Body Map, berikut
penjelasan tentang metode tersebut;
2.3.1 Nordic Body Map
Metode Nordic Body Map (NBM) merupakan metode yang digunakan
untuk menilai tingkat keparahan atas terjadinya gangguan otot skeletal. Nordic
Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif, artinya
keberhasilan aplikasi tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja
saat dilakukannya penilaian dan juga tergantung dari keahlian dan pengalaman
observer yang bersangkutan (Tarwaka, 2010). Kuesioner Nordic Body Map
merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi. Bentuk lain dari
checklist ergonomi adalah checklist International Labour Organization (ILO).
Kuesioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering
digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja, dan
kuesioner ini paling sering digunakan karena sudah terstandarisasi dan tersusun
rapi (Kroemer, 2001). Keluhan pada otot skeletal biasanya merupakan keluhan
yang bersifat kronis, artinya keluhan ini sering dirasakan beberapa lama setelah
melakukan aktivitas dan sering meninggalkan residu yang dirasakan pada hari
berikutnya. Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot skeletal pada kedua sisi
tubuh kanan dan kiri yang dimulai dari anggota tubuh atas yaitu otot leher
sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Pengukuran
35
36
gangguan otot skeletal dengan menggunakan kuesioner sebaiknya digunakan
untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam
kelompok kerja yang cukup banyak.
Nordic Body Map dilakukan dengan menggunakan skala data nominal
maupun ordinal (tingkatan). Pada skala data nominal dapat dilakukan dengan
menggunakan dua jawaban sederhana yaitu YA (ada keluhan atau rasa sakit
pada otot skeletal) dan TIDAK (tidak ada keluhan atau rasa sakit pada otot
skeletal) (Tarwaka, 2010). Pada desain 4 skala Likert akan diperoleh skor
individu terendah adalah sebesar 28 dan skor tertinggi adalah 112. Langkah
terakhir dari metode ini adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan
maupun sikap kerja, jika diperoleh hasil tingkat keparahan pada otot skeletal
yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat
bergantung dari risiko otot skeletal mana yang mengalami adanya gangguan.
Pengisian kuesioner Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui
bagian tubuh dari operator gas Cutting Plate yang terasa sakit setelah selesai
bekerja. Dalam aplikasinya, Nordic Body Map dilakukan dengan
menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh yang sangat sederhana, mudah
dipahami, murah, dan memerlukan waktu yang sangat singkat.
Peneliti dapat langsung wawancara atau menanyakan kepada
responden/subjek penelitian (operator gas Cutting Plate) bagian otot mana
yang mengalami gangguan nyeri atau sakit. Kuesioner ini menggunakan
gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu
36
37
leher, bahu, punggung bagian atas, siku, punggung bagian bawah,
pergelangan tangan atau tangan, pinggang atau pantat, lutut, tumit atau kaki.
Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi
menjadi 9 bagian utama, yaitu :
a) Leher
b) Bahu
c) Punggung bagian atas
d) Siku
e) Punggung bagian bawah
f) Pergelangan tangan
g) Pinggang/bokong
h) Lutut
i) Tumit/kaki
Sumber : Tarwaka, 2004
Gambar 2.1 Nordic Body Map
Adapun metode yang digunakan untuk mengetahui keluhan
Moskuloskletal Disorders (MSDs) yang dirasakan opreator dapat dengan
penyebaran kuesioner Nordic Body Map. Metode Nordic Body Map merupakan
metode penilaian yang sangat subjektif, artinya keberhasilan aplikasi metode ini
sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja pada saat
dilakukannya penelitian. Kuesioner Nordic Body Map ini telah secara luas
digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan
37
38
pada sistem muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan reabilitas yang cukup
(Tarwaka, 2004).
Penilaian Keluhan Nyeri MSDs dilakukan dengan skoring dengan
menggunakan skala likert, berikut dijelaskan 4 skala likert yang digunakan untuk
melihat keparahan Keluhan MSDs yang di rasakan pekerja :
Skor 0 : tidak ada keluhan/ kenyerian pada otot-otot atau tidak ada
rasa sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja.
Skor 1 : dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada
bagian otot, tetapi belum begitu menggangu pekerjaan.
Skor 2 : responden merasakan adanya keluhan . kenyerian atau sakit
ada bagian otot dan sudah mengganggu pekerjaan.
Skor 3 : responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri
ada bagian otot atau kenyerian tidak segera hilang meskipun
istirahat.
Langkah terakhir dari metode Nordic Body Map ini tentunya adalah
melakukan upaya perbaikan, jika diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat
keparahan pada sistem muskuloskletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang
harus dilakukan tentunya sangat bergantung dari risiko sistem muskuloskletal
mana saja yang mengalami adanya gangguan atau ketidaknyamanan. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara melihat persentasi pada setiap bagian sistem
muskuloskletal dan menggunakan kategori tingkat risiko sistem muskuloskltal,
tabel 2.2 dibawah ini merupakan pedoman yang dapat digunakan untuk
menentukan klasifikasikan subjektvitas tingkat risiko sistem muskuloskletal.
38
39
Tabel 2.2 Klasifikasi Hasil perhitungan Kuesioner NBMTotal Skor
Keluhan Individu Tingkt Risiko Kategori Risiko Tindakan Perbaikan
0-20 0 RendahBelum diperlukan adanya tindakan perbaikan
21-41 1 SedangMungkin memerlukan tindakan dikemudian hari
42-62 2 Tinggi Diperlukan tindakan segera
63-84 3 Sangat TinggiDiperlukan tindakan menyeluruh sesegera mungkin
Sumber : Tarwaka, 2004
39
40
BAB III
METODE KEGIATAN RESIDENSI
3.1 Lokasi Residensi
Residensi ini dilaksanakan di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Jalan
Margomulyo, Tandes 29 A, Surabaya.
3.2 Waktu Residensi
Pelaksanaan residensi berlangsung pada tanggal 03 Agustus 2015 – 31
Agustus 2015. Adapun kegiatan residensi yang dilakukan adalah :
Tabel 3.1 Rincian Waktu Residensi Berdasarkan Waktu (Tahapan Minggu)
KEGIATANAgustus September
I II III IV I II III VI
Persiapan
Pelaksanaan Residensi
Supervisi Pembimbing
Pembuatan Laporan
Seminar/ujian
Perbaikan laporan
40
41
Adapun rincian pelaksanaan kegiatan residensi yang dilakukan di PT.
Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Surabaya, Adalah :
Tabel 3.2 Rincian kegiatan Residensi di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk No.
Minggu Ke- Tanggal Log Book
1
1
3 Agustus 2015 - Pemaparan Profil Perusahaan- Pengenalan area produksi- Diskusi penentuan tema residensi
dengan pembimbing lapangan2 4 Agustus 2015 Pembuatan activity plan residensi3 5 Agustus 2015 Pembuatan activity plan residensi4 6 Agustus 2015 Kunjungan ke workshop dan area
mekanik5 7 Agustus 2015 Kunjungan ke gudang bahan baku slab6
2
10 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja gas cutting slab7 11 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja gas cutting
plate8 12 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja reheating
furnance9 13 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja descaler10 14 Agustus 2015 Izin ke kampus11
3
18 Agustus 2015 - Kunjungan ke area kerja gudang produksi
- Pembagian kuisioner Nordic Body Map12 19 Agustus 2015 - Kunjungan ke area kerja diving shear
- Pembagian kuisioner Nordic Body Map13 20 Agustus 2015 - Kunjungan ke area kerja cooling bed
- Pembagian kuisioner Nordic Body Map14 21 Agustus 2015 - Kunjungan ke area Tempat
Pembuangan Sementara Limbah (TPS)- Pembagian kuisioner Nordic Body Map
15
4
24 Agustus 2015 Pengecekan APAR16 25 Agustus 2015 Pengecekan Hydrant17 26 Agustus 2015 Safety patrol keseluruh area kerja18 27 Agustus 2015 Safety patrol keseluruh area kerja19 28 Agustus 2015 Penyusunan laporan residensi20 5 31 Agustus 2015 Penyusunan laporan residensi
3.3 Metode Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan residensi dilakukan dengan mengumpulkan seluruh data yang
dibutuhkan untuk memberikan gambaran secara jelas untuk mengungkapkan
41
42
suatu masalah yang ada di lapangan sehingga dapat diidentifikasi dan dicari
penyelesaiannya. Ruang lingkupnya meliputi penilaian risiko kesehatan dan
keselamatan kerja dengan menggunakan IPBR (Identifikasi Bahaya, Penilaian
dan Pengendalian Risiko).
IPBR adalah bentuk metode penilaian dan pengendalian risiko yang
dimiliki oleh PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk yang bertujuan untuk
memastikan semua risiko yang mungkin terjadi dapat teridentifikasi, dapat
dikelola, dikendalikan secara tepat dan termitigasi.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2006).
Sumber data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang penulis kumpulkan melalui pihak pertama,
mebiasanya melalui kuisionert, wawancara, jajak pendapat dan lain-lain.
Data primer pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner.
Pengisian kuesioner dilakukan secara langsung dengan 25 operator Gas
cutting plate.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui pihak kedua
biasanya diperoleh melalui badan atau instansi yang bersangkutan dalam
proses pengumpulan data. Data sekunder pada penelitian ini adalah
profil PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya dan data-data
42
43
pendukung lain seperti data struktur organisasi K3 dan data mengenai
pelaksanaan pengelolaan K3, dan lain sebagainya.
Adapun Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan di PT. Gunawan
Dianjaya Steel Tbk. Surabaya, adalah :
1. Observasi Lapangan
Objek yang diobservasi adalah implementasi K3 di seluruh area produksi
pembuatan Plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Surabaya.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan bagian K3 dari PT. Gunawan Dianjaya Steel
Tbk. Surabaya dan pekerja mengenai masalah K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja), dan operasional kerja.
3. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan cara mempelajari dokumen dan catatan-
cacatan perusahaan yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan
keselamatan kerja pada bagian K3, prosedur kerja operasional yang
berhubungan dengan bahaya di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk.
Surabaya.
4. Kuisioner
Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
data memberi seperangkat pertanyaan atau pemyataan tertulis kepada
responden untuk dijawabnya. Keluhan MSDs diukur menggunakan metode
penilaian nordic body map. Metode ini merupakan alat ukur yang subjektif
yang artinya bahwa hasil dari metode ini akan ditentukan tergantung dari
43
44
kondisi dan situasi yang dialami oleh operator Gas cutting plate. Kuisioner
diisi dan dijawab operator Gas cutting plate setelah bekerja, saat
menjawab kuisioner setiap operator Gas cutting plate didampingi agar
lebih mudah dalam menjawab.
3.5 Teknik Penyajian Data
Cara penyajian data dalam bentuk persentase angka untuk selanjutnya di
deskripsikan sesuai dengan hasil yang didapatkan. Analisis data dilakukan untuk
mengetahui distribusi dan persentase dari jawaban setiap pertanyaan yang terdapat
pada lembar kuisioner. Penilaian dalam kuisioner menilai keluhan nyeri yang
dirasakan para pekerja. Peresentase yang diperoleh setelah melakukan
pengamatan dan pengisian kuisioner oleh operator gas cutting plate, yang
didampingi oleh Petugas K3 di lapangan.
44
45
BAB IV
HASIL KEGIATAN RESIDENSI
4.1 Gambaran Umum PT. Gunawan Dianjaya Steel
PT Gunawan Dianjaya Steel, Tbk. (GDS) didirikan pada tahun 1989 di
Surabaya. Pendirian perusahaan tercatat dalam akta notaris Jamilah Nahdi, SH No.
6 tanggal 8 April 1989 dan disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia
berdasarkan surat keputusan No. C-2.11174.HT.01.01.Th.1989 tanggal 11
Desember 1989. Pada tahun 2004 status GDS mengalami perubahan menjadi
Penanaman Modal Asing sesuai dengan Surat Persetujuan dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal dengan No. 15/V/PMA/2004 tanggal 26 Februari 2004.
Anggaran Dasar Perusahaan telah beberapa kali mengalami perubahan.
Perubahan terakhir tercatat pada Akta Notaris Dian Silviyana Khusnarini, SH. No.
52 tanggal 26 Juni 2014, mengenai perubahan susunan Dewan Komisaris dan
Direksi. Akta tersebut masih belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Sesuai Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan perusahaan
adalah bidang industri penggilingan pelat baja canai panas (Hot Roll Steel Plate).
Terletak di atas lahan seluas kurang lebih 20 hektar, PT GDS memulai kegiatan
produksi komersial sejak akhir tahun 1993 guna melayanipasar ekspor dan
domestik.
45
46
Sejak didirikan, GDS terus berupaya untuk mewujudkan komitmen atas
pertumbuhan melalui inovasi berkelanjutan. Didukung teknologi four high rolling
terkini dan sumber daya manusia berkualitas, GDS senantiasa siap menghadapi
tantangan industri baja di lingkup global. Hingga kini, GDS merupakan salah satu
industri rolling mill plat baja yang terkemuka di kawasan ASEAN.
GDS mampu memproduksi plat baja hingga total 350.000 ton per tahun.
Plat baja produksi GDS tidak hanya dipasok ke pasar domestik, namun juga
diekspor keluar Negeri di antaranya Asia, Timur Tengah, Eropa, Australia, dan
Kanada. GDS terus berkembang karena produk baja mereka bisa dikatakan bagus.
Hal tersebut disebabkan karena GDS mengambil bahan baku dari China dan Rusia
dengan kualitas baja yang sangat padat dan bagus.
PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya memiliki visi perusahaan
“Menjadi industri rolling mill plat baja canai panas terkemuka di lingkungan
negara-negara ASEAN yang senantiasa memegang komitmen atas mutu produk
dan waktu serah (delivery time)”.
Misi perusahaan PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya “Melalui
pengelolaan perseroan yang transparan dan akuntabel disertai dengan
peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan teknologi produksi yang
dilaksanakan secara berkesinambungan dan efisien”.
Strategi bisnis yang selaras dengan visi dan misi Perseroan dalam
mengembangkan program di masa mendatang sangatlah penting untuk pendukung
pertumbuhan Perseroan. Oleh sebab itu disusun strategi bisnis yang dapat
memenuhi objektivitas Perseroan, antara lain:
46
47
a. Berupaya tetap mempertahankan penjualan untuk pasar domestik sekaligus
berupaya meningkatkan penjualan langsung kepada end user serta selalu
membina komunikasi yang baik dengan distributor, sehingga mampu
meningkatkan nilai tambah bagi hubungan bisnis kedua belah pihak.
b. Secara selektif berupaya untuk meningkatkan ekspor terutama ke negara-
negara yang tidak menerapkan hambatan perdagangan dengan Indonesia
seperti Taiwan, Mexico, Singapore, Afrika Selatan dan Timur Tengah.
Strategi ini sangat efektif untuk memperkuat cashflow dan sebagai upaya
lindung nilai (hedging) atas risiko pergerakan kurs US Dollar terhadap
Rupiah.
c. Mengamati strategi pesaing produk sejenis, baik domestik maupun importir,
yang biasanya menggunakan harga sebagai strategi bersaing yang bisa
diantisipasi dengan strategi fleksibilitas dalam menerima kuantitas order,
memastikan ketepatan waktu serah (delivery time), menambah variasi
standarisasi produk dan fleksibilitas syarat pembayaran tanpa menambah
risiko bagi Perusahaan.
Sumber Daya Manusia (SDM), dalam berbagai posisi yang diembannya,
merupakan salah satu pilar keberhasilan Perseroan. Dengan jumlah karyawan
sebanyak 534 orang, manajemen GDS selalu mengupayakan terciptanya SDM
berkualitas melalui serangkaian pembinaan dan pelatihan yang diikuti secara
berkala.
47
48
Pada tahun 2014 Perusahaan telah mengikutsertakan sejumlah
karyawannya untuk mengikuti pelatihan, seminar, dan sosialisasi peraturan-
peraturan yang diadakan lembaga swasta maupun pemerintah, antara lain:
a. Seminar Perpajakan terbaru;
b. Sosialisasi Peraturan OJK dan BEI;
c. Seminar pengembangan di bidang IT;
d. Training Ahli K3 dan SMK3 kepada karyawan dan manajemen;
e. Training mengenai manajemen lingkungan hidup;
f. Training mengenai manajemen dan audit energi.
PT. Gunawan Dianjaya steel Tbk Surabaya memiliki karyawan dari
berbagai tingkatan pendidian berikut pada tabel 4.1 akan dijelaskan komposisi
karyawan PT GDS pada tahun 2014;
Tabel 4.1 Komposisi Pendidikan Karyawan PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk tahun 2014
Pendidikan 2014 2013
Sarjana 54 56Ahli Madya 8 8Sekolah Menengah Umum 356 349Sekolah Menengah Pertama 48 48Sekolah Dasar 20 20Jumlah 486 481Sumber : PT. GDS
Selain komposisi karyawan yang diijelaskan ada tabel 4.1 , Perusahaan
juga menggunakan tenaga kerja kontrak (outsourcing) sebanyak 48 orang.
Jam kerja pada PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya terbagi
menjadi tiga sift, (sift I, II dan III) sift satu dimulai pukul 07.00 – 15.00, kemudian
48
49
dilanjutkan dengan sift II pad pukul 15.00 hingga pukul 23.00 dan sift III dimulai
pada pukul 23.00 dan berakhir pada pukul 07.00 pagi. Rutinitas ini dimulai hari
Senin – minggu. Tetapi untuk hari minggu dihitung lembur. Pada PT. GDS
perhitungan Jam kerja sudah sesuai dengan peraturan mentri tentang penerapan 8
jam kerja perhari dan lebih dari itu dihitung lembur.
Tahun 2014 PT GDS memperoleh sertifikasi “Proper” dari Kementerian
Lingkungan Hidup R.I. dengan kategori “Biru” dan pada tahun yang sama,
Perseroan juga memperoleh sertifikasi SMK3 yang diterbitkan oleh PT. Surveyor
Indonesia.
3.2 Alur Produksi
Ada beberapa tahapan proses yang terjadi dalam memproduksi plated PT
GDS dimulai dari penyediaan bahan bakau (slab) hingga menjadi sebuah plate,
pada gambar 4.1 berikut akan dijelaskan alur produksi:
49
50
Sumber : PT GDS
Gambar 4.1 Alur Produksi PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk
a. Slab
Slab atau bahan baku berupa baja tebal yang di datangkan dari luar negeri.
yang memiliki reputasi internasonal.
b. Slab Cutting
Slab Cutting merupakan pemotongan bahan baku hingga menjadi beberapa
bagian, pemotongan sesuai ukuran yang ditentukan.
c. Reheating Furnace
Setelah terbagi menjadi beberapa potong, baja tersebut dipanaskan di dapur
pemanas sampai suhu standar, sesuai dengan kualitas dan ukurannya.
d. Descaler
Slab yang membara dibersihkan dengan mesin pembersih kerak dengan
cara disemprotkan air berkecepatan tinggi untuk menghilangkan kotoran
dari prosees sebelumnya.
e. 4-High Roughing &Finishing Mill
Setelah dipanaskan, slab tersebut ditipiskan dengan mesin 4-High
Roughing &Finishing Mill hingga slab menjadi plate
f. Hot leveller
Untuk memastikan kerataan dan mutu plat yang prima, digunakan mesin
perata permukaan plat.
g. Diving Shear
50
51
Plat yang memanjang akibat tahap sebelumnya dipotong lebih pendek
dengan mesin pembagi.
h. Cooling bed
Meja pendingin membantu mendinginkan secara alami alat yang panas
hingga mencapai suhu lingkungan.
i. Plate Cutting
Plat di potong sesuai ukuran pemesanan, jika tebal plat lebih atau sama
dengan 15mm maka digunakan flame cutting atau pemotongan dengan las
campuran LPG dan oksigen. Namun bula ketebalan kurang dari 15 mm,
digunakan machanized side shear atau pemotong samping dengan mesin
pemotong.
j. Stenciled
Pemberian Label pada bagian atas plat besi, sesuai dengan nomer seri
pemesanan dan warna sesuai dengn ketebalan.
k. Storage
Plat yang telah dilabel sudah selesai dan disimpan di ruang penyimpanan
dan siap dikirim ke pemesanan
l. Shipment
Plat-plat baja yang berkualitas siap di kirim ke pemesan melalui jalur darat
serta laut.
3.3 Risiko Bahaya
51
52
Didalam proses produksi, terdapat beberapa risiko bahaya yang
memungkinkan timbulnya kecelakaan kerja apabila tidak dilakukan pengendalian
bahaya tersebut. Berikut penjelasan mengenai area kerja yang terdapat di
perusahaan sekaligus risiko bahaya yang ada didalamnya
Tabel 4.2 Risiko Bahaya yang terdapat di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk tahun 2015
AREA KERJA BAHAYA
Gudang Bahan Baku Terjepit, Terhimpit dan Debu
Produksi - Slab Cutting
- Reheating Furnunce- Descaler- 4-High Roughing &Finishing Mill- Diving Shear- Cooling bed- Plate Cutting
- Bahaya Ergonomi, Suhu Panas, Bising dan Debu, Risiko Peledakan
- Suhu Panas dan Debu - Suhu Panas dan Debu- Suhu Panas Bising dan Debu- Suhu Panas Bising dan Debu- Suhu Panas Bising dan Debu- Bahaya Ergonomi , Debu, Risiko
Peledakan
Gudang Hasil Produksi Terjepit, Terhimpit dan Debu
WorkShop Terpeleset¸ Terkena Gam, Bahaya Ergonomi , Risiko Terjepit Mesin
4.4 Gambaran Keselamatan Dan Kesehatan Kerja di PT. Gunawan Dianjaya Steel (GDS) Tbk Surabaya.
Industri rolling mill plat baja yang memiliki risiko kerja yang tinggi
dmana sewaktu-waktu menimbulkan resiko kecelakan, khususnya bagi karyawan,
Manajemen telah menetapkan dan menerapkan prinsip-prinsip keselamatan dan
kesehatan kerja dan lingkungan (K3L) sebagai standar kerja yag berlaku bagi
seluruh unit kerja dan kantor.
52
53
PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk telah dibentuk organisasi Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) sebagai bentuk
pengaplikasian Peraturan mentri tenaga kerja No.04 tahun 1987 tentang panitia
pembina keselamatan dan kesehatan kerja serta tata cara penunjukan ahli
keselamatan kerja, dimana organisasi ini bertugas untuk menjaga dan memelihara
agar risiko bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dan
dihindari sehingga keselamatan dan kesehatan kerja dapat terwujud. Berikut
struktur organisasi P2K3 :
53
54
Sumber :PT GDSGambar 4.2 Struktur Organisasi Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (P2K3) PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk
4.4.1 Kebijakan K3 PT. Gunawan Dianjaya Steel, Tbk Surabaya
Kebijakan keselamatan kerja adalah pernyataan tentang cita-cita, tujuan
dan prinsip-prinsip yang mengatur organisasi perusahaan. kebijakan dibuat dan
disetujui pada level teratas oleh direktur utama, pejabat eksekutif dan memberikan
garis-garis besar kegiatan. pada umumnya berisi pernyataan kebijakan, instruksi,
keragaman dan pengecualian, penjelasan untuk situasi yang kompleks atau kritis
dan bentuk-bentuk penerapan atau pelaporan.
Kebijakan K3 dari suatu organisasi adalah merupakan pernyataan yang
menyebarluaskan kepada umum dan ditandatangani oleh manajemen senior
sebagai bukti pernyataan komitmennya dan kehendaknya untuk bertanggung
jawab terhadap K3. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kepada
karyawan, pemasok, pekerja, tamu, pelanggan bahwa K3 adalah bagian yang tak
terpisahkan dari seluruh operasi. Komitmen ini selanjutnya diperkuat dengan
manajemen yang secara aktif ikut serta dalam peninjauan ulang dan peningkatan
kinerja K3 secara berkesinambungan.
Kebijakan K3 PT. Gunawan Dianjaya Steel Surabaya adalah sebagai
berikut:
1. Mencegah kecelakaan dan penyakit akibat tkerja dengan melakukan
penilaian dan pengendalian risiko untuk mengkaji opersasional
organisasi secara sistematis
54
55
2. Mematuhi peraturan perundangan dan persyaratan lain baik penilaian
internasional yang relevan dengan opersional organisasi.
4.4.2 Prosedur Tanggung Jawab Manajemen
Dalam peraturan perusahaan telah di atur tentang tanggung jawab
manajemen terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan K3. Berikut
penjelasan ;
1. Penunjukan Wakil Manajemen
a. Direktur Utama menunjuk Manager Quality Control sebagai Wakil
Manajemen atau Management Representative.
b. Tugas dan wewenang Wakil Manajemen adalah: Memastikan bahwa
sistem manajemen K3 disusun, diterapkan, dan dipelihara
kesinambungannya.
2. Penetapan Kebijakan K3 dan Sasaran dan Program K3
a. Direktur Utama menetapkan dan mengesahkan kebijakan K3. Kesesuaian
isi kebijakan mutu dengan tujuan perusahaan ditinjau pada saat rapat
tinjauan manajemen dan dapat direvisi jika diperlukan.
b. Perusahaan menetapkan paling sedikit sebuah sasaran dan Program K3
yang terukur dan konsisten dengan Kebijakan K3 tersebut.
c. Salah satu dasar penetapan sasaran dan Program K3 adalah hasil analisis
terhadap data dari:
1) Tingkat insiden K3 dari aktivitas yang ada di area Kantor/Perusahaan.
2) Kinerja pemasok yang dilakukan oleh Departemen Pembelian.
55
56
d. Wakil manajemen mengkomunikasikan Kebijakan K3 dan sasaran dan
Program K3 melalui poster maupun metode lain. Safety Prosedur
Pelatihan Tenaga Kerja.
e. Realisasi dari perbaikan K3 direkam dan disimpan oleh Sekretaris P2K3
dan dilaporkan kepada Wakil Manajemen dalam rapat tinjauan
manajemen atau sebelum rapat dilaksanakan, sesuai kebutuhan.
f. Setiap perubahan baik struktur organisasi, kebijakan K3, sasaran dan
Program K3 maupun dokumen K3 harus dikomunikasikan kepada Wakil
Manajemen sehingga integritas dari sistem dapat dijaga.
3. Komunikasi Internal dan Rapat Tinjauan Manajemen
a. Tinjauan manajemen, sebagai bagian dari komunikasi internal,
dilaksanakan minimal 2 kali setahun dengan dipimpin oleh salah satu
Direktur yang hadir.
b. Jika rapat memutuskan untuk melakukan tindakan perbaikan atau
peningkatan, maka rencana perbaikan tersebut harus dicatat di dalam
notulen dan selanjutnya dituangkan ke dalam formulir CAR (Corrective
Action Request) sesuai jenisnya.
c. Agenda rapat dapat meliputi, tetapi tidak terbatas, pada:
1) Tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar.
2) Perubahan produk dan kegiatan produksi yang berpengaruh pada K3.
3) Perubahan struktur organisasi perusahaan.
4) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk
epidemiologi.
56
57
5) Hasil kajian kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
6) Adanya pelaporan.
7) Adanya saran dan pekerja/buruh.
8) Evaluasi kebijakan K3.
9) Tujuan sasaran dan kinerja K3.
10) Hasil temuan audit K3.
11) Evaluasi efektivitas penerapan SMK3 dan kebutuhan
pengembangan SMK3.
4.4.3 Prosedur Identifikasi dan Penilaian Bahaya & Risiko K3
Proses Identifikasi dan Penilaian Bahaya & Risiko K3 terdiri dari beberapa
proses, seperti yang dijelakan dibawah ini;
1. Identifikasi Bahaya K3
a. Sekretaris P2K3 membentuk tim di unit kerja masing-masing yang
terdiri dari personil berpengalaman dan memiliki pengetahuan tentang
K3 dan dipimpin kepala bagian & Manajer masing-masing.
b. Pembentukan tim dilakukan di awal implementasi SMK3, saat ada
perubahan proses/peralatan maupun proses/peralatan baru. Identifikasi
dilakukan juga diawal informasi proyek untuk diidentifikasi
kemungkinan pengendalian K3 yang harus disiapkan.
c. Masing-masing tim melakukan identifikasi bahaya K3 dengan
memperhatikan:
1) Kondisi rutin dan non rutin untuk bahaya K3.
57
58
(a) Kondisi rutin: bahaya yang aktual terjadi terjadi akibat aktivitas
produk dan jasa yang rutin dilakukan.
(b) Kondisi non rutin: bahaya yang berpotensi terjadi akibat adanya
aktivitas tidak rutin atau sesekali dilakukan/terjadi.
2) Aktivitas seluruh personel baik karyawan maupun pihak luar
(subkontraktor, supplier, & pengunjung).
3) Perilaku yang berbahaya dan berdampak pada lingkungan.
4) Lokasi/ruangan/kondisi tempat kerja.
5) Sumber daya yang akan dipergunakan.
6) Alat, mesin dan sumber tenaga yang ada (aliran listrik, genset, dsb) serta
jenis material.
7) Penanganan secara manual dan mekanis.
8) Modifikasi proses atau proses baru.
9) Kerja lainnya yang mungkin menimbulkan bahaya K3.
d. Tim melakukan tinjauan awal untuk mengidentifikasi semua bahaya K3 serta
memperkirakan risiko K3 yang akan terjadi.
e. Tim melakukan identifikasi dengan melihat kondisi lapangan/ruangan/tempat
kerja dan lingkungan sekitarnya.
f. Tim melakukan observasi dan wawancara kepada personil terkait dalam suatu
kegiatan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai
kemungkinan risiko K3 yang akan terjadi.
g. Setelah diperoleh data bahaya K3 yang terkait, kemudian diperkirakan
dampaknya.
58
59
h. Membuat daftar semua bahaya K3 yang telah teridentifikasi.
2. Penilaian Risiko K3
a. Mengidentifikasi peraturan dan perundangan yang berlaku yang berkaitan
dengan bahaya K3, jika terdapat peraturan dan perundangan yang terkait
dengan aktivitas perusahaan, maka dampak yang terjadi dikategorikan
sehingga sebagai dampak yang signifikan.
b. Untuk bahaya K3 yang tidak terkait dengan peraturan dan perundangan yang
berlaku, diadakan penilaian dampak & risiko dengan mempertimbangkan
faktor Kemungkinan (probability) dan faktor Keparahan (severity).
3. Pengendalian Risiko
a. Risiko K3 yang signifikan, dilakukan kontrol untuk mengurangi risiko K3.
Jenis tindakan dan skala waktu kontrol tergantung dari hasil penilaian
dampak dan risiko.
b. Jenis pengendalian adalah sebagai berikut:
1) Desain & proses
Melakukan perubahan desain atau proses kegiatan ke arah yang lebih aman
untuk menghilangkan semua potensi bahaya dan sumber bahaya (jika
mungkin) dengan mengganti unsur/proses yang lebih aman. Contoh:
tenaga manusia diganti peralatan untuk mengangkat beban berat, mesin
tenaga solat diganti dengan listrik/uap.
2) Engineering control
Untuk mengurangi risiko dengan menggunakan unsur/materiil yang lebih
aman. Contoh: listrik 1, penggunaan kran otomatis, lampu hemat energi.
59
60
3) Administratif dan pengendalian prosedur
a) Pengendalian secara administratif: ijin kerja, persetujuan penggunaan
material yang aman.
b) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan
fungsional, induksi.
c) Pembuatan prosedur dan IK dan dilaksanakan secara konsisten.
d) Penyelenggaraan inspeksi K3L.
e) Peralatan yang aman (safety equipment) dan hemat energi.
f) Memberi proteksi lokasi berbahaya: memasang pagar pengaman,
rambu, tanda B3.
4) Alat Pelindung Diri (APD)
Wajib menggunakan APD sesuai potensi bahaya yang ada seperti: helm,
safety harness, sarung tangan.
5) Rencana tindak darurat
Menyediakan fasilitas pencegahan, memasang denah evakuasi,
menentukan muster area.
4. Pemantauan Tindakan Pengendalian Risiko
a. Jika ada perubahan proses, produk, mesin, personel dan aktivitas baik
berupa penambahan, pengurangan maupun penggantian, maka identifikasi
bahaya & Risiko K3 akan ditinjau oleh masing-masing bagian dan
Manajer untuk update/diperbaiki.
60
61
b. Identifikasi bahaya & risiko K3 secara periodik akan ditinjau
kesesuaiannya oleh sekretaris P2K3 minimal 1 tahun sekali untuk
memastikan kesesuaiannya dengan kondisi terkini.
c. Hasil pengendalian dampak, harus disetujui oleh pimpinan/manajer yang
terkait di masing-masing tingkat dalam organisasi perusahaan.
d. Hasil identifikasi dapat dijadikan dasar pertimbangan penyusunan tujuan,
sasaran dan program K3.
4.4.4 Prosedur Komunikasi, Partisipasi & Konsultasi
A. Rincian Prosedur
1. Induksi K3
Induksi K3 akan diberikan kepada karyawan baru, karyawan lama yang
pindah tugas atau dipromosikan, tamu, subkontraktor dan pihak lain yang
berkepentingan.
2. Rapat K3
Rapat K3 dilakukan dengan melibatkan Manajer, Ka.Shift, Ka.Sie,
Waka.Sie, Anggota, AK3, wakil manajemen dan wakil dari subkontraktor
(jika dibutuhkan) dan hasilnya dicatat sebagai risalah rapat, untuk menjadi
dasar dalam implementasi K3. Contoh: HSE meeting, safety talk,
pertemuan sasaran K3, dll.
3. Rapat Tinjauan Manajemen
Rapat tinjauan manajemen dilakukan sesuai prosedur tinjauan manajemen.
4. Papan Pengumuman K3
61
62
Papan pengumuman akan dipasang ditempat yang strategis agar mudah
dibaca oleh seluruh pihak yang berkepentingan.
5. Akses ke dinas setempat
Dilakukan oleh sekretaris P2K3 dengan cara melakukan kunjungan ke
dinas K3 mengupdate dan memperbaharui jika terdapat peraturan
perundangan yang terbaru atau dengan cara mengakses website dinas
kementerian.
6. Telepon, Faximile, Email, Surat
Setiap telepon, faximile, email, atau surat yang terkait dengan K3
diserahkan ke document controller untuk didata dan didistribusikan sesuai
keperluan serta ditindaklanjuti.
7. Pertemuan dengan masyarakat sekitar dan pihak eksternal lainnya yang
terkait dilakukan oleh sekretaris P2K3 bila diperlukan dan sesuai
kebutuhan serta kondisi yang ada untuk memfasilitasi agar proses
operasional dapat berjalan lancar dan efektif. Setiap perubahan Sistem
Manajemen K3 yang akan berpengaruh di tempat kerja dikomunikasikan
dan dikonsultasikan ke seluruh pegawai dan pihak eksternal yang terkait.
Semua kegiatan komunikasi dan konsultasi akan didokumentasikan oleh
perusahaan dengan menggunakan formulir konsultasi dan dokumentasi,
jika tidak tercover dengan formulir lainnya. Jika dalam pelaksanaan
komunikasi atau konsultasi ditemukan suatu hal yang dapat memperbaiki
kinerja K3 maka akan diajukan ke pihak manajemen untuk dijadikan
sebagai agenda dalam rapat tinjauan manajemen.
62
63
4.4.5 Prosedur Investigasi dan Pelaporan Insiden
Kegiatan investigasi dan pelaporan insiden kecelakaan yang terjadi
didalam dan di luar perusahaan PT GDS telah disusun dalam bentuk standar
operasional prosedur yang telah disusun pada saat adanya komitmen perusahaan
dalam keikut sertaan dalam program pemerintah yakni pada program Sistem
Manajemen K3 (SMK3), berikut rincian prosedut tersebut :
1. Pelaporan Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian
a. Semua karyawan yang terlibat dalam kegiatan perusahaan wajib lapor
kepada atasannya/wakilnya jika melihat kecelakaan, sakit akibat kerja,
dan ketidaksesuaian lain.
b. Pelaporan dilakukan secepatnya, bisa secara lisan dulu agar dapat
ditangani segera.
c. Pelaporan secara tertulis menggunakan form Laporan Investigasi
Kecelakaan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Insiden, tidak harus dilaporkan tertulis, tetapi dicatat dalam form
Konsultasi & Komunikasi Log Book
2) Kecelakaan ringan harus segera dilaporkan
2. Penanganan Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian
Penanganan Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian pada PT
GDS telah disusun dalam bentuk standar operasional prosedur yang telah
disusun pada saat adanya komitmen perusahaan dalam keikut sertaan dalam
program pemerintah yakni pada program Sistem Manajemen K3 (SMK3),
berikut rincian prosedut tersebut :
63
64
a. Sekretaris P2K3 wajib mengambil tindakan begitu mendapat laporan
atau melihat kecelakaan, insiden, atau ketidaksesuaian.
b. Pencatatan stok obat-obatan P3K untuk memantau insiden dari
penggunaan obat-obatan P3K.
c. Investigasi Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian
d. Semua kecelakaan, sakit, insiden dan ketidaksesuaian harus diinvestigasi
untuk mengetahui penyebabnya.
e. Metode Investigasi mencakup:
1) Teknik pengumpulan data
2) Teknik analisa data untuk mengetahui penyebab langsung, penyebab
dasar (faktor personal & pekerjaan) dan kontrol manajemen.
3) Tindakan perbaikan segera yang harus diambil
4) Rekomendasi perbaikan yang bersifat pencegahan
5) Monitoring keefektifan tindakan perbaikan yang diambil
6) Investigasi dilakukan oleh Wakil manajemen dan pihak yang terkait.
3. Laporan Tertulis
Dalam pelaporan kejadian kecelakan padaPT GDS pihak
managemen telah membuat SOP tentang tata cara pelaporan tertulis, hal ini
berfungsi untuk mempermudah mengidentifikasi penyebab kecelakaan
nantinya, berikut rincian prosedur tersebut:
a. Laporan kejadian kecelakaan harus dibuat dalam bentuk/format K.2
Laporan ini akan dibuat oleh Sekretaris P2K3, Kepala Bagian terkait dan
64
65
aslinya diserahkan kepada JAMSOSTEK Cab.Surabaya, sesegera
mungkin dan tidak boleh lebih dari 24 jam setelah kejadian.
b. Kepala Bagian terkait akan meninjau ulang laporan, mensirkulasi dan
mendistribusikan sesuai dengan instruksi yang tertera dalam lembar bentuk
laporan. Laporan investigasi kecelakaan diminta:
1) Kecelakaan menyebabkan hari hilang
2) Kecelakaan tidak ada hari hilang
3) Kerusakan harta benda dan kerugian
4) Kebakaran
5) Kejadian dengan potensi kecelakaan berat (nyaris celaka)
c. Pelaporan kepada DISNAKER hanya dibuat untuk kecelakaan yang terjadi
pada karyawan perusahaan.
d. Laporan-laporan kecelakaan, investigasi dan analisis akan dirangkum
dalam laporan bulanan keselamatan dan kerugian yang dibuat oleh Ketua
K3. Laporan ini akan didistribusikan kepada seluruh Kepala Bagian/Ketua
Regu dan didiskusikan dalam rapat Safety Committee/P2K3.
4. Investigasi dan Tindakan Perbaikan
Investigasi dan tindakan perbaikan perbaikan merupakan tindakan
lanjutan setelah proses pelaporan selesai dilakukan, berikut rincian prosedur
tersebut:
a. Kecelakaan dan Insiden Berat
1) Kepala Bagian/Ketua Regu akan mempertimbangkan dengan segera
setiap kecelakaan atau kejadian yang berat. Setelah dilakukan
65
66
tindakan emergensi yang tepat dan pelaporan diselesaikan, prosedur
dibawah ini harus dimulai untuk investigasi dan tindakan perbaikan.
2) Kepala Bagian/Ketua Regu terkait harus menjaga bukti fisik,
sepanjang diminta, untuk investigasi. Bilamana seseorang yang
cidera yang dapat menjadi cidera berat atau potensi cidera berat,
tempat kejadian harus diamankan sampai ada pemberitahuan dari
yang berwenang atau manajemen perusahaan.
3) Kepala Bagian/Ketua Regu terkait akan melakukan tahap awal
investigasi segera setelah kecelakaan atau kejadian. Ini akan
mencakup wawancara terhadap orang yang langsung terlibat dan
suatu tinjauan ulang secara cermat serta mendiskusikan laporan-
laporan tertulis mereka. Wawancara ini secara pribadi dan harus
dilakukan secara kekeluargaan dan pengertian.
4) Inspeksi tempat kecelakaan atau insiden harus dilakukan saat itu
juga. Hasil dari tahap investigasi ini harus dicatat dengan baik,
dimana apabila dianggap penting, diambil foto untuk dokumentasi
investigasi.
5) Kepala Bagian/Ketua Regu terkait harus juga mengevaluasi
penyebab kejadian dan menyiapkan tindakan perbaikan untuk
mencegah terulang kembali kejadian yang sama. Salinan
dokumentasi investigasi, bersamaan dengan laporan investigasi
kecelakaan harus diserahkan oleh Ketua Regu terkait kepada
atasannya dengan tembusan kepada Ketua K3 sesegera mungkin.
66
67
6) Kepala Bagian terkait yang menerima laporan investigasi
kecelakaan, bersama dengan Ketua K3 menentukan siapa yang harus
dilibatkan dalam tim investigasi dan dalam menentukan tindakan
perbaikan.
7) Untuk seluruh kecelakaan yang sangat berat (meninggal, kerusakan
harta benda yang berat, kebakaran), Kepala Bagian terkait harus
melakukan investigasi di tempat kejadian. Bilamana perlu dia akan
diantar oleh anggota manajemen.
8) Bila dianggap perlu, ad-hoc team investigasi kecelakaan juga akan
dibentuk. Team bertanggung jawab untuk:
a) Mengevaluasi laporan dan dokumen terkait.
b) Melakukan wawancara dan atau inspeksi.
c) Menganalisa informasi yang ada untuk menentukan faktor-
faktor yang memberikan kontribusi terjadinya kecelakaan.
d) Membuat dan merekomendasikan rencana tindakan praktis
untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
9) Setelah melakukan investigasi, suatu pertemuan peninjauan ulang
akan dilakukan oleh Direktur untuk menentukan kualitas investigasi
dan mengevaluasi tindakan perbaikan yang diusulkan dan
menetapkan rencana tindakan yang paling tepat. Pertemuan ini harus
dihadiri Ketua K3, dan para Kepala Bagian terkait.
b. Kecelakaan Sedang
67
68
1) Kecelakaan sedang yang dilaporkan dalam bentuk Laporan
Investigasi Kecelakaan, investigasi harus dilakukan secepatnya
oleh Ketua Regu terkait, yang akan melakukan tindakan perbaikan
dan atau pengendalian untuk mencegah kejadian yang sama
terulang kembali.
2) Laporan investigasi kecelakaan akan ditinjau kembali oleh
Ka.Bag.-nya dan Ketua K3. Investigasi selanjutnya, tindakan
perbaikan atau distribusi informasi yang terkait bisa diperoleh dari
tinjauan ini. Semua kecelakaan/insiden dan tindakan perbaikan
akan ditinjau kembali oleh Safety Committee/P2K3.
c. Kecelakaan Ringan
Kecelakaan ringan harus dilaporkan dengan bentuk No. K.2.
kejadian-kejadian tersebut harus mendapat perhatian Kepala
Bagian/Ketua Regu terkait dan harus didiskusikan dalam safety meeting
bulanan. Ketua K3 akan mengevaluasi laporan, untuk mengidentifikasi
trennya dan melaporkan ke P2K3 untuk tindakan selanjutnya.
d. Tindakan Pencegahan
Dalam rangka pencegahan terjadinya kecelakan pada PT GDS pihak
managemen telah membuat suatu SOP yang disusun secara sistematis,
berikut rincian tersebut:
1) Mencatat semua ketidaksesuaian yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan, insiden atau sakit di Form Tindakan Koreksi &
Pencegahan.
68
69
2) Mengkomunikasikan insiden yang terjadi dan hasil investigasi
untuk mencegah tidak terulang dan meningkatkan kewaspadaan
pekerja.
3) Menganalisa data untuk pencegahan dengan memperhitungkan
dampak yang mungkin terjadi.
4) Mengkaji apakah tindakan pencegahan sudah efektif/belum.
4.5 Identifikasi Keluhan MSDs Pada Operator Gas Cutting Plate di PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk dengan menggunakan Nordic Body Map
Pengambilan data dengan kuisioner Nordic Body Map telah dilakukan
tanggal 18-28 Agustus di Bagian Produksi PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk
dengan 25 Operator Gas Cutting Plate sebagai responen . Tujuan peyebaran
kuisioner untuk mengetahui gambaran Keluhan Nyeri Muskuloskeletal pada
operator gas cutting plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya tahun
2015.
4.6 Karakteristik Operator Gas Cutting Plate
Berdasarkan Identifikasi yang telah dilakukan pada Operator Gas Cutting
Plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya diperoleh karakteristik
operator sebagai berikut :
4.6.1 Usia
Usia adalah umur responden dalam tahun dihitung dari waktu kelahiran
sampai tahun penelitian dilakukan. Distribusi frekuensi usia responden dalam
penelitian ini dapaat dilihat pada tabel 4.3 :
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan UsiaUsia Frekuensi Persentase (%)
< 40 Tahun 6 24
69
70
41-50 Tahun 18 72>51 1 4Jumlah 25 100%
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 25 responden, sebanyak 6 responden
(24%) berusia <40 tahun, sebanyak 18 responden (72%) berusia 41-51 tahun dan
hanya 1 responden (4%) yang berusia 51 tahun.
4.6.2 Masa Kerja
Masa kerja adalah lama waktu responden bekerja dihitung dalam tahun
sejak awal kerja sampai pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan hasil
kuesioner dan wawancara yang dilakukan pada operator diperoleh data distribusi
frekuensi berdasarkan masa kerja yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Masa KerjaMasa Kerja Jumlah Persentase (%)
Sedang ( 5-10 tahun) 1 4%Lama ( >11 tahun) 24 96%Jumlah 25 100%
Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa para responden sebagian besar
24 orang (96%) mempunyai masa kerja yang lama. sedangkan hanya 1 responden
(4%) yang memiliki masa kerja sedang.
4.6.3 Status Gizi
Status gizi merupakan sebuah keadaan yang dimiliki responden terkait gizi
dan kesehtan. Diketahui berdasarkan Indeks Massa Tubuh dengan cara pembagian
antara berat badan dan tinggi badan melalui kuesioner, diperoleh data responden
berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) sebagai berikut:
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status GiziStatus Gizi Jumlah Persentase (%)Kurus ( < 18) 2 8% Normal ( > 18,5 – 25,0 ) 22 88%
70
71
Gemuk ( > 25,5 – 27,0 ) 1 4%Jumlah 25 100%
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian yakni sebanyak
25 responden, sebanyak 2 atau sebesar 8% memiliki status gizi kurus, sebanyak
22 responden atau sebesar 88% memiliki status gizi normal, dan hanya 1
responden (4%) memiliki stastus gizi gemuk. Hal tersebut menggambarkan bahwa
responden sebagian besar memiliki status gizi normal.
4.6.4 Kebiasaan Merokok
Data kebiasaan merokok responden diperoleh melalui pertanyaan melalui
kuesioner, diperoleh data responden berdasarkan kebiasaan merokok sebagai
berikut:
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan kebiasaan MerokokKebiasaan Merokok Jumlah Persentase (%)Merokok 23 8%Tidak Merokok 2 92%Jumlah 25 100%
Dari tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar 23 responden atau sebesar
92% memiliki kebiasaan merokok dan selebihnya 8% tidak memiliki kebiasaan
merokok dalam kesehariannya.
4.7 Keluhan Nyeri Muskuloskletal Disoders (MSDs)
Keluhan Nyeri Muskuloskletal (MSDs) pada para operator gas Cutting
Plate dihitung dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map dimana
terdapat 28 bagian otot pada sistem muskuloskletal pada kedua sisi tubuh kanan
dan kiri. Yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai
dengan bagian bawah yaitu otot kaki, terdapat 4 skala yang terdapat dalam
kuesioner ditandai dengan angka 0 yang menandakan tidak adanya rasa nyeri yang
71
72
dirasakan, angka 1 untuk adanya sedikit rasa nyeri, angka 2 untuk merasakan
nyeri dan angka 3 untuk merasakan sangat nyeri. Berdasarkan hasil kuesioner
yang telah dilakukan pada operator gas cutting plate di peroleh data keluhan nyeri
sebagai berikut:
Berdasarkan pengumpulan data dengan kuesioner terhadap 25 operator gas
cutting plate, diketahui bahwa semua responden 25 operator (100%) memiliki
keluhan nyeri Muskuloskletal (MSDs).
Berikut ini frekuensi keluhan MSDs responden pada 28 bagian otot pada
sistem muskuloskletal yang dirasakan ada keluhan oleh respoden, disajikam pada
gambar 4.3 sebagai berikut :
Leher
Bagian
Atas
Bahu Kiri
Lenga
n Atas Kiri
Lenga
n Atas Kan
an
pantat
(buttock)
Siku Kiri
Lenga
n Bawah
Kiri
Pergela
ngan Ta
ngan Kiri
Tangan
Kiri
Paha K
iri
Lutut Kiri
Betis K
iri
Pergerl
anga
n Kaki Kiri
kaki K
iri0
5
10
15
20
25
20
10 9
13
4
19
7
20
85 4 3 4 3 4 4
6 57 6 6 5
8 86 5
75
Bagian Keluhan
Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs berdasarkan Bagian Tubuh Pada Operator Gas Cutting Plate tahun 2015
72
73
Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat diketahui bahwa keluhan yang
dirasakan terbanyak terdapat pada bagian pinggang serta leher bagian atas yakni
sebanyak 20 keluhan, kemudian pada bagian punggung (19 Keluhan) dan keluhan
pada bahu kanan sebanyak 13 keluhan.
Tingkat keparahan rasa nyeri yang dirasakan operator Gas Cutting plate
akan disajikan pada gambar 4.4 berikut :
Leher Bagian Atas
Bahu Kanan Punggung Pinggang0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2018
10
14
16
2 2
43
01 1 1
Agak nyeriNyeriSangat Nyeri
Gambar 4.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri MSDs berdasarkan Bagian Tubuh Pada Operator Gas Cutting Plate tahun 2015
Gambar 4.4 diatas dapat diketahui bahwa pada leher bagian atas sebagian
besar keluhan atau sebesar 18 responden merasakan agak nyeri dan 2 responden
lain mengelukan nyeri, pada bagian bahu kanan dari 13 keluhan terapat 10
keluhan responden merasakan agak nyer, 2 responden merasakan nyeri dan 1
responden merasakan sangat nyeri, pada bagian punggung terdapat 14 keluhan
agak nyeri, 4 responden merasakan nyeri dan 1 respon merasakan sangat nyeri dan
73
74
pada bagian pinggang dari 20 keluhan sebanyak 16 keluhan dengan agak nyeri, 3
keluhan responden merasakan nyeri dan satu responden merasakan sangat nyeri.
Langkah terakhir dari metode Nordic body map adalah melakukan
penjumlahan total besarnya keluhan pada setiap responden, tentunya hasil akhir
dari penjumlahan tersebut berfungsi untuk menentukan tindakan pengendalian
yang harus dilakukan, berikut total skor keluhan individu disajikan pada tabel 4.7:
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Total Keluhan IndividuTotal Skor
Keluhan IndividuTingkat Risiko
Kategori Risiko Jumlah Persentase (%)
0-20 0 Rendah 21 8421-41 1 Sedang 3 1242-62 2 Tinggi 1 463-84 3 Sangat Tinggi - -Jumlah 25 100%
Dari penyajian tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 25 responden, sebagian
besar responden atau 21 responden (84%) memiliki kategori risiko rendah,
3 responden (12%) dengan kategori risiko sedang dan terdapat 1 responden atau
4% memiliki total skor keluhan dengan risiko tinggi sehingga membutuhkan
pengendalian dengan segera.
4.8 Pemecahan Masalah
Berdasarkan uraian masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, yang
dilakukan ialah melakukan mapping dan mengidentifikasi keluhan terkait MSDs
yang telah dirasakan operator gas cutting plate sebagai upaya pencegahan
kecelakaan di tempat kerja, mempelajari potensi bahaya hasil inspeksi dan
memberikan rekomendasi sebagai upaya tindak lanjut.
74
75
4.9 Rekomendasi
Dari hasil identifikasi masalah MSDs yang dilakukan dengan kuisioner
Nordic Body Map pada para operator didapatkan hasil sebagian besar operator
Gas Cutting Plate memiliki risiko kategori rendah dan berikut rekomendasi yang
diberikan pada operator seseuai dengan kategori risiko MSDs yang terjadi :
Kategori Risiko Jumlah Tindakan Perbaikan Rekomendasi
Rendah 21 Operator Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan
1. Devisi K3 sebagai penanggung jawab K3 dilapangan membuat program sosialisasi tentang MSDs bagi seluruh pekerja yang memiliki risiko MSDs.
Sedang 3 Operator Mungkin memerlukan tindakan dikemudian hari
1. Devisi K3 sebagai penanggung jawab K3 dilapangan membuat program sosialisasi tentang MSDs bagi Operator.
2. Memberikan pelatihan cara mengangkat beban yang benar bagi para operator gas Cutting Plate
3. Memberikan informasi bagi operator gas Cutting plate untuk melakukan stretching yang dilakukan setiap 15 menit setiap 2 jam kerja,. Hal ini bertujuan
75
76
untuk memberi relaksasi bagi operator yang melakukan pekerjaan dengan posisi statis selama 4 jam, sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya MSDs.
Tinggi 1 Operator Diperlukan tindakan segera
1. Melakukan pemeriksaan lanjutan ke fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama dengan PT. GDS untuk mengurangi dampak cedera yang mungkin ditimbulkan akibat keluhan MSDs.
2. Melakukan rotasi pekerja ke bagian lain dengan tingkat mobilitas yang lebih rendah memiliki risiko MSDs
76
77
BAB V
PEMBAHASAN
Hasil penyebaran kuisioner Nordic Body Map yang telah dilakukan,
didapat informasi bahwa responden sebesar 72% berusia 41-50 tahun, 24%
berusia 31-40 tahun, dan 4% >51 tahun. Hal ini dapat mempengaruhi keluhan
MSDs yang dialami. Hal ini diperkuat juga dengan hasil penelitian Amalia
(2010) pada pekerja kuli panggul didapatkan hasil bahwa kelompok usia 31- 49
tahun memiliki tingkat keluhan paling tinggi yaitu sebesar 68.1%. Hasil
penelitian tersebut sesuai dengan teori yang terdapat dalam Oborne (1995)
bahwa keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia kerja yaitu 24-
65 tahun dan keluhan pertama biasa dialami pada usia 35 tahun serta tingkat
keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Masa kerja juga mempengaruhi keluhan MSDs yang dapat dirasakan
pekerja. Pekerja GDS yang menjadi responden mayoritas memiliki masa kerja
10 tahun (96%) dan sisanya (4%) memiliki masa kerja 5-10 tahun. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2010), bahwa keluhan MSDs
terbanyak pada responden dengan masa kerja diatas lima tahun. Hal ini
disebabkan karena pada masa kerja tersebut telah terjadi akumulasi cidera-cidera
ringan yang selama ini dianggap sepele. Selain itu, menurut Zulfiqor (2010),
keluhan MSDs berbanding lurus dengan bertambahnya masa kerja. Hal ini
77
78
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendra dan Rahardjo (2009),
pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,775
kali dibandingkan pekerja dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Rihiimaki et al (1989)
dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan
yang kuat dengan keluhan otot.
Status gizi dapat mempengaruhi kejadian MSDs. Berdasarkan data yang
telah didapatkan, sebagian besar pekerja PT GDS yang menjadi responden yaitu
sebesar 88% memiliki status gizi normal jika dilihat dari IMT. Status gizi dapat
dilihat dari index masa tubuh seseorang. Meskipun pengaruhnya relatif kecil,
tinggi badan dan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya keluhan otot skeletal. Schierhout (1995) menemukan bahwa
seseorang yang mempunyai ukuran tubuh yang pendek berasosiasi dengan
keluhan pada leher dan bahu (Karuniasih, 2009). Berdasarkan penelitian
Heliovara (1987) yang dikutip NIOSH (1997) menyebutkan bahwa tinggi
seseorang berpengaruh terhadap timbulnya herniated lumbar disc pada jenis
kelamin wanita dan pria, tapi berdasarkan IMT hanya berpengaruh pada jenis
kelamin pria.
Berdasarkan hasil survei oleh Annuals of Rheumatic Diseases diperoleh
hubungan antara perokok dengan munculnya keluhan MSDs dan dilaporkan
bahwa perokok memiliki risiko 50% lebih besar untuk merasakan MSDs
(Tarwaka, 2004). Dari data yang telah didapat, diketahui bahwa 92% responden
merupakan perokok, dan sisanya yaitu 8% bukan perokok. Saat masih berusia
muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses
78
79
pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun saat melewati umur 35 tahun efek
rokok pada tulang akan mulai terasa karena proses pembentukan tulang pada
umur tersebut sudah berhenti (Boisvert, 2009).
Perokok juga beresiko mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan
tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Bila darah sudah tersumbat, maka
proses pembentukan tulang sulit terjadi. Hal ini dapat terjadi karena nikotin pada
rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu,
merokok dapat pula menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau
kerusakan pada tulang (Bernard et al, 1997).
Berdasarkan hasil Identifikasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa semua responden (100%) mengalami keluhan MSDs. Bagian-bagian
tubuh yang paling banyak dikeluhkan responden adalah bagian leher bagian atas,
terdapat 20 keluhan pada area ini hal ini dikarenakan pekerja selalu
menundukkan kepala dan membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi untuk
mengatur mata gas potong sesuai dengan orderan.
Menurut Sim et al (2006) risiko terjadinya nyeri leher dan ekstermitas
atas akan meningkat sebesar 44% pada pekerjaan posisi leher menunduk dalam
waktu lama, pekerjaan mengangkat obyek yang berat secara berulang , bekerja
dangan lengan pda atau di atas tinggi bahu, dan duduk lebih dari 95% jam kerja.
Keluhan berikutnya pada bahu kanan sebanyak 13 keluhan, hal ini
dikarena para operator bekerja mengangkat alat potong fortable, dari analisa
peneliti banyak operator yang mengangkat hanya dengan menggunakan satu
tangan saja, sehingga terjadi perbedaan keluhan antara bahu kanan dan bahu kiri.
79
80
Terdapat 19 keluhan pada area punggung dan 20 keluhan pada daerah
pinggang. Hal ini diakibatkan posisi kerja yang tidak alamiah, pekerja bekerja
dengan cara membungkuk dan menjongkok. Menurut Idyan (2006) pekerja yang
mengeluhkan nyeri dibagian punggung bawah (low back pain) termasuk salah
satu gangguan muskuloskletal yang sering terjadi di perusahaan yang di
akibatkan dari mobilisasi yang salah. Pada dasarnya nyeri pada punggung bawah
timbul akibat terjadinya tekanan pada saraf tepi daerah pinggang.
Menurut Tarwaka (2005), beberapa hal yang dapat mempengaruhi
timbulnya nyeri punggung bawah adalah kebiasaan duduk, bekerja membungkuk
dalam waktu yang relatif lama, ,megangkat dang mengangkut beban dengan
sikap yang tidak ergonomis, tulang belakang yang tidak normal, atau akibat
penyakit tertentu sseperti penyakit degeneratif.
Menurut analisis penulis banyaknya keluhan nyeri pada operator Gas
Cutting Plate pada bagian leher bagian atas, bahu kanan, punggung, dan
pinggang. Di sebabkan oleh pekerjaan operator gas cutting plate bekerja dengan
cara mendorong, menarik mengangkat dan menurunkan alat potong plate secara
manual handling.
Hasil ini sejalan dengan pendapat Sastrowinoto (1985) yang menyatakan
bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk biasanya bagian tubuh
yang dikeluhkan adalah pada bagian pinggang, punggung, dan leher. Hal ini juga
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ikrimah (2009) yang menyatakan
bahwa pada pekerja penjahit, prevalensi gangguan MSDs paling tinggi terjadi
pada bagian leher dan punggung. Keluhan tersebut terjadi karena sikap kerja
80
81
yang membungkuk dengan gerakan-gerakan memutar pada daerah pinggang,
leher menunduk, posisi kaki tertekuk maksimal, dan gerakan repetitif tanpa
diselingi istirahat yang cukup.
Macam-macam keluhan yang dirasakan oleh pekerja disebabkan faktor
resiko MSDs yang memajan tubuhnya. Tiap bagian tubuh memiliki risiko
ergonomi dan gangguan kesehatan yang dapat melemahkan fungsi tubuh dan
penurunan kinerja pekerja. Bagian-bagian tubuh seperti tangan, leher, bahu,
punggung, dan kaki merupakan bagian tubuh yang sering digunakan pekerja
dalam melakukan pekerjaannya (NIOSH, 2007).
Beberapa teori dan hasil penelitian telah menyatakan bahwa ada beberapa
faktor yang berhubungan dengan keluhan MSDs pada pekerja diantaranya
resiko/faktor pekerjaan dan faktor individu (umur, indeks masa tubuh, masa
kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, dan riwayat penyakit MSDs).
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan dengan kuisisoner Nordic Body
map maka didapati total skor keluhan individu, sebanyak 21 responden (84%)
termasuk pada kategori risiko rendah sehinga menurut Tarwaka (2004) tindakan
perbaikan bagi pekerja yang memilik total skor keluhan individu 0-20 atau yang
memiliki risko rendah belum memerlukan adanya tindakan perbaikan. Namun
terdapat 1 responden 4% memiliki risiko tinggi. Hal ini memberiakan gambaran
bagi perusahan untuk memberiakan pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja
tersebut.
81
82
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil Identifikasi Keluhan MSDs yang telah dilakukan terhadap
25 operator gas cutting plate di bagian Gas Cutting Plate PT. Gunawan Dianjaya
Steel Tbk, Surabaya. tahun 2015 didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Total 25 responden semua responden (100%) mengalami keluhan MSDs.
2. Area yang paling banyak dikeluhakan adalah area Leher bagian Atas, Bahu
Kanan, Punggung dan Pinggang
3. Dari Penjumlahan metode Nordic Body Map didapati sebagian besar
responden memiliki kategori risiko rendah.
4. Berdasarkan data karakteristik resPponden, didapat bahwa:
a. Berdasarkan usia, responden terbanyak berusia 41-50 tahun
b. Berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT), kelompok responden dengan
IMT normal (18,5-25).
c. Berdasarkan masa kerja, responden termasuk pada masa kerja yang lama
(>10 tahun).
d. Berdasarkan kebiasaan merokok, seagian besar responden memiliki
kebiasaan merokok.
82
83
6.2. Saran
6.2.1. Bagi Pekerja
a. Meskipun pada hasil identifikasi keluhan MSDs pada seagian besar
operator memiliki kategori risiko termasuk pada kategori rendah,
disarankan kerpada pekerja secara rutin melakukan peregangan otot
sebelum bekerja.
b. Pekerja sebaiknya melakukan istirahat atau peregangan disaat sudah mulai
merasakan stres pada otot tubuh.
c. Melihat dari hasil penelitian sebagian besar pekerja memiliki kebiasaan
merokok disarankan pada pekerja untuk mengurangi kebiasaan merokok
karena kebiasaan merokok menjadi salah satu faktor terjadinya gangguan
Muskuloskletal.
d. Jika pekerja mengalami keluhan MSDs dianjurkan untuk langsung
memeriksakan diri ke dokter agar mendapat pengobatan medis.
6.2.2. Bagi Perusahaan
a. Melihat besarnya dampak dari faktor pekerjaan, sebaiknya perusahaan
melakukan intervesi ergonomi dengan cara mendesain kursi kerja yang
mempunyai sandaran kursi atau menggunakan back support guna
meminimalisir keluhan MSDs.
83
84
b. Untuk menghindari terjadinya keluhan MSDs akibat dari risiko pekerjaan
dapat dilakukan dengan menghimbau pekerja untuk melakukan istirahat
disaat pekerja sudah mulai merasakan stres pada otot tubuh.
c. Perusahaan dapat melakukan rotasi pekerjaan untuk menghindari stres
pada otot tubuh.
d. Secara administratif dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan atau
training pada pekerja mengenai resiko pekerjaan dan tata cara bekerja
yang sesuai dengan prinsip ergonomi serta pihak perusahaan dapat
membuat SOP yang dapat digunakan oleh pekerja untuk menciptakan
sistem kerja yang aman, nyaman, dan tetap sehat bagi pekerja saat bekerja.
e. Perusahaan dapat menyelenggarakan pelatihan yang bertujuan untuk
mengurangi kebiasaan merokok pada pekerja, potensi bahaya postur
janggal ketika bekerja, motivasi untuk melakukan sikap kerja yang
ergonomis ketika bekerja, dan pentingnya waktu istirahat atau peregangan
(relaksasi) ketika bekerja ataupun setelah bekerja
f. Untuk mencegah keluhan MSDs yang diakibatkan kurangnya kebiasaan
olahraga, perusahaan harus mewajibkan pekerjanya untuk melakukan
senam sebelum bekerja dan memberikan sanksi bagi pekerja yang tidak
mengikuti senam pagi yang diselenggarakan oleh perusahaan.
g. Melakukan pemeriksaan medis terkait keadaan otot dan tulang pekerja
(keluhan MSDs).
84