Upload
phamthuy
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Kondisi perekonomian Indonesia yang terus mengalami peningkatan dari
tahun-tahun sebelumnya memberikan dampak yang positif terhadap hampir seluruh
lini industri di Indonesia, termasuk industri ritel. Berdasarkan Bisnis.com (Mei,
2013), kapitalisasi bisnis ritel di Indonesia hingga triwulan I-2013 sudah mencapai
Rp 5.000 triliun, bertumbuh hingga 400% dibandingkan kapitalisasi lima tahun lalu
pada tahun 2008 yang hanya sekitar Rp 1.000 triliun. Pertumbuhan tersebut terjadi
hampir di seluruh industri ritel, termasuk ritel modern, dimana rata-rata meningkat
dua digit pertahun (www.bisnis.com). Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia
(Aprindo), bisnis ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan antara 10%–
15% pertahun dengan jumlah pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari
hypermarket, minimarket, dan supermarket (www.topbrand-award.com, Oktober,
2012). Meningkatnya jumlah gerai ritel modern tersebut menyebabkan semakin
ketatnya persaingan diantara peritel modern. Untuk menghadapi persaingan tersebut,
strategi penetapan merek yang dikeluarkan oleh pihak ritel itu sendiri (private label)
menjadi salah satu strategi yang paling sering digunakan peritel guna menghadapi
persaingan yang ada. Menurut Gogoi (2013, p.74), private label meningkatkan
costumer traffic dan store loyalty dari peritel bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai
acuan di dalam penelitian ini, landasan teori terbagi ke dalam enam sub-bab, yang
11
meliputi private label, value consciousness, store traffic, store loyalty, kerangka
pemikiran, dan pengembangan hipotesis.
2.1 Private Label
Menurut Sathya dan Rani (2013, p.25), selama bertahun-tahun private brand
telah memiliki berbagai istilah, seperti “distributor brand”, “retail brand”, “private
label”, “store brand”, “own label”, dan “own brand”. Apapun istilah yang digunakan,
private brand mengacu pada merek yang dimiliki oleh peritel atau oleh distributor.
Menurut Hoch (1996, dikutip oleh Jaafar, Lalp, Mohamed, p.73), produk private
label didefinisikan sebagai satu-satunya merek dagang yang hanya dapat ditemukan
pada kemasan dan dijual dalam gerai tertentu dengan harga murah. Menurut Beneke
(2010, p.203), private label yang dikenal juga sebagai store brand adalah merek yang
dimiliki oleh peritel dan dijual melalui gerai peritel terkait. Produk private label
biasanya dibuat oleh pihak ketiga (produsen kontrak) di bawah lisensi.
Menurut Nair (2011, p.146), produk private label adalah produk yang dibeli
oleh peritel dari pemasok, dengan maksud merubah nama, pengemasan ulang dan
menjual produk tersebut di bawah nama peritel. Terkadang pemasok menangani
kemasan dan pemberian label untuk peritel dengan biaya tambahan, tergantung pada
kesepakatan antara pemasok dan peritel. Kertajaya (2006, p.249) mendefinisikan,
“Private label adalah merek milik peritel yang ditempel pada produk yang dipesan
dari supplier tertentu dan dijual dengan harga lebih murah. Merek tersebut bisa persis
sama dengan merek toko pengecer, bisa juga lain; tanpa promosi yang menunjang”.
12
Berbicara lebih lanjut mengenai private label, Sachon menyebutkan bahwa
awalnya produk private label dilempar ke pasar dengan citra: harga yang murah dan
kualitas yang lebih rendah dibanding produk national brand. Akan tetapi pada dekade
pertama abad ke-21, citra ini telah berubah total. Kini beberapa peritel menjual
produk private label yang berkualitas sama atau lebih unggul dibandingkan merek
mapan dan merek premium (2009, p.1). Pernyataan tersebut didukung oleh Prasanth
(2013, p.190) yang menyatakan bahwa, “Saat ini produk private label telah mampu
bersaing dengan produk national brand”.
Menurut Beneke (2010, dikutip oleh Prasanth 2013, p.3), kualitas private
label telah meningkat sejak pertama kali diperkenalkan dan konsumen pun telah
mengkonfirmasi hal tersebut dengan membeli produk private label. Jaafar, Lalp, dan
Mohamed (p.73) juga menyebutkan bahwa awalnya produk private label dikemas
dalam kemasan berwarna putih dan hitam dan selalu diletakan di rak terbawah, tapi
sekarang peritel mulai meningkatkan kualitas dan kemasan produk private label
hingga menjadi produk yang ideal.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, peneliti mendefinisikan private label
sebagai merek yang dimiliki oleh peritel, dimana produk private label diproduksi
oleh pihak ketiga (produsen kontrak) dan hanya tersedia di gerai peritel terkait.
Biasanya private label ditawarkan dengan harga yang lebih murah dibanding produk
national brand, namun tidak kalah secara kualitas, hanya kemasan saja yang berbeda.
Umumnya produk private label hadir dengan kemasan yang lebih sederhana
dibanding produk national brand.
13
Meskipun keberadaannya mengundang banyak perdebatan, peritel modern
semakin gencar memperkuat produk private label-nya. Menurut Carmen Abril yang
dikutip oleh Prasanth (2013, p.2), berikut adalah beberapa alasan yang mendorong
pertumbuhan private label, yaitu: a) Meningkatnya konsentrasi diantara peritel; b)
Meningkatnya persepsi kualitas diantara peritel; c) Meningkatnya penerimaan
masyarakat terhadap pengkonsumsian private label; d) Krisis ekonomi saat ini yang
mendorong pertumbuhan private label karena utilitas harganya; e) Private label
membantu peritel untuk menyediakan produk dengan harga yang lebih sesuai dengan
konsumen. Menurut Chen (2008, dikutip oleh Jaafar, Lalp, dan Mohamed, p.73),
peritel mengontrol penuh produk private label dimana peritel dapat menentukan
kegiatan pemasaran seperti iklan, kemasan, harga dan stok persediaan.
2.1.1 Jenis Private Label
Menurut Hakansson (2000, dikutip oleh Prasanth dan Balan, 2013, p.190),
penamaan merek pada produk private label dikategorikan menjadi lima jenis, yaitu:
1. Store brands
Menggunakan nama peritel pada kemasan produk private label.
2. Store Sub-brands
Menggunakan merek yang berisikan dua nama, nama peritel dan nama produk.
3. Umbrella brands
14
Produk private label yang diberi merek independen, tidak ada kaitan dengan
nama peritel. Umbrella brand digunakan untuk produk dengan kategori yang
berbeda.
4. Individual brands
Nama merek yang digunakan hanya untuk satu kategori produk.
5. Exclusive brands
Nama merek yang digunakan untuk satu kategori yang sama. Namun produk ini
mempromosikan value added.
Menurut Beneke (2010, p.205), private label tersedia dalam banyak jenis
format. Pada dasarnya, terdapat tiga variasi jenis private label. Pertama, sebagai
merek perwakilan, dimana produk private label melalui nama dan kemasannya
mengumumkan bahwa produk tersebut diproduksi dan hanya dimiliki oleh peritel
terkait. Kedua, menjadi merek ekslusif, dimana produk private label diproduksi dan
dimiliki oleh peritel terkait, namun hal tersebut tidak secara eksplisit disampaikan
kepada konsumen melalui nama merek dan kemasan. Jenis yang terakhir adalah label
terbatas. Merek ini tidak dimiliki oleh peritel, namun hanya dapat ditemukan di gerai
peritel bersangkutan.
Menurut Utami (2006, pp.198-199), terdapat empat kategori private label,
yaitu:
1. Bargain
Bargain memiliki target segmen yang sensitif terhadap harga, menawarkannya
dengan harga diskon. Merek ini juga dikenal sebagai merek generik. Biasanya
merek ini banyak dijumpai di apotek, toko grosir, dan toko diskon. Merek ini
15
cenderung memiliki positioning sebagai merek dengan kualitas yang rendah,
meskipun sebenarnya tidak selalu demikian.
2. Premium
Merek premium menawarkan private label yang bisa dibandingkan dengan merek
pabrik, akan tetapi biasanya dengan harga yang relatif lebih murah. Merek
premium berusaha untuk menyerupai atau melebihi standar dari merek pabrik.
3. Copycat
Merek copycat adalah tiruan merek pabrik dalam hal desain dan kemasannya,
akan tetapi secara umum merek tersebut memiliki kualitas yang rendah dan
ditawarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari merek aslinya. Merek
copycat ini berisiko tinggi karena dapat melanggar hukum.
4. Paralel
Merek paralel hampir sama dengan merek copycat, merek paralel meniru semua
desain dan kemasan produk dengan pendekatan kualitasnya. Merek paralel
memproduksi produk dan kemasan yang mirip sekali dengan produk aslinya,
yang membedakan hanya harganya.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya di atas, produk private label Carrefour
Indonesia masuk ke dalam kategori produk private label “bargain” dengan empat
kategori merek, yaitu kategori “store brand” untuk produk food (merek: Carrefour
Indonesia), kategori “individual brands” untuk produk fashion (merek: Harmonie),
kategori “sub-store brand” untuk produk grocery (merek: Paling Murah), dan
kategori “umbrella brand” untuk produk elektronik dan alat rumah tangga (merek:
Bluesky).
16
2.1.2 Dimensi Private Label
Menurut Kotler dan Amstrong (2008, p.62), bauran pemasaran (marketing
mix) adalah kumpulan alat pemasaran taktis terkendali yang dipadukan perusahaan
untuk menghasilkan respon yang diinginkannya di pasar sasaran. Bauran pemasaran
untuk kategori produk dikenal sebagai 4P (product, price, place, dan promotion) dan
untuk kategori jasa dikenal sebagai 7P (product, price, place, promotion, process,
physical evidence, dan people). Private label termasuk ke dalam kategori produk,
sehingga peneliti akan menggunakan bauran pemasaran 4P yang ditunjukkan pada
gambar 2.1.
Gambar 2.1 Bauran Pemasaran 4P
Sumber: Kotler dan Amstrong (2008)
1. Product
Produk berarti kombinasi barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan kepada
pasar sasaran. Menurut Cox dan Brittain (2004, pp.116-117), merchandise
(produk) merupakan unsur paling penting dari bauran pemasaran ritel karena
produk adalah apa yang pelanggan butuhkan, alasan mengapa mereka
Promotion
Place
Price
Product
Target
Market
17
mengunjungi suatu toko dan sesuatu yang menghasilkan keuntungan. Sebuah
produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar yang mungkin
memenuhi kebutuhan atau keinginan. Menurut Berman dan Evans (2010, p.408),
merchandising adalah kegiatan pengadaan barang dan atau jasa yang membuat
barang dan jasa tersedia di tempat, waktu, dan harga serta dalam jumlah yang
memungkinkan peritel untuk mencapai tujuannya.
Berdasarkan penelitian Yavas (1994), terdapat dua atribut utama dari dimensi
produk, yaitu:
1. Banyak variasi barang
Menurut Utami (2006, p.166), variasi adalah sejumlah kategori barang-barang
yang berbeda di dalam toko atau departemen. Keberagaman barang dagangan
merupakan daya tarik tersendiri bagi sebuah ritel. Dalam kaitannya dengan
private label, kategori produk private label yang tersedia menentukan tingkat
pembelian konsumen terhadap produk private label. Menurut Jin dan Yong
(2005, dikutip oleh Rahmawati, 2013, p.122), salah satu alasan utama peritel
mengembangkan produk private label adalah peritel berusaha untuk
melakukan diferensiasi dari pesaingnya dengan menawarkan variasi produk
yang unik yang hanya dapat dibeli oleh konsumen di gerai peritel tersebut.
2. Mutu produk
Membicarakan tentang definisi kualitas, maka maknanya dapat berbeda bagi
setiap orang karena kualitas memiliki banyak kriteria dan sangat tergantung
pada konteksnya. Menurut Hernandez dan Noruzi (2011, p.95) terlepas dari
kecenderungan bahwa kualitas produk private label lebih rendah dibanding
18
dengan produk national brand, setelah beberapa dekade terakhir, kualitas
produk private label sudah semakin membaik. Jin dan Yong (2005, dikutip
oleh Rahmawati, 2013, p.122), mengatakan bahwa kinerja produk private
label akan memengaruhi tingkat kesuksesan bersaing peritel dengan peritel
lain.
2. Price
Harga adalah jumlah uang yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk
memperoleh suatu produk. Philip Kotler mendefinisikan, “Harga adalah sejumlah
uang yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa”. Stanton mendefinisikan,
“Harga adalah sejumlah uang dan/ barang yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kombinasi dari barang yang lain yang disertai dengan pemberian jasa”.
Berdasarkan penelitian Yavas (1994), terdapat dua atribut utama dari dimensi
harga, yaitu:
1. Kestabilan harga
Menurut Utami (2006, p.200), kestabilan harga merupakan bentuk kontinuitas
harga ritel, dalam hal ini adalah harga produk private label yang tetap pada
level harga tertentu.
2. Tingkat harga
Pada umumnya produk private label ditawarkan pada tingkat harga yang lebih
rendah dibanding produk national brand. Harga yang murah menjadi begitu
penting bagi produk private label karena menurut Kertajaya (2006, p.249),
19
private label merupakan produk tanpa promosi yang menunjang, sehingga
harga yang murah menjadi faktor utama yang menarik perhatian konsumen.
3. Place
Lebih dari 90% penjualan ritel terjadi di toko. Menurut Cox dan Brittain (2004,
p.56), lokasi toko harus dipilih agar dapat mencerminkan kebutuhan kelompok
pelanggan yang telah didefinisikan sebelumnya. Berdasarkan penelitian Yavas
(1994), terdapat dua atribut utama dari dimensi place, yaitu:
1. Lokasi yang mudah dijangkau.
Sebagai pusat perbelanjaan keluarga dengan format hypermarket, Carrefour
Indonesia selalu berusaha untuk menempatkan toko-tokonya pada pusat kota
atau penduduk sehingga mudah dijangkau oleh konsumen luas.
2. Waktu tempuh perjalanan menuju tempat berbelanja.
4. Promotion
Menurut Utami (2006, p.214), promosi adalah salah satu sarana yang digunakan
oleh ritel untuk berkomunikasi dengan konsumen dalam rangka mendorong
terjadinya penjualan atau untuk meningkatkan penjualan toko. Menurut Engel,
Blackwell, dan Miniard (1995, dikutip oleh Mustika, 2011, p.21), terdapat tiga
atribut utama dari dimensi promotion, yaitu:
1. Potongan harga/diskon khusus.
2. Hadiah langsung atas pembelian sejumlah barang tertentu.
Jumlah belanja atas sejumlah barang tertentu menjadi faktor penentu untuk
memperoleh hadiah langsung.
20
3. Informasi brosur yang dapat dipercaya.
Menurut Utami (2006, p.41) sebagai salah satu proses belanja pelanggan,
konsumen mencari informasi dari sumber eksternal yang dapat dipercaya,
salah satunya melalui iklan atau informasi brosur yang dapat dipercaya.
2.1.3 Manfaat Private Label
Menurut Sathya (2013, p.5), terdapat banyak keuntungan bagi peritel untuk
mempromosikan produk private label. Kemasan dan label dapat disesuaikan untuk
memenuhi spesifikasi, termasuk nama produk, keterangan, logo perusahaan, dan
informasi kontak. Private label juga memungkinkan kontrol yang lebih atas strategi
penetapan harga serta lebih banyak kebebasan bagi peritel untuk membuat sendiri
rencana pemasaran dan untuk mengkontrol stok persediaan mereka sendiri. Dengan
kemungkinan margin yang lebih tinggi, ada peluang yang lebih besar untuk
keuntungan. Private label juga memungkinkan peritel untuk menciptakan citra yang
unik dan khas, yang mendorong loyalitas konsumen.
Menurut Sathya dan Rani (2012, p.24), private label atau store brand dapat
mengurangi harga modal dan meningkatkan margin. Produk private label yang
bernilai tinggi dapat meningkatkan kekuatan tawar-menawar dengan pemasok dan
menarik lebih banyak pengunjung dengan harganya yang lebih murah. Menurut
Sathya (2013, p.5), private label juga memungkinkan kontrol yang lebih atas
beberapa faktor, termasuk penjualan, pemasaran, dan distribusi. Peritel dapat
memiliki kontrol penuh atas distribusi produk private label. Produk private label
21
hanya tersedia di gerai peritel terkait dan tidak dapat ditemukan di gerai peritel lain
atau bahkan di internet sekalipun. Menurut Richardson, Jain, dan Dick (1996, dikutip
oleh Nair, 2011, p.146), peritel menyukai produk private label karena potensinya
untuk meningkatkan loyalitas toko, profitabilitas, kontrol atas ruang rak, kekuatan
tawar-menawar atas produsen, dan sebagainya.
Fenie et. al. (2003, dikutip oleh Beneke 2010, p.206) mengidentifikasikan
beberapa keuntungan untuk peritel dengan mengembangkan produk private label,
yaitu:
1. Meningkatkan profitabilitas melalui penghemataan biaya dan meningkatkan
margin.
2. Meningkatkan loyalitas toko dan menciptakan identitas perusahaan yang berbeda.
3. Peluang untuk menjaring pangsa pasar baru.
4. Meningkatkan kekuatan tawar-menawar dengan pemasok.
2.2 Value Consciousness
Menurut Utami (2006, p.200) pada saat ini pelanggan cenderung mencari nilai
(value) ketika membeli barang/jasa. Nilai adalah hubungan antara apa yang diperoleh
pelanggan (barang dan jasa) dan apa yang harus dibayar untuk mendapatkan manfaat
dari barang tersebut. Menurut Berman dan Evans (2010, p.28) nilai adalah pandangan
konsumen terhadap seluruh benefit yang didapat dari suatu pembelian. Value
didasarkan pada persepsi benefit yang didapat dibanding dengan harga yang
22
dibayarkan. Gilbert (2003, p.168) mengatakan bahwa value dapat dikategorikan ke
dalam empat jenis sebagai berikut:
1. Value sebagai harga murah.
2. Value adalah sesuatu yang diinginkan oleh konsumen pada suatu produk.
3. Value adalah kualitas yang diinginkan oleh konsumen pada suatu produk.
4. Value didapatkan dari suatu produk tertentu.
Berbicara mengenai kesadaran nilai (value consciousness), tentu hasilnya
akan berbeda dari satu orang ke orang lainnya, karena value consciousness erat sekali
hubungannya dengan persepi seseorang. Rahmawati (2013, pp.122-123) mengutip
bahwa Solomon, Bamossy, dan Askegaard (2006, p.36) mendefinisikan, “Persepsi
adalah proses dimana stimulus dipilih (proses fisis), diorganisir (proses fisiologis),
dan ditafsirkan (proses psikologis)”. Sedangkan Mowen dan Minor (2002, p.82)
berpendapat bahwa, “Persepsi adalah proses dimana individu menerima informasi,
memperhatikan informasi tersebut, dan mencoba untuk memahaminya”. Schiffman
dan Kanuk (2010, p.69) menyatakan bahwa, “Persepsi adalah proses individu dalam
memilih, mengorganisir, dan menafsirkan stimuli atau informasi yang timbul dari
seluruh pertimbangan”.
Menurut Rahmawati (2013, pp.119-121), persepsi konsumen terhadap private
label adalah penting, dan karenanya hal tersebut perlu dipahami oleh peritel. Dan hal
ini adalah benar ketika berhubungan dengan harga dan kualitas produk private label.
Konsumen akan membandingkan kualitas produk yang diterimanya dengan harga
(pengorbanan) yang timbul ketika membeli produk tersebut. Hal ini disebut sebagai
kesadaran nilai (value consciousness). Lichtenstein et. al. (1993, dikutip oleh Fin dan
23
Suh, 2005, p.64) mengatakan bahwa suatu kesadaran nilai (value consciousness)
mengimplikasikan pertimbangan kualitas yang tidak mutlak, tapi berhubungan
dengan harga merek tertentu. Bertentangan dengan persepsi umum bahwa harga
adalah faktor terpenting dari private label, Hoch dan Banerji (1993, dikutip oleh Fin
dan Suh, 2005, p.64) menemukan bahwa kualitas lebih penting dibanding dengan
harga yang murah.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, peneliti mendefinisikan kesadaran nilai
sebagai proses dimana konsumen melihat sebuah produk dengan membandingkan
seberapa baik suatu produk tersebut melakukan fungsinya dengan harga yang harus
dikorbankan untuk mendapatkan produk tersebut. Karena semuanya itu adalah
persepsi konsumen, sehingga hasilnya akan sangat subyektif dan berbeda dari satu
konsumen dengan konsumen lainnya. Definisi tersebut dapat digambarkan sebagai
salah satu proses sebelum konsumen melakukan keputusan pembelian suatu produk.
Selain itu, kesadaran nilai adalah subyektif, karena penilaian dapat dipengaruhi oleh
harapan, kebutuhan dan situasi konsumsi yang berbeda dari satu orang ke orang lain.
2.2.1 Dimensi Value Consciousness
Menurut Ulaga dan Chacour (2001), persepsi nilai pelanggan adalah penentu
utama dari niat pembelian, yaitu “one’s willingness-to-buy”. Meskipun penelitian
yang dilakukan telah menunjukan bahwa sangat sulit untuk membangun konsep dan
mengukur suatu kesadaran nilai konsumen, bukti yang ada telah mengungkapkan
bahwa persepsi konsumen bersifat multi-dimensi dan evaluasi konsumen yang sangat
24
subjektif. Demikian, untuk memperoleh pemahaman terhadap berbagai variasi dimesi
persepsi nilai konsumen menjadi sangat penting untuk mengembangkan strategi
positioning yang efektif. Menurut Sweeney dan Soutar (2001), hal tersebut
dikarenakan persepsi nilai konsumen terhadap produk tidak hanya memperlihatkan
posisi perusahaan di pikiran konsumen, tapi juga memberikan gambaran terhadap
jenis komunikasi yang mungkin digunakan oleh perusahaan untuk memaksimalkan
kemungkinan pesan tersampaikan sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Rahmawati (2013, p.133) dan Lichtenstein et. al. (1990, dikutip oleh
Bao dan Mandrik, 2004, p.709), berikut adalah tujuh pengukur value consciousness
dari produk private label:
1. Konsumen fokus pada harga yang murah tapi juga kualitas.
2. Ketika membeli, konsumen akan membandingkan harga dari beberapa merek
untuk memastikan bahwa mereka akan benar-benar akan mendapatkan produk
yang tepat dengan uang yang mereka korbankan.
3. Ketika membeli produk, konsumen selalu berusaha untuk mendapatkan kualitas
terbaik dengan uangnya.
4. Ketika membeli produk, konsumen selalu memastikan mereka akan mendapatkan
sesuatu yang berharga.
5. Sebelum membeli produk, konsumen selalu berkeliling untuk mendapatkan harga
termurah tapi dengan tetap memperhatikan kualitas.
6. Ketika berbelanja, konsumen selalu membandingkan informasi tentang harga
produk yang akan dibelinya.
25
7. Konsumen selalu mengecek harga pada toko atau peritel yang benar-benar
memberikan nilai terbaik dengan uang yang dimilikinya.
2.3 Store Traffic
Karena lebih dari 90% penjualan ritel terjadi di toko, maka kunjungan
konsumen ke toko menjadi sangat penting bagi peritel. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Beneke (2010, dikutip oleh Prasanth, 2013, pp.2-3), konsumen
biasanya akan mengunjungi gerai peritel, dimana preferensi merek mereka tersedia
dengan baik. Beberapa sumber mengatakan bahwa produk private label dapat
meningkatkan lalu lintas toko (store traffic). Hal tersebut dikarenakan produk private
label hanya dapat ditemukan di gerai peritel bersangkutan dan tidak dapat ditemukan
pada gerai peritel lain. Menurut Dhar dan Hoch (1997), untuk menarik lalu lintas
konsumen tanpa melalui produk national brand, maka perlu ditambahkan kualitas
pada produk store brands.
Sharma, Dubey, dan Pandey (2011) melihat bahwa antara tingkat pendapatan
konsumen dan kunjungan ke ritel modern berhubungan erat. Sedangkan Solgaards
dan Hansen (2003, dikutip oleh Prasanth, 2013, p.5) menunjukkan bahwa tingkat
harga, variasi, dan lokasi merupakan faktor penting untuk konsumen dalam memilih
diantara jenis ritel (store formats). Namun, kualitas dan pelayanan tidak membedakan
diantara jenis ritel. Setelah konsumen memutuskan untuk membeli produk di gerai
tertentu, selanjutnya mereka akan didorong oleh niat mereka. Namun, niat membeli
dapat berubah karena pengaruh dari harga dan persepsi kualitas. Perilaku konsumen
26
akan didorong oleh motivasi psikologis yang menstimuli repson mereka dimana akan
membawa konsumen ke gerai peritel untuk memenuhi kebutuhan mereka.
2.3.1 Dimensi Store Traffic
Menurut Berman dan Evans (2010, p.199) saat ini, seseorang kurang dapat
menikmati saat-saatnya berbelanja seperti dahulu. Hal tersebut juga memengaruhi
tingkat kedatangan konsumen ke gerai peritel. Diperlukan faktor-faktor seperti
aksesibilitas, atmosphere, lingkungan, dan personil untuk dapat menstimulasi
pengalaman berbelanja seseorang sehingga tingkat kedatangan konsumen ke gerai
peritel pun dapat meningkat.
1. Aksesibilitas
Menurut Utami (2006, p.104), aksesibilitas adalah hal yang membuat suatu lokasi
memiliki daya tarik. Aksesibilitas suatu lokasi adalah suatu kemudahan bagi
konsumen untuk masuk dan keluar dari lokasi tersebut.
Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995, dikutip oleh Mustika, 2011, p.16),
terdapat tiga atribut utama dari dimensi aksesibilitas, yaitu:
1. Jam operasional toko.
2. Kelancaran arus lalu lintas.
3. Banyaknya sarana transportasi yang menunjang.
2. Atmosphere
27
Menurut Utami (2006, p.229), suasana toko dapat dibangun melalui sistem
pencahayaan serta penataan atau pengaturan tata letak barang dagangan yang baik
yang akhirnya akan menarik pelanggan.
3. Lingkungan
Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995, dikutip oleh Mustika, 2011, p.16),
terdapat dua atribut utama dari dimensi lingkungan, yaitu:
1. Lingkungan sekitar yang aman.
2. Kebersihan di sekitar toko.
4. Personil
Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995, dikutip oleh Mustika, 2011, p.17),
terdapat dua atribut utama dari dimensi personil, yaitu:
1. Pengetahuan pramuniaga atas produk yang ditawarkan.
2. Pramuniaga yang ramah dan sopan.
2.4 Store Loyalty
Menurut Gonring (2008, dikutip oleh Abdullah, 2012, p.174), pada
pertengahan tahun 1980-an, loyalitas hanya diidentifikasikan berdasarkan kualitas
suatu produk atau jasa. Pada akhir tahun 1980-an, definisi loyalitas mulai berubah,
selain didasarkan pada kualitas namun juga dipengaruhi oleh konsumen. Awal tahun
1990-an, perusahaan mulai fokus pada kebutuhan konsumen dan mulai merespon
keluhan mereka. Pada akhir tahun 1990-an, perusahaan mulai memproduksi produk
atau jasa yang menguntungkan untuk dapat berkompetisi dengan pesaingnya. Saat ini,
28
definisi loyalitas sudah pada tahap dimana konsumen adalah target utama bagi
perusahaan.
Uncles (2003, dikutip oleh Abdullah, 2012, p.172) mendefinisikan “Loyalitas
sebagai sesuatu yang mungkin ditunjukan oleh konsumen terhadap merek, aktivitas,
jasa, kategori produk atau toko. Uncles menambahkan bahwa loyalitas merupakan
sikap positif terhadap merek yang terkadang menciptakan koneksi diantaranya”.
Shoemaker dan Lewis (1999, dikutip oleh Pepe, Abratt, dan Dion, 2011, p.28),
mendefinisikan pelanggan yang benar-benar setia sebagai pelanggan “yang merasa
begitu kuat bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbaik yang dapat
memenuhi kebutuhan relevan konsumen dan pelanggan ini membeli hampir secara
eksklusif dari perusahaan tersebut”.
Menurut Utami (2006, p.37), kesetiaan toko (store loyalty) adalah kondisi
dimana pelanggan suka dan terbiasa mengunjungi toko yang sama untuk membeli
suatu jenis barang dagangan. Semua ritel modern ingin meningkatkan kesetiaan
pelanggan pada toko mereka. Menurut Berges dan Orozco (2010, p.262), loyalitas
terhadap toko adalah karakteristik konsumen yang berharga bagi peritel karena sekali
konsumen di toko, ia lebih cenderung untuk membeli sebagian besar produk dalam
toko, bahkan jika ada perbedaan harga pada barang tertentu dibandingkan dengan
peritel lain.
Menurut Abdullah (2012, p.172), banyak peritel modern mengembangkan
store brand karena potensinya yang tinggi untuk mendapatkan konsumen yang loyal.
Selain itu, merek adalah salah satu dari banyak faktor yang mungkin memengaruhi
perilaku pembelian konsumen karena keunikan dan keunggulan produknya. Pepe,
29
Abratt, dan Dion (2011, p.29), mengatakan bahwa produk private label peritel
modern memengaruhi perilaku konsumen. Jika konsumen mengkonsumsi dan puas
dengan produk private label, mereka akan kembali ke toko yang sama untuk membeli
produk tersebut kembali. Menurut Berges dan Orozco (2010, p.264), konsumen yang
loyal terhadap toko lebih condong untuk mengubah merek daripada toko jika dia
tidak menemukan merek yang mereka inginkan. Oleh karena itu, konsumen yang
lebih loyal terhadap toko, memberikan peritel kekuatan negosiasi produsen.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa loyalitas
toko akan sangat berpengaruh bagi keberlangsungan sebuah ritel. Ritel merupakan
sebuah bisnis yang menyediakan banyak variasi produk dan merek. Dengan
mendapatkan konsumen yang loyal terhadap toko dan bukan terhadap merek atau
produk tertentu, maka ritel tersebut barulah dapat dikatakan sustainable.
2.4.1 Dimensi Store Loyalty
Berges dan Orozco (2010, p.263), dalam mengukur loyalitas toko tidak jauh
berbeda dengan mengukur loyalitas merek. Menurut Gogoi (2013, p.76), dalam
marketing, brand loyalty adalah komitmen konsumen untuk membeli kembali atau
terus menggunakan merek tersebut dan bersikap positif terhadap produk atau jasa
dengan menerapkan word-of-mouth. Menurut Aaker (1991), terdapat dua dimensi dari
brand loyalty, yaitu behavioral dan attitudinal loyalty. Sedangkan dalam menilai
loyalitas toko, kita bisa mengamati frekuensi pembelian maupun tingkat kedatangan
konsumen. Berikut adalah dimensi pengukur dari store loyalty:
30
1. Behavioral loyalty
Menurut Aaker, Assael, Oliver, Prus, Brandt, Farr, dan Hollis, behavioral loyalty
mengacu pada perilaku pembelian ulang (Kurniawan, 2011, p.45). Menurut
Herawati (2006) pembelian ulang adalah suatu perilaku dimana konsumen
membeli kembali produknya yang sebelumnya dibeli. Suatu ritel dikatakan
berhasil apabila mampu mempertahankan konsumennya untuk menjadi loyal
terhadap ritel tersebut. Oliver (1997, dikutip oleh Abdullah, 2012, p.172),
menyatakan bahwa, “Loyalitas adalah dedikasi yang tinggi untuk pembelian
ulang atau penggunaan ulang produk atau jasa tertentu di masa mendatang secara
konsisten dan secara otomatis menyebabkan pembelian ulang terhadap merek
yang sama”. Dalam kaitannya dengan loyalitas toko, loyalitas dapat dicerminkan
melalui niat untuk melakukan kunjungan kembali ke toko untuk berbelanja.
2. Attitudinal loyalty
Menurut Aaker (1991, dikutip oleh Kurniawan, p.46), attitudinal loyalty berarti
komitmen psikologis terhadap suatu merek. Definisi attitudinal dari brand loyalty
mengacu pada pengukuran berdasarkan pada preferensi merek atau niat
konsumen. Menurut Chaudhuri dan Holbrook, attitudinal brand loyalty meliputi
tingkat komitmen disposisional dalam hal nilai yang unik yang terkait dengan
merek. Attitudinal brand loyalty dinilai dengan niat dari word-of-mouth dan
kerelaan untuk membayar pada harga premium (Kurniawan, p.46). Menurut Pepe,
Abratt, dan Dion (2011, p.28), attitudinal loyalty penting karena menunjukkan
kecenderungan perilaku tertentu, seperti kemungkinan penggunaan di masa depan
atau bagaimana besar kemungkinan bahwa pelanggan akan merekomendasikan
31
perusahaan untuk teman-teman mereka atau koleganya. Untuk perusahaan,
kesetiaan pelanggan menjadi lebih bermakna hanya ketika hal tersebut
diterjemahkan ke dalam perilaku pembelian. Pure attitudinal loyalty tanpa
behavioural loyalty mungkin dapat memberikan return yang terbatas atau tidak
ada sama sekali bagi perusahaan.
Corstjens dan Lal (2000, dikutip oleh Pepe, Abratt, dan Dion, 2011, p.28)
menunjukkan bahwa store brand yang berkualitas berperan dalam membangun
loyalitas toko.
2.4.2 Manfaat Store Loyalty
Menurut Rahmawati (2013, p.120), loyalitas konsumen terhadap private label
juga dapat mengurangi persaingan yang ketat diantara peritel selama beberapa tahun
belakangan ini. Apabila pelanggan merasa puas, mereka tidak hanya akan menjadi
pelanggan setia, tetapi juga akan merekomendasikan kepada teman dan kolega
bisnisnya.
2.5 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini meliputi variabel laten private label, value consciousness, store
traffic, dan store loyalty. Definisi private label di dalam penelitian ini adalah merek
yang dimiliki oleh Carrefour Indonesia, dimana produk private label diproduksi oleh
pihak ketiga (produsen kontrak) dan hanya tersedia di gerai peritel terkait. Biasanya
private label ditawarkan dengan harga yang lebih murah dibanding produk national
32
brand namun tidaklah kalah secara kualitas, hanya kemasan saja yang berbeda.
Umumnya produk private label hadir dengan kemasan yang lebih sederhana
dibanding produk national brand. Variabel private label terdiri dari empat dimensi
yang menjadi dasar pengukuran, yaitu product, price, place, dan promotion; dengan
indikator untuk mengukurnya, yaitu: 1) variasi barang; 2) mutu produk; 3) kestabilan
harga; 4) tingkat harga; 5) lokasi yang mudah dijangkau; 6) waktu tempuh yang
diperlukan untuk sampai ke gerai peritel; 7) potongan harga/diskon khusus; 8) hadiah
langsung; dan 9) informasi yang dapat dipercaya.
Definisi value consciousness dalam penelitian ini adalah suatu proses dimana
konsumen melihat sebuah produk dengan membandingkan seberapa baik suatu
produk tersebut melakukan fungsinya dengan harga yang harus dikorbankan untuk
mendapatkan produk tersebut. Variabel value consciousness meliputi tujuh indikator
yang mengukurnya, yaitu: 1) fokus terhadap harga murah tapi juga kualitas; 2)
konsumen akan membandingkan harga dari beberapa merek untuk memastikan
bahwa mereka akan benar-benar akan mendapatkan produk yang tepat dengan uang
yang mereka korbankan; 3) konsumen selalu berusaha untuk mendapatkan kualitas
terbaik dengan uangnya; 4) konsumen selalu memastikan mereka akan mendapatkan
sesuatu yang berharga; 5) konsumen selalu berkeliling untuk mendapatkan harga
termurah tapi dengan tetap memperhatikan kualitas; 6) konsumen selalu
membandingkan informasi tentang harga produk yang akan dibelinya; dan 7)
Konsumen selalu mengecek harga pada toko atau peritel yang benar-benar
memberikan nilai terbaik dengan uang yang dimilikinya.
33
Definisi store traffic di dalam penelitian ini adalah lalu lintas toko atau tingkat
kedatangan konsumen ke gerai Carrefour Indonesia. Variabel store traffic terdiri dari
empat dimensi yang menjadi dasar pengukuran, yaitu aksesibilitas, atmosphere,
lingkungan, dan personil; dengan indikator yang mengukurnya, yaitu: 1) jam operasi
toko; 2) kelancaran arus lalu lintas; 3) banyaknya sarana transportasi; 4) pencahayaan
toko; 5) tata letak rak yang disusun rapi; 6) lingkungan sekitar yang aman; 7)
kebersihan di sekitar toko; 8) pengetahuan pramuniaga; dan 9) pramuniaga yang
ramah dan sopan.
Definisi store loyalty di dalam penelitian ini adalah suatu kondisi dimana
pelanggan suka dan terbiasa mengunjungi toko yang sama untuk membeli suatu jenis
barang dagangan. Hal tersebut merupakan karakteristik konsumen yang berharga bagi
peritel karena sekali konsumen berada di toko, ia akan cenderung untuk membeli
sebagian besar produk di dalam toko, bahkan jika ada perbedaan harga pada barang
tertentu dibandingkan dengan peritel lain. Variabel store loyalty terdiri dari dua
dimensi yang menjadi dasar pengukuran, yaitu behavioral loyalty dan attitudinal
loyalty.; dengan indikator yang mengukurnya, yaitu: 1) niat pembelian
ulang/kunjungan kembali ke toko; 2) word-of-mouth; dan 3) kesediaan untuk
membayar pada harga premium.
Hubungan-hubungan yang terjadi diantara variabel yang diteliti terkait dengan
tujuan penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
Hubungan private label dengan value consciousness
34
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fin dan Suh (2005, p.63), ditemukan
bahwa kesadaran nilai (value consciousness) adalah variabel yang paling relevan
terhadap niat pembelian private label. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Rahmawati (2013, pp.119-129), ditemukan bahwa value consciousness
memengaruhi niat pembelian. Lebih lanjut, value consciouness meningkatkan niat
pembelian produk private label. Kemampuan konsumen untuk membandingkan
harga produk private label, dengan sendirinya konsumen akan sadar bahwa
produk private label selalu lebih murah dibanding dengan produk national brand.
Hubungan value consciousness dengan store traffic
Menurut Bao dan Mandrik (2004, p.707), value consciousness mencerminkan
perhatian konsumen yang berhubungan dengan harga yang dibayarkan dibanding
kualitas yang diterima di dalam suatu pembelian. Bagi konsumen yang sadar akan
nilai, produk private label mampu menawarkan sesuatu yang lebih dibanding
produk national brand. Dan karena kekhususan produk private label yang hanya
dapat dijumpai pada gerai peritel terkait, maka hal tersebut dapat meningkatkan
lalu lintas toko. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Beneke (2010,
dikutip oleh Prasanth, 2013, pp.2-3), konsumen biasanya akan mengunjungi gerai
peritel, dimana preferensi merek mereka tersedia dengan baik.
Hubungan store traffic dengan store loyalty
Menurut Anic dan Vouk (2005, p.634), karena tingkat penjualan peritel modern
ditentukan oleh lalu lintas toko dan bukan oleh rata-rata pengeluaran per pembeli,
maka peritel harus fokus untuk meningkatkan lalu lintas toko dan kemudian hal
35
tersebut akan berlanjut pada terciptanya loyalitas toko. Menurut Aaker (1991),
terdapat dua dimensi dari brand loyalty, yaitu behavioral dan attitudinal loyalty.
Sedangkan dalam menilai loyalitas toko, kita bisa mengamati frekuensi pembelian
maupun tingkat kedatangan .
Hubungan private label dengan store traffic
Susanti (2012, p.76) mendefinisikan, “Private label adalah produk yang
mereknya didesain dan dikembangkan dengan nama pengecer bersangkutan dan
hanya dijual oleh perusahaan tersebut”. Karena produk private label hanya dapat
dijumpai pada gerai peritel terkait, maka bila konsumen hendak membeli produk
private label, konsumen tersebut harus langsung mengunjungi gerai peritel yang
bersangkutan. Beberapa sumber pun mengatakan bahwa produk private label
dapat meningkatkan lalu lintas toko (store traffic).
Hubungan private label dengan store loyalty
Pengaruh antara private label dengan store loyalty didukung oleh pernyataan
Labeaga et. al. (1997, dikutip oleh Beneke, 2010, p.206):
“contend that private label assits building loyalty by differentiating the
retailer. These brands are available at one retailer exclusively whilst
manufacturer brand are available at may competing outlet. Reguler
consumers of private label brand are confronted with psychological costs
when switching retailer as their preferred private label choice is no longer
available”.
Menurut Berges dan Orozco (2010, p.262), loyalitas terhadap toko adalah
karakteristik konsumen yang berharga bagi peritel karena sekali konsumen di
toko, ia lebih cenderung untuk membeli sebagian besar produk dalam toko,
bahkan jika ada perbedaan harga pada barang tertentu dibandingkan dengan
36
peritel lain. Selain itu, menurut Abdullah (2012, p.172), “Saat ini, banyak peritel
tertarik mengembangkan store brand dikarenakan potensinya yang tinggi untuk
mendapatkan konsumen yang loyal”.
Berdasarkan hubungan-hubungan antar variabel penelitian tersebut di atas,
maka peneliti mengajukan model yang menggambarkan hubungan diantara private
label, value consciousness, store traffic, dan store loyalty sebagai berikut.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Sumber: Dikembangkan berdasarkan Penelitian Fin dan Suh (2005), Abdullah
(2012), dan Rahmawati (2013)
2.6 Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, peneliti akan menguji pengaruh-
pengaruh dalam penelitian ini ke dalam bentuk tujuh hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 1: Pengaruh langsung private label terhadap value consciousness
Value
Consciousness Private
Label
Store
Traffic
Store
Loyalty
PL1
PL2
..
PL8
PL9
VC1 … VC7 ST1 ... ST9 SL1 SL2 SL3
37
H0: Private label tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap
value consciousness
H1: Private label memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap value
consciousness
Hipotesis 2: Pengaruh langsung value consciousness terhadap store traffic
H0: Value consciousness tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan
terhadap store traffic
H1: Value consciousness memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap
store traffic
Hipotesis 3: Pengaruh langsung private label terhadap store traffic
H0: Private label tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap
store traffic
H1: Private label memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap store
traffic
Hipotesis 4: Pengaruh langsung store traffic terhadap store loyalty
H0: Store traffic tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap
store loyalty
H1: Store traffic memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap store
loyalty
Hipotesis 5: Pengaruh langsung private label terhadap store loyalty
38
H0: Private label tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap
store loyalty
H1: Private label memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap store
loyalty
Hipotesis 6: Pengaruh tidak langsung private label terhadap store traffic
H0: Private label tidak memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan
terhadap store traffic
H1: Private label memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan terhadap
store traffic
Hipotesis 7: Pengaruh tidak langsung private label terhadap store loyalty
H0: Private label tidak memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan
terhadap store loyalty
H1: Private label memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan terhadap
store loyalty