Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Seni Budaya
Kata seni dan budaya merupakan dua hal yang saling berkaitan dan
tidak dapat terpisahkan, karena pada setiap seni pasti mempunyai kebudayaan
yang khas. Begitu juga sebaliknya, pada setiap kebudayaan pasti mempunyai
nilai seni yang begitu indah dan tidak ternilai harganya.
Sebagai istilah seni memiliki dua pengertian, yaitu: a) seni berarti kecil,
tipis, dan halus, dan b) suatu hasil karya yang indah. Dalam bahasa inggris
disebut art, berasal dari akar kata ‘ar’ (Yunani) berarti menyesuaikan,
menyambung. Oleh karena itulah pada umumnya pengertian kedualah yang
lebih popular, lebih banyak digunakan baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun bidang akademis. Karya seni terdiri atas dua unsur pokok, yaitu:
bahan atau medium dan kualitas atau nilai. Bahan karya lukis adalah cat dan
warna yang disusun kembali oleh pelukis sesuai dengan kemampuan
imajinasinya. Aristoteles mengatakan, seni adalah bentuk yang
penampilannya serta pengungkapannya tidak pernah menyimpang dari
kenyataan. Selain itu dikatakan juga seni adalah meniru alam. Menurut Ki
Hajar Dewantara pengertian seni merupakan hasil keindahan sehingga bisa
menggerakkan perasaan indah orang yang melihatnnya. Oleh sebab itu,
perbuatan manusia yang bisa mempengaruhi serta menimbulkan perasaan
indah adalah seni (Nyoman Khuta Ratna, 2014: 182)
13
Sesuai dengan pengertian seni di atas, maka penulis menyimpulkan
pengertian seni secara umum adalah segala sesuatu yang dibuat oleh manusia
dan memilik unsur keindahan yang mampu membangkitkan perasaan orang
lain.
Secara umum, budaya berasal dari kata „buddhayah‟ (Sansakerta)
merupakan bentuk jamak kata ‘buddhi‟ berarti akal. Dalam bahasa Barat
disebut ‘culture’, dari kata ‘colere’ (Latin) berarti mengolah, mengerjakan.
Dalam kedua istilah, baik bahasa Sansakerta maupun Latin terkadung
pengertian tenaga dan kekuatan untuk beraktivitas, sehingga secaraluas
budaya dapat diartikan sebagai segala bentuk kegiatan manusia yang
dihasilkan melalui daya ciptanya. (Koentjaraningrat, 2015: 146)
Menurut Sartono Kartodirdjo, seni budaya adalah sistem yang koheren
karena seni budaya dapat menjalankan komunikasi efektif, antara lain dengan
melalui satu bagian saja dapat menunjukkan keseluruhannya. Harry
Sulastianto, seni budaya suatu keahlian mengekspresikan ide-ide dan
pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi
pandangan akan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa
indah sehingga menciptakan peradaban yang lebih maju. Sedangkan menurut
M. Thoyibi, seni budaya adalah penjelmaan rasa seni yang sudah
membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapatdirasakan
oleh orang banyak dalam rentang perjalanan sejarah peradaban manusia.
Dari beberapa definisi seni budaya di atas, dapat penulis simpulkan seni
budaya merupakan segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia tentang cara
14
hidup berkembang secara bersamaan pada suatu kelompok yang memiliki
unsur keindahan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Banyak definisi mengenai seni budaya lokal atau sering pula disebut
kearifan lokal. Maka dari itu tidak akan kami ambil semua pendapat dan
definisi itu. Pengertian kearifan lokal menurut Haryati Soebadio (dalam
Ayatrohaedi, 1986: 18-19), merupakan sebuah identitas atau kepribadian
budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap,
bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi
watak dan kemampuan sendiri. Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan
karakter masyarakat, karena keberadaannya selalu laksanakan dan
dileskatarikan-dalam kondisi tertentu malah sangat dihormati.
Rahyono (2009:7) mendefinisikan kearifan lokal sebagai sebuah
kecerdasan yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, yang diperoleh
melalui pengalaman etnis tersebut bergulat dengan lingungan hidupnya.
Berdasarkan definisi Rahyono tersebut dapat kita ketahui bahwa kearifan
lokal merupakan buah atau hasil dari masyarakat/etnis tertentu melalui
pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain. Kearifan
lokal ini akan melekat sangat kuat pada masyarakat/etnis tertentu.
Suhartini (2009:1) mendefinisikan kearifan lokal sebagai sebuah
warisan nenek moyang yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai
kehidupan ini menyatu tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam
budaya, dan adat istiadat. Senada dengan Suhartini, Putu Oka Ngakan (dalam
Andi M. Akhmar dadn Syarifudin, 2007) menyebut kearifan lokal sebagai
15
bentuk kearifan-juga cara sikap terhadap lingkungan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Dengan demikian
kearifan lokal itu merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Singkatnya,
kearifan lokal menurut Putu Oka Ngakan merupakan tata nilai atau perilaku
hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya
hidup secara arif.
Semetara Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati,
dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun
ghaib. (Agus Wibowo, 2015: 18)
B. Potensi Seni Budaya Lokal Cirebon
Masyarakat Cirebon mempercayai bahwa perangkat seni budaya yang
mereka lestarikan berasal dari jaman wali. Beberapa tokoh wali menciptakan
hasil karya seni yang hingga kini masih bisa dinikmati masyarakat. Sebagai
contohnya Sunan Giri menciptakan lagu dolanan yang mengandung syair
islam seperti ilir-ilir, jamuran, cublak-cublak suweng dan junjang. Sunan
Gunung Jati berperan penting dalam memperkenalkan seni budaya pada
masyarakat Cirebon. Pada saat itu Sunan Gunung Jati berdakwa menyiarkan
agama Islam menggunakan seni.
16
Tradisi budaya Cirebon dalam berbagai pertunjukan kesenian baik yang
sarat dengan puji-pujian santri seperti macapat, selawatan, sekatenan,
genjring, rudat, gembyung, birai dan genjring dog-dog, maupun pertunjukan
yang sarat dengan muatan tradisi budaya jawa kejawen seperti wayang kulit
purwa Cirebon, wayang topeng Cirebon, wayang catur, sampyong, barong
kepet (berokan), jaran lumping, sitren, lais, serta pertunjukan sandiwara
Cirebon (masres), tarling, dan campursari tarling-dangdut. Sedangkan
masyarakat Sunda di Cirebon menyukai pertunjukan kliningan (degung),
wayang golek purwa sunda, gendang pencak, calung, reog sunda, sandiwara
Sunda, gondang dan longser. Walaupun berasal dari pakem gending dan
pedalangan Cirebonan, lagu-lagu gending dalam berbagai pertunjukan
kesenian tersebut mempunyai cengkok irama tersendiri yang khas sunda yang
secara jelas dapat dibedakan dengan gaya pedalangan dan gending jawa
cirebonan. (Sugianto, 2005: 251)
Selain wayang kulit, gamelan, sandiwara, sintren, selawatan dan
genjring, Cirebon juga terkenal dengan beberapa tariannya, topeng Cirebon
misalnya. Tari topeng adalah pertunjukan yang sarat dengan falsafah hidup
tasawuf Islam. Jenis tari ini konon diciptakan oleh Ki Danalaya, salah
seorang murid Sunan kalijaga, yang kemudian mewariskannya kepada tokoh-
tokoh seniman Cirebon. Pada masa sekarang terdapat dua cengkok (gaya)
dalam pementasan seni tari topeng, yaitu cengkok Arjawinangun (slangit),
dan cengkok Losari (astanalanggar).
17
Tari topeng Cirebon terdiri dari lima jenis pertunjukan tari yang disebut
juga Topeng Panca Wanda, yaitu topeng Panji, topeng Samba, topeng
Rumyang, topeng Patih (Tumenggung), dan topeng Klana (Rahwana).
(Zaenal Masduqi & Firliana, 2015: 142)
1. Sintren
Kesenian sintren tergolong kesenian purba. Para peneliti kesenian
berbeda pendapat tentang asal usul kesenian ini. Ada yang berpendapat
bahwa kesenian sintren adalah peninggalan jaman Hindu. Namun ada
juga yang berpendapat bahwa kesenian ini lahir di jaman Islam dan
digunakan para wali sebagai media syiar Islam. Terlepas dari soal siapa
yang mula pertama menciptakannya, kesenian ini memiliki daya tarik
secara filosofis. Ada makna-makna filosofis pada kesenian ini berkenaan
dengan simbolisasi perjalanan hidup manusia.
Pada kesenian sintren Cirebon, pertunjukan sintren dimulai dengan
tampilnya seorang gadis belia (dipersyaratkan yang masih perawan suci)
dengan pakaian sederhana, tanpa dandanan lengkap. Sembari diiringi
musik gamelan sintren, gadis belia yang menjadi maskot sintren itu
diikat, dibelenggu, dengan tali temali yang rumit yang tidak
memudahkannya untuk bisa bergerak. Setelah proses ini sang maskot
sintren dikurung dalam alat kurungan ayam yang dilapisi kain penutup
hitam.
Prosesi ini melambangkan bahwa manusia lahir ke dunia ini tidak
memakai busana apapun. Manusia lahir ke dunia dengan polos. Dalam
18
perkembangannya, setelah lahir dan mengikuti proses alamiah manusia
mulai belajar mematuhi norma-norma yang hidup di lingkungannya.
Sejak bayi manusia dilatih oleh ibunya untuk secara ajeg mengikuti
irama kehidupan; menyusu, belajar merangkak, belajar berdiri, dialog
dan seterusnya. Kesemua proses ini melibatkan ikatan norma-norma
yang berlaku secara universal. Dengan demikian, maskot sintren yang
diikat untuk kemudian dikurung melambangkan bahwa manusia hidup di
dunia terikat oleh serangkaian norma yang hidup di lingkungannya.
Semua manusia normal akan mengalami proses itu.
Namun demikian, Tuhan membekali manusia dengan akal budi
agar manusia bisa survive menghadapi setiap tantangan hidup. Dengan
akal budi inilah manusia bisa berbuat apa saja, yang baik atau yang
buruk, yang putih atau pun yang hitam. Seiring berjalannya waktu,
manusia yang dibekali akal budi itu tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang sebagian meraih keberhasilan hidup, dan sebagian lainnya
mungkin gagal atau kurang beruntung dalam hidup. Ada yang kaya, dan
ada yang miskin. Itu adalah sunatullah.
Babak dari maskot sintren yang dikurung tadi melambangkan
pergulatan manusia untuk bisa berhasil dalam hidup yang penuh
kungkungan norma-norma, hukum negara, adat istiadat dan sebagainya.
Ketika pergulatan telah sampai pada puncaknya, kesenian sintren
mulai mempertunjukkan simbol lain dari keberhasilan manusia
menyiasati hidup. Pada saat kurungan dibuka, sang maskot sintren, yang
19
tadinya terikat oleh tali temali yang rumit dengan busana sederhana,
tampil dengan busana yang megah, gemerlap, berasesoris mewah, dan
berkacamata hitam (dahulu kala mata sang maskot sintren ditutup kain
hitam, bukan kacamata). Sementara tali temali yang mengikat dan
membelenggu badan serta tangannya sudah terlepas sama sekali. Sang
maskot sintren tampil mempesona. Persis seperti tampilnya para jenderal
yang menang perang, atau para pengusaha yang menang tender proyek.
Babak berikutnya setelah sang maskot sintren berubah wujud
penampilan menjadi gemilang, sang maskot mulai menari-nari dalam
keadaan kerasukan (trance). Pada saat inilah para penonton melemparkan
uang, kertas mau pun koin, ke tubuh sang maskot sintren. Lemparan uang
yang mengenai tubuh sang maskot akan membuat sang maskot terkulai
lemas, tak berdaya. Inilah puncak pertunjukan seni sintren yang penuh
makna filosofis mendalam itu! Makna filosofisnya: bahwa manusia yang
sudah mencapai ketinggian karir, derajat hidup, kekayaan materi dan
sebagainya, manakala tak dapat membawa diri, eling (sadar), dan
waspada, maka dia akan berpotensi jatuh oleh goda-godaan duniawi
(dilambangkan dengan lemparan uang) yang selama ini dikejarnya.
Makna lainnya yang lebih sederhana: manusia yang penuh keberhasilan,
tanpa diimbangi dengan akhlak yang baik, berpotensi lupa daratan
(dilambangkan dengan mata yang tertutup kacamata hitam).
20
Sintren hakikatnya adalah mereka yang tergoda oleh syahwat
duniawi. Mereka yang jatuh terkulai oleh godaan-godaan duniawi yang
menipu, membius, memperdaya dan akhirnya menyengsarakan.
Pertunjukan seni sintren diakhiri dengan kembali dikurungnya sang
maskot sintren ke dalam kurungan. Setelah babak ini, kurungan kembali
dibuka dan tampaklah sang maskot sintren tampil seperti sedia kala:
hanya mengenakan pakaian amat sederhana. Sebuah makna kembali kita
dapatkan, yaitu bahwa manusia kembali ke hadapan Sang Penciptanya
tidak membawa apa pun. Sehebat dan sekaya apa pun dia. (Abid Aslich,
2015)
2. Topeng Cirebon
Jenis tari topeng Cirebon sendiri dapat digolongkan ke dalam lima
karakter pokok topeng yang berbeda yaitu :
a. Topeng Panji. Digambarkan sebagai sosok manusia yang baru lahir,
penuh dengan kesucian, gerakannya halus dan lembut. Tarian ini
bagi beberapa pengamat tarian merupakan gabungan dari hakiki
gerak dan hakiki diam dalam sebuah filosofi tarian.
b. Topeng Samba, menggambarkan fase ketika manusia mulai
memasuki dunia kanak-kanak, digambarkan dengan gerakan yang
luwes, lincah dan lucu.
c. Topeng Rumyang merupakan gambaran dari fase kehidupan remaja
pada masa akhil balig.
21
d. Topeng Tumenggung, gambaran dari kedewasaan seorang manusia,
penuh dengan kebijaksanaan layaknya sosok prajurit yang tegas,
penuh dedikasi, dan loyalitas seperti pahlawan.
e. Topeng Kelana/Rahwana merupakan visualisasi dari watak manusia
yang serakah, penuh amarah, dan ambisi. Sifat inilah yang
merupakan sisi lain dari diri manusia, sisi “gelap” yang pasti ada
dalam diri manusia. Gerakan topeng Kelana begitu tegas, penuh
dengan ambisi layaknya sosok raja yang haus ambisi duniawi.
Kelima karakter tari topeng Cirebon bila dikaitkan dengan
pendekatan ajaran agama Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Topeng Panji merupakan akronim dari kata Mapan ning kang Siji,
artinya tetap kepada satu yang Esa atau dengan kata lain tiada Tuhan
selain Allah SWT.
b. Topeng Samba. Berasal dari kata Sambang atau Saban yang artinya
setiap. Maknanya bahwa setiap waktu kita diwajibkan mengerjakan
segala Perintah-Nya.
c. Topeng Rumyang. Berasal dari kata Arum/Harum dan Yang/Hyang
(Tuhan). Maknanya bahwa kita senantiasa mengharumkan nama
Tuhan yaitu dengan do‟a dan dzikir.
d. Topeng Temenggung. Memberikan kebaikan kapada sesama
manusia, saling menghormati dan senantiasa mengembangkan silih
asah, silih asih dan silih asuh.
22
e. Topeng Klana. Kelana artinya kembara atau mencari. Bahwa dalam
hidup ini kita wajib berikhtiar. (Naelah Hidayah)
C. Hakikat Karakter
Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:
235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem,
yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara
itu Koesoema A (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada maa kecil dan juga
bawaan seseorang sejak lahir.”Suyanto menyatakan bahwa karakter adalah
cara berpikir dan berperilaku baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih
dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul
tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi
watak yang merupakan identitas bangsa. (Mansur Muslich, 2014: 70)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter
berkaitan dengan kekuatann moral yang berkonotasi positif, bukan netral.
Jadi orang yang berkarakter adalah orang yang memiliki kualitas moral
positif.
23
Jadi karakter peserta didik merupakan suatu kualitas atau sifat baik
menurut norma agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional
yang terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan identitas individu, sebagai
hasil dari pengalaman belajar peserta didik.
D. Pembentukan Karakter Positif Anak
Pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh
sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong
lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya
karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas
dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan
segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Karakter dibentuk melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan
(acting), dan kebiasaan (habit). Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan
kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang
baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral,
dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta
didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan
tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, dan mengamalkan
(mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Ada enam pilar penting karakter manusia yang dapat digunakan untuk
mengukur dan menilai watak/perilakunya, yaitu: respect (penghormatan),
responsibility (tanggung jawab), citizenship-civic duty (kesadaran
24
berwarganegara), fairness (keadilan), caring (kepedullian dan kemauan
berbagi) dan tustworthiness (kepercayaan). (Fathurrohman, dkk,. 2013: 19)
Menurut Faturrohman, dkk,. (2013:19) nilai-nilai yang dikembangkan
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diidentifikasi adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1: Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa
Nilai Deskripsi
1 2
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Semangat Kebangsaan……….
25
1 2
Semangat
Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkunganfisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsa.
Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
Bersahabat Komunikatif tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Gemar
Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Peduli
Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan karakter peserta didik adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-
norma agama, hukum, tatakrama, budaya, dan adat istiadat.
Memperkenalkan seni budaya lokal kepada siswa merupakan salah satu
cara untuk membentuk karakter positif pada anak. Dalam hal ini diperlukan
26
adanya minat anak pada seni budaya lokal tersebut. Orang dewasa dapat
membantu menumbuhkan minat anak terhadap seni budaya lokal. Dalam
bukunya Elizabeth B. Harlock yang diterjemahkan oleh Med. Meitasari
Tjandrasa (1978: 115) mengatakan:
“Anak-anak mendapat kesempatan dari orang tua, guru, dan orang
dewasa lain untuk belajar mengenai apa saja yang oleh kelompok budaya
mereka dianggap minat yang sesuai dan mereka tidak diberi kesempatan
untuk menekuni minat yang dianggap tidak sesuai bagi mereka oleh
kelompok budaya mereka.”
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa orang tua, guru dan
orang dewasa lainnya memiliki peran yang sangat penting untuk membangun
minat budaya pada anak yang kemudian dapat membentuk karakter positif
anak.
Pembentukan karakter positif anak dapat juga dilakukan dengan
keteladanan seorang guru dan orang tua. Dalam teori difusi inovasi, peranan
opinion leader (pemimpin opini) memegang posisi sentral dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu (Roger, 2004). Tenaga pendidik sebagai
opinion leader dalam lingkungan institusi pendidikan juga memiliki posisi
sentral dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik.
Keteladanan dalam diri seorang pendidik berpengaruh pada lingkungan
sekitarnya dan dapat memberi warna yang cukup besar pada masyarakat di
lingkungan tempat tinggalnya. Maka dari itu dalam membentuk karakter
positif juga diperlukan keteladan yang baik pada anak. (Muhammad Yaumi,
2014: 149)
27
E. Urgensi Pendidikan Budaya dan Karakter
Dalam sejarah pembangunan pendidikan di Indonesia telah banyak
upaya dilakukan dan berbagai kebajikan yang menyertainya. Namun
belakangan hasil yang dicapai seolah memberi indikasi bahwa ada sesuatu
yang hilang (missing) yang belum dapat diwujudkan dalam pendidikan kita.
Kemerosotan moral akhlak, etika, dan menurunnya prestasi bangsa memberi
sinyal kuat bahwa bangsa ini sedang menghadapi dilema, jika tidak dicarikan
solusi perbaikan akan menghadapi persoalan yang semakin kompleks.
Pendidikan budaya dan karakter adalah salah satu tawaran solusi untuk
meminimalisasi dangkalnya pemahaman terhadap nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Paling tidak ada beberapa hal mengapa perlunya pendidikan
budaya dan karakter diimplementasikan dalam konteks pendidikan.
Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi
semakin kompleks merupakan tantangan baru bagi negara-negara
berkembang seperti Indonesia memasuki milenium ketiga sekarang ini. Oleh
karena itu, salah satu keunikan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh
bangsa-bangsa lain di dunia adalah warisan multi-etnik dan multikultur.
Keberagaman etnik yang hingga kini mencapai lebih dari 500 etnik yang
menggunakan 250 bahasa merupakan kekayaan bangsa yang mesti dipelihara
dan dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai kemajemukan, sehingga
masing-masing etnik bukan berdiri sebagai entitas yang tertutup dan
independen melainkan saling berinteraksi satu sama lain dan saling
bergantung, serta saling memengaruhi satu sama lain.
28
Kedua, adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna
pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah
diarahkan untuk membentuk pribadi yang cerdas individual semata dan
mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter
peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, dan
bukan pribadi (Kartadinata, 2009). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
dalam sistem pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik
yang memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan semata, melainkan
juga harus beriman, bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendidikan
juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa.
Ketiga, pendidikan yang diselenggara saat ini masih didomonasi oleh
berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat (Alwasilah,
2009). Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali
dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar
Dewantara (KHD) yang telah tertuang dalam bebagai referensi seharusnya
dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan diimplementasikan.
(Muhammad Yaumi, 2014: 121)
F. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Adat dan Budaya
Mengingat masyarakat Indonesia yang bersifat multi-pluralis tentu akan
sedikit repot jika seluruh adat dan budaya di Indonesia ditampilkan dalam
pembahasan di sini. Untuk memudahkan pembahasan, maka akan diambil
29
dua dari berbagai adat dan budaya di Indonesia, yaitu adat dan budaya Jawa
dan Sunda.
1. Adat Sunda Terkait Pendidikan Karakter
Dalam budaya Sunda, prinsip dan etika terkait dengan pergaulan
manusia dengan Tuhan, dan pergaulan dengan sesama manusia, terutama
dilandasi oleh silih asih, silih asah, dan silih asuh. Hal tersebut
menunjukkan karakter khas dari budaya Sunda sebagai konsekuensi dari
pandangan hidup religiusnya.
Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial
yang menekankan kepada sapaan cinta kasih Tuhan serta meresponsnya
melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan kata lain, silih asih
merupakan kualitas interaksi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan dan
nilai-nilai kemanusiaan. Semangat semacam ini melahirkan moralitas
egaliter dalam masyarakat. Dalam tradisi silih asih, manusia saling
menghormati, tidak ada manusia yang superior maupun manusia yang
inferior. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, karja
sama, serta sikap untuk senantiasa bertindak adil.
Masyarakat silih asah dapat dimaknai saling bekerja sama untuk
meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan. Tradisi ini
telah melahirkan etos dan semangat ilmiah memupuk jiwa kuriositas dan
saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan
dan teknologi. Hal ini pada gilirannya diharapkan mampu menciptakan
otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak bergantung pada masyarakat
30
lain. Kecuali itu dalam tradisi silih asah ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) mendapatkan bimbingan etis sehingga iptek tidak bersifat angkuh,
tetapi tampak anggun dan bahkan mampu memperkuat ketauhidan.
Masyarakat silih asuh memandang kepentingan kolektif maupun
kepentingan pribadi mendapat perhatian berimbang melalui saling
pantau, saling kontrol, tegur sapa, dan saling memberikan bimbingan.
Budaya silih asuh ini kemudian mampu memperkuat ikatan emosional
yang telah dikembangkan dalam tradisi silih asih dan silih asah. Ketiga-
tiganya menjadi semacam tri pillars yang melandasi adat dan budaya
Sunda.
Suku kata Su pada kata Sunda memiliki makna segala sesuatu yang
mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki
etos atau karakter Kesundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup.
Karakter-karakter pokok yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh
“urang Sunda” adalah cageur (sehat) jasmani dan ruhani, bageur (baik)
dalam berbicara maupun tindakan, bener (benar) dalam tujuan hidup dan
langkah perbuatan, singer (muhasabah, mawas diri) agar tidak terjerumus
dalam perilaku salah dan keliru, dan pinter (cerdas) dalam pengertian
tidak pernah berhenti dalam mencari dan mengembangkan ilmu.
(Muchlas Samani & Hariyanto, 2013: 62)
2. Adat Jawa Terkait Pendidikan Karakter
Bergantung pada sumber yang diacu, banyak sekali nilai karakter
Jawa yang sepatutnya dianut dan dikembangkan oleh masyarakat Jawa.
31
Salah satu contoh adalah seperti yang dikembangkan dalam Taman
Siswa. Ki Tyasno Sudarto, Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa
(2007) seperti yang dikutip oleh Ekowarni (2009) yang menyatakan
bahwa dasar filosofis karakter adalah Tri Rahayu (tiga kesejahteraan)
yang merupakan nilai-nilai luhur (supreme values) dan merupakan
pedoman hidup (guiding principles) meliputi:
Mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untuk meningkatkan kualitas
diri pribadi),
Mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara dan
bangsa), dan
Mamayu hayunung bawana (bagaimana membangun kesejahteraan
dunia).
Salah satu sikap masyarakat Jawa adalah andhap asor atau lembah
manah artinya rendah hati, tidak sombong (ora kumalungkung). Rendah
hati berarti tidak mau menonjolkan diri walau memiliki kemampuan
(bagai ilmu padi makin merunduk makin berisi). Orang yang andhap asor
juga mampu menahan diri, jika dicela tidak mudah marah tetapi justru
akan mawas diri apa kekurangan dan kelemahannya.
Sementara itu dalam hidup bermasyarakat manusia Jawa (wong
Jawa) hendaknya selalu memiliki tiga tindakan prinsip. Prinsip tingkat
pertama adalah rigen, mugen, tegen. Prinsip kedua adalah gemi, nastiti,
ngati-ati, dan prinsip ketiga adalah gumati, mangerti dan miranti. Prinsip-
prinsip ini terkandung dalam Serat Cemporet. Pada asalnya iniadalah
32
ajaran pada seorang gadis yang akan menikah, manjadi ibu rumah
tangga, tetapi jika melihat esensi ajarannya dapat dipergunakan bagi
seluruh kehidupan masyarakat.
Makna rigen adalah mengerjakan segala sesuatu sampai tuntas,
tegen maknanya tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja, sedangkan
mugen maknanya adalah mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam
melaksanakan pekerjaan, tekadnya juga mantap serta setia menjalani
pekerjaannya. Prinsip yang kedua terdiri dari gemi, maknanya mampu
mengelola, mengatur, tidak boros, besifat hemat. Nastiti, maknanya
cermat, memperhitungkan segala sesuatunya, memperhitungkat akibat-
akibat dari tindakannya. Ngati-ati maknanya hati-hati dan sikap batin
yang selalu waspada. Prinsip yang ketiga, gumati, maknanya sungguh-
sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan memelihara
sesuatu, mengerti maknanya mengerti empan papan (ketupat: keadaan,
waktu, dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga
perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah bertindak
atau salah bicara. Sedangkan miranti maknanya memenuhi keinginan,
menaati peraturan yang berlaku, mengikuti SOP (standart operating
prosedures), dapat membagi waktu dengan baik, dan rajin dalam bekerja.
(Muchlas Samani & Hariyanto, 2013: 65)