Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis dipelopori oleh Ryff.
Diener dan Jahoda yang mengatakan bahwa, penelitian mengenai
kesejahteraan psikologis mulai berkembang sejak para ahli menyadari
bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan perhatian
kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada bagaimana
seseorang dapat berfungsi secara positif. Kesejahteraan psikologis tidak
hanya bagian dari kesehatan mental yang bersifat negatif, tetapi lebih
mengarah kepada kemampuan individu untuk dapat mengembangkan
potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara optimal, sebagai individu
yang utuh baik secara fisik, emosional maupun psikologisnya (Ryff, 1995).
Well-being merupakan suatu konsep yang terbentuk dari berbagai
pengalaman dan fungsi-fungsi individu sebagai manusia yang utuh (Ryff
& Singer, 2006). Menurut Muhadjir (2013) well-being merupakan keadaan
bahagia, puas hidup, dalam tampilan sehat fisik maupun mental, tingkat
distressnya rendah, dan kualitas hidupnya bagus.
Menurut Ryff (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008), orang yang
sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan
orang lain. Individu membuat keputusannya sendiri dan mengatur
9
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
10
perilakunya sendiri, dan memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhannya.Individu memiliki tujuan yang membuat hidupnya
lebih bermakna, dan berjuang serta mengembangkan diri dengan
semaksimal mungkin.
Ryff (dalam Snyder & Lopez, 2005) menjelaskan bahwa
kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan
dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif
dengan orang lain yang ada disekitarnya, memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan berkompetensi untuk
mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan merasa mampu untuk
melalui perkembangan dalam kehidupannya.
Menurut Synder dan Lopez (2005) kesejahteraan psikologis bukan
hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis
meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup
dan hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain.
Ryff mendifinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi
dan penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas
pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman akan
dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrahterhadap keadaan yang
membuat kesejahteraan psikologisnya menjadi rendah atau berusaha untuk
memperbaiki keadaan hidupnya agar kesejahteraan psikologisnya
meningkat. Robinson mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
11
evaluasi terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu (misalnya evaluasi
terhadap kehidupan keluarganya, pekerjaan, masyarakat) atau dengan kata
lain seberapa baik seseorang dapat menjalankan peran-perannya dan dapat
memberikan peramalan yang baik terhadap well-being (Ramdhani, 2009).
Dari pengertian yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan
bahwa kesejahteraan psikologis merupakan individu yang memiliki
kondisi mental positif, dimana individu tidak hanya memikirkan dirinya
sendiri dan berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya tetapi juga
orang lain, serta tidak adanya gejala-gejala depresi yang dialami, sehingga
mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan
kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi
positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut merasakan
adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya.
2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis
Ryff dan Singer (2006) menjelaskan enam dimensi dari kesejahteraan
psikologis, yaitu:
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang
menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa
lalunya. Individu yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang
memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya
kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi
optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
12
Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan
adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa
dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah
dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda
dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Merupakan kemampuan individu menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi
ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan
penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga
memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat
menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan
menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang
rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi
dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak
berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan
dengan orang lain.
c. Otonomi (autonomy)
Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas
namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu
yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu
untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur
perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
13
sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil
keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya,
individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat
memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari
orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat
keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk
berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. Kematangan
dalam berfikir dan bertindak mempengaruhi otonomi seseorang.
Kematangan dalam hal ini bukan dari usia tetapi dari pengalaman.
Untuk pemecahan sebuah masalah individu yang matang akan dapat
menentukan sendiri sebuah keputusan yang akan di ambil, dan dapat
menentukan sikapnya sendiri berdasarkan dengan pengalaman
sebelumnya. Sedangkan individu yang belum matang ia akan
bergantung kepada orang lain atas keputusan yang akan digunakan.
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Merupakan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan
mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi
dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan
kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan
aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur
dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
14
kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.
Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang
rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari,
merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas
lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan
kesempatan diri lingkungan sekitarnya.
e. Tujuan hidup (purpose of life)
Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman
yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan
bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa
bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang
memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah
individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti
dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki
keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan
sasaran hidup.
Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup
akan kehilangan makna hidup, arahan cita-cita yang tidak jelas, tidak
melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa
lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi
arti pada kehidupan.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
15
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai
dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang
berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu
yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-
pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri
yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan
tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi
yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.
Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah
akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat
peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan
minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam
mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik.
Jadi dapat disimpulkan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis,
yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff dan Singer (2006) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis, antara lain:
a. Usia
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang
dilakukan Ryff, penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukan
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
16
peningkatan seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia
60-74). Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas
menunjukan penurunan seiring bertambahnya usia. Skor dimensi
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain secara signifikan
bervariasi berdasarkan usia.
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang
dilakukan Ryff, faktor jenis kelamin menunjukan perbedaan yang
signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan
dimensi pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia
(usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita menunjukan angka yang
lebih tinggi daripada pria. Sementara dimensi yang lain tidak
menunjukan perbedaan yang signifikan.
c. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya pendidikan seseorang
menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang, ilmu,
keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan
tantangan. Hal ini dapat terkait dengan kesulitan ekonomi, dimna
kesulitan ekonomi menyebabkan sulitnya individu untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya
kesejahteraan psikologis.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
17
d. Latar belakang budaya
Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur
juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih
berorientasi pada diri (seperti penerimaan diri dan kemandirian) lebih
menonjol dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang
berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang
lain) lebih menonjol pada budaya Timur.
Sedangkan menurut Huppert (2009) bahwasanya tingkat kesejahteraan
psikologis dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a. Personality (kepribadian)
Berkaitan dengan gaya emosional yang positif sedangkan
neurotisme dikaitkan dengan gaya emosional yang negatif.
b. Faktor Demografi
Pada jenis kelamin, tingkat kesejahteraan perempuan memiliki
kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
c. Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya, status sosial ekonomi dan tingkat pendapatan
yang tinggi mempengaruhi tingkat kesejahteraan individu.
d. Faktor Lainnya (perilaku, kognisi dan motivasi)
Individu yang memiliki perilaku, kognisi dan motivasi yang baik
untuk berjuang mencapai tujuannya mencerminkan nilai-nilai yang
dipegang teguh dari dalam dirinya, sebagai langkah untuk mencapai
kebahagiaan.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
18
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, ekonomi, latar belakang budaya, dukungan sosial, dan
kepribadian.
B. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Secara etomologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam bahasa
inggris resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk
kembali dalam bentuk semula (Poerwadarminta, 1993). Menurut Reivich
dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah
yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan yang tertekan,
dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversit) atau trauma yang
dialami dalam kehidupannya.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia
untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang
dialaminya. Menurut Banaag (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah
suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan.
Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan
melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan
berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup
individu.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
19
Resiliensi adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan, karena
kehidupan setiap individu senantiasa diwarnai oleh kondisi yang tidak
menyenangkan. Kondisi kesulitan dapat menantang kemampuan individu
untuk mengatasinya, untuk belajar darinya dan bahkan untuk berubah
karenanya. Dalam menghadapi kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan tersebut, sejumlah ahli psikologi memandang perlu untuk
membangun kekuatan individu. Resiliensi dianggap sebagai kekuatan
dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam
membangun kekuatan emosional dan psikologikal individu (Desmita,
2010).
Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kekuatan individu
yang bersumber dari pengalaman tidak menyenangkan yang dapat
membantu individu dalam mengatasi masalah yang ada dalam hidup serta
mampu untuk bangkit dan bertahan dalam menjalani masa-masa
keterpurukan dan kesengsaraan sehingga mampu menyesuaikan diri dan
berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan.
2. Aspek-Aspek Resiliensi
Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi
sebagai berikut:
a. Regulasi emosi (emotional regulation)
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah
kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
20
yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi
mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan
dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor,
di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau
menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas,
khawatir serta gelisah setiap saat. Orang yang resilien akan
mengembangkan seluruh kemampuannya dengan baik yang dapat
membantu untuk mengontrol emosi, atensi, dan perilaku.
b. Kontrol impuls (impuls control)
Kontrol impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang
muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan
pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan
emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran.
c. Optimisme (optimism)
Optimisme adalah ketika individu melihat bahwa masa
depannya cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang
optimis. Optimisme tentunya, berarti bahwa individu melihat masa
depan kita relatif cerah. Implikasi dari optimisme adalah percaya
bahwa mempunyai kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang
mungkin terjadi di masa depan. Orang yang optimis tidak
menyangkal bahwa dirinya memiliki masalah atau menghindari
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
21
berita buruk, sebaliknya mereka mamandang masalah dan berita
buruk sebagai kesulitan yang dapat diatasi.
d. Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis)
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi.
Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus
berbuat kesalahan yang sama.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki
fleksibilitas kognitif. Mampu mengidentifikasi semua penyebab yang
menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak
pada salah satu gaya berpikir explanatory. Tidak mengabaikan faktor
permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan
menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuat demi menjaga
harga diri atau membebaskan dari rasa bersalah. Individu tidak
terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali
mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali
penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi
permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan
meraih kesuksesan.
e. Empati (empathy)
Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung
memiliki hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan berempati
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
22
berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-
individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap
tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan
dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang
lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.
Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda
nonverbal orang lain dapat sangat merugikan,baik dalam konteks
hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan
kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu
dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang
dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan
semua keinginan dan emosi orang lain. Orang yang resilien dapat
dapat membaca isyarat nonverbal orang lain untuk membantu
membangun hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, dan
secara emosional lebih cocok.
f. Efikasi diri (self efficacy)
Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Self efficacymerepresentasikan sebuah keyakinan bahwa mampu
memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan.
Self-efficacy adalah perasaan bahwa individu efektif dalam dunia.
Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang self
efficacy, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia
nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
23
kemampuan untuk memecahkan masalah, muncul sebagai
pemimpin, sementara yang tidak dapat di percaya terhadap
kemampuan diri menemukan diri akan tertinggal dari orang lain.
g. Pencapaian (reaching out)
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi
lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan
untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukkan, namun
lebih dari itu faktor yang terakhir dari resiliensi adalah reaching out.
Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau
mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang
menimpa.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out,
hal ini dikarenakan individu tersebut telah diajarkan sejak kecil
untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang
memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih
memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan
namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan
masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk
berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan
hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-
individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan
kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
24
memberikan batasan bagi diri sendiri, atau dikenal dengan istilah
self-handicaping.
Reaching out menggambarkan kemampuan individu untuk
meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang
mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala
ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
resiliensi adalah regulasi emosi (emotional regulation), kontrol impuls
(impuls control), optimisme (optimism), analisis kausal (causal analysis),
empati (empathy), efikasi diri (self eficacy), dan pencapaian (reaching
out).
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi
Masten dan Coatsworth (dalam Setyowati dkk, 2010)
mengemukakan tiga faktor yang berhubungan dengan resiliensi pada
individu, yaitu:
a. Faktor individual
Faktor individu merupakan faktor-faktor yang bersumber dari
dalam individu itu sendiri, yaitu mempunyai intelektual yang baik,
namun individu yang mempunyai intelektual yang tinggi belum tentu
individu itu resilien, sociable, self confident, self efficacy, harga diri
yang tinggi, dan memiliki talent (bakat).
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
25
b. Faktor keluarga
Faktor-faktor keluarga yang berhubungan dengan resiliensi,
yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki
kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan
kondusif bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang
berkecukupan, dan memiliki hubungan harmonis dengan anggota-
anggota keluarga lain.
c. Faktor masyarakat sekitar
Faktor dari masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap
resiliensi pada individu, yaitu mendapat perhatian dari lingkungan,
aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor
yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor individual, faktor keluarga,
dan faktor masyarakat sekitar.
4. Karakteristik Individu Yang Memiliki Kemampuan Resiliensi
Menurut Wolins (dalam Desmita, 2011) ada tujuh karakteristik
utama yang dimiliki individu yang resilien. Karakteristik-karakteristik
inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik disaat
menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta
mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu:
a. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri
sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
26
individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta
dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
b. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara
emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup
seseorang. Kemandirian melibatkan untuk menjaga keseimbangan
antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain.
c. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang
jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau
memiliki role model yang sehat.
d. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung
jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu
yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif bertanggung jawab
dalam pemecahan masalah selalu berusaha memperbaiki diri ataupun
situasi yang dapat diubah serta meningkatkan kemampuan untuk
menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.
e. Kreatifitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai
pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan
hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku yang
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
27
negatif karena mampu mempertimbangkan konsekuensi dari setiap
perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga
melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan
diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya
sendiri saat menghadapi kesulitan.
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari
kehidupan, menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan
dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa
humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru
dan lebih ringan.
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan
keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang
resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan
yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Individu juga
dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain
yang membutuhkan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik
individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang
memiliki karakteristik tertentu yaitu insight, kemandirian, hubungan,
inisiatif, kreatifitas, humor dan moralitas.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
28
C. Disabilitas Intelektual
1. Pengertian Disabilitas Intelektual
Disabilitas intelektual merupakan satu dari beberapa macam
gangguan perkembangan saraf. Gangguan perkembangan saraf adalah
sekelompok kondisi yang terjadi dalam masa perkembangan. Gangguan
ini biasanya terdiagnosis di awal pengembangan, sebelum anak
memasuki sekolah dasar, dan ditandai dengan defisit perkembangan yang
menimbulkan gangguan fungsi personal, sosial, akademik, atau
perkerjaan (American Psychiatric Association, 2013).
Selain inteligensi yang rendah, tingkah laku adaptif yang lemah
dengan serangan awal juga dimasukkan dalam definisi disabilitas
intelektual. Keterampilan adaptif meliputi keterampilan yang dibutuhkan
anak untuk mengurus diri sendiri dan tanggung jawab sosial. Menurut
definisi, disabilitas intelektual adalah kondisi yang dimulai sebelum usai
18 tahun yang meliputi rendahnya inteligensi dan kesulitan dalam
menyesuaiakan diri dengan kehidupan sehari-hari (Santrock, 2012).
Untuk memahami anak disabilitas intelektual diperlukan pemahaman
tentang konsep Mental Age (MA) terlebih dahulu. Mental Age adalah
kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu.
Jadi disabilitas intelektual adalah munculnya tanda-tanda berupa
gangguan intelektual dan gangguan untuk berfungsi adaptif yang
kemunculan pertamanya terjadi sebelum individu tersebut berusia 18
tahun.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
29
2. Klasifikasi Disabilitas Intelektual
Terdapat klasifikasi dari disabilitas intelektual, yakni ringan, sedang,
berat, dan sangat berat. Berikut ini adalah tingkat-tingkat disabilitas
intelektual dalam pandangan klinis.
Sekitar 89 persen individu yang mengalami disabilitas intelektual
berada dalam kategori ringan (mild), dengan IQ antara 55 hingga 70;
sebagian besar dari mereka mampu hidup mandiri menjadi orang dewasa
dan mampu bekerja pada berbagai bidang. Sekitar 6 persen
diklasifikasikan dalam kategori disabiitas intelektual sedang (moderate),
dengan IQ antara 40 hingga 54; orang-orang tersebut dapat menguasai
keahlian anak kelas dua sekolah dasar dan mungkin mampu menolong
diri mereka sendiri sebagai orang dewasa melalui beberapa jenis tenaga
kerja. Sekitar 3,5 persen mengalami disabilitas intelektual berat (severe),
dengan IQ 25 hingga 39; individu tersebut harus belajar berbicara dan
menyelesaikan tugas-tugas sederhana, namun dibawah pengawasan yang
ketat. Kurang dari 1 persen memiliki IQ dibawah 25; mereka masuk
dalam kategori disabilitas intelektual yang sangat berat (profound) dan
harus mendapatkan perhatian secara terus-menerus (Santrock, 2011).
Jadi dalam penelitian ini subjek yang akan digunakan adalah
orangtua yang memiliki anak disabilitas intelektual kategori sedang tanpa
menyertakan kategori ringan, karena klasifikasi yang melebihi dari
kategori ringan dapat memberikan resiko yang lebih signifikan bagi
orangtua.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
30
3. Kriteria Diagnostik Disabilitas Intelektual
Kriteria diagnostik untuk disabilitas intelektual berdasarkan
Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders harus memenuhi
ketiga kriteria dibawah, yaitu (American Psychiatric Association, 2013):
a. Defisit atau gangguan fungsi intelektual, seperti reasoning
(penalaran), problem solving (pemecahan masalah), planning
(perencanaan), abstract thinking (berpikir abstrak), judgment
(penilaian), academic learning (pembelajaran akademis), dan
learning from experience (belajar dari pengalaman), yang dibuktikan
dengan dua cara yakni assessment klinis dan tes inteligensi
individual yang terstandar.
b. Defisit atau gangguan fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan
untuk memenuhi standar perkembangan dan sosio-kultural bagi
kemandirian dan tanggungjawab sosial. Tanpa dukungan
berkelanjutan, kekurangan fungsi adaptif tersebut akan menghambat
dalam satu atau lebih aktivitas harian.
c. Defisit atau gangguan fungsi intelektual dan adaptif yang
kemunculan pertama/onsetnya terjadi dalam masa perkembangan.
Jadi individu dapat didiagnosis disabilitas intelektual apabila telah
memenuhi tiga kriteria berupa gangguan fungsi intelektual, gangguan
fungsi adaptif dan gangguan fungsi intelektual dan adaptif yang
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
31
kemunculan pertama/onsetnya terjadi dalam masa perkembangan
(sebelum 18 tahun).
4. Penyebab Disabilitas Intelektual
Disabilitas intelektual dapat disebabkan oleh penyakit organis, atau
dapat pula karena penyebab sosial dan budaya (Santrock, 2011):
a. Retardasi organis adalah disabilitas intelektual yang disebabkan oleh
gangguan genetik atau kerusakan otak: kata organis merujuk kepada
jaringan atau organ dari tubuh yang mengindikasikan kerusakan
fisik. Sebagian besar orang yang menderita retardasi organis
memiliki IQ antara 0 hingga 50. Namun anak dengan down
syndrome memiliki IQ rata-rata 50. Down syndrome diakibatkan
oleh penggandaan kromosom 21 yang berlebihan.
b. Retardasi budaya-keluarga adalah kemunduran mental ketika tidak
ditemukan adanya kerusakan organis pada otak; IQ-nya berkisar
antara 50 hingga 70. Para psikolog menduga bahwa kelainan mental
jenisini disebabkan oleh variasi normal yang mendistribusikan
individu sesuai dengan tes inteligensi yang dikombinasikan dengan
tumbuh dilingkungan intelektual yang berada di bawah rata-rata.
Jadi kemunculan disabilitas intelektual bisa terjadi karena
disebabkan oleh gangguan genetik atau kerusakan otak maupun karena
kemunduran mental ketika tidak ditemukan adanya kerusakan organis
pada otak.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
32
D. Orangtua Anak Disabilitas Intelektual
1. Pengertian Orangtua Anak Disabilitas Intelektual
Orangtua adalah ayah dan/atau ibu dari seorang anak, baik melalui
hubungan biologis maupun social. Umumnya, orangtua memiliki peranan
yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu atau
ayah dapat diberikan untuk wanita atau pria yang bukan orangtua
kandung dari individu yang mengisi peranan ini (id.wikipedia.org).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, disebutkan bahwa orangtua artinya
adalah ayah dan ibu.
Gesell (dalam Crain, 2007) mengutarakan bahwa orangtua
memerlukan sejumlah pengetahuan teoritis tentang kecenderungan dan
urutan perkembangan anak. Secara khusus mereka perlu menyadari
bahwa perkembangan berfluktuasi antara periode kestabilan dan
ketidakstabilan. Pengetahuan ini akan membantu orangtua menjadi sadar
dan paham. Selain itu, orangtua akan mampu menghadapi anak-anak
dengan lebih fleksibel dan mungkin lebih menikmati masa-masa
kebersamaan dengan mereka.
Orangtua adalah pihak yang paling banyak menanggung beban
akibat dari disabilitas intelektual. Kondisi penerimaan paling sulit yang
dialami orangtua biasanya adalah pada saat pertama kali menyadari
bahwa anaknya berbeda dari anak lain pada umumnya (Seomantri, 2007).
Orangtua harus menerima kondisi anak tersebut dan membantu anaknya
untuk menyesuaiakn diri dengan disabilitas yang dialami.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
33
E. Hubungan antara Resiliensi dengan Kesejahteraan Psikologis pada
Orangtua yang memiliki Anak Disabilitas Intelektual
Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi individu yang memiliki
kondisi mental positif, dimana individu tidak hanya memikirkan dirinya
sendiri dan berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya tetapi juga orang
lain, serta tidak adanya gejala-gejala depresi yang dialami, sehingga tercapai
kepuasaan hidup dan merasa lebih bahagia. Kesejahteraan psikologis bukan
hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif
namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan
sepanjang hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, dalam Liwarti, 2013).
Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, dan Fildman, 2008) orang-orang
yang sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain, mampu membuat keputusan sendiri, mampu memilih dan
membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan yang
membuat hidup mereka bermakna, dan dapat mengembangkan diri.
Berdasarkan paparan di atas, kesejahteraan psikologis penting untuk
dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya
membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya
(Ryff, dalam Compton, 2005).
Umumnya orangtua yang memiliki anak disabilitas intelektual
mengalami perasaan dan tingkah laku seperti perasaan melindungi anak
secara berlebihan, adanya perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan
yang kemudian menimbulkan praduga berlebihan, kehilangan kepercayaan
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
34
diri, merasa berdosa, merasa bingung dan malu sehingga lebih suka
menyendiri. Orangtua adalah pihak yang paling banyak menanggung beban
akibat dari disabilitas intelektual. Kondisi penerimaan paling sulit yang
dialami orangtua biasanya adalah pada saat pertama kali menyadari bahwa
anaknya berbeda dari anak lain pada umumnya.
Problem-problem psikologis tersebut menyebabkan orangtua kurang
memiliki kesejahteraan psikologis. Seseorang akan mencapai kesejahteraan
psikologis apabila memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan sering kali
merasakan emosi positif. Emosi yang positif yang ditandai dengan adanya
optimisme, keceriaan atau kebahagiaan, penuh perhatian, tertarik, waspada,
bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, kuat, dan aktif.
Untuk mengatasi kondisi yang tertekan menjadi suatu hal yang wajar
untuk diatasi sehingga memiliki penilaian positif tentang dirinya dan tidak
banyak merasakan emosi negatif, diperlukan kemampuan resiliensi. Resiliensi
dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter
positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang.
F. Kerangka Berpikir
Orangtua yang memiliki anak disabilitas intelektual mengalami berbagai
problem psikologis. Beban psikologis yang harus ditanggung menimbulkan
reaksi-reaksi yang berbeda pada setiap orangtua tersebut. Ada yang dapat
merasakan kebahagiaan, merasakan kepuasan dalam menjalani hidup,
memiliki penilaian positif tentang drinya, dan tidak banyak merasakan emosi
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
35
negatif sehingga mampu memiliki kesejahteraan psikologis. Akan tetapi ada
pula yang tidak mampu merasakan emosi positif, tidak memiliki kepuasan
hidup, menilai diri secara negatif, adanya perasaan bersalah melahirkan anak
berkelainan yang kemudian menimbulkan praduga berlebihan, kehilangan
kepercayaan diri, merasa berdosa, merasa bingung dan malu sehingga lebih
suka menyendiri dan lebih banyak merasakan emosi negatif.
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah dilakukan
permasalahan psikologis yang dialami oleh orangtua menyebabkan kurang
adanya kesejahteraan psikologis. Akan tetapi di sisi lain ada orangtua yang
tetap dapat merasakan kesejahteraan psikologis. Mereka berpikir bahwa
mereka pasti mampu mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi dan
mereka memilliki keinginan untuk tidak berlarut dalam masalah dan bertahan
dalam menjalani masa-masa keterpurukan dan kesengsaraan sehingga mampu
menyesuaikan diri dan berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan.
Dalam mengatasi berbagai persoalan yang diahadapi, orangtua anak
disabilitas intelektual memerlukan ketahanan lebih. Resiliensi dapat berguna
untuk mengatasi kondisi sulit yang dialami dalam kehidupan. Dalam
perspektif resiliensi, permasalahan dan tantangan hidup dipandang sebagai
suatu syarat untuk terciptanya ketahanan. Individu yang resilien akan mampu
untuk bangkit kembali ketika melihat kekurangan yang dimiliki sebagai suatu
hal yang dapat dirubah dan perbaiki ataupun dikembangkan dengan sebaik
mungkin.
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018
36
Peneliti mengindikasikan bahwa kemampuan resiliensi menjadi faktor
yang dapat menunjang orangtua anak disabilitas intelektual untuk merasakan
kesejahteraan psikologis. Berdasarkan keterangan dari orangtua anak
disabilitas intelektual, mereka yang mampu bertahan dan meningkatkan diri
secara efektif untuk mengubah kondisi yang tertekan menjadi suatu hal yang
wajar untuk diatasi, lebih memiliki penilaian positif tentang dirinya dan tidak
banyak merasakan emosi negatif.
Oleh karena itu, kemampuan resiliensi dianggap penting dalam
menunjang orangtua anak disabilitas intelektual untuk dapat merasakan
kesejahteraan psikologis.
Dari uraian di atas maka dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Orangtua yang memiliki anak
disabilitas intelektual
Kesejahteraan Psikologis
a. Penerimaan diri
b. Hubungan positif
dengan orang lain
c. Otonomi
d. Penguasaan
lingkungan
e. Tujuan hidup
f. Pertumbuhan pribadi
Resiliensi
a. Regulasi emosi
b. Pengendalian impuls
c. Optimisme
d. Kemampuan
Analisis masalah
e. Empati
f. Efikasi diri
g. Pencapaian
Hubungan Antara Resiliensi...Lina Setyaningrum, Fakultas Psikologi Ump, 2018