Upload
voanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stilistika
Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian
terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya
sastra. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam
penggunaan bahasa, tak terbatas pada sastra saja namun biasanya stilistika lebih sering
dikaitkan dengan bahasa sastra (Chapman dalam Nurgiyantoro, 2010: 279).
Menurut Ratna (2009: 3) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya,
sedangkan stile (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala
sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat
dicapai secara maksimal. Gaya merupakan salah satu cabang ilmu tertua dalam bidang
kritik sastra. Makna-makna yang diberikan sangat kontroversial, relevansinya
menimbulkan banyak perdebatan. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa
tertentu, bukan semata-mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya
adalah cara ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai
sebuah istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan
dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra. Dengan
pertimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara khusus,
maka sastralah, dalam hubungan ini karya sastra yang dianggap sebagai sumber data
utamanya. Perkembangan terakhir dalam sastra juga menunjukkan bahwa gaya hanya
dibatasi dalam kaitannya dengan analisis puisi. Alasannya, di antara genre-genre
karya sastra, puisilah yang dianggap sebagai memiliki penggunaan bahasa paling
7
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
8
khas. Stilistika jelas berkaitan dengan genre.Sebagai institusi genre seolah-olah
memaksa pengarang untuk menciptakan jenis yang sesuai dengan karya yang ditulis.
Seorang penyair sejak semula sudah berpikir bahwa bahasa yang digunakan adalah
bahasa puisi, bahasa dengan tingkat seleksi yang tinggi.
Seperti pernyataan tersebut, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Noor
(2005: 118) bahwa stilistika berasal dari kata style yang artinya gaya. Style atau gaya
adalah cara khas yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri. Cara
pengungkapan tersebut dapat meliputi setiap aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan,
susunan kalimat, nada, dan sebagainya).
Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang
pada umumnya dalam dunia kesastraan dan pada khususnya dalam puisi untuk
menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Kajian
stilistika juga dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis
(perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian linguis) di
pihak lain (Leech & Short dalam Nurgiyantoro, 2010: 280). Stilistika kesastraan,
dengan demikian, merupakan sebuah metode analisis karya sastra.
Gaya dengan demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung
pikiran dan perasaan. Tanpa adanya proses hubungan yang harmonis antara kedua
gejala tersebut, maka gaya bahasa tidak ada. Dalam aktivitas kreatif komunikasi
antara pikiraan dan perasaan diproduksi secara terus-menerus sejak awal hingga akhir
cerita, sehingga keseluruhan karya dapat dianggap sebagai memiliki gayabahasa.
Perbedaannya ciri-ciri perasaan dominan dalam puisi, sebaliknya, pikiran dominan
dalam prosa (Murry dalam Ratna, 2009: 6). Style atau gaya dapat diartikan sebagai
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
9
cara khas yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau
mengungkapkan diri dengan gaya pribadi (Al-Ma‟ruf, 2009: 9).
Menurut Shipley dalam Ratna (2009: 8) stilistika (stylistic) adalah ilmu
tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari akar kata stilus (Latin),
semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang
berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik disebut
sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus), sebaliknya bagi mereka yang
tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal
(stilus rudis).
Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam.
Salah satu di antaranya adalah menggores, melukai, menusuk bidang datar sebagai
alas tulisan. Konotasi lain adalah „menggores‟, „menusuk‟ perasaan pembaca, bahkan
juga penulis itu sendiri, sehingga menimbulkan efek tertentu. Pada dasarnya di sinilah
terletak makna kata stilus sehingga kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus
berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas. Secara praktis, khususnya dalam
karya sastra, ruang lingkup stilistika adalah deskripsi penggunaan bahasa secara khas.
Stilus itu sendiri juga berasal dari akar kata „sti-„ yang berarti mencakar atau
menusuk. Dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah stylos berarti pilar atau rukun
yang dikaitkan dengan tempat untuk bersemadi atau bersaksi. Dalam bidang bahasa
dan sastra style dan stylistic berarti penggunaan bahasa yang khas sehingga
menimbulkan efek tertentu (Ratna, 2009: 9).
Gaya dikenal dalam retorika dengan istilah style. Seperti di atas, pernyataan
yang sama juga diungkapkan Keraf, bahwa kata style diturunkan dari bahasa Latin
stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Gaya bahasa adalah
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
10
cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi,
watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik
gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya. Gaya bahasa dapat
dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 2009: 113).
Sedangkan menurut Siswantoro (2010: 115), gaya bahasa (figure of speech)
adalah suatu gerak membelok dari bentuk ekspresi sehari-hari atau aliran ide-ide yang
biasa untuk menghasilkan suatu efek yang luar biasa.
Terdapat enam pengertian gaya yang diberikan oleh Enkvist dalam Junus
(1989: 4) sebagai berikut:
1. Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada
sebelumnya.
2. Pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin.
3. Sekumpulan ciri pribadi.
4. Penyimpangan daripada norma atau kaedah.
5. Sekumpulan ciri-ciri kolektif.
6. Hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih
luas daripada sebuah ayat.
Kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar
unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja
tertentu (Aminuddin, 1997: 61). Dengan demikian, stile dapat bermacam-macam
sifatnya, tergantung konteks di mana dipergunakan, selera penyair, namun juga
tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Stile pada hakikatnya merupakan teknik,
teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan
diungkapkan. Teknik itu sendiri, juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu
dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah
karya (Nurgiyantoro, 2010: 277).
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
11
Stile, atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam
sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk yang berlaku dalam
sistem bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini, memiliki kebebasan yang luas untuk
mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap lebih
efektif (Fowler dalam Nurgiyantoro, 2010: 279).
Menurut Noth dalam Ratna (2009: 35) stilistika jika dikaitkan dengan retorika
klasik, terkandung dalam elocuito. Perbedaan antara retorika dengan stilistika
dijelaskan sebagai berikut.
1. Stilistika pada dasarnya memusatkan perhatian pada struktur permukaan
teks, pada umumnya merupakan varian ekspresi leksikal dan sintaktik,
sedangkan retorika menyediakan aturan bagi pengorganisasian wacana
secara keseluruhan. Dalam hubungan ini retorika lebih komprehensif
dibandingkan dengan stilistika.
2. Stilistika lebih banyak tertarik terhadap ciri bahasa pengarang individual
(atau zaman), retorik tertarik untuk menemukan atau merekomendasikan
pola-pola struktural yang ditetapkan oleh tradisi norma-norma lama.
Dalam hal ini stilistika lebih komprehensif dibandingakan dengan retorika
sebab ia mempertimbangkan sembarang ciri-ciri tekstual, tidak hanya
tradisional.
3. Retorika lebih tertarik terhadap efek wacana atas audiens, sedangkan
stilistika lebih fokus pada keunikan tekstual, fase-fase teks pragmatik yang
berbeda, seperti resepsi teks dan produksi teks.
Dengan singkat stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara
umum, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra
merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya
intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika
paling banyak dilakukan (Ratna, 2009: 5). Para pelopor dalam bidang kajian stilistika
memiliki anggapan bahwa bahasa dari sebuah teks mencerminkan dunia tekstual
secara sempurna (Fasold, 1990; Joseph, Love dan taylor, 2001 dalam Black, 2011: 1).
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
12
Dalam pengertian paling luas, stilistika dan estetika bekerja saling meliputi,
stilistika mengimplikasikan keindahan, demikian juga sebaliknya. Keindahan
melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa (Ratna, 2009: 251).
Menurut Sudjiman (1993: 7) stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur
suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan. Dengan kata lain, bagaimana karya
sastra berlaku sebagai suatu sarana komunikasi.
B. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa
digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek
(Minderop, 2005: 51). Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif
menjadi lebih segar dan berkesan. Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri,
bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita.
Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang
lain terhadap kita dan keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan
emosi (Keraf, 2004: 2). Bahasa, disamping sebagai alat komunikasi, memungkinkan
pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan
mengambil bagian dari pengalaman tersebut (Keraf, 2004: 6).
Sementara itu, gaya bahasa merupakan ekspresi yang personal. Artinya gaya
bahasa dipandang sebagai ekspresi pribadi penulisnya dalam menghadapi dan
menyikapi pokok masalah karangannya. Menurut Jassin gaya bahasa adalah perihal
memilih dan mempergunakan kata-kata sesuai dengan isi yang mau disampaikan.
Gaya bahasa juga menyangkut masalah bagaimana menyusun kalimat secara efektif
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
13
dan secara estetis. Menurut Ahmadi dalam Al-Ma‟ruf (2009: 15) gaya bahasa
berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau
pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan. Artinya,
gaya bahasa menciptakan suasana hati tertentu, misalnya kesan baik atau buruk,
senang, tidak enak, yang diterima karena pelukisan tempat, peristiwa, dan keadaan
tertentu.
Menurut Ratna (2009: 22) gaya adalah ekspresi linguistis, baik di dalam puisi
maupun prosa (cerpen, novel, drama). Shipley dalam Ratna (2009: 23) membedakan
tujuh jenis gaya, sebagai berikut:
1. Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti: gaya Shakespearean,
Dantean, Homeric, dan gaya Miltonic.
2. Gaya bahasa berdasarkan waktu, hari, dekade, abad, peristiwa sejarah atau
sastra, seperti: gaya pra-Shakespeare, gaya abad keemasan sastra Latin.
3. Gaya bahasa berdasarkan medium bahasa, seperti: gaya bahasa Jerman,
gaya bahasa Perancis.
4. Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti: gaya bahasa resmi, ilmu
pengetahuan, filsafat, komis, tragis, dan gaya didaktis.
5. Gaya bahasa berdasarkan lokasi atau geografi, seperti: gaya bahasa urban,
professional, gaya New England.
6. Gaya bahasa berdasarkan audiens, seperti: gaya bahasa umum, istana,
kekeluargaan, populer, dan gaya mahasiswa.
7. Gaya bahasa berdasarkan tujuan atau suasana hati, seperti: gaya bahasa
sentimental, sarkatis, diplomatis, dan gaya informasional.
Gaya bahasalah yang menjadi unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk
keindahan. Dominasi gaya bahasa terkandung dalam puisi dengan pertimbangan
keterbatasan medium penampilannya, sehingga unsur yang ditonjolkan adalah bahasa
itu sendiri. Bahasa dalam puisi sekaligus merupakan alat dan tujuan. Tujuan gaya
bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Menurut Aminuddin (1997: 57) dalam
konteks komunikasi kebahasaan, gaya secara umum memang dapat diartikan sebagai
cara penggunaan bahasa untuk mengungkapkan gagasan.
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
14
Dengan gaya bahasa, seorang penyair dapat memperkaya makna sehingga ia
dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih intensif hanya dengan sedikit
kata. Keraf (2009: 117) mengungkapkan pendapat bahwa berdasarkan pilihan kata,
gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-
posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari
lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini
mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi tertentu.
Menurut Pradopo (2005: 271) untuk dapat menangkap makna karya sastra
secara keseluruhan, lebih dahulu harap diterangkan gaya bahasa dalam wujud kalimat
atau sintaksisnya, kemudian diikuti analisis gaya kata, dan yang terakhir analisis gaya
bunyi. Dalam gaya kalimat, sajak memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena
sajak itu hanya mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman. Gaya dalam wujud
kalimat tampak dalam baris-baris atau kalimat-kalimat yang terdapat dalam jenis gaya
bahasa berikut:
1. Metafora
Adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi
dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2009: 139). Metafora sebagai perbandingan
langsung tidak mempergunakan kata seperti, bak, bagaikan, laksana, sehingga pokok
pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Pendapat yang sama juga
dinyatakan oleh Minderop (2005: 53) bahwa metafora merupakan gaya bahasa yang
membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung.
2. Personifikasi
Adalah gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati atau barang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (Keraf dalam Siswantoro, 2010:
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
15
212). Menurut Minderop (2005: 53) personifikasi adalah suatu proses penggunaan
karakteristik manusia untuk benda-benda non-manusia, tremasuk abstraksi atau
gagasan.
3. Simile
Adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip
secara esensial (Minderop, 2005:52). Perbandingan yang menggunakan simile,
biasanya terdapat kata seperti, bak, bagaikan, atau laksana. Menurut Keraf (2009: 138)
simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan
perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu
yang sama dengan hal yang lain.
4. Hiperbola
Adalah pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan, sehingga kenyataan
tersebut menjadi tidak masuk akal. Sedangkan tujuan dari majas hiperbola ini adalah
untuk mendapatkan perhatian lebih dari orang yang membaca kalimat tersebut.
5. Pleonasme
Adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang
diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan (Keraf, 2009:133). Bila kata
yang berlebihan itu dihilangkan, artinya atau maknanya tetap utuh.
Gaya dalam kata bertujuan untuk menghidupkan lukisan dan memberikan
gambaran yang jelas. Sedangkan gaya dalam bunyi berfungsi untuk mendukung atau
memperkeras arti kata ataupun kalimat. Gaya bunyi untuk memperdalam makna kata
dan kalimat (Pradopo, 2005: 273).
Ketepatan pilihan kata atau diksi mempersoalkan kesanggupan sebuah kata
untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
16
pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.
Sebab itu, persoalan ketepatan pilihan kata akan menyangkut pula masalah makna
kata dan kosa kata seseorang. Kosa kata yang kaya raya akan memungkinkan penulis
atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat
mewakili pikirannya (Keraf, 2009: 87).
Menurut Aminnudin (1997: 155) apabila diperhatikan, unsur bunyi dalam teks
sastra nilai keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari ranah kebahasaan. Sebab itulah
bunyi sebagai gaya dapat menuansakan nilai rasa, suasana, dan pengertian tertentu.
Hal demikian sesuai dengan kenyataan bahwa aspek bunyi dalam suatu kata lazimnya
dapat dihubungkan dengan citra tertentu. Kata yang diakhiri bunyi nasal bersuara,
misalnya bunyi [n] lazimnya menuansakan gerak secara serempak yang memberikan
persepsi tertentu. Secara lebih terperinci, kajian menyangkut manipulasi bunyi dalam
teks sastra dapat dilakukan dengan bertumpu pada pilahan menyangkut fakta yang
disebut “bunyi kebahasan”.
Al-Ma‟ruf (2009: 15) mengemukakan fungsi gaya bahasa dalam karya sastra
adalah sebagai alat untuk:
1. Meninggikan selera, artinya, dapat meningkatkan minat pembaca atau
pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang atau
pembicara;
2. Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat
membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang
disampaikan pengarang atau pembicara;
3. Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa
pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau
buruk, perasaan senang atau tidak senang, benci, dan sebagainya setelah
menangkap apa yang dikemukakan pengarang;
4. Memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca
terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya.
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
17
Gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk
posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari
lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini
mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu
(Keraf, 2009: 117).
C. Puisi sebagai Genre Sastra
Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan.Puisi
adalah ekspresi yang konkrit dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam
bahasa emosional dan berirama (Dunton dalam Tarigan, 1984: 7). Persamaan
pendapat juga diutarakan oleh Siswantoro (2010: 24) bahwa bahasa puisi tertata
secara artistik, sehingga komposisinya terasa lebih menawan. Ujud yang artistik
tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa puisi merupakan bentuk seni. Sedangkan
menurut Abercrombie (dalam Tarigan,1984: 7) puisi adalah ekspresi dari pengalaman
yang bersifat imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau
pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang
memanfaatkan setiap rencana dengan matang dan tepat guna.
Secara konvensional, puisi biasa diartikan sebagai tuturan yang terikat (terikat
oleh baris, bait, rima, dan sebagainya). Beberapa ahli sastra berbeda pendapat
mengenai pengertian puisi, tetapi intinya hampir sama bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan
panca indera, susunan kata-kata kiasan, kepadatan, dan sebagainya (Noor, 2005: 25).
Menurut Ratna (2004: 86) di dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme.
Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun,
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
18
sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra.
Konsep lain juga dikemukakan oleh Sklovsky, adalah otomatisasi dan defamiliarisasi.
Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa, otomatis. Defamiliarisasi
(pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi
aneh, menyimpang.
Suyitno (2009: 78) berpendapat bahwa, sesungguhnya puisi merupakan
struktur norma-norma. Mengolah bahasa dalam berpuisi adalah semacam mengolah
bahasa sehingga bahasa itu bersih dari pengertian-pengertian yang terdapat dalam
fungsi linguistik sehari-hari. Menurut Ratna (2009: 85) puisi yang baik adalah mantra,
setiap kata, bahkan setiap bunyi harus diberikan makna dan dengan sendirinya
mengandung energi. Mungkin saja membaca puisi dilakukan dengan cara diam tetapi
dalam hati harus bersuara sebab puisi harus dibaca sekaligus didengar, bahkan juga
mungkin dilaksanakan sebagai akibat energi yang mendorong untuk bertindak.
Puisi yang baik akan menghasilkan aspek-aspek yang selalu baru dalam setiap
kali proses pembacaan. Kata-kata yang tertulis dalam setiap bait, sebagai naskah tetap
sama sepanjang masa, tetapi maknanya, sebagai teks, berubah sesuai dengan
tanggapan pembaca. Secara tradisional energi karya sastra dan dengan demikian gaya
terkandung dalam persamaan bunyi yang diperluas dengan majas. Puisi dengan
demikian adalah keindahan bunyi (Ratna, 2009: 86).
Puisi merupakan karya sastra yang imajinatif yang mempunyai unsur seni
(estetik) dominan. Segala yang tertuang dalam puisi juga merupakan bentuk
kesedihan, amarah, kebahagiaan, rasa iba, dan semua yang berhubungan dengan
perasaan. Yang kesemuanya itu dirangkai dengan penuh kehati-hatian oleh penulis.
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
19
Puisi mengandung keindahan fisik terkait dengan bahasa dan sekaligus keindahan
struktur batinnya. Kandungan makna di dalam puisi, misalnya, banyak memberi
manfaat bagi kehidupan, sebab makna itu terkait dengan nasihat, petuah, ajaran
tentang moral, budi pekerti mulia, nilai kebijakan, keutamaan, dan keluhuran yang
dapat menuntun ke arah jalan kebenaran.
Unsur utama puisi adalah kata, maka diksi berkaitan dengan bagaimana
memilih kata paling tepat dan paling sesuai, karena itu penguasaan kosa kata dan
maknanya sangat penting dalam menulis puisi, kekayaan akan perbendaharaan kata
dan pemahaman mendalam akan maknanya membantu kita dalam membuat diksi yang
unik dan khas. Untuk menciptakan keindahan dan kekuatan ekspresif, sebuah puisi
harus dapat membangkitkan suasana dan memperdalam makna. Kedalaman puisi
meliputi kedalaman emosi, pikiran, imaji, makna dan elemen-elemen puisi yang
lainnya, yang membuat penikmat puisi tidak bisa berhenti membaca, tidak bisa
berhenti merasakan, tidak bisa berhenti berpikir, walaupun puisi sudah berakhir.
Seakan maknanya terus menusuk ke dalam jantung pembacanya, hanyut ke dalam
alam bawah sadarnya. Oleh sebab itu, untuk mencapai kedalaman, puisi tidak bisa
ditulis sepintas lalu.
Karya atau puisi yang kualitas keindahannya tinggi adalah puisi yang latar
belakangnya jelas, artinya bahwa karya tidak dibuat secara asal-asalan, atau secara
sembarangan. Puisi, meskipun dilihat secara makna sering menimbulkan makna yang
kabur atau bias, tetapi dari segi proses kreatif dan proses imajinatif sebenarnya akan
terlihat kejelasan tujuan adanya sebuah karya. Untuk memahami puisi, perlu analisis
yang menyeluruh, perlu pembacaan keseluruhan karya, setiap baris puisi adalah
lukisan suasana tersendiri yang saling melengkapi bagian satu dengan bagian yang
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
20
lainnya, selain pemaknaan secara menyeluruh dari segi isi, memahami keindahan puisi
juga harus dilihat dari segi bentuk, misalnya saja rima.
Puisi dapat menjadi penjaga keindahan taman kehidupan ini. Oleh karena itu
wajar, puisi akan selalu ditulis oleh manusia yang merindukan dan mendambakan
taman-taman surgawi dalam seluruh kehdupannya. Menulis puisi dapat dikatakan
sebagai aktivitas kreatif yang khas. Aktivitas kreatif bukan semata-mata meyusun
kata-kata, akan tetapi harus dapat mewakili benang-benang penghayatan atas rasa dan
perasaannya, sehingga akhirnya dapat menjadi sebuah karya yang amat indah. Proses
ini sangat rumit, lembut, tetapi kadang-kadang mengguncang dan mendebarkan,
menggelisahkan atau mencemaskan, tetapi selalu berakhir dengan kenyamanan jiwa
yang tiada tara.
D. Estetika dalam Puisi
Kata estetika berasal dari bahasa Yunani aesthesis, yang berarti perasaan,
selera perasaan, atau taste. Estetika dalam konteks penciptaan menurut John Hosper,
merupakan bagian dari filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya yang
indah. Menurut Kant dalam Noor (2005: 109) estetika berasal dari Yunani aestanestai.
Estetika bertujuan membuat manusia lebih peka terhadap realitas seni. Estetika adalah
bagian dari filsafat seni, yakni bagian filsafat yang mengkaji nilai-nilai berkaitan
dengan keindahan. Estetika dalam arti seluas-luasnya menurut pandangan Bradley
dalam Noor (2005: 116) sebenarnya ditujukan kepada seni-seni yang lain, bukan pada
seni sajak saja.
Estetika adalah ilmu tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat
yang membahas keindahan yang melekat pada karya seni. Istilah estetis, biasanya
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
21
merujuk pada indah, tentang keindahan, atau memiliki nilai keindahan. NiIai estetis
sebuah karya seni, dalam hal ini puisi, mampu memberikan hiburan, kepuasan,
kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika puisi itu dibaca, didengarkan, atau diresapi.
Ada keindahan yang terkait dengan bahasa dan ada keindahan terkait dengan isi,
makna, atau amanat.
Dalam estetika, dengan “subjek dengan proses kreatif” dimaksudkan seniman
yang mengalami suatu pengalaman terjadinya restrukturasi dan biasosiasi.
Pengalaman kreatif itu berlangsung dalam dunia internal atau dunia batiniah sehingga
pengalaman kreatif merupakan suatu misteri. Untuk mencoba menyelami dan
menyingkapkan misteri dunia internal harus dapat memahami tentang diri manusia
melalui refleksi dan introspkesi (Noor, 2005: 110).
Kita perlu mengenal estetika, karena pengalaman estetika (pengalaman
mengenai karya seni) itu begitu berharga sehingga dibutuhkan penelitian terhadap
kualitas-kualitas karya seni. Estetika merupakan pengetahuan yang mempelajari dan
memahami melalui pengamatan keindahan, baik pada pencipta maupun pengamatan
melalui proses kreatif. Unsur estetika yang turut membangun keindahan sebuah puisi
adalah warna, penyair-penyair besar biasanya memiliki ciri khas atau warna tersendiri
dalam setiap karyanya, di mana ciri khas tersebut berbeda dengan gaya penyair
lainnya.
Gagasan-gagasan atau ide-ide yang cemerlang juga turut serta membentuk
estetikanya suatu karya, puisi-puisi yang banyak dikenal adalah puisi yang lahir dari
pemikiran yang cemerlang para pengarangnya. Bahasa di tangan penyair adalah
substansi (zat) yang akan dibentuk atau diciptakan. Bahasa puisi bersifat konotatif
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
22
karena banyak menggunakan makan kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan
dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Dalam puisi,
bahasa bukan hanya merupakan sarana komunikasi belaka, tetapi lebih dari itu, bahasa
juga merupakan sarana untuk mencapai nilai estetis.
Dalam sebuah karya sastra, telah diketahui bahwa selain unsur imajinatif,
unsur keindahan memegang peranan penting bagi karya sastra. Sesungguhnya
keindahan karya sastra terletak pada cara pengarang melukiskan hal yang ingin
disampaikan dan tentu saja melalui perantara bahasa karena pada hakikatnya bahasa
adalah substansi karya sastra.
Stilistika dan estetika jelas merupakan aspek penting dalam karya sastra.
Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan
hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan kekhasannya.
Stilistika dan estetika dominan dalam karya seni. Perbedaannya, stilistika dalam karya
seni yang memanfaatkan bahasa, yaitu karya sastra, estetika dalam karya seni yang
lain (Ratna, 2009: 254).
Menurut Ratna (2009: 249), dalam khazanah sastra di Indonesia ada empat
jenis estetika, sebagai berikut.
1. Estetika sastra Sansekerta (estetika rasa).
2. Estetika sastra Jawa Kuno (estetika lango).
3. Estetika sastra melayu Kuno (estetika ekstatis).
4. Estetika sastra Indonesia Modern (estetika oposisi).
Estetika rasa berkaitan dengan kata rasa (bhava) itu sendiri yang dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: rasa sebagai selera, rasa sebagai kesenangan atau
kesukaan, dan rasa sebagaimana terkandung dalam karya sastra. Rasa dalam karya
sastra jelas berkaitan dengan emosi (pe-rasa-an). Estetika lango berkaitan dengan
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012
23
pengalaman estetis pengarang, hanyut dalam keindahan. Estetika ekstatis berkaitan
dengan kegembiraan, kegairahan, dan keheranan pengarang yang sedang mencipta.
Terakhir, estetika pertentangan berkaitan dengan hakikat karya seni itu sendiri. Karya
sastra yang baik adalah karya yang menampilkan kebaruan.
Keseluruhan aspek estetis, baik dalam karya seni maupun dalam kehidupan
praktis sehari-hari jelas dilakukan dengan menggunakan gaya tertentu. Gaya dan
keindahan adalah dua unsur yang saling meliputi dan saling melengkapi dalam rangka
menampilkan makna suatu aktivitas kultural (Ratna, 2009: 252).
Persamaan bunyi dalam puisi, kombinasi warna dalam lukisan, susunan nada
dalam lagu, kombinasi menu dalam makanan, disamping menampilkan gaya tertentu,
pada gilirannya juga akan memperlihatkan atau menonjolkan unsur-unsur keindahan
tertentu.
Kajian Stilistika pada Buku..., Nindyantika Sintha Defi, FKIP UMP 2012