Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pengetahuan
The American Heritage (2005) menyatakan bahwa
pengetahuan adalah ingatan tentang material yang telah
dipelajari yang meliputi kemampuan mengingat luasnya
materi, dari fakta yang spesifik sampai teori yang
lengkap. Menurut Bloom (2007), pengetahuan terdiri dari 6
(enam) tingkatan yaitu:
a. Tahu, diartikan sebagai mengingat materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkatan
seseorang hanya mampu menjelaskan secara garis
besar apa yang telah dipelajari/diketahui.
b. Pemahaman, diartikan sebagai kemampuan untuk
menjelaskan secara jelas tentang obyek yang diketahui
dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan
mengapa harus mengkonsumsi makananan yang
bergizi.
9
c. Penerapan, diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan apa yang telah dipelajari untuk suatu
situasi yang baru dan nyata. Aplikasi disini dapat
diartikan juga sebagai penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks
atau situasi yang lain.
d. Analisis, adalah tingkat di mana seseorang telah mampu
menganalisis hubungan yang satu bagian dengan
bagian yang lain dan mampu menguasai bentuk struktur
dari apa yang telah dipelajari.
e. Sintesis, menunjukan pada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam
suatu bentuk yang baru.
f. Evaluasi, merupakan tingkat pengetahuan tinggi setelah
ada kemampuan untuk mengetahui secara menyeluruh
dari semua bahan yang telah dipelajarinya, dan
kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau obyek.
2.2. Konsep Sikap
a. Pengertian Sikap
10
Menurut Sarnoff dalam Sarwono (2000) mengidentifikasikan
sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to
react) secara positif (favorably) atau secara negatif
(unfavorably) terhadap obyek-obyek tertentu.
b. Komponen Sikap
Menurut Sugiono (2000) struktur sikap terdiri atas 3
komponen yang saling menunjang :
1. Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang
dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif
berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu
mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini)
terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem
yang kontroversial.
2. Komponen afektif, merupakan perasaan yang
menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah
yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen
sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah
mengubah sikap seseorang komponen afektif
disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang
terhadap sesuatu.
3. Komponen konatif, merupakan aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki
11
oleh seseorang. Komponen tersebut berisi tendensi
atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap
sesuatu dengan cara-cara tertentu. Selain itu, konatif
berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis
untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah
dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.
2.3. Konsep Keluarga
1) Pengertian
Menurut Depkes RI (2000) menyatakan keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan
tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan.
2) Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga terbagi atas :
a) Fungsi Biologi
Fungsi ini meliputi meneruskan keturunan dan
membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi
keluarga, serta memelihara dan merawat anggota
keluarga.
b) Fungsi Psikologis
12
Fungsi psikologis ini mencakup memberikan kasih
sayang dan rasa aman, memberikan perhatian antara
keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota
keluarga dan memberikan indentitas keluarga
c) Fungsi Sosialisasi
Fungsi ini diantaranya membina sosialisasi pada anak,
membentuk norma-norma tingkah laku, dan
meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
d) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi ini meliputi mencari sumber-sumber
penghasilan, penganggaran penggunaan penghasilan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan
menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di
masa yang akan datang.
e) Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan yang meliputi menyekolahkan anak
untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan
membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan
minat, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa
yang akan datang dalam memenuhi peranannya
sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai
dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
2.4. Tuberkulosis
13
1. Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru
Brunnerr dan Sudarth (2002), mengemukakan
bahwa TB paru adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular
secara langsung. Mycobacterium tuberculosis termasuk
bakteri gram positif dan berbentuk batang. Umumnya
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian
kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus,
yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan. Hal ini dipakai
untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga
disebut sebagai basil tahan asam (BTA) .
Kuman Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan
sampai beberapa tahun dalam jaringan tubuh. Dengan
periode masa inkubasi 4-12 minggu untuk pembentukan lesi
primer. Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis
BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian
14
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran
nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya. (Brunnerr dan Sudarth,2002)
Menurut Aditama (2006), daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi hasil positif dari
pemeriksaan dahak, semakin beresiko menularkan ke orang
lain. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka belum tentu penderita tersebut dianggap
tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.
Menurut Brunner dan Sudarth (2002), TB Paru
secara klinis, dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman
tuberkulosis untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi
melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli terjadi
peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis
yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
alveoli paru. Kelanjutan infeksi primer tergantung dari
banyaknya kuman yang masuk. Respon daya tahan tubuh
dapat menghentikan perkembangan kuman TB Paru dengan
cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada
15
beberapa kuman yang menetap sebagai “persisten” atau
“dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat
menghentikan perkembangbiakan kuman. Akibatnya, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru dalam
beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi
abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya
batuk dan nafas berbunyi. Pada orang-orang dengan sistem
imun lemah dapat timbul radang paru hebat, yang ciri-cirinya
batuk kronik dan bersifat sangat menular. Infeksi pasca
primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya efusi pleura.
Depkes RI (2002) menyatakan bahwa penderita TB
Paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh
(BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Pada
kasus seperti ini, pengobatan dengan obat antituberkulosis
(OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan
simtomatis (hanya menghilangkan rasa sakit tanpa
menghilangkan penyebab sakit). Resistensi terhadap OAT
terjadi umumnya karena penderita yang menggunakan obat
tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya.
Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai
16
sesuai pedoman pengobatan tidak lagi dapat membunuh
kuman (Depkes RI, 2002 ).
Faktor-faktor penentu yang saling berinteraksi sesuai dengan
tahapan perjalanan alamiah, diantaranya :
a. Periode Prepatogenesis
1) Faktor Agen
Menurut Gibson (2002), karakteristik alami dari agen TB
Paru hampir bersifat resisten terhadap desifektan kimia
atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak
yang kering untuk jangka waktu yang lama. Sifat
resistensinya merupakan problem serius yang sering
muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen,
sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan
obat baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari
manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk
transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak
langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.
2) Faktor Lingkungan
Menurut Keman (2002), distribusi geografis TB Paru
mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang
pravalensi menurut berkembangnya. Penularannya
berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak
geografis. Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal
17
penting dalam kasus TB Paru. Pembelajaran
sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara
TB Paru dengan kelas sosial yang meliputi pendapatan,
perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan
dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis
berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga
fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman
sebelumnya tentang TB Paru dapat juga menjadi
pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.
Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak
langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang
terinfeksi adalah berbahaya.
3) Faktor Host
Smith (2002) menyatakan bahwa umur merupakan faktor
terpenting dari host pada TB Paru. Penduduk pribumi
memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang
mengenal TB Paru sejak lama, yang disebabkan
rendahnya kondisi sosio ekonomi. Kebiasaan sosial dan
pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TB, sejak
timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi,
kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental
dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum
18
juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan
pengobatan infeksi primer memberikan beberapa
resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.
b. Periode Patogenesis (Interaksi Host-Agent)
Ahmadi dan Bustan (2002), menyatakan bahwa interaksi
terutama terjadi akibat masuknya agent ke dalam saluran
respirasi dan pencernaan host. Contohnya
Mycobacterium yang melewati barrier plasenta, kemudian
fase dormant ini tidak selalu berarti penyakit klinis. Infeksi
selanjutnya bergantung pada pengaruh interaksi dari
agent, host dan lingkungan.
2. Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes (2008), gejala utama pasien TB
Paru adalah batuk berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan, yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik serta demam lebih dari satu
bulan. Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat
ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan
gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang yang
diduga positif TB Paru (suspek).
19
3. Komplikasi TB Paru
Kompilkasi TB Paru ini bias menyebabkan hepatotoksisitas
yang terjadi karena reaksi hipersensivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali. Bila dalam proses
yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi
berarti hepatotoksisitas, karena adanya reaksi
hipersensitivitas, sehingga penyakit TB Paru bila tidak
ditangani dengan benar akan terjadi :
1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema,
faringitis.
2. Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan nafas, seperti
SOPT
(Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis), Kerusakan
parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru.
4. Pencegahan Penularan TB Paru
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari
terjangkitnya TB Paru antara lain :
a. Pencegahan Primer
Gibson (2000) menyatakan bahwa pencegahan TB Paru
dapat dilakukan dengan promosi kesehatan sebagai
salah satu pencegahan TB Paru paling efektif, selain itu
20
pencegahan primer juga bagian dalam proteksi spesifik
dengan tujuan pencegahan TB Paru yang meliputi;
imunisasi aktif, melalui vaksinasi dasar BCG pada
neonatus dan di daerah endemik/angka kejadian tinggi
dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai
proteksi yang tidak absolut dan tergantung host
tambahan dan lingkungan, serta memeriksakan semua
anggota keluarga di dalam keluarga pasien TB Paru.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan melalui dengan
diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar
pengontrolan kasus TB Paru yang timbul ditentukan
dengan 3 komponen utama yaitu: agent, host dan
lingkungan. Kontrol pasien dengan deteksi dini penting
untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik,
walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun
tenaga. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat
dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari
petunjuk yang paling efektif. Langkah kontrol kejadian
kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TB Paru,
dengan imunisasi TB Paru negatif dan
Chemoprophylaxis pada TB Paru positif. Kontrol
lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit,
21
desinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi
epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi
lingkungan memegang peranan terhadap epidemi TB
Paru. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk
membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan
istirahat dan menghindari tekanan psikis (Depkes, 2008 )
c. Pencegahan Tersier
Menurut Depkes (2008), rehabilitasi merupakan tingkatan
terpenting pengontrolan TB Paru. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan
usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi
menghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal
pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung
situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan
kembali dan penggunaan media pendidikan untuk
mengurangi cacat sosial dari TB Paru, serta penegasan
perlunya rehabilitasi
5. Diagnosis TB Paru
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui
beberapa pemeriksaan antara lain :
a. Pemeriksaan Klinik
Pada pemeriksaan klinis gejala yang timbul antara lain
sering mengalami batuk berdahak, batuk darah, nyeri
22
dada dan badan lemah di samping itu diagnosa klinik ini
merupakan gejala yang sering timbul tersamarkan
dengan penyakit lainnya (Depkes, 2008).
b. Pemeriksaan Radiologik
Dilakukan untuk menunjang pemeriksaan klinik. Pada
pemeriksaan radiologik ini, hal yang sangat
berpengaruh yaitu kualitas gambar hasilnya. Kualitas
gambar yang sangat baik akan dapat mempermudah
menentukan hasil indentifikasi penderita TB Paru. Selain
itu kualitas diagnosa juga semakin baik.
c. Pemeriksaaan Laboratorium Thorax
Pemeriksaan laboratorium ini berupa uji bakteriologik
(Sputum) yang berfungsi menemukan kuman
Mycobacterium TB Paru dari dahak penderita dan
memastikan diagnosis tuberculosis paru. Pemeriksaan
biasanya lebih sensitif daripada sediaan apus
(mikroskopis). Pengambilan dahak yang benar sangat
penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya.
Pada pemeriksaan pertama, sebaiknya 3 kali
pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan
apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan.
Kultur sputum Mycobacterium tuberkulosis positif pada
tahap akhir penyakit. Tes tuberkulin: Mantoux test reaksi
23
positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam).
Pemeriksaan sputum BTA positif adalah diagnostik
yang terpenting (gold standart) dalam prograrn
pemberantasan TB Paru di Indonesia (Depkes, 2008).
d. Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis Langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
1) S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis
datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,
suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
2) P (pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas.
24
3) S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi (Depkes, 2008)
6. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
Menurut Depkes (2008), klasifikasi TB Paru berdasarkan
tingkat keparahan penyakit antara lain :
a. TB Paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas.
b. Tuberkulosis ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu: tuberkulosis ekstra paru
ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis,
milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, tuberkulosis tulang belakang, tuberkulosis usus,
tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.
7. Klasifikasi tipe pasien
Depkes RI (2006) menyatakan bahwa tipe pasien
ditentukan bedasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dan
klasifikasi ini meliputi :
25
(a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan
(4 minggu).
(b) Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
(c) Kasus setelah putus berobat (default ) adalah pasien
yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
(d) Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
(e) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi
ketentuan di atas, dalam kelompok ini termasuk kasus
kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
8. Pengobatan TB Paru
Menurut Istiantoro dan Setiabudy (2007),
pengobatan TB Paru bertujuan untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
26
resistensi kuman terhadap OAT. Mycobacterium merupakan
kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman
lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali
timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Kategori I (2HRZE/4H3R3) Kategori I adalah kasus baru
dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang
berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan
neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi
kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan,
dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap
intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 ) Kategori II adalah kasus
kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.diberikan
kepada :Penderita kambuh,Penderita gagal terapi,
Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat.
Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 ) Kategori III adalah kasus
sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus
TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
Kategori IV, kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas
27
pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan
rendah sekali.
9. Prinsip Pengobatan TB Paru
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat
yang sesuai dengan kategori pengobatan. Penggunaan
OAT tunggal (monoterapi) harus dihindari. Pemakaian obat
antituberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT–KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengawasan
langsung atau directly observed treatment (DOT) oleh
seorang pengawas menelan obat (PMO) harus dilakukan
untuk menjamin kepatuhan pasien. Pengobatan TB Paru
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif atau awal pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB Paru BTA positif menjadi BTA
negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
28
membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan (Depkes RI, 2008).