Upload
duongthu
View
238
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan Kejuruan
Pendidikan teknologi dan kejuruan adalah pendidikan untuk menyiapkan dan
mengembangkan kerja produktif. Pendidikan kejuruan dapat diklasifikasikan ke
dalam jenis pendidikan khusus (specialized education) karena kelompok pelajaran
atau program yang disediakan hanya dipilih oleh orang-orang yang memiliki
minat khusus untuk mempersiapkan dirinya bagi lapangan pekerjaan di masa
mendatang. Agar lapangan kerja khusus ini dapat sukses maka pendidikan
kejuruan dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga terampil yang dibutuhkan di
masyarakat.
Ada tiga istilah sehubungan dengan pendidikan khusus ini, yaitu pendidikan
teknologi (technical education), pendidikan kejuruan (vocational education), dan
pendidikan karir (career education). Dalam hal ini Wenrich bahkan masih
menambah satu istilah lagi yakni pendidikan profesional (profesional education).
Untuk yang terakhir ini dapat mencakup pendidikan calon dokter, calon insinyur,
calon ahli hukum, ahli kerja sosial dan sebagainya (Wenrich dalam Arikunto,
Suharsimi ,1990: 1)
15
Pendidikan teknologi disediakan untuk para lulusan pasca sekolah menengah atau
sederajat (post-secondary), pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk sekolah
menengah atas dan pendidikan profesional merupakan pendidikan di tingkat
universitas. Pendidikan karir merupakan proses pengembangan sejak masa kanak-
kanak, yakni pada waktu mereka menduduki taman kanak-kanak, sekolah dasar,
hingga sekolah menengah (Arikunto, Suharsimi, 1990: 2).
Adanya pendidikan teknologi dan kejuruan di Indonesia mengenal perkembangan.
Secara tersamar, pendidikan kejuruan ini sudah ada sejak zaman pemerintahan
Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945,
serangkaian tindakan telah diambil untuk memperbaiki sistem maupun tujuan
pendidikan. Pembentukan moral merupakan tujuan yang lebih utama
dibandingkan dengan kecerdasan.
Sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di awal, tujuan
pendidikan nasional adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat
dan tanah air. Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan tersebut
pemerintah banyak mendirikan sekolah. Beberapa jenis dan tingkat sekolah
sebenarnya merupakan warisan sejak zaman penjajahan Belanda. Sebagian
lainnya merupakan sekolah yang baru didirikan. Di samping beberapa sekolah
umum, sesudah dilaksanakan penataan, maka untuk pendidikan teknologi dan
kejuruan dikenal beberapa jenis dan tingkat pendidikan, yaitu: (1) sekolah-sekolah
teknik dan kejuruan, terdiri atas tiga jenis sekolah yakni: (a) sekolah-sekolah
kejuruan: Sekolah Kerajinan (SK), merupakan sekolah untuk mendidik pekerja
16
industri rumah. Lama belajar 1-2 tahun tergantung dari tipe kerajinan atau
perdagangan. Pendidikan tersebut diperuntukkan bagi para lulusan pendidikan
dasar; (b) Sekolah-sekolah teknik (ST) yakni sekolah teknik dengan masa sekolah
3 tahun bagi mereka yang lulus tes masuk dan tes menggambar; (c) Sekolah
teknik tingkat menengah Sekolah ini diperuntukkan bagi lulusan SMP (Sekolah
Menengah Pertama) dan ST dengan nilai baik; (2) Sekolah Kepandaian Putri
(SKP); (3) Sekolah perdagangan; (4) Sekolah menengah ekonomi tingkat atas
(Arikunto, Suharsimi, 1990: 10).
Menurut Suharsimi Arikunto (1990: 6) pendidikan kejuruan dapat didefinisikan
sebagai pendidikan khusus yang direncanakan untuk menyiapkan peserta didiknya
untuk memasuki dunia kerja tertentu atau jabatan di keluarga, atau meningkatkan
mutu para pekerja. Kurikulumnya berisi sekelompok mata pelajaran tentang
pendidikan kejuruan dan sekelompok lain pendidikan yang sifatnya umum dan
praktis dan disebut sebagai practical arts education.
Nama sekolah yang semula menunjukkan bidang-bidang keahlian tersebut, seperti
Sekolah Teknologi Menengah (STM), Sekolah Menengah Ekonomi Atas
(SMEA), Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK), Sekolah
Menengah Teknologi Pertanian (SMTP), Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR),
Sekolah Menengah Musik (SMM), Sekolah Menengah Karawitan Indonesia
(SMKI), Sekolah Kerajinan Menengah Atas (SKMA), pada tahun 1996/1997
diubah menjadi satu nama generik yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hal
ini dimaksudkan agar dinamika perubahan yaitu penambahan, pengurangan,
17
penyesuaian bidang dan program keahlian di sekolah kejuruan dapat berlangsung
secara elastis (Soenaryo, 2002: 332).
Saat ini berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
Dan Menengah Nomor : 251/C/kep/mn/2008 (Terlampir) tentang Spektrum
Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan , bidang-bidang keahlian dalam
lingkungan pendidikan menengah kejuruan dibagi meliputi 6 kelompok, yaitu:
1. Teknologi dan Rekayasa
2. Teknologi Informasi dan Komunikasi
3. Kesehatan
4. Seni, Kerajinan, dan Pariwisata
5. Agribisnis dan Agroteknologi
6. Bisnis dan Manajemen
Dengan masing-masing bidang keahlian dibagi lagi menjadi beberapa program
studi keahlian, dan pada tiap program studi keahlian terbagi menjadi beberapa
kompetensi keahlian. Sedangkan kompetensi keahlian multimedia merupakan
bagian dari program studi keahlian teknik komputer dan informatika yang
merupakan pecahan dari bidang keahlian Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Pendidikan kejuruan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang produktif,
yakni manusia kerja, bukan manusia beban bagi keluarga, masyarakat, dan
bangsanya (Soenaryo, 2002: 17). SMK juga mengembangkan kesempatan kerja
dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan praktik kepada para lulusan.
Dalam proses pembelajarannya diperlukan perhatian yang serius dari berbagai
18
pihak. Interaksi yang terjadi antara guru dengan peserta didik harus diwarnai oleh
nilai-nilai edukatif.
Tenaga kependidikan yang ada di SMK terdiri atas guru dan non-guru. Standar
kompetensi guru meliputi: (a) kompetensi kependidikan yang dibuktikan dengan
akta mengajar; (b) kompetensi bidang keahlian yang diajarkan yang dibuktikan
dengan sertifikat kompetensi atau setidak-tidaknya sertifikat ahli profesi; dan
(c) kemampuan manajerial khususnya bagi guru yang diberi tugas tambahan
seperti kepala sekolah. Standar kompetensi untuk tenaga kependidikan non-guru
seperti teknisi, laboran, dan pustakawan dibuktikan dengan sertifikat penguasaan
kompetensi dalam bidangnya.
Sebuah SMK harus mampu menyediakan lahan, gedung, perabot, alat, dan bahan
perpustakaan serta infrastruktur lainnya untuk mendukung proses pembelajaran
dalam rangka pembentukan kompetensi. Sarana dan prasarana yang disediakan
tersebut dapat merupakan milik sendiri atau melalui usaha kerja sama dengan
pihak lain.
Pada prinsipnya, penetapan kompetensi tamatan SMK mengacu kepada standar
kompetensi yang dituntut dunia kerja (dunia usaha/industri) sesuai dengan bidang
keahliannya masing-masing. Penetapan program pembelajaran yang harus
ditempuh oleh siswa, ditetapkan oleh kompetensi-kompetensi tersebut. Standar
kompetensi yang dibuat tidak hanya mengacu kepada tuntutan satu industri atau
perusahaan, melainkan mempertimbangkan sejumlah dunia usaha/industri dalam
bidang keahlian sejenis dengan berbagai karakteristik dan kondisi yang sangat
beragam.
19
Tamatan SMK disiapkan untuk menjadi tenaga kerja pada keahlian dan tingkat
pekerjaan tertentu. Kompetensi yang dituntut dari tenaga kerja Indonesia pada
umumnya dan tenaga kerja dunia usaha/industri tertentu khususnya, tidak semata-
mata berupa kemampuan teknis, tetapi juga berisi kemampuan non-teknis yang
lebih merupakan persyaratan kepribadian (personality). Kemampuan non-teknis
meliputi dua hal. Pertama, kemampuan-kemampuan berperilaku normatif baik
sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial, maupun makhluk Tuhan. Kedua,
kemampuan-kemampuan berperilaku yang mengarah pada pengembangan diri,
baik dalam rangka peningkatan prestasi kerja di lingkungannya maupun
peningkatan kualitas pendidikannya.
Atas dasar itulah, maka standar kompetensi tamatan SMK yang dirancang
mengandung tiga komponen kompetensi yang merupakan kesatuan yang saling
berkaitan dalam membentuk pribadi yang utuh para tamatan SMK.
(a) Komponen kompetensi normatif. Komponen kompetensi ini berisi bahan-
bahan pembelajaran untuk membentuk kepribadian yang beriman dan bertakwa,
berbudi pekerti luhur, memiliki rasa tanggung jawab baik secara pribadi, sebagai
pekerja, maupun sebagai anggota masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya.
(b) Komponen kompetensi adaptif. Komponen kompetensi ini berisi kemampuan-
kemampuan yang dapat membekali tamatan dalam mengembangkan dirinya,
seperti kemampuan berkomunikasi dan memanfaatkan informasi, berfikir logis
dan kritis, dan memiliki motivasi untuk selalu ingin maju.
20
(c) Komponen kompetensi produktif. Kompetensi produktif berisi kompetensi-
kompetensi yang bersifat teknis (dalam bekerja) untuk masing-masing bidang
keahlian (Soenaryo, 2002: 622).
2.2 Pendidikan Sistem Ganda
Pendidikan sistem ganda (dual system) sudah berkembang lama di beberapa
negara. Kerjasama antara Republik Arab Mesir dan Republik Federasi German
berlangsung puluhan tahun yaitu sejak tahun 1950an keduanya telah bekerjasama
dibidang pendidikan teknik dan pelatihan kejuruan. Pendidikan sistem ganda
berkaitan dengan sistem pendidikan yang menekankan pendidikan teori dan
praktek. Berabad-abad yang lalu, Jerman telah mengadopsi suatu sistem
pendidikan sistem ganda dengan beberapa modifikasi dijalankan untuk mengatasi
perubahan dalam masyarakat dan memenuhi permintaan masyarakat.
2.2.1 Pengertian Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pendidikan sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara program
pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh
melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu
tingkat keahlian profesional tertentu (Djojonegoro, 1999:46).
Sedangkan menurut (Wena: 1997:30) mengatakan bahwa pemanfaatan dua
lingkungan belajar di sekolah dan di luar sekolah dalam kegiatan proses
pendidikan itulah yang disebut dengan program Pendidikan Sistem Ganda. Hal
21
senada dikemukan oleh (Nasir, 1998:21) mengatakan bahwa Pendidikan Sistem
Ganda (PSG) ialah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang
memadukan program pendidikan di sekolah dan program pelatihan di dunia kerja
yang terarah untuk mencapai tujuan pendidikan kejuruan. Sedangkan pendidikan
sistem ganda (dual system) adalah memadukan pelatihan kejuruan paruh waktu
dikombinasikan dengan belajar paruh waktu.
Dari pengertian diatas, tampak bahwa PSG mengandung beberapa pengertian,
yaitu: (1) PSG terdiri dari gabungan subsistem pendidikan di sekolah dan
subsistem pendidikan di dunia kerja/industri; (2) PSG merupakan program
pendidikan yang secara khusus bergerak dalam penyelenggaraan pendidikan
keahlian profesional; (3) penyelenggaraan program pendidikan di sekolah dan
dunia kerja/industri dipadukan secara sistematis dan sinkron, sehingga mempu
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan;dan (4) proses penyelenggaraan
pendidikan di dunia kerja lebih ditekankan pada kegiatan bekerja sambil belajar
(learning by doing) secara langsung pada keadaan yang nyata.
2.2.2 Tujuan Pendidikan Sistem Ganda
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG bertujuan:
1. Menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu
tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos
kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.
22
2. Meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan/kecocokan
(link and match) antara lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan
dengan dunia kerja.
3. Meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga
kerja berkualitas profesional dengan memanfaatkan sumberdaya pelatihan
yang ada di dunia kerja.
4. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja
sebagai bagian dari proses pendidikan (Djojonegoro, 1999:75).
2.2.3 Karakteristik Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pelaksanaan PSG pada SMK sesuai dengan konsep sistem ganda memiliki
karakteristik sebagai berikut: Institusi pasangan dan program pendidikan dan
pelatihan bersama yang tediri dari: Standar Kompetensi/Keahlian Tamatan,
Standar Pendidikan dan Pelatihan (materi, waktu, pola pelaksanaan), Penilaian
dan Sertifikasi, Kelembagaan dan Nilai Tambah dan insentif.
Komponen Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di Sekolah Menengah Kejuruan
1. Peserta Didik
Peserta didik sebagai individu yang belum dewasa, bukan berarti peserta didik
sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan kemampuan. Peserta
didik secara kodrati telah memilki potensi dan kemampuan-kemampuan atau
talenta tertentu hanya peserta didik itu belum mencapai tingkat optimal dalam
pengembangan talenta atau potensi kemampuan. Peserta didik merupakan sasaran
(objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu pendidik dalam
23
memahami hakekat peserta didik perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang
ciri-ciri yang dimiliki peserta didik yaitu:(1) kelemahan dan ketidakberdayaannya;
(2) berkemauan keras untuk berkembang; dan (3) ingin menjadi diri sendiri
(memperoleh kekuatan), (Ahmadi & Uhbiyati, 2001:251).
Sekolah Menengah Kejuruan adalah suatu lembaga pendidikan yang berfungsi
memenuhi atau memuaskan kebutuhankebutuhan peserta didik dalam hal
pendidikan. Pemenuhan kebutuhan peserta didik sangat penting dalam rangka
pertumbuhan dan perkembangannya. Perkembangan peserta didik SMK harus
mengacu kepada kerangka kebutuhan pendidikan nasional termasuk kebutuhan
meningkatkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan di dunia kerja.
2. Kurikulum
Pengembangan kurikulum PSG bertujuan untuk meningkatkan kebermaknaan
substansi kurikulum yang akan dipelajari di sekolah dan di Institusi Pasangan
sebagai satu kesatuan utuh dan saling melengkapi, serta pengaturan kegiatan
belajar-mengajar yang dapat dijadikan acuan bagi para pengelola dan pelaku
pendidikan di lapangan, sehingga pada gilirannya siswa dapat menguasai
kompetensi yang relevan dan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Kurikulum
terdiri dari berbagai bentuk, salah satu diantaranya adalah kurikulum berbasis
kompetensi (competecy based curriculum) yaitu semua kegiatan kurikulum
diorganisasi ke arah fungsi atau kemampuan yang dituntut pasaran kerja atau
dibidang pekerjaan (Shoate, 1992:2).
Pendapat lain mengatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi adalah
pengembangan kurikulum yang bertitiktolak dari kompetensi yang seharusnya
24
dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, nilai dan pola berpikir serta bertindak sebagai refleksi dari
pemahaman dan penghayatan dari apa yang telah dipelajari siswa (Siskandar,
2003:5).
Ada beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum PSG, yaitu selain berbasis
kompetensi, berbasis produksi (production based), belajar tuntas (Mastery
Learning), belajar melalui pengalaman langsung (learning by experience doing),
dan belajar perseorangan (Individualized Learning) yakni setiap siswa harus
diberi kesempatan untuk maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan
irama perkembangannya masing-masing.
3. Tenaga Kependidikan
a. Kepala Sekolah
Kepala Sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan
dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Erat hubungannya antara mutu kepala
sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti: disiplin sekolah, iklim
budaya sekolah, dan menurunnya perilaku nakal peserta didik (Mulyasa,
2004:24). Dalam pada itu, kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen
pendidikan secara mikro, yang secara langsung berkaitan dengan proses
pembelajaran di sekolah.
Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk
melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan
berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam kapasitas
25
tersebut, maka kepala sekolah harus memiliki visi dan misi, serta strategi
manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi kepada mutu.
b. Guru/Instruktur
Guru mempunyai tanggung jawab melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas
untuk membantu proses pengembangan siswa. Secara rinci peran guru dalam
proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan adalah: mendidik siswa
(memberikan pembimbingan dan pendorongan), membantu perkembangan aspek-
aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan prilaku, meningkatkan motivasi belajar
siswa, membantu setiap siswa agar dapat mempergunakan berbagai kesempatan
belajar dan berbagai sumber serta media belajar secara efektif, memberikan
bantuan bagi siswa yang sulit belajar,membantu siswa menyelesaikan masalah
yang berhubungan dengan pendidikan dan memberikan fasilitas yang memadai
sehingga siswa dapat belajar secara efektif (Sutikno, 2004:22).
Tugas instruktur industri hampir sama dengan tugas guru di sekolah. Dengan
demikian, keberhasilan praktik peserta didik di industri sangat tergantung
kemampuan instruktur dalam melaksanakan tugasnya (Wena, 1997:39).
4. Proses Pembelajaran dan Pelatihan
Pembelajaran dan pelatihan senantiasa berpedoman pada kurikulum tertentu
sesuai dengan tuntutan lembanga pendidikan/sekolah dari kebutuhan masyarakat
serta faktor-faktor lainnya. Kegiatan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dilakukan
pembelajaran di sekolah dan pelatihan di industri (institusi pasangan). Dalam hal
ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
26
a. Proses pembelajaran di Sekolah
Strategi Pembelajaran di sekolah menggunakan pembelajaran berbasis kompetensi
(competency based training). Konsep pembelajaran berbasis kompetensi
(competency based training) bukanlah konsep baru. sejak akhir tahun 1960 telah
dikenal di Amerika Serikat yang dimulai dengan pendidikan guru. Kemudian
berkembang untuk program pendidikan profesional lainnya di Amerika Serikat
pada tahun 1970, kemudian dimanfaatkan untuk program pelatihan kejuruan di
Inggris dan Jerman pada tahun 1980, serta untuk pelatihan kejuruan dan
pengenalan keterampilan profesional di Australia pada tahun 1990, (Bowden John
A: 2008:).
Menurut Wibowo dalam Muliati (2005: 12) Pembelajaran berbasis kompetensi
(competency based training) berkembang di Indonesia sejak dimulainya kebijakan
keterkaitan dan kesepadanan (link and match) yang dimanifestasikan dalam
program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
pada tahun 1993/1994. Dalam rangka inilah dibutuhkan implementasi pelatihan
berbasis kompetensi (competency based training). Konsep pelatihan berbasis
kompetensi pada hakekatnya berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh
seseorang (kompeten) sebagai hasil atau output dari pembelajaran. Pembelajaran
berbasis kompetensi memiliki perhatian yang lebih besar keterkaitan dengan
dunia kerja daripada program pendidikan formal.
b. Proses Pelatihan kerja di Industri (institusi pasangan)
Pelaksanaan proses pelatihan kerja di industri (institusi pasangan) harus
memperhatikan dua hal yaitu; Metode; pemilihan metode KBM praktik diarahkan
27
ke kondisi kerja atau produksi di industri, dengan prinsip efektivitas dan efisiensi
secara ketat; yang mana hanya dua kondisi hasil kerja, yaitu diterima atau ditolak.
Beberapa metode yang cocok untuk itu, antara lain, demonstrasi, observasi dan
latihan terbimbing. Proses pelatihan; pemanfaatan waktu dalam pelatihan (time on
task) harus seefektif dan seefisien mungkin. Pembelajaran di Institusi Pasangan
dilaksanakan sesuai kurikulum PSG di lini produksi. Unsur yang terlibat dalam
praktek industri adalah siswa, guru/instruktur dan guru pembimbing praktik
industri dilaksanakan sesuai dengan program (materi, jangka waktu, jadwal,
penilaian, pelaporan dan sertifikasi).
Dalam pelaksanaan praktek kerja siswa menurut (Djauhari, 1997:20) mengatakan
bahwa memberikan kepercayaan pada industri untuk berperan secara penuh dalam
melaksanakan pelatihan dan sertifikasi pelatihan.
Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh siswa yang
sedang melaksanakan praktik kerja di Institusi Pasangan (IP), maka diberikan
Jurnal Kegiatan Siswa (student diary). Jurnal tersebut dapat diisi setiap hari,
setiap akhir tahap pekerjaan, atau setiap akhir pekerjaan.
5. Fasilitas/Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
lapangan kerja maka diperlukan fasilitas pendidikan yang memadai. Fasilitas
dimaksud adalah sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah yang digunakan
dalam proses belajar mengajar. Prasarana berarti alat tidak langsung untuk
mencapai tujuan pendidikan. Sarana pendidikan terdiri dari tiga kelompok yaitu;
(1) bangunan dan perabot sekolah; (2) alat pelajaran yang terdiri dari buku dan
28
alat-alat peraga dan laboratorium; dan (3) media pendidikan yang dapat
dikelompokkan menjadi audiovisual yang menggunakan alat terampil (Kasan,
2003:91).
Dalam rangka mendukung pelaksanaan PSG, maka setiap SMK minimal memilki
beberapa jenis peralatan, bahan praktek, perabot, dan peralatan penunjang praktik
baik untuk praktik dasar maupun praktik keahlian.
6. Penilaian Hasil Pendidikan Sistem Ganda
Penilaian diartikan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada
objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu (Sudjana, 2002;3). Sedangkan
menurut (Marylin & Quarantalory, 1987:9) mengatakan penilaian adalah tindakan
tentang penetapan derajat penguasaan atribut tertentu oleh individu atau kelompok
(the act of determining the degree to which an individual or group posesses a
certain atribute). Dari pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa objek yang
dinilai adalah hasil belajar siswa yang pada hakekatnya adalah adanya perubahan
tingkah laku menyangkut; bidang kognitif, efektif dan psikomotor.
Dalam evaluasi hasil belajar PSG dilakukan penilaian dan sertifikasi. Penilaian
adalah upaya menafsirkan hasil pengukuran dengan cara membandingkannya
terhadap patokan tertentu yang telah disepakati. Sedangkan yang dimaksud
dengan sertifikasi adalah suatu proses pengakuan keahlian dan kewenangan
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan tertentu, melalui suatu
proses sistem pengujian keahlian yang mengacu kepada standar keahlian yang
berlaku dan diakui oleh lapangan kerja (Depdikbud: 1997).
29
7. Hubungan Kerjasama dengan Institusi Pasangan
Untuk mewujudkan visi dan misi sekolah sesuai dengan paradigma pendidikan
kejuruan, perlu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekolah secara optimal.
Hal ini penting karena sekolah memerlukan masukan dari masyarakat dalam
menyusun program yang relevan, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat
dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Tercapainya tujuan SMK antara lain
ditentukan oleh sejauhmana terjadinya keterkaitan dan kecocokan (link and
match) antara apa yang ada dan yang terjadi di sekolah dengan apa yang terjadi di
dunia usaha/ dunia kerja. (Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 pasal 3 ayat
2). Sejalan dengan hal itu menurut (Bhattacharya & Mandke; 1992:126)
mengatakan bahwa bagi lembaga pendidikan kejuruan tanpa memanfaatkan dunia
industri sebagai tempat belajar akan sulit untuk menghasilkan lulusan yang dapat
memahami dunia kerja.
Fungsi institusi pasangan sebagai mitra penyelenggaraan pendidikan dengan pihak
sekolah adalah melaksanakan kegiatan; (1) perumusan bersama tentang
pola/sistem penerimaan siswa baru; (2) penyusunan kurikulum; (3) pengaturan
bersama keterlaksanaan pembelajaran baik di sekolah maupun di dunia
usaha/industri; (4) melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi; dan (5)
melakukan evaluasi pelaksanaan (Depdikbud: 1997). Hal senada dikatakan oleh
(Slamet, 1998:40) bahwa dalam pelaksanaan PSG perlu menyusun program
bersama, dan mengadakan penilaian bersama antara sekolah dan industri.
Pendapat lain mengatakan bahwa hubungan pendidikan ditandai dengan adanya
kontrak diikuti dengan kewajiban yang harus dijalankan oleh perusahaan dan
peserta didik (Hadi 1998:50).
30
Maka diperlukan industri/Institusi Pasangan (IP) sebagai mitra penyelenggaraan
pendidikan dengan pihak sekolah dalam upaya peningkatan mutu tamatan yang
berwawasan mutu, sesuai dengan tuntutan kerja.
8. Proses pengelolaan PSG
Sumber: Depdikbud Perangkat Pendukung Pelaksanaan Pendidikan Sistem
Ganda (PSG), Jakarta, Ditjen Dikdasmen, Dikmenjur,1997
Gambar. 2.1 . Bagan Proses Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda
MS SEKRETARIAT
SEKOLAH INDUSTRI
PELAKSANAAN PERSIAPAN UJI
KOMPETENSI
PELAPORAN
Penyusunan/penyiapan 1.Kerjasama 2. Standar Keahlian 3.Kurikulum 4.Perangkat keras 5.Pembiayaan
Seleksi peserta PSG
Pembekalan peserta
dan orientasi
Penyiapan bahan
dan instrumen
Pelaksanaan uji
kompetensi
Pembuatan laporan
secara priodik
Penyiapan guru
dan instruktur
Kontrak
Pelatihan
PBM di sekolah Pelatihan
diindustri
Pembelajaran dan
Pelatihan
Instruktur Guru
Sertifikasi
Pengawasan dan Pengendalian (Pemantauan, Evaluasi, Pembinaan)
31
2.3 Model Evaluasi Program
2.3.1 Pengertian evaluasi program
Evaluasi memiliki pengertian sebagai bentuk penilaian mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan, dari sudut pandang istilah menurut Wandt dan Brown
dalam Sudiyono (2003: 1) : “evaluation refer to the act or process to determining
the value of something” (evaluasi merupakan suatu tindakan atau suatu proses
untuk menentukan nilai dari sesuatu). Sementara menurut Bloom dalam Suharsimi
(2004: 1) : “evaluation as we it, is the sistematic collection of evidence whether in
fact certain changes are taking place in the learner as well as to determine the
amount or degree of change in individual student”. Artinya evaluasi sebagaimana
kita lihat adalah mengumpulkan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan
apakah dalam kenyataannya tim terjadi perubahan dalam diri siswa dan
menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa.
Sedangkan menurut Stufflebeam dalam Suharsimi (2004: 2) : ”evaluation is the
process of delineating, obtaining and providing useful information for judging
decision alternatives”. Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan,
memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif
keputusan. Selain itu dalam Suharsimi (2004: 1) menurut Suchman bahwa
evaluasi dipandang sebagai sebuah proses, menentukan hasil yang telah dicapai
beberapa kegiatan yang direncanakan, untuk mendukung tercapainya tujuan.
Worthen dan Sanders dalam Suharsimi (2004: 1) mengemukakan definisi evaluasi
merupakan kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu. Dalam
mencari sesuatu tersebut juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam
menilai keberadaan sesuatu program, produksi, prosedur serta alternatif strategi
32
yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut maka evaluasi merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
sebuah keputusan.
Davies mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana
memberikan/menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk
kerja, proses, orang, objek dan masih banyak yang lain (Davies, 1981: 3).
Sedangkan Wand dan Brown mengemukakan : Evaluasi merupakan suatu proses
untuk menentukan nilai dari sesuatu (Nurkancana, 1986: 1). Pengertian evaluasi
lebih dipertegas lagi, dengan batasan sebagai proses memberikan atau
menentukan nilai objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu (Sudjana,
2002: 3).
Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk
menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang,
objek, dan yang lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian. Untuk
menentukan nilai sesuatu dengan cara membandingkan dengan kriteria, evaluator
dapat langsung membandingkan dengan kriteria namun dapat pula melakukan
pengukuran terhadap sesuatu yang dievaluasi kemudain baru membandingkannya
denga kriteria. Dengan demikian evaluasi tidak selalu melalui proses mengukur
(pengukuran) baru melakukan proses menilai (penilaian) tetapi dapat pula evaluasi
langsung melalui penilaian saja.
33
Ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu pengertian secara khusus dan
umum. Menurut pengertian secara umum, “program “ dapat diartikan sebagai
rencana. Jika dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan
sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan
sekelompok orang.(suharsimi,2004: 3)
Sedangkan evaluasi program menurut Joint Commite yang dikutip oleh
(Brinkerhof, 1986:15) adalah aktivitas investigasi yang sistematis tentang sesuatu
yang berharga dan bernilai dari suatu obyek. Pendapat lain (Denzin and Lincoln,
2000:983) mengatakan bahwa evaluasi program berorientasi sekitar perhatian dari
penentu kebijakan dari penyandang dana secara karakteristik memasukkan
pertanyaan penyebab tentang tingkat terhadap mana program telah mencapai
tujuan yang diinginkan. Selanjutnya menurut Mc Namara, mengatakan evaluasi
program mengumpulkan informasi tentang suatu program atau beberapa aspek
dari suatu program guna membuat keputusan penting tentang program tersebut.
Keputusan-keputusan yang diambil dijadikan sebagai indikator-indikator
penilaian kinerja atau assessment performance pada setiap tahapan evaluasi (Issac
and Michael, 1982:22).
Berangkat dari pengertian di atas maka evaluasi program merupakan suatu proses.
Secara eksplisit evaluasi mengacu pada pencapaian tujuan sedangkan secara
implisit evaluasi harus membandingkan apa yang telah dicapai dari program
dengan apa yang seharusnya dicapai berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
34
Dalam konteks pelaksanan program, kriteria yang dimaksud adalah kriteria
keberhasilan pelaksanaan dan hal yang dinilai adalah hasil atau prosesnya itu
sendiri dalam rangka pengambilan keputusan. Evaluasi dapat digunakan untuk
memeriksa tingkat keberhasilan program berkaitan dengan lingkungan program
dengan suatu “judgement” apakah program diteruskan, ditunda, ditingkatkan,
dikembangkan, diterima atau ditolak.
2.3.2 Tujuan dan fungsi evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah sebagai berikut : 1) untuk memperoleh data yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertanggungjawaban program. Dengan data
tersebut untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan suatu periode kerja, apa yang
telah dicapai, apa yang belum dicapai, dan apa yang perlu mendapat perbaikan
khusus; 2) untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program. Dengan demikian
akan terjamin cara kerja yang efektif dan efisien yang membawa organisasi
pendidikan (manusia/tenaga, sarana/prasarana, biaya) secara efisiensi dan
ekonomis, untuk memperoleh fakta tentang kesulitan, hambatan, penyimpangan
dilihat dari aspek tertentu misalnya program tahunan dan kemajuan belajar
(Depdikbud, 1997: 15).
2.3.3 Model-model evaluasi
Menurut Fernandes dalam Stephen Issac , menggolongkan menjadi enam model
evaluasi yaitu: CIPP Models, Stake’s Model, Descrepacy Model, Screven Model,
35
CSE model, dan Adversary model. Sedangkan menurut Kauffman & Thomas
(1980: 109), membagi ke dalam delapan model evaluasi yaitu :
1) Screven’s Formative-Sumative Model;
2) CIPP Model;
3) CSE-UCLA Model;
4) Stake’s Countenance Model;
5) Tyler’s Goal Attainment Model;
6) Provus’s Discrivancy Model;
7) Screven’s Goal-free Model;
8) Stake’s Responsive model.
Untuk menentukan efektivitas terhadap pelaksanaan suatu program atau kegiatan
dapat dilakukan dengan pendekatan evaluasi.
2.3.4 Model Evaluasi CIPP
Model CIPP ini dikembangkan oleh stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio
State University. Model evaluasi CIPP terfokus pada empat aspek, yaitu :
a. Contect evaluation, to serve planning decision
Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan
yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program. Di sisi lain,
konteks dapat disebut juga dengan penilaian. Penilaian kontek meliputi analisis
masalah yang berhubungan dengan lingkungan pendidikan yang khusus. Suatu
kebutuhan (a need) dirumuskan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi
sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Selain itu, penilaian konteks adalah
36
menjelaskan atau menggambarkan secara jelas tentang tujuan program yang akan
memperkecil kebutuhan, yaitu memperkecil kesenjangan antara kondisi aktual
dengan kondisi yang diharapkan. Atau dapat dikatakan menurut Suharsimi
Arikunto (2004:29), penilaian konteks adalah penilaian terhadap kebutuhan,
tujuan pemenuhan kebutuhan dan karakteristik individu yang menangani, di mana
evaluator harus sanggup menentukan prioritas kebutuhan dan memilih tujuan
yang paling menunjang kesuksesan.
b. Input evaluation, structuring decision
Evaluasi ini menolong mengatur keputusan. Menentukan sumber-sumber yang
ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai
kebutuhan. Bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Di sisi lain, input dapat
disebut juga dengan penilaian. Penilaian masukan (input) meliputi pertimbangan
tentang sumber dan strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan umum dan
tujuan khusus suatu program. Informasi-informasi yang telah terkumpul selama
tahap penilaian hendaknya dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk
menentukan sumber dan strategi di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada.
Penilaian masukan boleh mempertimbangkan sumber tertentu apabila sumber-
sumber tersebut terlalu mahal untuk diberi atau tidak tersedia, dan di pihak lain
ada alternatif yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program. Penilaian
masukan membutuhkan evaluator yang memiliki pengetahuan luas tentang
berbagai kemungkinan sumber dan strategi. Pengetahuan tersebut bukan hanya
tentang penelitian saja tapi juga dalam efektivitas untuk mencapai berbagai tipe
keluaran.
37
c. Process evaluation, to serve implementing decision
Evaluasi proses untuk membantu mengimplementasikan keputusan. Sejauh mana
rencana telah diterapkan? apa yang harus direvisi? Begitu pertanyaan tersebut
menjawab prosedur dapat dimonitor, dikontrol, dan diperbaiki. Di sisi lain, proses
dapat disebut juga dengan penilaian. Penilaian proses meliputi koleksi data
penilaian yang telah ditentukan (dirancang) dan diterapkan di dalam praktik
(operasi). Seorang penilai proses mungkin disebut sebagai monitor sistem
pengumpulan data dari pelaksanaan program sehari-hari.
Di samping itu, penilaian proses adalah melihat catatan kejadian-kejadian yang
muncul selama program berlangsung dari waktu ke waktu. Catatan-catatan
semacam itu barangkali akan sangat berguna dalam menentukan kelemahan dan
kekuatan atau faktor pendukung serta faktor penghambat program jika dikaitkan
dengan keluaran. Suatu program yang baik (yang pantas untuk dinilai) tentu sudah
dirancang mengenai siapa yang diberi tanggung jawab dalam pemberian kegiatan,
apa bentuk kegiatannya, dan bilamana kegiatan tersebut harus selesai. Peneliti
sebagai evaluator pada program dalam hal ini berperan memberikan informasi
sejauh mana proses kegiatan tersebut sudah terlaksana. Tujuannya adalah
membantu pertanggungjawaban pemantau (monitor) agar lebih mudah
mengetahui kelemahan-kelemahan program dari berbagai aspek untuk kemudian
dapat dengan mudah melakukan remedi.
d. Product evaluation, to serve recyling decision.
Evaluasi produk untuk menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah
dicapai? apa yang dilakukan setelah program kerja berjalan? Di sisi lain, product
38
dapat disebut juga dengan penilaian. Penilaian hasil (product) adalah penilaian
yang dilakukan oleh peneliti di dalam mengukur keberhasilan pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan. Tujuan pengukuran tersebut dikembangkan dan
diadministrasikan. Data yang dihasilkan akan sangat berguna bagi administrator
dalam menentukan apakah program ditentukan dimodifikasikan atau dihentikan.
Pengembangan model CIPP ini, pada setiap tipe penilaian menekankan tiga tugas
pokok yang dilakukan, yaitu : 1) memaparkan semua informasi yang diperlukan
oleh pengambil keputusan; 2) memperoleh informasi; 3) mensintesiskan
informasi-inforamsi sedemikian sehingga secara maksimal dapat dimanfaatkan
oleh para pengambil keputusan. Penilian hasil merupakan tahapan terakhir di
dalam model CIPP, fungsinya adalah membantu penanggung jawab program
dalam mengambil keputusan, meneruskan, memodifikasi atau menghentikan
program. Penilaian hasil tersebut memerlukan perbandingan antara hasil program
dengan tujuan yang ditetapkan. Hasil yang dinilai dapat berupa skor tes, data
observasi, diagram data, sosiometri, dan lain sebagainya. Stufflebeam dalam
Arikunto (2004:31), menguraikan ada empat buah pertanyaan berkenaan dengan
penilaian hasil (product) sebagai berikut : 1) tujuan-tujuan manakah yang sudah
tercapai; 2) pernyataan-pernyataan seperti apakah yang dapat dibuat untuk
menunjukkan hubungan antara spesifikasi prosedur dengan hasil yang nyata dari
kegiatan program; 3) kebutuhan individu manakah yang telah terpenuhi sebagai
akibat dari kegiatan program; 4) hasil jangka panjang apakah yang nampak
sebagai akibat dari kegiatan program.
39
2.4 Teori Belajar dan Pembelajaran
Bruner dalam Kwartolo (2009: 9) mengemukakan bahwa teori pembelajaran
adalah preskriptif, sedangkan teori belajar adalah deskriptif. Preskriptif artinya,
tujuan teori pembelajaran adalah menetapkan metode/strategi pembelajaran yang
cocok supaya memperoleh hasil yang optimal. Teori pembelajaran menaruh
perhatian pada bagaimana seorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses
belajar.
Dengan kata lain, teori pembelajaran berkaitan dengan upaya mengontrol
variabel-variabel yang spesifik dalam teori belajar agar dapat memudahkan
belajar. Sedangkan deskriptif artinya, tujuan teori belajar adalah menjelaskan
proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada bagaimana sesorang belajar.
Dengan demikian variabel kondisi pembelajaran dan variabel metode
pembelajaran yang dikemukakan oleh Reigeluth dan Merril tersebut di atas
sebagai givens, dan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati.
2.4.1 Teori belajar Humanistik
Humanistik merupakan suatu pendekatan yang menganggap siswa sebagai a
whole person (orang sebagai satu kesatuan). Muhibin Syah Fathurrohman dan
Sutikno (2007: 34) menyebutkan bahwa humanity education merupakan sistem
pembelajaran klasik yang bersifat global, dimana pendekatan pembelajaran ini
memberikan kebebasan bagi pelaku pembelajaran untuk menentukan pilihan dan
keyakinannya dikarenakan pembelajaran ini menekankan pada pengembangan
40
martabat manusia danmembantu peserta didik untuk mencapai perwujudan diri
sesuai dengan kemampuan dasar dan kekhususan yang dimiliknya.
2.4.2 Teori belajar Gagne
Dalam bukunya yang berjudul “The Conditions of Learning“ (1965), Gagne
mengidentifikasikan mengenai kondisi mental seseorang agar siap untuk belajar.
Gagne dalam Kwartolo (2009: 9) mengemukakan apa yang dinamakan dengan
“nine events of instruction” atau semnbilan langkah/peristiwa belajar. Sembilan
langkah/peristiwa ini merupakan tahapan-tahapan yang berurutan di dalam sebuah
proses pembelajaran.
Tujuan dari kesembilan tahapan tersebut adalah memberikan kondisi yang
sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan
efisien. Agar kesembilan langkah iru memberi makna yang mendalam bagi siswa,
diperlukan suatu pengalaman yang mengkondisikan mental siswa itu terus terjaga
unruk kepentingan proses pembelajaran. Apa yang dikemukakan oleh Gagne itu
akan bertarti jika guru mampu menyediakan materi, sumber belajar, aktivitas,
yang memang dibutuhkan dalam pembelajaran. Kesembilan langkah tersebut : 1)
menarik perhatian siswa; 2) menyampaikan kepada siswa tentang tujuan
pembelajaran; 3) memanggil terlebih dahulu informasi atau pengetahuan yang
sudah diperoleh sebelum proses pembelajaran; 4) menyajikan isi pembelajaran; 5)
menyediakan pedoman atau petunjuk belajar; 6) memberi kesempatan untuk
latihan; 7) memberi umpan balik ; 8) melakukan penilaian; 9) mengekalkan dan
mengembangkan pengetahuan dan kemahiran siswa.
41
2.4.3 Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
siswa aktif untuk membangun pengetahuannya sendiri. Otak manusia (siswa)
diangggap sebagai mediator yang menerima masukan dari dunia luar dan
menentukan apa yang akan dipelajari.
Prinsip-prinsip teori kontruktivisme menurut Drive dalam Suparno (1997:49)
adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personil maupun
sosial.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.
3. Secara aktif melakukan konstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan menuju konsep yang lebih rinci,lengkap sesuai dengan konsep
ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa berjalan mulus.
2.4.4 Skenario Pembelajaran
Peristiwa pembelajaran yaitu penahapan dalam melaksanakan proses
pembelajaran termasuk usaha yang perlu dilakukan dalam tiap tahap agar proses
itu berhasil (Yusufhadi Miarso, 2005: 533). Pembelajaran sebagai proses dapat
diartikan bahwa pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru
dalam rangka membuat siswa belajar.
42
Seorang guru dituntut memenuhi standar kompetensi, yang merupakan suatu
ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan
pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seseorang pendidik agar berkelayakan
untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang
pendidikan. Salah satu kompenen kompetensi pengelolaan pembelajaran dan
wawasan kependidikan yaitu kinerja dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi dari proses pembelajaran, sebagaimana terlihat dalam bentuk
indikator sebagai berikut.
1. Menyusun rencana pembelajaran, indikatornya: mendeskripsikan tujuan
pembelajaran; menentukan materi sesuai dengan kompetensi yang telah
ditentukan; mengorganisasikan materi berdasarkan urutan dan kelompok;
mengalokasikan waktu; menentukan metode pembelajaran yang sesuai;
merancang prosedur pembelajaran; menentukan media pembelajaran/peralatan
praktikum (dan bahan) yang akan digunakan; menentukan sumber belajar
yang sesuai (berupa buku, modul, program komputer dan sejenisnya);
menentukan teknik penilaian yang sesuai.
2. Melaksanakan pembelajaran, indikatornya: membuka pelajaran dengan
metode yang sesuai; menyajikan materi pelajaran yang sistematis; menerapkan
metode dan prosedur pembelajaran yang telah ditentukan; mengatur kegiatan
siswa di kelas; menggunakan media pembelajaran/peralatan praktikum (dan
bahan) yang telah ditentukan; menggunakan sumber belajar yang sesuai
(berupa buku, modul, program komputer dan sejenisnya); memotivasi siswa
dengan berbagai cara yang positif; melakukan interaksi dengan siswa
43
menggunakan bahasa yang komunikatif; memberikan pertanyaan dan umpan
balik, untuk mengetahui dan memperkuat penerimaan siswa dalam proses
pembelajaran; menyimpulkan pembelajaran; menggunakan waktu secara
efektif dan efisien.
3. Menilai prestasi belajar peserta didik, indikatornya: menyusun soal/perangkat
penilaian sesuai dengan indikator/kriteria unjuk kerja yang telah ditentukan;
melaksanakan penilaian; memeriksa jawaban/memberikan skor tes hasil
belajar berdasarkan indikator/kriteria unjuk kerja yang telah ditentukan;
menilai hasil belajar berdasarkan kriteria penilaian yang telah ditentukan;
mengolah hasil penilaian; menganalisis hasil penilaian (berdasarkan tingkat
kesukaran, daya pembeda, validitas, dan reliabilitas); menyimpulkan hasil
penilaian secara jelas dan logis (misalnya: interpretasi kecenderungan hasil
penilaian, tingkat pencapaian siswa, dll); menyusun laporan hasil penilaian;
memperbaiki soal/perangkat penilaian.
4. Melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik,
indikatornya: mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian;
menyusun program tindak lanjut hasil penilaian; melaksanakan tindak lanjut;
mengevaluasi hasil tindak lanjut hasil penilaian; menganalisis hasil evaluasi
program tindak lanjut hasil penilaian.
Manajemen pembelajaran adalah serangkaian tindakan dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan
sengaja untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Sutikno
(2008: 61) berpendapat bahwa upaya yang dapat dilakukan seorang guru dalam
44
mengefektifkan pembelajaran mencakup tiga tahap, yaitu: persiapan atau
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian (evaluasi).
2.4.5 Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan adalah sesuatu yang penting sebelum melakukan sesuatu yang lain.
Keberhasilan pembelajaran sangat tergantung pada kemampuan pendidik dalam
merencanakan pembelajaran. Hamzah B. Uno (2008: 2) mengemukakan bahwa
perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan dapat
berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah yang antisipatif guna
memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Secara implisit, dalam pembelajaran terdapat
kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan. Kegiatan pemilihan, penetapan, dan
pengembangan metode merupakan inti dari perencanaan pembelajaran.
Menurut Kaufman (Attubani, 2008) perencanaan mengandung elemen-elemen
sebagai berikut, pertama mengindentifikasi dan mendokumentasikan kebutuhan.
Kedua, menentukan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat prioritas. Ketiga,
memperinci spesifikasi hasil yang dicapai dari tiap kebutuhan yang diprioritaskan.
Keempat, mengidentifikasi persyaratan untuk mencapai tiap-tiap alternatif.
Kelima, mengidentifikasi strategi alternatif yang memungkinkan, termasuk di
dalamnya peralatan untuk melengkapi tiap persyaratan untuk mencapai
kebutuhan, untung rugi berbagai latar dan strategi yang digunakan.
Perencanaan pembelajaran perlu dipersiapkan, hal ini dilakukan karena
perencanaan merupakan tahapan penting yang harus dilakukan guru sebelum
45
mereka melaksanakan kegiatan pembelajaran. Perencanaan dianggap penting
karena akan menjadi penentu dan sekaligus memberi arah terhadap tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai. Suatu kegiatan pembelajaran akan berantakan
dan tidak terarah jika tidak ada perencaan yang matang. Perencanaan yang matang
dan disusun dengan baik akan memberi pengaruh terhadap ketercapaian tujuan
pembelajaran. Selain itu, perencanaan pembelajaran akan memberikan kejelasan
arah bagi setiap kegiatan pembelajaran, sehingga setiap kegiatan pembelajaran
dapat diusahakan dan dilaksanakan efektif dan seefisien mungkin.
Uraian tersebut memperjelas bahwa perencanaan berkaitan dengan pemilihan dan
penentuan kebijakan tertentu. Harjanto memberi komentar terhadap pendapat
Kaufman (Attubani, 2008) bahwa perencanaan merupakan proses untuk
menentukan kemana harus melangkah dan mengidentifikasi berbagai persyaratan
yang dibutuhkan dengan cara efektif dan efesien.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 20, perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan
pembelajaran, materi pelajaran, metode pembelajaran, sumber belajar, dan
penilaian hasil belajar.
2.4.6 Pelaksanaan Pembelajaran
Pembelajaran, disebut juga kegiatan pembelajaran atau instruksional, adalah usaha
mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara
46
positif tertentu dalam kondisi tertentu (Yusufhadi Miarso, 2005: 528). Pengertian
lain menyebutkan pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Undang-undang
sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab 1 pasal 1). Hamalik, Oemar (2008: 57)
menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi
unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang
saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.
Salah satu komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran dan wawasan
kependidikan yaitu kinerja dalam melaksanakan pembelajaran. Seperti yang telah
dikemukakan di atas, dalam melaksanakan pembelajaran, indikatornya antara lain:
membuka pelajaran dengan metode yang sesuai; menyajikan materi pelajaran
yang sistematis; menerapkan metode dan prosedur pembelajaran yang telah
ditentukan; mengatur kegiatan siswa di kelas; menggunakan media
pembelajaran/peralatan praktikum (dan bahan) yang telah ditentukan;
menggunakan sumber belajar yang sesuai (berupa buku, modul, program
komputer dan sejenisnya); memotivasi siswa dengan berbagai cara yang positif;
melakukan interaksi dengan siswa menggunakan bahasa yang komunikatif;
memberikan pertanyaan dan umpan balik, untuk mengetahui dan memperkuat
penerimaan siswa dalam proses pembelajaran; menyimpulkan pembelajaran;
menggunakan waktu secara efektif dan efisien.
Aspek-aspek pelaksanaan pembelajaran berdasarkan Hamalik, Oemar (2008: 176)
yaitu tahap permulaan pembelajaran, tahap inti pembelajaran, tahap akhir
pembelajaran, dan tahap tindak lanjut.
47
2.4.6.1 Tahap Permulaan Pembelajaran
Tahap permulaan merupakan kegiatan awal dari kegiatan pembelajaran yang
dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa agar secara mental siap mempelajari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru. Seorang guru yang baik tidak tiba-tiba
mengajak siswa untuk membahas materi saat itu, tetapi mengajak siswa terlebih
dahulu berpikir tentang hal-hal yang berhubungan dengan materi yang akan
dipelajari. Selain itu, guru juga sebaiknya memberikan motivasi sebelum siswa
mempelajari materi pelajaran yang baru.
Suparman, M. Atwi (2005: 168) menjelaskan empat komponen utama strategi
instruksional/pembelajaran yaitu urutan kegiatan instruksional, metode, media,
dan waktu. Urutan kegiatan instruksional terdiri atas komponen pendahuluan,
penyajian, dan penutup. Pada urutan kegiatan instruksional yang pertama yaitu
pendahuluan/permulaan terdiri atas 3 langkah: (1) penjelasan singkat tentang isi
pembelajaran, (2) penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman
siswa, dan (3) penjelasan tentang urutan instruksional.
Tahap permulaan pembelajaran meliputi aspek-aspek sebagai berikut: metode
yang digunakan (ketepatan, sistematika), penyampaian materi pembelajaran,
kegiatan siswa, kegiatan guru, dan penggunaan unsur penunjang (Hamalik,
Oemar, 2008: 176).
2.4.6.2 Tahap Inti Pembelajaran
Tahap inti pembelajaran dituliskan M. Atwi Suparman (2005: 168) sebagai
komponen penyajian. Komponen penyajian terdiri atas tiga langkah: (1) uraian;
48
(2) contoh; dan (3) latihan. Tahap inti pembelajaran tidak jauh berbeda dengan
tahap permulaan pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2008: 176), tahap inti
pembelajaran meliputi aspek-aspek: metode yang digunakan (ketepatan,
sistematika), materi yang disajikan, kegiatan siswa, kegiatan guru, dan
penggunaan unsur penunjang.
Siswa (peserta didik) adalah suatu organisme yang hidup. Dalam diri masing-
masing siswa tersebut terdapat ‘prinsip aktif’ yakni keinginan berbuat dan bekerja
sendiri. Dengan bekerja, siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan
keterampilan serta perilaku lainnya, termasuk sikap dan nilai. Sehubungan dengan
hal tersebut, sistem pembelajaran dewasa ini sangat menekankan pada
pendayagunaan asas keaktifan (aktivitas) dalam proses belajar dan pembelajaran
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pelaksanaan pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dilakukan sesuai
dengan perencanaan pembelajaran yang telah disusun, guru dapat membimbing
siswa melalui kegiatan yang terencana dan berusaha memahami siswa, teori
pendidikan, dan pendidikan yang efektif (Sutikno, 2007: 59).
2.4.6.3 Tahap Akhir Pembelajaran
Tahap akhir pembelajaran dilakukan untuk menilai pemahaman siswa terhadap
materi yang telah disampaikan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain
sebagai berikut. 1) Mengajukan pertanyaan kepada kelas atau kepada beberapa
siswa, mengenai semua pokok materi yang telah dibahas pada tahapan inti
pembelajaran. Berhasil tidaknya tahapan inti pembelajaran, dapt dilihat dari
49
dapat/tidaknya siswa menjawab pertanyaan yang diajukan guru. Salah satu
patokan yang dapat digunakan adalah apabila kira-kira 70% dari jumlah siswa di
kelas tersebut dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, maka inti
pembelajaran dikatakan berhasil; 2) Apabila pertanyaan yang diajukan belum
dapat dijawab oleh siswa kurang dari 70%, maka guru harus mengulang kembali
materi yang belum dikuasai siswa; 3) untuk memperkaya pengetahuan siswa,
materi yang dibahas, guru dapat memberikan tugas/pekerjaan rumah yang ada
hubungannya dengan topik atau pokok materi yang telah dibahas; 4) Akhiri
pelajaran dengan menjelaskan atau memberi tahu pokok materi yang akan dibahas
pada pelajaran berikutnya. Informasi ini perlu agar siswa dapat mempelajari bahan
tersebut dari sumber-sumber yang dimilikinya (Syaiful Sagala, 2007: 229).
Tahap akhir pembelajaran yang disebut oleh M. Atwi Suparman (2005: 168)
sebagai komponen penutup, terdiri atas dua langkah, yaitu: (1) tes formatif dan
umpan balik dan (2) tindak lanjut.
2.4.7 Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran sebagi sebuah pendekatan, yang dibedakan menjadi dua,
yaitu strategi ekspositori (penjelasan) dan diskoveri (penemuan). Dua strategi
tersebut sangat berlawanan, strategi ekspositori didasarkan pada teori pemrosesan
informasi, sedangkan strategi diskoveri didasarkan pada teori pemrosesan
pengalaman atau disebut teori berdasarkan pengalaman (experimental learning),
Miarso (2007: 531).
50
Strategi pembelajaran digunakan sebagai acuan langkah dalam rangka
mensukseskan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Strategi dikembangkan
sesuai dengan tingkat pemahaman dan kebutuhan dalam pelaksanaan
pembelajaran. Strategi pembelajaran yang tepat akan mengarah pada
pembelajaran yang efektif dan efisien, sebaliknya bila strategi yang digunakan
tidak tepat hanya akan memperpanjang waktu pembelajaran dan memberikan efek
penguasaan atau hasil pembelajaran yang kurang baik.
Penggunaan strategi pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran, akan dapat
diketahui keefektifanya bila guru melakukan pengawasan dan pengawalan
terhadap strategi yang digunakan, serta melakukan evaluasi terhadap penggunaan
strategi yang dijalankan.
Pelaksanaan pembelajaran, didalamnya banyak sekali metode atau pendekatan
yang dapat dilakukan oleh guru. Penggunaan metode yang efektif harus
memperhatikan unsur waktu, materi pembelajaran dan tingkat penguasaan materi
pembelajaran oleh siswa. Pada materi yang lebih mengedepankan keahlian atau
skill dapat digunakan beberapa metode pembelajaran, diantaranya:
1) Contextual teaching and learning (CTL), yaitu metode pembelajaran yang
mengedepankan proses keterlibatan siswa secara aktif agar dapat
menemukan dan memahami materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi yang nyata, sehingga mendorong
peserta didik untuk menerapkan dalam kehidupan nyata
(Sanjaya,2008:253)
51
2) Learning by doing, yaitu belajar mengajarkan, teori Dewey ini
berdasarkan pada asumsi bahwa para peserta didik dapat memperoleh
pengalaman lebih banyak dengan cara keterlibatan aktif dibandingkan
hanya memperhatikan secara materi atau konsep (Hamalik, 2008:212)
3) Role Playing, bermain peran. Metode ini mengajak peserta didik untuk
ikut ambil bagian, menjadi dirinya sendiri atau orang lain berkaitan
dengan materi yang sedang dipelajari. Metode ini akan memunculkan mini
drama, sehingga akan banyak peserta didik secara aktif terlibat dalam
pembelajaran.
2.5 Teori Organisasi Belajar
Konsep pembelajaran dalam organisasi muncul dalam konteks perubahan
lingkungan dan daya saing, dimana suatu organisasi membutuhkan kompetensi
dan kepemimpinan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Organisasi yang
belajar berfokus terhadap keberlangsungan sebagai bagian realitas normal serta
aktifitas proaktif (Herpratiwi,2009:68)
2.5.1 Perumusan Visi
Langkah awal dalam merancang strategi sebuah organisasi adalah penetapan visi.
Visi merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin
diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. (Akdon, 2006: 94)
Kriteria-kriteria pembuatan visi meliputi antara lain:
1. Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang
ingin diwujudkan.
52
2. Visi dapat memberikan arahan mendorong anggota
3. Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan.
4. Menjembatani masa kini dan masa mendatang.
5. Gambaran yang realistik dan kredibel
6. Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya, memiliki time frame.
2.5.2 Perumusan Misi
Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi
pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang. Pernyataan misi harus:
1. Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh
organisasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan
2. Secara ekplisit mengandung apa yang haurs dilakukan untuk mencapainya
3. Mengundang partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang
utama yang digeluti organisasi.
Pernyataan misi mencerminkan tentang segala sesuatu untuk mencapai visi.
2.5.3 Organisasi belajar
Peter Senge yang dikutif oleh Herpratiwi (2009:68) mengemukakan, organisasi
belajar merupakan pedoman disiplin untuk mengembangkan potensi individu agar
berkembang secara terus menerus untuk mewujudkan masa depan. Komponen
disiplin menurut Peter Senge tersebut yang dikenal dengan The Fifth Dicipline
sebagai berikut:
53
1) Berpikir sistem (system thinking). Setiap perilaku manusia merupakan
sistem. Ini merupakan jembatan untuk mlihat bagaimana memandang
sebuah organisasi secara utuh untuk mencapai tujuan organisasi.
2) Penguasaan pribadi (personal mastery). Penguasaan pribadi merupakan
suatu disiplin yang menunjukkan kemampuan untuk senantiasa
mengklarifikasikan dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi,
mengembangkan kesabaran serta memandang realitas secara objektif.
3) Pola mental (mental models). Pola mental dapat bermakna bagaimana
organisasi memandang dunia dan bertindak atas dasar asumsi atau
generalisasi dari apa yang dilihatnya.
4) Visi bersama (shared vision). Merupakan wahana untuk membangun
komitmen bersama dalam rangka mengembangkan image diri tentang masa
depan yang akan diciptakan.
5) Belajar beregu (team learning). Merupakan unsur penting, karena dalam
organisasi bukan perorangan melainkan unit belajar utama untuk saling
memahami pola interaksi antar masing-masing anggota organisasi.
Organisasi belajar juga merupakan adalah organisasi yang secara terus-menerus
untuk mengembangkan, menghasilkan, mempertinggi kapasitas untuk
menciptakan masa depan sehingga organisasi tetap survive dan adaptif (Senge,
1996:8). Selain itu, Marquart menyebutkan bahwa organisasi belajar memiliki
cirri-ciri antara lain dapat mentranformasikan diri dengan mengumpulkan,
mengelola dan menggunakan pengetahuan untuk keberhasilan usaha; dapat
54
memberdayakan orang-orang, baik di dalam maupun di luar organisasi; dapat
menggunakan teknologi untuk mengoptimalkan belajar da produktivitasnya.
2.6 Hasil Penelitian yang Relevan
Kegiatan yang dilakukan adalah studi referensi awal yang bertujuan untuk
mendapatkan temuan-temuan relevan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Terdapat beberapa hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini
yaitu:
1. Mamiek Slamet (2004). Hasil studi kasus pelaksanaan pendidikan sistem
ganda (PSG) di tiga sekolah model terstandar (STM Negeri 4 Medan,
STM Pembangunan Surabaya, dan STM Negeri Krawang) dengan analisis
kualitatif. (Mamiek Slamet, 2004:16). Dengan keterkaitan yang erat dan
kesepadanan yang serasi akan menghasilkan mutu lulusan Sekolah
Menengah Kejuruan yang memiliki kemampuan Professional Tingkat
Menengah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
2. Drs. Made Wena, M.Pd. hasil penelitian tentang “pemanfaatan industri
sebagai sumber belajar dalam pendidikan sistem ganda (Made wena,
1997:29). Sebagai sumber belajar yang dimanfaatkan, industri merupakan
tempat belajar yang sangat penting dalam program PSG. Adanya
kerjasama tersebut menuntut pihak sekolah bersama pihak industri harus
terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program PSG.
3. A. Muliati A.M. hasil penelitian disertasi tentang “Evaluasi Program
Pendidikan Sistem Ganda di SMK (2005)” Konsep pendidikan sistem
55
ganda yang dikembangkan oleh pendidikan kejuruan merupakan konsep
yang mampu menghasilkan tenaga terampil yang dibutuhkan industri.
4. Wahyu nurharjadmo, hasil penelitian tesis tentang “Evaluasi Implementasi
Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda di Sekolah Kejuruan”.Mengevaluasi
pelaksanaan program PSG dan hambatan yang ditemukan dalam
pelaksanaannya.