23
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Rumput Laut Rumput laut merupakan bagian dari alga berbentuk poliseluler dan hidup di laut (Yunizal, 2004). Rumput laut tergolong dalam kelompok Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Seluruh bagian tumbuhan disebut thallus, sehingga rumput laut tergolong tumbuhan tingkat rendah (Susanto dan Mucktianty, 2002). Secara umum rumput laut memiliki klorofil atau pigmen yang berfungsi untuk proses fotosintesis. Menurut Zatnika, (2009), berdasarkan klorofil yang dimiliki, rumput laut diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu, alga hijau (Chlorophyceae), alga merah (Rhodophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Saat ini sebanyak 782 jenis rumput laut yang terdiri atas 196 jenis alga hijau, dan 452 jenis alga merah telah diidentifikasi dan diinventarisasi (Zatnika, 2009; Wiratmaja, 2011). Rumput laut dari kelas alga merah (Rhodophyceae) menempati urutan terbanyak dari jumlah jenis yang tumbuh di perairan laut Indonesia yaitu sekitar 452 jenis, setelah itu alga hijau (Chlorophyceae) sekitar 196 jenis dan alga coklat (Phaeophyceae) sekitar 134 (Winarno, 1996). Rumput laut atau lebih dikenal dengan sebutan seaweed merupakan salah satu sumber daya hayati yang sangat melimpah di perairan Indonesia. Rumput laut merupakan salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan karena permintaan terhadap rumput laut semakin meningkat baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Rumput …erepo.unud.ac.id/19464/3/1492261023-3-BAB II TINJAU PUSTAKA.pdf · 15-30 ppt. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan adalah 20 o C-28

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Rumput Laut

Rumput laut merupakan bagian dari alga berbentuk poliseluler dan hidup

di laut (Yunizal, 2004). Rumput laut tergolong dalam kelompok Thallophyta

karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Seluruh bagian tumbuhan

disebut thallus, sehingga rumput laut tergolong tumbuhan tingkat rendah (Susanto

dan Mucktianty, 2002).

Secara umum rumput laut memiliki klorofil atau pigmen yang berfungsi

untuk proses fotosintesis. Menurut Zatnika, (2009), berdasarkan klorofil yang

dimiliki, rumput laut diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu, alga hijau

(Chlorophyceae), alga merah (Rhodophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae).

Saat ini sebanyak 782 jenis rumput laut yang terdiri atas 196 jenis alga hijau, dan

452 jenis alga merah telah diidentifikasi dan diinventarisasi (Zatnika, 2009;

Wiratmaja, 2011). Rumput laut dari kelas alga merah (Rhodophyceae) menempati

urutan terbanyak dari jumlah jenis yang tumbuh di perairan laut Indonesia yaitu

sekitar 452 jenis, setelah itu alga hijau (Chlorophyceae) sekitar 196 jenis dan alga

coklat (Phaeophyceae) sekitar 134 (Winarno, 1996).

Rumput laut atau lebih dikenal dengan sebutan seaweed merupakan salah

satu sumber daya hayati yang sangat melimpah di perairan Indonesia. Rumput laut

merupakan salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk

dikembangkan karena permintaan terhadap rumput laut semakin meningkat baik

7

di pasar lokal maupun di pasar internasional (Rahmat, 2011). Tiap tahun

dilaporkan produksi rumput laut semakin meningkat dari tahun 2007 sebesar 135

ribu ton, tahun 2008 sebesar 150 ribu ton (Budiono, 2008), meningkat kembali

pada tahun 2009 sebesar 2,574 jut a ton, tahun 2010 sebesar 3,083 juta ton dan

terus meningkat karena pemerintah terus menambah klaster untuk memacu

produksi dengan target sebesar 10 juta ton sampai tahun 2014.

Luas wilayah yang menjadi habitat rumput laut di Indonesia mencapai 1,2

juta hektar atau terbesar di dunia (Wawa, 2005). Menurut Dahuri (2003), prospek

industri pengolahan rumput laut di Indonesia cukup besar dengan potensi lahan

budidaya sekitar 26.700 hektar. Budidaya rumput laut dilakukan pada kedalaman

30-50 cm, karena kedalamn ini memungkinkan rumput laut tidak mengalami

kekeringan, tetapi masih mendapat cukup cahaya matahari untuk berfotosintesis

(Anggadiredjo dkk., 2006). Beberapa jenis rumput laut membutuhkan perairan

yang cukup dalam untuk dapat dibudidayakan (Azizah, 2006; Widyorini, 2010).

Waktu panen pada rumput laut tergantung pada jenisnya. Kelompok genus

Gracilaria dan Eucheuma, dipanen setelah berumur 1,5 bulan (Wiratmaja, 2011).

Rumput laut, selain berperan sebagai ekologis tempat hidup sekaligus

perlindungan bagi biota lain, golongan makroalga ini memiliki potensi ekonomis

yaitu sebagai bahan baku dalam industri dan kesehatan (Suparmi dan Achmad,

2009). Budidaya rumput laut dapat berefek positif pada lingkungan dengan

kemampuan penyerapan CO2 mencapai 36,7 ton per hektar, lebih besar 5-7 kali

dibandingkan tanaman kayu.

8

Komponen utama rumput laut adalah karbohidrat (gula atau vegetable

gum), protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam

natrium dan kalium (Angka dan Suhartono, 2000). Komposisi kimia rumput laut

bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh, dan musim (Ulvana, 2010).

Komponen terbesar dalam rumput laut adalah mineral dan karbohidrat (serat

pangan). Selain itu, komponen lain yang terdapat dalam jumlah kecil diantaranya

adalah protein, lemak, dan vitamin (Matanjun, 2009).

Menurut Suparmi dan Achmad (2009), keanekaragaman rumput laut di

Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan dengan negara lain. Namun

demikian, pemanfaatan rumput laut di Indonesia, terutama untuk keperluan

industri dan kesehatan masih belum optimal.

Walaupun telah lama dikenal dan dimanfaatkan, publikasi rumput

laut baru dimulai pada abad ke-17 oleh negara Jepang dan Cina (Indriani dan

Suminarsih, 2005). Potensi rumput laut perlu terus digali, mengingat tingginya

keanekaragaman rumput laut di perairan Indonesia. Perairan Indonesia sebagai

wilayah tropis memiliki sumber daya plasma nutfah rumput laut sebesar 6,42%

dari total biodiversitas rumput laut dunia (Santosa, 2003; Surono, 2004).

Keberadaan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan

mengganggu pemanfaatan tanaman darat (Suparmi dan Achmad, 2009). Rumput

laut memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan tanaman darat,

diantaranya memiliki masa panen yang cepat mencapai 4-6 kali pertahun,

berbeda dengan tanaman darat yang hanya 1-2 kali pertahun (Kim dkk., 2007).

Hasil panen per hektar rumput laut sebesar 565 ton/ha jauh berbeda dengan

9

tanaman darat yang hanya sekitar 180 ton/ha (Kim dkk., 2007). Menurut Dahuri

(2005), baik dalam program jangka pendek maupun panjang, rumput laut

khususnya bidang bioteknologi rumput laut termasuk sektor ekonomi kelautan

yang layak dikembangkan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.

Rumput laut juga memiliki keutamaaan lain yaitu memiliki kadar

lignin yang cukup rendah sehingga mudah untuk dihidrolisis (Wi dkk., 2009).

Rumput laut mulai disorot menjadi salah satu sumber dalam pembuatan energi

alternatif karena kandungannya yang memiliki kandungan lignin sedikit atau sama

sekali tidak terdapat lignin dan cara pembiakannya yang tergolong mudah (Jang

dkk., 2012; Yanagisawa dkk., 2011).

2.2 Karakteristik dan Klasifikasi Gracilaria sp.

Gracillaria sp. merupakan salah satu alga merah yang mengandung

senyawa hidrokoloid yang disebut agar (Widyorini, 2010). Gracilaria sp.

memiliki ciri-ciri antara lain: permukaan tubuhnya halus atau berbintil dengan

diameter thallus 0,5-2 mm, panjangnya dapat mencapai 30 cm, umumnya tumbuh

pada arus yang cukup stabil dengan salinitas 5 dan 43% dan pH 6-9 thallus

berwarna hijau, bentuk thallusnya yang kecil, menipis, silindris, dan bentuk

percabangan yang tidak teratur (Anggadiredjo dkk., 2006). Sifat substansi thallus

bervariasi, ada yang lunak seperti gelatin, keras diliputi atau mengandung zat

kapur, dan berserabut (Brief, 2013).

Secara alami, rumput laut Gracilaria sp. tumbuh pada areal pasang surut,

dengan ciri lahan pasir berlumpur, dan merupakan daerah sedimentasi

(Komarawidjaja, 2005). Rumput laut ini mendiami wilayah 300-1000 m dari garis

10

pantai. Pertumbuhan Gracilaria sp. diketahui lebih baik di tempat dangkal yang

memiliki intensitas cahaya tinggi dari pada di tempat dalam. Rumput laut jenis

Gracillaria ditemukan hampir di seluruh wilayah perairan (tropis dan non

tropis) dan merupakan spesies yang mengandung komponen agar. Rumput laut

jenis ini hidup berasosiasi dengan makroalga yang lain. Gracilaria sp. termasuk

rumput laut yang bersifat euryhalin (dapat beradaptasi dengan kadar salinitas),

sifat tersebut dapat terlihat dari kemampuan hidupnya pada perairan bersalinitas

15-30 ppt. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan adalah 20oC-28

oC dan pH

optimum antara 6-9. Gracilaria sp. banyak dibudidayakan di daerah tambak atau

pantai, karena perawatannya sangat mudah, bibitnya murah dan mudah diperoleh,

serta memiliki sifat yang toleran terhadap faktor-faktor lingkungan (Widyorini,

2010). Klasifikasi rumput laut Gracillaria sp. menurut Silva (1996), adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Rhodophyta

Class : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Family : Gracilariaceae

Genus : Gracilaria

Species : Gracilaria sp.

11

2.3 Manfaat dan Kandungan Rumput Laut

Rumput laut memiliki banyak peranan penting bagi manusia. Ilalqisny dan

Widyartini (2000), melaporkan bahwa sejak tahun 2700 SM, rumput laut telah

dimanfaatkan sebagai bahan pangan manusia. Pemanfaatan rumput laut sebagai

makanan karena mempunyai gizi yang cukup tinggi yang sebagian besar terletak

pada karbohidrat, selain lemak dan protein. Pada awal 1980 perkembangan

permintaan rumput laut di dunia meningkat seiring dengan peningkatan

pemakaian rumput laut untuk berbagai keperluan antara lain di bidang industri,

makanan, tekstil, kertas, cat, kosmetika, dan farmasi (obat-obatan) (Atmadja dkk.,

1996). Menurut Suparmi dan Achmad (2009), rumput laut dapat dijadikan sebagai

makanan tambahan maupun obat-obatan, kosmetik, pakan ternak, dan pupuk

organik di negeri Jepang, dan Cina. Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut untuk

industri dimulai untuk industri agar-agar (Gelidium dan Gracilaria) kemudian

untuk industri kerajinan (Eucheuma) serta untuk indutri alginat (Sargassum)

(Suparmi dan Achmad, 2009).

Dinding sel dari rumput laut tersusun dari bahan berlignoselulosa.

Kandungan selulosa dan polisakarida berbentuk gel yang tinggi ini membuat

rumput laut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar bioetanol

(Hanna, 2001). Rumput laut Gracilaria sp mengandung selulosa 20,17% (Sari

dk., 2013). Komposisi kimia rumput laut pada umumnya tersusun dari air,

karbohidrat, protein, lemak, dan serat. Menurut Angka dan Suhartono (2000),

komponen utama rumput laut adalah karbohidrat (gula atau vegetable gum),

protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium

12

dan kalium. Komponen terbesar dalam rumput laut adalah mineral dan

karbohidrat (serat pangan). Selain itu, komponen lain yang terdapat dalam

jumlah kecil diantaranya adalah protein, lemak, dan vitamin (Matanjun, 2009).

Menurut Sandi (2014), rumput laut Gracilaria sp. yang diambil dari pantai

Serangan, Bali, mengandung komposisi kimia yang terdiri dari protein (1,60 %),

karbohidrat (73,66 %), lemak (3,34 %), dan abu (14,03%).

2.4 Lignoselulosa

Lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan

komponen utama selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketersediaan lignoselulosa

yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah pertanian, perkebunan, dan

kehutanan (Hermiati dkk, 2010). Struktur dari ketiganya dapat dideskripsikan

sebagai kerangka selulosa yang menempel pada ikatan silang matriks

hemiselulosa serta dikelilingi oleh lignin sebagai kulitnya (Yuanisa dkk., 2015).

Kandungan dari ketiga komponen lignoselulosa bervariasi tergantung dari jenis-

jenis bahannya (Anindyawati, 2009).

Secara umum material lignoselulosa terdiri dari selulosa (35-50% berat),

hemiselulosa (20-35% berat) dan lignin (10-25% berat) (Schacht dkk., 2008).

Kandungan selulosa dan hemiselulosa yang besar inilah yang membuat material

lignoselulosa sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan

bioetanol. Lignoselulosa ketersediaannya cukup melimpah dan tidak digunakan

sebagai bahan pangan sehingga, penggunaannya sebagai sumber energi tidak

mengganggu pasokan bahan pangan (Hermiati dkk., 2010).

13

Lignoselulosa dapat dikonversi menjadi produk lain misalnya, pupuk

organik, bioetanol, biogas, biohidrogen, dan industri kimia (Anindyawati, 2010).

Salah satu proses konversi bahan lignoselulosa yang banyak diteliti adalah proses

konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Schacht dkk., 2008; Shi dkk., 2009).

Selulosa dan hemiselulosa digunakan sebagai sumber glukosa yang dapat

difermentasi untuk menghasilkan bioetanol (Karman, 2012).

2.4.1 Lignin

Lignin adalah bagian utama dari dinding sel tanaman yang merupakan

polimer terbanyak setelah selulosa dan hemiselulosa (Osvaldo dkk., 2012). Lignin

memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadapa serangga dan

patogen (Perez, 2002). Jumlah komponen ligni dalam suatu bahan sangat

berpengaruh pada sifat resisten bahan tersebut untuk didegradsi secara kimia

maupun enzimatik (Taherzade dan Karimi, 2008). Struktur molekul lignin terdiri

dari p-koumarin alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol) yang tersusun

oleh monomer aromatik yang dihubungkan oleh ikatan eter dan karbon

(Anggarawati, 2012). Semakin banyak komponen lignin dalam suatu bahan,

semakin sulit dan lama bahan itu untuk didegradasi. Lignin dapat membentuk

ikatan kovalen dengan beberapa komponen hemiselulosa, seperti ikatan benzil

ester dengan grup karboksil dari asam 4-O-metal-D-glukoronik dalam ksilan

(Octavia dkk, 2011). Adanya lignin disekeliling selulosa merupakan hambatan

utama dalam menghidrolisis selulosa.

Lignin dapat didegradasi oleh enzim-enzim lignolitik, seperti lakase

(polifenol oksidase), lignin peroksidase (Li-P), dan mangan peroksidase (Mg-P)

14

(Anindyawati, 2009). Enzim-enzim tersebut merupakan multi enzim ektraseluler

yang berperan dalam proses depolimerisasi lignin.

2.4.2 Selulosa

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan

hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni dialam melainkan berikatan

dengan lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd, 2002). Selulosa

tersusun dari molekul-molekul anhidro D-glukosa yang berikatan dengan β-1,4

glukosidik dengan ikatan hydrogen (Foyle dkk., 2007. Struktur yang linier

menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut (Osvaldo dkk.,

2012).

Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk yang memiliki nilai

ekonomi tinggi seperti glukosa, etanol, dan pakan ternak melalui proses hidrolisis

dengan bantuan enzim selulase atau dengan proses hidrolisis asam-basa

(Immanuel dkk., 2001). Rumput laut mengandung selulosa yang berbeda-beda

terkantung jenis dan tempat hidupnya. Kadar selulosa pada berbagai jenis rumput

laut dapat disajikan pada Tabel 2.1.

Table 2.1 Kadar Selulosa Berbagai Jenis Rumput Laut.

Jenis Rumpur Laut Kadar Selulosa (%)

Gelidium amansii 16,8

Eucheuma cotonii 7,1

Gracilaria sp. 19,7

Codium fragile 10,9

Undaria pinattinda 2,4

Laminaria japonica 6,7

Sumber: Kim dkk., 2008

15

2.4.3 Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan polisakarida yang larut dalam larutan alkali dan

mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa. Hemiselulosa sangat

dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman (Fengel dan

Wegener 1984; Howard dkk., 2003). Menurut Girio dkk. (2010) hemiselulosa

tersusun atas beberapa gula seperti α-L-rhamnose dan α-L-fucose dalam jumlah

kecil dan grup gula hidroksil yang dapat disubtitusi dengan grup asetil.

Berbeda dari selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan

monomer glukosa rantai utama hemiselulosa dapat terdiri atas hanya satu jenis

monomer (homopolimer), seperti xilan, atau terdiri atas dua jenis atau lebih

monomer (heteropolimer), seperti glukomannan (Schacht dkk., 2008).

Hemiselulosa dapat didegradasi dengan enzim hemiselulase yang

merupakan multi enzim yang teridiri atas xilanase, β-manannase, α-L-

arabinofuranosidase, α -D-glucuronidase, β -xylosidase, dan hemiseluloti esterase

dengan komponen utama C5 yang terdiri atas polimer heteropolisakarida

(Wiratmaja, 2011).

2.5 Selulase

Enzim merupakan biokatalosator dalam reaksi kimia. Selulase merupakan

enzim yang berperan dalan menghidrolisis selulosa menjadi monomer-monomer

glukosa. Saat ini, perhatian sudah diarahkan pada penggunaan selulase untuk

menghidrolisis selulosa. Hidrolisis enzimatik lebih diutamakan karena memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis kimiawi, antara lain: tidak terjadi

degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu dan tekanan

16

rendah), serta proses enzimatik merupakan proses yang ramah lingkungan

(Gunam dkk., 2011).

Nama selulase merupakan nama umum bagi semua enzim yang dapat

memutuskan ikatan β-1,4-glukosida dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa serta

turunan selulosa yang lain (Sekarsari, 2003). Terdapat empat kelompok enzim

utama sebagai komponen penyusun selulase berdasarkan spesifikasi substrat

masing-masing enzim (Yunasfi, 2008), yaitu:

1. Endo-β-1,4-glukanase (EC 3.2.1.4) menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida

secara acak. Enzim ini tidak menyerang selobiosa tetapi menghidrolisis

selodekstrin, selulosa yang telah dilongarkanoleh asam fosfat dan selulosa

yang telah disubstitusi seperti CMC dan HES (Hidroksi Etil Selulosa).

2. β-1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91), menyerang ujung rantai

selulosa non pereduksi dan menghasilkan selobiosa. Enzim ini dapat

menyerang selodekstrin tetapi tidak menyerang selulosa yang telah

disubstitusi serta tidak dapat menghidrolisis selobiosa.

3. β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74), menyerang ujung rantai selulosa

non pereduksi dan menghasilkan glukosa. Enzim ini menyerang selulosa yang

telah dilonggarkan dengan asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC.

4. β-1,4-D-glukosidase (EC.3.2.1.21), menghidrolisis selobiosa dan selo-

oligosakarida rantai pendek serta menghasilkan glukosa. Enzim selulase

biasanya diproduksi oleh mikroba contohnya fungi, bakteri, dan juga protozoa

selain itu juga diproduksi oleh tanaman dan hewan (Morana dkk., 2011).

Enzim selulase terdapat pada jamur dan bakteri baik yang aerobik dan

17

anaerobik. Jamur mesofilik aerobik Trichoderma reesei dan mutannya

merupakan jamur yang sering banyak dipelajari sumber selulasenya. Jamur

lainnya yang memproduksi selulase yaitu T. viride, T. lignorum, T. koningii,

Penicillium spp., Fusarium spp., Aspergillus spp., dan Sclerotium rolfsii.

Handoko dkk. (2012), melaporkan bahwa aktivitas enzim selulase berkisar

pada pH antara 4,5-5,5, dan temperatur 40oC-50

oC.

2.6 Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroba bersel tunggal yang

berukuran 5-20 mikron. S. cerevisiae tergolong eukariot yang secara morfologi

hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat

telur yang dipengaruhi oleh strainnya (Heru, 2011). Menurut Judoamidjojo

(1990), dalam ragi terdapat banyak jenis khamir, tetapi hanya satu spesies yang

dikenal dapat mengkonversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi yaitu

Saccaromyces cereviceae. Jenis ini menghasilkan enzim invertase dan zimase.

Enzim invertase berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida

(glukosa dan fruktosa). Sedangkan enzim zimase mengubah glukosa menjadi

etanol. S. cerevisiae merupakan khamir yang paling penting pada fermentasi,

karena mampu memproduksi alkohol dengan konsentrasi tinggi dan fermentasi

spontan (Sudarmadji, 1998).

S. cerevisiae berkembang biak secara aseksual yaitu dengan bertunas.

Menurut Fardiaz (1992), S. cerevisiae memiliki kisaran suhu untuk pertumbuhan

antara 20oC-30

oC. Tetapi Kumalasari (2011), menyatakan bahwa S. cerevisiae

akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu 30oC-35

oC dan puncak produksi alkohol

18

dapat dicapai pada suhu 33oC. Jika suhu terlalu rendah maka fermentasi akan

berjalan dengan lambat dan sebaliknya maka S. cerevisiae akan mati sehingga

proses fermentasi tidak akan berlangsung (Asizah dkk., 2012).

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang penting yang

perlu diperhatikan pada saat fermentasi. Menurut Roukas (1994), kisaran

pertumbuhan S. cerevisiae pada pH 3,5-6,5. Ditambahkan oleh Elevri dan Putra

(2006), produksi bioetanol oleh S. cerevisiae paling maksimal dapat dicapai pada

pH 4,5.

Taksonomi Saccharomyces cerevisiae menurut (Sanger, 2004) adalah

sebagai berikut :

Super Kingdom : Eukaryota

Phylum : Fungi

Subphylum : Ascomycota

Klas : Saccharomycetes

Order : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Saccharomyces

Species : Saccharomyces cerevisiae

Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden

Meyerhorf Parnas (EMP) atau glikolisis. Hasil dari EMP adalah memecahkan

glukosa menjadi 2 molekul piruvat. Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang

terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat

dekarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol dehidrogenase dirubah menjadi

19

etanol (Zaldivar dkk., 2001). Jalur EMP dapat di tunjukan pada gambar 1 dibawah

ini:

Gambar 2.1

Pembentukan Etanol Melalui Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (Moat dan Foster,

1988)

2.7 Bioetanol

Bioetanol adalah etanol yang berasal daari makluk hidup, dalam hal ini

adalah bahan nabati yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan gula, pati, dan

selulosa (Kristina dkk., 2012), dengan bantuan mikroorganisme. Produk bioetanol

yang memenuhi standar tidak mempunyai efek samping yang merugikan.

D-Glukose

Glukose-6-P

Fructose-6-P

Fructoce-1,6-diP

Glyseraldehide-3P

Phosphoenol pyruvate

pyruvate

acetaldehyde

heksokinase

fosfoheksoisomerase

fosfoheksokinase

fosfotriosaisomeras

enolase

piruvatkinase

etanol

20

Bioetanol tidak berwarna, mudah menguap, titik didih 78,332oC, larut dalam air

dan eter, memiliki bau yang khas, dan dapat dipakai sebagai pelarut dalam dunia

farmasi dan industri (Sari, 2010).

Bioetanol dapat dijadikan bahan bakar alternatif bensin (Idral dkk., 2012).

Beberapa kelebihan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif yaitu mengandung

35% oksigen, memiliki nilai oktan yang tinggi sebesar 96-113, bersifat ramah

lingkungan karena gas buangannya rendah terhadap senyawa-senyawa yang

berpotensi sebagai polutan seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen

oksida serta bioetanol dapat diperbaharui (Hambali dkk, 2007).

Menurut Hambali dkk. (2007) berdasarkan kadar alkoholnya, etanol dibagi

menjadi tiga tingkatan, antara lain:

1. Tingkat industri dengan kadar alkohol 90-94%

2. Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%. Umumnya digunakan untuk minuman

keras atau bahan baku industri farmasi.

3. Tingkat bahan bakar dengan kadar alkohol 99,5%.diatas

2.8 Manfaat Bioetanol

Etanol digunakan dalam beragam industri seperti campuran untuk

minuman keras seperti sake atau gin, bahan baku farmasi, kosmetika, dan

campuran bahan bakar kendaraan (Sari, 2010). Etanol digunakan sebagai bahan

bakar karena dapat meningkatkan daya dan torsi dari kendaraan (Saragih dan

Djoko, 2013). Bioetanol mengandung 35% oksigen, sehingga dapat meningkatkan

efisiensi pembakaran, ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar

karbon monoksidanya, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca yang menjadi

21

polutan, mudah terurai dan aman karena tidak mencemari lingkungan (Sari, 2010).

Bioetanol dijadikan sebagai bahan bakar alternatif, yang dapat digunakan sebagai

pengganti bahan bakar bensin. Bioetanol juga digunakan sebagai bahan bakar

pengganti minyak tanah. Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah

lingkungan, penggunaannya sebagai bahan bakar kompor terbukti lebih hemat dan

efisien proses pembakarannya (Hapsari dan Alice, 2013).

2.9 Teknologi Pengolahan Bioetanol

Secara umum, produksi bioetanol dari bahan berbasis selulosa mencakup 4

rangkaian proses yaitu pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan destilasi.

2.9.1 Preatreatment

Proses pengolahan awal (pretreatment) merupakan proses perombakan

struktur dan komposisi kimia dari lignoselulosa, agar selulosa lebih mudah

diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula

(Kristina dkk., 2012). Pretreatment diperlukan untuk menghilangkan lignin dan

hemiselulosa dan menurunkan tingkat kekristalan selulosa. Tujuan dari

pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa, agar selulosa menjadi

lebih mudah diakses oleh enzim yang memecahkan polisakarida menjadi

monomer glukosa. Menurut Novia dkk. (2014), pretreatment dapat meningkatkan

kadar glukosa, hal ini terjadi karena jumlah lignin rendah dalam biomassa

sehingga enzim lebih fokus untuk menghidrolisis selulosa. Menurut Mosier dkk.

(2005), tanpa pretreatment menghasilkan gula hanya 20% sedangkan melalui

pretreatment akan meningkatkan 50% kadar gula.

22

Pretreatment yang baik dapat mempermudah proses hidrolisis dan

mengurangi jumlah enzim selulase yang digunakan serta menekan biaya dalam

proses hidrolisis (Anindyawati, 2010). Pretreatment dapat dilakukan dengan

menggunakan asam, alkali ataupun mikroorganisme. Pretreatment alkali dapat

meningkatkan kandungan selulosa dan efektif untuk menghilangkan lignin

(Kristina dkk., 2012)

Menurut (Sun dan Cheng 2002), pretreatment seharusnya memenuhi

kebutuhan berikut ini:

1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada

proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik.

2) Menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat.

3) Menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses

hidrolisis dan fermentasi, dan biaya yang dibutuhkan ekonomis.

2.9.2 Hidrolisis

Hidrolisis merupakan reaksi kimia yang memecah molekul menjadi dua

bagian dengan penambahan molekul air (H2O), dengan tujuan untuk

mengkonversi polisakarida menjadi monomer-monomer sederhana (Osvaldos

dkk., 2012). Metode yang banyak digunakan untuk memecah rantai selulosa

menjadi glukosa adalah hidrolisis dengan asam dan enzim. Hidrolisis asam dapat

dikelompokkan menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer

(Kardono, 2010). Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam

antara lain adalah asam sulfat (H2SO4) dan asam HCl (Sari, 2010).

23

Hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam pekat akan mempercepat

proses hidrolisis tetapi akan menurunkan hasil hidrolisis karena glukosa mudah

sekali diuraikan (Ulfana, 2010). Komponen terlarut yang utama pada hasil

hidrolisis akhir adalah xilosa, arabinosa, glukosa, galaktosa, mannosa,

hidroksimetil furfural dan asam-asam organik seperti asam formiat dan asam

asetat (Osvaldo dkk., 2012).

Kekurangan dari hidrolisis asam adalah terbentuknya senyawa-senyawa

inhibitor yang mengganggu proses fermentasi, sehingga berpengaruh terhadap

tingkat produksi bioetanol (Susmiati, 2011), memerlukan peralatan yang tahan

korosif, dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Produk sisa yang dapat

menghambat proses fermentasi berupa furfural, 5-hydroxy methyl furfural (HMF),

asam lefulenat, asam asetat, asam format, dan asam uronat.

Selain asam, hidrolisis dapat menggunakan metode enzimatik. Enzim

merupakan protein yang bersifat katalis sehingga disebut biokatalis. Hidrolisis

enzim memiliki kemampuan untuk memproduksi glukosa dengan kadar tinggi

(75-95%) dan tidak berlangsung pada suhu tinggi. Enzim bekerja secara spesifik

sehingga enzim harus sesuai dengan polisakarida yang akan dihidrolisis (Saha,

2003). Enzim yang digunakan adalah enzim selulase berjenis Cellusoft L.

Enzim Cellusoft L terdiri dari campuran tiga jenis enzim, yaitu

endoselulase, eksoselulase dan selobiase. Menurut Saha (2003), enzim selulase

bekerja spesifik untuk mengubah selulosa menjadi glukosa melalui tiga tahap.

Pada tahap pertama enzim endoselulase memecah ikatan kristal selulosa yang

semula berupa ikatan silang menjadi ikatan selulosa rantai lurus. Pada tahap ke

24

dua, enzim eksoselulase memecah selulosa berantai lurus menjadi selobiose, yaitu

senyawa yang terdiri atas dua molekul glukosa. Pada tahap ke tiga, enzim

selobiase mengubah selobiose menjadi molekul-molekul glukosa.

Hidrolisis enzim mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa

kelebihan hidrolisis enzim selulase dibandingkan hidrolisis asam, antara lain tidak

terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, tidak terjadi reaksi samping, lebih ramah

lingkungan, dan tidak melibatkan bahan-bahan yang bersifat korosif (Schacht

dkk., 2008), toksisitas yang rendah, dan dapat berlangsung pada pH dengan

kisaran 4,5-5,5 (AlJibouri 2012). Suhu optimum aktivitas enzim selulase

berkisara antara 40oC-50

oC (Gautam dkk., 2011). Kekurangan dari hidrolisis

enzim adalah harga enzim cukup mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama

bisa mencapai 72 jam (Kardono, 2010).

2.8.3 Fermentasi etanol

Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat organik, baik

karbohidrat, protein, lemak, atau lainnya melalui kegiatan enzim atau mikroba

spesifik (Kristina dkk., 2012). Fermentasi karbohidrat oleh yeast merupakan

proses penghasil etanol dan karbondiaoksida secara anaerob (Sudarmadji dkk,

1989). Bioproses bioetanol terdiri atas dua metode yaitu metode Separated

Hydrolysis and Fermentation (SHF) dan metode Simultaneous Saccharification

and Fermentation (SSF). SHF merupakan metode hidrolisis dan fermentasi

dilakukan secara terpisah. Bahan baku yang mengandung selulosa mengalami

proses hidrolisis secara terpisah dari proses fermentasi. Hal ini dimaksudkan

25

untuk memudahkan pengontrolan terhadap tiap tahap, agar tercapai hasil yang

diingin (Irna dkk., 2013).

Sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) merupakan salah satu metode

untuk konvsersi karbohidrat menjadi etanol. Pada tahap sakarifikasi, selulosa

diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula seperti glukosa

(Hermiati dkk., 2010). Pada metode SSF hidrolisis dan fermentasi dilakukan

secara bersamaan dalam satu reaktor. Pada metode ini menggunakan selulase dan

Sacchromyces cerevisiae dalam memproduksi glukosa dan fermentasi menjadi

etanol (Irna dkk., 2013). Kelebihan metode ini ialah dapat meningkatkan

kecepatan hidrolisis dengan konversi gula, mengurangi kebutuhan enzim,

meningkatkan rendemen produk, dapat mengurangi kebutuhan sterilisasi karena

glukosa langsung dikonversi menjadi etanol, serta waktu proses lebih pendek

(Hermiarti, 2010). Samsuri (2007) melaporkan, dengan mengunakan metode

sakarifikasi dan fermentasi simultan kadar etanol yang dihasilkan dari bagas

residu padat pengolahan tebu lebih besar dibandingkan dengan metode terpisah.

Menurut Budiyanto (2003), untuk mendapatkn hasil fermentasi yang

optimum perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Kadar gula yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas khamir.

Konsentrasi gula yang optimum untuk menghasilakan kadar etanol yang

optimum adalah 14-18%.

2. Suhu yang baik untuk fermentasi adalah 30oC. Semakin rendah suhu

fermentasi, maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilakn. Hal ini

dikarenakan pada suhu rendah CO2 lebih sedikit dihasilkan.

26

3. Derajat keasaman akan mempengaruhi kecepatan fermentasi. pH yang

optimum untuk fermentasi khamir adalah 4-4,5. Untuk pengaturan pH dapat

digunakan NaOH untuk menaikan pH dan asam sitrat untuk menurunkan pH.

pH ideal untuk fermentasi adalah 4-6 (Saroso, 1998).

Proses fermentasi umumnya dijumpai empat fase pertumbuhan mikroba

yaitu fase lag, log, stasioner, dan kematian (Jamilatun, 2010). Menurut Fardiaz

(1992), fermentasi etanol meliputi dua tahap yaitu:

1. Pemecahan rantai karbon dari glukosa dan pelepasan paling sedikit dua pasang

atom hydrogen melalui jalur EMP (Embden Meyerhoff Parnas), menghasilkan

senyawa karbon lainnya yang lebih teroksidasi daripada glukosa.

2. Senyawa yang teroksidasi tersebut direduksi kembali oleh atom hydrogen

yang dilepaskan dalam tahap pertama, membentuk senyawa-senyawa hasil

fermentasi yaitu etanol.

Dari satu mol glukosa akan terbentuk dua molekul etanol dan dua molekul

CO2 sehingga berdasarkan bobotnya secara teoritis 1 gram glukosa akan

menghasilakn 0,51 gram etanol (Judoamidjojo, 1990). Reaksi pembentukan etanol

sebagai berikut:

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Kecepatan fermentasi etanol dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

susunan substrat, kecepatan pemakaian zat gizi, tingkat inokulasi, keadaan

fisiolagi khamir, aktivitas enzim-enzim jalur EPM, toleransi khmir terhadap gula,

dan kadar alkohol serta kondisi selama fermentasi (Astuti, 1991).

27

2.8.4 Destilasi

Destilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan larutan

berdasarkan perbedaan titik didih (Kristina dkk., 2012). Menurut Nurdyastuti

(2006), untuk meningkatkan kemurnian bioetanol hasil fermentasi, maka harus

melalui proses destilasi. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air

adalah 100oC (kondisi standar) (Kristina dkk., 2012).

2.10.4 Penentuan Kadar Etanol

Untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan dari proses destilasi, maka

perlu dianalisa atau diukur kadarnya. Metode yang biasa digunakan untuk

pengukuran kadar etanol yaitu metode berat jenis (piknometer), massa jenis

destilat diukur dengan rumus (AOAC, 1984) dan gas kromattografi. Berat jenis

dihitung dengan rumus berikut:

D - P

A =

W - P

Keterangan : A: Berat jenis larutan standar etanol (g/ml)

D: Massa destilat (g)

W: Massa piknometer berisis aquades (mL)

P: Massa piknometer kosong (g)

Kadar etanol dihitung menggunakan persamaan kurva baku konversi

massa jenis etanol. Massa jenis larutan etanol semakin kecil, maka kadar etanol di

dalam larutan tersebut semakin besar. Hal ini dikarenakan etanol mempunyai

berat jenis lebih kecil daripada air sehingga semakin kecil berat jenis larutan

berarti jumlah/kadar etanol semakin banyak (Mardoni, 2007). Selain metode berat

28

jenis, untuk menentukan kadar etanol dapat digunakan kromatografi Gas (GC).

Penentuan kadar etanol dilakukan dengan pendekatan luas area yang

dibandingkan dengan luas area standar. Standar etanol yang digunakan adalah

etanol 99,98 %. Kemudian kadar etanol dihitung dengan rumus yang digunakan

oleh Subekti (2006), sebagai berikut:

Luas area sampel

Kadar etano (%) = x % konsentrasi standar

Luas area standar