Upload
others
View
29
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Nyeri
2.1.1 Definisi nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2002) nyeri sebagai pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial. Rasa nyeri adalah alasan utama seseorang untuk
mencari bantuan perawat kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses
penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau
pengobatan.
Nyeri dikatakan sebagai sensasi yang rumit, unik, universal, dan
bersifat individual (Asmadi, 2008). Menurut Potter & Perry (2010) nyeri
merupakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, bersifat subjektif dan
berhubungan dengan panca indra. Sedangkan, menurut (Black & Hawks,
2014 dalam Mulyanto dkk, 2014) nyeri merupakan fenomena
multidimensional sehingga sulit untuk didefinisikan.
2.1.2 Teori-teori nyeri
Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan
mekanisme transmisi nyeri :
2.1.2.1 The specificity theory (teori spesifik)
Teori ini menjelaskan bahwa otak menerima informasi mengenai
objek eksternal dan struktur tubuh melalui saraf sensori. Timbulnya
sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung–ujung serabut saraf
bebas oleh perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang
berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri
diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus
(Asmadi, 2008).
9
2.1.2.2 The intensity theory (teori intensitas)
Menurut teori intensitas nyeri adalah hasil rangsangan yang
berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk
menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat (Asmadi, 2008).
2.1.2.3 The gate control theory (teori kontrol pintu)
Teori kontrol pintu adalah teori paling sederhana mengenai
penjelasan fisiologi nyeri, yang dikemukaan oleh Melzack dan Well pada
tahun 1965. Dalam teorinya mengemukakan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang
sistem saraf pusat. Artinya, impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup
(Potter & Perry, 2006).
2.1.3 Klasifikasi nyeri
Menurut (Asmadi, 2008 ; Potter & Perry, 2006 ; Lusianah dkk, 2012)
nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada
tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan.
2.1.3.1 Nyeri berdasarkan tempatnya
• Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh
misalnya pada kulit, mukosa.
• Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
• Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh
didaerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
• Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada
sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.
• Nyeri akibat kanker merupakan nyeri yang dirasakan pada klien yang
menderita kanker. Nyeri yang dirasakan biasanya bersifat akut atau
kronis. Nyeri kanker disebabkan oleh berkembangnya tumor dan
berhubungan dengan proses patologis, prosedur invasif, toksin-toksin
dari pengobatan, infeksi dan keterbatasan secara fisik. Nyeri ini
10
dirasakan pada lokasi dimana tumor berada atau tidak jauh dari tumor
atau kanker.
2.1.3.2 Nyeri berdasarkan sifatnya
• Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
• Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta yang dirasakan
dalam waktu yang lama.
• Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan
kuat. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu
menghilang, kemudian timbul lagi.
2.1.3.3 Nyeri berdasarkan berat ringannya
• Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
• Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
• Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
2.1.3.4 Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan
• Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan
berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui
dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti
luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri
koroner.
Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara, mendadak, area
nyeri teridentifikasi. Gejala nyeri muncul seperti berkeringat, pucat,
peningkatan tekanan darah, nadi dan pernapasan.
• Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri
kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan
periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali
nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan,
artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin
meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.
Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.
11
Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung lebih dari 5 bulan,
lokasi nyeri tidak teridentifikasi, sulit dihilangkan, tidak ada
perubahan pada tanda-tanda vital tubuh.
• Nyeri kronis yang tak teratur merupakan nyeri yang sesekali terjadi
dalam jangka wakru tertentu. Nyeri berlangsung selama beberapa jam,
hari atau minggu.
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya persepsi nyeri, usia, jenis
kelamin, faktor sosiobudaya, pengalaman masa lalu (Black & Hawks, 2014
dalam Mulyanto dkk, 2014; Potter & Perry, 2010 ; Lusianah dkk, 2012).
2.1.4.1 Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan persepsi individu menerima dan
menginterpretasikan nyeri berdasarkan pengalaman masing-masing.
Nyeri yang dirasakan tiap individu berbeda-beda. Persepsi nyeri
dipengaruhi oleh toleransi individu terhadap nyeri.
2.1.4.2 Faktor sosiobudaya
Faktor sosiobudaya merupakan faktor penting dalam respons
individu terhadap nyeri. Respon terhadap nyeri cenderung merefleksikan
moral dan budaya masing-masing.
2.1.4.3 Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Individu yang
berumur lebih tua mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio
lemak tubuh terhadap masa otot lebih besar dibanding individu berusia
lebih muda, sehingga analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk
menghilangkan nyeri.
2.1.4.4 Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang dapat mempengaruhi
respon nyeri. Pada dasarnya pria lebih jarang melaporkan nyeri
dibandingkan wanita.
12
2.1.4.5 Pengalaman masa lalu
Pengalaman sebelumnya mengenai nyeri mempengaruhi persepsi
akan nyeri yang dialami saat ini. Individu yang memiliki pengalaman
negatif dengan nyeri pada masa kanak-kanak dapat memiliki kesulitan
untuk mengelola nyeri.
2.1.4.6 Ansietas (kecemasan)
Hubungan antara nyeri dengan kecemasan bersifat kompleks.
Kecemasan terkadang meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri
juga menyebabkan perasaan cemas. Dalam teorinya melaporkan bahwa
stimulus nyeri yang mengaktivasi bagian dari sistem limbic dipercaya
dapat mengontrol emosi, terutama kecemasan. Sistem limbik memproses
reaksi emosional terhadap nyeri, apakah dirasa mengganggu atau
berusaha untuk mengurangi nyeri.
2.1.4.7 Suku bangsa
Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya mempengaruhi
bagaimana seseorang individu mengatasi rasa sakitnya. Individu belajar
tentang apa yang diharapkan dan diterima oleh budayanya, termasuk
bagaimana reaksi terhadap nyeri. Beberapa budaya percaya bahwa
menunjukan rasa sakit adalah suatu hal yang wajar. Sementara budaya
yang lain lebih cenderung untuk tertutup. Ada perbedaan makna dan
perilaku yang berhubungan dengan nyeri antara beragam kelompok
budaya. Suatu pemahaman yang baik tentang makna nyeri berdasarkan
budaya seseorang akan membantu perawat dalam membuat rencana
asuhan keperawatan yang lebih relevan untuk nyeri yang dialami.
2.1.4.8 Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi
persepsi nyeri yang dirasakan, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari
berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik
imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase. Dengan
13
memfokuskan perhatian dan kosentrasi klien terhadap stimulus lain,
kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun.
2.1.4.9 Kelemahan (fatigue)
Kelemahan akan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri
dan dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah.
Apabila kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi terhadap
nyeri akan lebih besar.
2.1.4.10 Teknik koping
Teknik koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mengatasi nyeri. Seseorang yang memiliki koping yang baik mereka
dapat mengontrol rasa nyeri yang dirasakan. Tetapi sebaliknya, jika
seseorang yang memiliki koping yang buruk mereka akan merasa bahwa
orang lainlah yang akan bertanggung jawab terhadap nyeri yang
dialaminya. Konsep inilah yang dapat diaplikasikan dalam penggunaan
analgesik yang dikontrol pasien (patient-controlled analgesia/PCA).
2.1.4.11 Keluarga dan dukungan sosial
Seseorang yang merasakan nyeri terkadang bergantung kepada
anggota keluarga yang lain atau teman dekat untuk memberikan
dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun rasa nyeri masih
terasa, tetapi kehadiran keluarga ataupun teman terkadang dapat
membuat pengalaman nyeri yang menyebabkan stress sedikit berkurang.
Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak yang mengalami
nyeri.
2.1.5 Respon terhadap nyeri
Menurut Potter & Perry (2006) ada dua respons terhadap nyeri, yaitu
respons fisiologis dan respons perilaku. Kedua respons ini timbul ketika
seseorang terpapar dengan nyeri, dan masing – masing individu mempunyai
karakteristik yang berbeda dalam merespons nyeri tersebut.
2.1.5.1 Respons fisiologis terhadap nyeri
Respons nyeri fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan
individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju batang
14
otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi tersimulasi sebagai
bagian dari respons stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang
dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang
merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulus pada cabang simpatis pada
saraf otonom menghasilkan respons fisiologis.
Apabila nyeri berlangsung terus – menerus, berat, atau dalam, dan secara
tipikal melibatkan organ–organ viseral (seperti nyeri pada infark
miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf
parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Kecuali pada kasus–kasus nyeri
traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok,
kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu ketika tanda– tanda
fisik kembali normal. Dengan demikian, seseorang yang mengalami
nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda–tanda fisik. Berikut ini
tabel yang menunjukkan respons fisiologis terhadap nyeri:
Tabel 2.1 Respons Fisiologis Nyeri
Respons Penyebab atau efek
Stimulus simpatik
Dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan frekuensi pernapasan
Menyebabkan peningkatan asupan oksigen
Peningkatan frekuensi denyut nadi Menyebabkan peningkatan transport oksigen
Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah)
Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dan perifer dan visera ke otot – otot skelet dan otak
Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan Diaforesis Mengontrol temperatur tubuh selama stres Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang lebih
baik Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk melakukan
aktivitas dengan lebih baik Stimulus parasimpatik
Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah ke perifer
15
Lanjutan tabel 2.1 Respons Fisiologis Nyeri
(Sumber : Potter & Perry, 2006)
2.1.5.2 Respons perilaku
Apabila nyeri dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, hal tersebut
dapat mengancam kesejahteraan seseorang, baik secara fisik maupun
psikologis. Beberapa pasien memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri
yang dirasakan, karena mereka menganggap bahwa ekspresi tersebut
akan membuat orang lain merasa tidak nyaman atau merupakan salah
satu tanda bahwa mereka kehilangan kontrol terhadap diri mereka
sendiri. Pasien yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap nyeri
mampu menahan rasa nyeri tanpa bantuan atau pertolongan dari orang
lain.
Sedangkan, seseorang yang memiliki toleransi nyeri yang rendah
dapat mencari upaya untuk menghilangkan rasa nyeri sebelum nyeri
terjadi. Gerakan tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya
nyeri, seperti mengatubkan gigi-gigi, memegang tubuh yang terasa sakit,
postur tubuh yang membungkuk, dan ekspresi wajah yang meringis.
Beberapa klien bahkan menangis atau mengerang kesakitan dan biasanya
terlihat gelisah atau meminta sesuatu secara terus-menerus kepada
perawat.
Hal ini menjadi penting bagi seseorang perawat untuk mengenali dan
mengamati respon yang ditunjukkan oleh pasien terutama pada pasien
yang tidak mampu atau tidak bisa melaporkan adanya rasa nyeri yang
dirasakan, contohnya pasien dengan gangguan kognitif. Bagaimanapun,
Ketegangan otot Akibat keletihan Penurunan denyut jantung dan tekanan darah
Akibat stimulasi vagal
Pernapasan yang cepat dan tidak teratur
Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat nyeri yang terlalu lama
Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran cerna Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik
16
kurang atau tidak adanya ekspresi nyeri bukan berarti pasien tidak
merasakan nyeri. Respons perilaku nyeri dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Respons Perilaku Nyeri
Respons Perilaku
Vokalisasi 1. Merintih 2. Menangis 3. Sesak napas/terengah-engah 4. Mendengkur
Ekspresi wajah 1. Meringis 2. Menggeletukkan gigi 3. Mengerutkan dahi 4. Menutup mata atau mulut dengan rapat atau
membuka mata atau mulut dengan lebar 5. Menggigit bibir
Gerakan tubuh 1. Gelisah 2. Imobilisasi 3. Ketegangan otot 4. Peningkatan pergerakan tangan dan jari 5. Aktivitas melangkah atau berjalan bolak balik 6. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok 7. Gerakan melindungi bagian tubuh tertentu
Interaksi sosial 1. Menghindari percakapan 2. Fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan
nyeri 3. Menghindari kontak sosial 4. Penurunan rentang perhatian 5. Mengurangi waktu perhatian 6. Mengurangi interaksi dengan lingkungan
(Sumber : Potter & Perry, 2006)
2.1.6 Patofisiologi nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2002), berdasarkan proses patofisiologi nyeri
terbagi menjadi :
2.1.6.1 Mekanisme neurofisiologi nyeri
Sistem saraf yang mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri dalam
transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif.
Sensitivitas dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi oleh
17
sejumlah faktor yang berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang
terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang
sama. Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak
terasa bagi orang lain. Sebagai contoh, nyeri akibat arthritis kronis dan
nyeri pascaoperatif sering terasa lebih parah pada malam hari.
2.1.6.2 Transmisi nyeri
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit
yang berespons hanya pada stimulus yang kuat dan secara potensial
merusak, sifatnya bisa mekanik, termal, dan kimia. Sendi, otot skelet,
fasia, tendon, dan kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang
mempunyai potensi untuk mentransmit stimuli yang menyebabkan nyeri.
Namun demikian, organ-organ internal yang besar (visera) tidak
mengandung ujung saraf yang berespons hanya pada stimuli nyeri. Nyeri
yang berasal dari organ ini diakibatkan dari stimuli reseptor yang kuat
yang mempunyai tujuan lain. Sebagai contoh, inflamasi, regangan,
iskemia, dilatasi, dan spasme organ-organ internal yang dapat
menyebabkan nyeri hebat.
2.1.6.3 Kornu dorsalis dan jaras asenden
Dorsalis dari medula spinalis dianggap sebagai tempat untuk
merespon nyeri, serabut perifer (seperti reseptor nyeri) dan serabut
traktus sensori asenden berakhir disini. Juga terdapat interkoneksi antara
sistem neuronal desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden
berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls
dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat dicerna secara sadar,
neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktifitas terjadi sebagai
akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ
internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika
diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Sering
kali area ini disebut sebagai “gerbang”. Kecenderungan alamiah gerbang
adalah untuk membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer
18
untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengakibatkan nyeri. Stimulasi
dari neuron inhibitori sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri
dan mencegah transmisi sensasi nyeri.
2.1.7 Pengukuran intensitas nyeri
Menurut Black & Hawks, 2014 (dalam Mulyanto dkk, 2014) intensitas
nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual.
Intensitas nyeri yang dirasakan setiap individu berbeda-beda. Respon nyeri
secara subjektif dideskripsikan dengan nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri
parah. Mendeskripsikan nyeri berbeda antara perawat dan pasien. Skala
deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Perawat menunjukkan skala nyeri tersebut dan meminta pasien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa juah nyeri
terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien
memilih sebuah kategori untuk mendiskripsikan nyeri (Potter & Perry,
2006).
Gambar 2.1. Skala nyeri deskriptif
(Sumber : Potter & Perry, 2006)
Sedangkan skala analog visual adalah suatu garis lurus/horizontal
sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus – menerus dan
19
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk menunjuk
titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis
tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”,
sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang
paling buruk”.
Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak
yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis
dalam sentimeter (Smelzer & Bare, 2002).
Gambar 2.2. Skala analog visual
(Sumber : Potter & Perry, 2006)
2.1.8 Strategi penatalaksanaan nyeri
Strategi penatalaksaan nyeri terbagi menjadi dua, yaitu strategi
pelaksanaan nyeri nonfarmakologis dan strategi pelaksanaan nyeri
farmakologis. Beberapa tindakan penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis
adalah sebagai berikut :
2.1.8.1 Distraksi
Distraksi merupakan tindakan mengalihkan perhatian klien ke hal-
hal yang lain dari nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak
terfokuskan pada nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien
terhadap nyeri. Distraksi bekerja memberi pengaruh paling baik untuk
jangka waktu yang singkat. Misalnya, selama pelaksanaan prosedur
invasif atau saat menunggu kerja analgesik. Distraksi meliputi beberapa
aktivitas seperti menyanyi, berdoa, bermain, menceritakan foto atau
gambar dengan suara keras dan mendengarkan musik (Potter & Perry,
2006).
20
2.1.8.1.1 Gambar
Distraksi audiovisual adalah bentuk pengalihan perhatian yang
efektif untuk anak usia pra sekolah karena didalam distraksi audiovisual
menayangkan tokoh kartun lucu memberikan edukasi kesehatan dalam
bahasa yang sederhana dan menarik, sehingga membuat anak merasa
senang, terhibur dan mendapat nilai edukasi. Selama prosedur injeksi
intravena melalui saluran infuse dilakukan, anak menikmati tayangan
kartun yang disajikan. Hal tersebut tentunya mampu mengurangi
respons buruk anak yang biasanya terjadi ketika prosedur injeksi
berlangsung karena anak fokus pada tayangan yang disajikan dan
mendengarkan apa yang disampaikan oleh tokoh kartun tersebut (Hirma
dkk, 2015).
2.1.8.1.2 Musik
Musik adalah segala sesuatu yang menyenangkan, mendatangkan
keceriaan, mempunyai irama (ritme), melodi, timbre (tone colour)
tertentu untuk membantu tumbuh dan pikiran saling bekerja sama
(Fauzi, 2006 dalam Mayasari, 2015). Terapi musik merupakan
penggunaan musik yang mampu membuat orang yang mendengarnya
menjadi rileks, meningkatkan fungsi mental, mempercepat proses
penyembuhan, dan menciptakan rasa sejahtera. Jenis musik yang dapat
digunakan untuk terapi yaitu mempunyai sifat yang non dramatis,
dinamiknya bias diprediksi, memiliki nada yang lembut, harmonis dan
tidak berlirik, temponya 60-80 beat per minute dan musik yang
dijadikan terapi merupakan musik pilihan pasien.
Sedangkan musik yang bersifat sebaliknya akan menimbulkan
ketegangan pada pasien. Tempo yang cepat, irama yang keras, ritme
yang irregular, tidak harmonis atau dibunyikan dengan volume keras
tidak akan menimbulkan efek terapi. Tetapi efek yang timbul dapat
berupa peningkatan denyut nadi, tekanan darah, laju pernafasan, dan
dapat terjadi peningkatan stres. Dimana musik mampu membuat orang
yang mendengarnya menjadi rileks, meningkatkan fungsi mental,
21
mempercepat proses penyembuhan, dan menciptakan rasa sejahtera
(Jamaludin & Ulya, 2017).
2.1.8.1.3 Mekanisme
Musik dapat menurunkan rasa nyeri yang dirasakan pasien dengan
mekanisme, ketika musik yang mempunyai efek terapi diperdengarkan,
midbrain akan meningkatkan pengeluaran beta endorfin hormone dan
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang dapat mengeliminasi
neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi
sensorik somatik di otak sehingga mempunyai efek rasa nyeri yang
dirasakan pasien akan berkurang. Elemen-elemen yang terdapat dalam
musik juga akan berperan aktif dalam penurunan persepsi nyeri,
elemen-elemen musik tersebut akan meliputi melodi, harmoni, timbre,
lirik, ritme, dan tempo.
Melodi memiliki garis tertentu (nada naik dan turun) yang paling
diingat oleh otak manusia. Harmoni member warna dan mood untuk
mengekspresikan suatu lagu. Timbre yang merupakan tekstur dalam
musik akan memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi
pendengarnya. Sedangkan ritme musik yang didengar manusia
memberikan respon terhadap pergerakan tubuh (detak jantung, denyut
nadi, pernafasan, tekanan darah, kontraksi otot, dan sebagainya) dan
juga lingkungan hidup kita (pada binatang juga pada tumbuhan) yang
distimulasi oleh auditory cortex dan motor cortex.
2.1.8.1.4 Proses pemberian
Dengan cara peneliti memberikan terapi guided imagery dan iringan
musik kepada klien kurang lebih 10 menit. Selain memberikan terapi
guided imagery dan iringan musik, responden juga diberikan analgetik
keterolac 3x30 mg IV untuk mengatasi rasa nyeri. Analgetik tersebut
diberikan setiap 8 jam.
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti memberikan terapi guided
imagery dan iringan musik kepada pasien setelah pasien mendapatkan
22
terapi analgetik. Iringan musik juga dapat digunakan untuk menjadi
faktor penunjang dalam pelaksanaan guided imagery.
2.1.8.1.5 Macam-macam terapi musik
Dalam dunia penyembuhan dengan musik, dikenal 2 macam terapi
musik (Mayasari, 2015), yaitu:
2.1.8.1.5.1 Terapi musik aktif
Dalam terapi musik aktif klien diajak bernyanyi, belajar
memainkan alat musik diantaranya, menirukan nada–nada bahkan
membuat lagu singkat. Dengan kata lain pasien berinteraksi aktif
dengan dunia musik. Untuk melakukan terapi musik aktif tentu saja
dibutuhkan bimbingan seseorang pakar yang kompeten dalam
bermain musik.
2.1.8.1.5.2 Terapi musik pasif
Terapi musik pasif merupakan terapi musik yang murah,
mudah dan efektif. Hanya dengan mendengarkan dan menghayati
suatu alunan musik tertentu yang disesuaikan dengan masalahnya.
Hal penting dalam terapi musik pasif adalah pemilihan jenis musik
dan sesuai dengan kebutuhan.
2.1.8.2 Relaksasi
Relaksasi merupakan perasaan bebas secara mental dan fisik dari
ketegangan atau stres yang membuat individu memiliki rasa kontrol
terhadap dirinya. Perubahan fisiologis dan perilaku berhubungan dengan
relaksasi yang mencakup: menurunnya denyut jantung, tekanan darah
dan kecepatan pernapasan, meningkatnya kesadaran secara umum,
menurunnya kebutuhan oksigen, perasaan damai, serta menurunnya
ketegangan otot dan kecepatan metabolisme. Teknik relaksasi meliputi
meditasi, yoga, zen, teknik imajinasi, dan latihan relaksasi progresif
(Potter & Perry, 2006).
2.1.8.3 Kompres dingin dan panas
Kompres dingin dan panas dapat menghilangkan nyeri dan
meningkatkan proses penyembuhan. Pilihan terapi panas dengan terapi
23
dingin bervariasi sesuai kondisi klien. Misalnya, kompres panas
menghilangkan kekakuan sendi pada pagi hari akibat artritis, tetapi
kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang mengalami
peradangan. Apabila perawat menggunakan kompres panas atau dingin
dalam bentuk apapun, instruksikan kepada klien untuk menghindari
cidera pada kulit dengan memeriksa suhu dari alat yang digunakan dan
menghindari atau dingin pada kulit. Terutama lebih beresiko pada klien
dengan sentuhan langsung terhadap peralatan yang memberikan sensasi
hangat gangguan medulla spinalis atau gangguan saraf lain, usia lanjut,
dan klien yang terlihat bingung (Potter & Perry, 2006).
2.1.8.4 Masase / pijatan
Masase efektif dalam memberikan relaksasi fisik dan mental,
mengurangi nyeri, dan meningkatkan keefektifan pengobatan nyeri.
Masase pada punggung, bahu, lengan, dan kaki selama 3 sampai 5 menit
dapat merelaksasi otot dan memberikan istirahat yang tenang dan
nyaman (Potter & Perry, 2006).
2.1.8.5 Stimulasi saraf elektris transkutan/TENS (Transcutaneoous Elektrical
Nerve Stimulation)
Terapi ini dilakukan dengan stimulasi pada kulit menggunakan arus
listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar. Unit TENS terdiri
dari transmiter bertenaga baterai, kabel timah, dan elektroda. Elektroda
dipasang langsung pada area yang dekat dengan lokasi nyeri. Bersihkan
area dari rambut atau preparat kulit sebelum menempelkan elektroda.
pasien dapat menyalakan teransmiter saat nyeri terasa, efeknya
menimbulkan sensasi kesemutan dan berdengung pada area nyeri.
Sensasi kesemutan ini dibiarkan sampai nyeri terasa hilang. TENS efektif
untuk mengontrol nyeri yang disebabkan oleh prosedur pasca operasi
(Potter & Perry, 2006).
2.1.8.6 Akupresur
Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa suatu kekuatan
kehidupan dalam bentuk energi, bersirkulasi menjadi satu di dalam
24
tubuh. Akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk
meningkatkan kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi mempelajari
alur energi atau meridian tubuh dan memberikan tekanan pada titik-titik
tertentu. Ketika titik tekan disentuh, maka perawat mulai merasakan
sensasi ringan atau denyutan dibawah jari-jari. Mula-mula nadi
dibeberapa titik akan terasa berbeda, tetapi karena terus-menerus
dipegang, nadi tersebut akan terasa seimbang dan teratur. Setelah titik
tersebut seimbang, perawat dapat menggerakan jari-jarinya dengan
lembut, dan durasi akupresur yang lengkap memakan waktu sekitar satu
jam (Potter & Perry, 2006).
2.1.8.7 Hipnosis
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-
diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks
dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondidi-kondisi
yang menghasilkan respon tertentu. Hipnosis-diri sama seperti dengan
melamun. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress
karena individu hanya berkonsentrasi hanya pada satu pikiran (Potter &
Perry, 2006).
2.1.8.8 Bimbingan antisipasi
Bimbingan antisipasi adalah memberikan pemahaman kepada pasien
mengenai nyeri yang dirasakan. Pemahaman yang diberikan oleh perawat
ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pasien, dan mencegah
salah interpretasi tentang peristiwa nyeri (Potter & Perry, 2006).
2.1.8.9 Biofeedback
Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan
memberikan individu informasi tentang respon fisiologis (misalnya,
tekanan darah dan ketegangan otot) dan cara untuk melatih kontrol
volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk
menghasilkan keadaan yang rileks dan sangat efektif untuk mengatasi
ketegangan otot dan nyeri kepala migren (Potter & Perry, 2006).
25
2.1.8.10 Sentuhan terapeutik
Pendekatan ini menyatakan bahwa pada individu yang sehat,
terdapat ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh.
Sentuhan terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar
melakukan pertukaran energi. Terdapat empat langkah dasar dalam
melakukan teknik ini, yaitu pemusatan, pengkajian, terapi, dan evaluasi.
Setiap tahap umumnya melaju kelangkah berikutnya dan proses secara
keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit (Potter & Perry, 2006).
2.1.8.11 Imajinasi terbimbing (guided imagery)
Imajinasi terbimbing merupakan teknik membimbing klien untuk
menciptakan kesan dalam pikiran dan berkonsentrasi pada kesan tersebut,
sehingga secara bertahap klien akan kurang merasakan nyeri. Caranya,
perawat meminta klien untuk memikirkan pemandangan atau
pengalaman menyenangkan yang dapat meningkatkan penggunaan indra.
Kemudian perawat membantu klien dalam memfokuskan kesan yang
dipikirkan dengan ketenangan dan suara yang lembut tanpa mengganggu
klien. Apabila klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak
nyaman, perawat harus menghentikan latihan dan memulai lagi latihan
setelah klien merasa tenang (Potter & Perry, 2006).
2.2 Konsep Terapi Guided Imagery
2.2.1 Definisi terapi guided imagery
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk menghayalkan tempat
dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan.
Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau
pengalaman relaksasi. Guided imagery menggunakan imajinasi seseorang
dalam suatu yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif
tertentu. Imajinasi bersifat individu dimana individu menciptakan gambaran
mental dirinya sendiri, atau bersifat terbimbing (Black & Hawks, 2014 dalam
Mulyanto dkk, 2014; Nurgiwiati, 2015).
26
Guided imagery adalah program mengarahkan pikiran dengan
memandu imajinasi seseorang terhadap situasi santai, fokus pada kondisi
untuk mengurangi stres dan meningkatkan kenyamanan dan suasana hati
(Gail W. Stuart, 2016).
2.2.2 Teknik guided imagery
Macam-macam teknik guided imagery berdasarkan pada
penggunaannya terdapat beberapa macam teknik, yaitu (Grocke & Moe,
2015 dalam Afdila, 2016) :
2.2.2.1 Guided walking imagery
Teknik ini ditemukan oleh psikoleuner. Pada teknik ini pasien
dianjurkan untuk mengimajinasikan pemandangan standar seperti padang
rumput, pegunungan, pantai.
2.2.2.2 Autogenic abstraction
Teknik ini pasien diminta untuk memilih sebuah perilaku negatif
yang ada dalam pikirannya kemudian pasien mengungkapkan secara
verbal tanpa batasan. Bila berhasil akan tampak perubahan dalam hal
emosional dan raut muka pasien.
2.2.2.3 Covert sensitization
Teknik ini berdasar pada paradigma reinforcement yang
menyimpulkan bahwa proses imajinasi dapat dimodifikasi berdasarkan
pada prinsip yang sama dalam modifikasi perilaku.
2.2.2.4 Covert behaviour rehearsal
Teknik ini mengajak seseorang untuk mengimajinasikan perilaku
koping yang dia inginkan. Teknik ini lebih banyak digunakan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik guided walking
imagery karena peneliti akan memandu responden untuk
mengimajinasikan pemandangan standar seperti padang rumput,
pegunungan, pantai, untuk mengurangi nyeri.
27
2.2.3 Mekanisme terapi guided imagery menurunkan nyeri
Guided imagery atau imajinasi terbimbing merupakan penciptaan
khayalan pasien dengan tuntunan dari pemberian pelayanan keperawatan
untuk mendorong pasien memvisualisasikan atau memikirkan pemandangan
atau situasi yang disenangi pasien. Tehnik guided imagery (imajinasi
terbimbing) dapat membantu pasien menstimulasi produksi endorfin dalam
sistem descending control. Sistem descending control adalah suatu sistem
serabut yang berasal dari otak bagian bawah dan bagian tengah (terutama
perlaqueductal gray matter) dan berakhir pada serabut interneuronal
inhibitor dalam kornu dorsalis dari medula spinalis. Endorfin merupakan zat
kimiawi endogen yang berstruktur serupa dengan opiat atau narkotik yang
berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri.
Endorfin dapat memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri di
dalam otak dan medulla spinalis melalui gerbang penghambat (Ulya &
Jamaludin, 2017). Kadar endorfin berbeda pada setiap orang, hal ini
menjelaskan mengapa rasa nyeri berbeda tiap individu. Individu dengan
kadar endorfin tinggi akan merasakan nyeri lebih ringan (Lusianah dkk,
2012). Sistem saraf pusat memproduksi endorfin, zat yang terjadi secara
alamiah yang meredakan nyeri. Endorfin dilepaskan setelah melakukan
olahraga dan bentuk stimulasi fisik lain. Sayangnya, endorfin menghilang
dengan cepat. Beberapa pihak percaya bahwa aktivitas selain olahraga,
seperti tertawa, juga meningkatkan produksi endorfin. Ahli teori yakin
bahwa asupan zat kimia dan makanan tertentu, termasuk kafein, nikotin,
alcohol, garam dan gula, menurunkan produksi endorfin (Rosdahl dan
Kowalski, 2017 dalam Widiarti dkk, 2012).
Guided imagery merupakan imajinasi yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif. Dengan membayangkan hal-hal yang
menyenangkan maka akan terjadi perubahan aktifitas motorik sehingga otot-
otot yang tegang menjadi relaks, respon terhadap bayangan menjadi
semakin jelas. Hal tersebut terjadi karena rangsangan imajinasi berupa hal-
hal yang menyenangkan akan dijalankan ke batang otak menuju sensor
28
thalamus untuk diformat. Sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan ke
amigdala dan hipokampus, sebagian lagi dikirim ke korteks serebri.
Sehingga pada korteks serebri akan terjadi asosiasi pengindraan. Pada
hipokampus hal-hal yang menyenangkan akan diproses menjadi sebuah
memori. Ketika terdapat rangsangan berupa imajinasi yang menyenangkan
memori yang tersimpan akan muncul kembali dan menimbulkan suatu
persepsi. Dari hipokampus rangsangan yang telah mempunyai makna
dikirim ke amigdala yang akan membentuk pola respon yang sesuai dengan
makna rangsangan yang diterima. Sehingga subjek akan lebih mudah untuk
mengasosiasikan dirinya dalam menurunkan sensasi nyeri yang dialami
(Novarenta, 2013).
2.2.4 Indikasi guided imagery
Dossey, etal (dalam Potter & Perry, 2009) menjelaskan aplikasi klinis
guided imagery yaitu sebagai penghancur sel kanker, untuk mengontrol dan
mengurangi rasa nyeri, serta untuk mencapai ketenangan dan ketentraman.
Guided imagery juga membantu dalam pengobatan seperti asma, hipertensi,
gangguan fungsi kandung kemih, sindrom pre menstruasi, dan menstruasi.
selain itu guided imagery juga digunakan untuk mereduksi nyeri luka bakar,
sakit kepala migrain dan nyeri pasca operasi. Indikasi dari guided imagery
adalah semua pasien yang memiliki pikiran negatif atau pikiran
menyimpang dan mengganggu perilaku (maladaptif). Misalnya over
generalization, stress, cemas, depresi, nyeri, hipokondria, dan lain-lain.
2.2.5 Prosedur terapi guided imagery
Prosedur pelaksanaan terapi guided imagery meliputi,
2.2.5.1 Menjelaskan tujuan, manfaat dan cara dilakukannya tehnik guided
imagery
2.2.5.2 Mengkaji intensitas nyeri sebelum dilakukan intervensi dengan
menggunakan skala nyeri yang ada di kuesioner yang sudah dijelaskan
cara pengisiannya
2.2.5.3 Mengkaji hal-hal yang disukai klien sebelum dilakukan intervensi
(Patasik dkk, 2013)
29
2.2.5.4 Persiapan sebelum pelaksanaan
• Persiapan ruangan:
Ruangan atau lingkungan yang digunakan yaitu tidak berisik dan
tenang serta terbebas dari distraksi. Lingkungan yang bebas dari
distraksi ini diperlukan oleh subjek guna berfokus pada imajinasi yang
dipilih
• Persiapan pasien
Klien diatur posisi nyaman dengan cara membantu subjek untuk
duduk bersandar dan meminta menutup matanya (Novarenta, 2013).
2.2.5.5 Pelaksanaan
Pelaksanaan tehnik guided imagery (Nurgiwiati, 2015) sebagai berikut :
• Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
• Bawa peralatan mendekati tempat tidur
• Ikuti instruksi selama proses latihan
• Pilih posisi yang nyaman apakah duduk, berdiri atau terlentang
dengan tulang punggung lurus
• Dengarkan musik yang telah disediakan dan fokus kurang lebih 10
menit
• Tutup mata perlahan-lahan, dengarkan serta bayangkan apa yg
dikatakan instruktur
• Instruktur meminta peserta untuk menarik panjang dan lembut melalui
hidung kemudian menahan nafas selama 3 detik dan mengeluarkan
nafas dengan lembut dari mulut.
• Lakukan pernafasan dalam dan lembut sebanyak 10 kali
• Kemudian membacakan teks perjalanan imagery
• Instruktur meminta pasien untuk melakukan nafas dalam sebanyak 10
kali secara lembut
• Instruktur meminta pasien membuka mata perlahan-lahan dan latihan
ini sudah selesai
30
• Instruktur menanyakan kepada pasien tentang pengalaman yang
dialami pasien dan bagaimana respon yang dialami oleh pasien.
2.3 Konsep Laparatomi
2.3.1 Definisi laparatomi
Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan
melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah (hemoragi,
perforasi, kanker, dan obstruksi) (Sjamsuhidajat & Jong, 2005 dalam
Rahmayati dkk, 2018).
Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010) pembedahan perut sampai
membuka selaput perut. Ada 4 cara, yaitu;
• Midlineincision.
• Paramedian, yaitu; sedikit ke tepi dari garis tengan (lebih kurang 2,5
cm), panjang (12,5 cm).
• Transverseupper abdomen incision, yaitu; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
• Tranverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah lebih kurang 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada
operasi appendictomy.
2.3.2 Indikasi laparatomi
• Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur Hepar.
• Peritonitis.
• Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding).
• Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
• Masa pada abdomen.
2.3.3 Komplikasi
• Ventilasi paru tidak adekuat.
• Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.
• Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
31
• Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.
2.3.4 Latihan-latihan fisik
Latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakkan otot-otot kaki,
menggerakkan otot-otot bokong, latihan alih baring dan turun dari tempat
tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi. Pengembalian fungsi fisik
dilakukan segera setelah operasi dengan latihan nafas dan batuk efektif,
latihan mobilisasi dini.
2.3.5 Post laparatomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan
perut.
Tujuan perawatan post laparatomi:
• Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
• Mempercepat penyembuhan.
• Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi.
• Mempertahankan konsep diri pasien.
• Mempersiapkan pasien pulang.
2.3.6 Komplikasi post laparatomi
2.3.6.1 Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan trombo plebitis.
Trombo plebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah
operasi. Bahaya besar trombo phlebitis timbul bila darah tersebut lepas
dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli di
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan trombo plebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien
sebelum mencoba ambulatif.
2.3.6.2 Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus
aurens, organisme, gram positif. Stapilococus mengakibatkan
32
penanganan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah
perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan anti septic.
2.3.6.3 Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbentuknya tepi-tepi luka. Eviserasi
luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Factor-faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan waktu
menutup pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen
sehingga akibat dari batuk dan muntah.
2.3.7 Proses penyembuhan luka
2.3.7.1 Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit banyak yang rusak
atau rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana
serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
2.3.7.2 Fase kedua
Dari hari ke 3-14 pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan
kemerahan.
2.3.7.3 Fase ketiga
Sekitar 2-10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul
jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
2.3.7.4 Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan:
• Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vit c
• Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
• Mencegah infeksi
2.3.8 Proses mempertahankan diri
Gangguan konsep diri (body image) dapat terjadi pada pasien post
laparatomi karena adanya perubahan sehubungan dengan pembedahan.
Intervensi perawat terutama ditujukan pada pemberian support psikologis,
33
ajak klien dan kerabat dekatnya berdiskusi tentang perubahan-perubahan
yang terjadi dan bagaimana perasaan pasien setelah operasi.
2.3.9 Pengkajian
Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomi adalah :
2.3.9.1 Respiratori
Bagaimana seluruh pernafasan, jenis pernafasan, bunyi pernafasan.
2.3.9.2 Sirkulasi
Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, refill kapiler.
2.3.9.3 Persarafan: tingkat kesadaran
2.3.9.4 Balutan
• Apakah ada tub, drainage ?
• Apakah ada tanda-tanda infeksi ?
• Bagaimana penyembuhan luka
2.3.9.5 Peralatan
• Monitor yang terpasang
• Cairan infuse atau transfuse
2.3.9.6 Rasa nyaman
• Rasa sakit, nyeri, mual, muntah, posisi pasien, fasilitas ventilasi
2.3.9.7 Psikologis: kecemasan, suasana hati setelah operasi
2.3.10 Diagnosa keperawatan
• Gangguan rasa nyaman, abdomen tegang sehubungan dengan adanya
nyeri di abdomen.
• Potensial terjadinya infeksi sehubungan dengan adanya sayatan / luka
operasi laparatomy.
• Potensial kekurangan cairan sehubungan dengan adanya demam,
pemasukkan sedikit dan pengeluaran cairan yang banyak.
2.3.11 Tindakan keperawatan post operasi
• Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output.
• Observasi dan catat sifat darai (warna, jumlah) drainage.
34
• Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati-hati,
jangan sampai drain tercabut.
• Perawatan luka operasi secara steril.
2.3.12 Evaluasi
• Tanda-tanda peritonitis menghilang diantaranya, suhu tubuh normal,
nadi normal, perut tidak kembung, peritaltik usus normal, flatus positif,
bowel movement positif.
• Pasien terbebas dari rasa sakit dan dapat melakukan aktifitas.
• Pasien terbebas dari adanya komplikasi post operasi.
• Pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan
mengembalikan pola makan dan minum seperti biasa.
• Luka operasi baik.
2.4 Penelitian Terkait
2.4.1 Penelitian oleh Widyastuti & Rosida (2014) melakukan penelitian tentang
pengaruh tehnik relaksasi guided imagery terhadap intensitas nyeri pada
pasien post operasi laparatomy di RS DR. Moewardi Surakarta , dengan
mendapatkan responden sebanyak 16 pasien dengan post operasi
laparatomy. Data pengambilan ini menggunakan kuisioner dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan pasien pre operasi laparatomy rata-rata skor
nyeri sebelum dilakukan guided imagery adalah 5,88 dan sesudah
dilakukan guided imagery adalah 3,56 dan selisih rentang dari skor nyeri
sebelum dan sesudah perlakuan adalah 2,32. Berdasarkan penurunan rata-
rata intensitas nyeri tersebut responden dianjurkan untuk melakukan
guided imagery untuk menurunkan atau mengurangi nyeri yang dirasakan.
Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan guided imagery
berpengaruh dalam menurunkan skala nyeri.
2.4.2 Penelitian oleh Patasik dkk (2013) tentang efektivitas tehnik relaksasi
nafas dalam dan guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien
post operasi sectio caesaria di Irina D BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado dengan menggunakan metode penelitian kuasi eksperimen.
35
Selama periode penelitian pada 7 Juni sampai 15 Juni 2013 didapatkan 20
responden yang menjalani operasi sectio caesarea, dan 60% dari
responden tersebut mengalami nyeri hebat bahkan sangat hebat (15%) dan
yang lainnya mengalami nyeri sedang (25%). Nilai mean sebelum
dilakukan tehnik relaksasi dalam dan guided imagery yaitu 6,15%
sedangkan sesudah dilakukan tehnik relaksasi nafas dalam dan guided
imagery yaitu 3,05 jadi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tehnik
relaksasi nafas dalam dan guided imagery terbukti efektif dalam
menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caeserea.
2.4.3 Penelitian oleh Jamaludin & Ulya (2017) tentang pengaruh terapi guided
imagery dan iringan musik terhadap penurunan nyeri pada pasien dengan
post apendiktomi hari 1 di Ruang Cempaka RSUD Sunan Kalijaga Demak.
penelitian ini mengambil sampel partisipan berjumlah 4 pasien post
apendiktomi hari ke 1 di Ruang Cempaka RSUD Sunan Kalijaga Demak
yang dilakukan selama 3 hari. Peneliti memberikan terapi guided imagery
dan iringan musik saat efek analgetik yang dirasakan pasien mulai hilang
agar terapi guided imagery dan iringan musik yang diberikan kepada
pasien mencapai hasil optimal. Setelah dilakukan pengelolaan selama 4
hari terjadi penurunan skala nyeri yang dirasakan pasien setiap hari nya.
Yang semula pada pasien merasakan skala nyeri yang dirasakannya berada
pada skala 9, turun menjadi skala 4, pada hari ke empat. Jadi ada pengaruh
terapi guided imagery dan iringan musik terhadap penurunan skala nyeri
pada pasien post apendiktomi.
36
2.5 Kerangka Teori
Gambar : 2.3. Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Potter & Perry (2006); Ulya Khikmatul Nur & Jamaludin (2017); Hirma dkk (2015).
Keterangan :
: tidak diteliti
: diteliti
: berpengaruh tidak diteliti
: berpengaruh diteliti
Nyeri
Penatalaksanaan untuk penanganan nyeri : 1. Farmakologi 2. Non farmakologi
• Distraksi
• Relaksasi • Kompres dingin dan panas • Masase • Stimulasi saraf elektristranskutan • Akupresure • Hypnosis • Bimbingan antisipasi • Biofeedback • Sentuhan terapeutik
Nyeri berat tidak terkontrol
(10)
Nyeri berat
terkontrol (7-9)
Nyeri ringan (1-3)
Nyeri sedang (4-6)
Tidak ada nyeri (0)
Fase post operasi laparatomi
• Imajinasi terbimbing (Guided imagery)
Ø Gambar Ø Musik
37
2.6 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel
yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti,
(Notoadmodjo, 2018). Berdasarkan konsep diatas, maka penulis membuat
kerangka konsep sebagai berikut :
Pra intervensi Intervensi Post intervensi
Gambar : 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Pemberian terapi guided imagery menggunakan gambar
Pengukuran nilai nyeri sebelum dilakukan intervensi
Pengukuran nilai nyeri setelah dilakukan intervensi
Pengukuran nilai nyeri sebelum dilakukan intervensi
Pemberian terapi guided imagery menggunakan musik
Pengukuran nilai nyeri setelah dilakukan intervensi
38
2.7 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara dari pertanyaan peniliti.
Biasanya hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua
variable yaitu variable bebas dan variabel terikat (Notoatmodjo, 2018).
Adapun hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Ha: ada perbedaan skala nyeri yang mendapat terapi guided imagery
dengan gambar dan yang mendapat terapi guided imagery dengan musik.