Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai dampak pelaksanaan good corporate governance di
Indonesia dilakukan oleh beberapa peneliti. Novrianda dan Shar (2016)
menganalisis penerapan GCG dalam hubungannya dengan kinerja keuangan
pada PT Bank BRI Syariah, dengan teknik analisis deskriptif. Hasil dari
penelitian tersebut ialah penerapan GCG pada Bank BRI Syariah sudah berjalan
dengan baik dengan rata-rata pernyataan responden mengenai prinsip-prinsip
GCG sebesar 3,77 termasuk pada interval rata-rata 3,40-4,19 yang termasuk
kriteria baik. Penerapan GCG pada Bank BRI Syariah yang baik tersebut
berdampak positif terhadap kinerja keuangan. Hal itu ditunjukkan dengan
pertumbuhan kinerja keuangan selama periode 2012-2016 dengan rata-rata ROA
sebesar 0,76%. Peningkatan kinerja keuangan pada Bank BRI Syariah
disebabkan oleh penerapan GCG yang baik. Penerapan GCG yang baik akan
memberikan kerangka acuan yang dapat memungkinkan terciptanya
pengawasan yang berjalan efektif, sehingga timbul rasa percaya antara pihak
nasabah dengan bank.
Penelitian serupa tentang dampak penerapan GCG dilakukan oleh Salim
(2018) dalam penelitiannya mengenai perbedaan kinerja keuangan perbankan
sebelum dan sesudah penerapan good corporate governance di Bank Syariah
Mandiri. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu paired
sampel t-test. Hasil dari penelitian tersebut ialah, tidak ada perbedaan kinerja
perusahaan jika dilihat dari rasio profitabilitas dan non performing financing
9
(NPF), sedangkan terdapat pengaruh yang signifikan jika dilihat dari rasio
likuiditas serta solvabilitas. GCG tidak dapat dilihat jika menggunakan satu
periode akuntansi. Perhitungan profitabilitas cenderung bersifat jangka pendek,
karena return yang didapatkan dalam satu periode akuntansi belum tentu
memiliki nilai tambah bagi kegiatan operasi perusahaan. Kegagalan perusahaan
tidak hanya dipengaruhi atas ketidakmampuan pihak internal dalam mengelola
usahanya, melainkan dipengaruhi oleh pihak nasabah pembiayaan bermasalah
(NPF), yang disebabkan faktor kesengajaan dan tidak sengaja.
Sedangkan GCG akan berpengaruh terhadap likuiditas serta solvabilitas
perusahaan, karena penerapan GCG yang baik serta konsisten akan membuat
segala kegiatan perusahaan berjalan secara efektif dan efisien, serta bertujuan
untuk melindungi para stakeholder agar terciptanya hubungan yang harmonis,
sehingga kinerja perusahaan mencari sumber dana untuk membiayai
kegiatannya ikut meningkat. Penerapan GCG yang baik pula juga dapat
meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi resiko, meningkatkan
kepercayaan investor serta meningkatkan kinerja perusahaan. Meningkatnya
kinerja keuangan perusahaan dapat dilihat dari kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Penerapan GGBS dalam kegiatan perbankan saat ini telah mengalami
peningkatan. Penelitian yang dilakukan oleh Holili (2017) tentang analisis
penerapan good governance bisnis syariah dan pencapaian kinerja perbankan
syariah di Indonesia ditinjau dari maqashid syariah dan profitabilitas. Teknik
analisis data menggunakan simple additive weighting untuk mengukur kinerja
10
maqashid syariah, dan menggunakan comparative performance index (CPI)
untuk mengukur kinerja profitabilitas. Didapatkan hasil, bahwa penerapan good
governance bisnis syariah di Indonesia tahun 2013-2015 mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata prosentase pengungkapan
berturut-turut sebesar 70,56%, 72,51% dan 73,81%. Rata-rata pencapaian
kinerja bank umum syariah dilihat dari pencapaian maqashid syariah selama
tahun 2013-2015 mencapai 16,20%. Selama tahun 2013-2015 pencapaian
maqashid syariah bila dilihat dari masing-masing tujuan, menciptakan keadilan
bagi seluruh stakeholder merupakan pencapaian tertinggi. Hal ini dapat dilihat
dari ketiga tujuan syariah yaitu mendidik individu, menciptakan keadilan, dan
kemaslahatan secara berturut-turut 0,31%, 15,72%, dan 0,17%. Sedangkan bila
ditinjau dari rata-rata kinerja profitabilitas yang diukur menggunakan ROA,
ROE dan PER selama tahun 2013-2015, kemampuan bank umum syariah dalam
memperoleh laba dengan ekuitasnya paling tinggi, hal ini dibuktikan dengan
rata-rata profitabilitas berturut-turut 2,92%, 60,38% dan 16,13%.
Penelitian tentang penerapan maqashid syariah pada perbankan syariah
dilakukan oleh Antonio et al. (2012) dengan teknik analisis menggunakan simple
additive the weighting untuk membandingkan penerapan maqashid syariah pada
industri perbankan syariah yang ada di Indonesia dengan Jordania. Didapatkan
hasil, bahwa maqashid index pada industry perbankan Indonesia diproksikan
dengan Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia berturut-turut
0,17839 dan 0,16190, sedangkan industri perbankan syariah di Jordania yang
diproksikan dengan bank Islamic International Arab Bank Jordan dan Jordan
11
Islamic Bank mendapatkan hasil 0,10295 dan 0,08152. Artinya, dalam mencapai
kinerja maqashid syariah pada industri perbankan syariah di Indonesia lebih baik
dibandingkan dengan Jordania. Contoh dari program yang diterapkan pada
industri perbankan syariah di Indonesia untuk mencapai maqashid syariah yaitu
dengan memperhatikan program-program CSR yang berfokus pada
kemaslahatan.
Penelitian lain mengenai penerapan good governance bisnis syariah dan
pencapaian maqashid syariah di Indonesia dilakukan oleh Jumansyah dan Syafei
(2013) yang mendeskripsikan dan mengeksplorasi penerapan GGBS dan
pencapaian maqashid syariah di Indonesia periode 2009-2011. Pada tahun 2009-
2011, Bank Syariah Mandiri merupakan bank terbaik yang mengungkapkan
pelaksanaan GGBS dengan rata-rata 92,06% dibandingkan dengan Bank
Muamalat Indonesia yang hanya mengungkapkan pelaksanaan GGBS dengan
rata-rata 78,57%. Pencapaian maqashid syariah pada Bank Muamalat Indonesia
dan Bank Syariah Mandiri pada tahun 2009-2011 relatif kecil. Hal ini dibuktikan
dengan rata-rata pencapaian maqashid syariah selama tahun 2009-2011 oleh
Bank Muamalat Indonesia sebesar 22,49%, sedangkan Bank Syariah Mandiri
sebesar 21,07%. Pencapaian praktik GGBS yang relatif baik dengan rata-rata
pengungkapan diatas 75% belum memberikan dampak secara langsung atas
pencapaian maqashid syariah dikarenakan belum adanya satu kesepakatan
pihak-pihak terkait untuk memberi perhatian atas pekembangan praktik
perbankan syariah.
12
Penelitian serupa tentang pencapaian kinerja maqashid syariah juga
dilakukan oleh Mutia dan Musfirah (2017) tentang pendekatan maqashid syariah
index sebagai pengukuran kinerja perbankan syariah di Asia Tenggara, dengan
menggunakan teknik analisis data menggunakan simple additive weighting,
dengan menghitung 25 perbankan syariah yang ada di Asia Tenggara yang
meliputi negara Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand serta Filipina.
Didapatkan hasil, bahwa penerapan pengukuran kinerja dengan menggunakan
kinerja maqashid syariah di Asia Tenggara walaupun industri perbankan syariah
yang masih berkembang namun perbankan syariah tidak melupakan tanggung
jawab sosialnya kepada masyatakat. Secara keseluruhan negara Indonesia
memiliki performa kinerja maqashid syariah terbaik dengan rata-rata skor
46,22%, diikuti Malaysia dengan 43,15%, Brunei Darussalam 37,54%, Thailand
17,51% dan Filipina 1,12%.
Penelitian tentang penerapan maqashid syariah dalam bidang perbankan
syariah dilakukan oleh Febriadi (2017) tentang aplikasi maqashid syariah dalam
bidang perbankan syariah dengan menggunakan teknik yuridis normatif.
Didapatkan hasil, bahwa pengaplikasian maqashid syariah pada industri
perbankan syariah tercermin dari kegiatan operasional serta produk-produk yang
ada di bank. Produk-produk yang berlandasakan maqashid syariah diantaranya
deposito dan tabungan mudharabah, giro wadiah, pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah. Lahirnya perbankan syariah ditujukan untuk mencapai
dan mewujudkan kesejahteraan umat. Dengan mengacu pada tujuan utama ini,
13
maka maqashid syariah menjadi sandaran utama disetiap pengembangan produk
serta operasional yang ada di bank syariah.
Pentingnya tata kelola bisnis syariah sebagai upaya untuk
mempertahankan keberlangsungan usaha dengan menerapkan bisnis yang
berlandaskan akhlaqul karimah dalam setiap aspek dan kegiatan, agar
terciptanya rahmatan lil ‘alamin dengan tercapainya tujuan syariah (maqashid
syariah) yaitu terciptanya kemaslahatan secara utuh. Karena pentingnya tata
kelola bisnis syariah yang didasarkan akhlaqul karimah untuk mewujudkan
tujuan syariah, maka peneliti tertarik untuk melakukan analisis penerapan good
governance bisnis syariah dan maqashid syariah pada bank umum syariah di
Indonesia dengan menggunakan periode 2015-2017. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya ialah pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk
mendeskripsikan penerapan good governance bisnis syariah dalam mencapai
maqashid syariah pada bank umum syariah di Indonesia dengan periode
pengamatan 2015-2017.
B. Landasan Teori
1. Teori Stakeholder
Teori stakeholder mengemukakan bahwa manajemen perusahaan
diharapkan melakukan aktivitas-aktivitas yang diharapkan para
stakeholders dan melaporkannya. Para stakeholders merupakan kelompok
atau individu yang mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tujuan
organisasi, sehingga stakeholder memiliki hak untuk diberikan informasi
mengenai aktivitas perusahaan (Purnomosidhi, 2005). Teori ini
menganggap bahwa akuntabilitas organisasi tidak hanya terbatas pada
14
kinerja keuangan, tetapi juga pada kinerja non keuangan, seperti kinerja
lingkungan, sosial dan lingkungan (Meilani, 2015). Maka dalam mengelola
bisnis dibutuhkan komitmen yang baik dari pihak manajemen untuk
tercapainya tujuan bisnis yang telah ditetapkan (Kelly, 2003). Oleh karena
itu, bisnis syariah yang menerapkan tata kelola yang berlandaskan akhlaqul
karimah dengan memperhatikan hubungan yang baik mencakup
kepentingan stakeholder. Implementasi bisnis yang berlandaskan dengan
akhlaqul karimah yaitu dengan menciptakan serta memelihara kebaikan
dengan tercapainya tujuan maqashid syariah sebagai wujud kasih sayang
semesta alam.
2. Good Corporate Governance
Persaingan dalam dunia bisnis saat ini semakin ketat. Sebuah bisnis
dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat harus menerapkan good
corporate governance dalam kegiatan operasinya (Ferial et al., 2016).
Penerapan good corporate governance yang baik tidak hanya diperlukan
untuk menghadapi situasi persaingan bisnis yang ketat, melainkan
penerapan good corporate governance diperlukan untuk melindungi para
stakeholder melihat adanya beberapa skandal dalam penyelewangan jabatan
dalam manajemen (Rompas et al., 2018). Pentingnya good corporate
governance dalam usaha mempertahankan keberlangsungan usaha dan
melindungi kepentingan para stakeholder, pemerintah Indonesia melalui
Komite Kebijakan Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2006
mengeluarkan pedoman umum good corporate governance.
15
Pedoman pelaksanaan good corporate governance yang dikeluarkan
KNKG (2006) meliputi aspek-aspek diantaranya:
a. Penciptaan Situasi yang Kondusif
Good corporate governance dibutuhkan agar terciptanya pasar yang
transparan dan konsisten serta efisien dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk menciptakan kondisi tersebut,
dibutuhkan dukungan dari tiga pilar yang saling berhubungan, yakni negara
beserta perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar,
dan masyarakat sebagai pengguna produk serta jasa. Prinsip-prinsip dasar
yang dilaksanakan oleh masing-masing pilar ialah:
1) Negara beserta perangkatnya menciptakan sebuah regulasi sebagai
penunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan
regulasi yang telah dibuat serta melakukan penegakan hukum secara
konsisten.
2) Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan good corporate
governance sebagai pedoman dalam melaksanakan usahanya.
3) Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa serta sebagai pihak yang
terkena dampak dari adanya kegiatan perusahaan, melakukan kontrol
sosial secara objektif serta bertanggung jawab.
b. Asas Good Corporate Governance
Berdasarkan KNKG (2006),Dalam menjalankan kegiatan operasinya,
setiap bisnis diwajibkan untuk memastikan setiap asas good corporate
governance telah diterapkan pada setiap aspek perusahaan. Asas-asas
tersebut yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi,
16
kewajaran dan kesetaraan yang dibutuhkan untuk menjamin kesinambungan
usaha dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders.
1) Transparansi
Suatu bisnis diharuskan untuk menyediakan informasi yang material
serta relevan kepada stakeholders dengan cara yang mudah diakses
serta dipahami sebagai upaya untuk menjaga objektivitas dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya. Sebagai wujud transparansi dalam
mengelola bisnis, maka:
a) Tersedianya informasi secara tepat waktu, jelas, memadai, akurat
dan konsisten sehingga dapat diakses dengan mudah oleh
stakeholders dan dapat dibandingkan.
b) Informasi yang diungkapkan tidak hanya terbatas pada visi dan
misi, melainkan meliputi sasaran usaha dan strategi bisnis, kondisi
keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham
kendali, sistem manajemen resiko, sistem pengawasan dan
pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG beserta
tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang mampu
mempengaruhi kondisi suatu entitas.
c) Kebijakan suatu entitas harus secara proporsional dan tertulis
dikomunikasikan kepada stakeholders.
d) Tidak berkurangnya kewajiban untuk memenuhi kerahasiaan suatu
entitas sesuai dengan rahasia jabatan, hak-hak pribadi, ketentuan
perundang-undangan, dan rahasia jabatan.
17
2) Akuntabilitas
Suatu entitas harus mampu mempertanggungjawabkan kinerja secara
transparan dan wajar. Maka, suatu entitas bisnis harus wajib dikelola
dengan benar dan sesuai dengan tujuan suatu entitas dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders. Sebagai wujud
akuntabilitas suatu entitas bisnis dalam kegiatan operasinya, maka;
a) Suatu entitas menetapkan tanggung jawab beserta rincian tugas
setiap organ dan seluruh karyawan dengan jelas serta selaras
berdasarkan visi, misi, nilai perusahaan, dan strategi perusahaan.
b) Suatu entitas harus yakin bahwa setiap organ dan seluruh karyawan
memiliki kemampuan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab.
c) Memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif.
d) Memiliki ukuran kinerja bagi seluruh jajaran secara konsisten,
serta memiliki sisten penghargaan dan sanksi.
e) Dalam melaksanakan tugas beserta tanggung jawabnya, setiap
organ dalam entitas bisnis wajib berpegang teguh pada etika bisnis
yang berlaku.
3) Responsibilitas
Dalam menjalankan kegiatan operasi, suatu entitas bisnis wajib untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan dan melaksanakan tanggung
jawabnya kepada masyarakat dan lingkungan. Pelaksanaan tanggung
jawab terhadap masyarakat dan lingkungan merupakan suatu usaha
agar terciptanya kelangsungan usaha jangka panjang serta
mendapatkan predikat good corporate citizen. Oleh karena itu, sebagai
18
wujud respons suatu perusahaan terhadap undang-undang dan
tanggung jawab sosialnya, maka:
a) Setiap organ dalam entitas bisnis wajib berpegang teguh pada
prinsip kehati-hatian dan patuh terhadap peraturan perundang-
undangan, anggaran dasar dan peraturan yang telah ditetapkan.
b) Melaksanakan tanggung jawab sosial dengan peduli terhadap
masyarakat serta kelestarian lingkungan sekitar.
4) Independensi
Agar dapat terlaksananya asas good corporate governance, suatu
entitas bisnis wajib dikelola secara independen sehingga tidak terjadi
saling dominasi dan intervensi dari pihak lain. Maka dari itu, dalam
pelaksanaannya, suatu entitas bisnis harus:
a) Setiap organ dalam entitas bisnis wajib untuk menghindari adanya
dominasi dari pihak manapun, tidak dipengaruhi oleh kepentingan
tertentu, terbebas dari adanya benturan kepentingan, agar dalam
pengambilan keputusan mampu dilakukan secara objektif.
b) Setiap organ dalam suatu entitas bisnis melaksanakan fungsi serta
tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-
undang, tidak adanya saling dominasi atau saling lempar tanggung
jawab antara satu dengan yang lainnya.
5) Kewajaran dan Kesetaraan
Dalam melaksanakan kegiatannya, suatu entitas bisnis diharuskan
untuk memperhatikan kepentingan stakeholders dengan asas
19
kewajaran dan kesetaraan. Oleh karena itu, untuk melaksanakan asas
kewajaran dan kesetaraan, maka suatu entitas bisnis harus:
a) Memberikan kesempatan yang sama kepada stakeholders dalam
memberikan masukan serta menyampaikan pendapat dan
memberikan akses informasi sesuai dengan prinsip transparansi
sesuai dengan kedudukan masing-masing.
b) Memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada stakeholders
sesuai dengan kontribusi dan manfaat yang diberikan.
c) Memberikan kesempatan yang sama dalam menerima karyawan,
berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
memandang suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
c. Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku
Agar suatu entitas bisnis mencapai keberhasilan jangka panjang,
dalam melaksanakan good corporate governance wajib dilandasi dengan
integritas yang tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pedoman perilaku
yang dapat menjadi acuan bagi setiap organ suatu entitas bisnis dan seluruh
karyawan meliputi:
1) Setiap entitas bisnis memiliki nilai-nilai perusahaan yang
menggambarkan sikap dan moral dalam melaksanakan usahanya.
2) Memiliki rumusan etika bisnis yang telah disepakati. Dengan
melaksanakan etika bisnis secara berkesinambungan akan membentuk
budaya suatu entitas yang merupakan wujud dari nilai-nilai perusahaan.
3) Nilai dan rumusan etika bisnis perlu dituangkan serta dijabarkan dalam
pedoman perilaku sehingga dapat dipahami serta diterapkan.
20
3. Good Governance Bisnis Syariah
Pertumbuhan yang pesat pada bank syariah di Indonesia dimulai sejak
tahun 1999, sehingga Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia
memiliki hak menyediakan fasilitas serta kewenangan untuk memberikan
regulasi serta untuk mendorong praktik perbankan syariah di Indonesia
(Jumansyah dan Syafei, 2013). Sebagai suatu entitas bisnis yang
berlandaskan ketentuan syariah, maka dibutuhkan sebuah tata kelola
perbankan syariah yang sesuai dengan syariah sebagai upaya untuk
mempertahankan keberlangsungan usaha dengan menerapkan bisnis yang
berlandaskan akhlaqul karimah dalam setiap aspek dan kegiatan.
Untuk medorong perbankan syariah menerapkan prinsip good
governance bisnis syariah, maka Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.
11/33/PBI/2009 tentang pedoman pelaksanaan good corporate governance
bagi Bank Umum Syariah. Pemerintah melalui Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) tahun 2011 membentuk suati komite yang terdiri dari
masyarakat ekonomi syariah, DSN MUI, Bank Indonesia merumuskan
suatu tata kelola bagi bisnis syariah. Maka, pedoman dalam melaksanakan
good governance bisnis syariah berdasarkan KNKG (2011) meliputi:
a. Penciptaan prakondisi / situasi yang kondusif
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh KNKG (2011), untuk
menegakkan good governance bisnis syariah (GGBS), dibutuhkan
penciptaan prakondisi yang mendukung agar sebuah bisnis mampu
berkembang dengan mendasarkan kaidah syariah. Prakondisi yang
diciptakan ialah prakondisi yang mampu meyakinkan bisnis syariah tidak
21
hanya mencapai keberhasilan materi saja, tetapi juga mencapai keberhasilan
spiritual. Maka, penciptaan prakondisi mempertimbangkan dua sudut
pandang, yaitu sudut pandang spiritual dan sudut pandang operasional.
Secara spritual, penerapan good governance bisnis syariah
membutuhkan komitmen ketakwaan atas segala hal berkaitan dengan
kegiatan bisnis. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-
A’raf/7:96 yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan
bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri”.
Dengan tegaknya taqwa di dalam dunia bisnis, dengan melaksanakan
kebaikan dan keadilan serta meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam
syariah, tidak hanya menjadi amal baik bagi para pelaku, akan tetapi juga
akan membentuk bisnis yang baik, saling percaya serta mendapat berkah
dari Allah.
Secara operasional, dalam menerapkan good governance bisnis
syariah menuntut adanya empat pilar yaitu negara, ulama, pelaku bisnis
syariah dan masyarakat. Dengan adanya keempat pilar tersebut, merupakan
wujud peran manusia untuk mengemban amanah sebagai khalifah dan
pemimpin untuk mengelola sumber daya yang ada di bumi. Keempat pilar
tersebut wajib untuk mematuhi setiap prinsip dasar agar pelaksanaan peran
tersebut dapat berjalan secara optimal sesuai fungsi dan perannya ialah
sebagai berikut:
22
1) Negara, yang diinterpretasikan dengan para penyelenggaranya
merupakan pihak yang memiliki kewenangan tertinggi untuk
mendorong terciptanya lingkungan masyarakat yang baik, termasuk
didalamnya iklim bisnis yang sehat dan dinamis. Negara dalam hal ini
menetapkan ketentuan-ketentuan, termasuk upaya menegakkan hukum
serta membangun sarana dan prasarana, untuk menciptakan iklim bisnis
yang baik. karena negara merupakan pihak yang memiliki kewenangan
tertinggi, maka negara wajib untuk ditaati disamping Allah dan Rasul-
Nya, seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surah an-Nisa/4:59, yang
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah,
Rasul, dan kepada ulil amri diantara kamu...”.
2) Ulama, sebagai pihak yang memiliki kedalaman pengetahuan dan
mewarisi keluasaan memiliki peran sebagai tempat rujukan bagi
pemerintah dan masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surah an-Nahl/16: 43, yang artinya: ”Maka bertanyalah kepada mereka
yang menguasai permasalahan jika kamu tidak mengetahuinya”. Ijma
para ulama memiliki peran untuk memberikan penjelasan serta sebagai
pencerahan mengenai kaidah terkait bisnis syariah, kepada pemerintah,
masyarakat, pelaku bisnis, sekaligus memiliki kewajiban moral untuk
menegakkan kebenaran.
3) Pelaku bisnis syariah, merupakan pihak yang melakukan aktivitas
bisnis berperan sebagai pihak yang wajib untuk bertaqwa dan patuh
terhadap ketentuan yang ditetapkan pemerintah, sehingga kegiatan
23
bisnis tersebut mendapat rahmat dari-Nya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surah Hud/11: 61, yang artinya ”Dia telah menciptakan
kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (do’a hamba-Nya)”. Oleh karena itu, dalam
menjalankan kegiatan bisnis harus dilakukan dengan baik dan benar,
serta tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungan. Allah berfirman
dalam surah ar-Rum/30: 41, yang artinya “Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan
mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)”.
4) Masyarakat, merupakan pihak yang melakukan aktivitas ekonomi,
wajib untuk bertakwa serta taat kepada ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan pemerintah supaya aktivitas ekonomi senantiasa diberi
rahmat Allah. Selain mayarakat wajib taat terhadap ketentuan,
masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, maka
dari itu masyarakat juga memiliki peran kontrol sosial sebagai wujud
kepedulian secara obyektif, bertanggung jawab dan konstruktif kepada
negara serta pelaku bisnis.
b. Asas Good Corporate Governance
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh KNKG (2011), dalam
kegiatan bisnisnya wajib untuk memperhatikan asas-asas good governance
bisnis syariah sebagai pijakan dasar bagi kegiatan usaha yang dilakukan
24
baik atas pijakan dasar spiritual maupun dasar operasional. Pijakan dasar
spiritual meliputi dua prinsip dasar, yaitu prinsip dasar halal dan prinsip
dasar tayib. Sedangkan pijakan dasar operasional mengacu pada dua asas.
Asas pertama yaitu sifat dan perilaku nabi dan rasul dalam beraktifitas
dalam berbisnis, dan asas yang kedua yaitu asas yang dipakai dalam dunia
usaha pada umumnya.
Secara spiritual, untuk memperoleh berkah dalam kegiatan bisnis,
suatu bisnis harus berasaskan pada iman dan takwa yang terwujud dalam
dua prinsip dasar yaitu halal dan tayib (baik). Kedua prinsip tersebut
didasari oleh firman Allah dalam surah al-Baqarah/2: 168 yang artinya: “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Kemudian
dalam surah al-A’raf/7: 96, Allah berfirman yang artinya ”Jikalau sekiranya
penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
1) Prinsip Dasar Halal
Allah memerintahkan kepada para hambanya ialah untuk melakukan
sesuatu yang halal serta melarang yang bathil didalam kegiatan bisnis.
Hal ini sesuai denga firman Allah dalam surah al-Baqarah/2: 188 yang
artinya, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu
membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
25
sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu mengetahui”. Prinsip dasar halal dalam bisnis yaitu
dengan menghidari kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam syariah.
Kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut meliputi:
a) Riba
QS. Al-Baqarah/2: 275, yaitu “Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
didalamnya”.
b) Maysir
QS. Al-Maidah/5: 90-91 yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban)
untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji
dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
26
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi, dan
menghalangi kamu untuk mengingat Allah dan sembahyang. Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
c) Gharar
QS. Al-A’raf/7: 85, yang artinya “....Dan janganlah kamu
mencurangi harta orang lain...”. Rasulullan SAW dalam hadits
riwayat muslim juga mengingatkan “sesungguhnya Nabi S.A.W
melarang dari pada jual beli gharar (spekulatif dan ketidakpastian).
d) Zhulm
QS. Al-Baqarah/2: 193 yang artinya “Dan perangilah mereka
itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-
orang zalim”.
e) Tabdzir
QS. Al-Isra/17: 26-27, yang artinya “Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur
hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudaranya syaitan, dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.
f) Risywah
QS. Al-Baqarah/2: 188, “.... Dan janganlah kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim (dengan menyuapnya), supaya kamu
27
dapat memakan sebagian harta benda orang lain secara batil, padahal
kamu mengetahuinya”.
g) Maksiyat
QS. Al-Hujurat/49: 7, “.... Tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci pada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan
tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu
benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiyatan”.
2) Prinsip Dasar Tayib
Tayib memiliki arti yang meliputi nilai-nilai dalam kebaikan yang
dapat menjadi nilai tambah dari hal-hal yang halal untuk mencapai
tujuan syariah, yaitu keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Prinsip dasar tayib meliputi dua aspek, yaitu ihsan dan tawazun.
a) Ihsan
Ihsan berarti memberikan atau melakukan yang terbaik serta
menghindari sikap yang merusak. Pengertian ini didasari oleh firman
Allah dalam surah al-Qashash/28: 77, “.... Dan berbuatlah yang
terbaik (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat yang
terbaik kepadamu, dan jangalah kamu berbuat kerusahakan di muka
bumi. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang
berbuat kerusakan”.
28
b) Tawazun
Tawazun ialah neraca keseimbangan yang dalam arti luas
mencakup keseimbangan antara material dan spiritual, konservasi
dan eksplorasi, sektor rill dan sektor finansial, hasil dan resiko. Hal
ini, didasari oleh firman Allah dalam surah ar-Rahman/55: 6-8, “Dan
tumbuh-tumbuhan dan pepohonan keduanya tunduk kepada-Nya.
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu”.
Secara operasional, bisnis yang berbasis syariah mengacu pada dua
asas. Asas yag pertama yaitu sifat dan perilaku nabi dan rasul dalam
aktifitasnya termasuk berbisnis, yaitu shidiq, fathonah, amanah, dan tabligh.
Sedangkan asas kedua adalah asas yang digunakan dunia usaha umumnya,
yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran
dan kesetaraan.
1) Asas pertama dalam pelaksanaan bisnis yang dicontohkan
Rasulullah
Praktik pelaksanaan bisnis yang dicontohkan oleh Rasulullah
mencerminkan perilaku dan sifat beliau, sebagaimana yang telah
disepakati oleh para ulama yaitu:
a) Shidiq
Shidiq artinya benar, artinya pada siapapun dan kapanpun
senantiasa menyatakan serta melakukan kejujuran. Implikasinya,
didalam kegiatan bisnis ialah dengan menegakkan kejujuran serta
menghindari segala macam bentuk tindakan yang tercela seperti
penipuan, penggelapan, dan perilaku dusta.
29
b) Fathanah
Fathanah memiliki arti cerdas, yaitu dengan menggunakan
fikiran secara cerdas dan rasional agar keputusan yang diambil tepat
dan cepat. Dalam praktiknya, sifat fatanah digunakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan hal atau kegiatan yang sesuai
dengan syariah, yaitu halal, tayib, ikhsan dan tawazun.
c) Amanah
Amanah memiliki arti dapat dipercaya. Artinya mampu
menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh Allah dan orang lain.
Dalam praktiknya, kepercayaan diberikan diwujudkan dengan
berbagai pertanggungjawaban dan akuntabilitas atas kegiatan-
kegiatan bisnis.
d) Tabligh
Tabligh memiliki arti menyampaikan. Maksudnya
menyampaikan sebuah Risalah dari Allah mengenai kebenaran yang
mesti ditegakkan di muka bumi. Risalah ini wajib diteruskan kepada
umat Islam dari waktu ke waktu sehingga Islam dapat benar-benar
menjadi rahmat bagi semesta alam. Penerapannya dalam dunia
bisnis diwujudkan dalam bentuk sosialisasi praktik bisnis syariah
yang bersih dan baik, termasuk perilaku Rasulullah beserta sahabat.
2) Asas Pelaksanaan Good Corporate Governance di Bisnis Syariah
Berdasarkan KNKG (2011) keempat sifat yang dicontohkan
Rasulullah di atas, dapat diturunkan asas GGBS yang masih sama
dengan asas GCG yang berlaku secara umum dalam dunia bisnis, yaitu:
30
a) Transparansi
Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah/2: 282 yang artinya, “....
Dan tranparankanlah (persaksikanlah) jika kalian saling
bertansaksi....”. dan berdasrkan hadits yang menyatakan “.... barang
siapa yang melakukan ghisy (menyembunyikan infromasi yang
diperlukan dalam transaksi) bukan termasuk kedalam umat kami”.
Maka dari itu setiap transaksi harus di lakukan dengan transparan.
Transparansi dibutuhkan agar para pelaku bisnis syariah
menjalankan kegiatan bisnis secara sehat dan objektif. Para pelaku
bisnis syariah wajib mengambil inisiatif untuk mengungkapkan
tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan undang-
undang, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
yang sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, maka:
1. Para pelaku bisnis syariah diharuskan menyediakan informasi
secara tepat waktu, jelas, memadai, akurat, serta dapat
dibandingkan serta dapat diakses oleh pemangku kepentingan
sesuai dengan haknya.
2. Informasi yang diungkapkan tidak terbatas pada visi dan misi,
sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan,
struktur organisasi, kepemilikan, manajemen resiko, sisitem
pengawasan dan SPI, sistem dan pelaksanaan GGBS beserta
tingkat kepatuhannya, dan kejadina penting yang mampu
mempengaruhi kondisi bank.
31
3. Prinsip keterbukaan yang dianut pelaku bisnis syariah tidak
mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
rahasia dalam jabatan serta hak-hak pribadi.
4. Kebijakan dalam organisasi harus tertulis dan secara
proporsional dikomunikasikan kepada stakeholder.
b) Akuntabilitas
Firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Isra/17: 84 yang
artinya “Katakanlah setiap entitas bekerja sesuai dengan posisinya
dan Tuhan kalian yang lebih mengetahui siapa yang paling benar
jalannya diantara kalian”. Kemudian didalam ayat 36 yang artinya
“.... Dan janganlah kamu berbuat sesuatu tanpa pengetahuan atasnya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua akan
diminta pertanggungjawaban”. Akuntabilitas memiliki arti kejelasan
fungsi dalam organisasi dan untuk mempertanggungjawabkannya.
Para pelaku bisnis syariah wajib untuk mempertanggungjawabkan
kinerja secara transparan dan wajar. Maka, dalam mengelola bisnis
syariah harus dilakukan secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan pelaku bisnis akan tetapi tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat pada umumnya. Untuk menjamin kinerja
yang berkesinambungan, akuntabilitas dalam mengelola organisasi
sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, maka:
32
1. Para pelaku bisnis syariah menetapkan tanggungjawab serta
rincian tugas setiap organ dan karyawan dengan jelas serta
selaras dengan visi, misi, strategi dan nilai perusahaan.
2. Para pelaku bisnis syariah harus yakin bahwa setiap elemen
organisasi termasuk karyawan memiliki kemampuan sesuai
dengan tugas dan tanggungjawabnya dalam GGBS.
3. Para pelaku bisnis syariah dalam mengelola organisasi harus
memastikan terdapat sistem pengendalian yang efektif.
4. Memiliki ukuran kinerja untuk setiap elemen organisasi secara
konsisten dengan sasaran bisnis serta memiliki sistem
penghargaan dan sanksi.
5. Setiap elemen organisasi berpengang teguh pada etika bisnis
syariah dan pedoman perilaku yang telah disepakati dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
6. Memastikan semua mekanisme dan prosedur kerja mampu
menjamin kehalalan, tayib, ihsan dan tawazun atas keseluruhan
proses dan hasil produksi.
c) Responsibilitas
Hubungannya dengan asas responsibilitas, pelaku bisnis
syariah wajib untuk mematuhi undang-undang dan ketentuan bisnis
syariah, serta melaksanakan tanggung jawab terhadap lingkungan
dan masyarakat. Allah berfirman dalam surah an-Nisa/4: 59 yang
artinya “Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah, kepada
Rasul dan kepada ulil amri diantara kamu....”. Dalam fiqih, ada sabda
33
Rasullullah, al-kharaj bidh dhaman yang berarti usaha sebanding
dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat juga dimengerti
sebagai resiko berbanding lurus dengan tingkat pengembalian
(return). Agar bisnis syariah dapat terpelihara kesinambungan
jangka panjangnya serta mendapatkan pengakuan sebagai pelaku
bisnis yang baik, maka asas responsibilitas perlu diperhatikan. Oleh
karena itu, maka:
1. Pelaku bisnis berpegang teguh terhadap prinsip kehati hatian
serta patuh terhadap ketentuan bisnis syariah dan undang-
undang, anggaran dasar dan peraturan internal bisnis.
2. Melakukan isi perjanjian yang dibuat dengan memperhatikan
hak dan kewajiban yang disepakati para pihak.
3. Melaksanakan tanggung jawab sosial dengan peduli terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar
lingkungan bisnis dengan melakukan prencanaan dan tahap
pelaksanaan. Wujud pelaksanaan tanggung jawab sosial dapat
dilakukan dengan membayar zakat, infaq dan sadakah.
d) Independensi
Dalam mengelola bisnis syariah, bisnis harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing pihak tidak diperbolehkan
untuk saling mendominasi dan tidak diperbolehkan melakukan
intervensi oleh pihak manapun. Allah berfirman dalam surah
Fushilat/41: 30 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang
mengatahakn: Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka
34
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (seraya berkata): Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Oleh
karena itu, maka:
1. Para pelaku bisnis syariah harus menghindari adanya dominasi
dari pihak manapun, tidak mampu dipengaruhi oleh kepentingan
tertentu, bebas dari adanya benturan kepentingan sehingga
terbebas dari segala macam bentuk tekanan agar dalam
pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.
2. Setiap organ perusahaan wajib melaksanakan tugas dan fungsi
sesuai dengan undang-undang dan ketentuan syariah, serta tidak
saling mendominasi dan saling melempar tanggung jawab.
3. Seluruh jajaran bisnis melaksanakan fungsi dan tanggung
jawabnya sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawab.
e) Kewajaran dan kesetaraan.
Kewajaran dan kesetaraan mengandung arti bahwa terdapat
unsur kesamaan baik perlakuan maupun kesempatan. Allah
berfirman dalam surah al-Maidah/5: 8 yang artinya “Wahai orang-
orang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Janganlah sesekali kebencianmu terhadap golongan lain
menyebabkan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah kamu karena
adil itu lebih dekat kepda takwwa. Dan bertawakallah kepada Allah
35
karena Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dalam
implementasinya, pelaku bisnis syariah harus memperhatikan
kepentingan setiap stakeholder, berdasarkan kewajaran dan
kesetaraan. Oleh krena itu, maka:
1. Para pelaku bisnis syariah memberikan kesempatan kepada
stakeholders untuk memberikan masukan serta menyampaikan
pendapat bagi kepentingan organisasi dan membuka akses
informasi secara transparan.
2. Memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada para
stakeholder sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang
diberikan.
3. Memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan tenaga
kerja dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan agama, ras, suku, gender dan kondisi fisik.
4. Bersikap tawazun yaitu adil dalampelayanan kepada para
pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka, serta
memenuhi seluruh kesepaktan.
Pelaksanaan GCG pada bank syariah diatur dalam PBI No. 11 tahun
2009 yang meliputi 6 aspek, yaitu:
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi.
2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas dan komite-komite dan fungsi
yang menjalankan pengendalian internal Bank Umum Syariah.
36
3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
(DPS).
4. Penerapan fungsi kepatuhan, audit internal dan audit eksternal.
5. Batas maksimum penyaluran dana.
6. Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan Bank Umum
Syariah.
Kemampuan suatu organisasi dalam menjaga keberlangsungan
bisnisnya penting untuk bisa memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Maka dalam sebuah bank syariah diperlukan Good
Governance Bisnis syariah (GGBS) yang dapat melindungi kepentingan
para stakeholder, dimana penerapan GGBS dalam perbankan syariah
digambarkan dalam pencapaian index penerapan GGBS.
Ada beberapa perbedaan antara GGBS dari GCG, yang disajikan dalam tabel
2.1
Tabel 2.1
Perbedaan GGBS dari GCG
Aspek/Kriteria Pedoman GCG Pedoman GGBS
Penciptaan prakondisi/situasi
yang kondusif
Terciptanya pasar yang
efisien, trasnparan dan
konsisten dengan UU yang
didukung 3 pilar: Negara,
dunia usaha dan masyarakat.
Terwujudnya bisnis yang
berlandaskan pada kaidah-
kaidah syariah dan
berorientasi pada
keberhasilan materi dan
spiritual. Prakondisi spiritual
untuk mewujudkan
ketaqwaan. Prakondisi
operasional yang didukung
oleh 4 pilar: Negara, Ulama,
Dunia Usaha dan masyarakat.
Asas Good Governance Transparansi, akuntabilitas,
rensponsibilitas, independensi
Dua pijakan dasar, yaitu
spiritual yang berupa hal dan
thayib. Operasional yaitu
prinsip Transparansi,
37
dan kewajaran serta
kesetaraan.
Akuntabilitas,
Responsibilitas, Independensi
dan Kewajaran dan
kesetaraan yang berlandaskan
Qur’an dan Hadist.
Etika dan Pedoman Perilaku Setiap perusahaan harus
memiliki core value: seperti
terpercaya, adil, jujur yang
menggambarkan sikap moral
dan etika bisnis setiap organ
perusahaan dan karyawan.
Etika bisnis merupakan acuan
moral demi terbentuknya
akhlaqul karimah dalam
berbisnis. Bisnis syariah
harus mengacu pada prinsip
dasar, jujur adil amanah dan
ahsan. Pelaku bisnis dapat
merumskan pedoman
perilaku yang terdiri dari
nilai-nilai bisnis, etika bisnis
dan pedoman perilaku bisnis
Syariah.
Sumber: KNKG (2011)
4. Maqashid Syariah
Maqashid dan maqshad dalam kamus bahasa Arab berasal dari kata
qashd. Maqashid merupakan kata yang menunjukkan banyak, mufradnya
ialah maqshad yaang artinya tujuan atau target (Sahroni dan Karim, 2015).
Secara bahasa, kata maqashid syariah terdiri atas dua kata maqashid yang
berarti kesengajaan atau tujuan, dan syariah berarti jalan menuju sumber air.
Jalan menuju air dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan (Muzlifah, 2013). Maqashid syariah memiliki fungsi dalam
melakukan dua hal penting, yaitu tahsil, yakni mengamankan manfaat, dan
ibqa yaitu mencegah kerusakan atau cedera. Maqashid syariah ialah tujuan
tertinggi yang digariskan oleh Allah swt sebagai tujuan utama dari syariah
yaitu sebagai pelestari kehidupan, pelestari agama, pelestari keluarga,
pelestarian karakter dan pikiran manusia, serta pelestarian kekayaan
(Muchlis dan Sukirman, 2016).
38
Tujuan ditetapkannya hukum atau dikenal dengan maqashid syariah
ialah untuk mewujudkan kebaikan dan menghidarkan keburukan. Istilah
tersebut sepadan dengan inti dari maqashid syariah yaitu ditetapkannya
hukum Islam bermuara kepada kemaslahatan baik dunia dan akhirat
(Sudrajat dan Sodiq, 2016). Untuk mewujudkan dan memelihara tujuan
syariah, al-Syatibi membagi menjadi tiga tingkatan maqashid syariah, yaitu:
1) maqashid al-Daruriyat, 2) maqashid al-Hajiyat, dan 3) maqashid al-
Tahsiniyat. Maqashid al-Daruriyat berarti memelihara lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia. Maqashid al-Hajiyat bermaksud untuk
menghilangkan kesulitan atau pemeliharaan terhadap lima unsur pokok
menjadi lebih baik, sedangkan maqashid al-Tahsiniyat bermaksud supaya
manusia melakukan hal yang terbaik untuk penyempurnaan. Jika aspek
daruriyat belum terwujud maka dapat merusak kehidupan manusia baik di
dunia dan akhirat keseluruhan. Diabaikan aspek hajiyat tidak sampai
merusak keberadaan kelima unsur pokok, tetapi akan memberikan dampak
kesulitan bagi manusia, sedangkan mengabaikan aspek tahsiniyat akan
berdampak pada tidak sempurnanya pemeliharaan terhadap lima unsur
pokok tersebut (Bakri, 1996).
Bank Syariah merupakan lembaga perbankan syariah yang memiliki
tujuan utama untuk memberikan kontribusi dalam mencapai maqashid
syariah. Pada umumnya, dalam menilai kinerja bank syariah menggunakan
pengukuran konvensional yaitu mengukur kinerja keuangan (Jumansyah
dan Syafei, 2013). Dalam mengukur kinerja bank syariah akan lebih tepat
39
jika dilihat dari tujuan syariah dikarenakan bank islam memiliki tujuan tidak
hanya sekedar memaksimalkan laba, namun juga memiliki tanggung jawab
terhadap sosial (Kholid dan Bachtiar, 2015). Dalam pengukuran kinerja
terdapat hubungan langsung terhadap tujuannya yang hendak dicapai secara
luas, setiap tujuan yang ingin dicapai diterjemahkan menjadi beberapa
karakteristik atau dimensi. Kemudian dari setiap dimensi memiliki elemen-
elemen, dan setiap elemen tersebut dapat diukur dengan menggunakan rasio
keuangan bank. Mohammed dan Razak (2008) menggunakan klasifikasi
maqashid syariah yang dikembangkan oleh Abu Zahrah (1997) yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Tahdib al-Fard (mendidik individu), supaya setiap individu didalam
komunitasnya mejadi sumber kebaikan bukan sebaliknya menjadi sumber
keburukan untuk setiap manusia. Sehingga setiap ibadah yang dikerjakan
bertujuan untuk melatih jiwa agar tidak cenderung menimbulkan keburukan
yang berwujud pada tindakan zalim, keji dan munkar. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surah Al’Ankabuut: 45, yang artinya “Bacalah apa yang
telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Al-Qur’an) serta dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (Keutamaannya dari
ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
b. Menegakkan Keadilan (Iqamah al-Adl), yaitu dengan mewujudkan kedilan
di segala bidang kehidupan manusia dan bidang muamalah dengan cara
menghormati hak dan mengerjakan kewajiban antara pihak yang
40
bermuamalah. Karena pada dasarnya semua manusia adalah sama, tidak ada
perbedaan antara yang kaya dan miskinm yang kuat dan yang lemah
memiliki kewajiban yang sama yaitu saling menghormati hak dan
melaksanakan kewajiban. Allah berfirman dalam surah Al-Maa’idah: 8
yang artinya, “Dan janganlah sesekali kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
c. Menghasilkan kemaslahatan (Jalb al-Maslahah), yaitu menciptakan
kemaslahatan umum dan bukan untuk kemaslahatan khusus bagi golongan
tertentu. Kemaslahatan yang berlandaskan hukum syariah dan nash agama
merupakan kemaslahatan yang sesungguhnya karena mengarah kepada
penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.