25
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengelolaan Konflik 2.1.1 Pengertian Pengelolaan Konflik Dalam sebuah organisasi apapun bentuk dan jenisnya merupakan himpunan sejumlah manusia (dua atau lebih) yang bekerja sama selalu terjadi benturan-benturan, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan yang disebut konflik dalam bekerja. Dengan kata lain dalam kehidupan organisasi yang didalamnya terlibat interaksi sejumlah manusia sebagai karyawan/anggota organisasi, terjadi konflik merupakan fakta yang tak dapat dihindari. (Nawawi, 2006: 332) Oleh karena itu apapun bentuk konflik yang terjadi di dalam suau organisasi, secara pasti berakibat pada pelaksanaan pekerjaan yang tidak efektif dan tidak efesien. Untuk itulah setiap pemimpin harus mampu menyelesaikan atau sekurang-kurangnya membantu penyelesaian konflik yang terjadi dalam organisasi. Dengan bentuk manajemen konflik secara maksimal. Konflik menurut kartini kartono (dalam Nawawi, 2006: 333) mengatakan bahwa konflik adalah oposisi interaktif berupa antagonisme (pertentangan), benturan paham, perselisihan, kurang mufakat, pergeseran, perkelahian, tawuran, benturan senjata dan perang. 9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengelolaan Konflikeprints.ung.ac.id/2334/6/2012-1-86204-131408187-bab2... · ... benturan senjata dan perang. 9. ... 2.1.2. Konflik-Konflik di Kelas

  • Upload
    lamlien

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengelolaan Konflik

2.1.1 Pengertian Pengelolaan Konflik

Dalam sebuah organisasi apapun bentuk dan jenisnya merupakan

himpunan sejumlah manusia (dua atau lebih) yang bekerja sama selalu terjadi

benturan-benturan, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok

dengan yang disebut konflik dalam bekerja. Dengan kata lain dalam kehidupan

organisasi yang didalamnya terlibat interaksi sejumlah manusia sebagai

karyawan/anggota organisasi, terjadi konflik merupakan fakta yang tak dapat

dihindari. (Nawawi, 2006: 332)

Oleh karena itu apapun bentuk konflik yang terjadi di dalam suau

organisasi, secara pasti berakibat pada pelaksanaan pekerjaan yang tidak efektif

dan tidak efesien. Untuk itulah setiap pemimpin harus mampu menyelesaikan atau

sekurang-kurangnya membantu penyelesaian konflik yang terjadi dalam

organisasi. Dengan bentuk manajemen konflik secara maksimal.

Konflik menurut kartini kartono (dalam Nawawi, 2006: 333)

mengatakan bahwa konflik adalah oposisi interaktif berupa antagonisme

(pertentangan), benturan paham, perselisihan, kurang mufakat, pergeseran,

perkelahian, tawuran, benturan senjata dan perang.

9

Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua

pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsikan adanya intervensi

dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran.

Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya

ketidaksepakatan. Menurut Robins dalam Wirawan (2009:5) “Konflik adalah

suatu proses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk

menghalangi sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam usahanya untuk

mencapai tujuan atau meneruskan kepentingannya. Menurut Digilamo dalam

Wirawan (2009:5) “Konflik adalah suatu proses yang dimulai ketika individu

atau kelompok merasa ada perbedaan dan oposisi antara dirinya sendiri dan

orang lain atau kelompok tentang kepentingannya dan sumber daya,

kepercayaan, nilai-nilai, atau kebiasaan itu berarti bagi mereka”.

Sedarmayanti (2000:137) mengemukakan “konflik merupakan

perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan atau pihak

saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai

(values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior)”.

Beberapa defenisi tentang konflik tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik

adalah suatu proses yang terjadi antara manusia dalam interaksinya dengan

orang lain disebabkan perbedaan kebutuhan, perbedaan aktivitas dan

perbedaaan pandangan dalam suatu masalah.

10

Berkaitan dengan pengertian konflik di atas maka dapat diartikan bahwa

konflik diawali dengan persaingan, sehingga selama ada individu maupun

kelompok yang dinamis dan memiliki vitalitas besar untuk mengembangkan

diri, kelompok atau organisasi, maka selama itu pula terdapat potensi konflik di

lingkungan sebuah organisasi.

Menurut Fren Luthans konflik berarti suatu kondisi pertentangan antar

tujuan berdasarkan nilai-nilai dan sasaran-sasaran di dalamnya, yang

berdampak timbulnya perilaku dan emosi yang tidak sama dan mengarah pada

permusuhan dan pertikaian. (dalam Nawawi, 2006: 333)

Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu

perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak

selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada

keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan

sangat erat hubungannya dengan konflik karena dalam persaingan beberapa

pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin

mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah

menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan

cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan

bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki

rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak

berada dalam keadaan konflik.

11

Dengan demikian manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan

reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen

konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang

mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku

maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan

(interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai

pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi

konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada

kepercayaan terhadap pihak ketiga (Ardi Maulidy Navastara, 2007).

Menurut James A.F.Stoner dan Charles Wankel (dalam Goleman, 2002:

98) mengemukakan bahwa ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal,

konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar

kelompok dan konflik antar organisasi. Jenis-jenis konflik ini juga terjadi dalam

dunia pendidikan. Secara detailnya dapat diuraikan seperti dibawah ini :

a. Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri.

Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan

yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Ada tiga macam bentuk konflik

intrapersonal yaitu:

1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada

dua pilihan yang sama-sama menarik.

12

2. Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan

pada dua pilihan yang sama menyulitkan.

3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan

pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

b. Konflik Interpersonal

Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang

lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi

antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain.

c. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok (Intergroub)

Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi

tekanan-tekanan oleh kelompok kerja mereka.

d. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama (Intraorganisasi)

Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam

organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja –

manajemen merupakandua macam bidang konflik antar kelompok.

e. Konflik antara organisasi (Interorganisasi)

Dalam pendidikan konflik semacam ini dapat terjadi seperti konflik

antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.

Semua bentuk-bentuk konflik tersebut dapat menimbulkan

konsekuensi, baik positif maupun negatif. Menurut Veithzal Rivai (2004: 174-

175) ada tiga faktor yang menentukan apakah suatu konflik akan berimbang,

13

bermanfaat atau merusak:, yaitu: (a) tingkat pertikaian/konflik; (b) susunan dan

iklim dalam organisasi; dan (c) cara mengelola konflik.

2.1.2. Konflik-Konflik di Kelas

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu

organisasi pendidikan antara lain adalah: berbagai sumber daya yang langka

ditemukan disekolah, perbedaan dalam tujuan antara manager dengan guru,

saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan, perbedaan dalam nilai

atau persepsi. Selain sebab-sebab di atas, ada juga sebab lain yang mungkin

dapat menimbulkan konflik dalam pendidikan misalnya gaya seseorang dalam

bekerja, ketidakjelasan organisasi (terutama lembaga swasta) dan masalah-

masalah komunikasi yang tidak terarah.

Konflik-konflik yang terjadi di sekolah, seperti juga konflik-konflik yang

terjadi di masyarakat atau organisasi yang lain, menyangkut manusia dalam

organisasi. Seluruh masalah yang menyangkut segi manusia adalah rumit dan

apabila tidak dibina dengan baik, akan merusak organisasi. Sebaliknya bila

ditangani secara seksama, akan merupakan faktor yang esensial bagi

pencapaian efektivitas dan tujuan organisasi.

Konflik-konflik yang terjadi di Kelas dapat dibedakan menjadi: (1)

konflik internal individu; (2) konflik antarpribadi; (3) konflik antarkelompok;

(4) konflik antarorganisasi.

14

Konflik internal individu, terjadi pada siswa yang seringkali mendapatkan

tugas tambahan dari guru padahal banyak tuntutan pekerjaan rumah yang harus

diselesaikan.

Apabila siswa tersebut tidak dapat menghadapinya, maka akan terjadi

stres. Stres merupakan suatu produk tambahan yang kerap kali muncul pada

konflik di dalam individu sendiri (Goleman, 1987). Konflik internal siswa ini,

tidak hanya meresahkan individu siswa itu sendiri, melainkan juga dapat

meresah kan para guru yang berhubungan dengannya di sekolah.

Konflik antarpribadi, terjadi antar siswa atau antara siswa dan guru.

Sifatnya bisa substantif atau emosional. Konflik substantif, berupa perbedaan

atau pertentangan tentang aspek-aspek akademik sekolah, seperti

ketidakseimbangan distribusi beban tugas atau kerja di antara siswa. Konflik

emosional, berupa perbedaan atau pertentangan kepentingan, kebutuhan

antarsiswa yang bersifat individual.. Konflik antarpribadi ini merupakan jenis

konflik yang sering dihadapi oleh para siswa.

Konflik antar kelompok, terjadi antara kelompok-kelompok siswa di

sekolah. Konflik antarkelompok siswa atau antara kelas ini bisa terjadi karena

perbedaan atau pertentangan usia atau senioritas, idealisme, kepentingan,

kebutuhandan sebagainya dari masing-masing kelas antara siswa.

Sedangkan konflik antarorganisasi, terjadi antarorganisasi intra

sekolah, seperti antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,

15

antara siswa dengan Komite Sekolah, dll. Pada umumnya konflik

antarorganisasi ini karena adanya perbedaan atau persaingan antarorganisasi

dalam mencapai tujuannya masing-masing.

Konflik-konflik karena faktor emosional bisa disebabkan oleh

perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap

menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi di sekolah,

seperti guru sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya, sering tidak

masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak acuh terhadap lingkungan

belajar, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan

sesama siswa, berpikir agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah, dan

atau melakukan pencurian secara kecil-kecilan, merupakan persoalan-persoalan

di kelas yang mengarah pada terjadinya situasi konflik dan harus dihadapi oleh

guru.

Seperti konflik umumnya, konflik-konflik yang terjadi di kelas juga

dapat disebabkan karena faktor suasana kelas yang membosankan, persaingan,

tuntutan yang berlebiham, atau variasi aktivitas.

2.2.1. Faktor-Faktor yang menimbulkan Konflik

Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya

manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik

menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan

memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak

16

penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku

menghindar dalam menghadapi konflik.

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik yaitu

sebagai berikut:

1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki

pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan

pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat

menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan

sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika

berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap

warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,

tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi

yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola

pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda

itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu

konflik.

17

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang

kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,

masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-

beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk

tujuan yang berbeda-beda.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika

perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut

dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan

yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan

konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang

biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai

masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai

kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang

disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser

menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal

perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-

nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi

pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia

industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,

18

akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan

terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap

mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Menurut Mulyasa (2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap

pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun

nonmaterial. Untuk mencegahnya harus dipelajari peneyababnya, antara lain:

a) Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan

masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan

mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan ketegangan.

b) Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (mis understanding),

misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi dianggap merugikan

oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman,

kurang simpati dan kebencian.

c) Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena

tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-

masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang

nyaman, kurang simpati atau benci. Perasaan-perasaan ini dapat menimbulkan

konflik yang mengakibatkan kerugian baik secara materi, moral, maupun sosial.

d) Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan

seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitive maka dianggap

merugikan, dan menimbulkan konflik, walapun secara etika tindakan ini tidak

termasuk perbuatan yang salah.

19

Sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik dilatarbelakangi oleh

perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-

perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,

pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan

dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan

situasi yang wajar dalam setiap siswa dan tidak satu siswa pun yang tidak

pernah mengalami konflik antar temannya atau dengan kelompok kelas

lainnya.

2.2. Hakikat Kecerdasan Emosional

2.2.1. Pengertian Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak

menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal

mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada

suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan

serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan

untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan

dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana

hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong

seseorang berperilaku menangis.

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi,

emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi

20

dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat

mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain

Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci),

Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan).

Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),

Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan

beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati

b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri,

putus asa

c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,

waspada, tidak tenang, ngeri

d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga

e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa

dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih

f. Terkejut : terkesiap, terkejut

g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka

h. malu : malu hati, kesal

21

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman

pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu

mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap

stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara

filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah

menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih

dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan

kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak

terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya

bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan

cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).

Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya

khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam

dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi

setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih

bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu

perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku

terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

22

2.2.2. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional (Emotional Intellegence) terdiri dari dua

perkataan yakni perkataan Kecerdasan dan Emosional yang mengandung satu

pengertian, namun untuk memahaminya harus diawali dengan menjelaskannya

pengertiannya satu per satu.

Kecerdasan berasal dari bahasa latin “ intellegere “ yang berati mengerti.

Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual individu. Sehubungan

dengan itu secara lebih terurai kecerdasan diartikan sebagai kemampuan

individu untuk memahami secara cepat esensi suatu keadaan baru yang

dihadapi, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut.

Kecerdasan juga diartikan sebagai kemampuan berfikir atau kemampuan

memecahkan masalah, sebagai penggunaan intelektual individu secara kongkrit

(nyata). Di samping itu kecerdasan juga diartikan sebagai kualitas mental secara

umum yang mencakup kemampuan belajar dari pengalaman, kemampuan

menyesuaikan diri dengan situasi baru dan kemampuan memahami konsep-

konsep yang abstrak dan komplek. Beberapa pengertian kecerdasan tersebut di

atas, secara sederhana dapat diidentifikasikan sebagai kemampuan memecahkan

masalah. (Nawawi, 2006: 231)

Martin L Barbara dan Leslie J Briggs (dalam, Nawawi 2006:238)

mengatakan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran yang khas, suatu kondisi

biologis dan psikologis, serta kecenderungan untuk bertindak. Pengertian ini

23

menitikberatkan emosi pada hubungan pikiran dan perasaan sebagai kondisi

khas berbeda dari kondisi normal, yang berarti juga emosi dapat dikendalikan

pikiran, sebaliknya pikiran dapat dipengaruhi emosi.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan (Abality), mengindera,

memahami dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai sumber

energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Artinya kemampuan

menerapkan daya daya kepekaan emosi untuk mencapai keberhasilan dalam

kehidupan bersama orang lain.

Kecerdasan emosional tidak muncul dari pemikiran intelektual, tetapi

pekerjaan hati manusia, sebaliknya manusia tidak cukup hanya memiliki

perasaan tanpa kecerdasan. Oleh karena itulah dengan memiliki kedua

kemampuan itu manusia dapat belajar mengakui, memahami dan menghargai

perasaan dirinya sendiri dan perasaan orang lain agar dapat menaggapinya

secara tepat. Demikian pula mampu mendayagunakan secara efektif informasi

dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kondisi individu

seperti diuraikan di atas, sangat penting bagi seseorang yang berperan sebagai

pemimpin yang dibutuhkannya dalam

Kepemimpinan dengan Pendekatan Kecerdasan Emosional merupakan

Kepemimpinan yang Berdasarkan pada upaya maksimalisasi kemampuan

interpersonal dan intrapersonal pemimpin. Kemampuan interpersonal

merupakan kemampuan untuk membangun hubungan sosial yang efektif dalam

24

organisasi meliputi : megelola kritik yang membangun, mengelola keragaman,

megelola kecerdasan kelompok (Goleman, 2011).

Kepemimpinan berdasar kecerdasan emosional merupakan pendekatan

baru dalam ilmu manajemen (Goleman,2001; Goleman, 1995;Cooper Dan

Sawaf, 1999). Goleman (1995) ahli Psikologi dari Harvard University,

meluncurkan hasil sejumlah penelitian, membuktikan pengaruh kecerdasan

emosi pemimpin untuk mencapai puncak karir. Ia menjelaskan ruang lingkup

kecerdasan emosi yaitu kecakapan pribadi meliputi kesadaran diri, pengaturan

diri, dan motivasi, dan kecakapan sosial meliputi empati, kesadaran terhadap

perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, dan keterampilan sosial yaitu

kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain (Goleman,

2001). Kepemimpinan ini menekankan fungsi kemampuan emosional dalam

melakukan komunikasi organisas, dimana berangkat dari asumsi bahwa

kepemimpinan merupakan hubungan manusiawi yang secara intensif melibatkan

aspek-aspek manusiawi, baik bersifat intrapersonal atau interpersonal.

Kecerdasan emosional (emotional intelligence) dapat diartikan sebagai

kemampuan merasakan dan memahami kepekaan emosi diri maupun emosi

orang lain, pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk

mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebihlebihkan kesenangan,

mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir, mampu membaca dan memahami perasaan terdalam orang

25

lain (empati) dan berdoa, memelihara hubungan baik, menyelesaikan konflik,

serta mampu memimpin.

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat

menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan

terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam

pembentukan kecerdasan emosional.

Keterampilan KE bukanlah lawan keterampilan KI atau keterampilan

kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan

konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, KE tidak begitu dipengaruhi oleh

faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).

Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh

Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan

sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam

mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).

Gardner (dalam Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan

hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses

dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh

varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,

interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai

kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan

emosional.

26

Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar

pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi

mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan

kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang

korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan

membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta

kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh

kehidupan secara efektif.” (dalam Goleman, 2002 : 52).

Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar

pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan

tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam

kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia

mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan

kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta

memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (dalam Goleman, 2002 : 53).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey

(dalam Goleman, 2002:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan

intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan

emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah

kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi,

memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan

untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

27

Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah

kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to

manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui

keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan

keterampilan sosial.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional

adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,

memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan

untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

2.2.3. Faktor Kecerdasan Emosional

Nawawi (2006:249) dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional

yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima

kemampuan utama, yaitu :

a. Mengenali Emosi Diri (Kecerdasan Diri)

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk

mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan

dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran

diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.

Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap

suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka

28

individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.

Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan

salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu

mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi (Pengaturan Diri)

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai

keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap

terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,

yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan

kita (Goleman, 2002: 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk

menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau

ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan

untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri (Motivasi)

Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri

individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap

kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan

motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali Emosi Orang Lain (empati)

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.

Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang

29

lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang

memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial

yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain

sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap

perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang

mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan

diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka

(Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak

yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan

terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu

membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin

mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui

emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk

membaca perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan (Keterampilan Sosial)

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan

yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi

(Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan

kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk

mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta

kemauan orang lain.

30

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini

akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena

mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer

dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena

kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati,

hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa

mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa

berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-

komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai

faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional

2.3. Kerangka Pikir

Dalam melaksanakan tugasnya, guru yang memiliki pemahaman kecerdasan

emosional berarti memiliki cara yang efektif untuk mengembangkan hubungan antar

pribadi karena dapat mngendalikan emosinya untuk kepentingan tersebut.

Kecerdasan emosional merupakan unsur yang penting dalam kehidupan

manusia, karena terbentuk dari pengalaman hidup dan akan berkembang sepanjang

waktu. Menurut tinjauan teori kepemimpinan, kecerdasan emosional merupakan salah

satu kriteria keberhasilan pemimpin dalam mengelola organisasinya. Namun

organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau didalamnya tidak ada pemimpin

sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemimpin itu

31

tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya tampa adanya bawahan

(karyawan) yang selalu berintraksi dan membantunya. Adanya pemimpin dan

bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling

berkaitan. Oleh karena itu, istilah struktur digunakan dalam artian yang mencakup:

ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada

organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota

dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak

ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi

merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar

organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula

kemungkinan terjadinya konflik.

Konflik dapat berupa emosi maupun nilai-nilai dalam kehidupan. Dan

kecerdasan mengelola emosi merupakan kunci mengelola konflik. Untuk memberikan

gambaran jelas tentang kerangka berpikir antara kecerdasan emosional (x) dengan

pengelolaan konflik (y), dapat di lihat dalam pada skema berikut ini :

32

Gambar I : Skema Kerangka Berpikir

2.4. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka

hipotesis kerja yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

”Terdapat pengaruh antara kecerdasan emosional guru dengan pengelolaan konflik

siswa di Kelas Se Kecamatan Bilato Kabupaten Gorontalo.”

33

KECERDASAN EMOSIONAL

Mengenali Emosi Diri (Kecerdasan Diri)

Mengelola Emosi (Pengaturan Diri)

Memotivasi Diri Sendiri (Motivasi)

Mengenali Emosi Orang Lain (empati)

Membina Hubungan (Keterampilan Sosial)

Nawawi (2006:249)

PENGELOLAAN KONFLIK

Konflik intrapersonal

Konflik interpersonal

Konflik intragroup

Konflik intergroup

Konflik intraorganisasi

Konflik interorganisasi

James A.F.Stoner dan Charles Wankel (dalam Goleman, 2003: 53)