Click here to load reader
Upload
era-dwita
View
268
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Preeklamsia
Preeklamsia merupakan sindrom spesifik - kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003). Preeklamsia
terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak terlihat pada umur
kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada pertengahan
kehamilan. Preeklamsia dapat berkembang dari preeklamsia yang ringan sampai
preeklamsia yang berat (George, 2007).
B. Epidemiologi Preeklamsia
1. Insiden Preeklamsia
Frekuensi preeklamsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor
yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklamsia sekitar 3-10%
(Triatmojo, 2003), sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian
preeklamsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu 23,6 kasus per 1.000 kelahiran
(Dawn C Jung, 2007). Pada primigravida frekuensi preeklamsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Sudinaya (2000)
mendapatkan angka kejadian preeklamsia dan eklamsia di RSU Tarakan Kalimantan
Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000
sampai 31 Desember 2000, dengan preeklamsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan
eklamsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun
dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya preeklamsia (Trijatmo, 2005). Peningkatan kejadian preeklamsia
pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya hipertensi kronik yang tidak
terdiagnosa dengan superimposed PIH (Campbell, 2006). Di samping itu,
4
preeklamsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, dkk (1999) mendapatkan angka
kejadian dari 30 sampel pasien preeklamsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung
paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga
paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus.
Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal,
maka memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklamsia
(13 % : 5 %) yang secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan
kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan
kehamilan tunggal (Cunningham, 2003).
C. Faktor Risiko Preeklamsia
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklamsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklamsia. Faktor risiko tersebut meliputi :
1. Riwayat preeklamsia
Seseorang yang mempunyai riwayat preeklamsia atau riwayat keluarga
dengan preeklamsia maka akan meningkatkan risiko terjadinya preeclampsia
2. Primigravida
Pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking antibodies)
belum sempurna sehingga meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia.
Perkembangan preeklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan
kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua.
3. Kehamilan ganda
Preeklamsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi kembar
atau lebih.
4. Riwayat penyakit tertentu
Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu sebelumnya, memiliki
risiko terjadinya preeklamsia. Penyakit tersebut meliputi hipertensi kronik, diabetes,
penyakit ginjal atau penyakit degeneratif seperti reumatik arthritis atau lupus.
5
D. Etiologi Preeklamsia
Etiologi preeklamsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan
penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Teori sekarang yang dipakai
sebagai penyebab preeklamsia adalah teori “iskemia plasenta”. Kelemahan teori ini
yaitu belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.
Adapun teori-teori tersebut adalah ;
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia dan eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh
trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi
aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi
plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma.
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna. Pada preeklamsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
3. Peran Faktor Genetik
Preeklamsia hanya terjadi pada manusia. Preeklamsia meningkat pada anak
dari ibu yang menderita preeklamsia.
4. Iskemik dari uterus.
Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus
5. Defisiensi kalsium.
Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan vasodilatasi
dari pembuluh darah (Joanne, 2006).
6. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
patogenesis terjadinya preeklamsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang
6
mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil
dengan preeklamsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester
pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan
kehamilan (Bobak, 2004)
E. Patofisiologi Preeklamsia
Pada preeklamsia yang berat dan eklamsia dapat terjadi perburukan patologis
pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan
iskemia (Cunningham et al, 2003). Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat
mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti
prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi
platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis
ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.
Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan
peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan
volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan
pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan
trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim (Michael, 2005). Perubahan pada
organ-organ meliputi :
1. Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklamsia
dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang
secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan
aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru
(Cunningham, 2003).
2. Metabolisme air dan elektrolit
7
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui
penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita
preeklamsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan
hipertensi kronik. Penderita preeklamsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna
air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun,
sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan
protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklamsia. Konsentrasi
kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal (Trijatmo,
2005 ).
3. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu
dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan
salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang
menunjukan tanda preeklamsia berat yang mengarah pada eklamsia adalah adanya
skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan
preedaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau di dalam retina
(Rustam, 1998).
4. Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan (Trijatmo,
2005).
5. Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta,
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi
gawat janin. Pada preeklamsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim
dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi partus prematur.
6. Paru-paru
Kematian ibu pada preeklamsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema
paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi
pneumonia, atau abses paru (Rustam, +++).
8
F. Gambaran Klinis Preeklamsia
1. Gejala subjektif
Pada preeklamsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada preeklamsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklamsia akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih
tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat (Trijatmo, 2005).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan
sistolik 30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari
140/90mmHg. Tekanan darah pada preeklamsia berat meningkat lebih dari 160/110
mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan
takikardia, takipnu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati,
hiperefleksia, pendarahan otak (Michael, 2005).
3. Diagnosis Preeklamsia
Diagnosis preeklamsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklamsia dapat
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu :
a. Preeklamsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut.
Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan
riwayat tekanan darah normal. Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau
kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstream.
b. Preeklamsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut.
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
9
3) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
4) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Trombositopeni
7) Gangguan fungsi hati
8) Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004).
4. Penatalaksanaan Preeklamsia Berat
a. Penanganan umum
1) Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan
diastolik diantara 90-100 mmHg
2) Pasang infus RL (Ringer Laktat)
3) Ukur keseimbangan cairan, jangan sapai terjadi overload
4) Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria
5) Jika jumlah urin < 30 ml perjam
6) Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam
7) Pantau kemungkinan edema paru. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang
disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin
8) Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam
9) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi merupakan tanda
edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan berikan
diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena
10) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan tidak
terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulapati (Abdul Bari,
2001).
b. Antikonvulsan
10
Pada kasus preeklamsia yang berat dan eklamsia, Magnesium Sulfat yang
diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan
depresi susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan
secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskular dengan injeksi intermiten.
Infus intravena kontinu.
1) Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml cairan dan
diberikan dalam 15-20 menit.
2) Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan intravena.
3) Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan kecepatan
infuse untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-8,4 mg/l).
4) MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.
5) Injeksi intramuskular intermiten:
a) Berikan 4 gram MgSO4 sebagai larutan 20% secara intravena dengan
kecepatan tidak melebihi 1 g/menit.
b) Lanjutkan segera dengan 10 gram MgSO4 50%, sebahagian (5%) disuntikan
dalam di kuadran lateral atas bokong (penambahan 1 ml lidokain 2 % dapat
mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan MgSO4
sampai 2 gram dalam bentuk larutan 20% secara intravena dengan kecepatan
tidak melebihi 1g/menit. Apabila wanita tersebut bertubuh besar, MgSo4
dapat diberikan sampai 4 gram perlahan.
c) Setiap 4 jam sesudahnya, berikan 5 gram larutan MgSO4 50% yang
disuntikan dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi
setelah dipastikan bahwa:
Refleks patela (+)
Tidak terdapat depresi pernapasan
Pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml • MgSO4
dihentikan 24 jam setelah bayi lahir
Siapkan antidotum
11
d) Jika terjadi henti napas, berikan bantuan dengan ventilator atau berikan
Kalsium Glukonas 2 g (20 ml dalam larutan 10%) secara intravena perlahan-
lahan sampai pernapasan mulai lagi.
c. Antihipertensi
1) Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan
selama 5 menit sampai tekanan darah turun.
2) Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5
intramuskular setiap 2 jam.
3) Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan :
a) Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.
b) Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak
membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 20 mg
intravena (Cunningham, 2003).
d. Persalinan
Pada preeklamsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam. Jika seksio
sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa tidak terdapat koagulopati. Anestesi yang
aman/terpilih adalah anastesia umum. Jangan lakukan anastesia lokal, sedangkan
anestesia spinal berhubungan dengan hipotensi.
G. Penatalaksanaan Preeklamsia Berat Menurut Protap RSUP Sanglah
1. Pengertian
a. Batasan
Suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi lebih atau
sama dengan 160/110 mmHg disertai protein uria pada umur kehamilan 20 minggu
atau lebih.
b. Gejala Klinis
Bila didapatkan satu atau lebih gejala di bawah ini :
12
1) Tekanan darah sistole lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastole lebih
atau sama dengan 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak turun walaupun ibu
hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring.
2) Protein uria lebih dari 5 gram dalam 24 jam atau kualitatif +4 (++++).
3) Oliguria, jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang
disertai kenaikan kadar kreatinin darah.
4) Adanya keluhan subjektif :
a) Gangguan visus : mata berkunang – kunang
b) Gangguan serebral : kepala pusing
c) Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen
d) Hiperrefleksia
5) Adanya sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low Platelet
count).
6) Sianosis
7) PJT
c. Diagnosis
1) Umur kehamilan 20 minggu atau lebih
2) Didapatkan satu atau lebih gejala – gejala pre-eklamsia berat
3) Diagnosa banding
a) Hipertensi kronik dalam kehamilan
b) Kehamilan dengan sindroma nefrotik
c) Kehamilan dengan payah jantung
2. Tujuan
a. Mampu membuat diagnosa PE berat
b. Mampu merawat penderita dengan PE berat
c. Mampu menangani persalinan dengan PE berat
d. Mampu menangani bayi yang lahir dengan ibu PE berat
e. Mencegah terjadinya Eklamsia
f. Mencegah komplikasi pada ibu dan anak
13
1) Menurunkan AKB dan AKI
3. Kebijakan
a. Pelayanan dilaksanakan oleh residen yang kompeten untuk kasus ini sesuai
dengan jenjang pendidikan dengan bimbingan konsultasi jaga atau supervisor
ruangan.
b. Pada kasus – kasus yang khusus perawatan atau penanganan pasien agar
dikonsulkan dengan ke sub bagian Feto Maternal atau Bag/SMF lain terkait.
4. Prosedur
a. Perawatan Konservatif
1) Bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa adanya tanda – tanda
impending Eklamsia atau keluhan subjektif dengan keadaan janin baik.
2) Pengobatan dilakukan di kamar bersalin (selama 24 jam)
a) Tirah baring
b) Infus Ringer Laktat yang mengandung 5% Dekstrosa, 60-125 cc/jam.
c) Pemberian MgSO4 :
Dosis awal MgSO4 20%, 4 gr IM, dilanjutkan dengan MgSO4
50%, 5 gr IM
Dosis pemeliharaan : MgSO4 50%, 5 gr tiap 4 jam sampai 24 jam
Ingat harus selalu tersedia Kalsium Glukonas 10% sebagai
antidotum
d) Diberikan antihipertensi, yang digunakan adalah :
Bila sistole lebih atau sama dengan 180 mmHg atau diastole lebih
atau sama dengan 110 mmHg digunakan injeksi satu ampul
Clonidin yang dlarutkan dengan 10 cc larutan. Mula – mula
disuntikkan 5 cc perlahan – lahan selama 5 menit, 5 menit
kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka
diberikan lagi 5 cc IV dalam 5 menit sampai tekanan darah diastole
norma, dilanjutkan dengan Nifedipin 3x10 mg
14
Bila tekanan darah sistole kurang dari 180 mmHg dan diastole
kurang dari 110 mmHg antihipertensi yang diberikan adalah
Nifedipin 3x10 mg
e) Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu (fungsi hati dan ginjal)
dan jumlah produksi urine 24 jam.
f) Konsultasi dengan bagian penyakit dalam, bagian mata, bagian
jantung dan bagian lain sesuai dengan indikasi
3) Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (selama
24 jam di ruang bersalin)
a) Tirah baring
b) Medikamentosa
c) Pemeriksaan Laboratorium :
Darah lengkap dan hapusan darah tepi
Homosistein
Fungsi ginjal dan hati
Urine lengkap
Produksi urine 24 jam, penimbangan BB setiap hari/indeks
gestosis
Diet biasa
Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (USG/NST/Doppler USG)
4) Perawatan konservatif dianggap gagal bila :
a) Adanya tanda – tanda impending eklamsia (keluhan subjektif)
b) Kenaikan progresif dari tekanan darah
c) Adanya sindroma HELLP
d) Adanya kelainan fungsi ginjal
e) Penilaian kesejahteraan janin jelek
5) Penderita boleh pulang jika :
Penderita sudah mencapai perbaikan dengan tanda – tanda preeklamsia
ringan, perawatan dilanjutkan sekurang – kurangnya 3 hari lagi
15
6) Bila keadaan penderita tetap, dilakukan pematangan paru dilanjutkan
dengan terminasi
b. Perawatan Aktif
1) Indikasi
a) Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek
b) Adanya keluhan subjektif
c) Adanya sindroma HELLP
d) Kehamilan aterm (lebih atau sama dengan 37 minggu)
e) Apabila perawatan konservatif gagal
f) Dalam 24 jam setelah pengobatan konservatif di kamar bersalin tekanan
darah tetap lebih atau sama dengan 160/110 mmHg
2) Pengobatan Medisinal
a) Segera rawat inap
b) Tirah baring miring ke satu sisi
c) Infus RL yang mengandung Dekstrosa 5% dengan 60-125 cc/jam
d) Pemberian anti kejang MgSO4
e) Pemberian antihipertensi berupa Clonidin IV, dilanjutkan dengan
Nifedipin 3x10 mg atau Metildopa 3x250 mg, dapat dipertimbangkan bila
:
Sistole lebih atau sama dengan 180 mmHg
Diastole lebih atau sama dengan 110 mmHg
3) Pengobatan Obstetrik
a) Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif, pada setiap penderita
dilakukan pemeriksaan kesejahteraan janin
b) Tindakan Sectio Cesaria dilakukan bila :
Hasil kesejahteraan janin jelek
Penderita belum inpartu dengan PS jelek (kurang dari 5)
Kegagalan drip Okstosin
c) Induksi dengan drip Oksitosin dikerjakan bila NST baik dan PS baik
16
d) Pada PE berat persalinan harus terjadi dalam 24 jam
17