Upload
ngotu
View
230
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Aliran Air di Saluran Terbuka
Aliran air dapat terjadi pada saluran terbuka maupun pada saluran tertutup (pipe flow).
Pada saluran terbuka, aliran air akan memiliki suatu permukaan bebas yang berkaitan
langsung dengan parameter-parameter aliran seperti, kecepatan, kekentalan, gradien dan
geometri saluran.
Tipe Aliran pada saluran terbuka yaitu:
1. Aliran Tunak (Steady Flow)
Perubahan volume terhadap waktu tetap 0/ tQ
Perubahan Kedalaman terhadap waktu tetap 0/ th
Perubahan Kecepatan terhadap waktu tetap 0/ zv
2. Aliran Tak Tunak (Unsteady Flow)
Perubahan volume terhadap waktu tidak tetap 0/ tQ
Perubahan Kedalaman terhadap waktu tidak tetap 0/ th
Perubahan Kecepatan terhadap waktu tidak tetap 0/ zv
3. Aliran Merata (Uniform Flow)
Besar dan arah kecepatan tetap terhadap jarak 0/ sQ
Aliran dengan penampang sama 0/ sv
Variabel fluida lain juga tetap 0/ zh
4. Aliran Tidak Merata (Non Uniform Flow)
Aliran dengan penampang tidak sama 0/ sQ
Pengaruh pembendungan dan variabel fluida lain juga tetap 0/ th
Hydraulik jump 0/ sv
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-2
2.1.1 Perilaku Aliran
Tipe perilaku aliran dapat di bedakan dengan bilangan Froude. Menurut bilangan
Froude tipe aliran dapat di bedakan menjadi 3 yaitu:
Aliran kritis, jika bilangan Froude sama dengan satu (Fr=1) dan gangguan permukaan
misal, akibat riak yang terjadi akibat batu yang di lempar ke dalam sungai tidak akan
bergerak menyebar melawan arah arus
Aliran subkritis, jika bilangan Froude lebih kecil dari satu (Fr<1). Untuk aliran
subkritis, kedalaman biasanya lebih besar dan kecepatan aliran rendah (semua riak
yang timbul dapat bergerak melawan arus).
Aliran superkritis, jika bilangan Froude lebih besar dari satu (Fr>1). Untuk aliran
superkritis, kedalaman aliran relatif lebih kecil dan kecepatan relatif tinggi (segala riak
yang di timbulkan dari suatu gangguan adalah mengikuti arah arus).
Persamaan untuk menghitung bilangan Froude yaitu:
hg
UFr
.
Dimana: Fr = bilangan Froude
U = kecepatan aliran (m/dtk)
g = percepatan gravitasi (m/dtk2)
h = kedalaman aliran (meter)
Selain itu juga tipe aliran dapat di bedakan menggunakan bilangan Reynolds. Menurut
Bilangan Reynolds tipe aliran di bedakan sebagai berikut:
Aliran Laminer adalah suatu tipe aliran yang ditunjukkan oleh gerak partikel-partikel
cairan menurut garis-garis arusnya yang halus dan sejajar. Dengan nilai bilangan
Reynolds lebih kecil dari dua ribu (Re<2000).
Aliran Turbulen mempunyai nilai bilangan Reynolds antara dua ribu sampai empat
ribu (2000 = Re = 4000), aliran ini tidak mempunyai garis-garis arus yang halus dan
sejajar sama sekali.
Aliran Transisi biasanya paling sulit diamati dan nilai bilangan Re lebih besar dari
empat ribu (Re>4000).
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-3
Persamaan untuk menghitung bilangan Reynolds yaitu:
v
lU .Re
Dimana: Re = bilangan Reynolds
U = kecepatan aliran (m/dtk)
l = panjang karakteristik (meter)
v = viskositas kinematik (m2/dtk)
2.1.2 Regime Aliran
Regime aliran yang mungkin terjadi pada saluran terbuka adalah sebagai berikut:
a. Subkritis-Laminer
Apabila nilai bilangan Froude lebih kecil daripada satu dan nilai bilangan Reynolds
berada pada rentang laminer
b. Superkritis-Laminer
Apabila nilai bilangan Froude lebih besar daripada satu dan nilai bilangan Reynolds
berada pada rentang laminer
c. Superkritis-Turbulent
Apabila nilai bilangan Froude lebih besar daripada satu dan nilai bilangan Reynolds
berada pada rentang laminer
d. Subkritis-Turbulent
Apabila nilai bilangan Froude lebih kecil daripada satu dan nilai bilangan Reynolds
berada pada rentang turbulent
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-4
2.2 Distribusi Kecepatan
Distribusi kecepatan untuk tiap bagian pada saluran tidak sama, distribusi kecepatan
tergantung pada : (i) bentuk saluran, (ii) kekasaran saluran, dan (iii) kondisi kelurusan
saluran. Dalam penggunaan curent meter pengetahuan mengenai distribusi kecepatan ini
amat penting. Hal ini bertalian dengan penentuan kecepatan aliran yang dapat dianggap
mewakili rata-rata kecepatan pada bidang tersebut.
Dari hasil penelitian “United Stated Geological Survey” aliran air di saluran (stream) dan
sungai mempunyai karakteristik distribusi kecepatan sebagai berikut :
1. Kurva distribusi kecepatan pada penampang melintang berbentuk parabolik
2. Lokasi kecepatan maksimum berada antara 0,05 s/d 0,25 h kedalam air dihitung
dari permukaan aliran
3. Kecepatan rata-rata berada 0,6 kedalaman di bawah permukaan air
4. Kecepatan rata-rata 85 % kecepatan permukaan
5. Untuk memperoleh ketelitian yang lebih besar dilakukan pengukuran secara
mendetail ke arah vertikal dengan menggunakan integrasi dari pengukuran-
pengukuran tersebut dapat dihitung kecepatan rata-ratanya. Dalam pelaksanaan
kecepatan rata-rata dapat diperoleh dengan :
a. mengukur kecepatan pada titik 0,6h kedalaman
kecepatan rata-rata = kecepatan pada titik tersebut
b. mengukur kecepatan pada titik 0,2h kedalaman dan 0,8h kedalaman
kecepatan rata-rata = 0,5*(kecepatan pada 0,2 h + kecepatan pada 0,8h)
c. mengukur kecepatan pada titik pengukuran 0,2 h ; 0,6h dan 0,8h.
kecepatan rata-rata = 0,5*(kecepatan 0,2 h + 2*kecepatan 0,6h + kecepatan 0,8h)
Perlu diingat bahwa distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak sama arah horisontal
maupun arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran pada tepi alur tidak sama dengan
tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air tidak sama dengan kecepatan pada
dasar alur. Berikut ini disajikan gambar distribusi kecepatan aliran:
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-5
Gambar 2.1 Distribusi Kecepatan Aliran
Keterangan :
a : teoritis
b : dasar saluran kasar dan banyak tumbuhan
c : gangguan permukaan (sampah)
d : aliran cepat, aliran turbulen pada dasar
e : aliran lambat, dasar saluran halus
f : dasar saluran kasar/berbatu
2.3 Mengukur Kecepatan Aliran
Pada prinsipnya kecepatan aliran dapat diukur dengan dua metode, yaitu:
1. Metode apung
2. Metode current-meter
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-6
2.3.1 Pengukuran Kecepatan dengan Metode Apung
Prinsip pengukuran kecepatan metode apung adalah :
Kecepatan aliran (U) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U)
Dengan U = Up x k
Dimana: Up = kecepatan pelampung (m/dtk)
k = koefisien pelampung
Berikut ini akan di sajikan gambar jenis-jenis pelampung :
Gambar 2.2 Jenis-Jenis Pelampung
2.3.2 Pengukuran Kecepatan dengan Metode Currentmeter
Ada dua tipe current-meter yaitu tipe baling-baling (proppeler type) dan tipe canting (cup
type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai tidak sama baik arah vertikal
maupun horisontal, maka pengukuran kecepatan aliran dengan alat ini tidak cukup pada
satu titik.
Pada penelitian ini kecepatan aliran akan di ukur dengan menggunakan metode
currentmeter. Prinsip pengukuran kecepatan pada metode ini yaitu, current-meter
diturunkan kedalam aliran air dengan kecepatan penurunan yang konstan dari permukaan
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-7
dan setelah mencapai dasar sungai diangkat lagi ke atas dengan kecepatan yang sama. Ada
4 cara pengukuran kecepatan aliran yang disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Cara Pengukuran Kecepatan Aliran
Tipe Kedalaman
saluran (m)
Titik kedalaman
pengukuran
Kecepatan Rata-Rata(U )
1 titik 0,0 – 0,6 0,6 h U = U0.6h
2 titik 0,6 – 3,0 0,2 h; 0,8 h U = 0.5* (U0.2h +U0.8h)
3 titik 3,0 – 6,0 0,2 h; 0,6 h; 0,8 h U = 0.25* (U0.2h+ U0.6h +U0.8h)
5 titik > 6,0 S; 0,2 h; 0,6 h; 0,8 h dan B
U = 0.1* (US+U0.2h+ U0.6h +U0.8h+UB)
Keterangan : - US di ukur 0,3 m dari permukaan air
- UB di ukur 0,3 m di atas dasar sungai
Kecepatan aliran dihitung berdasarkan jumlah putaran baling-baling per waktu putarnnya.
Dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
bt
NaU
dimana :
N = jumlah putaran baling-baling
t = waktu putaran baling-baling
a dan b adalah nilai kalibrasi alat current-meter
2.4 Menghitung Luas Penampang Aliran
Pengukuran luas penampang aliran dilakukan dengan membuat profil penampang
melintangnya dengan cara mengadakan pengukuran kearah horizontal (lebar aliran) dan
kearah vertikal (kedalam aliran). Luas aliran merupakan jumlah luas tiap bagian (segment)
dari profil yang terbuat. Ada dua cara menghitung luas penampang melintang yaitu:
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-8
1. Mean Section Method
Gambar 2.3 Penampang Mean Section Method
- Menghitung luas penampang:
11
2 nnn
n xbdd
a
dimana:
dn = kedalaman sungai ke n
dn+1 = kedalaman sungai ke n+1
bn+1 = lebar seksi n
- Menghitung kecepatan :
2
1nnn
dimana:
vn = kecepatan pada seksi ke n
vn+1 = kecepatan pada seksi ke n+1
- Menghitung debit seksi(q) :
qn = n x na
dimana:
n = kecepatan rata-rata seksi n
na = luas seksi n
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-9
- Menghitung debit sungai (Q) :
n
iiqQ
1
2. Mid Section Method
Gambar 2.4 Penampang Mid Section Method
- Menghitung luas penampang :
nnn
n xdbb
a2
1
dimana :
bn = lebar sungai ke n
bn+1 = lebar sungai ke n+1
dn = kedalaman seksi ke n
- Menghitung debit seksi(q) :
qn = n x na
dimana:
n
= kecepatan rata-rata seksi n
na = luas seksi n
- Menghitung debit sungai(Q) :
n
iiqQ
1
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-10
2.5 Sungai
Sungai ialah media pengangkut utama yang membawa sedimen dari daratan ke lautan, di
mana sedimen tadi akan diendapkan atau terus diangkut ke laut dalam. Namun tidak semua
sedimen yang dihasilkan ini diangkut ke laut, tetapi sebagian akan terendap di daratan di
bawah pengaruh proses sungai itu sendiri. Morfologi sungai menurut Miall(1977) dapat
dibagi menjadi 5 yaitu :
1. Sungai Lurus (straight)
2. Sungai Sinuous
3. Sungai Berburai (braided)
4. Sungai Berliku (meandering)
5. Sungai Anastomosing
Gambar 2.5 Jenis – Jenis Sungai
Berikut ini di sajikan gambar distribusi ukuran sedimen dan jenis angkutan sedimen pada
sungai yaitu:
Gambar 2.6 Diagram Distribusi Ukuran Sedimen dan Jenis Angkutan Sedimen pada Sungai
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-11
Gambar 2.7 Sungai Lurus dan Sungai Berliku
Gambr 2.8 Sungai Anastomosing dan Sungai Berburai
Pola alur sungai yang utama ialah sungai lurus, sungai berliku dan sungai berburai. Sungai lurus jarang dijumpai dan jika adapun cuma untuk jarak yang dekat saja. Namun terdapat sejenis sungai yang terletak di perantaraan, di antara sungai lurus dan sungai berliku, yaitu sungai sinuous.
Sungai anastomosing dianggap sebagai jenis khas dari sungai berburai, yang mana pulau-pulau yang memisahkan alur sungainya adalah tetap/stabil. Sungai berburai dan sungai anastomosing dibedakanberdasarkan kepada kestabilan deltaatau pulau-pulau yang memisahkan alur sungai.
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-12
2.6 Gerakan Awal Angkutan Sedimen
Pergerakan awal angkutan sedimen adalah fungsi dari tegangan geser kritis ( cr, critical
shear stress), kecepatan kritis (Ucr, critical velocity) dan gaya angkat.
Tegangan geser kritis ini ada dua macam, yaitu :
1. Gaya yang bekerja (applied forces)
Gaya aliran dan komponen berat partikel dalam arah ke bawah dalam keadaan
terendam.
2. Gaya penahan (resisting forces)
Komponen berat partikel terendam lurus terhadap dasar dan gaya – gaya yang
timbul antar partikel di sekelilingnya.
Gambar 2.9 Gaya-gaya yang Bekerja pada Suatu Partikel
Dalam suatu partikel sedimen, gaya-gaya bekerja yaitu :
1. Drag force yang bekerja sejajar terhadap dasar
2. Gaya lain yang bekerja tegak lurus tehadap dasar yang dapat mengangkat
butiran, yang disebabkan oleh :
a. Perbedaan kecepatan di atas dan di bawah butiran yang menimbulkan
gradien tekanan yang cenderung akan mengangkat butiran.
b. Pusaran turbulen yang menimbulkan komponen kecepatan lokal yang
bekerja ke atas di dekat dasar.
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-13
2.7 Perhitungan Angkutan Sedimen
Angkutan sedimen dasar merupakan fungsi dari kapasitas transport aliran. Tujuan
perhitungan angkutan sedimen ini yaitu memberikan jumlah maksimum material yang
dapat diangkut untuk kondisi aliran dan jenis sedimen tertentu.
Ada beberapa formula dalam perhitungan angkutan sedimen:
1. Menurut Van Rijn (1984)
a. Untuk angkutan sedimen dasar (sb)
1,250
2,5
0,550 1..
0,005.. h
d
sdg
UU
hU
s crb
b. Untuk angkutan sedimen tersuspensi (ss)
0,6*
50
2,4
0,550
.1..
0,012..
dh
d
sdg
UU
hU
s crs
Dimana : sb : volume transpor sedimen dasar (m2/detik)
ss : volume transpor sedimen tersuspensi (m2/detik)
h : kedalaman aliran (meter)
s : berat spesifik butiran
Rb : jari–jari hidrolis terhadap dasar (meter)
U : kecepatan aliran (m/detik)
Ucr : kecepatan rata – rata kritis aliran (m/detik)
Selanjutnya kecepatan kritis aliran dihitung dengan formula Van Rijn (1984).
1. Untuk 0,5 = d50 = 2,0 mm digunakan rumus :
90
0,650 3.
12..8,5.
d
RdU b
cr log
2. Untuk 0,5 = d50 = 2,0 mm
90
0,650 3.
12..8,5.
d
RdU b
cr log
3. Untuk 0,1 = d50 = 0,5 mm
90
0,150 3.
12..0,19.
d
RdU b
cr log
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-14
Dimana : Ucr : kecepatan rata – rata kritis aliran (m/detik)
d50 : diameter butiran dengan 50% butiran lolos saringan (meter)
d90 : diameter butiran dengan 90% butiran lolos saringan (meter)
Rb : jari-jari hidrolis terhadap dasar (meter)
P
ARb
A : luas basah penampang (meter2)
P : keliling basah penampang (meter)
2.8 Gerusan
Gerusan adalah merupakan erosi pada dasar dan tebing saluran alluvial (Hoffmans and
Verheij, 1997). Gerusan merupakan proses semakin dalamnya dasar sungai karena
interaksi antara aliran dengan material dasar sungai. Proses penggerusan akan terjadi
secara alami, baik karena pengaruh morfologi sungai seperti tikungan sungai atau
penyempitan aliran sungai, atau pengaruh bangunan hidraulika yang menghalangi aliran
seperti abutment jembatan. (Legono, 1990).
Gerusan yang terjadi pada abutment maupun pilar jembatan adalah merupakan gerusan
total (total scour), yaitu kombinasi antara gerusan lokal (local scour) dan gerusan umum
(general scour). Bisa juga kombinasi antara gerusan lokal, gerusan umum dan gerusan
terlokalisir atau penyempitan (localized scour/constriction scour). Gerusan lokal yang
terjadi disekitar abutment jembatan ataupun pilar disebabkan oleh sistem pusaran air
(vortex system) karena adanya gangguan pola aliran akibat rintangan, dan gerusan
terlokalisir terjadi karena adanya penyempitan penampang sungai oleh adanya penempatan
bangunan hidraulika (Yulistiyanto dkk., 1998). Sedangkan gerusan umum yang terjadi
melintang sungai di sepanjang saluran yang menyebabkan degradasi dasar disebabkan oleh
energi dari aliran air, (Raudkivi dan Ettema, 1983).
Proses gerusan ini bisa menyebabkan erosi dan degradasi disekitar bukaan jalan air (water
way openning) suatu jembatan. Degradasi ini berlangsung secara terus menerus hingga
dicapai keseimbangan antara suplai dan angkutan sedimen yang saling memperbaiki.
Apabila suplai sedimen dari hulu berkurang atau jumlah angkutan sedimen lebih besar
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-15
daripada suplai sedimen, maka bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan yang begitu
menyolok antara degradasi dan agradasi di lokasi dasar jalan air jembatan. Sehingga
lubang gerusan (scour hole) pada abutment maupun pilar jembatan akan lebih dalam bila
tidak terdapat atau kurangnya suplai sedimen. Demikian juga apabila tidak terdapat
bangunan pengendali gerusan di sekitar abutment ataupun pilar, maka dalamnya gerusan
tidak bisa direduksi, sehingga kedalaman gerusan bisa mencapai maksimum. Hal ini bisa
menyebabkan rusaknya abutment maupun pilar jembatan, seperti yang pernah terjadi pada
kasus Jembatan Srandakan Sungai Progo di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk
itu, maka perlu adanya kajian laboratorium mengenai gerusan total yang terjadi di sekitar
abutment jembatan.
Gambar 2.10 Keruntuhan Jembatan yang Melewati Sungai
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-16
2.8.1 Jenis- Jenis Gerusan
Gerusan yang terjadi pada sungai dapat di golongkan menjadi 3 yaitu:
1. Gerusan umum (general scour)
Yaitu bertambah dalamnya dasar saluran sungai akibat interaksi yang terjadi antara aliran
yang terjadi pada sungai dengan material dasar sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya
angkutan sedimen pada sungai, yang dapat di bagi menjadi:
Angkutan sedimen dasar adalah pergerakan material lepas dasar sungai yang
bergerak mengelinding, bergeser atau melompat-lompat di dasar sungai atau
saluran akibat gaya seret aliran.
Angkutan sedimen layang adalah pergerakan material lepas yang berasal dari dasar
sungai atau hasil kikisin permukaan daerah tangkapan hujan, bergerak melayang
bersama aliran dan dapat mengendap jika gaya berat material tersebut lebih besar
daripada kombinasi gaya angkat air dan gaya akibat turbulensi aliran.
Angkutan sedimen kikisan adalah pergerakan material lepas yang berasal dari hasil
kikisan permukaan daerah tangkapan hujan, bergerak melayang bersama aliran,
sukar mengendap, kecuali ditampungan waduk atau muara sungai.
2. Gerusan lokal (local scour)
Gerusan lokal atau penggerusan setempat adalah penggerusan pada dasar atau tebing
sungai yang terjadi setempat di sekitar bangunan akibat peningkatan energi dan turbulensi
aliran karena gangguan bangunan atau gangguan alami. Gerusan lokal dapat dibagi
menjadi dua yaitu:
Kondisi tidak ada angkutan sedimen (clear water scour)
Yaitu pergerakan sediment hanya terjadi pada sekitar abutmen yang timbul akibat tegangan
geser yang terjadi lebih besar daripada tegangan gesar kritis, yang dapat dibedakan
menjadi:
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-17
a.. Untuk 5,0crU
U
yaitu, kondisi gerusan lokal tidak terjadi dan proses transportasi sedimen tidak terjadi.
b. Untuk 0,15,0crU
U
yaitu, kondisi gerusan lokal terjadi menerus dan proses transportasi sedimen tidak
terjadi.
Kondisi ada angkutan sedimen (live bed scour)
Terjadi akibat adanya perpindahan sediment yaitu jika 0,1crU
U
3. Gerusan akibat adanya penyempitan di alur sungai (constraction scour)
Gerusan ini terjadi akibat perubahan bentuk morfologi sungai yang semakin menyempit
yang sebagian besar di akibatkan adanya bangunan air.
2.9 Parameter yang Berhubungan dengan Gerusan pada Abutment
Parameter yang berhubungan dengan fenomena gerusan yang terjadi pada abutment bisa
di golongkan sebagai berikut:
Parameter yang berhubungan dengan geometri saluran yaitu: lebar, bentuk
potongan melintang dan kemiringan saluran.
Parameter yang berhubungan dengan abutment yaitu : ukuran, bentuk, orientasi
yang berhubungan dengan aliran utama dan kondisi permukaan.
Parameter yang berhubungan dengan angkutan sedimen yaitu: ukuran rata-rata,
distribusi ukuran butiran, massa jenis, letak kemiringan sedimen pada saluran dan
sifat kohesif.
Parameter yang berhubungan dengan kondisi aliran yaitu: kecepatan rata-rata
aliran, kedalaman aliran, kecepatan geser dan kekasaran.
Waktu dari penggerusan adalah sebagai parameter tambahan dalam pembentukan
lubang gerusan.
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-18
2.9.1 Abutment
Abutment jembatan adalah struktur di ujung-ujung jembatan yang berfungsi sebagai kaki
jembatan untuk menyalurkan beban, dalam hal ini struktur tersebut masuk ke dalam
sungai. Terdapat berbagi jenis abutment, dimana pemilihan jenis abutment di dasarkan
pada analisis kebutuhan kekuatan, analisis ekonomi, analisis lingkungan dan analisis
lainnya Macam – macam model abutment disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Macam-macam model abutment
Gambar 2. 11 Faktor Koreksi untuk Kemiringan Abutment terhadap Aliran (Sumber HEC 18, 1995)
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-19
Pada penelitian ini model abutment yang digunakan adalah 45° wing-wall dengan tinggi 40
cm yang disajikan sebagai berikut:
°
Gambar 2.12 Pola Pergerakan Aliran pada Abutmen
Gambar 2.13 Abutment Jembatan yang Melewati Sungai
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-20
2.10 Analisis Perhitungan Gerusan pada Abutment
2.10.1 Analisis Nondimensional
Dengan menggunakan prinsip fisika, berbagai peneliti mengkombinasikan parameter dari
kedalaman gerusan pada abutment didalam formula nondimensional yang berbeda-beda,
seperti formula Garde dkk (1961):
di mana,
Dengan mengabaikan efek dari viskositas, Melville(1992) memberikan parameter
nondimensional sebagai berikut:
di mana,
Sturm&Janjua (1994) menggunakan penggantian ratio konstruksi dari ratio konstruksi
saluran untuk mengambarkan penggerusan vertikal pada dinding abutment yang
memberikan parameter nondimensional sebagai berikut:
di mana, , dan = penggantian ratio konstruksi, di definisikan
sebagai ratio pengantian pada awal pendekatan parameter sampai dengan total
penggantian.
Lim (1997) memberikan parameter nondimensional untuk penggerusan vertikal pada
dinding abutment dengan mengabaikan efek konstruksi saluran, yaitu:
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-21
2.10.2 Pendekatan Empiris
Pada pendekatan empiris, parameter yang berhubungan dengan kealaman gerusan pada
abutment berkaitan erat dengan analisis dimensional. Dimana pengembangan rumus-rumus
kedalaman gerusan pada abutment, dengan menggunakan regresi analisis data eksperimen
Liu dkk(1961) mengamati gerusan pada abutment berbentuk spill dan vertikal pada kondisi
clear-water scour adalah:
Untuk abutment berbentuk spill
Untuk abutment berdinding vertikal
Garde dkk (1961) mengembangkan hubungan untuk gerusan yang terjadi pada abutment
pada kondisi live-bed scour adalah:
Garde dkk(1963) melanjutkan penelitiannya dan memodifikasi persamaan di atas menjadi:
Dengan menggunakan data eksperimen dan rumus-rumus yang ada, Gill(1972)
memberikan persamaan untuk kedalaman gerusan pada abutment adalah:
Pada persamaan di atas di asumsikan c di bagi o pada kondisi live-bed scour. Gill(1972)
kemudian mengklasifikasikannya untuk tiga kategori jenis aliran:
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-22
Untuk kondisi clear water scour 0/ oc
Untuk kondisi angkutan sedimen transpor tinggi 0/ oc
Untuk kondisi kedalaman gerusan ds maksimum 0/ oc
Dengan nilai n bervariasi dari 1,5 sampai 3
Zaghloul&McCorquodale(1975), dengan memperhitungkan efek dari sudut yang dibentuk
abutment memberikan persamaan perhitungan garusan pada abutment:
Froelich (1989) menggunakan data penggerusan dari penelitian yang berbeda dengan
menggunakan metoda statistik dan mengembangkan persamaan kedalaman gerusan untuk
kondisi claer water scour dan live bed scour
Kondisi clear water-scour
Kondisi live-bed scour
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-23
2.10.3 Pendekatan Analitik
Laursen (1960,1963) mengembangkan metode analitik untuk menghitung kedalaman
gerusan abutment pada jembatan. Laursen menghubungkan kondisi clear water-scour
dangan live-bed scour pada abutment berdinding vertikal, yaitu:
Kondisi clear water-scour
Kondisi live-bed scour
Laursen mengasumsikan berturut-turut pada kondisi clear water-scour dangan live-bed
scour nilai 121d dan 11,5.
Berdasarkan persamaan kontinuitas, bentuk geometri abutmen, dan hukum-hukum yang
berlaku untuk pengangkutan endapan pada saluran terbuka, Lim (1997) menyatakan
hubungan kedalaman gerusan pada kondisi clear water scour pada abutment adalah:
Di mana,
Nilai Ks di peroleh dari Melville (1992) dan persamaan di atas berlaku untuk nilai X
sampai 2.22
Berdasarkan pada pendekatan Lim(1997), Lim & Cheng (1998) memberikan persamaan
pendekatan analitik untuk waktu rata-rata pada kondisi live-bed scour di abutment
bersayap adalah:
TUGAS AKHIR
GERUSAN YANG TERJADI DI SEKITAR ABUTMENT BERSAYAP PADA JEMBATAN II-24
Kandasamy&Melville(1998), mengembangkan hubungan antara kedalaman gerusan
maksimum pada pilar dan abutmen dengan aliran adalah:
Di mana,
K2= 5 , n=1 untuk h/l = 0,04
K2= 1 , n=0,5 untuk 0,04< h/l <1
K2= 1 , n=0 untuk h/l >1