Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
25
BAB II
EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DI
INDONESIA
A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi ini merupakan
akses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern
yang muncul pada abad ke-20. Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi oleh suatu Negara umumnya
dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman pernah mengalami krisis
konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan yang otoriter.1
Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim
demokrasi dan dalam peroses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi
dibentuk.
Konstitusi harus dilakukan sebagai seperangkat norma hukum
yang superior dari undang-undang dan harus ditegakkan secara. Dalam
hal ini, Kalsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas
terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan
konstitusi yang dengan demikian perlunya konstitusi khusus yang
1 . Ahmad Surkarti, Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi, 2006,
h. 59
26
terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan
membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-undang
Dasar sebagai norma hukum dasar.2
Pada awalnya, Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam
lingkungan Mahkamah Agung, dengan kewenangan melakukan uji
materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan
antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-
undang, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan
putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara, antar
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah.3
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya
dilandasi oleh suatu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak konstitusional warga Negara dan semangat menegakkan
konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Konstitusi merupakan
bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat kepada negara.
Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat
kepada Negara, melalui konstitusi rakyat memberi pernyataan
2 . Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2012), h. 3 3. Bachtiar, Problematika Implementasi Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Raih
Asa Sukses, 2015), h. 89
27
pemberian sebagian hak-haknya kepada Negara sehingga konstitusi
harus dikawal dan dijaga karena segala bentuk penyimpangan baik oleh
pemegang kekuasaan maupun aturan hukum dibawah konstitusi
terhadap konstitusi merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap
kedaulatan rakyat.
Adanya Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan terhadap
prinsip Negara hukum dan perlindungan hak konstitusional yang telah
dijamin konstitusi dan sebagai sarana penyelesaian sengketa
ketatanegaraan yang demokratis. Dengan ini pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu konsekuensi dari perwujudan Negara
hukum dan Negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dilatarbelakangi adanya kehendak
untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan check and
balances cabang-cabang kekuasaan mewujudkan supremasi hukum
dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia.4
Konstitusi mengandung permulaan dari segala macam
permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi
pertama untuk menegakkan suatu Negara. Di Indonesia Konstitusi juga
sering disebut sebagai Undang-undang Dasar, konstitusi memiliki
4 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Bogor, (Ghalia Indonesia,
2004), h. 56
28
batasan-batasan dalam mengatur sebuah Negara yang menunjuk kepada
hukum dasar, konstitusi menunjuk pada pengertian hukum dasar,
sedangkan Undang-undang menunjuk kepada pengertian hukum dasar
tertulis. Konstitusi dapat diartikan sebagai dokumen yang tertulis yang
secara garis besarnya mengatur kekuasaan legisalatif, eksekutif, dan
yudikatif, serta lembaga Negara.5
Proses konstitusional yang baik merupakan kondisi sosial
politik yang telah mendorong lahirnya Mahkamah Konstitusi di
Indonesia perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945 juga
mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang
berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung dengan kewenangan yang
diuraikan dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. 6
Pasal 24C ayat (1):
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang
berkewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar,
memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5 . Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Bogor, (Ghalia Indonesia,
2004), h. 31 6 . Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2012), h. 6
29
Pasal 24C ayat (2)
Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelaggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang
dasar.
Judicial review merupakan instrument hukum yang dapat
mengawal isi peraturan perundang-undangan melalui uji materi. Ada 2
jalur judicial review di Indonesia, yaitu uji materi UU terhadap UUD
yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian secara
materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang menjadi
kompetensi Mahkamah Agung.7
Jika prolegnas berfungsi sebagai penyaring isi sekaligus
instrumen dan mekanisme yang harus menjamin bahwa politik hukum
harus selalu sesuai dengan cita-cita dan tujuan bangsa dan Negara,
maka di dalam politik hukum nasional masih disediakan juga institusi
dan mekanisme pengujian atas peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, meskipun sebuah peraturan perundang-undangan, khususnya
UU, telah diproses sesuai dengan prolegnas, masih mungkin untuk
diuji lagi konsistensinya dengan UUD atau dengan peraturan yang lebih
7. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,(
Jakarta, Rajawali Pers, 2010), h.122
30
tinggi melalui judicial review. Judicial review adalah pengujian oleh
lembaga yudikaif tentang konsistensi UU terhadap UUD atau peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Proses penerjemahan terkait dengan pertanyaan questio juris
yang juga harus dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga
kehakiman, hakim tidak hanya memeriksa fakta-fakta (judex factie),
tetapi juga mencari, menemukan dan menginterpretasikan hukumnya
(judex juris). Artinya, penekanan pada proses interpretasinya ini
(proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu yang punya
kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan hingga
ke proses politik pada suatu Negara.
Dalam konteks judicial review yang berkembang di Indonesia,
dengan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, dimana judicial
reviw menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, judicial review
dimaknai sebagai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara
materil maupun formil suatu undang-undang terhadap undang-undang
dasar, serta kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.8
8 . Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi
31
Pasal III Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945
memerintah Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17
Agustus 2003, segala Kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan
oleh Mahkamah Agung pada tanggal 13 Agustus 2003, Undang-undang
Mahkamah Konstitusi disahkan pada tanggal 16 Agustus 2003 yang
kemudian dilanjutkan dengan pelantikan para hakim.9
Lembaga Negara yang menjadi otoritas akhir untuk memberi
penjelasan yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi, penjelasan
tersebut hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas
pengujian yang diajukan kepadanya.
Penjelasan yang dijelaskan secara abstrak tanpa terkait dengan
permohonan pengujian atau sengketa konstitusi lain yang dihadapi oleh
Mahkamah Konstitusi yang hanya didasarkan pada ketentuan teks
konstitusi, tanpa tadanya kaitan dengan latar belakang secara sosial
maupun ekonomi yang menjadi kehadiran pemohon, termohon maupun
pihak-pihak terkait di Mahkamah Konstitusi, hal ini sifatnya sangat
membantu untuk merumuskan dan mempelajari masalah Konstitusi
yang dihadapi.10
9 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2012), h.7 10
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2012), h.9
32
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang
kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan
dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di
berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas perundang-undangan
dan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai bagian
dari perubahan Ketiga UUD 1945, wewenang menguji undang-undang
terhadap UUD 1945 dipegang oleh MPR. Hal ini diatur dalam
ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut
menyatakan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-
undang terhadap UUD 1945, dan Ketetapan MPR.” Namun
pengujian ini tidak dapat disebut sebagai judicial review, karena
dilakukan oleh MPR yang bukan merupakan lembaga peradilan.
Kewenangan menguji undang-undang dikenal ada dua macam,
yaitu Pengujian Formal (Formele Toetsingrecht) dan Pengujian
Materiil (Materiele Toetsingrecht). Pengujian formal adalah wewenang
untuk menilai apakah suatu produk legislatif dibuat sesuai dengan
prosedur atau tidak, serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan
33
suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian materiil adalah
wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan
perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang
lebih tinggi.
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya
dilandasi oleh suatu upaya serius memberikan perlindungan terhadap
hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakkan
konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri
sesungguhnya memberikan suatu harapan akan tegaknya konstitusi
dalam kerangka negara hukum, karena hak menguji yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi itu merupakan pranata yang
berkaitan erat dengan konsep hukum dasar dan tertinggi. Dari sudut
pandang ini, keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia adalah
melindungi konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang
mungkin dilakukan oleh badan pembuat undang-undang.
Ada beberapa alasan mengapa Mahkamah Konstitusi
ditempatkan dalam konstitusi yang menjadi dasar konstitusionalitas
keberadaannya sebagai salah satu lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Berikut beberapa alasan yang dimaksud :
34
1. Pada prinsipnya, konstitusi harus memuat tentang nilai-nilai
HAM, dan perubahan UUD 1945 telah mengakomodir lebih
jelas dan rinci pasal-pasal yang mengatur HAM. Oleh karena
itu, lembaga yang berwenang menjamin, melindungi, dan
menegakkan nilai-nilai HAM itu harus pula diletakkan dalam
konstitusi.
2. Konstitusi pada prinsipnya harus memberikan pembatasan
kekuasaan dan menyediakan mekanisme check and balances
antara cabang kekuasaan.
3. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berikut dengan kewenangan
dalam konstitusi, sejalan dan merupakan penegasan terhadap
prinsip negara hukum yang telah dimuat dalam perubahan
konstitusi.
4. Konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditegakkan dan
dijalankan secara konsisten oleh siapapun. 11
B. Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga
cabang, walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami
11
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada
Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta, Swadaya Group), h. 53
35
perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnya dapat
diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan itu. Namun demikian,
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang
kekuasaan yang selalu terdapat dalam organisasi negara. Cabang
kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
Konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat
dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai
fungsi sebagai alat rakyat dalam pejuangan kekuasaaan melawan
golongan penguasa. Sejak saat itu konstitusi bergeser kedudukannya
dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup
rakyat terhadap golongan penguasa.12
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi
adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional
tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan oleh
tafsir ganda atas konstitusi. 13
12
Dahlan Thalib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada), 1999, h. 17 13
. A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006), h. 119.
36
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi untuk mengawal (to
guard) konstitusi, agar dilaksanaakan dan dihormati baik
penyelenggaraan kekuasan Negara maupun warga Negara, Mahkamah
Konstitusi merupakan penafsir akhir konstitusi. Di beberapa Negara
dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung
(protektor) konstitusi. Sejak menjadi badan usaha yang sah dalam hak-
hak asasi manusia UUD 1945, dengan ini fungsi pelindung (protector)
konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental
rights).
Dalam keberadaannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu dibidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi.14
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan Negara yang stabil dan juga merupakan
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu
yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi.
14
. Maruarar Siahaan, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta,
Sinar Grafika), 2012, h. 7
37
Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah
ditentujan dalam pasal 24C ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
Pasal 24C ayat (1):
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang
berkewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar,
memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pasal 24C ayat (2)
Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelaggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang
dasar.15
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur
kembali dalam pasal 10 Undang-undang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
3. Memutus pembubaran partai poltik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
15
Masdar farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi dalam Perspektif Islam”,
(Jakarta, Putaka Alvabet), h. 123
38
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud
dalam UUD 1945.16
Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang
independen bagi suatu negara hukum merupakan suatu keharusan dan
sebagai bentuk akuntabilitas negara dalam proses penegakkan hukum
yang berkeadilan berdasarkan norma hukum yang disepakati bersama
dari seluruh rakyat. Dengan kata lain, kehadiran kekuasaan kehakiman
yang merdeka dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia
merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem UUD 1945.
Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
16
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2012), h. 12
39
Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Mahkamah
Konstitusi disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi
adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional
tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga
dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan
yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi17
C. Mahkamah Konstitusi dan Sistem Kekuasaan kehakiman
Dalam Negara demokrasi lembaga kehakiman atau peradilan
dalam berbagai sektor dan tingkatannya merupakan keharusan mutlak,
segala perkara dan sengketa ketika sudah ketangan Negara harus
diselesaikan secara hukum atau perundang-undangan yang berlaku, dan
semua warga Negara mempunyai hak dan kedaulatan yang sama.18
Pembentukan kekuasaan untuk menopang penyelenggaraan
kehidupan bernegara, hal ini ditandai dengan pembentukan kekuasaan
kehakiman sebagai salah satu elemen penting dalam sistem
17
A. Mukthie Fadjar,, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI), 2006, h.. 119 18
Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi, (Jakarta, Pustaka Alvabet,
2010), h. 125
40
ketatanegaraan modern. Adanya kekuasaan kehakiman yang kuat dan
mandiri diperlukan dalam menegakkan dan menjamin berjalannya
aturan-aturan suatu Negara. Dalam hal ini kekuasan kehakiman dalam
suatu Negara hukum modern dimaksud untuk menegaskan dan
mengawasi peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku.
Berdasarkan Undang-undang Pasal 24 ayat (1), kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.19
Berdasarkan latar belakang tersebut sejarah pembentukan MK,
keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang
judicial review, sedangkan munculnya judicial review itu sendiri dapat
dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan
modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang
kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan
dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara,
yaitu menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan
memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.20
19
Pasal 24 Undang-undang Nomor 24 Tentang Mahkamah Konstitusi 20
. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta,
Sekretariat Jendral kepanitraan MKRI, 2010), h. 3
41
Sistem demokrasi, pada dasarnya berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan
kebijakan publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme
perwakilan yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan mayoritas perlu
dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi penyalahgunaan
kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh karena
itu, diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi
demokrasi. Mekanisme judicial review yang di banyak negara
dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan mekanisme untuk
membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.
Mahkamah Konstitusi sering dicirikan sebagai pengadilan
politik. Bahkan judicial review secara tradisional dipahami sebagai
tindakan politik untuk menyatakan suatu ketentuan tidak konstitusional
oleh pengadilan khusus yang berisi para hakim yang dipilih oleh
parlemen dan lembaga politik lain, dan bukan oleh pengadilan biasa
yang didominasi oleh hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari
prinsip supremasi konstitusi untuk menjaga diperlukan pengadilan
42
khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah
dengan aturan hukum di atasnya.
Status bebas merdeka bagi lembaga peradilan dan terutama
hakimnya ini sama sekali tidak berarti bahwa aparat hukum boleh
memberi keputusan dengan sewenang-wenang, melainkan aparat
hukum dalam menjalankan tugasnya benar-benar berkiblat hanya
kepeda kebenaran, baik kebenaran faktual berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan. Dalam memutuskan sebuah perkara hakim haruslah
bersikap adil dan berhati-hati.
Dengan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dari
lembaga atau badan pelaksananya diharapkan dapat melakukan
pengawasan hukum terhadap kekuasaan Negara lainnya. Dengan
demikian, hal tersebut dapat meminimalisir tidak adanya kemandirian
kekuasaan kehakiman yang akan membuka peluang terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan Negara atau pemerintah. Dengan adanya
konteks Negara-negara hukum kekuasaan kehakiman konstitusional
memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap
kekuasaan pemerintah, kewenangan tersebut sebagai konsekuensi logis
dianut prinsip pembagian kekuasaan Negara konstitusi.
43
Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim
merupakan asas yang sifatnya universal asas ini berarti bahwa dalam
melaksanakan peradilan hakim pada dasarnya bersifat bebas dalam arti
bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur
tangan kekuasaan ekstra yudisial.21
Hal ini di dasarkan pada suatu
kenyataan bahwa kekuasaan kehakiman pada hakikatnya hanyalah
sistem konstitusional yang berlaku di suatu Negara yang meliputi
lembaga-lembaga Negara, fungsi, tugas dan kewenangan serta
tanggung jawab masing-masing lembaga dan bagaimana hubungan
Negara dengan warganegara.
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang independen
adalah sebagai berikut:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan pelaksaan fungsi peradilan,
dan pengadilan hanya bekerja bila ada pelanggaran hukum atau
hak warga Negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya dapat
melakukan intervensi.
2. Fungsi peradilan hanya berlangsung apabila ada kasus
pelanggran hukum yang khusus., hakim masih dalam koridor
21
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada
Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta, Swadaya Group), h. 85
44
tugasnya, jika memutus suatu perkara menolak menerapkan
prinsip yang berlaku umum. Namun apabila jika hakim menolak
menaati prinsip-prinsip yang berlaku umum dan tidak dalam
kondisi memeriksa suatu perkara hakim dapat dihukum atas
dasar pelanggran itu.
3. Kekuasaan kehakiman berfungsi jika diperlukan dalam hal
adanya sengketa yang di atur dalam hukum, jika suatu putusan
berujung pada terbuktinya suatu kejahatan pelakunya dapat
ditahan. 22
Kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk
menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang
dimiliki. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain, yaitu
Mahkamah Agung, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari
cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip
supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan.
22
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada
Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta, Swadaya Group), h. 92
45
Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD
dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara
sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah
naungan konstitusi.23
Dalam pemikiran politik Islam, kekuasaan kehakiman atau
sering disebut sebagai kekuasaan kehakiman kedudukan seorang hakim
bukan hanya pelaksana kekuasaan yudikatif yang bebas, mandiri, dan
professional, melainkan hakim memiliki hak sepenuhnya untuk
melaksanakan dan memutuskan sebuah perkara.
John Ferejohn mengemukakan bahwa secara prinsip tujuan dari
kemerdekaan Komisi Yudisial adalah untuk memfasilitasi tiga nilai
sebagai berikut:
1. Kemerdekaan Yudisial merupakan kondisi yang diperlukan
untuk memelihara Negara hukum.
2. Dalam suatu peemrintahan konstitusional, hanya hukum yang
secara konstitusional memiliki legitimasi yang harus ditegakkan
dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk melakukan
tugas dan memutuskan hukum tersebut. Oleh karena itu,
23
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta,
Sekretariat Jendral kepanitraan MKRI, 2010), h. 10
46
terdapat kebutuhan agar pengadilan memiliki kemerdekaan
untuk membatalkan aturan hukum yang melanggar niali-nilai
tersebut.
3. Dalam Negara demokrasi, pengadilan harus memiliki otonomi
yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan
penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan
ekonomi atau politik.24
Kehadiran kekuasaan kehakiman yang independen bagi suatu
Negara hukum merupakan suatu keharusan dan sebagai bentuk
akuntabilitas Negara dalam proses penegakan hukum yang berkeadilan
berdasarkan norma hukum yang disepakati bersama oleh seluruh rakyat
kekuasaaan kehakiman yang merdeka dalam konteks sistem
ketatanegaraan Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem
Undang-undang Dasar 1945.
Kekuasaan kahakiman yang merdeka bermakna sebagai
kemerdekan kekuasaan kehakiman baik secara kelembagaan maupun
dalam pengambilan putusan dari segala pengaruh kekuasaan lain yang
bersifat ekstrayudisial. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
24
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada
Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta, Swadaya Group), h. 94
47
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan
hukum dan keadilan bersadarkan pancasila sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Perubahan kekuasan kehakiman dalam Undang-undang 1945
menunjukan adanya perkembangan, jika dahulu kekuasaan kehakiman
hanya diletakkan dan berpuncak pada Mahkamah Agung, sekarang
puncak kekuasaan kehakiman ada dua yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Pengaturan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 hasil
amandemen ketiga justru menempatkan Mahkamah Konstitusi berada
dibawah Mahkamah. Namun, dalam sisi lain Mahkamah Konstitusi
diberi kewenangan yang lebih tinggi dari Mahkamah Agung, yakni
melakukan pengujian terhadap Undang-undan, sedanglan wewenang
Mahkamah Agung dalam hal pengujian hanya dapat dipergunakan
terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Penempatan Mahkamah Konstitusi sejajar kedudukannya
dengan Mahkamah Agung dalam suatu lingkungan kekuasaan
kehakiman justru mengaburkan mahkamah konstitusi dalam struktur
baru ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi merupakan
48
lembaga Negara setingkat dengan MPR, dimana perbedan utama
keduanya hanya pada yurisdiksi. Mahkamah Konstitusi berhak
memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara sehingga
membuka peluang bagi suatu lembaga Negara guna menggugat putusan
Mahkamah Agung dalam perkara Judicial review. 25
25
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada
Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta, Swadaya Group), h. 101