57
29 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1. Pengertian Tindak Pidana Di Indonesia hingga saat ini, para ahli pidana/sarjana hukum belum memiliki kesamaan pendapat dalam mendefinisikan mengenai Strafbaar feit. Strafbaar feit merupakan istilah bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai arti di antaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat di pidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukuman. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. 1 Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “Strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri, akan tetapi tindak pidana biasa disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yakni kata delictum 2 . Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (Strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: 1 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002, hlm. 69. 2 Ibid hlm. 47.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

1. Pengertian Tindak Pidana

Di Indonesia hingga saat ini, para ahli pidana/sarjana hukum

belum memiliki kesamaan pendapat dalam mendefinisikan

mengenai Strafbaar feit. Strafbaar feit merupakan istilah bahasa

Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan

berbagai arti di antaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan

pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat di pidana.

Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan

feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari

strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan

hukuman. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh,

sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan.1 Istilah tindak pidana merupakan

terjemahan dari “Strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud

dengan Strafbaar feit itu sendiri, akan tetapi tindak pidana biasa

disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yakni

kata delictum2.

Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (Strafbaar feit)

memuat beberapa unsur yakni:

1 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002,

hlm. 69. 2 Ibid hlm. 47.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

30

a. Suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu di larang dan di ancam dengan hukuman

oleh undang-undang;

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat di

pertanggung- jawabkan.3

Moeljatno memberikan definisi perbuatan pidana

sebagai “perbuatan yang di larang dalam undang-undang dan di

ancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu”.4

Simons berpendapat bahwa Strafbaar feit adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat

melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab,5

sedangkan menurut Van Hamel, Strafbaar feit adalah kelakuan

orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang

bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan

dilakukan dengan kesalahan.6 Moeljatno menyimpulkan bahwa

feit dalam Strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah

laku dan pengertian Strafbaar feit jika dihubungkan dengan

kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Bahwa untuk

pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya

perbuatan pidana, akan tetapi harus adanya kesalahan atau sikap

batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang

tidak tertulis yaitu tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen

straf zonder schuld, ohne Schuld keine Strafe).7

3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, 2011, Jakarta,

hlm. 48. 4Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Dalam Hukum

Pidana,1955, pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis Ke IV

Universitas Gadjah Mada, di Stitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember

1955, hlm.17.

5 Ibid hlm. 61. 6 Ibid hlm. 61. 7 Ibid hlm. 63.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

31

Dalam buku Hukum Pidana Indonesia, P. A. F.

Lamintang, berpendapat bahwa Strafbaar feit atau perbuatan

yang dapat di hukum adalah suatu “pelanggaran norma” atau

Normovertreding (gangguan terhadap tertib-hukum), yang dapat

dipersalahkan kepada pelanggar, sehingga perlu adanya

penghukuman demi terpeliharanya tertib-hukum dan dijaminnya

kepentingan umum8. Normovertreding dimaksudkan suatu sikap

atau perilaku atau Gendraging, yang dilihat dari penampilannya

dari luar adalah bertentangan dengan hukum, sehingga

melanggar hukum dan antara sikap dan perilaku itu terdapat

suatu hubungan yang demikian rupa dengan si pelanggar,

sehingga ia dapat dipersalahkan karena pelanggaran hukum

tersebut, atau dengan perkataan lain ia telah bersalah karenanya.9

Sedangkan Bambang Poernomo berpendapat bahwa

perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap

apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana

adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana di

larang dan di ancam dengan pidana bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.”10

Pada tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana

yang termuat dalam KUHP. Pasal-pasal yang terdapat dalam

KUHP memiliki unsur-unsur yang terkandung dari sebuah

tindak pidana sehingga seseorang yang telah melanggar dapat

dikenakan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di dalam

perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta)

oleh perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan

karenanya. Dua hal tersebut yaitu kelakuan dan akibat.11

8 P. A. F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

1983, hlm. 5. 9 Ibid hlm. 5. 10 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1992, hlm. 130. 11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta, Jakarta, 2015,

hlm. 64-69.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

32

Belum adanya kesatuan pendapat para ahli pidana dalam

merumuskan pengertian tindak pidana di Indonesia, hal ini dapat

dibuktikan dengan pidato Prof. Moeljatno pada Tahun 1955 yang

berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana”.

Dalam pidato tersebut, Prof. Moeljatno membedakan “dapat

dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit” atau “het

verboden zijr in het feit”), dengan “Dapat dipidananya orang”

(“strafbaarheid van de person”).12 Dengan demikian maka

dipisahkan “Perbuatan pidana” (Criminal Act / Actus Reus) dan

“Pertanggungjawaban pidana” (Criminal Liability / Mens Rea).

Unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan manusia,

memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil), dan

bersifat melawan hukum (syarat materiil). Berkaitan dengan isi

perbuatan pidana, ada dua pandangan yaitu pandangan monistis

dan pandangan dualistis. Aliran Monistis yaitu suatu pandangan

yang menyatukan antara unsur perbuatan pidana dan unsur

pertanggungjawaban pidana. Pada aliran monistis ketika melihat

apakah orang yang dapat melakukan perbuatan pidana perlu di

lihat apakah orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atau

12 M. Haryanto, Bahan Ajar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen

Satya Wacana, Salatiga, 2017, slide hlm. 61.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

33

tidak. Jika tidak dapat dipertanggungjawabkan maka tidak dapat

di pidana. Dalam hal ini, aliran monistis melihat keseluruhan

syarat untuk adanya pidana itu yang mana merupakan sifat dari

perbuatan.

Dalam hal ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,

bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah

tercakup didalamnya perbuatan yang di larang (tindakan pidana)

dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (Criminal

responsibility).

Berbeda dengan aliran monistis, aliran dualistis adalah

pandangan yang memisahkan perbuatan pidana dan unsur

pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini Moeljatno

memisahkan antara unsur perbuatan pidana dan unsur

pertanggung jawaban pidana. Di dalam perbuatan pidana harus

terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan adanya

kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal

tersebut akan memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia).

Hal-hal tersebut adalah:

a. Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana

biasanya diperlukan pula adanya:

b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai

perbuatan hal ikhwal;

c. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-

unsur yang memberatkan pidana;

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

34

d. Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti

dirumuskan dengan unsur-unsur di atas maka sifat pantang

dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dan wajar. Sifat

melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan

lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri.

e. Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang

menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang

menyertai perbuatan.13

Jika menjelaskan apa yang telah dikemukakan di atas,

maka kejadian alam lahir (dunia) dimaksudkan bahwa

terjadinya tindak pidana/perbuatan pidana. Dalam hal ini Prof.

Moeljatno adalah salah satu penganut pandangan dualistis.

Menurut pandangan dualistis dalam memisahkan antara

unsur tindak pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana,

pada pandangan dualistis dalam terjadinya tindak pidana tidak

hanya cukup dengan adanya perbuatan pidana akan tetapi harus

adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Perbuatan

pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan

hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut.14

Moeljatno menjelaskan bahwa kelakuan dan akibat

untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula

13 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta,

Jakarta, 2015, hlm. 64-69. 14 Ibid., hlm. 59.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

35

adanya kelakuan atau tindakan yang menghasilkan akibat.

Akan tetapi, tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada

waktu yang sama, demikian pula tidak selamanya kelakuan dan

akibat terjadi pada tempat yang sama. Kemudian, hal ikhwal

atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan hal ikhwal ini

di bagi menjadi dua bagian yaitu yang mengenai diri orang

yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si

pelaku. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-

unsur yang memberatkan pidana, contoh konkret elemen ini

adalah ketentuan Pasal 351 KUHP yang berbunyi:

a. Penganiayaan di ancam dengan pidana penjara paling

lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang

bersalah di ancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun.

c. Jika mengakibatkan mati, di ancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun.15

15 Eddy O. S. Hiariej, Op., Cit,. hlm. 127.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

36

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu perbuatan yang

dapat di pidana (Verbrechen/crime atau perbuatan jahat) dan pidana.

Perbuatan pidana harus dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

a) Dalam arti kriminologi: disebut juga sebagai perbuatan jahat,

sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit

sebagaimana terwujud dalam masyarakat, ialah perbuatan

manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari

masyarakat dalam konkreto.

b) Dalam arti hukum pidana: ialah perbuatan pidana dalam wujud

in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.16

Dalam tindak pidana terdapat dua unsur yaitu unsur

subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur-

unsur yang melekat pada diri pelaku tindak pidana atau yang

berhubungan dengan diri pelaku serta termasuk didalamnya

yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-

keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus

dilakukan.17

Sedangkan dalam pertanggungjawaban pidana terdapat

dua unsur yaitu adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) dan

16 M. Haryanto, Op., Cit,. hlm. 60. 17 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesai. PT. Citra

Aditya Bakti, . Bandung, 1997, hlm. 193.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

37

kemampuan bertanggungjawab. Definisi kesalahan bertalian

dengan dua hal, yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid)

perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid)

perbuatan yang melawan hukum.18

Menurut M. Haryanto, Kesalahan adalah kebebasan

kehendak manusia, di mana akan berkaitan dengan dua teori

yaitu determinisme (manusia tidak mempunyai kebebasan

kehendak, sehingga mengakui adanya kesalahan) dan

indeterminisme (manusia mempunyai kebebasan kehendak,

sehingga mengakui adanya kesalahan).19 Kesalahan di bagi

menjadi dua yaitu kesalahan dalam arti umum dan kesalahan

dalam arti juridis. Kesalahan dalam arti umum yaitu tentang

sesuatu hal yang tidak benar seperti contoh matahari terbit dari

barat, seharusnya yang benar adalah matahari terbit dari timur.

Sedangkan kesalahan dalam arti juridis menerangkan keadaan

psikhe seseorang yang melakukan perbuatan sedemikian rupa

sehingga perbuatan itu dapat dipertanggung- jawabkan

kepadanya, kemudian menerangkan bentuk kesalahan dalam

18 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka,

Yogyakarta, 2016, hlm. 158. 19 M. Haryanto (2017), Op., Cit., hlm. 71.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

38

Undang-Undang yang berupa Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan

(Culpa).20

Menurut Memorie van Toelichting, Kesengajaan adalah

perbuatan yang dikehendaki dan diketahui. Ada dua (2) teori

kesengajaan yaitu:

1) Wills Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa yang

dikehendaki pada waktu berbuat).

2) Voorstelling Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa

yang diketahui serta apa yang akan terjadi pada waktu akan

berbuat.21

Kemudian dalam kesengajaan dari kesadaran terdiri dari

dua (2) yaitu kesengajaan berwarna, artinya dalam kesengajaan

tersimpul adanya kesadaran tentang sifat melawan hukumnya

perbuatan, dan kesengajaan tidak berwarna artinya dalam

kesengajaan cukup apabila yang berbuat menghendaki

perbuatannya.22

Tiga (3) corak kesengajaan yaitu:

a) Kesengajaan sebagai maksud, yaitu dalam hal ini

kesengajaaan ditujukan langsung pada maksud yang

dikehendaki pelaku;

b) Kesengajaan sebagai keharusan, yaitu kesengajaan

ditujukan pada maksud tertentu, tetapi untuk mencapai

20 Ibid hlm. 72-73. 21 Ibid hlm. 72-74. 22 Ibid hlm. 75-76.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

39

maksud tertentu harus timbul akibat lain yang tidak

menjadi maksud si pelaku;

c) Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu kesengajaan

yang ditujukan pada maksud tertentu, tatapi pelaku

telah berpikir bahwa jika maksud itu terwujud ataupun

tidak terwujud ada kemungkinan akibat lain yang akan

terjadi.23

Kemudian, Kealpaan menurut Memorie van Toelichting

dalam kealpaan pada diri pelaku terdapat: Kekurangan

pemikiran yang diperlukan; Kekurangan pengetahuan yang

diperlukan; Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.24

Dalam kealpaan, ada dua (2) syarat untuk adanya

kealpaan yaitu: tidak adanya penghati-hati dan tidak adanya

penduga-duga. Ada dua (2) macam kealpaan yaitu kealpaan yang

di sadari (apabila pembuat menyadari tentang apa yang diperbuat

beserta akibatnya, tetapi ia berpikir akibat itu tidak akan timbul)

dan kealpaan yang tidak disadari yaitu pembuat tidak menyadari

kemungkinan akan timbulnya akibat, padahal seharusnya pelaku

dapat menduga sebelumnya.25

Menurut Prof. Edward O. S. Hiariej, definisi

pertanggung- jawaban seperti yang telah diutarakan oleh van

Hamel telah memberi ukuran mengenai kemampuan

23 Ibid hlm. 73-76. 24 Ibid hlm. 76-77. 25 Ibid hlm. 77.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

40

bertanggungjawab yang meliputi tiga hal: pertama, mampu

memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatan;

kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu

bertentangan dengan ketertiban masyarakat; ketiga, mampu

untuk menentukan kehendak berbuat.26

Pertanggungjawaban pidana atau liability sangat lekat

dengan tindak pidana. Hal ini disebabkan karena tanpa adanya

tindak pidana maka tidak akan menimbulkan

pertanggungjawaban pidana sehingga adanya sanksi bagi yang

memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam hal

menentukan seseorang bersalah atau tidak, maka akan dilihat

adanya kesalahan serta adanya perbuatan yang dilakukan

bertentangan dengan hukum atau sering disebut bersifat

melawan hukum. Jikalau suatu tindak pidana telah memenuhi

rumusan delik di dalam undang-undang hal itu harus di lihat

bahwa seseorang yang melakukan perbuatan itu mempunyai

kesalahan atau bersalah. Dalam hukum pidana di kenal asas geen

straf zonder schuld yang artinya tidak dapat di pidana tanpa ada

kesalahan.

26 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka,

Yogyakarta, 2016, hlm 163.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

41

Memperhatikan uraian di atas, maka dalam tindak pidana

terdapat dua unsur tindak pidana yaitu unsur obyektif dan unsur

subyektif, yang oleh P. A. F. Lamintang dijelaskan sebagai

berikut:

Unsur-unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang

melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri

si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung didalam hatinya, sedangkan unsur obyektif adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,

yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si

pelaku itu harus dilakukan.27 Unsur-unsur subyektif dari sesuatu

tindak pidana itu adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang

terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad

seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan

pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu

adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai

seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan

menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai

pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”

di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

27 P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cetakan

ke-V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013. hlm. 193.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

42

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan

sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai

akibat.28

Sifat melawan hukum selalu dianggap sebagai syarat di

dalam setiap rumusan delik walaupun unsur tersebut oleh

perumus undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai

salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.

3. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa

Orang lain

Menghilangkan nyawa orang lain artinya orang yang

melakukan perbuatan, baik sengaja ataupun direncanakan, baik

sadar maupun tidak sadar, telah menyebabkan orang lain

kehilangan nyawa (meninggal dunia). Pada dasarnya, unsur

menghilangkan nyawa di atur dalam Pasal 338, 339 dan 340 KUHP.

Akan tetapi pada Pasal 340 KUHP adalah pasal kekhususan di mana

harus adanya unsur perencanaan terlebih dahulu. Sehingga unsur-

unsur pokok dalam pasal 338, 339 dan 340 KUHP (barangsiapa

dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain) adalah sama

terkecuali dalam Pasal 339 adanya unsur tujuan lain sedangkan

pada Pasal 340 KUHP karena adanya unsur perencanaan terlebih

dahulu dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.

28 Ibid. Hlm. 193.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

43

Tindak pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP

merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok yaitu tindak pidana

yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-

unsurnya. Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barangsiapa sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam hal

pembunuhan biasa, dimana pelaksanaan pembunuhan yang

dimaksud dalam Pasal 338 KUHP itu dilakukan pada waktu dan

niat yang timbul bersamaan, akan tetapi dalam pembunuhan

berencana timbulnya niat setelah itu mengatur rencana cara untuk

menghilangkan nyawa seseorang kemudian melaksanakan niat dan

rencana untuk menghilangkan nyawa seseorang.

Dalam perbuatan pembunuhan yang mengacu pada Pasal 338

KUHP harus adanya perbuatan, perbuatan itu berupa

menghilangkan nyawa seseorang serta adanya hubungan sebab

akibat (Causal verband) perbuatan serta akibat perbuatan tersebut

(kematian seseorang). Dalam pembunuhan biasa pada Pasal 338

KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja merampas

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun”, pada Pasal ini terdapat dua

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

44

unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Dua unsur tersebut

akan dijabarkan sebagai berikut:

a) Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja.

Dolus yang berarti dengan sengaja yaitu bahwa

perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul

seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud

dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk

tanpa direncanakan terlebih dahulu, dalam rumusan unsur

Pasal 338 KUHP yaitu unsur objektif dalam Pasal 338 adalah

perbuatan menghilangkan nyawa serta obyeknya adalah nyawa

orang lain, sedangkan unsur subjektif dalam Pasal 338 adalah

dengan sengaja (si pelaku mengetahui dan memiliki kehendak

menghilangkan nyawa orang lain).

b) Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan nyawa orang lain.

Pada Pasal 339 KUHP yang berbunyi: “Pembunuhan

yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana,

yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau

mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri

sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap

tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang

diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu

tertentu paling lama dua puluh tahun”, pada Pasal ini memiliki

unsur obyektif dan subyektif yaitu:

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

45

a) Unsur obyektif pada pasal ini yaitu menghilangkan nyawa

orang lain dan diikuti serta didahului dengan tindak pidana

lain; sedangkan;

b) Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja dan dengan

maksud, telah menyiapkan atau memudahkan dalam

melakukan tindak pidana yang akan atau sedang

dilakukan, untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri

sendiri atau orang lain dalam tindak pidana yang dilakukan

dan untuk dapat menjamin dapat dikuasainya benda yang

diperoleh dengan cara melawan hukum, saat seorang

pelaku melakukan tindak pidana.

Kemudian dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih

dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling

lama dua puluh tahun”, dalam Pasal ini terdapat dua unsur yaitu:

(1) Unsur Subyektif adalah dengan sengaja dan dengan

rencana terlebih dahulu, serta;

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

46

(2) Unsur Obyektif adalah adanya perbuatan menghilangkan

nyawa, dalam hal ini tindakan menghilangkan nyawa orang

lain di mana obyeknya ada nyawa orang lain.

Pada Pasal 340 KUHP adalah suatu perbuatan yang

disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang

terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met

voorbedachte rade). Pada Pasal 340 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa yang sengaja dengan rencana lebih dahulu

merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan

dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh

tahun.”

Dalam hal pembunuhan berencana, terdapat dalam Pasal

340 KUHP, dalam Pasal 340 KUHP adalah keharusan dimana

seseorang dalam melakukan tindak pidana (menghilangkan

nyawa) harus memiliki rencana terlebih dahulu (dalam

melakukan tindak pidana perbunuhan seseorang telah memiliki

rencana sebelum membunuh seseorang terlepas dari apa tujuan

seseorang tersebut membunuh. Dalam pembunuhan berencana

benar-benar telah direncanakan dengan matang/baik oleh

pembunuh dalam suatu keadaan dimana mengambil keputusan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

47

untuk menghilangkan nyawa orang dalam suatu keadaan yang

sadar.

Berdasarkan Bahasa Belanda “moord” atau pembunuhan

berencana adalah perbuatan yang sengaja menghilangkan nyawa

orang lain akan tetapi perbuatan tersebut telah direncanakan

terlebih dahulu.29 Direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte

rade) sama halnya dengan adanya maksud serta dilakukannya

maksud tersebut sehingga menyebabkan meninggalnya orang

lain serta si pembunuh dengan tenang dan telah memikirkan

terlebih dahulu cara-cara dalam menghilangkan nyawa orang

lain tersebut.

Kemudian dalam hal pembunuhan berencana, di dalam

diri pelaku pembunuhan, si pelaku telah berpikir serta berencana

dalam menghilangkan nyawa seseorang, sehingga dalam hal ini

pembunuhan berencana telah direncanakan terlebih dahulu

dengan berpikir secara tenang dan terstruktur oleh si pelaku

pembunuhan. Berbeda halnya dengan pembunuhan biasa, dalam

hal si pelaku mengambil keputusan untuk menghilangkan nyawa

seseorang serta pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan.

29 Ibid Hlm. 141.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

48

Dengan demikian, pembunuhan berencana yang dilakukan

oleh terdakwa adalah dengan direncanakan terlebih dahulu,

seperti telah memiliki cara-cara dalam menghabisi nyawa orang

atau dengan cara mencari bantuan orang lain/bekerja sama dalam

menghilang nyawa orang lain. Hal tersebut dilakukan sebelum

melaksanakan niat jahat yang telah dipikirkan terlebih dahulu.

Dalam hal pembunuhan berencana, jika salah satu unsur di atas

telah terpenuhi, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku

tindak pidana pembunuhan berencana setelah adanya bukti-bukti

dan saksi.

KUHP memberikan pengertian serta hukuman yang

berbeda pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP ) dan

pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Hal ini karena dalam

pembunuhan berencana kejahatan dan niatnya untuk melakukan

pidana menjadi hal yang memberatkan si pelaku. Memberatkan

si pelaku karena telah memiliki niat dan rencana dalam

membunuh seseorang. Pembunuhan berencana jika dikaitkan

dengan penegak hukum maka bagi penegak hukum dalam hal

menentukan apakah ada rencana atau tidak dalam pembunuhan

tersebut maka harus di lihat dari niat si pelaku.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

49

Pada dasarnya dalam Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP

sama, akan tetapi yang membedakan adalah dalam Pasal 340

KUHP harus adanya unsur perencanaan, dimana si pelaku harus

lebih dulu memiliki rencana dalam melakukan tindak pidana

(pembunuhan). Dalam Pasal 338 KUHP di atur mengenai

pembunuhan akan tetapi dalam Pasal 340 KUHP adanya

kekhususan karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Di lihat

dari unsur obyektif dan subyektif dalam Pasal 338 dan 340

KUHP pun sama, yang membedakan hanyalah unsur adanya

perencanaan pada Pasal 340 KUHP.

Berbeda halnya dalam Pasal 338 KUHP, seseorang dapat

membunuh walaupun tidak memiliki niat atau rencana terlebih

dahulu, seperti contohnya seseorang yang melindungi diri dari

orang yang ingin mencelakainya ataupun contoh lain adalah

seseorang yang berkendara dan mengalami kecelakaan sehingga

temannya meninggal dunia.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

50

4. Motif Dalam Tindak Pidana

Dalam lingkungan masyarakat, kita banyak mendengarkan

berita melalui surat kabar maupun televisi bahwa selalu dikatakan

motif dari suatu perbuatan pidana akan dibuktikan. Hal ini

membuat masyarakat berpikir akan hal yang menyebabkan

seseorang melakukan pembunuhan. Salah satu hal yang sering

dikatakan oleh masyarakat pada umumnya adalah menanyakan

motif seseorang melakukan pembunuhan atau motif pelaku dalam

melakukan tindak pidana. Apapun bentuk kejahatan yang

dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka yang akan ditanyakan

oleh masyarakat yang tidak mengetahui hukum adalah

menanyakan motif seseorang melakukan tindak pidana serta

melihat motif apa di balik seseorang melakukan tindak pidana.

Berangkat dari hal tersebut maka Penulis akan menjelaskan

mengenai motif dalam tindak pidana.

Pengertian motif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia:

motif/mo·tif alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu.

Merujuk pengertian motif di dalam Black’s Law Dictionary yaitu:

Motive. Cause or reason that moves the will and introduces

action. An idea, belief or emotion that impels or incites one to act

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

51

in accordance with his states of mind or emotion30.( Motive yang

berarti penyebab atau alasan yang menggerakkan dan melakukan

tindakan. Sebuah ide, kepercayaan atau emosi yang mendorong

atau menghasut pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan

keadaan atau emosi).

Menurut Eldar & Laist, motif adalah alasan atau kondisi

jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana.

Atau dengan kata lain, motif adalah alasan yang melatarbelakangi

tindakan (reason for action).31 Dengan pengertian seperti ini,

motif bisa bertumpang tindih dengan kesengajaan. Hal ini

digambarkan oleh Glanville Williams sebagai berikut: dalam

tindak pidana pencurian, pelaku memiliki kesengajaan untuk

masuk ke dalam rumah dengan maksud mengambil barang milik

orang lain dengan sengaja pula. Di sini tindakan “mengambil

barang milik orang lain” merupakan kesengajaan. Namun, dari sisi

lain, tindakan “mengambil barang milik orang lain” merupakan

motif yang melatarbelakangi tindakan “masuk ke dalam rumah.”

Dengan demikian, tindakan “mengambil barang milik orang lain”

bisa dilihat sebagai unsur kesengajaan, namun juga bisa dilihat

sebagai motif bagi tindakan yang mendahului, yakni tindakan

“masuk ke dalam rumah32”. Pembedaan antara motif dengan

kesengajaan juga tampak dari ilustrasi berikut: di sebuah ruas

jalan, seseorang (A) secara sengaja mendorong orang lain (B)

hingga B terpelanting ke pinggir jalan dan mengalami luka-luka.

Belakangan diketahui bahwa A mendorong B karena A melihat

ada mobil yang melaju kencang ke arah B dan pasti B akan

tertabrak jika ia tidak menyingkir. Dalam ilustrasi ini, unsur

kesengajaan tampak pada tindakan A yang dengan sengaja

mendorong B. Namun ada pula aspek lain, yakni motif atau

latarbelakang tindakan A mendorong B, yaitu keinginan untuk

menghindar kan B dari tertabrak mobil.

30 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 6th end, , Centennial

Edition (1891-1991). 31 Antony Duff Kutipan dalam Shachar Eldar& Elkana Laist, “The

Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 2 dan 5. 32 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The

Rule of Law”, hlm. 5.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

52

Menurut pandangan konvensional dalam hukum pidana,

motif seorang pelaku tindak pidana, apakah itu motif yang baik

atau tidak baik, tidaklah relevan untuk menentukan

pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini didasarkan pada

anggapan bahwa mempertimbangkan motif pelaku untuk

menentukan pertanggung jawaban pidana akan menimbulkan

kesulitan dan ketidakpastian.33 Meskipun motif dianggap tidak

relevan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku,

dalam praktik motif bisa dipertimbangkan oleh jaksa untuk

menentukan berat atau ringannya tuntutan dan oleh hakim untuk

menentukan berat atau ringannya pidana. Secara historis, gagasan

yang menganggap bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan

untuk menentukan tanggung jawab pidana seorang pelaku tindak

pidana ditegaskan oleh Cesare Beccaria yang mengatakan bahwa

kalau motif setiap pelaku tindak pidana harus dipertimbangkan

untuk menentukan tanggung jawab pidananya, itu ibarat

menerapkan hukum pidana yang berbeda-beda untuk masing-

masing pelaku, karena masing-masing pelaku mungkin memiliki

motif yang berbeda-beda.34

Pada abad ke-20, salah satu sarjana yang mendukung

gagasan bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan dalam

menentukan tanggung jawab pidana adalah Jerome Hall. Hall

mengatakan bahwa kalau motif menjadi unsur yang harus

dipertimbangkan, maka hal ini akan memberi kemungkinan bagi

setiap orang untuk menilai sendiri perbuatan yang akan mereka

lakukan, termasuk perbuatan pidana. Dalam hal seseorang menilai

bahwa motifnya benar, ia akan melakukan sebuah perbuatan.

Sebaliknya, kalau ia menilai motifnya tidak benar, ia tidak akan

melakukan perbuatan itu. Jadi, menurut Hall, dalam keadaan

seperti ini ada tidaknya pertanggungjawaban pidana akan menjadi

sangat subjektif.35

Motif dapat diartikan sebagai daya yang menggerakkan

seseorang untuk melakukan atau bertingkah laku, memiliki niat

serta melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang telah

33 Ibid, hlm.2. 34 Beccaria dalam Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of

Motive and The Rule of Law”, hlm. 3. 35 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule

of Law”, hlm. 9.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

53

diinginkan serta memiliki tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi,

motif dalam hal ini akan dijadikan oleh penegak hukum (dalam

hal ini hakim) menjadikan salah satu dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang

berlaku. Motif juga merupakan dorongan yang ada didalam diri

seseorang dan dorongan itu diwujudkan dalam tindakan. Tindakan

tersebut biasanya menyalahi peraturan yang berlaku. Jikalau

seseorang melakukan sesuatu, maka motivasi tersebut merupakan

keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan

faktor-faktor dalam menggerakkan seseorang melakukan hal

tersebut.

Motif dipergunakan untuk menjelaskan mengapa

seseorang melakukan tindak pidana. Motif berbeda dari

kesengajaan (intent). Kesengajaan merupakan salah satu unsur

yang terdapat dalam hampir semua tindak pidana. Namun, motif

biasanya bukan merupakan unsur tindak pidana. Penuntutan

dalam perkara pidana tidak perlu membuktikan bahwa terdakwa

memiliki motif di dalam melakukan tindak pidana. Motif

umumnya dibuktikan oleh penuntut umum untuk lebih

meyakinkan hakim bahwa terdakwa bersalah.36

Example: John and Sue have been happily married

for 30 years. John is diagnosed with a terminal illness and is in

constant pain. After living in agony for several months, he

repeatedly asks Sue to kill him. After much deliberation, Sue

shoots and kills John. Sue’s intent was to kill. Her motive was to

stop her husband’s pain. She’s guilty of murder even though her

motive may have been compassionate37. Terjemahannya:

Sebagai contoh John dan Sue sudah menjalani 30 tahun

perkawinan yang bahagia. John di diagnosa menderita penyakit

parah dan selalu merasa kesakitan. Setelah menderita selama

beberapa bulan, John terus-menerus memohon kepada Sue untuk

mengakhiri hidupnya. Setelah mem- pertimbangkan permintaan

itu, Sue akhirnya menembak dan membunuh John.

36 http://www.nolo.com/legal-encyclopedia/is-motive-required-criminal-

offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 19.00 WIB. 37http://www.nolo.com/legal-encyclopedia/is-motive-required-criminal-

offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 21.00 WIB.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

54

Dalam hal ini Sue memiliki kesengajaan untuk

membunuh John dengan motif menghentikan penderitaan

suaminya. Sue akan dianggap bersalah, meskipun tindak

pidananya dilakukan dengan motif belas kasihan.

Pandangan motif menurut hukum pidana, bahwa motif

pelaku entah baik atau buruk tidak relevan untuk melaksanakan

tanggungjawab pidana. Pandangan ini didasari anggapan bahwa

mempertimbangkan motif pelaku akan menimbulkan kesulitan

dalam penerapan pidana.38 Argumen untuk mendukung

pendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan atau

dipertimbangkan adalah argumen bahwa secara eksplisit motif

tidak di sebut sebagai salah satu unsur tindak pidana.39 Menurut

pandangan ini membuktikan motif tidak disebut sebagai unsur

tindak pidana akan menyimpang dari prinsip kepastian hukum.40

38 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of

Law”, hlm. 1. 39 Ibid., hlm. 3. 40 Ibid., hlm. 4.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

55

5. Hubungan Motif Dengan Unsur Tindak Pidana

Apabila motif dibuktikan dengan melihat perilaku

terdakwa maka adanya beberapa perilaku/tindakan yang

dilakukan karena alasan serta adanya perilaku yang dikarenakan

oleh motif. Sebagai contoh dalam pembunuhan yang disengaja,

pasti memiliki motif. Di mana adanya kesengajaan

menghilangkan nyawa orang lain. Contohnya Si A yang telah

beristri berselingkuh dengan si B wanita muda. Hasil hubungan si

A dan si B, akhirnya si B pun hamil. Maka si A ingin membunuh

si B karena si B memintai pertanggungjawaban pada si A,

sedangkan si A telah memiliki istri. Karena takut diketahui oleh

istrinya, maka si A pun membunuh si B. Hal tersebut dilakukan

oleh si A karena motif agar terlepas dari pertanggungjawaban.

Kemudian dalam hal pembunuhan yang dilakukan untuk

membela diri seperti contoh, rumah si A di rampok oleh

sekelompok orang. Selain merampok, para perampok juga ingin

menganiaya si A. Untuk membela diri maka si A pun melawan

dan menyerang para perampok sehingga ada 2 orang korban yang

meninggal yaitu si B dan si C. Dalam contoh kasus seperti ini,

maka si A tidak memiliki perencanaan untuk membunuh si B dan

si C, akan tetapi untuk melindungi diri serta adanya kegoncangan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

56

jiwa yang melampaui batas maka si A melakukan hal tersebut

karena jikalau si A tidak melakukan hal tersebut maka yang

menjadi korban adalah si A.

Pada dasarnya, motif dalam tindak pidana memiliki

hubungan dengan unsur tindak pidana. Dalam hal ini motif dapat

termasuk dalam unsur subyektif. Karena motif adalah suatu

kehendak yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku,

sehingga dalam melakukan tindak pidana, seseorang telah

memiliki motif tersebut. Dalam melakukan perbuatan tersebut,

pelaku telah memiliki tujuan-tujuan tertentu. Motif juga dapat

diartikan sebagai suatu hal yang mendorong si pelaku untuk

melakukan tindak pidana.

B. PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA

1. Definisi Pembuktian

Dalam persidangan salah satu hal yang terpenting

adalah pembuktian dimana semua alat bukti akan dihadirkan

didalam persidangan serta akan menjadi tolok ukur bagi

penegak hukum (hakim) dalam membuat pertimbangan

dalam memutuskan perkara pidana. Menurut M. Yahya

Harahap, Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

57

undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwa

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan

yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan

yang didakwakan41.

Hakim dalam proses pembuktian dalam persidangan di

Indonesia menggunakan 4 (empat) prinsip yang berdasarkan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu:

a) Dalam Pasal 183 KUHAP dibutuhkan adanya 2 (dua)

alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

b) Dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP dimana hal yang

sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Dalam Pasal

184 ayat (2) berbunyi:

“Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan”.

c) Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP satu saksi bukan

saksi. Jika berbicara mengenai pasal ini, maka akan

dikenal dengan prinsip dalam hukum pidana yaitu Unus

testis nullum testis. Dalam Pasal 185 ayat (2) ini

berbunyi :

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

d) Dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa pengakuan

terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut

41 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan kembali)

Edisi ke 2, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm. 252.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

58

umum membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 189

ayat (4) berbunyi:

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan

yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai

dengan alat bukti yang lain”.

2. Teori Pembuktian Melalui Alat Bukti

a. Teori Pembuktian

Dalam pemeriksaan perkara pidana, hakim akan

memeriksa dan selanjutnya akan menjatuhkan putusan

terhadap perkara yang diperiksa, akan tetapi harus adanya

pembuktian apakah benar apa yang telah didakwakan oleh

Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Hakim dalam

memeriksa perkara dengan tujuan untuk ditemukannya

kebenaran materiil dan untuk menemukan kebenaran

mengalami kesulitan karena:42

a. Kebenaran materiil yang akan ditemukan tersebut sudah

lampau waktu (terlalu lama);

b. Oleh karena itu alat-alat bukti berupa saksi-saksi menjadi

relatif dan kabur.

Pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-

peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian

bagi Hakim tentang kebenaran peristiwa tertentu. Perkara

42 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen Satya Wacana,

Salatiga, 2013, hlm. 117.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

59

pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk

memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan

Terdakwa, unsur keyakinan Hakim dipersyaratkan bagi

perkara pidana.43

Dalam teori pembuktian, ada 3 (tiga teori) yaitu:

1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara

Positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie): yaitu teori-

teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-alat bukti

yang terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan

pembuktian secara positif, karena jika telah terbukti

perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti dalam Undang-

Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama

sekali, sehingga teori pembuktian ini disebut juga

Formele Bewijstheorie.

2. Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction

Intime): yaitu teori ini berdasarkan pada pendapat

bahwa pengakuan terdakwa tidak selalu dapat

membuktikan kebenaran. Oleh karena itu

bagaimanapun diperlukan juga keyakinan hakim. Teori

ini mendasarkan pada keyakinan hati nurani hakim

bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum.

3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas

alasan yang logis (La Conviction Rais Onnee): yaitu

dengan teori ini maka di dalam Hakim memutuskan

seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinannya,

keyakinan tersebut harus didasarkan pada dasar-dasar

pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan

(Conslusie) yang berlandaskan kepada peraturan-

peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga

teori pembuktian bebas, karena dengan teori hakim

bebas untuk menyebut alasan-alasan tentang

keyakinannya (Vrije Bewijdtheorie). Dalam teori ini

terbagi menjadi dua yaitu

a. Teori Pembuktian Berdasarkan keyakinan Hakim

atas alasan yang logis (Conviction Raisonnee):

teori ini berpangkal pada keyakinan hakim yang

43 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia

Indonesia, Jakarta Timur, 1983, hlm. 19.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

60

didasarkan pada suatu kesimpulan (Conclusi) yang

logis, yang tidak didasarkan pada Undang-Undang,

tetapi menurut Ilmu Pengetahuan sendiri, menurut

pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian

yang mana yang akan digunakan.

b. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori): teori ini

berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian

yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-

Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan

keyakinan Hakim.44

Teori pembuktian menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan:

“Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila

Pengadilan, karena alat bukti pembuktian yang sah menurut

Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas

perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.45

Teori pembuktian jika mengacu pada KUHAP maka

terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yaitu:

1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua alat bukti) yang

sah.

2. Dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan

hakim.46

Pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana terdapat dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal

44 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 117-119. 45 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman. 46 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 119.

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

61

202. Adapun tujuan dari pembuktian adalah mencari dan

menetapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada suatu

perkara, jadi bukan untuk mencari-cari kesalahan terdakwa.47

Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak adanya

kesalahan dalam menjatuhi pidana pada seorang yang tidak

bersalah. Oleh karena itu, hakim didalam pembuktian di

persidangan harus benar-benar memastikan apakah peristiwa

pidana tersebut terjadi, kemudian memastikan apakah

kejadian tersebut adalah tindak pidana atau bukan, serta

melihat bukti-bukti yang ada atau alasan-alasan yang

menyebabkan peristiwa tersebut.

b. Alat bukti Dan Fungsi Alat bukti Dalam Perkara Pidana

Proses untuk mencari alat bukti dalam hukum pidana

yaitu sesuatu hal yang harus diverifikasi pada saat sidang

pengadilan dan apa yang terjadi diluar sidang. Maka akan

berdasarkan pada Pasal 184 KUHAP yang berbunyi:

Alat-alat bukti yang sah ialah:

(1) a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa

47 Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, mandar

maju, Bandung, 2006, hlm. 293.

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

62

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan.

Alat-alat bukti yang telah dijelaskan diatas akan dijelaskan satu

persatu yaitu:

1. Keterangan Saksi

Salah satu alat bukti yaitu keterangan saksi, syarat-

syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi adalah:48

a. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi,

kecuali yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP:

(1) Keluarga sedarah/semenda dalam garis lurus

keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari

terdakwa.

(2) Saudara terdakwa atau yang bersama-sama

sebagai Terdakwa juga yang mempunyai

hubungan perkawinan dan anak-anak saudara

Terdakwa sampai derajat ke tiga.

(3) Suami atau istri terdakwa meski sudah

bercerai.

b. Menurut Pasal 170 KUHAP, mereka yang kerena

pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya

diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta

dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan

sebagai saksi.

c. Menurut Pasal 160 KUHAP, pengucapan sumpah

oleh saksi adalah merupakan syarat mutlak

kesaksian sebagai alat bukti, hal ini dapat

dibuktikan:

1. Apabila saksi menolak mengucapkan sumpah

atau janji, pemeriksaan tetap dilakukan, dan

berdasarkan surat penetapan hakim ketua sidang

48 M. Haryanto, (2013) Op. Cit,, hlm. 122-124.

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

63

saksi yang menolak mengucapkan sumpah

dapat di sandera di Rutan selama 14 hari. Hal ini

di atur dalam Pasal 161 ayat (1) KUHAP.

2. Apabila telah disandera, tetapi saksi tetap

menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji,

maka saksi tersebut tetap dapat dimintai

keterangan yang diberikan dapat menguatkan

keyakinan hakim, tetapi bukan kesaksian

menurut Undang-undang dan juga bukan

merupakan alat bukti petunjuk.

3. Apabila kesaksian diberikan dibawah sumpah,

maka merupakan dasar atau sumber keyakinan

hakim.

4. Kekecualian memberi kesaksian di bawah

sumpah yaitu:

(a) Bagi mereka yang belum cukup umur 15

tahun atau belum kawin.

(b) Orang sakit ingatan, walaupun kadang-

kadang normal (psikopat), karena mereka

tidak dapat dipertanggung jawabkan secara

sempurna di depan hakim.

Alat bukti berikutnya adalah Isi dan Nilai Keterangan

berarti agar suatu keterangan saksi mempunyai nilai sebagai

keterangan saksi, maka isi keterangan harus memenuhi syarat

sebagai berikut:49

1) Menurut Pasal 185 ayat (5) KUHAP, keterangan saksi

bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh

dari hasil pemikiran saja.

2) Menurut Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,

keterangan saksi bukan keterangan yang diperoleh dari

orang lain atau Testimonium de Auditu atau Hearsay

Evidence.

3) Menurut Pasal 1 ayat (27) KUHAP keterangan saksi

harus menerangkan apa yang dilihat, didengar atau

dialami sendiri.

49 Ibid., hlm. 124.

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

64

4) Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi

harus diucapkan di depan hakim atau di sidang

pengadilan agar keterangan saksi tersebut dapat dipakai

sebagai alat bukti. Hal ini bertujuan agar hakim dapat

menilai keterangan-keterangan saksi itu, yaitu tentang

kebenaran keterangan saksi apakah yang diterangkan

tersebut sesuai yang ia lihat, ia dengar dan ia alami

sendiri.

5) Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang

saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya (Unus Testis Nullus Testis).

Ketentuan tentang seorang saksi tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya ada

kekecualiannya yaitu sebagaimana dijelaskan dalam

penjelasan Pasal 184 yang mengatakan bahwa dalam

acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim didukung satu

alat bukti saja.

6) Menurut Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan

beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat

bukti yang sama apabila keterangan saksi itu ada

hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,

sehingga dapat membenarkan adanya suatu

kejadian/keadaan tertentu.

2. Keterangan Ahli

Alat bukti selanjutnya adalah keterangan ahli. Alat bukti

dimaksud dengan keterangan ahli yaitu:50

a. Tentang apa yang dimaksud ahli dalam KUHAP maupun

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tidak

memenuhi jawaban.

b. Menurut Pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ialah apa

yang seseorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan.

c. Menurut Penjelasan Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli

tersebut dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

50 Ibid.,hlm. 125-126.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

65

penyidik/penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk

laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu

menerima jabatan/pekerjaan.

d. KUHAP tidak pernah memberikan penjelasan tentang apa

yang dimaksudkan dengan keterangan ahli.

e. Keterangan ahli sebagai alat bukti menurut Undang-

Undang, menurut Pasal 161 ayat (1) KUHAP harus

diberikan dengan mengucapkan sumpah/janji dan menurut

Pasal 161 ayat (2) KUHAP jika keterangan ahli diberikan

dengan tidak mengucapkan sumpah/janji tidak dapat

dianggap sebagai alat bukti yang sah tetapi hanyalah

keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

f. Isi keterangan ahli adalah penilaian mengenai hal-hal yang

sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai

hal itu.

g. Keterangan ahli di persidangan = Keterangan ahli

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 KUHAP,

sedangkan;

h. Keterangan ahli yang diberikan secara tertulis = Surat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.

3. Surat

Kemudian, dalam hal alat bukti Surat yang diatur dalam

Pasal 187 KUHAP, dimaksudkan bahwa surat yang dibuat oleh

pejabat yang berwenang, surat yang dibuat menurut peraturan

perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat, surat

keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya dan surat lain dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Surat-surat yang dimaksudkan sebagai alat bukti dalam

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah

merujuk pada Pasal 187 KUHAP yang berbunyi:

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

66

“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,

adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di

hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian

atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya

sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangannya itu.

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal

yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung

jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian

sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau

sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.

Dari bunyi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa arti

surat yang dimaksud adalah tiga jenis surat yaitu surat authentik

(akta otentik) yaitu surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan

pejabat yang berwenang, dimana isi surat itu berkuasa untuk

membuatnya dan berkuasa pula ditempat dimana surat itu dibuat.

Berikutnya surat dibawah tangan yaitu akte-akte yang dibuat di

bawah tangan yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat,

daftar-daftar dan surat-surat lain, yang tidak dibuat dihadapan

pejabat yang berwenang. Surat tersebut juga dilegalisasi

dihadapan pejabat yang berwenang, maka kekuatan disamakan

dengan akte yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.

Surat biasa adalah semua surat yang memberikan bukti dimana

isinya ada hubungan dengan perkara yang sedang disidangkan,

misalnya surat yang dibuat oleh seseorang ketika yang

bersangkutan akan melakukan sesuatu hal, seperti bunuh diri.

Dalam surat tersebut, biasanya menjelaskan alasan mengapa

seseorang melakukan tindakan bunuh diri tersebut.51

51 Faisal salam, (2006), Op. Cit., hlm. 299-300.

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

67

4. Petunjuk

Petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan atau hal

lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun

dengan peristiwa itu sendiri.52 Jika merujuk pada Pasal 188

KUHAP:

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang

karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang

lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

diperoleh dari:

a. keterangan saksi;

b.surat;

c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk

dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan

arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan

penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati

nuraninya.

Jika ingin membuktikan kesalahan terdakwa maka

diperlukan beberapa petunjuk dalam melihat kesalahan

terdakwa. Sehingga dengan kejadian yang terjadi bisa

menjadikan petunjuk-petunjuk untuk peristiwa pidana, karena

dalam hal tindak pidana terjadi maka akan ada kaitannya dengan

hubungan yang masuk akal. Petunjuk dalam hal ini juga dapat

52 Ibid hlm. 300-301.

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

68

berupa keterangan saksi, surat-surat yang berkaitan dengan

peristiwa pidana serta keterangan terdakwa.

Petunjuk dalam alat bukti dimaksudkan bahwa adanya

suatu kejadian atau keadaan yang sesuai antara satu maupun

yang lain dalam hal tindak pidana dan menandakan adanya suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya. Kemudian dalam menilai

kekuatan pembuktian dari petunjuk-petunjuk tersebut, maka

akan menjadi kewenangan hakim dalam memutuskan.

5. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa dalam alat bukti adalah sebagai alat

bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan oleh sebab itu

semua yang dikatakan oleh terdakwa haruslah didengar sehingga

dapat dinilai apakah yang dikatakan terdakwa adalah

penyangkalan, pengakuan ataupun perbuatan. Keterangan

terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas

pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut

Memorie Van Toelichting Ned. Sv Penyangkalan terdakwa boleh

juga menjadi alat bukti yang sah dengan demikian keterangan

terdakwa yang menyangkal dakwaan tetapi membenarkan

beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus pada

terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

69

Keterangan terdakwa mempunyai sifat yang sama dengan

keterangan saksi, sehingga kekuatan pembuktiannya diserahkan

kepada hakim.53

Pada Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh

menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Fungsi alat bukti didalam perkara pidana adalah guna

melihat kejelasan dalam memutuskan terdakwa bersalah atau

benar dalam sidang di pengadilan. Dengan adanya alat bukti

tersebut, maka suatu kasus pidana akan semakin jelas. Dalam

KUHAP, alat bukti terdapat dalam pasal 184 yang berbunyi:

“Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Fungsi alat bukti adalah

untuk membangun keyakinan hakim bahwa sekurang-kurangnya

dua alat bukti sah telah terjadi tindak pidana serta seorang

terdakwa yang bersalah melakukannya.

53 Ibid,, hlm. 129.

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

70

3. Proses Pembuktian

Pembuktian dalam hukum acara pidana adalah tahapan

terjadinya suatu proses, cara, perbuatan membuktikan apakah

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dalam persidangan

di pengadilan terbukti atau tidak. Pembuktian merupakan

tindakan untuk menghadirkan alat-alat bukti yang

dibenarkan/ditentukan oleh undang-undang, untuk membukti-

kan apakah benar terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dan

sebagai orang yang patut dipersalahkan dalam perkara tersebut.

Dalam pembuktian, akan dilakukan kegiatan membuktikan yaitu

dengan menghadirkan alat bukti dan barang bukti dan

melakukan verifikasi untuk memperoleh kebenaran.

Dalam proses membuktikan bersalah atau tidaknya

seorang terdakwa harus dilakukan melalui proses pemeriksaan

di depan pengadilan. Menurut M. Haryanto dalam buku

Hukum Acara Pidana, ada dua hal yang diperhatikan oleh

Hakim dalam hal pembuktian yaitu:

1. Kepentingan Masyarakat, yaitu bahwa seseorang yang

telah melanggar ketentuan pidana dalam KUHP atau UU

Hukum Pidana di luar KUHP harus mendapatkan

hukuman setimpal dengan kesalahannya.

2. Kepentingan Terdakwa, yaitu terdakwa harus

diperlakukan adil sedemikian rupa, sehingga kalau

memang tidak bersalah tidak perlu mendapatkan hukuman,

atau kalau memang ia bersalah, maka akan mendapatkan

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

71

hukuman sesuai dengan kesalahannya. Prinsip ini seperti

dikemukakan oleh Socrates bahwa “lebih baik melepaskan

seribu orang penjahat daripada menghukum seorang yang

tidak bersalah”.

Yang dimaksudkan dengan pembuktian adalah

pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah

terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,

sehingga harus mempertanggung jawabkannya.

Sehingga ada dua hal yang dibuktikan, yaitu:

kebenaran peristiwa pidana yang didakwakan (unsur

obyektif) dan kebenaran terdakwa sebagai pelaku yang

dapat bertanggungjawabkan (unsur subyektif).54

Kemudian, dalam buku Eddy O. S. Hiariej, mengutip

pendapat William R. Bell, bahwa faktor-faktor yang berkaitan

dengan pembuktian adalah sebagai berikut:

Bukti harus relevan atau berhubungan. Oleh karena itu,

dalam konteks perkara pidana, ketika menyidik suatu

kasus biasanya polisi mengajukan pertanyaan-

pertanyaan mendasar, seperti apa unsur-unsur kejahatan

yang disangkakan? Apa kesalahan tersangka yang harus

dibuktikan? Fakta-fakta mana yang harus dibuktikan?

Bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata

lain, bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk

memperkuat suatu bukti harus didukung oleh bukti-

bukti lainnya.

Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang

tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut bersifat

objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu

fakta.

Dasar pembuktian, yang dimaksudnya adalah

pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat bukti yang

sah.

54 Ibid., hlm. 106-107.

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

72

Berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan

bukti, harus dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan

hukum.55

Sehingga didalam proses pembuktian dalam persidangan

yang akan dilakukan dalam pengungkapan fakta yaitu melalui

pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli dan pemeriksaan barang

bukti dan alat bukti. Dengan demikian mengungkapkan fakta

serta alat-alat bukti ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum,

Penasehat Hukum, dan majelis Hakim akan melakukan

penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum,

Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini

dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir), kemudian

Penasehat Hukum dapat mengajukan pembuktiannya yang

dilakukan dengan cara nota pembelaan (pledooi), dan terakhir

Majelis Hakim akan membaca vonnis atau putusan akhir pada

kasus tersebut.

55 Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta,

2002, hlm. 13.

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

73

C. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum

(rechtstaats), kekuasaan kehakiman merupakan badan yang

sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum

positif.56 Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tindakan

pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia

tertentu serta menentukan nilai situasi konkret dan

menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara

imparsial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif.57

Oleh karena itu, dengan adanya kewenangan tersebut

maka dalam hal melaksanakan tugas serta pertimbangan hakim

dalam persidangan haruslah bersih, profesional, arif serta

bijaksana. Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah

argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai

pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus

perkara.58

56 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif

Hukum Progresif, Sinar Grafika, 2014, hlm. 1. 57 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori

Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 93. 58 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, Citra

Aditya Bakti, 2010, hlm. 193.

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

74

Salah satu hal yang terpenting dalam menentukan

terwujudnya suatu nilai keadilan adalah pertimbangan hakim

yang mengandung keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Dalam pertimbangan hakim haruslah disikapi dengan cermat,

baik serta teliti. Hal ini agar para pihak yang berperkara

merasakan keadilan. Karena putusan hakim merupakan

serangkaian dalam proses penjatuhan pidana pada seseorang

maka hakim harus berpedoman pada pembuktian dalam hal

menentukan seseorang benar melakukan tindak pidana. Apabila

dalam hasil persidangan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana maka putusan hakim

haruslah lepas dari segala tuntutan hukum yang ada atau putusan

pembebasan (vrjspraak).

Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan

memutuskan serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

kepadanya berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di

suatu sidang pengadilan, dengan menjatuhkan suatu putusan,

yang disebut dengan putusan hakim.59

Putusan Hakim akan begitu dihargai dan mempunyai

nilai kewibawaan, jika putusan tersebut dapat merefleksikan rasa

59 Ahmad Rifai, ( 2014), Op. Cit hlm. 52.

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

75

keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi

masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kebenaran dan

keadilan.60 Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan

seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan

kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang dicita-citakan

selama ini, dengan berpedoman pada hukum, undang-undang

dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.61

2. Kewajiban Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pidana

a. Hal-hal Yang harus Dipertimbangkan Hakim Dalam

Perkara Pidana

Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus

memperhatikan serta mengusahakan semaksimal mungkin

agar jangan sampai putusan tersebut memungkinkan

timbulnya perkara baru (sedapat mungkin para pihak dalam

perkara tidak mengajukan banding atau upaya hukum

lainnya).62

Menurut Ahmad Rifai, dalam memeriksa dan

mengadili suatu perkara pidana, dan kemudian menjatuhkan

60 Ibid, hlm. 3. 61 Ibid, hlm. 3. 62 Ibid hlm. 52.

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

76

putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap

tindakan dipersidangan yaitu:

1. Tahap Mengkonstatir

Dalam tahap ini, hakim akan mengkonstatir

atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu

peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk

memastikan hal tersebut, maka diperlukan

pembuktian dan oleh karena itu hakim harus

bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut

hukum, di mana dalam perkara pidana dapat

diketemukan dalam Pasal 184 KUHAP.

2. Tahap Mengkualifikasi

Pada tahap ini, hakim mengkualifisir dengan

menilai peristiwa konkret yang telah dianggap

benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum

apa atau yang bagaimana atau menemukan hukum

untuk peristiwa hukum (apakah itu pencurian,

penganiayaan, perzinahan, perjudian, atau peralihan

hak, perbuatan melawan hukum, dan sebagainya).

Jika peristiwa sudah terbukti dan peraturan

hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan

hukumnya akan mudah, tetapi jika tidak jelas atau

tidak tegas hukumnya, maka hakim bukan lagi

harus menemukan hukumnya saja, tetapi lebih dari

itu ia harus menciptakan hukum, yang tentu saja

tidak boleh bertentangan dengan keseluruhan

sistem perundang-undangan dan memenuhi

pandangan serta kebutuhan masyarakat atau

zamannya.

3. Tahap Mengkonstituir

Dalam tahap ini, hakim menerapkan

hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan

memberi keadilan kepada para pihak yang

bersangkutan (para pihak atau terdakwa). Keadilan

yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari

intelektualitas hakim, tetapi merupakan semangat

hakim itu sendiri.

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

77

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), faktor-faktor yang

memperingan dan memperberat pidana terdapat pada Pasal 132,

133,134, dan 135. Pasal 132 RUU KUHP berbunyi:

Faktor yang memperingan pidana meliputi:

1) Percobaan melakukan tindak pidana;

2) Pembantuan terjadinya tindak pidana;

3) Penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib

setelah melakukan tindak pidana;

4) Tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;

5) Pemberian ganti kerugian yang layak perbaikan

kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana

yang dilakukan;

6) Tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau

7) Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup

dalam masyarakat.

Pasal 133 berbunyi:

(1) Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per

tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun

minimum khusus untuk tindak pidana tertentu.

(2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan

penjara seumur hidup. Maksimum pidananya penjara

15 (lima belas) tahun.

(3) Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana

dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih

berat ke jenis pidana yang lebih ringan.

Pasal 134 berbunyi: “faktor yang memperberat pidana meliputi:

a. Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus

diancam dengan pidana atau tindak pidana yang di lakukan

oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan

kepadanya karena jabatan;

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

78

b. Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau

lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak

pidana;

c. Penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan

tindak pidana;

d. Tindak pidana yang dilakukan oleh dewasa bersama-sama

dengan anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun;

e. Tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-

sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau

dengan berencana;

f. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru

hara atau bencana alam;

g. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam

keadaan bahaya;

h. Pengulangan tindak pidana; atau

i. Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam

masyarakat.”

Pasal 135 berbunyi: “pemberatan pidana adalah penambahan 1/3

(satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana”.

Kemudian hal yang meringankan dalam putusan hakim

dalam Rancangan Undang-Undang KUHP terdapat pada Pasal

34 dan 35 yang berbunyi:

Pasal 34: “setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana

karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman

serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri

atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda atau orang

lain, tidak dipidana”. Pasal 35: “termasuk alasan pembenar

adalah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana di

maksud dalam Pasal 11 ayat (2)”.

Hal-hal yang memberatkan yaitu bahwa perbuatan

seorang terdakwa telah melanggar peraturan yang berlaku serta

merugikan orang lain. Hal-hal yang meringankan adalah

terdakwa berlaku sopan dipersidangan dan berterus terang

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

79

sehingga memperlancar proses persidangan, terdakwa menyesali

perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi di

kemudian hari sebagai wujud nilai baik dari terdakwa, serta

terdakwa belum pernah di hukum.

Hal-hal yang dipertimbangkan seorang hakim dalam

dalam proses persidangan, jika berdasarkan pada Pasal 197

KUHAP yang berbunyi:

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA”;

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan

terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta

dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari

pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat

tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai

keadaan yang memberatkan dan yang meringankan

terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim

kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah

terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana

disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau

tindakan yang dijatuhkan;

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

80

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan

mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau

keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat

surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan

atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama

hakim yang memutus dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e,

f, g, h, i, j, k, l dan I Pasal ini mengakibatkan putusan batal

demi hukum

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan

dalam undang-undang ini.

Dalam hal ini, hakim dalam surat putusan

pemidanaannya harus mengacu pada Pasal 197 KUHAP

tersebut. Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari

suatu perkara yang sedang di periksa dan di adili oleh hakim

tersebut.63 Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat

putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai

dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin

ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil

sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.64 Dalam

proses penjatuhan putusan, seorang hakim harus meyakini

apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah

63 Ibid , hlm. 94. 64 Ibid, hlm. 94.

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

81

tidak, dengan tetap berpedoman dengan pembuktian untuk

menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh

seorang pelaku pidana, atau untuk menentukan adanya

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak

berperkara.65

Putusan hakim dalam perkara pidana, dapat berupa

putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana

terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari

tindak pidana (vrijspraak), dalam hal menurut hasil pemeriksaan

di persidangan, kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan

hukum (onslaag van alle rechtsvervolging), dalam hal perbuatan

terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi

perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana.66

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau

pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam

mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara

yaitu:67

65 Ibid, hlm. 95 66 Ibid, hlm. 95. 67 Ibid hlm. 105-112.

Page 54: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

82

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud teori keseimbangan adalah

keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh

undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain

seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan

kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan

kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan

pihak tergugat.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi

atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam

penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan

keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku

tindak pidana. Dalam praktik peradilan, kadangkala teori

ini dipergunakan hakim di mana pertimbangan akan

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa

proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik

dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya

dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin

konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini

merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutuskan

suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar

intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan

ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan

hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

diputuskannya.

4. Teori pendekatan pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal

yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara yang

dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang

dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun

masyarakat

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang

mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang

Page 55: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

83

berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan

kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan pokok perkara yang disengketakan

sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta

pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan

keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori kebijaksanaan

Teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam

perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori ini

menekankan rasa cinta tanah air, nusa, dan bangsa

Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan

dibina. Aspek dalam teori ini menekankan bahwa

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua ikut

bertanggungjawab untuk membimbing,membina,

mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi

manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi

bangsanya.

Tujuan dari teori kebijaksanaan adalah pertama,

sebagai upaya perlindungan terhadap beberapa tujuan,

yaitu pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap

masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua, sebagai

upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan

tindak pidana, yang ketiga, untuk memupuk solidaritas

antara keluarga dengan masyarakat dalam rangka

membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak pidana

anak, dan yang keempat, sebagai pencegah umum dan

khusus.68

Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku

tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan

segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:

a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari

ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh

pelakunya.

b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana

membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan

tindak pidana di kemudian hari.

68 Madhe Sadhi Astusi, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku

Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang, 1997, hlm. 87.

Page 56: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

84

c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak

melakukan tindak pidana sebagaimana yang

dilakukan oleh pelakunya.

d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam

menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan

tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak

pidana dapat diterima dalam pergaulan

masyarakat.69

b. Korelasi Antara Pertimbangan Dengan Pembuktian

Hakim

Hubungan antara pertimbangan hakim dan

pembuktian hakim tidak dapat dipisahkan karena saling

berkaitan. Seorang hakim tidak dapat memutuskan seorang

terdakwa bersalah jika tidak ada bukti yang cukup bahwa

seseorang telah melakukan tindak pidana. Sebaliknya,

seorang terdakwa tidak dapat menyangkali perbuatannya jika

terdapat alat bukti yang menguatkan bahwa seorang terdakwa

tersebut benar-benar telah melakukan tindak pidana.

Ketentuan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

adalah untuk menghukum seorang terdakwa hakim haruslah

berdasarkan pada alat-alat bukti. Karena alat-alat bukti

tersebut hakim sebagai orang yang berwenang memutuskan

perkara pidana dapat menyimpulkan tentang kesalahan

69 Ahmad Rifai, (2014), Op. Cit. hlm. 112.

Page 57: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA 1

85

terdakwa serta dapat menjatuhkan pidana atau membebaskan

terdakwa dari jerat hukum pidana.

Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana harus

mengungkapkan fakta-fakta sidang pengadilan yang

diperoleh melalui alat-alat bukti dan barang bukti itulah yang

akan menjadi pertimbangan hakim di dalam memutuskan

perkara pidana yang sedang diperiksa, apakah perkara itu

terbukti sebagai tindak pidana atau tidak terbukti sebagai

tindak pidana. Dengan kata lain, bahwa pertimbangan hakim

haruslah mengacu pada hasil pembuktian selama proses

pembuktian dalam persidangan yang diperolah melalui fakta-

fakta persidangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

korelasi pembuktian dan pertimbangan hakim adalah didalam

rangka pembuktian, hakim harus mempertimbangkan hal-hal

yang terungkap dalam persidangan melalui fakta-fakta dalam

persidangan.