Upload
others
View
43
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
26
BAB II
METODE PENERJEMAHAN KALIMAT DEKLARATIF
Penelitian ini mengkaji data dari novel “Al-Launu Al-A>khar” karya Abdul
Qudous tahun 1999. Novel ini diterjemahkan oleh Ali Gufron dengan judul “ An
Evening In Cairo (Cinta di Titik Nol)” pada tahun 2005 Data yang diambil
berupa kalimat deklaratif yang kemudian diklasifikasikan menurut Al-Ja>rim
(2007: 169). Dari klasifikasi tersebut data dibedakan lagi berdasarkan pola
susunan kalimat. Peneliti akan menentukan metode yang digunakan untuk
menerjemahkan setiap klasifikasi data.
Kalimat deklaratif merupakan salah satu jenis kalimat yang memiliki
makna menyampaikan berita. Kalimat berita disebut juga dengan kalimat
deklaratif. Al-Khuli (1982: 56) berpendapat kalimat deklaratif apabila
disepadankan ke dalam linguistik Arab menjadi kalam ikhbariyyah. Akan tetapi
dalam definisi terjadi perbedaan antara kalimat deklaratif dengan kalam khabar.
Apabila melihat dari definisi Al-Ja>rim (2007: 153), kalam khabar adalah kalimat
yang pembicaranya dapat dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta.
Sedangkan kalimat deklaratif merupakan kalimat yang menyampaikan informasi
tanpa melihat benar-salah informasi tersebut.
Adapun dalam penelitian ini data akan dibagi berdasarkan teori dari Al-
Ja>rim. Al-Ja>rim (2007: 169) membagi kalam khabar menjadi tiga jenis. Pada
penelitian ini ditemukan sebanyak 159 kalimat deklaratif Arab (kalam khabar)
yang dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Kalimat deklaratif kalam khabar
ibtida>i ditemukan sebanyak 82 kalimat, kalam khabar thalabi sebanyak 51
kalimat dan kalam khabar inkary sebanyak 16 kalimat.
27
kalam khabar
Kalam Khabar Ibtida>i
fi’liyyah ismiyyah
kalam khabar thalabi
fi’liyyah
ismiyyah
kalam khabar inkary
fi’liyyah ismiyyah
Menurut Ni‟mah (1988: 19) berdasarkan pola susunan kalimatnya, dari
setiap jenis kalam akan dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ismiyyah dan fi’liyyah,
begitu juga dengan kalam khabar. Apabila digambarkan dengan bagan menjadi
seperti berikut :
Bagan 2.1 pembagian kalam khabar
Analisis kalam khabar dilakukan berdasarkan pendapat Al-Ja>rim (2007:
153). Kemudian dianalisis berdasarkan pola susunan kalimatnya menurut Ni‟mah
(1988:19) seperti telah disebutkan pada bagan di atas.
A. Kalam Khabar Ibtida>i
Kalam khabar Ibtida>i merupakan suatu kalimat berita dimana mitra tutur
tidak mengetahui apapun tentang apa yang disampaikan penutur, sehingga mitra
tutur mendapatkan informasi baru dari penutur. Menurut Al-Ja>rim (2007: 169),
kalam khabar ibtida>-i yaitu kalam khabar yang bebas dari hukum yang
terkandung di dalam kalimat (yang akan diucapkan). Dalam kondisi demikian,
kalimat disampaikan tanpa disertai adat taukid atau penguat. Dalam BSu, dapat
28
dibedakan dengan memperhatikan ada atau tidak charf taukid. Jika tidak ada maka
itulah kalam khabar ibtida>-i. Berdasarkan pola susunan kalimatnya, Kalam
khabar Ibtida>i dibedakan menjadi dua, yaitu pola fi’liyyah dan pola ismiyyah.
1. Pola Fi’liyyah
Pola fi’liyyah atau lebih dikenal dengan Jumlah fi’liyyah merupakan
kalimat yang selalu diawali dengan kata kerja atau verba. Sebagaimana pendapat
Ni‟mah (1988: 19) yang menjelaskan jumlah fi’liyyah (kalimat verba) yaitu kalimat
yang dimulai dengan verba atau kata kerja. Jadi, Kalam khabar Ibtida>i yang
memakai pola jumlah fi’liyyah adalah kalimat berita yang disampaikan kepada
mitra tutur yang tidak mengetahui informasi dari penutur dan dimulai dengan verba.
Menurut Newmark (1988: 45) metode penerjemahan suatu teks ada dua,
SL emphasis (hasil penerjemahan menekankan pada TSu) dan TL emphasis (hasil
terjemah lebih menekankan pada TSa). Dari dua metode tersebut, penerjemah lebih
banyak mrnggunakan SL emphasis ketika menerjemahkan kalam khabar ibtida>-i
pola fi’liyyah tersebut. SL emphasis menurut Newmark (1988: 45) memiliki empat
indikasi penerjemahan yang digambarkan dalam diagram V, yaitu 1) word for
word translation, 2) literal translation, 3) faithful translation dan 4) semantic
translation.
a. Penerjemahan Kata demi Kata (Word for Word Translatio)
Ketika dalam proses penerjemahkan menggunakan metode word for word
maka hal yang dapat diperhatikan adalah penerjemahan perkata. Penerjemahannya
sama dan sesuai dengan kamus dan susunannya sesuai dengan TSu tanpa
memperhatikan konteksnya. Seperti pada contoh data berikut.
29
(1) Data nomor A.1
BSu :
الح و أ ن محة اي ك الحأ د ب أ س
Sa-abda-u al chika>yata min awwaliha> (Al-Qudu>s, 1999 : 7).
BSa :
Aku akan memulai cerita ini dari awal (Ghufron, 2005 : 7).
Pada data pertama di atas, merupakan kalimat yang diawali dengan fi’l
mudha>ri’ / kata kerja sekarang yaitu kata “أبدأ” /abda-u/ yang menurut Al-
Munawwir (1997: 63) berasal dari kata verba “بدأ” /bada-a/ yang berarti memulai.
Kata verba tersebut berubah menjadi kata verba sekarang atau dengan fi’l
mudha>ri’ karena ditambah huruf mudhara’ah “ا” /alif/ yang menunjukkan subyek
dari verba. Ghulayayni (2009: 161) menyebutkan apabila fi’l mudha>ri’ diambil
dari fi’l ma>dhi dan mendapat tambahan huruf mudha>ra’ah. Huruf mudha>ra’ah ada
empat, yaitu : “أ” /alif-hamzah/, “ت” /ta/, “ن” /nun/ dan “ي” /ya/.
Apabila lebih diperhatikan lebih jelas, metode yang digunakan adalah
word for word translation (terjemah kata per kata). Hal itu karena selain secara
kata per kata maknanya mengacu pada BSu, secara struktural kalimat pun disusun
berdasarkan sususan kalimat dalam BSu. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
BSu Makna kamus Hasil terjemahan
أ د ب أ -س
Sa-abda-u
Memulai (1997: 63) Aku akan
memulai
ة اي ك الح
al chika>yata
Cerita/kisah (1997: 287) Cerita ini
ن مح
min
Dari (1997: 1360) Dari
لحو أ
Awwali Yang awal(1997: 49) awal
اى
ha> Dia perempuan (1997: ) -nya
30
Tabel 2.1 makna leksikal data A.1
Setelah diterjemahkan dengan terjemah per kata (word for word
translation) yag diterjemah sesuai kamus, perhatikan data di bawah ini, yang
menerjemahkan setelah masuk dalam kalimat.
الح و أ ن محة اي ك الحأ د ب أ س
Sa Abda-u Alchikayata Min Awwaliha
1 2 3 4 5
Akan Memulai Cerita Dari Awal
1 2 3 4 5
Bagan 2.2 word for word translation
Dari tabel 2.1 di atas, makna leksikal Bsu diambil dari kamus Al-
Munawwir (1997). Makna yang dipakai penerjemahpun sama dengan makna
leksikal. Secara struktural pada TSa, penerjemah menyusunnya sesuai dengan
TSu. Sehingga kalimat tersebut menggunakan metode word for word. Kalimat di
atas merupakan kalimat berita bahwa penutur akan memulai cerita masa lalu atau
cerita tentang hidupnya dari awal. Mitra tutur, dalam hal ini adalah pembaca, tidak
mengetahui apapun tentang apa yang akan dituturkan oleh penutur. Mitra tutur
tidak mengetahui masa lalu penutur, tidak tahu tentang cerita hidup penutur.
Sehingga penutur tidak menggunakan kata atau kalimat taukid. Hal itu karena
mitra tutur percaya dengan informasi yang disampaikan mitra tutur. Sehingga
kalimat ini disebut kalam khabar ibtida>-i, karena mitra tutur belum mengetahui
informasi yang disampaikan dan tidak menggunakan charf taukid.
b. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
31
Pada proses penerjemahan yang menggunakan metode literal translation,
penerjemah mencari konstruksi gramatikal BSu yang sepadan atau dekat dengan
BSa. Penerjemahan harfiah ini terlepas dari konteks. Penerjemahan ini mula-mula
dilakukan seperti penerjemahan kata-demi-kata, tetapi penerjemah kemudian
menyesuaikan susunan kata-katanya sesuai dengan gramatikal BSa. Penerjemah
juga menggunakan metode ini dalam menerjemahkan kalimat ibtida-i yang
berpola fi’liyyah.
(2) Pada data A. 63
BSu : صحق ار فحن ن ي ابش ع م ص ق ر أ ت ن ك Kuntu arqushu ma’a sya>bun yajnunu fi ar-raqshi (Quddous, 1999:
17) BSa : “Aku berpasangan dengan seorang pemuda yang gila dansa”
(Ghufron, 2005: 21)
Pada data di atas, kalimat diawali oleh verba lampau “كنت” (kuntu)
sebagaimana yang diungkapkan dalam kamus Al-Munawwir (1997: 1241) yang
berasal dari كان ( ka>na ), kemudian berubah menjadi “كنت” /kuntu/ karena
bertambah subyek “أنا” /ana> / yang berarti saya. Dalam ilmu sharaf / morfologi
arab كان /ka>na/ merupakan Fi’l mu’tal. Fi’l mu’tal menurul Al-Ghulayayni
(2009: 39) adalah fi’l yang salah satu huruf aslinya berupa huruf ‘illah.
Ketika menerjemahkan teks data A.63 di atas, penerjemah menggunakan
metode literal translation atau penerjemahan harfiah. Hal itu bisa dilihat dengan
adanya sedikit perbedaan dalam menerjemahkanya dengan makna dari kamus
(word for word). Perhatikan tabel berikut.
Bsu Makna kamus BSa
ت ن ك Kuntu
Menjadi (1997: 1241) -
ص ق ر أ Menari (1997: 521) Aku berpasangan
32
Arqushu
ابش sya>ban
Kaum muda (Maurid,
2006:495)
Pemuda
ن ن ي yajnunu
Menjadi gelap/menjadi
gila (1997: 215)
Yang gila
فحfi
Dalam, di, (Maurid,
2006:697)
-
صحق ار ar-raqshi
Tarian (1997: 521) Dansa
Bagan 2.2 makna leksikal data A.63
Penerjemah menggunakan metode literal translation (terjemah harfiah)
yang lebih menekankan pada BSu. Penerjemah mencoba untuk menerjemahkan
per kata lebih dahulu kemudian menyesuaikan susunan kata-kata dalam BSu
sesuai dengan gramatikal BSa. Ketika menyesuaikan dengan gramatikal BSa, kata
“ ت ن ك ” /kuntu/ merupakan keterangan waktu lampau pada kalimat tersebut, bisa
diartikan „dahulu‟ karena menyesuaikan gramatikal BSa kata verba tersebut tidak
disampaikan. Selain itu, penerjemah mengubah makna “ ص ق ر أ ” /arqushu/ menjadi
„berpegangan‟, apabila diterjemahkan sesuai kamus Al Munawwir (1997: 521)
yaitu „menari‟ maka susunan kalimat menjadi terdengar ambigu. Kata verba “ ن ن ي ”
/yajnunu/ dalam BSa berubah fungsi menjadi sifat, bukan lagi sebagai verba.
Apabila diterjemahkan berdasarkan per-kata menjadi „Aku (telah) menari dengan
seorang pemuda yang dia gila tarian/dansa‟ kemudian penerjemah menyesuaikan
gramatikal dan sususan kata-kata dalam BSa sehingga kalimat yang muncul
menjadi „aku berpasangan dengan seorang pemuda yang gila dansa‟
Kalimat yang digunakan penerjemah juga berupa kalimat berita. Penutur
menyampaikan bahwa dia berdansa dengan seorang yang gila dansa. Kalimat
berita tersebut termasuk kalimat berita tidak langsung. Penuturnya adalah tokoh
33
“Mirfat”, sedangkan mitra tuturnya adalah tokoh ”Aku”. Hal ini disampaikan
Qudous (1999: 17) bahwa Mirfat memberitahu mitra tutur jika dia telah berdansa
dengan seorang pemuda yang sangat gila dansa. Tidak ada taukid pada kalimat di
atas, karena mitra tutur tidak mengetahui dengan siapa penutur berdansa sehingga
mitra tutur mempercayai apa yang disampaikan penutur. Mitra tutur tidak
mengetahui jika penutur pernah berdansa dengan seseorang. Maka penutur
menyampaikan informasi tersebut dan mitra tutur mempercayainya. Mitra tutur
yang dimaksud adalah paman Mirfat, hal ini disebutkan Quddous (1999: 17) pada
kalimat sebelumnya yang merupakan sebuah pernyataan dialog antara Mirfat dan
paman yaitu “ قصني..ورقدرأيتك قصوأنتت يىنحىتالأفسدعليكار ملأحاولأنت ” /laqad ra-
aituki wa anti tarqushi >na… wa lam ucha>wila an tari>ni> chatta la> afsada ‘alaiki ar-
raqshi/.
c. Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)
Penerjemahan yang menggunakan metode semantic translation
(penerjemahan semantis) biasanya hasil terjemahan menjadi lebih luwes.
Penerjemahan semantis lebih fleksibel dengan BSa. Menurut Machali (2009: 79)
penerjemahan semantis harus mempertimbangkan unsur estetika teks BSu dengan
menyelasakan dengan nilai estetika makna. Perhatikan data berikut.
(3) Data A.12
BSu :
كأستاذأوعاملنفساىن كانتحتسيب كأنناأصدقاءأورمبا كانتتتحدثاىلاهستلجأإريورتمدعينيهايفأ ارالياةإىلأبعدممات
Ka>nat tatachadtsa ila>ya ka-annana> asdiqa>-i Au rubbama
ka>nat tuchissu bi ka-ustadzin au ‘a>limin nafsa>ni> talja-u
alaihi li-tamudda ainaiha fi asra>ri al-chayati ila> ab’ada
mimma> tara>hu
34
BSa : Ia berbicara denganku seperti seorang sahabat.
Barangkali mirfat menganggapku guru atau psikiater
yang bisa diajak membincangkan rahasia-rahasia hidup
Pada kalimat di atas diawali oleh verba “تتحدث” yang menunjukkan
apabila kalimat tersebut berpola fi‟liyyah. Verba yang digunakan adalah verba
present/ fi’l mudla>ri’, akan tetapi sebelum kata tersebut telah disebutkan waktu
terjaadinya ‚كانت‛. Subyek pada kalimat di atas terdapat pada verba namun
disebutkan secara implisit.
Penerjemah menerjemahkan kalimat di atas bukan lagi secara word for
word atau harfiah lagi, karena penerjemah mulai melakukan penambahan
maupun pengurangan sacara struktural sehingga kalimat bisa diterima dan
difahami dengan baik oleh pengguna BSa. Hal tersebut dapat dilihat ketika
penerjemah menerjemahkan kalimat “أصدقاء كأننا اىل تتحدث Penerjemah .”كانت
menerjemahkannya dengan „Ia berbicara denganku seperti seorang sahabat‟.
Penerjemah tidak menyebutkan waktu. Sedangkan nilai estetika yang terdapat
pada BSu, yaitu tasybih/ keserupaan, oleh penerjemah berusaha membuat
kalimatnya sepadan secara gramatikal.
2. Pola Ismiyyah
Kalam khabar ibtida-i yang kedua adalah Jumlah ismiyyah. Jumlah
ismiyyah merupakan kalimat yang dimulai dengan ism atau nomina. Menurut
Ni‟mah (1988: 19) kalimat berpola ismiyyah tersusun oleh mubtada’ dan khabar,
bukan fi’l (Predikat) dan fa>’il (subyek). Berdasarkan metode penerjemahannya,
kalimat dengan pola ismiyyah juga memiliki dua metode, SL emphasis (tendensi
terjemahan kepada BSu) dan TL emphasis (tendensi terjemahan pada BSa). Akan
35
tetapi dalam prosesnya, penerjemah lebih banyak menggunakan SL emphasis.
Newmark (1988: 45) berpendapat jika SL emphasis memiliki empat metode, yaitu
word for word translation, literal translation, faighful translation dan semantic
translation.
a. Penerjemahan kata demi kata (Word for Word Translation)
Menurut Newmark (1988:45) Penerjemah berupaya mereproduksi makna
kontekstual dari teks asli dengan tepat dalam batasan-batasan struktur gramatikal
teks sasaran. Di sini kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan, tetapi
penyimpangan tata bahasa dan pilihan kata masih tetap ada atau dibiarkan.
Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan TSu.
(1) Data A.13
BSu : مريفتريستشخصيةسهلة Mirfatu laisat syakhshiyatan sahlatan (Quddous, 1999: 9)
BSa : “Mirfat bukanlah pribadi yang mudah” (Ghufron, 2005:10)
Kalimat ini merupakan contoh dari kalam khabar ibtida-i (kalam khabar
yang memberikan informasi kepada mitra tutur yang belum mengetahui isi
informasi) yang berpola ismiyyah karena kalimat diawali oleh nomina yang
berupa nama seseorang “مريفت” (Mirfatu). Nikmah (1988: 17) menjelaskan apabila
pengisi ism/ nomina memiliki banyak variasi. Ism (nomina)merupakan kata yang
menunjukkan pada unsur makna manusia, hewan, tumbuhan, benda mati
(jama>dun), tempat, waktu, sifat, atau makna yang bebas dari waktu. Sedangkan
kata “مريفت” /Mirfatu/ adalah kelompok manusia “انسان” /insa>nun/. Nomina “مريفت”
/Mirfatu/ merupakan mubtada’ dari kalimat BSu. Dari penjelasan tersebut benar
adanya jika kalimat pada data A.13 di atas merupakan kalimat berpola ismiyyah.
36
Penerjemah menggunakan metode word for word saat menerjemahkan
kalimat tersebut. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut.
BSu Makna kamus BSa
مريفتMirfatu
- Mirfat
ريستlaisat
Tidak (1997: 1301) Bukanlah
شخصية
syakhshiyatan
Seseorang Pribadi
سهلة
sahlatan
‘mudah‟ (1997: 672) Yang mudah
Tabel 2.3 makna leksikal pada data A.13
BSu:
مريفتريستشخصيةسهلة Mirfatu Laisat Syakhshiyatan Sahlatan
1 2 3 4
Mirfat Bukanlah Pribadi Yang mudah
1 2 3 4
Bagan 2.3 penerjemahan kata demi kata (word for word) data A.13
Penerjemah mengikuti setiap hasil terjemahan dari kamus untuk
menerjemahkan teks tersebut. Secara gramatikal penerjemah juga mengikuti
susunan yang terdapat pada BSu. Pada hasil penerjemahan data di atas,
penerjemah mengikuti pola kalimat yang diawali oleh nomina “Mirfat”.
Sedangkan menurut fungsinya, nomina “Mifrat” sebagai subyek. Fungsi predikat
ditempati oleh negasi “bukanlah”. Sedangkan pada frasa “pribadi yang mudah”
berfungsi obyek. Kalimat “Mirfat bukanlah pribadi yang mudah” termasuk
kalimat efektif, karena tidak bertele-tele. Sebagaimana yang disampaikan
Rahmadi dan Nugraheni (2012: 45) yang menyebutkan salah satu ciri kalimat
efektif adalah kalimat tidak bertele-tele dan sistematis.
37
Penutur menyampaikan jika Mirfat merupakan seseorang berpribadi sulit.
Mitra tutur yang tidak mengenal pribadi Mirfat akan dengan mudah percaya akan
informasi yang disampaikan oleh penutur. Sehingga penutur tidak memerlukan
tambahan taukid. Mitra tutur pada kalimat ini adalah pembaca. Penutur
menjelaskan tentang obyek tuturannya.
b. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Newmark (1988: 45) menyebutkan jika penerjemahan jenis ini merupakan
penerjemahan yang linear dengan BSu. Penerjemahan jenis ini beradan diantara
word for word transalation dan free translation. Penerjemah menggunakan makna
kamus sebagai pedoman dalam menerjemahkan, akan tetapi melakukan perubahan
sesuai kehendaknya.
(2) Data A.16
BSu : وىيالتدرىماذاتفعلهبذااجلمال
Wa hiya la> tadri> ma>dza> taf’al bihadza al jama>l (Quddous, 1999: 9)
BSa : “Mirfat tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan kecantikan
ini” (Ghufron, 2005: 10).
Kalimat pada data A.16 di atas merupakan kalam khabar ibtida-i berpola
ismiyyah. Kalimat dimulai dengan ism dhamir atau kata ganti orang. Kata ganti
yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga perempuan “ىي” /hiya/. Nikmah
(1988: 17) menjelaskan apabila Ism / kata benda memiliki banyak macamnya.
Sedangkan dhamir merupakan kelompok manusia. Penerjemah menerjemahkan
ىي“ hiya/ merujuk pada tokoh Mirfat. Menurut Al Munawwir (1997 : 1522)/ ”ىي“
.hiya: dlami>ru lilgha>-ibatu/ yang berarti dia perempuan/ ”:ضمريرلغائبة
38
Kalimat diawali oleh ism /nomina. Ism yang digunakan adalah ism
dhamir (kata ganti orang). Posisi mubtada’ (yang dijelaskan) diisi oleh ism
dhamir, sedangkan posisi khabar diisi oleh kalimat “تفعل ماذا تدرى <la> tadri/ ”ال
ma>dza> taf’al/. Pada kalimat “تفعل ماذا تدرى la> tadri> ma>dza> taf’al/ merupakan/ ”ال
sebuah klausa bebas. Menurut Tarigan (2009: 9) klausa bebas merupakan kalimat
sempurna. Khabar (yang menjelaskan) berfungsi sebagai penjelas dari mubtada’.
Sehingga kalimat “تفعل تدرىماذا la> tadri> ma>dza> taf’al/ merupakan penjelasan/ ”ال
dari nomina “ىي” (hiya). Tetapi dalam BSa kejadiannya tidak seperti itu. Karena
dalam BSa, tidak ada yang menjelaskan ( khabar) dan dijelaskan (Mubtada’),
yang ada pada kalimat dalam BSa adalah SPOK.
Penerjemah menggunakan metode literal translation ketika
menerjemahkan kalimat di atas. Hal tersebut dapat dilihat ketika menerjemahkan
setiap kata dalam BSu menjadi BSa. Perhatikan bagan berikut.
BSu Makna kamus BSa
Dia perempuan Mirfat ىي
Tidak mengetahui tidak tahu التدرى
Apa Apa ماذا
melakukan yang harus ia lakukan تفعل
Ini Dengan - ini هبذا
kecantikan Kecantikan اجلمال
Tabel 2.4 makna leksikal data A.16
Dari tabel 2.4 di atas penerjemah melakukan penambahan ketika
menerjemahkan verba “تفعل”. Walaupun penambahan hanya bersifat struktural,
akan tetapi secara makna tetap sama. Penerjemah merubah letak susunan
gramatikal. Sehingga terlihat lebih berterima pada BSa.
39
Penutur menyampaikan kepada mitra tutur jika “ىي” /hiya/ sangatlah
cantik. Akan tetapi “Dia” tidak mengetahui untuk apa kecantikan yang
dimilikinya. Sehingga mitra tutur percaya kepada informasi tentang kecantikan
Mirfat tanpa perlu untuk menegaskannya.
c. Penerjemahan Semantis (Semantic translation)
Menurut Machali (2009: 79) Penerjemahan semantis (semantic
translation) lebih luwes daripada penerjemahan setia. Hal itu karena pada
penerjemahan setia lebih kaku dan tidak disepadankan dengan kaidah BSa atau
lebih terikat dengan BSu, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel dalam
BSa.
(3) pada data A.28
BSu : وملأجدمنيبحثعنارعقلكلهميبحثونعنارشكل
Kullahum yabchaTSu>na ‘an asy-syaqli wa lam ajid man yabchaTSu ‘an al-aqli (Quddous, 1999: 10)
BSa : “Mereka semua mencari tubuh. Aku tidak menemukan
seorangpun yang mencari akal” (Ghufron, 2005: 12)
Kalimat ini juga merupakan kalimat yang berpola ismiyyah karena
dimulai atau diawali kata ganti /dhamir/, yaitu dhamir ىم /hum/ , kata ganti orang
ketiga yang berarti “mereka”. Kata ىم (hum) merupakan salah satu kata yang tidak
mengalami perubahan pada akhir katanya atau mabniy. Kalimat dimulai dengan
mubtada’ yang diisi oleh kata ganti orang ketiga. Sedangkan pengisi khabar
berupa kalimat sempurna. Pada kalimat sempurna pengisi khabar terdapat subyek,
predikat dan obyek. Subyek dan predikat tergabung menjadi satu satu pada kata
./yabchatsu>na/ ”يبحثون“
40
Penerjemah menggunakan metode semantic translation. Penerjemah
menyesuaikan hasil terjemahan dengan khalayak pembaca BSa, aspek kebahasaan
dan isi terjemahan langsung dapat dimengerti oleh pembaca karena penerjemah
membuat hasil terjemahan menjadi susunan semantis yang mudah dan berterima
pada BSa.
Penuturnya yaitu Mirfat, sedangkan mitra tuturnya yaitu tokoh “Aku”.
Penutur kembali menyampaikan jika “mereka” (teman kuliah dari penutur) hanya
mencari tubuh atau kecantikan saja. Mitra tutur tidak mengetahui maksud atau
tujuan “mereka” sehingga penutur memberi tahu maksud atau tujuan “mereka”.
Pada tuturan di atas penutur tidak menggunakan charf taukid. Dia menganggap
mitra tutur percaya pada informasi yang dia sampaikan.
Dari contoh data di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Ja>rim (2007: 169),
bahwa kalam khabar ibtida>i merupakan kalimat deklaratif atau kalimat berita
yang mitra tutur terbebas ada berita tersebut. Mitra tutur tidak mengetahui isi
berita tersebut. Sehingga penutur menyampaikan berita tersebut tanpa harus ada
taukidan pada tuturan kalimatnya agar mitra tutur percaya kepada berita yang
dibawanya. Selain itu Kalam khabar ibtida>i masih dibedakan lagi berdasarkan
pola susunan kalimatnya. Walaupun berbeda pola penyusunan kalimat dalam
BSu, penerjemah menyamakan semua perbedaan dalam BSa. Karena dalam BSa
hanya memiliki satu pola dalam penyusunan kalimat.
B. Kalam Khabar Thalabi
Variasi kalimat khabar yang selanjutnya yaitu kalam khabar thalabi.
Menurut Al-Ja>rim (2007: 169) mukhathab atau mitra tutur ragu terhadap hukum
41
dan ingin memperoleh suatu keyakinan dalam mengetahuinya. Dalam kondisi
demikian, lebih baik kalimat disampaikan disertai dengan kata taukid agar dapat
menghilangkan keraguan di benak mitra tutur. Mitra tutur telah mengetahui kabar
berita yang disampaikan penutur, akan tetapi mitra tutur ragu dengan kebenaran
informasi tersebut. Penutur harus meyakinkan kebenaran berita yang
disampaikannya dengan menggunakan ta’ki>d. Sehingga mitra tutur dapat percaya
dan hilang rasa ragu tersebut.
Penutur menggunakan taukid, menurut Ni‟mah (1988: 147) charf taukid
atau huruf taukid dibedakan menjadi dua, yaitu charf yang masuk ke dalam
nomina dan charf yang masuk kedalam verba. charf yang masuk ke dalam nomina
adalah أن /anna/ dan إن /inna/. ada juga charf taukid yang masuk kedalam verba,
yaitu قد /qad/. Sebagaimana pada bagan 2.1 di atas, jika kalam khabar thalabi
dibedakan lagi menjadi dua, yaitu pola fi’liyyah dan pola ismiyyah.
1. Pola Fi’liyyah
Pola fi’liyyah atau lebih dikenal dengan jumlah fi’liyyah, sebagaimana
telah dijelaskan di atas yaitu kalimat yang dimulai dengan verba atau kata kerja.
Sedangkan kalam khabar thalabi berpola fi’liyyah merupakan kalimat yang
menyampaikan informasi, akan tetapi mitra tutur ragu kebenaran informasi
tersebut sehingga penutur menggunakan charf taukid atau taukid untuk
menghilangkan keraguan mitra tutur dan kalimat dimulai dengan fi’l dimana charf
taukid yang masuk kedalam fi’l adalah قد /qad/. Dalam menerjemahkan kalam
khabar thalabi berpola fi’liyyah penerjemah menggunakan dua metode, metode
yang menekankan pada BSu (SL emphasis) dan metode yang menekankan pada
BSa (TL emphasis). Pada pola ini, peneliti menemukan metode SL emphasis yang
42
lebih banyak digunakan oleh penerjemah. Menurut Newmark (1988: 45), SL
emphasis (sourge linguage emphasis) memiliki empat metode, yaitu word for
word translation, literal translation, faightful translation dan semantic translation
a. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Metode ini menekankan hasil terjemahan pada teks sumber. Penerjemah
mewujudkan makna kontekstual BSu. Penerjemah menerjemahkan dari terjemah
perkata, kemudian menyesuaikan terhadap Bsa. Perhatikan data berikut.
(1) Data B.19
BSu:
ةعنستعددأصدقائهاوعدماإلبقاءعلىصداقةأيمنهمسأرتهاوقد م
Wa qad sa-altuha> maratan ‘anni sirrin ta’tadu ashdiqa>-iha> wa ‘adami al-ibqa>-i ‘ala> shada> watin ayyi minhum (Quddous, 1999:10)
BSa : “Suatu kali, aku bertanya mengapa ia memiliki banyak
sekali teman pria dan tidak bertahan dengan salah satu dari
mereka” (Ghufron, 2005 :12)
Kalimat berawal dari kata “سأرتها” /sa-altuha>/, menurut Al Munawwir
(1997: 600) berasal dari kata “ سألي .”sa-ala-yasalu/ yang berarti “meminta/ ”سأل
Verba yang digunakan berupa verba lampau.
Penerjamah menggunakan metode yang menekankan hasil terjemahan
pada TSu. Penerjemah menggunakan metode literal translation. Penerjemah
awalnya menerjemahkan per-kata tetapi kemudian menyesuaikan susunan kata-
katanya sesuai dengan gramatikal BSa. Seperti ketika menambahkan kata tanya
mengapa untuk membuat susunan gramatikalnya sesuai dengan BSa dan
berterima.
43
Penerjemah menerjemahkan kalimat di atas dengan subyek “aku”. Aku
yang dimaksud adalah tokoh aku dalam cerita. Sedangkan obyeknya adalah huruf
yang berarti dia perempuan, dan merujuk pada tokoh mirfat. Subyek dan (<ha) ”ىا“
obyek merupakan nomina yang tergabung menjadi satu dengan verba. Adapun
hasil terjemahannya, penerjemah menggunakan pola yang diawali dengan nomina.
Nomina yang digunakan adalah kata ganti orang pertama yaitu “aku”.
Pada kalimat di atas, penutur memberi pemahaman dan keyakinan kepada
mitra tutur tentang informasi yang disampaikan penutur. Mitra tutur ragu akan
kebenaran informasi yang diterimanya. Informasi yang diterima mitra tutur
tentang kebenaran penutur dalam menanyakan teman pria Mirfat. Sehingga
penutur menggunakan charf taukid قد /qad/ untuk meyakinkan penutur. Karena
kalimat yang digunakan adalah pola fi’liyyah. Dimana kalimat dimulai dengan fi’l
madhi (kata kerja lampau).
b. Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)
Menurut Machali (2009: 79) Penerjemahan semantis (semantic
translation) lebih berterima daripada penerjemahan setia karena pada
penerjemahan setia akan lebih kaku dan tidak berterima dengan kaidah BSa atau
lebih terikat dengan BSu, sedangkan penerjemahan semantis menjadi lebih
fleksibel dengan BSa.
(2) pada data B.8
BSu :
ىاداكنارسواد..حبوإنكنتقدوجدتنفسيبعدىا اءشع غارقافحبفتاةمس زوجيتسعاد
44
Wa in kuntu qad wajadtu nafsi ba’daha> gha>riqa>n fu chubbu fata>ti samra>-u sya’riha> da>kinu as-sawa>di.. chubbi zaujati>> sa’a>di ... (Quddous, 1999: 8)
BSa :“Meskipun setelah itu aku terhanyut dengan cinta wanita
coklat berambut hitam pekat, yaitu cinta istriku, Su‟ad.”
(Ghufron, 2005: 8)
Pada kalimat di atas, penulis memulai kalimat dengan verba “كنت” /kuntu/.
Menurut Al Munawwir (1997: 1241) verba “كنت” /kuntu/ berasal dari kata كان
/ka>na/. Kemudian berubah menjadi “كنت” /kuntu/ karena mendapat tambahan
dhamir rafa’ muttashil (kata ganti orang yang dapat tersambung dengan kata lain)
berupa huruf “ت” /ta/. Menurut Ni‟mah (1988: 114) dhamir rafa’ muttashil adalah
dhamir yang tidak dapat berdiri sendiri dan selalu bergabung dengan verba.
Setelah charf قد /qad/ penulis menggunakan fi’l ma>dhi atau verba berkala
lampau “وجدت” yang menurut kamus Al Munawwir (1997: 1538) berasal dari “ وجد
وجدي ” /wajada-yu>jidu/ yang berarti menemukan- memperoleh. Charf قد /qad/ yang
diikuti dengan verba lampau memiliki makna penekanan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ni‟mah (1988 : 150) yang mengatakan bahwa charf taukid قد /qad/
yang diikuti kata kerja lampau (fi’l ma>dli) memiliki makna taukid yang juga
berfungsi untuk memperkuat tuturan. Seperti Kalimat B.8 di atas yang
menggunakan charf taukid قد (qad), setelah charf tersebut menggunakan fi’l ma>dli
atau kata kerja lampau. Sedangkan apabila charf taukid قد /qad/ digunakan pada
kata kerja sekarang (fi’l mudla>ri’) memiliki makna ‚jarang‛. \
Penerjemah menggunakan metode semantic translation. Penerjemah
melakukan perubahan untuk menghasilkan terjemahan mudah dipahami dalam
BSa. Pada kalimat “كنتقدوجدتنفسيبعدىا Wa in kuntu qad wajadtu nafsi/ ”وإن
ba’daha> / penerjemah menerjemahannya menjadi klausa terikat “Meskipun setelah
45
itu”. Penerjemah merubah kalimat sempurna menjadi klausa terikat. Apabila
diterjemahkan kalimat tersebut bisa jadi berupa seperti ini “ Dulu, setelah itu aku
mendapati diriku…‛ sehingga verba ‚وجدت‛ /wajadtu/ dan kala kalimat
diterjemahkan juga kedalam BSa. Klausa ‚Meskipun setelah itu” merupakan
klausa terikat karena tidak mengandung struktur klausa. Menurut Tarigan (2009:
10) suatu klausa dikatakan bebas apabila mengandung struktur S dan P, apabila
tidak mengandung struktur S dan P maka disebut kalusa terikat.
Penutur menjelaskan jika penutur terhanyut cinta kepada perempuan
berambut hitam, yaitu Su‟ad. Sebelumnya, penutur telah mengucapkan jika ia
jatuh cinta kepada seorang berkulit putih. Mitra tutur meragukan akan kebenaran
tuturan penutur yang mengatakan jika ia telah terhanyut pada cinta seorang
berkulit hitam. Penutur menegaskan dengan charf taukid agar mitra tutur tidak
meragukan apa yang ia ungkapkan.
2. Pola Ismiyyah
Pada pola ini, kalimat diawali oleh ism (nomina) karena merupakan kalam
khabar thalabi maka harus ada charf taukid. Sedangkan taukid yang masuk
kedalam ism adalah أن /anna/ dan إن /inna/ yang masuk ke dalam nomina. Pada
pola ini penerjemah juga menggunakan satu metode saja, yaitu SL emphasis (hasil
terjemahan tendensi terhadp BSu). Penerjemah banyak memperhatikan BSu dari
pada BSa.
46
a. Penerjemahan Kata demi Kata (Word for word translation)
Telah dijelaskan beberapa kali pada data yang telah lalu, apabila
penerjemah yang menggunakan metode ini hanya menerjemahkan per-kata dan
sesuai dengan makna leksikal dan susunan yang digunakan pada Bsa sesuai
dengan Bsu. Perhatikan contoh berikut.
(1) Data B.2
BSu : درؤيتو حهباوأحسمبتعةحلوةجمل فاينأف
Fa inni> afracha biha> wa achsa bimut’ati chulwati li-mujaradi ru’yatiha> (Quddous, 1999: 7)
BSa “Aku gembira dan merasa senang dengan melihatnya”(Ghufron,
2005 :7)
Pola yang digunakan penutur pada kalimat ini adalah pola ismiyyah.
Kalimat diawali dengan dhamir atau kata ganti. Dhamir tergabung dengan partikel
inni>/. Menurut Ni’mah (1988: 116) dhamir (kata/ ”اين“ inna/ sehingga menjadi/ إن
ganti orang) tersebut termasuk dhamir nasab mutasilah. Dhamir (kata ganti
orang) tersebut merupakan mubtada’, sedangkan khabarnya adalah ‚هبا ح ‛أف
/afracha biha>/. Khabar pada kalimat di atas merupakan kalimat sempurna. Dimana
terdapat subyek , predikat dan obyek. Kata “ح afracha/ menurut kamus Al/ ”أف
Munawwir (1997: 1042) berasal dari kata “ ح حيف ف ” /faricha yafrachu/ yang
berarti „bergembira‟. Kata “ح afracha/ merupakan predikat sedangkan/ ”أف
subyeknya implisit dalam verba. Subyek yang terdapat pada verba “ح /afracha/ ”أف
adalah kata ganti orang pertama.
Penerjemah menggunakan metode word for word translation (terjemah
per-kata). Penerjemah menerjemahkan per-kata dan merangkainya seperti teks
47
pada BSu. Hasil terjemahan tidak terasa kaku karena penerjemah jeli memilh kata
walaupun diterjemahkan word for word translation . Pada hasil terjemahannya,
kalimat tetap dimulai oleh nomina yang berupa kata ganti orang pertama tunggal
“aku”. Penerjemah juga menghilangkan obyek pada kalimat pertama, sehingga
kalimat menjadi “aku gembira”. Kata “gembira” merupakan hasil terjemah dari
kata “ح .Ketika dilihat dalam BSa, kalimat tersebut termasuk kalimat sempurna .”أف
Kalimat telah senyap.
Penutur merupakan tokoh “Aku”, sedangkan mitra tuturnya adalah
pembaca. Tokoh “Aku” menyampaikan jika bahagia dan senang jika melihat
“dia”. Kata “dia” kembali pada Mirfat, keponakan penutur. Akan tetapi mitra
tutur tidak percaya dengan adanya seorang paman yang jatuh cinta, yang senang
dan gembira ketika melihat keponakannya. Penutur menggunakan kata إن /inna/
untuk meyakinkan mitra tutur tentang informasi yang penutur sampaikan.
b. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Penerjemahan harfiah (literal translation) atau disebut juga penerjemahan
lurus (linear translation) berada di antara penerjemahan kata-demi-kata dan
penerjemahan bebas (free translation). Dalam proses penerjemahannya,
penerjamah mencari konstruksi gramatikal BSu yang sepadan atau dekat dengan
BSa. Penerjemahan harfiah ini terlepas dari konteks. Penerjemahan ini mula-mula
dilakukan seperti penerjemahan kata-demi-kata, tetapi penerjemah kemudian
menyesuaikan susunan kata-katanya sesuai dengan gramatikal Bsa.
(2) Data B.47
BSu : كأسودأوأبيض..ماأعجبىنفيوىوشخصيتو إىنملأحسبو
48
Inni lam achisu bihi ka-aswadi au abyadli.. ma> a’jabani> fi>hi huwa
syakhshiyatihi (Quddous, 1999: 8).
BSa : aku tidak merasa kalau dia berkulit hitam atau putih. Yang aku
kagumi kepribadiannya (Ghufron, 2005: 8).
Pada data B.47 di atas, kalimat dimulai dengan kata benda yang berupa
kata ganti pertama yang digabung dengan taukid “إىن” /inni>/. charf taukid yang
digunakan adalah paartikel “إن” /inna/. Dengan adanya partikel tersebut benar
apabila kalimat tersebut adalah kalam khabar thalabi. Selain itu kalimat tersebut
juga berpola ismiyyah karena diawali oleh nomina “ انأ ” /ana>/.
Ketika menerjemahkan kalimat di atas penerjemah menggunakan metode
literal translation. Kata-kata yang digunakan penerjemah sesuai dengan yang
dijelaskan di kamus. Hanya saja penerjemah merubah sedikit setiap katanya.
Seperti pada kalimat “كأسودأوأبيض Inni lam achisu bihi ka-aswadi au / ”إىنملأحسبو
abyadli /. Perubahan pertama yang dilakukan penerjemah adalah menghilangkan
charf taukid. Sehingga hasil terjemahan langsung dimulai dengan kata ganti
orang. Kemudian penerjemah juga merubah kata „dia‟ yang pada BSu berupa
obyek menjadi subyek.
c. Penejemahan Semantis (Semantic Translation)
Pada penerjemahan semantis (semantic translation), hasil terjemahan
menjadi lebih luwes daripada penerjemahan setia. penerjemahan semantis lebih
berterima dengan BSa. Berbeda dengan penerjemahan setia, penerjemahan
semantis harus mempertimbangkan unsur estetika teks BSu dengan cara
mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran.
(3) Data B.50
BSu : فىتوركنكالمنهمحياولاصطيادى يدونمع إىنأحسكأهنمالي
49
Inni uchissu ka-annahum ya yuri>du>nama’rifati> walakinna kulla>
minhum yucha>wilu ishthiya>di (Quddous, 1999: 15)
BSa : aku merasa kalau mereka tidak ingin mengenalku. Mereka hanya
ingin menangkapku. (Ghufron, 2005: 17)
Kalimat di atas diawali oleh dhamir “ انأ ” /ana>/ yang di gabung dengan
charf taukid. Sehingga kalimat tersebut merupakan kalam khabar thalabi yang
memiliki pola ismiyyah atau diawali oleh nomina.
Ketika menerjemahkannya, penerjemah menggunakan metode semantic
translation. Hal tersebut dapat diperhatikan pada hasil terjemahan yang luwes dan
sesuai konteks pada BSu. Seperti halnya pada klausa “كالمنهمحياولاصطيادى” / kulla>
minhum yucha>wilu ishthiya>di/ yang diterjemahkan „mereka hanya ingin
menangkapku‟ hal tersebut sesuai dengan konteks yang disampaikan pada kalimat
sebelumnya. Nilai estetika pada BSu terletak pada kalimat “فىت يدونمع / ”كأهنمالي
ka-annahum ya yuri>du>nama’rifati/ tetapi penerjemah tidak memperhatikannya.
Ketika memperhatikan beberapa contah ismiyyah di atas, maka akan
menemukan beberapa perbedaan. Dalam suatu kalimat berpola ismiyyah, kalimat
berupa mubtada’ (sesuatu yang dijelaskan) dan khabar (yang menjelaskan).
Mubtada’ bisa berupa kata ganti orang dan benda. Sedangkan pengisi khabar juga
berbeda-beda. Ada yang berupa sifat dari mubtada‟, dapat berupa kalimat
sempurna yang terdiri dari subyek dan predikat, tetapi juga bisa berupa frasa.
Setelah memperhatikan semua contoh di atas, kalam khabar thalabi masih
dibedakan lagi menurut pola kalimat yang digunakan, jumlah ismiyyah atau
jumlah fi’liyyah. Sesuai yang diungkapkan Ja>rim (2007: 169) jika kalam khabar
thalabi harus menggunakan charf taukid yang berfungsi untuk meyakinkan mitra
50
tutur jika informasi yang disampaikan itu benar. Sehingga tidak ada lagi
keraguan mitra tutur terhadap infomasi yang dibawa penutur.
C. Kalam Khabar Inkary
Jenis kalam khabar yang ketiga yaitu kalam khabar inkary. Kalam khabar
disebut inkari apabila mitra tutur mulai meragukan informasi yang disampaikan.
Menurut Al-Ja>rim (2007: 169) mitra tutur mengingkari atau menegasikan isi
kalimat. Dalam kondisi demikian, kalimat wajib disertai taukid dengan lebih dari
satu taukid sesuai dengan frekuensi keingkarannya. Kalimat yang demikian
disebut inkari.
Kalimat jenis ini merupakan suatu kalimat yang menyampaikan informasi,
akan tetapi mitra tutur mengingkari kebenaran informasi yang disampaikan
penutur. Seorang penutur harus meyakinkan mitra tutur tentang informasi yang
disampaikan. Dalam bahasa Arab, untuk meyakinkan mitra tutur penutur
menggunakan tauki>d.
Penggunaan ta’ki>d pada kalam khabar thalabi dan kalam khabar inkary
sama saja. Jika kalam khabar thalabi penutur meyakinkan mitranya yang ragu
dengan informasi yang disampaikan penutur. Untuk meyakinkan mitra tutur
maka penutur menggunakan satu charf ta’ki>d. Sedangkan kalam khabar inkary
harus benar-benar dapat memberi keyakinan kepada mitra tutur yang
mengingkari informasi yang disampaikan penutur. Penutur dapat menggunakan
charf ta’ki>d lebih dari satu.
51
Selain dalam penggunaan charf taukid, kalam khabar inkary juga memiliki
dua pola penulisan, yaitu fi’liyyah dan ismiyyah. Kedua pola tersebut merupakan
pola dasar dalam pembuatan kalimat berbahasa Arab.
1. Pola Fi’liyyah
Pola fi’liyyah telah banyak dijelaskan di atas. Dimana pola ini selalu
diawali oleh fi’l atau kata kerja, baik lampau, sekarang maupun yang akan datang.
Sebagaimana dengan yang disampaikan Ni‟mah (1988: 19) menyebutkan jika “مجلة
jumlah fi’liyyah (jumlah fi’liyyah hiya al-lati> yabda-u bi fi’l) ”فعلةةىةيارةىتتبةدأبفعةل
yaitu kalimat yang diawali dengan fi‟l.
Ketika menerjemah teks, penerjemah menggunakan dua metode. Newmark
(1988:45) menyebutkan kedua metode tersebut SL emphasis dan TL emphesis. SL
emphasis merupakan metode yang dimana hasil dari terjemahan lebih mengacu
pada teks sumbernya. Sedangkan TL emphasis, lebih menekankan pada teks
sasaran. Penerjemah lebih banyak menggunakan TL emphasis dalam
menerjemahkan kalam khabar inkari yang berpola fi‟liyyah. Hal ini dapat dilihat
dari macam-macam metode turunan dari TL emphasis (hasil terjemah bertendensi
kepada Bsa). Kembali Newmark berpendapat (1988:45) jika turunan dari metode
TL emphasis ada empat: Adaption (adaptasi), Free translation (penerjemahan
bebas), Idiomatic translation (penerjemahan idiom) , Communicative Translation
(penerjemahan komunikatif). Akan tetapi tidak semua turunan tersebut digunakan
oleh penerjemah. Penerjemah le menggunakan Communicative Translation
a. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)
Penerjemahan yang dilakukan dengan metode idiomatic translation
berusaha membuat pesan dari TSu akan tetapi cenerung mendistorsi makna.
52
Ketika menyusun ulang pesan ke TSa, penerjemah menggunakan kata yang lebih
arab dan ungkapan idiom yang tidak didapati pada BSu. Perhatikan data berikut :
(1) Data C.13
BSu : ةمتتعتفيها كانتأكثم قصرقد بار
Laqad ka>nat aktsara marratan tamata’tu fi>ha> bi ar-raqsi (Quddous
: 117)
BSa : “Itulah kali pertama aku bisa sangat menikmati dansa” (Ali
Ghufron : 21)
Pada data C.13 dimulai oleh verba lampau “كانت”/ka>nat/. Menurut kamus
Al Munawwir (1997: 1241) verba tersebut berasal dari كان /ka>na/, Keterangan
waktu disebutkan dengan verba “كانت” /ka>nat/ yang menunjukkan waktu lampau.
Menurut Al-ja>rim (2007:169) lafadz taukid kalam khabar ada banyak, yaitu inna,
anna, qasam, dua nun taukid (nu khafifah dan nun tsaqilah), charf tanbih, charf
za>idah, qad, dan amma syarthiyah. Kalimat di atas memiliki dua charf taukid
yaitu ل (lam ibtida’i) dan قد (qad).
Penutur menyakinkan mitra tutur jika dia benar-benar pertama kalinya bisa
menikmati dansa. Ia menggunakan dua charf tauki>d untuk meyakinkan mitra
tutur yang mengingkari atau menolak kebenaran informasi yang dibawa penutur.
charf ta’ki>d yang digunakan yaitu ل (lam ibtida’i) dan قد (qad).
Pada kalimat C.13 di atas penerjemah menggunakan metode idiomatic
translation. Hal ini bisa dilihat ketika penerjemah menerjemahkan kata “ة م ”أكث
/aktsara marratan/ yang diterjemahkan menjadi „pertama kali‟. Pada TSa
penerjemah juga menghilangkan idiom “فيها” / fi>ha> /.
53
b. Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)
Ketika menggunakan metode communicative translation, penerjemahan
disesuaikan dengan pembaca TSa. Penerjemah sangat memperhatikan aspek
kebahasaan pada TSa. Sehingga amanat dapat langsung dimengerti oleh pengguna
BSa. Penerjemah merubah istilah-istilah yang sukar dengan istilah yang familar
ole pengguna BSa.
(2) Data C.2
BSu :
كنتأعيشسخصيةزوجىتسعادرغمسخصيىتمعوقدتكاملت اأىن جبمالومنبه مدحتوأمحبيبىتارصغريةمريفتبياضنيفنيزوخةأخي
Wa qad taka>malat sakhshiyati> ma’a sakhshiyatu zaujati> su’a>da
raghma anni> kuntu a’i>su munbahiran bijama>li wa baya>dli ni>fi>ni
zaujatu akhi> midchat wa ummu chabi>bati> ash-shaghirata mi>rfat
(Quddous, 1999: 8)
BSa : Pribadiku cocok dengan pribadi istriku su‟ad, meskipun aku
silau dengan kecantikan dan putihnya Nevin, istri saudaraku dan
ibu dari kekasih kecilku Mirfat (Ghufron, 2005: 8)
Pada data di atas kalimat diawali dengan verba “تكاملت”/taka>malat/.
Menurut Al Munawwir (1997: 1230) kata “تكاملت” /taka>malat/ bermakna
„sempurna‟. Selain dimulai dengan verba, kalimat tersebut menggunakan dua
charf taukid, yaitu “وقد” /qad/ dan “أىن” /anni>/. Hal itu bisa dilihat pada data yang
bergaris bawah di atas.
Ketika menerjemahkan kalimat C.2 di atas, penerjemah menggunakan
metode communicative translation. Dimana penerjemah menggunakan kata-kata
yang mudah difahami oleh pengguna BSa. Pada kalimat “ا كنتأعيشمنبه <anni / ”أىن
kuntu a’i>su munbahiran / sebenarnya bermakna „sungguh aku dulu hidup dengan
kekaguman‟ kemudian enerjemah memilih kata yang lebih efektif dan
54
komunikatif dengan hanya mengatakan „aku silau‟. Kata „silau‟ memiliki makna
yang lebih dari sekedar kekaguman.
2. Pola Ismiyyah
Tidak jauh berbeda dengan pola ismiyyah sebelumnya, jika pola ismiyyah
selalu diawali oleh ism atau kata benda. Kata benda memiliki banyak macam,
yaitu seperti unsur makna manusia, hewan, tumbuhan, benda mati (jama>dun),
tempat, waktu, sifat, atau makna yang bebas dari waktu.
Ketika menerjemahkan kalam khabar inkary yang berpola ismiyyah
penerjemah lebih banyak menggunakan metode yang menekankan pada TSa. Dari
empat metode turunan yang disampaikan Newmark (1988: 45) yaitu Adaption,
free translation, idiomatic translation, communicative translation, hanya tiga
yang digunakan oleh penerjemah, Free translation (penerjemahan bebas),
Idiomatic translation (penerjemahan idiom) , communicative trasnltion
(penerjemahan komunicatif).
a. Penerjemahan Bebas (Free Translation)
Apabila suatu teks diterjemahkan menggunakan metode ini, maka yang
terjadi adalah seorang penerjemah hanya menerjemahkan isi dari TSu.
Penerjemah tidak memperhatikan bentuk dari teks tersebut, bahkan penerjemah
mengorbankan bentuk pada TSu. Metode ini dapat membuat TSa lebih panjang
namun juga bisa lebih pendek dari TSu.
55
(1) Data C.7
BSu :
كانتتقدمإىلعائلتهاعش كلبنت اتارشبانوركنوريسمعىنذركأنكالمنهماملتكنتدعوإىلاربيتإالارصديقارذىحتسبأهنامطمئنةإريوو
إىلأنصداقتووصلتإىلحدأنتقدموإىلارعائلة
Wa laisa ma’na> dzalik anna kulla banatan ka>nat taqdimu
ila> ‘a>ilatiha> ‘asyara>tu asy-syaba>nu walakin kulla
minhuma >lam takun tad’u> ila> baitin illa ash-shadi>qu
alladzi tachissu bi-annaha> muthmainatun ilaihi wa ila>
shada>qatihi wa shalat ila> chaddi an taqdimahu ila> al-‘a>-
ilati (Quddouus, 1999: 11)
BSa : Tapi bukan berarti kedua anak perempuan itu
memperkenalkan berpuluh teman pria mereka kepada
keluarga. Masing-masing mereka hanya akan mengajak
teman prianya bermain ke rumah setelah merasa yakin dan
setelah hubungan persahabatan itu layak untuk
diperkenalkan kepada keluarga (Ghufron, 2005: 11-12)
Penerjemah menggunakan metode free translation dalam menerjemahkan
kalimat C.7. Hal ini dapat dilihat pada saat menerjemahkan klausa “ارذىحتسبأهنا
ارعائلة إىل تقدمو أن حد إىل صلت و صداقتو أن إىل و إريو <alladzi tachissu bi-annaha/ ”مطمئنة
muthmainatun ilaihi wa ila> shada>qatihi wa shalat ila> chaddi an taqdimahu ila> al-
‘a>-ilati / yang diterjemahkan menjadi „setelah merasa yakin dan setelah hubungan
persahabatan itu layak untuk diperkenalkan kepada keluarga‟. Penerjemah benar-
benar melakukan penambahan pada hasil terjemahan. Seperti kata “إريو ”مطمئنة
diterjemahkan menjadi „setelah merasa yakin‟, padahal pada BSu tidak dijelaskan
kapan teman itu diajak pulang tetapi penerjemah menambahkan kata setelah.
Penerjemah juga menghilangkan obyeknya.
56
b. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)
Ketika menerjemahkan dengan metode idiomatic translation, penerjemah
akan menyampaikan pesan dari TSu dengan menggunakan kesan yang lebih akrab
dan dengan menggunakan idiom yang terdapat pada BSa.
(2) Data C.8
BSu :
كلنا وأصبحو عائلتو فنا وع كاملة وفة ارشابمع ىذا فنا ع مطمئنونألننا اآلباءواألمهاتيتزاورون
Wa kulna> muthmainu>na liannana> ‘arafna> haza asy-sya>ba
ma’ru>fatan ka>milatan wa ‘arafna> ‘a>-iltihi wa ashbacha al-
a>ba>-a wa al-ummaha>ti yataza>waru>n (Quddous, 1999: 13)
BSa : kami semua puas karena telah mengenal betul pemuda
itu dan semua keluarganya Masing-masing orang tua
sudah saling berkunjung (Ghufron, 2005: 14)
Kalimat pada data C.8 diawali dengan kata ganti orang pertama jamak
yang menunjukkan itu termasuk kalimat yang berpola ismiyyah. Penulis juga
menyebutkn pada kalimat tersebut charf taukid.
Penerjemah menerjemahkan kalimat di atas mengacu kepada BSa. Dapat
dilihat pada hasil terjemahan yang lebih panjang karena penerjemah melakukan
penambahan agar kalimat tersebut berterima pada BSa. Penerjemah merubah
beberapa idiom yang terdapat pada BSu, seperti pada frasa “كاملة وفة ”مع
/ma’ru>fatan ka>milatan / yang diterjemahkan menjadi „mengenal betul‟. nomina
tersebut berubah menjadi verba. Selain itu juga terjadi pada idiom “اآلباءواألمهات” /
a>ba>-a wa al-ummaha>ti / yang berubah menjadi “masing-masing kedua orang tua”
57
c. Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)
Metode penerjemahan komunikatif berupaya untuk menerjemahkan makna
kontekstual pada BSu baik secara aspek kebahasaan maupun isi teks. Hasil
terjemahan diupayakan memiliki bentuk makna dan fungsi yang selaras dengan
BSa. Isi terjemahan langsung dapat dimengerti oleh pembaca BSa. Istilah- istilah
sulit diganti dengan istilah yang familiar dengan pembaca.
(3) Data C.1
BSu :
يناجلمالوإن كنتأمتىنحىتفأمهاأيامشباىبارذيسح نأروالأنأتزوجهاأىن أخىمدحتسبقىنإريها
Annahu al-jama>lu alladzi sichrani> fi ummiha> ayya>mu syaba>bi> chatta anni kuntu atamanni> an atazawwajiha> lau la> anna akhi madchat sabaqani> ilaiha> (Ihsan Abdel Quddous : 7)
BSa : “Itulah kecantikan yang membuatku jatuh hati pada
ibunya saat muda dulu. Sampai-sampai waktu itu aku berharap bisa
meminangnya kalau saja tidak kedahuluan saudaraku.. mendhat” (Ali
Ghufron : 8)
Kalimat diawali dengan dhamir atau kata ganti orang ketiga tunggal yaitu
Kata ganti tersebut termasuk dhamir muttasil karena tersabung dan tidak .(hu) ”ه“
dapat berdiri sendiri. Ghulayayni (2009: 88) menjelaskan jika dhamir muttasil
tidak dapat berdiri sendiri dan tidak bisa bergabung dengan “ االا” kecuali dalam
syair. Anak kalimat juga dimulai dengan dhamir atau kata ganti orang pertama.
Dari data ini, penutur menggunakan tiga lafadz penguat, yaitu satu inna
dan dua anna. Ketiga charf taukid terletak pada إنواجلمال, /Annahu al-jama>l /أىنكنت
أخةىمةدحتسةبقىنإريهةانأ anni kuntu atamanni>/, dan/ أمتةىن / anna akhi madchat
58
sabaqani> ilaiha>/. Penutur ingin meyakinkan mitra tutur yang mengingkari
informasi tentang seorang perempuan yang sangat cantik. Bahkan kecantikan
yang telah membuat penutur jatuh hati untuk kedua kalinya dan sampai berebut
dengan saudara laki-lakinya, Mendhat.