Upload
vuongthuy
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK
Dalam bab ini, penulis hendak mendiskusikan mengenai prinsip erga
Omnes sebagai salah satu efek keberlakuan dari putusan MK. Ketika MK
membacakan putusan, tidak hanya subjek berperkara saja yang terikat melainkan
semua lembaga negara seperti badan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif harus
tunduk pada isi putusan MK tersebut. Prinsip ini melindungi MK selaku lembaga
negara yang berwenang menguji undang-undang untuk dapat menjalankan tugas
dengan semestinya tanpa intervensi dari lembaga negara lainnya. Oleh karena itu,
hubungan antar lembaga negara dan kekuasaan kehakiman menjadi faktor penting
para hakim dalam mengeluarkan putusan yang akan menjadi perhatian utama
penulis dalam bab ini.
Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun
sebagai berikut. Pertama, mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (Infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan implikasi dari prinsip erga
omnes pada putusan Mahkamah Konstitusi (Infra Sub-Judul B). Ketiga,
menguraikan hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan pemerintahan yang
lain (Infra Sub-Judul C).
A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah
melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mendapatkan kewenangan khusus
yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan yudisial dalam kerangka sistem check
11
and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan, dimana eksistensi
mengenai pengujian konstitusionalitas undang-undang menjadi jelas. Untuk
menjabarkan lebih lanjut mengenai pembentukan MK, maka penulis akan
menjabarkan dalam sistematika penulisan sebagai berikut. Pertama, mengenai
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman (Infra Sub-Judul 1).
Kedua, mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas
UU dibawah UUD 1945 (Infra Sub-Judul 2).
1. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman
Kelahiran Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sejarah baru dalam ranah
kekuasaan kehakiman di Indonesia. MK memiliki kewenangan khusus yang
merupakan salah satu bentuk judicial control dalam rangka sistem check and
balances diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Dasar hukum
penbentukan MK terkandung dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa : “kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah agung dan
badan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.” Kemudian diatur lebih lanjut pada peraturan
peralihan dalam Pasal III yang berbunyi “mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-
lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Atas amanat pasal 24 ayat (2) tersebut, untuk
mengatur segala tindakan Mahkamah Konstitusi, legislatif mengeluarkan UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK terbentuk lewat
perubahan ketiga UUD 1945 sebagai badan yudisial atau badan kehakiman. Artinya
hal kekuasaan yang terkandung pada MK masuk dalam bab kekuasaan kehakiman.
12
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.1 Dalam berjalannya suatu negara hukum, diperlukan adanya
pemisahan kekuasaan pemerintahan. Pemisahan kekuasaan ini dibagi menjadi 3
kategori yang dikenal dengan konsep trias politica. Konsep trias politica adalah
pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan
Yudisial. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Jhon Locke dan
disempurnakan oleh Montesquieuse hingga sekarang lebih dikenal dengan teori
pemisahan kekuasaan (separation of power). Pemerintah menerapkan prinsip
pemisahan kekuasaan pada cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudisial agar terwujudnya saling kontrol dan keseimbangan satu sama lain (check
and balances), dimana organ-organ pemerintah tidak lagi terstruktur secara
hierarki, tetapi terstruktur menurut fungsinya. Oleh karena itu, pada amandemen
ketiga UUD 1945 pemerintah membentuk Mahkamah Konstitusi agar tercapainya
cita-cita tersebut.
MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat
ditegakkan sebagaimana mestinya. Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar
1945 adalah tonggak konstitusional bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the
1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
13
constitution.2 Itu menjadi salah satu bukti bahwa pemisahan kekuasaan (separation
of power) dalam struktur lembaga negara Indonesia terealisasi dengan baik.
Fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah menjaga Konstitusi untuk
menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Salah satu bentuk dari konstitusi
untuk menegakan konstitusionalitas ialah dengan melakukan pengujian undang-
undang dalam ketatanegaraan Indonesia. Agar MK dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, Menurut Jimly Asshidiqie, menyatakan :
“Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai
pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. MK bertugas
mendorong dan menjamin agar konstitusi di hormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan
bertanggung jawab. Di tengah kelemahan system konstitusi yang
ada, MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup
dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.3
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi menjamin
agar tidak ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-
hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal
konstitutionalitasnya.
2. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Wewenang yang dimiliki oleh badan pemerintahan atau lembaga negara
dalam melakukan perbuatan, mengadakan pengaturan, atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
2 Rimdan,Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi,kencana, jakarta, 2012, Hal. 163 3 Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, sebagai institusi peradilan Konstitusi yang modern dan Terpercaya, Sekertariat Jenderal MKRI, 2004, hal.iv. dikutip dari Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, penerbit Konstitusi Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Juni 2005,hal.12.
14
atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang
asli atas dasar konstitusi (UUD 1945) atau ketentuan hukum tata negara. Pada
kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ
pemerintahan yang lain. Sedangkan mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam
arti pemberian wewenang. Akan tetapi pejabat yang diberi mandat bertindak atas
nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat
menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi ataupun mandat, J.G. Brouwer
dan A.E Schhilder, menyatakan:
a. With attribution, power is granted to an administrative auyhority by an
independent legislatif body. The power is initial (originair), which is to say
that is not derived from a previously existing power. The legislatif body
creates independent and previously nonexistent powers and assigns them to
an authority;
b. Delegation is the transfer of an acquired attribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that has
acquired the power) can exercise power in its own name;
c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns
power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.4
J.G. Brouwer berpendapat pada atribusi, kewenangan diberikan kepada
suatu organ pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang
independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang
ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan
4 J.G. Brouwer dan A.E Schhilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars AeguiLibri,
Nijmegen, 1998, hlm.16-18 dikutip dari Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi
dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm.218.
15
perluasan kewenangan dari sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan
atribusi dari suatu organ pemerintahan atau lembaga negara kepada organ lainnya
sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji
kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu pemindahan
kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada
orang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu
tindakan atas namanya. 5
Kewenangan harus dilandasi oleh suatu konstitusi ataupun ketentuan
hukum, sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan
demikian organ pemerintahan atau lembaga negara yang akan mengeluarkan
keputusan dapat didukung oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa adanya suatu kewenangan, maka organ pemerintah
tidak dapat mengeluarkan suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
MK diberi kewenangan dan juga kewajiban yang bersumber dari UUD 1945
yang diatur dalam Pasal 7A, 7B dan 24C yang selanjutnya dijabarkan dengan UU
MK. Kewenangan MK tersebut untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final , antara lain :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Op.cit., hlm.217.
16
Wewenang a dan b merupakan wewenang utama, sedangkan wewenang (c)
dan (d) merupakan wewenang tambahan (accesoir). Adapun kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
Secara filosofis ide dasar pembentukan MK adalah untuk menciptakan
sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas pemisahan
kekuasaan (separation of power) secara fungsional dan menerapkan prisip “check
and balances” untuk menggantikan secara bertahap penggunaan prinsip
pendistribusian kekuasaan (Distribution of Power) dan paham integralisme dari
lembaga tinggi negara, dengan alasan sebagai berikut: 6
a. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata
kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur dan
berkeadilan;
b. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha
menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai
dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan oleh
UUD 1945;
c. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal
24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian
hakim konstitusi, hukum acara dan ketentuan lainnya diatur
dalam undang-undang.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, MK mempunyai fungsi sebagai penjaga
konstitusi agar dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
6 Ibid., hlm.167-168.
17
demokrasi. Keberadaan MK ini juga untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan multitafsir terhadap konstitusi.
Dalam kaitannya dengan wewenang MK tersebut penulis akan langsung
menuju pembahasan terkait wewenang MK yang pertama, yaitu menguji undang-
undang terhadap UUD NRI 1945. Setelah diundangkannya Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut
Undang-undang MK, maka jenis amar putusan MK terhadap permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dapat berupa :7
a. jika undang-undang yang dimintakan uji adalah undang-undang setelah
perubahan pertama UUD NRI 1945 dan tidak ada hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan, amar putusan MK adalah permohonan
tidak dapat diterima. Jika MK menyatakan permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan diterima dan menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
b. Dalam hal pembentukan undang-undang tidak memenuhi syarat ketentuan
pembentukan undang-undang ataupun materi sebagian atau keseluruhan
menurut UUD NRI 1945, maka amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan. Demikian pula sebaliknya, jika memenuhi syarat, amar putusan
menyatakan menolak.
c. Konsekuensi hukum terhadap putusan MK yang amar putusannya
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-
7 Ibid., hlm.306.
18
undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
mengikat dan wajib diumumkan dalam berita negara dalam jangka waktu tiga
puluh hari kerja sejak putusan diucapkan serta disampaikan kepada DPR,
DPRD, Presiden dan Mahkamah Agung.
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang
yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 pertama kali
diubah sejak bulan oktober 1999, sedangkan Mahkamah Konstitusi dapat
melakukan pengujian konstitusional undang-undang setelah diundangkannya
Undang-Undang MK. Ini berarti MK menetapkan asas retroaktif, karena dapat
menguji undang-undang yang ada sebelum kewenangannya muncul. Tetapi hal ini
dibatasi legislator dengan Pasal 50 Undang-Undang MK, yang menyatakan
“Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Tetapi dalam keberlakuannya, melalui putusan MK
Nomor 004/PUU-I/2003, MK mengesampingkan Pasal 50 Undang-Undang MK
tersebut. Dan melalui putusan Nomor 066/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi
menyatakan pasal 50 Undang-Undang MK tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat atau inkonstitusional.
Dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, Mahkamah Konstitusi
bertindak melakukan koreksi atas undang-undang yang melanggar atau
bertentangan dengan HAM, baik yang dijamin secara eksplisit maupun yang
unenumerated. Hal ini dilakukan dengan konsekuensi yuridis bahwa undang-
undang secara keseluruhan atau secara parsial tidak lagi memiliki kekuatan
19
mengikat. Dalam skema UUD NRI 1945 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
dengan Undang-Undang MK, bentuk perlindungan HAM ratione temporis yang
diberikan oleh MK bersifat ex post. Artinya, koreksi tersebut hanya ditujukan pada
undang-undang, bukan rancangan undang-undang.8
MK mempunyai fungsi sebagai penjaga konstitusi agar dilaksanakan sesuai
dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan MK ini juga untuk
menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil, dan juga merupakan koreksi
terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan
multitafsir terhadap konstitusi. Lebih lanjut, mengenai hukum acara MK yang
diatur dalam Undang-Undang MK, MK diberi wewenang untuk melengkapi hukum
acara sesuai dengan Pasal 86 dan Penjelasan Undang-Undang MK. Hukum acara
harus dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang MK untuk kelancaran
pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pembahasan diatas, maka
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 merupakan hal yang sesuai dengan konstitusi sepanjang tidak
bertentangan dengan konstitusi dan untuk menjamin prinsip-prinsip negara hukum
yang berbasis hak, pemisahan kekuasaan dan demokrasi. Sehingga menurut
Lotulung dalam rangka constitutional review ini, hakim berhak melarang dan
membatalkan tindakan pemerintah yang: 9
a. Dilakukan secara sewenang-wenang (arbitrary), semau-
maunya dan berganti-ganti (capricious), penyalahgunaan
wewenang diskresioner (abuse of discretion) dan lain-lain
tindakan yang tidak sesuai dengan hukum;
8 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi, PT.Alumni, Bandung, 2013 ,hlm.123.
9 Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah,
Penerbit Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.79.
20
b. Bertentangan dengan hak-hak konstitusional, bertentangan
dengan wewenang/kekuasaan, previlege atau imunitas;
c. Melampaui batas wewenang yang telah ditetapkan dalam
undang-undang atau tidak didasarkan pada suatu hak apapun;
d. Dilakukan tanpa memperhatikan atau menuruti prosedur yang
telah ditentukan oleh hukum; dan
e. Tidak didukung oleh kebenaran di dalam fakta-fakta persoalan
yang bersangkutan yang merupakan suatu “substansial
evidence” dalam tindakan pemerintahan tersebut.
Lebih lanjut, mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam
Undang-Undang MK, Mahkamah konstitusi diberi wewenang untuk melengkapi
hukum acara sesuai dengan Pasal 86 dan Penjelasan Undang-Undang MK. Hukum
acara harus dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang MK untuk kelancaran
pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi.
B. Implikasi Asas Erga Omnes Pada Putusan Mahkamah
Konstitusi
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan tentang Asas Erga Omnes
sebagai asas tentang kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi. Asas Erga
Omnes menjadi tombak Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan prinsip Check
and Balances pada tahap hubungan antar lembaga negara. Kekuatan mengikat
putusan MK sejatinya tidak lepas hanya pada kedua belah pihak yang bersangkutan,
melainkan semua badan pemerintahan, lembaga negara , dan semua orang harus
tunduk pada Putusan MK. Oleh karena itu, putusan MK dapat dikatakan sebagai
Undang-Undang bahkan Konstitusi.
Sehubungan dengan deskripsi diatas, penulis akan menjabarkan dalam
sistematika penulisan sebagai berikut. Pertama, hakikat asas erga omnes pada
21
putusan MK (Infra Sub-Judul 1). Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi sebagai
“Undang-Undang” (Infra Sub-Judul 2).
Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut Erga Omnes.10 Secara
harafiah, asas erga Omnes bermakna “terhadap / untuk semua”, yang menjelaskan
makna erga omnes dalam perspektif hukum internasional. Hal itu nampak dalam
pendapat Christian J.Tams : “Translated literally, ‘erga omnes’ means ‘against all’,
‘between all’, or ‘as opposed to all’. An obligation of international law that has
erga omnes effects thus applies between all, or to all, others – presumably all other
members of the international community, or, as the Court put it, to the international
community as a whole”,.11 (diterjemahkan secara harfiah, 'erga omnes' berarti
'terhadap semua', 'antara semua', atau 'karena bertentangan dengan semua'.
Kewajiban hukum internasional yang memiliki efek erga omnes sehingga berlaku
antara semua, atau semua, orang lain - mungkin semua anggota lain dari komunitas
internasional, atau Mahkamah meletakkannya untuk masyarakat internasional
secara keseluruhan). Pengertian dari against all ialah bahwa suatu putusan berlaku
untuk semua. Jika terkait dengan putusan MK implikasi dari against all ialah
berlaku dan mengikat bagi semua orang, tidak hanya meliputi pihak-pihak
berperkara yaitu pemohon dan termohon, akan tetapi semua lembaga negara dan
badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia tunduk pada putusan tersebut.
1. Hakikat asas Erga Omnes pada Putusan MK
10 Maruaraar Siahaan,Op.Cit, hal.214 11 J.Tams Christian, Enforcing Obligations Erga Omnes In International Law, Cambridge Univercity Press, UK, 2005, hlm.101
22
Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang
menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga
bagi pembentukan undang-undang dan interprestasi undang-undang tersebut.
Menurut Bellefroid asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan
yang lebih umum.12
Menurut Sudarsono yang dimaksud dengan asas yaitu :
1. Hukum dasar
2. Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat).
3. Dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi).13
Bagi pembentukan hukum, asas-asas hukum memberikan landasan secara
garis besar mengenai ketentuan-ketentuan yang perlu dituangkan di dalam aturan
hukum. Di dalam penerapan hukum asas-asas hukum sangat membantu bagi
digunakannya penafsiran dan penemuan hukum maupun analogi. Sedangkan bagi
perkembangan ilmu hukum asas hukum mempunyai kegunaan karena di dalam
asas-asas hukum dapat ditunjukkan berbagai aturan hukum yang pada tingkat yang
lebih tinggi sebenarnya merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itulah dapat
disimpulkan bahwa asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang berisikan
nilai-nilai yang menjadi acuan dalam berfikir tentang hukum. Asas hukum tersebut
bersifat abstrak dan ketika asas hukum tersebut dikonkritkan dalam suatu putusan
hakim maka akan terwujud suatu aturan yang harus ditaati oleh semua orang.
12 Sudikno Mertokusumo, Penerbit hukum sebuah pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,2009,hal.5. 13 Sudarsono, Kamus Hukum Edisi Baru, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan kelima, 2007,hal.37.
23
Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengapa asas Erga Omnes sebagai
dasar efek keberlakuan putusan MK. Menurut penulis hakikat asas Erga Omnes
pada putusan MK ialah bagaimana semua orang dapat menerima bahwa mahkamah
konstitusi merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
Artinya, MK sebagai peradilan pada tingkat pertama dan terakhir menimbulkan
konsekuensi bahwa tidak ada mekanisme hukum di peradilan lain yang dapat
membanding atau mengoreksi putusan tersebut, oleh sebab itu bukan hanya para
pihak saja yang terikat oleh putusan MK tersebut melainkan semua orang. Lebih
daripada itu, Seandainya upaya hukum dibuka, sangat mungkin jadi Putusan MK
akan dipersoalkan terus sehingga menimbulkan persoalan kepastian hukum.
Padahal, MK mengadili persoalan-persoalan ketatanegaraan, yang membutuhkan
kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu terkait keberlangsungan agenda
ketatanegaraan. Selain itu Putusan MK menyangkut terkait objeknya yang
menyangkut kepentingan bersama dan semua orang, misalkan sebagai contoh
terkait pengujian undang-undang (UU), dimana undang-undang sifatnya mengikat
secara umum kepada semua warga negara, maka secara logika hukum apabila
undang-undang tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat oleh MK, maka
UU yang dibatalkan itupun tidak mengikat kepada seluruh warga negara
dikarenakan sudah dibatalkan, inilah yang menjadi acuan penulis bahwa
kewenangan atribusi yang diberikan langsung oleh konstitusi harus ditegakkan dan
ini menjadi dasar mengapa efek keberlakuan pada putusan MK yaitu Erga Omnes.
Suatu putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala
kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses
24
bermula telah membebani para pihak. Menurut Sudikno Mertokusumo putusan
hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.14 Berdasarkan praktik
peradilan selalu dibedakan antara putusan hakim (vonis) dan penetapan hakim
(beschikking). Putusan hakim (vonis) adalah perbuatan hakim sebagai penguasa
atau pejabat negara yang dilakukan untuk memutuskan atau mengakhiri sengketa,
sedangkan penetapan hakim (Beschikking) dibuat berkaitan dengan adanya suatu
permohonan.15 Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk
mengidentifikasi sistem hukum karena putusan pengadilan sendiri notebene
merupakan hasil dari formulasi kaidah hukum. Dalam memutus kasus hakim harus
memberikan argumentasi hukum yang menjustifikasi putusannya. Putusan
pengadilan sebagai kaidah hukum bersifat konkret. Putusan pengadilan berfungsi
untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika yang seharusnya sesuai
dengan kaidah-kaidah tersebut tidak terjadi. Dalam pengertian demikian putusan
pengadilan merupakan salah satu sumber hukum paling penting di dalam sistem
hukum di samping peraturan perundang-undangan.16
Di negara kita, terdapat dua lembaga peradilan yang menduduki sebagai
lembaga peradilan tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung membawahi beberapa lingkungan badan peradilan yaitu
peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan
14 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung PT. Alumni, 2004, h. 227-228. 15 H.Iriyanto, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2008, Hal.190. 16 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni Bandung, Bandung,2009,hal.71-72.
25
agama. Lembaga-lembaga peradilan tersebut memiliki perbedaan atas mengikatnya
suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde). Sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga peradilan
dibawahnya karena putusan MK bersifat final.
Pada bab ini penulis akan menjelaskan asas Erga Omnes dengan metode
argumentum a contrario. Metode tersebut menjelaskan suatu konsep dengan cara
melawankannya. Oleh sebab itu, penulis akan mencoba menjelaskan asas Erga
Omnes melalui pengertian asas Interpartes. Dalam prakteknya sifat kekuatan
mengikat pada suatu putusan terbagi menjadi dua, yaitu asas Inter Partes dan asas
Erga Omnes. Menurut teori, asas Inter partes memiliki pengertian putusan
pengadilan mengikat hanya kepada kedua belah pihak yang berperkara dan tidak
mengikat kepada masyarakat luas salah satunya, di dalam hukum perdata. Pada
pasal 10 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tugas
dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa,
dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berperkara.
Wewenang pengadilan menyelesaikan perkara diantara para pihak yang
bersengketa disebut yurisdiksi contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan
contentiosa / contentious. Dengan gugatan contentiosa gugatannya mengandung di
antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk di
selesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan diantara para
pihak (between contending parties).17 Perkataan contentiosa atau contentious
berasal dari bahasa latin. Salah satu arti perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan
penyelesaian sengketa perkara adalah penuh semangat bertanding atau berpolemik.
17 Yahya harahap,Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.46
26
Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yurisdiksi
contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang
memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of
court that is concerned with contested matters) antara pihak yang bersengketa
(between contending parties).18
Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam
praktik. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan
perdata atau gugatan saja. Prof. Sudikno mertokusumo, mempergunakan istilah
gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang
mengandung sengketa dengan pihak lain.19 Menurut Subekti, mempergunakan
sebutan gugatan yaitu yang dituangkan dalam surat gugatan, dengan demikian
setiap perkara perdata diajukan ke PN dalam bentuk surat gugatan. Begitu juga
halnya dalam praktik peradilan, selamanya dipergunakan istilah gugatan.
Penyebutan ini dianggap langsung membedakannya dengan permohonan yang
bersifat voluntair.
Gugatan perdata dapat kita jumpai dalam putusan-putusan pengadilan
perdata. Dalam amar putusan dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak,
lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan
suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa
yang benar atau pokok perselisihan. Sebagai contoh terdapat kasus harta waris
berupa tanah, yang pada akhir kasusnya hakim memutuskan tidak sahnya akta hibah
yang dimiliki tergugat dan menyatakan tidak mempunnyai kekuatan hukum
18 Lihat Henry Campbell Black, black’s Law Dictionary, west Publishing, St Paul Minn, Fifth Edition,1978,hlm. 289, dikutip oleh Yahya harahap,ibid,hal.47 19 Lihat Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jehtian Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm.34, dikutip oleh Yahya Harahap, Ibid,hal. 47
27
mengikat, atau tergugat bukan pemilik sah dan melakukan perbuatan melawan
hukum yang merugikan penggugat.20
Bertitik tolak dari penjelasan diatas, yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang
berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada
pengadilan dengan posisi para pihak :
1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai
penggugat,
2. Sedangkan yang ditarik sebagi pihak lawan dalam pnyelesaian, disebut dan
berkeduduukan sebagai tergugat.
Oleh karena itu, ciri yang melekat pada gugatan perdata :
1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa.
2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara dua pihak.
3. Berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak
yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai pengguat dan pihak yang
lain berkedudukan sebagai tergugat.
Dengan demikian, yang dapat ditarik oleh penulis atas penjelasan diatas
bahwa asas Inter Partes terkandung pada gugatan perdata atau gugatan contentiosa.
Pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde), putusan tersebut hanya mengikat kepada kedua belah pihak yaitu
penggugat dan tergugat, tidak berlaku untuk umum. Oleh karena demikian
diharapkan para pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat menerima putusan
sehingga orang yang “merasa” dan “dirasa” hak nya telah dilanggar oleh orang lain
20 Putusan nomor 149/pdt.G/2015/PN.Bdg
28
harus mengembalikan hak tersebut.21 Putusan pengadilan selalu bersifat memaksa
(dwingend), artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, pengadilan dapat
memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhinya dengan kesadaran
sendiri, jika masih tidak dipatuhi, pengadilan dapat melaksanakan putusannya
secara paksa, jika perlu dengan bantuan kepolisian.22 Sebagai contoh setiap
perbuatan yang merugikan orang lain menimbulkan hubungan hukum antara pihak
yang berbuat dan pihak yang dirugikan (Pasal 1365 KUHPdt). Akibatnya, undang-
undang mewajibkan pihak yang berbuat membayar ganti kerugian kepada pihak
yang dirugikan.
Jika dalam interpartes kekuatan mengikatnya hanya yang terdapat dalam
putusan, makna asas erga omnes pada suatu putusan ialah bagaimana putusan
tersebut tidak hanya mengikat kepada kedua belah pihak yang berperkara saja
melainkan semua orang dan institusi-institusi badan pemerintahan juga tunduk pada
putusan tersebut, maka Erga Omnes berlaku tidak hanya pihak dalam putusan.
Kekuatan mengikat suatu Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut
Erga Omnes.23 Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan hakim.24 Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.25 Pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tugas yang
mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Menurut Sri Soemantri,
21 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,hal.147 22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2014,hal.22 23 Maruaraar Siahaan,Op.Cit, hal.214 24 Lihat pasal 45 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 25 Ibid,pasal 47
29
“putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh
lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu
selalu bersatu, yaitu final and binding. Dengan demikian, jika bersifat final harus
diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum”.26 Dalam
pemberlakuan putusan MK isu tentang bersifat final harus dipahami bahwa hal itu
mengikat secara yuridis konstitusi terhadap badan pemerintahan yang lain. Menurut
Indrohartono, “kata final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta
dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah
merupakan akibat hukum yang definitif”.27 Oleh karena itu putusan MK memiliki
efek keberlakuan yang akibat hukumnya mengikat ke semua orang.
Sebagai peradilan tunggal yang tidak membawahi peradilan manapun atau
berada di bawah peradilan manapun, maka Putusan MK langsung memiliki
kekuatan hukum mengikat dan tidak tersedia ruang upaya hukum lain. Putusan final
MK bukan hanya karena alasan MK merupakan satu-satunya lembaga atau institusi
yang menjalankan kewenangannya, akan tetapi lebih dari itu, Putusan MK yang
bersifat final tersebut dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum
tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih tinggi darinya.
Makna dari pernyataan tersebut, ketika suatu persoalan diperhadapkan kepada MK
dan Konstitusi menjadi dasar pengujiannya, maka putusan terhadap persoalan
tersebut mutlak bersifat final. Hal ini disebabkan, para pihak telah menempuh suatu
upaya mencari keadilan dan jaminan terhadap hak-haknya dimana upaya tersebut
26 Sri Soemantri, Catatan-C atatan Terhadap Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 11 Mei 2002, hlm.8.
27 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm.116.
30
ditautkan pada hukum yang memiliki derajat supremasi tertinggi sebagai dasar
pengujiannya.
Terhadap efek keberlakuan putusan MK yang dihadapi oleh para pihak dan
semua orang melalui upaya berperkara pada MK diberikan oleh suatu hukum
dengan derajat tertinggi. Konstitusi sebagai hukum dengan derajat tertinggi
memberikan jaminan kepada para pihak terhadap hak-haknya melalui sarana
berperkara di MK, yang mana pemberian jaminan tersebut diselenggarakan oleh
MK dalam suatu proses peradilan melalui hakim-hakimnya yang melakukan
interpretasi terhadap Konstitusi yang diakhiri oleh suatu putusan sebagai putusan
akhir. Pada konteks inilah sesungguhnya proses peradilan yang diselenggarakan di
MK merupakan proses peradilan terakhir sebab penyelenggaraan peradilan di MK
menggunakan tolok ukur Konstitusi.
Dalam pemahaman kekuatan mengikat putusan MK, sifat amar putusan
tidak jauh beda oleh putusan pengadilan pada umumnya. Maruarar Siahaan
menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat Condemnatoir,
Declaratior, dan Constitutief. 28 Satu putusan dikatakan condemnatoir kalau
putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk
melakukan suatu prestasi. Putusan declaratoir adalah Putusan hakim yang
menyatakan permohonan atau gugatan ditolak. Dalam hal ini hakim menyatakan
tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasarkan fakta-fakta
yang ada.29 Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh
MK nampak jelas dalam amar putusannya. Putusan Constitutief adalah putusan
28 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2, Sinar Grafika,Jakarta,2012, hal.205. 29 Ibid,hal.206.
31
yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakan keadaan hukum yang
baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan
hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan satu
keadaan hukum yang baru.
Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai kebanyakan jenisnya terutama
dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya,
putusan mahkamah konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan suatu
keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator,
yang disebut Hans Kelsen ialah melalui suatu pernyataan. Sifat declaratoir tidak
membutuhkan suatu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan hakim
Mahkamah Konstitusi.30 Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan
sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan Mengikat
2. Kekuatan Pembuktian
3. Kekuatan Eksekutorial
Dalam hal kekuatan pembuktian suatu putusan Mahkamah Konstitusi, pada
Ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa : “materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali.” Hal
ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang pernah
dimohonkan untuk diuji dapat digunakan sebagai bukti, karena sesuai dengan
30 Ibid. hal.212
32
ketentuan pasal tersebut. Putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial adalah
putusan yang menetapkan secara tegas hak dan hukumnya untuk kemudian
direalisir melalui eksekusi oleh alat negara. Kekuatan eksekutorial ini sudah lazim
dalam praktik pengadilan biasa di tanah air.31 Sebaliknya, putusan eksekutorial
putusan Mahkamah Konstitusi dianggap telah terwujud dalam bentuk pengumuman
yang termuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak
putusan itu diucapkan dalm sidang pleno terbuka untuk umum.32 Tidak dibutuhkan
adanya aparat khusus yang melaksanakan (mengeksekusi) putusan, karena sifat
putusannya adalah Declaratoir.33
Sebagai penunjang argumen penulis diatas, Asas erga Omnes tidak hanya
terdapat pada putusan MK, asas ini juga terkandung dalam putusan PTUN
(Peradilan Tata Usaha Negara). Asas ini mengandung makna bahwa putusan PTUN
mengikat pihak-pihak diluar pihak yang bersengketa. Ridwan mengatakan, “hal ini
karena putusan hakim PTUN itu berada dalam lingkup hukum publik atau bersifat
mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan,
yang mungkin timbul di masa yang akan datang”. 34 Sebagai akibat dari diikutinya
asas Erga Omnes pada putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
adalah :
1. Tidak perlu adanya dictum putusan hakim yang menyatakan “agar
pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu pihak
maupun yang tidak menaati putusan pengadilan yang bersangkutan”.
31 H.Iriyanto, Op.Cit. hlm.198. 32 Lihat Pasal 57 ayat 3 UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 33 Maruarar Siahaan,Op.Cit. Hlm.212. 34 Ridwan, Tiga Dimensi Hukum administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta,2009,hlm.159
33
2. Intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena putusan hakim di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang in kracht Van gewijsde
berlaku bagi semua orang.
Dengan demikian semua orang dan/atau badan hukum, baik badan hukum
perdata maupun badan hukum publik harus menaati atau melaksanakan putusan
yang dijatuhkan oleh hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.35
Disimpulkan secara sederhana bahwa kekuatan mengikat suatu putusan
badan peradilan memiliki dua makna yaitu asas Inter partes dan Erga Omnes. Asas
Inter partes diadopsi oleh putusan badan peradilan perdata yang memiliki dan
mengikat dua belah pihak yaitu tergugat dan penggugat. Sejatinya asas Erga Omnes
juga mengadopsi nilai dari asas Inter Partes yang putusannya mengikat kedua belah
pihak, akan tetapi efek keberlakuannya lebih luas yaitu Erga Omnes, mengikat
tidak hanya kepada kedua belah pihak, melainkan ke semua orang dan badan-badan
pemerintahan juga terikat pada putusan MK tersebut.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai “Undang-Undang”
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan kualifikasi putusan Mahkamah
Konstitusi sebagai “undang-undang”. Sesuai kewenangan atribusi yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, mahkamah konstitusi dalam prakteknya
melaksanakan salah satu kewenangannya yaitu menguji undang-undang dibawah
undang-undang dasar. Secara formal, putusan MK tetap sebagai putusan dari
kekuasaan yudisial. Lebih konkritnya adalah hukum dari sebuah putusan
pengadilan (case law). Akan tetapi, dalam menguji konstitusionalitas undang-
35 R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara edisi ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,hal 201.
34
undang mahkamah konstitusi sebagai badan yudisial berpartisipasi dalam proses
legislatif. Dalam pembentukan undang-undang, legislatif membuat peraturan
melalui Proses pembentukan UU yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, proses pembentukan UU
juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi
muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, proses pembuatan undang-undang diatur
dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74.
Secara garis besar isi daripada pasal-pasal tersebut adalah pembuatan RUU
(rancangan undang-undang) oleh DPR, penyusunan prolegnas. Setelah melewati
pembahasan dan penyampaian pendapat, sampailah kepada pengambilan keputusan
dalam rapat paripurna dan berakhir pada tahap pengesahan RUU untuk menjadi
undang-undang.
Pemberlakuan Undang-Undang tidak sedikit menimbulkan kerugian
terhadap masyarakat. Warga negara yang merasa haknya dirampas atas
permberlakuan aturan tersebut dapat mengajukan judicial review. Oleh karena itu,
35
Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji
konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD 1945. Menurut penulis pada
perkembangannya putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai putusan
badan yudisial akan tetapi masuk ke dalam proses legislasi. Produk hukum yang
telah dikeluarkan oleh badan legislatif di uji kembali konstitusionalitasnya oleh
Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat semua orang.
Oleh karena itu penulis akan jelaskan secara signifikan dengan menggunakan teori
dan pendapat dari beberapa para ahli hukum bahwa pengujian konstitusionalitas
undang-undang yang dilaksanakan oleh mahkamah konstitusi termasuk dalam
proses legislatif.
Secara umum model pengujian konstitusionalitas undang-undang ada dua
yaitu oleh badan yudisial (judicial review) dan oleh badan non-yudisial (non-
judicial review).36 Pengujian oleh badan yudisial menjadi yang paling lazim dan
popular di negara-negara dunia saat ini untuk menguji undang-undang. Secara
kelembagaan ada dua jenis pendekatan dalam pelaksanaan sistem pengujian oleh
badan yudisial terhadap konstitusionalitas undang-undang, yaitu pengujian
sentralistik dan pengujian yang desentralistik.37 Sistem pengujian sentralistik
mengandung pengertian membentuk suatu badan yudisial tersendiri atau khusus
dalam rangka pengujian kosntitusionalitas undang-undang (misalnya lembaga the
Federal Constitutional Court di Jerman serta MKRI di Indonesia). MKRI dan
negara-negara lain yang melaksanakan pengujian yudisial secara sentralitik
menggunakan konsep American-style Judicial Review dan Kelsen’s Court.
36 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,Konstitusi Press, Jakarta,2006 37 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi,Op.Cit.hal.56
36
Perbedaan antara pengujian yudisial desentralistik model Amerika Serikat dan
pengujian yudisial yang sentralistik mengandung beberapa rasio. Pada negara yang
tidak menganut asas stare decisis (preseden), model pengujian yang desentralistik
kurang berdampak secara ketatanegaraan karena putusannya tidak dapat berlaku
secara Erga Omnes, tetapi kebalikannya yaitu Inter partes. Untuk menjawab
masalah ini, negara yang tidak menganut asas stare decisis lebih memilih model
pengujian yudisial sentralistik. Tidak berlakunya asas Stare decisis akan
menimbulkan masalah predictability dan uniformity.38
Seperti diakui oleh Kelsen sendiri, dalam porsi kewenangan yang demikian,
hakim menjalankan fungsi politik melakukan Rule-making. Sehingga fungsi ini
seyogyianya tidak dijanlankan oleh badan yudisial biasa, tetapi oleh hakim dan
peradilan khusus. Hal ini kemudian melahirkan gagasan tentang pembentukan
mahkamah kosntitusi yang berbeda dengan peradilan biasa. Karena pencetusnya
Kelsen maka peradilan konstitusional tersebut lebih dikenal dengan istilah Kelsen
Court. Mahkamah konstitusi berbeda dengan peradilan biasa karena mahkamah
konstitusi adalah negative legislator. Fungsi negatif legislator hanya sebatas
membatalkan legislasi yang bertentangan dengan undang-undang dasar.39
Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang
membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak
mengikat secara hukum.40 Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut:
38 Ibid., hlm. 58 39 Ibid, Hlm. 60 40 Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268. Dikutip oleh Saldi isra,Pergeseran Fungsi Legislasi, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2010 , hlm.295
37
The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate
unconstitutional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a
special constitutional court... The possibility of a law issued by legislative organ
being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the
former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a
negative legislator. An organ which may be composed according to a totally
different principle from that of the parliament elected by the people.41
Gagasan itulah yang kemudian meletakkan keniscayaan akan adanya
kekuasaan khusus untuk mengontrol hasil legislasi yang dikeluarkan lembaga
legislatif. Kemudian, gagasan ini dibaca oleh Bojan Bugaric sebagai upaya Hans
Kelsen untuk memunculkan legislatif positif (positive legislature) yang diperankan
oleh parlemen, sedangkan model legislatif negatif (negative legislature) diperankan
oleh Mahkamah Konstitusi.42 Dengan model ini berarti Mahkamah Konstitusi
menjadi bagian yang dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif.
Terkait dengan hal itu, Anna Rotman meneguhkan pandangan Hans Kelsen
karena its decisions had the power “to make a statute disappear from the legal
order”.43 Masih tetap merujuk pendapat Hans Kelsen, H.M. Laica Marzuki
menegaskan, tatkala constitutional court adalah negative legislator, maka parlemen
yang memproduk undang-undang dinamakan positive legislator. Dalam pengertian
41 Ibid., Hlm.268-269 42 Bojan Bugaric, 2001, Courts as Policy-Makers: Lessons from Transition, dalam 42nd Harvard International Law Journals, 256., Ibid., Hlm.295 43 Anna Rotman, 2004, Benin’s Constitutional Court : An Institutional Model for Guaranteeing Human Rights, dalam Harvard Human Rights Journals, Volume 17, Spring 2004, halaman 286. Lihat juga: Gustavo Fernandes de Andrade, 2001, Comparative Constitutional Law: Judicial Review, dalam 3 U. Pa. Journal Constitutional Law. 977, hal. 983. Ibid.,Hlm.295
38
itu, tambah Laica Marzuki, tidak hanya parlemen yang memiliki legislative
function tetapi juga constitutional court.44
Menjelaskan signifikasi judicial review dalam proses legislasi, Vicky
C.jackson dan Mark Tushnet dalam comparative Constitutional Law mengatakan,
ketika hakim konstitusi (constitutional judges) melakukan review terhadap hasil
proses legislasi, proses pengambilan keputusuannya lebih dekat ke proses
pengambilan keputusan legislatif. Bahkan begitu pentingnya peran judicial review
dalam proses legislasi Vicky C.jackson dan Mark Tushnet menyebut judicial
review sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi. Hal tersebut ditegaskan sebagai
berikut:
As a description of function, constitutional courts exercising politically
initiated abstract review can beb conceptualized profitably as a third legislative
chambers whose behavior is nothing more or less than the impac t- direct and
indirect- of constitutional review on legislative outcomes.45
Dengan demikian, secara keseluruhan konsep judicial review memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan mekanisme legislasi. Secara teoritik, konsep
itu dapat dianggap sebagai pengganti kebutuhan kamar lain di lembaga legislatif.
Keberadaannya amat jelas, sebagai pengimbang produk legislasi baik setelah
disetujui lembaga legislatif maupun setelah disahkan menjadi undang-undang. Di
samping judicial review merupakan jaminan bagi rakyat atas hasil legislasi yang
44 H.M. Laica Marzuki, 2007, Membangun Undang-Undang Yang Ideal, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 6. Ibid., Hlm.295. 45 Vicki C.Jackson, & Mark Tushnet , 1999 , Comparative Constitutional Law, Foundation Press, New York, hlm.706., ibid. Hlm.295
39
menyimpang dari aspirasi fundamental rakyat.46 Karena itu, judicial review
merupakan alat kontrol eksternal dalam proses legislasi.
Kontrol dalam bentuk judicial review menjadi sebuah keniscayaan terutama
jika kekuatan mayoritas di lembaga legislatif merupakan pendukung presiden.
artinya, Judicial review dapat dikatakan sebagai sarana untuk melakukan purifikasi
undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif. Inilah yang menurut Hans
Kelsen, "recognized the need for an institution with power to control or regulate
legislation.” Ide dasarnya adalah memurnikan hasil legislasi yang dikeluarkan oleh
lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga
yudisial, dengan kuatnya kepentingan politik di lembaga legislatif, sangat terbuka
kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran
MK yang diberikan wewenang untuk melakukan judicial review secara langsung
telah ikut mempengaruhi proses legislasi di Indonesia.
Bentuk pengaruh kehadiran kewenangan judicial review dalam fungsi
legislasi dapat dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, secara langsung mengaplikasikan model purifikasi dan kontrol
second chamber judicial review terhadap model legislasi speerti yang dinyatakan
di atas. MK melalui kewenangan judicial review telah melakukan purifikasi UU
yang bertentangan dengan norma dasar (konstitusi). Pada saat yang sama, MK telah
menjadi pengontrol bagi kekuasaan legislatif dalam hal kemungkinan adanya
kekeliruan baik formal maupun substansial dalam proses legislasi. Artinya, telah
terjadi perubahan mendasar atau perubahan kecil pada beberapa undang-undang
46 Tom Ginsburg,2003, Judicial review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian cases, Cambridge Univercity Press, hlm.2.,ibid.Hlm.296
40
yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang. hal itu membuktikan, MK telah
menunjukkan sebagai negative-legislator.
Kedua, putusan MK mendorong pembentukan peraturan perundang-
undangan yang menempatkan MK sebagai salah satu faktor penting dalam program
legislasi nasional. Dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan UU, Rancangan PERPPU, Rancangan PP dan
Rancangan Peraturan Presiden dinyatakan:
1. “Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun rancangan
Undang-Undang diluar prolegnas setelah terlebih mengajukan
permohonan izin prakarsa kepada presiden…”
2. Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi
undang-undang; untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian
internasional; untuk melaksanakan putusan MK.
Dengan adanya klausul “keadaan tertentu” untuk melaksanakan putusan
MK, hasil pengujian akan memberikan dampak langsung terhadap beban kerja
legislasi.
Ketiga, telah menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) pihak
membentuk undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang. Dalam
banyak kesempatan, khususnya dalam pembahasan rancangan undang-undang,
judicial review telah menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Pembentukan
undang-undang menjadi lebih berhati-hati dalam merumuskan substansi undang-
undang. Sejak kehadiran MK, pembentuk undang-undang selalu menghitung
41
kemungkinan adanya permohonan judicial review.47 Hal itu berarti, kehadiran
mahkamah konstitusi membuat pembentuk undang-undang menjadi lebih berhati-
hati atas kemungkinan adanya invalidasi undang-undang oleh MK.
Dari pemaparan teori dan berbagai pendapat para ahli yang telah
disampaikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tidak terlampau
keliru jika putusan MK dikualifikasikan sebagai “undang-undang”. Mahkamah
Konstitusi sebagai badan yudisial ternyata dapat melakukan tindakan legislatif
melalui kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Bukan dengan membentuk dan
merancang undang-undang melalui lembaran baru, akan tetapi menguji apakah
proses legislasi yang dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang tersebut sudah
tepat dan tidak merugikan masyarakat. MK dapat mengklaim bahwa pengujian
konstitusionalitas undang-undang termasuk dalam proses legislasi. Oleh karena itu,
produknya, putusan MK, berlaku dan mengikat secara umum kepada semua orang
serta badan-badan pemerintahan lainnya. Dan menurut hemat penulis, kekuatan
mengikat putusan MK berlaku ‘sama’ dengan kekuatan mengikat suatu undang-
undang. Oleh karena itu MK sebagai interpreter konstitusi dari putusan yang
dihasilkan dapat disebut sebagai “undang-undang”, yaitu putusan yang mengikat
secara umum atas proses legislasi. Untuk mengulas lebih dalam bagaimana
hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan-badan pemerintahan utama lainnya,
penulis akan menjabarkan lebih rinci pada sub-bab berikutnya pada penulisan ini
(Infra Sub-Judul C).
47 Wawancara dengan Lukman Hakim saefuddin, 14/03-2008, dijakarta. Ibid.,hlm. 311
42
C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Badan
Pemerintahan Lain
Materi selanjutnya yang akan penulis sampaikan pada subbab ini ialah
hubungan institusional antara Mahkamah Konstitusi dengan badan-badan
pemerintahan utama lainnya terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji
konstitusionalitas undang-undang. Persoalan atau isu yang timbul disini adalah
posisi atau kedudukan MKRI terhadap badan-badan utama yang lain terkait dengan
posisi sebagai interpreter konstitusi. Secara prinsip, semua badan pemerintahan
adalah interpreter konstitusi dalam menjalankan kewenangan fungsional undang-
undang. Oleh karena itu pertanyaan utamanya adalah bilamanakah interpretasi
Mahkamah Konstitusi berlaku dan mengikat badan-badan pemerintahan utama
tersebut, sementara secara struktural kedudukannya sejajar dan secara fungsional
sama-sama dapat melakukan interpretasi konstitusi. Beberapa kajian menunjukan
bahwa UUD 1945 secara tersirat memberikan kewenangan penafsiran konstitusi
secara monopolistik kepada MK untuk menilai pertentangan norma hukum dalam
pengujian konstitusionalitas undang-undang, artinya MK adalah “the guardian of
constitution and the sole interpreting of constitution” dan sebagai penafsir sah
terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the
constitution). Agar putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berlaku
dan mengikat semua badan pemerintahan utama lainnya, Mahkamah Konstitusi
seharusnya memposisikan dirinya sebagai interpreter konstitusi yang menjalankan
kepemimpinan atas badan-badan pemerintahan utama yang lain (menjalankan
pendekatan judicial supremacy). Akan tetapi pada prakteknya terdapat beberapa
putusan MK yang tidak dapat berlaku karena badan pemerintahan yang lain
43
mempunyai kewenangan yang sama untuk melaksanakan interpretasi konstitusi,
dalam hal ini yang terjadi adalah posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan badan-
badan pemerintahan utama lainnya yang berakibat putusan MK tersebut tidak dapat
mengikat ke semua badan pemerintahan yang lain (pendekatan konsep
Departmentalism).
Untuk menjamin kedudukan MK atas interpretasi yang dilakukannya
sebagai tindakan yang legitimate, konsep Judicial Supremacy dapat menjadi salah
satu cara agar hubungan antara badan pemerintahan utama lainnya tetap berjalan
harmonis. Perlu kita ketahui Judicial supremacy adalah tentang presepsi badan
yudisial dalam memposisikan diri terhadap badan-badan pemerintahan lain dalam
melakukan interpretasi konstitusi.48 Whittington memaknai judicial Supremacy
sebagai kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi. (Constitutional leadership).
Konsep ini menyatakan pengertian bahwa badan yudisial adalah interpreter
konstitusi terdepan, menentukan makna konstitusi secara monopolistik sebagai
dasar tindakan pemerintah di masa depan, dan badan-badan pemerintahan yang
lainnya harus tunduk pada interpretasinya. Argumen untuk pernyataan tentang
judicial supremacy adalah the constitution cannot be maintained as a coherent law
unless the court serves as its ultimate interpreter, whose understanding of the
constitutional text supersede any others and which other government officials are
required to adopt. (diterjemahkan ; konstitusi tidak dapat dipertahankan sebagai
hukum yang koheren kecuali pengadilan berfungsi sebagai juru utamanya, yang
memahami teks konstitusi menggantikan orang lain dan para pejabat pemerintah
48 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh MKRI, CV.Mandar Maju,Bandung, 2015, Hlm. 100.
44
lainnya yang diperlukan untuk mengadopsi.) 49 MK diberikan kebebasan oleh
konstitusi melakukan interpretasi dan direalisasikan melalui putusan MK.
Interpretasi konstitusi dalam ajudikasi pada hakikatnya bertujuan untuk mengakhiri
kontroversi. Praktik ini sangat legitimate sebagai tujuan untuk menyelesaikan
persoalan ketentuan-ketentuan konstitusi yang kabur atau sangat umum. Argumen
ini menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan interpreter akhir
UUD NRI 1945. Dengan digunakannya konsep Judicial supremacy pada
hakikatnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Supreme. Sangat percuma
pembentukan badan ajudikasi konstitutional jika ketika putusannya yang telah
berkekuatan hukum tetap dan Erga Omnes mendapat intervensi dari badan
pemerintahan yang lain karena mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan
interpretasi konstitusi, sehingga yang seharusnya konsep kedudukan badan
pemerintahan adalah Judicial Supremacy posisi sebaliknya adalah
departmentalism.
Menurut teori, departmentalism memposisikan badan-badan pemerintahan,
termasuk badan yudisial berlaku setara antara fungsi dan kewenangannya dalam
rangka interpretasi konstitusi. Implikasinya, produk interpretasi konstitusi oleh
badan yudisial hanya berlaku persuasif terhadap terhadap badan pemerintahan yang
lain. Mereka menganggap bahwa semua badan ajudikasi mempunyai kewenangan
yang sama dalam melaksanakan interpretasi konstitusi. Dampaknya, lembaga MK
yang lebih dikenal sebagai Supreme Court, putusannya tidak dapat mengikat secara
umum. Kondisi ini menimbulkan sikap bahwa putusan MK dapat berlaku jika
49 Achibald Cox, The role of The supremacy Court: Judicial activism or self-Restraint?. Maryland Law Review,Vol.47, 1987,hal.4, Ibid. hlm. 101
45
badan pemerintahan yang lain defference terhadap badan ajudikasi konstitusional.
Konsep departmentalism paling feasible adalah fixed departmentalism, yaitu, :
Accepts that there is such a thing as authotitative interpretation in a given
matter, but rejects the notion of a single interpreter regarding all matters. Instead,
allocation of interpretive authority varies by topic or constitutional provision.
Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa keberlakuan
departmentalism seyogianya kontekstual, tidak dapat digeneralisasi, yaitu
bergantung kepada pokok permasalahan (subject matter) yang masing-masing
memiliki karakter sendiri.
Sehubungan dengan kondisi yang terjadi saat ini antara MK dengan badan
pemerintahan lainnya atas produk hukum yang telah dikeluarkan. Mahkamah
Konstitusi mempunyai 4 kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Perlu kita cermati bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final…” Artinya, tidak ada upaya hukum
lain yang dapat ditempuh atas putusan MK tersebut (dapat dikatakan putusan MK
bersifat final and Binding).50 Oleh karena itu semua pihak termasuk badan-badan
pemerintahan lainnya harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK tersebut.
50 Bagian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung
46
Meskipun begitu, pada prakteknya keberlakuan putusan Mahkamah
Konstitusi belum dijalankan sepenuhnya oleh badan-badan pemerintahan yang lain.
menurut penulis bahwa Badan-badan pemerintahan lainnya merasa norma yang
disampaikan konstitusi pada pasal 24C ayat (1) belum jelas tujuannya mengikat
untuk siapa. Oleh karena itu sebagai contoh konkrit saat ini, MA melalui
kewenangannya yang diberikan UU dapat mengeluarkan SEMA No 7 Tahun 2014
yang sejauh ini dianggap oleh penulis mengabaikan putusan MK No 34/PUU-
XI/2013. Putusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak dapat
direalisasikan karena substansi dari isi SEMA bertentangan dengan Putusan MK.
Sikap ini dirasa benar oleh MA karena yang diterbitkan oleh MA tersebut ialah
salah satu wujud dari interpretasi konstitusi melalui konsep hubungan badan-badan
pemerintahan yaitu Departmentalism.
Praktek Departmentalism pada prinsipnya melindungi konsekuensi negatif
yang sering terjadi pada saat ini yaitu tirani minoritas. Batasan dari keberlakuan
Judicial supremacy terdapat pada hasil interpretasinya. Jika praktik tersebut
memberikan hasil buruk kepada warga negara berkenaan dengan jaminan terhadap
HAM dan badan pemerintahan yang lain tidak setuju dengan hasil itu, badan
yudisial tidak dapat berlindung secara sah dibalik konsep judicial supremacy
supaya hasil interpretasi konstitusinya legitimate dan berlaku mengikat kepada
badan-badan pemerintahan yang lain. akan tetapi sebaliknya, jika interpretasi badan
yudisial dalam implementasinya tidak merugikan masyarakat, MA harus dapat
dengan bijak menerima dan mendukung atas apa yang telah dilakukan oleh badan
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh )
47
yudisial. Bukan dengan mengeluarkan kebijakan baru seperti menerbitkan SEMA
yang dirasa oleh penulis adalah sebagai sikap penolakan atas putusan MK. Perlu
diketahui bahwa Departmentalism hanya mungkin diberlakukan dalam situasi
politik hubungan antar badan-badan pemerintahan yang berlangsung normal, yaitu
ketika proses politik tidak menghadapi kontroversi konstitusional serius. Artinya,
interpretasi konstitusi yang dilakukan bersama-sama oleh badan-badan
pemerintahan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial telah koheren dengan asumsi
:
1. Badan-badan pemerintahan tersebut sama-sama terikat oleh konstitusi
2. Badan-badan pemerintahan tersebut menjalankan kewenangannya sesuai
konstitusi
3. Badan-badan pemerintahan tersebut menghasilkan interpretasi konstitusi
yang juga compatible dengan dikte konstitusi.51
Atas dasar penjelasan diatas, putusan MK yang sejatinya bersifat final dan
mengikat terbukti tidak dapat berlaku bagi MK ketika MA menerbitkan SEMA
yang materi muatannya bertentangan dengan putusan MK. Artinya, bahwa putusan
MK adakalanya dapat mengikat secara universal yaitu, ketika MA menghormati
putusan MK dan tidak menimbulkan pertentangan terhadap putusan MK. Sama
halnya dengan badan legislatif, badan legislatif mempunyai fungsi yaitu
membentuk undang-undang yang tidak bertentangan dengan HAM. Sedangkan
fungsi MK adalah korektif, yaitu menilai kesesuaian undang-undang produk badan
legislatif dengan batasan HAM yang telah diberlakukan, jika terjadi pertentangan
antara Undang-Undang dengan HAM, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan
51 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi, Op., cit., hlm.151
48
undang-undang tersebut. Inilah yang menjadi pertanyaan penulis ketika putusan
MK yang telah berkekuatan hukum tetap dan memiliki efek keberlakuan Erga
Omnes dapat diabaikan dengan mudah oleh badan pemerintahan utama lainnya
ketika pandangan dan interpretasinya tidak dapat diterima. Konsep Judicial
Supremacy yang sejatinya sudah terlahir sejak MK terbentuk tidak dapat
direalisasikan.
Setelah penulis sampaikan beberapa sifat dari konsep departmentalism dan
judicial supremacy, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada permasalahan hubungan
MK dengan MA terkait kewenangan yang mereka laksanakan, MA menggunakan
konsep departmentalism untuk memposisikan dirinya menerbitkan SEMA. Hal
tersebut dapat dikatakan legitimate jika memang dirasa produk badan yudisial
merugikan masyarakat, akan tetapi jika kontra, tindakan yang dilakukan oleh MA
di rasa penulis Inkonstitusional. Mengapa demikian? karena penyelenggaran
pemisahan kekuasaan kehakiman dalam rangka menjaga konstitusi (supreme law
of the land) dilaksanakan melalui Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap sejatinya memiliki efek
keberlakuan yang disebut Erga Omnes. Erga Omnes sendiri bertujuan agar putusan
MK dapat berlaku dengan semestinya/seharusnya (mengikat semua orang).
Disamping itu, erga omnes menjadi tolak ukur konsep Judicial Supremacy agar
badan pemerintahan yang lain dapat menerima produk hukum badan ajudikasi
konstitusional. Oleh karena itu, sewajibnya hasil dari pada putusan Mahkamah
Konstitusi dapat diterima oleh badan pemerintahan lain sebagai wujud
menghormati Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi untuk menguji
konstitusionalitas undang-undang. Hal-hal terkait pengabaian MA dalam