Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
vii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teoritis
1. Investasi Asing Langsung (FDI)
Salah satu informasi penting dalam memberikan dana di luar negeri adalah
investasi. Investasi asing merupakan sarana yang vital bagi pembangunan global serta
kemakmuran. Ini memungkinkan negara yang sedang berkembang untuk membangun
industri lokal menerima dana dari investor asing untuk memperbaiki infrastruktur
negaranya.
Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD,2007),
Investasi Asing Langsung didefinisikan sebagai investasi yang melibatkan hubungan
jangka panjang dan mencerminkan minat dan kontrol abadi oleh penduduk entitas
dalam satu ekonomi (investor asing langsung atau perusahaan induk) di suatu
perusahaan yang berdomisili di sebuah ekonomi selain dari investor asing langsung
(Perusahaan investasi asing langsung atau perusahaan afiliasi atau asing afiliasi).
Investasi asing langsung menyiratkan bahwa investor memberikan tingkat pengaruh
yang signifikan terhadap manajemen dari perusahaan yang bertempat tinggal di
ekonomi lain. Investasi semacam itu melibatkan transaksi awal antara dua entitas dan
semua yang berikutnya transaksi antara mereka dan di antara orang asing afiliasi, baik
yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Investasi asing langsung dapat
dilakukan oleh individu maupun entitas bisnis.
OECD (2008) mendefinisi investasi asing langsung yaitu sebagai kategori dari
investasi lintas batas yang dibuat oleh penduduk dalam satu ekonomi ( investor
8
langsung) dengan tujuan membangun minat abadi pada suatu perusahaan (perusahaan
investasi langsung) yang bertempat tinggal dalam suatu perekonomian selain dari
investor langsung.
Aliran investasi asing langsung terdiri dari modal yang disediakan (baik secara
langsung atau melalui perusahaan terkait lainnya) oleh investor asing langsung ke
perusahaan, atau modal diterima dari perusahaan investasi oleh orang asing investor
langsung. Investasi asing langsung memiliki tiga komponen :
a. Modal ekuitas adalah investor langsung asing pembelian saham suatu perusahaan di
suatu negara selain miliknya sendiri.
b. Pendapatan yang di investasikan kembali terdiri dari investor langsung saham
(proporsional dengan penyertaan modal langsung) penghasilan yang tidak di
distribusikan sebagai dividen oleh afiliasi, atau penghasilan tidak dikirimkan
langsung ke investor. Seperti laba ditahan oleh afiliasi di investasikan kembali.
c. Pinjaman dalam perusahaan atau hutang dalam perusahaan transaksi mengacu pada
pinjaman jangka pendek atau jangka panjang dan peminjaman dana antara investor
langsung (perusahaan induk) dan perusahaan afiliasi.
Indonesia sendiri telah melakukan banyak perubahan guna mendorong peningkatan
investasi, diantaranya penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka penanaman
modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui system pelayanan satu atap
melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam undang – undang No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 3
mendefinisikan Penanam modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam
9
modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang
berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
Dalam pasal 5 undang – undang No. 25 tahun 2007 disebutkan penanaman modal
asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum di Indonesia dan
berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain
oleh undang – undang. Penanam modal asing yang melakukan penanaman modal
dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:
a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. Membeli saham; dan
c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Investasi asing langsung dalam pemerintah diatur dalam peraturan BPKM NO 5
Tahun 2019 pasal 6 tentang Ketentuan Nilai Investasi dan Permodalan, yang
dijabarkan sebagai berikut.
a. Perusahaan PMA dikualifikasikan sebagai usaha besar, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan, wajib melaksanakan ketentuan, persyaratan nilai
investasi dan permodalan untuk memperoleh Perizinan Penanaman Modal.
b. Perusahaan dengan kualifikasi usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yaitu:
1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha berdasarkan laporan keuangan
terakhir; atau
2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan terakhir.
10
c. Perusahaan PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan, harus memenuhi ketentuan nilai investasi, yaitu:
(1) total nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah),
diluar tanah dan bangunan;
(2) nilai modal ditempatkan sama dengan modal disetor, paling sedikit
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
(3) persentase kepemilikan saham dihitung berdasarkan nilai nominal saham; dan
(4) Nilai nominal saham sebagaimana dimaksud dalam huruf c, untuk masing-masing
pemegang saham paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
d. Dalam hal Penanam Modal dengan kegiatan usaha pembangunan dan
pengusahaan properti, ketentuan persyaratan permodalan untuk PMA terkait nilai
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
(1) berupa properti dalam bentuk bangunan gedung secara utuh atau komplek
perumahan secara terpadu dengan ketentuan:
(a) nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
termasuk tanah dan bangunan;
(b) nilai modal disetor paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah) dan nilai penyertaan dalam modal perseroan; atau
(2) berupa unit properti tidak dalam 1 (satu) bangunan gedung secara utuh atau 1
(satu) kompleks perumahan secara terpadu :
(a) nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diluar
tanah dan bangunan;
(b) nilai modal disetor paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah); dan
11
(c) nilai penyertaan dalam modal perseroan untuk masing-masing pemegang saham
paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan
Debt to Equity Ratio (DER) 4:1.
e. Nilai investasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dan/atau ayat (3) harus dipenuhi
Perusahaan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung setelah tanggal
Perusahaan memperoleh Izin Usaha.
f. Penanam Modal dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang
menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas
nama orang lain.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh IMF, investasi-investasi asing yang
dilakukan oleh 20 perusahaan multinasional terbesar di US disebabkan oleh motivasi
untuk mencari return yang lebih besar.nBeberapa jenis FDI adalah sebagai berikut :
a. FDI vertikal
FDI yang dilakukan secara vertikal menyangkut desentralisasi secara geografis dari
aliran produksi perusahaan. Perusahaan akan melakukan kegiatan produksi di negara-
negara yang memiliki biaya tenaga kerja yang rendah, kemudian hasil produksi di
negara tersebut akan disalurkan kembali ke negara induk. Misalnya suatu produk yang
proses produksinya capital-intensive akan memindahkan proses produksinya ke
negara-negara yang kaya akan modal.
b. FDI horizontal
FDI yang dilakukan secara horizontal akan memproduksi barang yang sama di
beberapa negara. FDI jenis ini memiliki motivasi untuk mencari pasar yang baru.
12
Keuntungan dari FDI dengan jenis ini adalah efisiensi di dalam biaya transportasi,
karena tempat produksi yang ada menjadi lebih dekat dengan konsumen.
Sementara itu, FDI juga dapat dibedakan berdasarkan motivasi yang melatar
belakangi invetor asing, yaitu:
a. Resource seeking: Investasi dilakukan untuk mencari faktor-faktor produksi yang
lebih efisien di negara lain dibandingkan dengan menggunakan faktor produksi di
dalam negeri yang lebih mahal.
b. Market seeking: Investasi yang dilakukan dengan tujuan mencari pasar yang baru
atau mempertahankan pasar yang lama. Strategi ini dapat juga dilakukan sebagai
strategi pertahanan. Investasi dengan latar belakang untuk mencari pasar
direalisasikan di dalam bentuk merger dan akuisisi.
c. Efficiency seeking: Investasi dimana perusahaan berusaha untuk meningkatkan
efisiensinya dengan mengambil keuntungan dari economic scale dan scope. Tipe
FDI ini banyak digunakan di negara-negara berkembang.
Pengukuran investasi asing langsung dilakukan dengan melihat arus masuk
investasi baru yang dikurang dengan investasi dalam pelaporan ekonomi dari investor
asing dan diukur dalam satuan US $ saat ini. Lejour A. (2014); Neumayer (2009);
Lejour & salfi (2015); dan Barthel et all. (2014) menggunakan logaritma saham
investasi asing langsung. Murciego & Labordaa (2018) menggunakan bilateral
investasi langsung asing antara spanyol dan negara lainnya, Cevik & Tasar (2015)
menggunakan arus masuk investasi asing langsung dalam US $. Beberapa peneliti
(Lejour A., 2014; Neumayer, 2009; Lejour & Salfi, 2015; Murciego & Laborda, 2018;
dan Cevik & Tasar, 2015) menggunakan data investasi asing langsung yang telah
tersedia di OECD. Sedangkan Barthel et all. Menggunakan data yang tersedia di
UNCTAD.
13
2. Perpajakan Internasional
a. Pengertian dan Hukum Pajak Internasional
Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku diantara negara
yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya
dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina ( Pacta Sunservanda).
Perpajakan internasional merupakan studi atau penentuan pajak atas subjek orang
atau bisnis dengan hukum pajak negara yang berbeda atau aspek-aspek internasional
dari hukum pajak negara individu. Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak
pendapatan mereka dalam beberapa cara teritorial atau menyediakan untuk offset
dengan perpajakan yang berkaitan dengan pendapatan ekstrateritorial.
Berikut beberapa pengertian hukum pajak dari pendapat ahli hukum pajak, yaitu:
1) Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional
adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah
nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif atau
kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di dunia, untuk mengatur
soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing.
2) Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional
mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional
untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
3) Sedangkan menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional
sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan
terhadap orang asing.
14
4) Dr. Ottmar Buhler, hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah
(norma) hukum perselisihan (kolisi) yang didasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional). Sedangkan dalam arti luas hukum pajak internasional adalah
kaedah-kaedah hukum antar bangsa ditambah peraturan nasiomal yang mempunyai
sebagai objek hukum kolisi dalam bidang.
5) Anglo Sakson, di negara-negara Anglo Sakson berlaku pengertian yang terperinci
tentang hukum pajak internasional, yang dibedakan antara :
(a) National External Tax Law (Auszensteuerrecht)
Merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat mengenai peraturan
perpajakan yang mempunyai daya kerja sampai di batas luar negara karena terdapat
unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun
terhadap subjeknya (subjek ada di luar negeri.
(b) Foreign Tax Law (Auslandisches Steuerrecht)
Adalah mencakup keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan pajak
dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. Foreign tax law berguna sebagai bahan
perbandingan dalam melakukan comparative tax law study ketika akan melakukan
perjanjian perpajakan dengan negara lain.
(c) International tax Law
Dalam arti sempit diartikan bahwa hukum pajak internasional merupakan
keseluruhan kaedah pajak berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat,
konvensi, dll yang semata-mata berdasarkan sumber-sumber asing. Sedangkan dalam
arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat, konvensi, dan
prinsip hukum pajak yang diterima negara-negara dunia, maupun kaedah-kaedah
15
nasional yang objeknya adalah pengenaan pajak yang mengandung adanya unsur-
unsur asing, yang dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau lebih.
b. Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Prof. Dr. Rochmat Soemito dalam bukunya “Hukum Pajak Indonesia, menyebutkan
bahwa ada bebarapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
1) Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang mengandung unsur asing.
2) Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara
bilateral maupun multilateral.
3) Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak
internasional.
Sedangkan dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso
Brotodihardjo, S.H. menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak
internasional, yaitu:
1) Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara
2) Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak
ditujukan kepada negara lain.
3) Traktat-traktat (perjanjian) dengan negera lain, seperti:
4) Untuk meniadakan atau menghindarkan pajak berganda.
5) Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
6) Untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan atau seseorang
mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber pendapatan di negara asing.
Investasi internasional dianggap berperan penting dalam memberikan kontribusi
perkembangan ekonomi suatu negara, terutama negara berkembang, sehingga tiap negara
16
berlomba-lomba untuk menarik investasi asing ke negaranya. Prinsip tersebut
mempengaruhi perlakuan perpajakan terhadap subjek maupun objek pajak luar. Berikut
beberapa asas pemajakan internasional yang dikemukakan oleh Prof. Rochmat Sumintro :
(1) Azas domisili. Berdasarkan asas domisili subjek pajak dikenakan pajak di negara
tempat subjek pajak tersebut berdomisili. Umumnya negara ini menerapkan prinsip
world wide income, yaitu penghasilan akan dikenakan pajak di negara domisili baik
yang diperoleh dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Indonesia termasuk
negara yang menggunakan azas ini.
(2) Azas sumber. Berdasarkan asas sumber pajak dikenakan berdasarkan dimana
sumber penghasilan berasal.
(3) Azas kewarganegaraan. Berdasarkan azas kewarganegaraan pengenaan pajak
didasarkan pada status kewarganegaraan seseorang. Jadi setiap orang yang menjadi
warga negara di suatu negara akan dikenakan pajak di negara tersebut walaupun
penghasilannya diterima dari negara lain. Amerika Serikat termasuk negara yang
menganut azas ini.
(4) Azas campuran dari azas-azas di atas. Negara ini menganut campuran dari beberapa
azas di atas.
(5) Azas teritorial. Berdasarkan asas ini pajak dikenakan atas penghasilan yang
diperoleh di wilayah (teritorial) suatu negara, Jadi yang dikenakan pajak hanya atas
penghasilan yang diperoleh dalam wilayah negara tersebut, sehingga atas
penghasilan yang diperoleh dari luar negara tersebut tidak dikenakan pajak.
Prinsip-prinsip pemajakan berbeda yang dianut di masing-masing negara
menjadi cikal bakal munculnya pajak berganda internasional (international double
taxation). Pajak Internasional pada dasarnya berdasarkan pada ketentuan pemajakan
domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh
17
penghasilan dari luar negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Dengan kata lain pajak internasional akan berbicara mengenai bagaimana
pemajakan atas penghasilan orang asing atau perusahaan (badan) asing yang diterima
dari Indonesia dan bagaimana pemajakan atas penghasilan orang atau perusahaan
(badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari luar negeri, dengan
berdasarkan UU domestik dan UU negara lain serta perjanjian perpajakan (tax
treaty). Pemahaman pajak internasional dapat dikategorikan menjadi dua pandangan
yaitu :
1) Taxing inbound income : pemajakan atas subjek pajak dalam negeri (SPDN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2) Taxing outbound income : pemajakan atas subjek pajak luar negeri (SPLN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri.
Di setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap
penghasilan setiap individu dan badan di mana terdapat “connecting factors” antara
negara suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Undang –
undang perpajakan menerapkan dua prinsip berdasarkan “connecting factors”
tersebut, yaitu :
1) Residence principle (asas residensi). Hak negara mengenakan pajak kepada
seseorang (individu atau badan) karena terdapat “personal attachment”, seperti
residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan
manajemen (worldwide income).
2) Source principle (asas sumber). Hak negara mengenakan pajak kepada seseorang
(individu atau badan) karena terdapat “economic attachment” yaitu penghasilan
yang bersumber dinegara tersebut.
18
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya
dikemukakan oleh Doernberg (1989) menyebutkan tiga unsur netralitas yang harus
dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional, yaitu :
1) Capital export neutrality (netralitas pasar domestik). Kemanapun kita berinvestasi,
beban pajak yang dibayar haruslah sama sehingga tidak ada bedanya bila kita
berinvestasi di dalam atau di luar negeri.
2) Capital import neutrality (netralitas pasar internasional). Dari mana pun investasi
berasal, dikenakan pajak yang sama sehingga baik investor dari dalam negeri atau
luar negeri akan dikenakan tariff pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara.
3) National neutrality. Setiap negara mempunyai bagian pajak atau penghasilan yang
sama.
Gambar 2.1 Ruang Lingkup Pajak Internasional
Sumber : Perpajakan Internasional Anang Mury Kurniawan
Salah satu aspek penting dalam perpajakan internasional adalah masalah
pajak berganda internasional. Dalam upaya mengatasi masalah tersebut,
persetujuan secara bilateral dua negara dibuat melalui suatu perundingan terkait
adanya potensi pajak ganda yang diakibatkan hubungan ekonomi dua negara.
Tujuan utama adanya persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaties)
adalah meniadakan atau mengurangi pemajakan berganda (avoid double taxation)
19
dan juga mencegah penghindaran atau penyeludupan pajak (avoid double non –
taxation). Upaya – upaya ini penting dilakukan dalam upaya untuk menciptakan
suatu kondisi ekonomi yang sehat dengan tujuan akhir (Srivinas,2012) yaitu :
1) adanya efisiensi ekonomi (economic efficiency)
2) terciptanya keseimbangan aliran modal ekspor dan impor (balance of capital export
and import neutrality)
3) mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat (national wealth maximization)
4) adanya keadilan perpajakan (tax equity)
Sistem pemungutan pajak merupakan sebuah mekanisme yang digunakan untuk
menghitung besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak ke negara.Di Indonesia,
berlaku 3 jenis sistem pemungutan pajak, yakni:
(1) Official Assessment System.
Merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus atau aparat perpajakan sebagai
pemungut pajak. Ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment:
(a) Besarnya pajak terutang dihitung oleh petugas pajak.
(b) Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan pajak mereka.
(c) Pajak terutang ada setelah petugas pajak menghitung pajak yang terutang dan
menerbitkan surat ketetapan pajak.
(d) Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib
dibayarkan.
(2) Self Assessment System.
Merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan penentuan besaran pajak
yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak Self Assessment:
20
(a) Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri.
(b) Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari
menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.
(c) Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib
pajak telat lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya
wajib pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.
(3) Withholding Assessment System.
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang
ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak
ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan
presiden, serta peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor,
dan mempertanggung jawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Jenis pajak
yang menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal
22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN.
Pada prinsipnya orang pribadi atau badan yang tidak memenuhi kriteria sebagai
subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Dalam undang –
undang pajak penghasilan no. 36 tahun 2008 pasal 2 ayat 4 disebutkan kriteria subjek
pajak luar negeri yang dijabarkan sebagai berikut :
(1) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
21
(2) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Yang tidak termasuk dalam subjek pajak menurut ketentuan undang – undang pajak
penghasilan pasal 3 adalah :
(1) kantor perwakilan negara asing;
(2) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama - sama mereka dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
(3) organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
(a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
(b) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;
(4) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada
huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
22
c. Perjanjian Pajak Berganda
Setiap negara di dunia mempunyai kedaulatan penuh dalam mengenakan pajak
menurut undang – undang domestik di negaranya. Dalam suatu transaksi internasional,
dimana masing – masing negara mempertahankan aturan domestik negaranya maka tidak
dapat dihindari adanya kemungkinan pengenaan pajak berganda.
Cambridge Dictionary mendefinisikan perjanjian pajak ganda sebagai perjanjian
bilateral antara dua negara atau lebih yang mengurangi jumlah pajak yang seorang
pekerja internasional atau perusahaan harus membayar, sehingga mereka tidak perlu
membayar pajak dua kali pada pendapatan yang sama. Perjanjian ini digunakan oleh
penduduk dua negara untuk menetukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi
di antara mereka. Adanya tax treaty ini dilakukan dalam upaya mengeliminasi beban
pajak berganda yang disebabkan oleh hubungan ekonomi dari dua yuridiksi yang
berbeda.
Kedudukan tax treaty di Indonesia terhadap UU PPh diperlakukan sebagai lex
specialis. Menurut OECD (2010), tujuan utama DTT adalah untuk menghilangkan pajak
berganda - yang berarti pengadaan pajak atas pendapatan yang sama (atau modal) dari
wajib pajak yang sama pada periode yang sama di dua yurisdiksi (Neumayer, 2007). Di
Indonesia persetujuan penghindaran pajak berganda memiliki tujuan yaitu :
(1) memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain
dengan cara :
(a) menghindarkan pengenaan pajak berganda
(b) memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas beberapa bentuk
penghasilan tertentu
(2) merupakan alat bagi kedua negara pihak persetujuan untuk lebih dapat menerapkan
aturan-aturan domestiknya sehingga dapat mengurangi adanya praktek
23
penghindaran pajak, misalnya dengan memungkinkan masing - masing negara
pihak persetujuan untuk saling tukar informasi, konsultasi bersama atau
mengadakan mutual agreement.
Di Indonesia peraturan pajak berganda diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak nomor PER - 48/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur
Persetujuan Bersama Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah negara atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan
pajak berganda dan pengelakan pajak.
Terdapat dua model tax treaty yang sering dijadikan acuan negara – negara di
dunia dalam membuat tax treaty, yaitu Organization for Economic Cooperation
and Development Model (OECD Model) dan United Nations Model (UN Model).
OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara – negara
maju, sedangkan UN Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara
– negara berkembang. OECD Model lebih mengedepankan pada asas domisili
negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal, dimana hak pemajakannya
berada di negara domisili.
Untuk mengukur perjanjian pajak berganda menurut Lejour (2014) diukur
dengan perjanjian tentang pendapatan dan modal, perjanjian seperti warisan,
hadiah, dan transportasi udara dan laut. Murciego dan Laborda (2018) diukur
dengan perjanjian pajak berganda di antara spanyol dengan negara yang
bersangkutan. Sedangkan Neumayer (2009) menggunakan angka kumulatif dari
perjanjian pajak berganda antara negara berkembang dengan negara – negara
OECD, di bebankan dari saham keluar investasi asing langsung negara OECD.
24
d. Perjanjian Investasi Bilateral
Selain itu perjanjian investasi bilateral juga memiliki peran penting dalam
investasi asing. Menurut United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD,2010) mendefinisikan perjanjian investasi bilateral sebagai berikut:
“agreements between two countries for the reciprocal encouragement
promotion and protection of investments in each other's territories by companies
based in either country. Treaties typically cover the following areas: scope and
definition of investment, admission and establishment, national treatment, most-
favoured-nation treatment, fair and equitable treatment, compensation in the
event of expropriation or damage to the investment, guarantees of free transfers
of funds, and dispute settlement mechanisms, both state-state and investor-
state”.
Menurut Jacob (2013) BIT mengatur mengenai standar – standar perlindungan
investasi yang harus dilakukan oleh host state, seperti:
1. Perlakuan yang setara dan adil atau tidak ada diskriminasi dari segala jenis
investasi baik asing maupun domestik;
2. Perlindungan dan keamanan penuh yang memuat kewajiban negara untuk
memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh korporasi akibat perang,
konflik bersenjata, revolusi, keadaan darurat negara, kerusuhan, ataupun
pemberontakan. Biasanya perlindungan ini dalam bentuk pemberian kompensasi
atas pemulihan;
3. Perlindungan dari tindakan pengambil – alihan atau nasionalisai dan mengharuskan
pemberian kompensasi ganti rugi atas tindakan tersebut;
4. Mekanisme penyelesaian sengketa, yang mensejajarkan antara level investor
dengan negara atau dikenal dengan “Investor – State Dispute Settlement”. (ISDS).
Sebagai salah satu bentuk Perjanjian Internasional maka BITs masih dalam ruang
lingkup hukum internasional, maka dasar terbentuknya BITs harus tunduk dengan
25
sumber-sumber hukum internasional dengan tidak mengenyampingkan hukum-hukum
nasional.
Di Indonesia perjanjian investasi bilateral diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak no. PER – 24/PJ/2018 tentang tata cara pertukaran informasi secara spontan
dalam rangka melaksanakan perjanjian internasional. Definisi yang disebutkan dalam
pasal 1 ayat 2 Perjanjian Internasional adalah perjanjian bilateral atau multilateral,
yang antara lain menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya
dengan negara mitra atau yuridiksi mitra. Yang mengatur pertukaran informasi
mengenai hal – hal yang berkaitan dengan perpajakan dijabarkan sebagai berikut :
1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
2) Persetujuan untuk pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan
(Tax Information Exchange Agreement)
3) Konvesi tentang bantuan administrative bersama di bidang perpajakan
(Convention On Mutual Administrative Assistance In Tax Matters)
4) Persetujuan pejabat yang berwenang yang bersifat multilateral atau bilateral
(Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement)
5) Perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
3. Teori yang Mendasari Penelitian
a. Teori Eklektik Dunning
Teori Dunning (2008) adalah salah satu referensi teori untuk mempelajari Foreign
Direct Investment (FDI) berdasarkan motivasi yang melatarbelakangi investor asing
untuk berinvestasi yang dikenal dengan “The Organization Location and Internalization
paradigm”. Dunning menduga bahwa sebuah perusahaan akan tertarik berinvestasi
dalam bentuk FDI jika tiga kondisi terpenuhi yaitu;
26
(1) Ownership Advantages. Perusahaan harus memiliki beberapa keunggulan
kepemilikan dibandingkan perusahaan lain
(2) Internalisation. Harus lebih menguntungkan dengan memanfaatkan sendiri
keunggulan-keunggulan tersebut daripada menjual atau meyewakan ke
perusahaan lain
(3) Locational Advantages. Harus lebih menguntungkan dengan menggunakan
keunggulan tersebut dalam kombinasi dengan paling tidak beberapa input (faktor)
yang berlokasi di luar negeri
The OLI Framework yang dikemukakan oleh Dunning diatas memiliki beberapa
kelemahan antara lain tidak dapat menjelaskan lebih jauh eksistensi perusahaan asing
(MNCs), khususnya mengenai perkembangannya terhadap FDI. (Dunning,2008)
b. Teori Kebergantungan (The Dependency Theory)
Teori Kebergantungan (1996) ini didasari oleh banyaknya penanaman modal asing
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang berkantor pusat di
negara maju dan beroperasi melalui anak-anak perusahaannya di negara
berkembang. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan multinasional dalam
menanamkan modalnya di negara berkembang dengan kebijakan global hanyalah
untuk kepentingan induk perusahaan dan pemilik saham dari perusahaan
multinasional tersebut yang berada di negara penanam modal. Negara pemilik modal
menjadi sentral ekonomi di dunia, sedangkan negara-negara berkembang melayani
kepentingan dari negara pemilik modal. Pembangunan menjadi tidak mungkin
dalam suatu negara berkembang sebagai pelaku ekonomi yang tidak penting
kecuali dapat mengubah situasi dengan negara berkembang menjadi pusat ekonomi
melalui penanaman modal asing. (Said M.,1996)
27
Menurut teori kebergantungan, penanaman modal asing di negara
berkembang tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti. Penanaman
modal asing menahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pemasukan di
negara penerima modal. (Said M.,1996)
Perkembangan ekonomi negara berkembang dirasakan lamban karena berbagai
alasan. Pertama, penanaman modal asing langsung yang banyak dilakukan oleh
perusahaan multinasional biasanya menegakkan kebijakan global bagi kepentingan
negara-negara maju yang kantor pusat dan pemilik sahamnya berada di negara
pemilik modal. Negara pemilik modal dari penanaman modal asing menjadi
pusat ekonomi negara penerima modal hanya sebagai pelayan ekonomi yang
tidak penting bagi pusat ekonomi . (Said M.,1996)
Kedua, masuknya atau mengalirnya modal ke negara berkembang, terdapat
ketentuan bahwa modal yang ditanam dan keuntungan yang diperoleh di
negara penerima modal asing dapat dikembalikan ke negaranya. Berdasarkan
ketentuan ini, dalam praktik penanaman modal asing mengembalikan baik
modal asal maupun keuntungan dua kali lipat dari modal yang mereka
bawa. (Said M.,1996)
Ketiga, penanaman modal asing menggunakan kekayaan alam tanpa
memerhatikan kepentingan dan kebutuhan setempat, sebagai akibatnya mereka
kehilangan pekerjaan dan mengalami kebangkrutan. Penanaman modal asing
berdasarkan teori kebergantungan hanya menguntungkan perusahaan multinasional
dan membuat kebergantungan negara berkembang dalam membangun
ekonominya bergantung kepada penanaman modal asing dan tidak bermanfaat
bagi negara penerima modal. Pada kenyataannya, di dunia saat ini dengan
28
dikuranginya bantuan dana resmi terhadap negara-negara berkembang,
penanaman modal menjadi sumber pendanaan yang penting bagi pembangunan
proyek-proyek besar. Lebih jauh lagi, keberadaan teori kebergantungan dalam
penanaman modal asing langsung tetap dipertahankan di era globalisasi. (Said M.,1996)
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang diuraikan berikut ini terdiri dari : (1) penelitian terdahulu
tentang perjanjian pajak berganda dan investasi asing langsung dan (2) penelitian
terdahulu tentang perjanjian investasi bilateral dan investasi asing langsung.
1. Penelitian Terdahulu tentang Perjanjian Pajak Berganda dan Investasi Asing
Langsung
Penelitian Lejour A. (2014) dengan menggunakan data saham investasi asing
langsung dari 34 negara OECD selama periode 1985 sampai dengan 2011 menemukan
perjanjian pajak berganda berpengaruh positif terhadap investasi saham asing langsung.
Variabel kontrol yaitu perjanjian investasi bilateral berpengaruh positif, akan tetapi
jarak antar negara (distance) berpengaruh negatif terhadap investasi asing langsung.
Penelitian Murciego & Laborda (2018) dengan menggunakan data arus masuk dan
arus keluar investasi asing langsung perancis dan OECD selama periode 1993 sampai
dengan 2013 menemukan perjanjian pajak berganda berpengaruh positif terhadap
investasi asing langsung. Variabel kontrol yaitu keterbukaan (openness), investment
barriers, dan antar negara (distance) berpengaruh positif terhadap investasi asing
langsung.
Penelitian Neumayer (2009) dengan menggunakan data US Bureau Economic
Analysis selama periode 1970 sampai dengan 2001 menemukan perjanjian pajak
berganda berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung. Variabel kontrol yaitu
29
perjanjian investasi bilateral, produk domestik bruto, dan populasi berpengaruh positif,
sedangkan tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap investasi langsung asing.
Penelitian Lejour & Salfi (2015) dengan menggunakan data OECD data selama
periode 1985 sampai dengan 2011 dari 217 negara sebagai sampel, menemukan
perjanjian pajak berganda berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung.
Variabel kontrol yaitu perjanjian investasi bilateral dan produk domestik bruto yang
berpengaruh positif terhadap investasi langsung asing.
Penelitian Cevik & Tasar (2015) dengan menggunakan data Republic of Turkey
Central Bank (RTCB) selama periode 2001 sampai dengan 2012 dari 71 negara sebagai
sampel, menemukan perjanjian pajak berganda berpengaruh positif terhadap investasi
asing langsung. Variabel kontrol produk domestik bruto, keterbukaan, industry
manufaktur, dan free trade agreement berpengaruh positif signifikan, akan tetapi
perjanjian investasi bilateral dan inflasi tidak berpengaruh terhadap investasi langsung
asing.
Penelitian Barthel et all. (2014) dengan menggunakan data UNCTAD selama
periode 1978 sampai dengan 2004 dari 135 negara sebagai sampel, menemukan
perjanjian pajak berganda berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung. Selain
itu, variabel pendukung yaitu produk domestik bruto, keterbukaan, perjanjian investasi
bilateral, regional trade agreement yang berpengaruh positif signifikan, akan tetapi
inflasi tidak berpengaruh terhadap investasi langsung asing.
2. Penelitian Terdahulu tentang Perjanjian Investasi Bilateral dan Investasi
Asing Langsung
Penelitian Lejour & Salfi (2015) dengan menggunakan data OECD data selama
periode 1985 sampai dengan 2011 dari 217 negara sebagai sampel, menemukan
perjanjian investasi bilateral berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung.
30
Variabel kontrol produk domestik bruto yang berpengaruh positif terhadap investasi
langsung asing.
Penelitian Barthel et all. (2014) dengan menggunakan data UNCTAD selama
periode 1978 sampai dengan 2004 dari 135 negara sebagai sampel, menemukan
perjanjian investasi bilateral berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung.
Variabel pendukung yaitu produk domestik bruto, keterbukaan, regional trade
agreement yang berpengaruh positif signifikan, akan tetapi inflasi tidak berpengaruh
terhadap investasi langsung asing.
Penelitian Bhasin & Manocha (2016) dengan menggunakan data UNCTAD, World
Bank, Political Constraint Index Dataset (POLCON), French Research Centre For
Internasional Economics selama periode 2001 sampai dengan 2012 menemukan
perjanjian investasi bilateral berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung.
Selain itu, variabel pendukung yaitu, populasi dan keterbukaan berpengaruh positif
signifikan, akan tetapi political berpengaruh negatif signifikan, sedangkan produk
domestik bruto, jarak antar negara (distance), colonial tidak berpengaruh terhadap
investasi langsung asing.
Penelitian Sokchea (2006) dengn menggunakan data panel dari OECD selama
periode 1984 – 2002 dengn sampel 10 negara asia menemukan perjanjian investasi
bilateral berpengaruh positif terhadap investasi langsung asing. Selain itu, variabel
pendukung yaitu produk domestik bruto, keterbukaan, dan political berpengaruh positif
signifikan, akan tetapi inflasi dan real wage berpengaruh negatif signifikan, sedangkan
nilai tukar tidak berpengaruh terhadap investasi langsung asing.
Ringkasan penelitian terdahulu berikut proksi, data, dan kesimpulannya dapat
dilihat pada lampiran 1.
31
C. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara variabel
penelitian berdasarkan teori – teori yang ada dan penelitian terdahulu, yaitu tentang
pengaruh perjanjian pajak berganda dan perjanjian investasi bilateral terhadap investasi
asing langsung maka kerangka pemikiran di uraikan sebagai berikut.
1. Pengaruh Perjanjian Pajak Berganda terhadap Investasi Asing Langsung
Dalam teori eklektik dijelaskan bahwa teori ini berusaha menyediakan kerangka
keseluruhan untuk menjelaskan mengapa perusahaan – perusahaan memilih untuk ikut
serta dalam investasi asing langsung daripada melayani pasar asing melalui alternatif
seperti ekspor, lisensi, kontrak manajemen, usaha bersama, atau aliansi strategis.
Dalam suatu transaksi internasional, masing – masing negara mempertahankan aturan
pajak berganda, selain menimbulkan ketidakadilan pajak juga akan menghambat
transaksi internasional. Tanpa perjanjian pajak berganda, penghasilan yang berasal dari
modal akan dipotong pajak dari jumlah bruto oleh pihak yang melakukan investasi.
Oleh karena itu, dengan adanya perjanjian pajak yang disetujui oleh kedua pihak
negara maka lebih banyak investor asing yang tertarik untuk melakukan investasi di
negara yang melakukan perjanjian pajak berganda.
Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian terdahulu (Lejour A.,2014 ;
Murciego&Laborda,2018; Neumayer,2009; Lejour&Salfi,2015; Cevik&Tasar,2015;
Barthel et all 2014) yang menemukan bahwa perjanjian pajak berganda berpengaruh
positif terhadap investasi asing langsung.
2. Pengaruh Perjanjian Investasi Bilateral terhadap Investasi Asing Langsung
Teori kebergantungan (Dependency theory) mengkhususkan bagi negara – negara
berkembang untuk meningkatkan ekonomi dari negara maju. Kekuatan teori
32
kebergantungan menekankan pada aspek internasional, persoalan tentang politik luar
negeri dengan negara lain, membahas hubungan antar negara dalam konteks
internasional, dan menganalisis pembangunan ekonomi. Ketika dua negara melakukan
perjanjian investasi, maka perjanjian itu akan melindungi kepentingan investor dan
memperkuat hubungan ekonomi yang kuat dan kerja sama antara dua negara dengan
menandatangani perjanjian investasi bilateral. Oleh karena itu, para investor merasa
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan tidak adil saat berinvestasi asing di
negara asing yang melakukan perjanjian investasi bilateral.
Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian terdahulu (Lejour & Salfi,2015;
Barthel et all,2014; Bhasin&Manocha,2016; Sokchea,2006) yang menemukan bahwa
perjanjian investasi bilateral berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung.
Gambar 2.2
Pengaruh Perjanjian Pajak Berganda, dan Perjanjian Investasi Bilateral
Terhadap Investasi Asing Langsung
D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka penelitian tersebut, hipotesis penelitian diajukan sebagai
berikut :
H1 : Perjanjian Pajak Berganda berpengaruh positif terhadap investasi asing langsung.
H2 : Perjanjian Investasi Bilateral berpengaruh positif terhadap investasi asing
langsung.
Perjanjian Pajak
Berganda Investasi Langsung
Asing
Perjanjian
Investasi
Bilateral