Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila suatu negara mengalami
peningkatan dalam jumlah produksi barang dan jasa. Angka yang digunakan
untuk menaksir perubahan output adalah nilai moneter (uang) yang tercermin
dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan nilai pasar semua
barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama periode
waktu tertentu. Besaran PDB bermanfaat untuk membandingkan aktivitas
ekonomi dari tahun ke tahun. Namun demikian PDB yang dihitung dengan harga
pasar ini bukanlah ukuran kemakmuran ekonomi yang baik. Ukuran kemakmuran
ekonomi yang lebih baik dapat ditunjukkan dengan PDB riil yang menunjukkan
apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah
dengan harga yang tidak berubah (Mankiw 2009)
Secara makro, peningkatan PDB dikenal pula sebagai pertumbuhan
ekonomi. Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang membahas hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dengan faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber baik dari sisi
permintaan agregat maupun sisi penawaran agregat. Dari sisi permintaan
agregat pertumbuhan ekonomi bisa bersumber karena peningkatan pendapatan
agregat dengan empat komponen yaitu konsumsi rumah tangga (C), investasi
bruto (I), pengeluaran pemerintah (G) dan ekspor neto, yaitu ekspor barang dan
jasa (X) minus impor barang dan jasa (M). Sisi permintaan agregat digambarkan
dalam model.
20
Y= C+I+G+X-M ........................................... (2.1)
Pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran agregat atau produksi lebih
menitikberatkan peranan faktor-faktor produksi atau input dalam rangka
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Perbedaan pendapatan yang terjadi antar
wilayah baik dalam lingkup negara maupun wilayah regional yang lebih sempit
berasal dari perbedaan faktor-faktor produksi yang dimiliki seperti tenaga kerja,
modal, dan teknologi. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran
agregat antara lain teori pertumbuhan neoklasik Solow, teori Simon Kuznet, dan
teori pertumbuhan endogen.
2.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
Model pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow (Solow Neo Classical
Growth Model) menggambarkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,
pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi memengaruhi tingkat output
perekonomian dan pertumbuhannya sepanjang waktu. Persediaan modal
merupakan determinan output perekonomian karena dapat berubah sepanjang
waktu dan perubahan modal tersebut dapat mengarah ke pertumbuhan ekonomi.
Modal berubah disebabkan oleh perubahan kekuatan investasi dan adanya
depresiasi. Dengan asumsi tingkat depresiasi konstan sebesar δ, jumlah modal
yang terdepresiasi sebesar δk, persediaan modal ∆k dapat dinyatakan dalam
persamaan:
∆k = i - δk = sf(k) - δk ............................................. (2.2)
di mana k = modal per pekerja, i= jumlah investasi, s= tingkat tabungan, sf(k)=
jumlah tabungan, dan y=f(k) = output per pekerja.
21
Berdasarkan Persamaan 2.2 terdapat keadaan di mana jumlah investasi
sama dengan jumlah depresiasi yang disebut kondisi mapan (steady state), yang
menunjukkan titik keseimbangan atau equilibrium perekonomian jangka panjang.
Pada kondisi mapan ini, persediaan modal k akan konstan sebesar k* dan output
f(k) juga akan tetap (konstan). Artinya selama perekonomian belum mencapai
kondisi mapan, pertumbuhan ekonomi akan tetap ada. Ketika kondisi mapan
sudah tercapai, maka perekonomian tidak dapat tumbuh lagi dan juga tidak
menyusut. Dengan demikian peranan tingkat tabungan sangat penting. Apabila
tingkat tabungan tinggi, maka perekonomian akan memiliki persediaan modal
yang besar dan tingkat output yang tinggi dan demikian pula sebaliknya (Mankiw,
2009).
Model pertumbuhan Solow tidak mampu menunjukkan adanya
pertumbuhan berkelanjutan ketika kondisi sudah mapan (steady state), karena
dalam model solow hanya memasukkan persediaan modal sebagai determinan
output sehingga model Solow itupun diperluas dengan memasukkan dua sumber
pertumbuhan ekonomi yang lain yaitu pertumbuhan populasi dan kemajuan
teknologi. Apabila pertumbuhan populasi atau tenaga kerja sebesar n, maka
Persamaan persediaan modal per pekerja akan berubah menjadi:
∆k = i - (δ + n) k = sf(k) - (δ+ n) k ......................... (2.3)
Dari Persamaan 2.3, investasi akan meningkatkan persediaan modal per
pekerja, depresiasi menurunkannya, dan pertumbuhan jumlah tenaga kerja juga
akan menurunkan modal per pekerja. Pada kondisi mapan, investasi pulang-
pokok sebesar (δ + n)k* menunjukkan jumlah investasi yang dibutuhkan untuk
menjaga persediaan modal per pekerja tetap. Investasi ini memiliki dua tujuan
yaitu untuk mengganti depresiasi barang modal (δk*) dan menyediakan modal
22
bagi para pekerja baru (nk*). Pada kondisi mapan pula besarnya modal per
pekerja dan output per pekerja adalah konstan. Walaupun tidak dapat
menjelaskan pertumbuhan berkelanjutan dalam standar kehidupan (berupa
output per kapita atau GDP per kapita), namun pertumbuhan populasi dapat
menjelaskan pertumbuhan output total yang berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dijelaskan dalam model Solow
dengan memasukkan variabel kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dalam
model Solow ini dianggap given sebagai variabel eksogen dan tidak menjelaskan
bagaimana kemajuan teknologi itu terjadi. Fungsi produksi dengan memasukkan
kemajuan teknologi dapat ditulis:
Y = F (K, L x E) ...................................................... (2.4)
di mana E adalah efisiensi tenaga kerja dan L x E adalah jumlah para pekerja
efektif.
Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang
metode-metode produksi, di mana ketika ada kemajuan teknologi, maka efisiensi
tenaga kerja pun meningkat. Efisiensi tenaga kerja juga meningkat karena
adanya pengembangan dalam kesehatan, pendidikan atau keahlian tenaga
kerja. Apabila kemajuan teknologi konstan sebesar g, maka dalam kondisi
mapan perubahan persediaan modal dapat dinyatakan dalam persamaan:
∆k = sf(k) - (δ + n+g) k .................................................. (2.5)
di mana k = K / (L x E) yang merupakan modal per pekerja efektif dan y = Y / (L x
E) = f(k) yang merupakan output per pekerja efektif.
Berdasarkan Persamaan 2.5 investasi pulang-pokok diperlukan untuk
menjaga modal per pekerja efektif konstan, mengganti modal yang terdepresiasi,
dan memberi modal pekerja baru, dan memberi modal bagi para pekerja efektif
23
baru yang diciptakan oleh kemajuan teknologi. Dalam model Solow ini, hanya
kemajuan teknologi yang dapat menjelaskan peningkatan standar kehidupan
yang berkelanjutan (Mankiw, 2009).
2.1.2 Teori Pertumbuhan Simon Kuznet
Simon Kuznet mendefinisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara
sebagai peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang-
barang ekonomi bagi penduduknya, kenaikan pada kemampuan ini disebabkan
oleh adanya kemajuan teknologi, kelembagaan serta penyesuaian ideologi yang
dibutuhkannya (Todaro & Smith, 2012). Ketiga komponen pokok dari definisi ini
sangatlah penting maknanya bagi suatu perekonomian (Arsyad, 2010) yaitu.
1) Kenaikan output nasional secara terus menerus merupakan perwujudan dari
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kemampuan suatu perekonomian
dalam menyediakan berbagai macam barang ekonomi, dan juga tanda
kematangan ekonomi
2) Kemajuan teknologi merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, namun bukan syarat cukup
(sufficient condition) dalam merealisasikan potensi pertumbuhan yang
terkandung dalam teknologi baru
3) Penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideologi harus segera dilakukan.
Adanya inovasi teknologi tanpa adanya inovasi sosial ibarat sebuah bola
lampu tanpa aliran listrik. Potensi ada namun tanpa input yang melengkapi,
tidak akan berarti apa-apa.
24
2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan endogenus (endogenous growth theory) menolak
asumsi dalam model Solow tentang kemajuan teknologi yang bersifat eksogen
dan juga menolak adanya pengembalian modal yang semakin menurun.
Penjelasan atas teori pertumbuhan endogen dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Teori pertumbuhan endogen dijelaskan dari fungsi produksi sederhana
sebagai berikut:
Y = AK .................................................................. (2.11)
di mana, Y = output, K= persediaan modal, dan A = konstanta. A mengukur
jumlah output produksi untuk setiap unit modal.
Fungsi produksi pada Persamaan (2.11) tidak menunjukkan adanya
pengembalian modal yang semakin menurun. Satu unit modal tambahan
dapat memproduksi tambahan output sebesar A unit.
2. Pendapatan diasumsikan sebagian ditabung dan diinvestasikan. Perubahan
persediaan modal (∆K) sama dengan investasi (sY) dikurangi depresiasi (δK)
dan dinyatakan dalam persamaan:
∆K = sY - δK ......................................................... (2.12)
3. Berdasarkan Persamaan (2.11) dan Persamaan (2.12) didapatkan
persamaan:
∆Y/ Y = ∆K / K = sA - δ ........................................ (2.13)
Persamaan (2.13) menunjukkan tingkat pertumbuhan output ∆Y/Y.
Pendapatan perkonomian akan dapat terus tumbuh selama sA > δ dengan
tanpa mengasumsikan kemajuan teknologi eksogen.
Dalam model Solow, tabungan mendorong pertumbuhan sementara dan
dengan adanya asumsi pengembalian modal yang semakin menurun,
25
perekonomian akan mencapai kondisi mapan di mana pertumbuhan hanya
bergantung pada kemajuan teknologi eksogen. Dalam model pertumbuhan
endogen, tabungan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan yang
berkesinambungan.
Teori pertumbuhan endogen menolak asumsi pengembalian modal yang
semakin menurun karena modal (K) tidak hanya dipandang sebagai modal yang
berbentuk persediaan pabrik dan peralatan perkonomian, namun modal bersifat
lebih luas. Dalam teori pertumbuhan endogen ilmu pengetahuan dipandang
sebagai bentuk modal atau input dalam produksi barang dan jasa, dan juga input
untuk proses produksi ilmu pengetahuan yang lebih baru. Berbeda dengan
modal dalam bentuk persediaan pabrik dan peralatan yang dapat memiliki tingkat
pengembalian yang menurun, ilmu pengetahuan kurang wajar apabila
diasumsikan memiliki tingkat pengembalian yang menurun, bahkan berbagai
inovasi ilmu pengetahuan yang semakin meningkat dapat meningkatkan pula
pengembalian atas modal berupa ilmu pengetahuan tersebut (Mankiw 2009)
2.2 Konsep Daya Saing
Istilah daya saing berasal dari kata daya yang bermakna kekuatan, dan
kata saing yang berarti mencapai lebih dari yang lain, atau beda dengan yang
lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Artinya daya saing dapat
bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang
dilakukan oleh kelompok atau institusi tertentu. Konsep daya saing mengacu
pada kemampuan untuk mencapai dominasi dan kemantapan dalam kompetisi
antara perusahaan individual dan pesaing di tingkat mikro (perusahaan) dan
antara ekonomi pada tingkat ekonomi makro (Márkus, 2008).
26
Pembahasan mengenai daya saing suatu unit produksi, baik untuk tingkat
perusahaan, sektor, maupun ekonomi (negara), sudah seumur perdagangan
internasional. Perdagangan internasional sendiri bukanlah sesuatu hal yang
baru, namun sebuah paparan teoritis yang sistematis baru dikembangkan sekitar
abad keenambelas dan ketujuhbelas. Dimulai dari teori Merkantilisme yang
menganggap pertumbuhan ekonomi suatu negara tumbuh sebagai akibat
adanya pengeluaran dari negara lain. Suatu negara dapat mempertinggi
kekayaannya dengan cara menjual barang-barangnya ke luar negeri (Sukirno,
2008)
Para penganut merkantilisme yang dipelopori oleh Thomas Mun (1571-
1641) dengan karyanya England.s Treasure by Foreign Trade sependapat
bahwa, satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat
adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin impor.
Surplus ekspor yang dihasilkan kemudian dibentuk dalam logam-logam mulia
khususnya emas dan perak. Semakin banyak logam mulia yang dimiliki suatu
negara, maka semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Selanjutnya, dengan
mendorong ekspor dan mengurangi impor, pemerintah akan dapat mendorong
output dan kesempatan kerja nasional (Salvatore, 2007)
Selanjutnya ahli-ahli ekonomi klasik menganalisis lebih mendalam lagi
peranan perdagangan luar negeri dalam perekonomian. Teori keunggulan
absolut (absolut advantages) dibangun oleh Adam Smith sebagai perbaikan atas
merkantilisme. Menurut Adam Smith, bahwa perdagangan akan meningkatkan
kemakmuran bila dilaksanakan melalui mekanisme perdagangan bebas. Melalui
perdagangan bebas, para pelaku ekonomi diarahkan untuk melakukan
spesialisasi dalam upaya peningkatan efisiensi (Rahardja dan Manurung, 2006).
27
Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut
memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut
memiliki ketidakunggulan mutlak (Hady, 2001).
Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan
absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun
kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain
dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan
menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore,
2007).
Lebih lanjut teori perdagangan internasional dikemukakan oleh David
Ricardo dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang dikenal dengan
nama The Theory of Comparative Advantage atau The Theory of Relative Cost
yaitu mencoba melihat keuntungan/kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini
menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor
suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor
barang yang memiliki comparative disadvantage, yaitu suatu barang yang dapat
dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan
sendiri memakan ongkos yang besar. Teori ini pada dasarnya menyatakan
bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang
dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Makin banyak tenaga kerja
yang dicurahkan untuk memproduksi suatu barang, maka akan semakin mahal
pula harga barang tersebut (Nopirin, 2013)
28
Suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif (comparative
advantage) dalam memproduksi suatu barang jika biaya pengorbanannya dalam
memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada
negara-negara lainnya. Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan
kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor
produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai (Krugman, Paul and Obstfeld
2000).
Selanjutnya Eli Heckscher dan Bertin Ohlin mengembangkan teori
perdagangan internasional yang dikenal dengan teori Heckscher. Ohlin (H.O),
menyatakan bahwa sumber utama perdagangan internasional adalah adanya
perbedaan karunia sumber-sumber daya antarnegara. Teori ini sangat
menekankan saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi
antarnegara dan perbedaan penggunaannya dalam memproduksi berbagai
macam barang, sehingga teori ini sering disebut sebagai teori proporsi faktor
produksi (factor proportion theory)
Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak/murah dalam
memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu
jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka/mahal dalam
memproduksinya (Hady, 2001). Sebuah negara akan mengekspor komoditi yang
produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan
murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi
yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di
negara itu. Singkatnya, sebuah negara yang relatif kaya atau berkelimpahan
tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja
29
dan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif padat modal (yang merupakan
faktor produksi langka dan mahal di negara yang bersangkutan) (Salvatore 2007)
Pembahasan daya saing tidak lengkap tanpa ada kontribusi dari Michael
Eugene Porter yang merupakan seorang profesor dari Harvard Business School,
memiliki spesialisasi di bidang competitiveness, baik skala bisnis maupun
negara. Teori Porter (1990) tentang daya saing nasional berangkat dari
keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan
komparatif tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu
negara memperoleh keunggulan daya saing / competitive advantage (CA) jika
perusahaan yang ada di negara tersebut kompetitif.
Selanjutnya Porter mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari
empat determinan (faktor – faktor yang menentukan) National Competitive
Advantage (NCA). Empat atribut ini adalah: factor conditions, demand conditions,
related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry.
Gambar 2.1Determinans of National Competitive Advantage
Sumber : Porter (1990)
30
Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor
produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur.
Argumen Porter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh
dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor disadvantage)
seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya)
memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi.
Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap
berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti
ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini
didorong oleh adanya permintaan barang-dan jasa berkualitas serta adanya
kedekatan hubungan antara perusahan dan pelanggan.
Related and Supporting Industries, mengacu pada tersedianya
serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan
perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada
peningkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor
kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang
memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan
dengan konsumen sehingga semakin meningkatkan kekuatan pasar (market
power).
Firm strategy, Structure and Rivalry, mengacu pada strategi dan struktur
yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pada
industri tertentu. Faktor Strategy dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar
modal dan pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi
perusahaan, sementara individu seringkali membuat keputusan karir
berdasarkan peluang dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada
31
suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur
mengikuti strategi. Struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas
persaingan (rivalry) yang tinggi mendorong inovasi.
Porter juga menambahkan faktor lain: Peran Pemerintah, yang dikatakan
memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan
sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki
memberikan fasilitasi, katalis, dan tantanan bagi industri. Pemerintah
menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu.
Hal – hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa
subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor
conditions, serta menegakkan standar industri (Porter,1990)
Dewasa ini, konsep daya saing negara telah dikembangkan dengan
sangat komprehensif oleh lembaga internasional yaitu World Economic Forum
(WEF) yang secara rutin menerbitkan “Global Competitiveness Report”.
Lembaga ini dirikan sejak tahun 1979, bekerjasama dengan berbagai profesor
yang ahli dalam bidangnya seperti Michael Porter, Xavier Sala-i Martin, Klaus
Schwab dan ilmuwan lainnya. Data yang dirilis oleh WEF telah mejadi rujukan
baik akademisi, pemerintah maupun swasta.
Menurut WEF (2013) definisi daya saing nasional sebagai “kemampuan
perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan.” Kunci utama sebagai faktor penentu daya saing nasional adalah
kebijakan-kebijakan yag tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristik-
karakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan. Nilai daya saing yang ditentukan oleh WEF
berkisar 1 sampai dengan 7. Di mana 7 merupakan nilai daya saing tertinggi dan
32
sebaliknya satu merupakan nilai daya saing terendah. WEF dalam laporannya di
Global Competitiveness Report, merumuskan konsep daya saing negara menjadi
12 pilar yang dibagi menjadi tiga kelompok. Berikut merupakan bagan ke-12 pilar
yang dirangkum oleh GCR:
Gambar 2.2.Bagan Pilar Daya Saing Negara
Sumber : WEF 2016
Berdasarkan pilar di atas, maka dapat dijelaskan bahwasanya terdapat 12
pilar yang dibagi menjadi 3 kelompok. Semakin tinggi ranking daya saing, maka
sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh negara tersebut memiliki tingkat
produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas akan menjadi penentu bagi
33
peningkatan kesejahteraan ekonomi dan tingkat pengembalian investasi melalui
pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Berikut penjelasan masing-masing
pilar (Schwab, 2015)
1. Institusi
Lingkungan kelembagaan suatu negara tergantung pada efisiensi dan
perilaku pemangku kepentingan baik negeri maupun swasta. Kerangka
hukum dan administrasi di mana individu, perusahaan, dan pemerintah
berinteraksi menentukan kualitas lembaga publik dari suatu negara sehingga
memiliki bantalan yang kuat pada daya saing dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Kelembagaan yang baik akan mempengaruhi keputusan investasi
sehingga penting untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
2 Infrastruktur
Infrastruktur yang luas dan efisien sangat penting untuk memastikan fungsi
efektif ekonomi. Transportasi yang efektif meliputi kualitas tinggi pada jalan,
rel kereta api, pelabuhan, dan udara akan membuat pengusaha
mendapatkan barang dan jasa untuk pasar dengan cara yang lebih aman
dan tepat waktu serta memfasilitasi gerakan pekerja untuk pekerjaan yang
paling cocok. Ekonomi juga tergantung pada pasokan listrik yang bebas dari
gangguan dan kekurangan sehingga bisnis dan pabrik dapat bekerja tanpa
hambatan. Selain infrastruktur pada transportasi dan listrik, jaringan
telekomunikasi yang luas memungkinkan untuk aliran yang cepat dan bebas
dari informasi, yang meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan
dengan membantu untuk memastikan bahwa bisnis dapat berkomunikasi
dan keputusan dibuat oleh pelaku ekonomi memperhitungkan semua
informasi yang tersedia secara relevan.
34
3 Lingkungan Makroekonomi
Stabilitas lingkungan ekonomi makro adalah penting untuk bisnis dan karena
itu, penting untuk daya saing suatu negara. Meskipun memang benar bahwa
stabilitas makroekonomi saja tidak bisa meningkatkan produktivitas suatu
bangsa, namun hal itu juga diakui bahwa kekacauan ekonomi makro dapat
merugikan perekonomian. Perusahaan tidak dapat beroperasi secara efisien
ketika inflasi begitu tinggi. Singkatnya, perekonomian tidak bisa tumbuh
secara berkelanjutan kecuali lingkungan makro stabil.
4 Kesehatan dan pendidikan dasar
Tenaga kerja yang sehat sangat penting untuk daya saing suatu negara dan
produktivitas. Pekerja yang sakit tidak bisa memfungsikan potensi mereka
dan akan kurang produktif. Rendahnya tingkat kesehatan menyebabkan
biaya yang signifikan untuk bisnis, karena pekerja yang sakit akan sering
tidak ada atau beroperasi pada tingkat yang lebih rendah dari efisiensi.
Investasi dalam penyediaan pelayanan kesehatan demikian penting untuk
ekonomi. Selain untuk kesehatan, pilar ini memperhitungkan akun kuantitas
dan kualitas pendidikan dasar yang diterima oleh penduduk, dimana hal
tersebut semakin penting dalam perekonomian saat ini. Pendidikan dasar
meningkatkan efisiensi setiap pekerja individu.
5 Pendidikan Tinggi Dan Pelatihan
Kualitas pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi sangat penting untuk
ekonomi yang ingin bergerak maju. Khususnya, globalisasi ekonomi saat ini
membutuhkan negara untuk memelihara pekerja terdidik yang mampu
melakukan tugas-tugas kompleks dan beradaptasi dengan cepat untuk
mengubah lingkungan mereka. Pilar ini mengukur Angka Partisipasi Sekolah
35
(APS) baik sekunder maupun tersier serta kualitas pendidikan sebagai
evaluasi oleh para pemimpin bisnis. Luasnya staf pelatihan juga
dipertimbangkan karena pentingnya kejuruan dan pelatihan yang
berkesinambungan untuk memastikan peningkatan keterampilan pekerja.
6 Efisiensi pasar Barang
Negara-negara dengan pasar barang yang efisien artinya mereka mampu
untuk menghasilkan campuran yang tepat dari produk dan jasa yang
diberikan kepada konsumen maupun untuk memastikan bahwa barang-
barang ini bisa yang paling efektif diperdagangkan dalam perekonomian.
Pasar dengan kompetisi yang sehat, baik domestik maupun asing penting
dalam mendorong efisiensi pasar, dan dengan demikian produktivitas bisnis
akan meningkat. Dengan kata lain memastikan bahwa perusahaan yang
paling efisien adalah perusahaan yang menghasilkan barang sesuai dengan
permintaan pasar. Efisiensi pasar juga tergantung pada kondisi permintaan
(orientasi pelanggan). Ini dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang
penting, karena perusahaan dituntut untuk menjadi lebih inovatif dan
berorientasi pada pelanggan (customer oriented), dengan demikian akan
memberlakukan disiplin yang diperlukan untuk Efisiensi yang akan dicapai di
pasar.
7 Efisiensi pasar tenaga kerja
Efisiensi dan fleksibilitas pasar tenaga kerja penting untuk memastikan
bahwa para pekerja dialokasikan untuk Penggunaan mereka yang paling
efektif dalam perekonomian dan disediakan dengan insentif untuk
memberikan usaha terbaik mereka dalam pekerjaan mereka. pasar Tenaga
kerja itu harus memiliki fleksibilitas untuk mengalihkan pekerja dari satu
36
kegiatan ekonomi ke kegiatan ekonomi yang lain dengan cepat dan dengan
biaya rendah, dan untuk memungkinkan fluktuasi upah tanpa banyak
gangguan sosial. pasar tenaga kerja yang efisien juga harus memastikan
insentif yang kuat dan jelas bagi karyawan serta mempromosikan meritokrasi
di tempat kerja, dan mereka harus menyediakan ekuitas dalam lingkungan
bisnis antara perempuan dan laki-laki. Secara bersama-sama faktor-faktor ini
memiliki efek positif pada kinerja pekerja.
8 Pengembangan pasar keuangan
Sektor keuangan yang efisien mengalokasikan sumber daya yang disimpan
oleh penduduk suatu negara, kemudian menginvestasikan ke ekonomi dari
luar negeri, ke kewirausahaan atau proyek investasi dengan harapan tingkat
pengembalian tertinggi. Bisnis investasi sangat penting untuk produktivitas.
Karena itu ekonomi membutuhkan pasar keuangan canggih yang dapat
membuat modal yang tersedia untuk investasi sektor swasta dari sumber-
sumber seperti pinjaman dari sektor perbankan yang sehat, bursa efek,
modal usaha, dan produk keuangan lainnya. Dalam rangka memenuhi
semua fungsi-fungsi, sektor perbankan harus dapat dipercaya dan
transparan sehingga pasar keuangan jelas membutuhkan regulasi yang
sesuai untuk melindungi investor dan pelaku lainnya dalam ekonomi pada
umumnya.
9 Teknologi
Pilar kesiapan teknologi mengukur kelincahan ekonomi dengan mengadopsi
teknologi yang ada untuk meningkatkan produktivitas industri, dengan
spesifik penekanan pada kapasitasnya untuk sepenuhnya memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam kegiatan sehari-hari dan
37
proses produksi untuk meningkatkan efisiensi dan memungkinkan inovasi
untuk daya saing. Titik sentral adalah bahwa perusahaan yang beroperasi di
negeri ini harus memiliki akses ke produk canggih dan kemampuan untuk
menyerap dan menggunakannya. Di antara sumber utama dari teknologi
asing, FDI sering memainkan peran kunci, terutama untuk negara-negara di
tahapan pembangunan yang kurang dalam perkembangan teknologi.
10 Ukuran Pasar
Ukuran pasar mempengaruhi produktivitas karena besar pasar
memungkinkan perusahaan untuk mengeksploitasi skala ekonomi. Secara
tradisional, pasar tersedia untuk perusahaan yang dibatasi oleh batas-batas
negara. Namun dalam era globalisasi, pasar internasional telah menjadi
pengganti pasar domestik, terutama untuk negara-negara kecil. Demikian
ekspor dapat dianggap sebagai pengganti untuk permintaan domestik dalam
menentukan ukuran pasar bagi perusahaan di suatu negara.
11 Kecanggihan Bisnis
kecanggihan Bisnis menyangkut dua elemen yang berhubungan erat:
kualitas keseluruhan jaringan bisnis suatu negara dan kualitas operasi dan
strategi perusahaan individual. Faktor-faktor ini penting terutama bagi negara
pada tahap pembangunan ketiga atau maju, untuk sebagian besar, yang
lebih mendasar sumber peningkatan produktivitas telah habis. Kualitas
jaringan bisnis suatu negara dan industri pendukung, yang diukur dengan
kuantitas dan kualitas pemasok lokal dan sejauh mana mereka berinteraksi,
penting untuk berbagai alasan.
38
12 Inovasi
Pilar yang terakhir berfokus pada inovasi. inovasi adalah sangat penting bagi
ekonomi karena mereka mendekati batas-batas pengetahuan, dan
kemungkinan menghasilkan nilai lebih dengan hanya mengintegrasikan dan
mengadaptasi teknologi. Dalam ekonomi ini, perusahaan harus merancang
dan mengembangkan produk mutakhir dan proses untuk mempertahankan
keunggulan kompetitif dan bergerak ke arah yang lebih tinggi nilai
tambahnya. perkembangan ini membutuhkan lingkungan yang kondusif
untuk kegiatan inovatif dan didukung oleh masyarakat dan sektor swasta.
Hal itu berarti investasi yang cukup dalam penelitian dan pengembangan (R
& D), terutama oleh sektor swasta; itu Kehadiran lembaga penelitian ilmiah
berkualitas tinggi yang dapat menghasilkan pengetahuan dasar yang
dibutuhkan untuk membangun teknologi baru; kerjasama yang luas dalam
penelitian dan perkembangan teknologi antara universitas dan industri; dan
perlindungan kekayaan intelektual (Schwab 2015)
Pilar-pilar dari daya saing tersebut memiliki cara atau pengaruh yang
berbeda antar negara dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan
dengan teori ekonomi yang dikenal dengan tahapan pembangunan. WEF
mengasumsikan bahwa pada tahap pembangunan pertama, karakteristik negara
ini cenderung mengandalkan sumberdaya alam dan memiliki tenaga kerja yang
tidak terdidik sehingga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan
persyaratan dasar (driven factor) yang meliputi kelembagaan yang baik,
kestabilan makroekonomi, infrastruktur berkembang dengan baik dan tenaga
kerja yang paling tidak sehat dan mengenyam pendidikan dasar. Sebagai negara
yang menjadi lebih kompetitif, produktivitas akan meningkat dan upah akan naik
39
dengan memajukan pembangunan. Negara kemudian akan bergerak ke tahap
pembangunan kedua yaitu peningkatan efisiensi (efficiency-enhancer), saat
mereka harus mulai mengembangkan proses produksi yang lebih efisien dan
kualitas produk meningkat, karena upah telah meningkat dan mereka tidak bisa
menaikkan harga. pada titik ini, daya saing semakin didorong oleh pendidikan
tinggi dan pelatihan (pilar 5), pasar barang-barang yang efisien (Pilar 6), pasar
tenaga kerja yang berfungsi dengan baik (pilar 7), pasar keuangan yang maju
(pilar 8), kemampuan untuk memanfaatkan keuntungan dari teknologi yang
sudah ada (pilar 9), dan pasar domestik maupun asing yang besar (pilar 10).
Akhirnya, sebagai negara yang pindah ke tahap inovasi, upah akan
meningkat begitu besar dan mereka mampu mendukung upah mereka yang lebih
tinggi untuk mengoptimalkan standar hidup yang lebih layak hanya jika usaha
mereka untuk mampu bersaing dengan menggunakan proses produksi yang
paling canggih (pilar 11) dan oleh inovasi yang baru (pilar 12). Tujuan WEF
menghubungkan pilar daya saing dengan tahapan pembangunan negara agar
lebih relevan bagi negara yang bersangkutan untuk melaksanakan konsep daya
saing untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Perhitungan nilai daya saing global (global competitiveness index)
didasarkan pada akumulasi dari keseluruhan indikator semua pilar daya saing.
Dan pembobotan yang diberikan pada tiga sub index (basic requirements,
efficiency enhancer dan innovation and sophistication factors) adalah tidak tetap.
Hal ini bergantung pada masing-masing tahapan pembangunan suatu negara.
Dua kriteria yang digunakan untuk mengalokasikan negara ke tahap
pembangunan. Yang pertama adalah tingkat PDB per kapita pada nilai tukar
pasar. Ambang yang digunakan juga dilaporkan dalam Tabel 2.1 di bawah ini:
40
Tabel 2.1Kriteria Tahapan Pembangunan Negara
Tahapan PembangunanTahap 1(factordriven)
Transisidari 1 ke 2
Tahap 2(Efficiencydriven)
Transisi dari2 ke 3
Tahap 3(Innovationdriven)
GDP Per Kapita(US$)
< 2000 2000-2999 3.000-8.999 9000-17000 >17.000
Bobot PersyaratanDasar
60% 40-60% 40% 20-40% 20%
Bobot Peningkatanefisiensi
35% 35-50% 50% 50% 50%
Bobot PendorongInovasi
5% 5-10% 10% 10-30% 30%
Sumber : WEF, 2016
Berdasarkan tabel 2.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi negara
dengan perolehan GDP Per kapita sebesar kurang dari US $ 2.000, maka
negara tersebut dikelompokan pada tahap pembangunan satu, artinya faktor
driven atau persyaratan dasar sangat dibutuhkan untuk negara ini dalam
mendorong pertumbuhan ekonominya. Terbukti dengan bobot nilai sebesar 60
%. Dan untuk peningkatan efisiensi 35 % sedangkan untuk pendorong inovasi
negara di tahap pembangunan satu ini masih begitu rendah yaitu hanya sebesar
5%.
Kriteria kedua yang digunakan untuk mengklasifikasikan negara itu,
berdasarkan pendapatan yang akan bergerak ke luar tahap 1, tetapi di mana
kemakmuran didasarkan pada ekstraksi sumber daya. Ini diukur dengan pangsa
ekspor barang mineral dalam total ekspor (barang dan jasa), dan
mengasumsikan bahwa negara-negara dengan lebih dari 70 persen dari ekspor
mereka terdiri dari mineral produk (diukur dengan menggunakan rata-rata lima
tahun) yang dikategorikan ke Negara factor driven. Sedangkan yang sumber
daya didorong oleh teknologi dan secara signifikan lebih kaya diklasifikasikan ke
41
dalam negara Innovation driven stage. Setiap negara yang jatuh antara dua tiga
tahap dianggap "dalam transisi." Untuk negara-negara ini, bobot akan berubah
sebagai negara berkembang, mencerminkan transisi yang mulus dari salah satu
tahap perkembangan ke tahap perkembangan yang lain. Berikut negara ASEAN
dengan tahapan pembangunan yang berbeda:
Tabel 2.2Tahapan Pembangunan Negara ASEAN
Tahap 1(factordriven)
Transisi dari1 ke 2
Tahap 2(Efficiencydriven)
Transisi dari2 ke 3
Tahap 3(Innovationdriven)
Kamboja Brunei Indonesia Malaysia SingapuraLaos Phillipina ThailandMyanmar VietnamSumber: WEF, 2016
Berdasarkan tabel 2.2 di atas, maka diketahui bahwa negara-negara di
kawasan ASEAN dengan tahapan pembangunannya. Sehingga dapat ditentukan
pilar mana yang paling tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara
ASEAN.
2.3 Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat
2.3.1 Hubungan Daya Saing Negara Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Daya saing suatu negara bisa didefinisikan sebagai suatu rangkaian dari
institusi, kebijakan dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu
negara (WEF, 2016). Daya saing meliputi yang 12 pilar mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi (Lopez-Claros et al. 2008). Daya saing suatu negara
terbagi menjadi tiga kelompok, di antaranya:
Kelompok 1: Persyaratan Dasar, terdiri dari institusi, infrastruktur, makroekonomi,
kesehatan dan pendidikan dasar, yang mana faktor-faktor ini akan
42
membangun lingkungan yang lebih baik untuk peningkatan
produktivitas negara (Bai, 2009).
Kelompok 2: Faktor Efisiensi, mencakup pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi
di pasar barang, efisiensi pasar uang, efisiensi pasar tenaga kerja,
kesiapan teknologi dan besaran pasar. Yang mana faktor tersebut
dibutuhkan untuk efisiensi produksi (Qin, Prybutok, and Peak 2009).
Kelompok 3: Faktor Inovasi, meliputi kecanggihan bisnis dan inovasi. Negara
yang mendukung terhadap kemajuan inovasi, mengindikasikan
bahwa pertumbuhan bisa berkelanjutan (Koong et al. 2011)
2.3.2 Hubungan Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi
Korupsi termasuk bagian dari pilar daya saing global yaitu pilar institusi.
Korupsi dapat menurunkan tingkat daya saing suatu negara yang berdampak
pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Porter (2005 dalam Herciu, 2006) bahwa negara yang paling kompetitif adalah
negara yang paling bersih (bebas korupsi). Negara yang mampu mengurangi
tingkat korupsi dalam waktu satu tahun, bisa menempati rangking 20 besar
dalam pencapaian nilai daya saing tertinggi tingkat dunia. Di antaranya adalah
negara yang mampu mengurangi korupsi sebesar 11%- 30% yakni negara
Lithuania, Rumania, Republik Cheko, Yunani. Sedangkan negara yang mampu
mengurangi tingkat korupsi sebesar 5%-10% yaitu negara Bulgaria, Luxemburg,
Polandia, Turki. Dan untuk negara yang mampu mengurangi korupsi sebesar 5%
adalah negara Austria, Denmark, Spanyol, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia,
Belanda, Portugal dan Inggris. (Sumber Transparency International, Global
Barometer on Corruption, 2005).
43
Hal ini juga dibuktikan dari negara kawasan ASEAN sendiri, dimana
negara Singapura dengan nilai ICP 9,2 (mendekati bersih total) memiliki indeks
daya saing tertinggi kedua tingkat dunia setelah negara Switzerland. Ini
menunjukkan betapa signifikannya hubungan korupsi dengan daya saing suatu
negara.
Bank Dunia (2000) menyebutkan bahwa bahwa korupsi merupakan
tindakan penyalahgunaan kepercayaan publik demi kepentingan pribadi. Menurut
Lembaga Transparansi Internasional (2010 dalam Kuncoro, 2013), korupsi
merupakan perilaku pejabat publik, politikus, pegawai negeri, yang secara tidak
wajar atau tidak legal memperkaya diri atau memperkaya pihak-pihak yang dekat
dengan dirinya dengan menyalahgunakan kekuasaaan publik yang
dipercayakan. Sedangkan menurut Lembaga Transparency Internasional
Indonesia (TI-Indonesia) yang merupakan perwakilan dari Transparency
Internasional mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan wewenang publik
untuk kepentingan pribadi.
Adapun berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bentuk-bentuk korupsi cukup
banyak yang tertuang dalam 30 jenis tindak pidana korupsi. Tindak pidana
korupsi tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 7 kategori antara lain
kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
gratifikasi.
Bank Dunia (2000) menyebutkan bahwa korupsi merupakan gejala dari
kelemahan konstitusional yang mendalam. Beberapa riset menunjukkan bahwa
hal-hal yang merupakan penyebab korupsi antara lain sebagai berikut. Pertama,
44
ketiadaan hak politik dan kebebasan sipil, di mana tingkat kebebasan sipil dan
kebebasan pers memiliki korelasi negatif yang tinggi dengan korupsi. Kedua,
keuangan publik dan regulasi di mana hasil riset menyebutkan bahwa negara
dengan tingkat kepemilikan yang tinggi oleh negara dalam ekonomi, regulasi
bisnis, pajak yang berlebihan, dan penerapan pajak secara sewenang-wenang,
serta danya restriksi perdagangan, maka keadaan korupsi di negara tersebut
juga lebih tinggi. Ketiga, profesionalisme pelayan publik, di mana apabila ada
profesionalisme oleh pegawai negeri baik dalam hal perekrutan, pelatihan, dan
sistem promosi, maka hal itu berkaitan dengan tingkat korupsi yang lebih rendah.
Walaupun secara umum korupsi dipandang sebagai suatu penyakit dalam
kehidupan masyarakat, namun pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan
ekonomi masih diperdebatkan oleh para ekonom. Berikut perbedaan pandangan
terkait pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.2.2.1 Grease The Wheels Hypothesis (GWH)
Pandangan yang menyebutkan bahwa korupsi dapat menjadi pelumas
roda perekonomian dikenal dalam hipotesis Grease The Wheels Hypothesis
(GWH). Egunjobi dan Adenike (2013) menyebutkan adanya pandangan bahwa
korupsi dianggap dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi dikarenakan bahwa
korupsi seperti dalam bentuk suap pada birokrat pemerintahan, bertindak seperti
minyak yang melumasi dan memfasilitasi mesin pertumbuhan ekonomi. Hal ini
karena korupsi dapat membantu pegawai pemerintah membuat proses
persetujuan suatu proyek menjadi lebih cepat dan efisien. Leff (1964 dalam
Egunjobi dan Adenike, 2013), menyebutkan bahwa korupsi dapat meningkatkan
efisiensi karena dapat menghilangkan kekakuan pemerintah yang menghambat
45
investasi dan menganggu keputusan-keputusan ekonomi yang diperlukan untuk
pertumbuhan.
Meon dan Sekkat (2005) menyebutkan bahwa korupsi dimungkinkan
berdampak positif pada pertumbuhan dan pembangunan di mana korupsi
mengkompensasi berbagai bentuk birokrasi yang cacat, kebijakan yang buruk
dan kelembagaan yang lemah. Lui (1985) dalam Meon dan Sekkat (2005)
menyatakan bahwa korupsi dapat meningkatkan efisiensi waktu dalam antrian di
mana suap dapat memberikan insentif pada birokrat untuk meningkatkan proses
pelayanan, mencegah kelambanan administrasi, dan dapat menghilangkan
kekakuan birokrasi pemerintahan yang menghalangi investasi, sehingga dengan
adanya korupsi kekakuan birokrasi dapat terkurangi dan melalui pintu inilah
investasi dapat masuk dan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Hipotesis Grease The Wheels Hypothesis (GWH) secara tersirat
menyebutkan bahwa korupsi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara yang mengalami kelemahan institusional dengan birokrasi yang
berbelit-belit. Jika demikian, sesungguhnya korupsi tetap dipandang sebagai
suatu penyakit dan seharusnya yang dilakukan adalah memperkuat
kelembagaan publik dan mereformasi kekakuan dalam birokrasi.
Sand The Wheels Hypothesis (GWH)
Egunjobi dan Adenike (2013) menyebutkan pula pandangan yang
menganggap bahwa korupsi dapat mengganggu dan menghambat pertumbuhan
ekonomi, menciptakan distorsi dalam pasar dan juga distorsi dalam alokasi
sumberdaya. Korupsi juga cenderung mengabaikan pendidikan dan kesehatan,
mengurangi produktivitas investasi publik, dan cenderung mengurangi
pendapatan pajak. Selain itu, korupsi juga dapat menghambat pertumbuhan
46
ekonomi dengan menurunkan investasi asing, menurunkan pengeluaran
pemerintah dalam bidang pendidikan dan pengeluaran pemerintah untuk barang
modal.
Menurut Bank Dunia (2000), korupsi dapat memperlemah pertumbuhan
ekonomi. Pengaruh negatif korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut
terjadi melalui beberapa saluran antara lain: Pertama, alokasi talenta yang tidak
tepat di mana penempatan pelayan publik tidak sesuai pada keahliannya. Kedua,
tingkat investasi domestik dan asing yang rendah, di mana adanya korupsi
membuat orang enggan untuk melakukan investasi baik domestik maupun asing.
Ketiga, pengeluaran dan investasi publik yang terdistorsi, di mana korupsi
membuat tidak berimbangnya komposisi pengeluaran publik. Rezim yang korup
akan melalaikan program kesehatan karena hanya menawarkan perburuan rente
yang lebih sedikit. Keempat, korupsi juga memperburuk infrastruktur fisik publik
di mana korupsi selain dapat mengurangi tingkat pendapatan, juga dapat
mengurangi kualitas jalan raya, menyebabkan kekurangan daya listrik,
kegagalan telekomunikasi atau kekurangan air.
Mo (2001) menyebutkan bahwa korupsi terbukti dapat menurunkan
tingkat pertumbuhan ekonomi melalui beberapa saluran yaitu dengan
memengaruhi kestabilan politik, menurunkan tingkat human capital dan
mengurangi tingkat investasi. Dalam model pertumbuhan Solow, tingkat
tabungan dan investasi akan menentukan output dan tentu pendapatan nasional.
Namun tingkat tabungan dan investasi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kebijakan pajak, pola pensiun, pertumbuhan pasar uang, faktor
budaya, stabilitas politik. Negara-negara yang memiliki lembaga-lembaga politik
47
yang buruk di mana hal itu dapat diukur dengan estimasi korupsi para pejabatnya
cenderung memiliki tabungan dan investasi yang lebih rendah (Mankiw, 2009).
Berbagai pandangan pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di
atas memperkuat adanya hipotesis bahwa korupsi menghambat pembangunan
dan dikenal sebagai hipotesis Sand The Wheels Hypothesis (SWH). Secara
ringkas hipotesis tersebut menyebutkan bahwa korupsi berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi, di mana korupsi merintangi pertumbuhan
ekonomi dengan mendistorsi pasar dan alokasi sumber daya ekonomi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga menghambat investasi, menurunkan
kualitas human capital, inefisiensi pengeluaran pemerintah, dan menciptakan
instabilitas politik dan pada akhirnya mereduksi output.
2.3.3 Hubungan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Snieška & Zykiene (2014) infrastruktur diidentifikasikan sebagai
salah satu dari indikator daya saing suatu negara yang peranannya penting
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu dikarenakan infrastruktur dapat
menciptakan konektivitas antar daerah bahkan antar pulau, dapat meningkatkan
produktivitas industri dan daya saing sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan standar hidup yang lebih baik.
Infrastruktur memainkan peranan penting di dalam pengembangan
ekonomi dan daya saing daerah. Infrastruktur yang strategis berguna bagi
investor yang mencari lokasi untuk dimanfaatkan bagi industri agar mendapatkan
keuntungan (Stimson, et.al, 2006). Infrastruktur di suatu negara akan menjadi
pertimbangan bagi para investor di dalam menanamkan modal di negara tersebut
48
(Jones & Wren, 2006). Kualitas infrastruktur yang baik di suatu negara akan
membuat penanaman modal asing lebih atraktif (Tsen, 2005). Kebutuhan
terhadap infrastruktur merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
oleh pemerintah untuk mendukung kemajuan industri.
Penyediaan hard infrastructure seperti : jalan raya, sistem pembuangan
limbah, sistem penyediaan air, bandara, dan perangkat keras telekomunikasi;
serta soft infrastructure seperti pendidikan, kesehatan, pemerintahan,
kepemimpinan daerah dan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki
peranan penting di dalam memfasilitasi produksi dan perdagangan. Adanya
dukungan infrastruktur dapat membuat perusahaan menjadi kompetitif lebih
cepat dan lebih cerdas dalam menyesuaikan perubahan kondisi (Stimson, et. al.,
2006).
Bank Dunia (dalam Wahyuni, 2009) mendefinisikan infrastruktur ekonomi,
merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik
dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi tenaga, telekomunikasi, air
minum, sanitasi dan gas (public utilities), jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi
dan drainase (public work) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api,
angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).
American Society of Civil Engineers (ASCE) menganggap definisi yang
lebih komprehensif infrastruktur ada pada laporan tahunan "Daftar Laporan
Infrastruktur Amerika”. Daftar ini memuat data infrastruktur untuk penerbangan,
jembatan, bendungan, air minum, energi, tempat limbah berbahaya, jalur air
bernavigasi, taman umum dan rekreasi, kereta api, jalan, sekolah, keamanan,
limbah padat, jalur transit dan jalur air limbah. Sekali lagi, bagaimanapun, daftar
49
laporan tidak menjelaskan mengapa sarana sarana itu dikelompokan dalam
kategori infrastruktur (dalam Dixon dan Baldwin, 2008).
Karateristik infrastruktur adalah: (1) Aset memiliki bentuk fisik dengan
masa pakai yang panjang. Penciptaan aset memerlukan cukup periode
persiapan pembangunannya; (2) Aset memiliki sedikit pengganti dalam jangka
pendek; (3) Struktur aset mampu memperlancar aliran barang dan jasa dan
tanpa asset akan terjadi gangguan dalam aliran persediaan barang dan jasa; (4)
Aset penting terutama karena asset berfungsi sebagai barang komplementer
atau pelengkap terhadap barang dan jasa dalam faktor produksi; dan (5) Memiliki
ekternalitas positif yaitu daya manfaatnya dapat dinikmati pihak diluar pembuat
infratruktur tersebut (Baldwin dan Dixon, 2008).
Familoni (2004) menjelaskan bahwa infrastruktur dibedakan menjadi
infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi di antaranya
utilitas publik seperti listrik, telekomunikasi, suplai air bersih, sanitasi, dan saluran
pembuangan dan gas. Termasuk pekerjaan umum seperti jalan kereta api,
angkutan kota, dan bandara. Sedangkan infrastruktur sosial dibedakan menjadi
infrastruktur pendidikan dan kesehatan.
Canning dan Pedroni (2004) menyatakan infrastruktur memiliki sifat
eksternalitas. Berbagai infrastruktur seperti jalan, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya memiliki sifat eksternalitas positif. Eksternalitas positif dalam
infrastruktur berupa efek limpahan dalam bentuk peningkatan produksi
perusahaan dan sektor pertanian tanpa meningkatkan input modal dan tenaga
kerja serta meningkatkan teknologi. Dengan dibangunnya infrastruktur, tingkat
produktivitas akan meningkat. Salah satunya yang paling nampak adalah
pembangunan jalan.
50
Manfaat pembangungan jaringan jalan dapat dilihat dari peningkatan
mobilitas dan efisiensi yang terjadi dalam masyarakat. Adanya peningkatan
kuantitas dan kualitas jaringan jalan akan mendorong peningkatan lalulintas
orang, barang, maupun jasa-jasa baik oleh masyarakat setempat maupun
mobilitas antar daerah. Sehingga akan menciptakan produktivitas angkutan jalan
yang selanjutnya menghasilkan efisiensi biaya baik biaya transportasi rumah
tangga non produksi maupun rumah tangga produksi (perusahaan).
Peningkatan efisiensi dapat menghemat biaya per unit konsumsi atau
produksi. Dengan demikian, manfaat dengan tersedianya jaringan jalan maka
potensi daerah dapat lebih didayagunakan. Selain itu, manfaat juga berasal dari
peningkatan pendapatan dari sektor-sektor yang memasok input-input (tenaga
kerja, modal, dan bahan baku) dalam pembangunan jalan. Peningkatan
pendapatan berarti mendorong peningkatan daya beli masyarakat dan
selanjutnya akan berdampak pada peningkatan aktivitas ekonomi. (Canning dan
Pedroni, 2004).
2.3.4 Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Schwab (2015) Stabilitas lingkungan ekonomi makro adalah
penting untuk bisnis dan karena itu, penting untuk daya saing suatu negara.
Meskipun memang benar bahwa stabilitas makroekonomi saja tidak bisa
meningkatkan produktivitas suatu bangsa, namun hal itu juga diakui bahwa
kekacauan ekonomi makro dapat merugikan perekonomian. Stabilitas lingkungan
makroekonomi dapat dilihat dari tingkat inflasi. Tingkat inflasi yang tinggi dan
berkepanjangan akan berdampak buruk bagi daya saing negara dan
pertumbuhan ekonomi.
51
Teori Country Risk yang didukung oleh Erramilli dan D’Souza (1995),
Glaister dan Atanasova (1998), Wint dan Williams (2002) mengatakan bahwa
perusahaan asing melakukan penanaman modal ke negara yang memiliki
stabilitas ekonomi yang baik. Dengan adanya teori Country Risk maka stabilitas
ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penanaman modal asing.
Apabila investor melihat suatu negara memiliki stabilitas ekonomi yang baik
maka investor makin berminat untuk menanamkan dananya ke negara yang
memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Sedangkan menurut Ozturk (2007)
mengatakan stabilitas ekonomi dan politik sangat penting dalam menentukan
penanaman modal asing yang memiliki dampak positif bagi keseluruhan
pertumbuhan ekonomi.
Dornbusch dan Fischer (2001), menyebutkan bahwa inflasi merupakan
kejadian ekonomi yang sering terjadi meskipun kita tidak pernah menghendaki.
Inflasi ada dimana saja dan selalu merupakan fenomena moneter yang
mencerminkan adanya pertumbuhan moneter yang berlebihan dan tidak stabil.
Sedangkan menurut Asfia (2006), menyatakan bahwa inflasi adalah suatu
kejadian yang menunjukkan kenaikan tingkat harga secara umum dan
berlangsung secara terus menerus.
Dari defenisi tersebut ada tiga kriteria yang perlu diamati untuk melihat
telah terjadinya inflasi, yaitu kenaikan harga, bersifat umum, dan terjadi terus
menerus dalam rentang waktu tertentu. Apabila terjadi kenaikan harga satu
barang yang tidak mempengaruhi harga barang lain, sehingga harga tidak naik
secara umum, kejadian seperti itu bukanlah inflasi. Kecuali bila yang naik itu
seperti harga BBM, ini berpengaruh terhadap harga-harga lain sehingga secara
umum semua produk hampir mengalami kenaikan harga. Bila kenaikan harga itu
52
terjadi sesaat kemudian turun lagi, itu pun belum bisa dikatakan inflasi, karena
kenaikan harga yang diperhitungkan dalam konteks inflasi mempunyai rentang
waktu minimal satu bulan.
Asfia (2006), mengatakan bahwa inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan
menggalakkan perkembangan ekonomi suatu negara. Hal-hal yang mungkin
timbul antara lain sebagai berikut:
1. Ketika biaya produksi naik akibat inflasi, hal ini akan sangat merugikan
pengusaha dan ini menyebabkan kegiatan investasi beralih pada kegiatan
Universitas Sumatera Utara yang kurang mendorong produk nasional, seperti
tindakan para spekulan yang ingin mencari keuntungan sesaat.
2. Pada saat kondisi harga tidak menentu (inflasi) para pemilik modal lebih
cenderung menanamkan modalnya pada bentuk pembelian tanah, rumah dan
bangunan. Pengalihan investasi seperti ini akan menyebabkan investasi
produktif berkurang dan kegiatan ekonomi menurun.
3. Inflasi menimbulkan efek yang buruk pada perdagangan dan mematikan
pengusaha dalam negeri. Hal ini dikarenakan kenaikan harga menyebabkan
produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk negara
lain sehingga kegiatan ekspor turun dan impor meningkat.
4. Inflasi menimbulkan dampak yang buruk pula pada neraca pembayaran.
Karena menurunnya ekspor dan meningkatnya impor menyebakan ketidak
seimbangan terhadap aliran dana yang masuk dan keluar negeri, sehingga
kondisi neraca pembayaran akan memburuk.
Asfia (2006), lebih lanjut menjabarkan bahwa selain yang telah
disebutkan di atas dampak buruk dari inflasi dapat pula ditinjau dari tingkat
kesejahteraan masyarakat, yakni sebagai berikut:
53
1. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil yang diterima masyarakat, dan ini
sangat merugikan orang-orang yang berpenghasilan tetap. Pada saat inflasi,
kenaikan tingkat upah tidak secepat kenaikan harga barang yang diperlukan
dan dijual dipasar.
2. Inflasi akan mengurangi kekayaan yang berbentuk uang. Seperti tabungan
masyarakat di bank nilai riilnya akan menurun. Universitas Sumatera Utara
3. Inflasi akan memperburuk pembagian kekayaan, karena bagi masyarakat yang
berpenghasilan tetap dan mempunyai kekayaan dalam bentuk uang bisa bisa
jatuh miskin. Tetapi bagi masyarakat yang menyimpan kekayaan dalam
bentuk tanah dan rumah akan terjadi peningkatan kekayaan, baik secara riil
mapun secara nominal. Demikian pula bagi perdagangan, pendapatan riil
mereka akan dapat bertahan dan mungkin meningkat pada saat terjadi inflasi.
Meskipun inflasi banyak dampak buruknya, tetapi setiap kebijakan anti
inflasi bukan berarti bertujuan untuk menghilangkan inflasi sampai nol persen.
Apabila laju inflasi nol persen ini juga tidak memacu terjadinya pertumbuhan
ekonomi, tetapi akan menimbulkan stagnasi dalam perekonomian. Kebijakan
akan sangat berarti bagi kegiatan ekonomi, apabila bisa menjaga laju inflasi
berada di tingkat yang sangat rendah.
Boediono (2001), Idealnya laju inflasi agar bisa meningkatkan kegiatan
ekonomi adalah sekitar di bawah 5%. Inflasi yang dapat memacu pertumbuhan
ekonomi adalah inflasi yang laju inflasinya relatif tetap dan bila ada perubahan
akan dapat diprediksi. Inflasi seperti ini disebut inflasi inersial (inertial inflastion).
Laju inflasi yang dapat diperkirakan seperti inflasi inersial dapat digunakan untuk
mengadakan kontrak jangka panjang dalam kegiatan perekonomian. Misalnya
54
dalam transaksi yang memerlukan tenggang waktu yang cukup lama (pembelian
barang-barang secara kredit untuk jangka panjang).
Laju inflasi inersial tidak akan bisa bertahan secara terus menerus, tetapi
mempunyai kecenderungan bertahan dalam jangka waktu lama, sampai tiba
waktunya untuk berubah secara drastis. Hal ini dikarenakan munculnya inflasi
dipengaruhi oleh banyak faktor, ada faktor ekonomi dan ada faktor di luar
ekonomi.
Mallik & Chowdhury, (2001) melakukan analisis kointegrasi inflasi
terhadap partumbuhan ekonomi pada empat negara di kawasan Asia Selatan
(Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Lanka) dan melaporkan dua poin penting.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, inflasi dan pertumbuhan ekonomi
yang positif dan saling terkait. Kedua, sensitivitas inflasi terhadap perubahan
tingkat pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi terhadap
perubahan tingkat inflasi. Inflasi yang moderat membantu pertumbuhan ekonomi,
tetapi pertumbuhan ekonomi yang cepat justru berdampak pula terhadap
kenaikan inflasi. Dengan demikian, keadaan inflasi di keempat negara itu
seakan-akan seperti pisau bermata dua.
2.3.5 Hubungan Tingkat Kesehatan dan Pertumbuhan Ekonomi
Kesehatan merupakan salah satu modal manusia (human capital) yang
sangat diperlukan dalam menunjang pembangunan ekonomi. Hal ini dikarenakan
kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas. Prijono
Tjiptoherijanto (1993) mengatakan bahwa kesehatan dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi melalui beberapa cara, seperti perbaikan kesehatan
seseorang akan menyebabkan pertambahan dalam partisipasi tenaga kerja,
55
perbaikan kesehatan dapat pula membawa perbaikan dalam tingkat pendidikan
yang kemudian menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi, ataupun
perbaikan kesehatan menyebabkan bertambahnya penduduk yang akan
membawa tingkat partisipasi angkatan kerja. Secara teoritis, WHO (2002)
menyebutkan bahwa hubungan antara kesehatan dan pembangunan ekonomi
adalah sebagai berikut :
Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga, kesehatan
adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk belajar di sekolah.
Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih enerjik dan kuat,
lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama
terjadi di negara-negara sedang berkembang, dimana proporsi terbesar dari
angkatan kerja masih bekerja secara manual.
Sebagai contoh, sebanyak 20% dari tenaga kerja (tenaker) laki – laki di
Indonesia yang menderita anemia dinilai kurang produktif jika dibandingkan
dengan tenaker laki – laki yang tidak menderita anemia. Selanjutnya, anak yang
sehat mempunyai kemampuan belajar lebih baik dan akan tumbuh menjadi
dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga yang sehat, pendidikan anak
cenderung untuk tidak terputus jika dibandingkan dengan keluarga yang tidak
sehat.
Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik
merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka
panjang. Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan berhasilnya tinggal
landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat didukung oleh
terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan penyakit
56
dan peningkatan gizi. Hal ini antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri,
Jepang dan Amerika Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa
Selatan dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950- an dan tahun 1960-an.
Bukti-bukti makroekonomi menjelaskan bahwa negara-negara dengan
kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, menghadapi tantangan yang
lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jika dibandingkan
dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan pendidikannya.
Kesehatan yang buruk akan memberikan pengaruh buruk terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal ini antara lain terjadi di sub-Sahara Afrika dan Asia
Selatan. Beban berat yang diakibatkan oleh penyakit dan pengaruh gandanya
terhadap produktivitas, kependudukan, dan pendidikan mempunyai peranan
dalam kinerja ekonomi yang buruk dan kronis di negara-negara Afrika. Studi
terbaru yang dilakukan oleh Bloom & Canning (2003) menemukan bahwa lebih
dari setengahnya keterbelakangan pertumbuhan di negara-negara Afrika jika
dibandingkan dengan negaranegara di Asia Timur, secara statistik dapat
diterangkan oleh beban berat akibat penyakit, kependudukan, dan geografis jika
dibandingkan dengan variabel-variabel tradisional dari ekonomi makro dan politik
pemerintahan. Sebagai contoh, pengaruh penyakit malaria terhadap penurunan
pertumbuhan di tiap negara berbeda, dengan kisaran 0,25% pertahun. Khusus di
negara sub sahara Afrika, penurunan GDP akibat penyakit ini sebesar 0,55%.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Gallup,Sachs dan Mellinger
(1998) dalam penelitian World Bank tentang Malaria and Growth yang
menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara prevalensi malaria di suatu
wilayah dengan pendapatan perkapita di wilayah tersebut, dengan besaran
penurunan pertumbuhan lebih dari 1% pertahun. Dalam rumusan matematika
57
yang dipakai oleh Gallup dan Sach untuk meneliti negara di Afrika pada tahun
1980-1995, didapatkan bahwa dalam jangka panjang penurunan pendapatan
perkapita dinegara yang terkena malaria lebih dari setengahnya jika
dibandingkan dengan negara yang tidak terkena malaria.
Gallup Sachs.et al. (2001) dalam The Economic Burden of Malaria
menemukan adanya perbedaan GDP sebesar lima kali lipat antara negara yang
terkena malaria (US$ 1,526) dengan yang tidak terkena malaria (US$ 8,268)
pada tahun 1995. Sementara pada tahun 1965-1990 terlihat adanya perbedaan
pertumbuhan pendapatan perkapita antara negara dengan malaria dan tanpa
malaria sebesar 0,4% pertahun dan 2,3% pertahun. Selain sebagai penyebab
utama kematian di Afrika, HIV/AIDS juga diduga dapat menurunkan angka
harapan hidup (AHH). Pada negara yang memiliki prevalensi HIV/AIDS tinggi,
angka harapan hidup diproyeksikan berkurang 30 tahun. Selain dari dua hal di
atas, HIV/AIDS juga dinyatakan berhubungan dengan penurunan income
perkapita pada tahun 1990-1997 sebesar 0,7% pertahun. Hal ini dikarenakan
stock of capital lebih rendah dibanding pendapatan perkapita dikarenakan
tabungan RT sebagian besar dipakai untuk membiayai pengobatan dibandingkan
untuk konsumsi dengan asumsi pemerintah tidak meningkatkan pengeluaran
ekternalnya. Dalam alur itu, maka berkurangnya tabungan RT (domestic saving)
maka akan mengurangi investasi yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap pendapatan perkapita.
Mushkin (1962 dalam Tjiptoherijanto 1993) memperkirakan bahwa
penurunan tingkat kematian pada tahun 1900 di Amerika Serikat telah membawa
peningkatan Gross National Product (GNP) sebesar 60 miliar dollar AS pada
tahun 1960, yang disebabkan oleh pertambahan pekerja sebanyak 13 juta jiwa.
58
Sedangkan menurut perhitungannya, penurunan tingkat kematian sejak 1920
yang menyebabkan pertambahan tenaga kerja telah menyebabkan GNP AS
bertambah 28 milliar dollar AS pada tahun 1960.
Cesario, Simon dan Kinne (1980 dalam Tjiptoherijanto 1993) menjelaskan
hubungan antara program gizi dan pertumbuhan ekonomi. Beliau menyatakan
bahwa :
Perbaikan di dalam status gizi akan menurunkan tingkat kematian dan
kesakitan, khususnya bagi penduduk usia kerja, sehingga dapat
meningkatkan partisipasi bagi yang belum kerja dan meningkatkan hari kerja
bagi yang sedang melakukan kegiatan kerja.
Perbaikan dalam status gizi dan kesehatan tenaga kerja akan meningkatkan
efisiensi kerja melalui peningkatan kemampuan individualnya. Pengaruh dari
program kesehatan serta gizi terhadap penduduk usia muda akan terlihat
pada peningkatan GNP melalui pertumbuhan ekonomi, yakni dengan
bertambahnya tingkat partisipasi angkatan kerja dan secara tidak langsung
melalui tingkat partisipasi dalam dunia pendidikan.
2.3.6 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting yang menjadi tolak
ukur dari peningkataan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, melalui
pendidikan pula upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat
diusahakan. (Saraswati, 2009)
Pendidikan dan pelatihan akan meningkatkan pengetahuan, kecakapan,
dan ketrampilan (sebagai modal intelektual) yang sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing. Dengan modal
59
intelektual dalam bentuk ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan kecakapan maka
pola pikir seseorang akan terbuka, dan melahirkan ide, gagasan, inspirasi dan
khayalan-khayalan yang cemerlang sehingga menghasilkan kekayaan
ntelektual, seperti paten, merek, desain, dan nilai-nilai tambah baru. Modal
intelektual juga dapat mendorong proses “Kaizen”, yaitu suatu proses perbaikan
yang terus menerus mampu meningkatkan nilai tambah dan kualitas (Suryana,
2013).
Kemajuan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari produktivitas
kerja penduduknya. Adapun produktivitas itu sendiri harus didukung oleh tingkat
investasi dan sumber daya manusia yang memadai (Subandi, 2012). The
Differential Rates of Return Hypothesis yang didukung oleh Jorgensen (1963),
Agarwal (1980), More (1993), Sosvila-Rivero (1994), Wang & Swain (1995),
Lipsey (2000) mengatakan human capital memainkan peranan penting di dalam
masuknya penanaman modal asing ke suatu wilayah. Dengan adanya The
Differential Rates of Return Hypothesis maka human capital berpengaruh positif
dan signifikan terhadap masuknya penanaman modal asing. Apabila investor
melihat suatu negara memiliki human capital yang baik maka investor akan
berinvestasi ke negara tersebut.
Nurkse mengatakan produktivitas yang rendah akan menghasilkan
pendapatan yang rendah (Jhingan, 2010). Pendidikan dan ketrampilan
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
Seorang warga negara terdidik menghasilkan pendapatan tinggi dan
produktivitas tinggi (Nafziger,2006). Investasi pada human capital harus
dilakukan dengan baik agar berdampak positif bagi pendapatan mereka (Todaro
& Smith, 2012).
60
2.3.7 Hubungan Keterbukaan Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi
Perdagangan antarnegara atau lebih dikenal dengan perdagangan
internasional sudah ada sejak zaman dahulu, namun dalam lingkup dan ruang
yang masih terbatas. Perdagangan internasional berlangsung atas dasar saling
percaya dan saling menguntungkan, mulai dari barter hingga transaksi jual-beli
antara pedagang dari berbagai penjuru dunia. Menurut Halwani (2005) sebab-
sebab yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan potensi
sumber daya alam (natural resources), sumber daya modal (capital resources),
sumber daya manusia (human capital) dan kemajuan teknologi antarnegara.
Sejumlah keunggulan khusus yang dimiliki oleh masing-masing negara akan
dijadikan basis dalam meningkatkan perdagangan yang saling menguntungkan.
Grossman & Helpman (1991) merupakan orang pertama yang
mengembangkan model pertumbuhan endogen dalam perekonomian terbuka.
Menurut keduanya, keterbukaan suatu negara dalam perdagangan sebaiknya
memusatkan diri pada perubahan teknologi, yang karenanya akan menyebabkan
suatu pertumbuhan serta mengarahkan kepada perbaikan standar hidup dan
kualitas kehidupan bagi penduduknya. Mereka telah membuktikan bahwa
terbukanya perdagangan sebagai akibat adanya integrasi ekonomi akan diikuti
oleh terjadinya transmisi pengetahuan sehingga akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Frankel & Romer (1997) selanjutnya memeriksa keterkaitan antara
perdagangan dan pertumbuhan ekonomi menggunakan variabel instrumental
berupa komponen geografis suatu negara, untuk mengukur pengaruhnya pada
pendapatan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa perdagangan memiliki
pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yang mana distimulasi oleh
61
investasi fisik dan investasi pada modal manusia. Hasil ini diperkuat oleh
penelitian Wacziarg & Welch (2008) yang menyatakan bahwa liberalisasi
perdagangan akan menyebabkan kenaikan investasi asing (PMA) dan
pertumbuhan ekonomi, terutama setelah dilakukan kontrol pada variabel-variabel
penentu pertumbuhan lainnya.
Kendati demikian, dari penelitian (Chen and Gupta 2006) serta R. Chang,
Kaltani, & Loayza (2009) diketahui bahwa dampak positif keterbukaan
perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh kondisi dan
perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh setiap negara pada faktor-faktor lain
sebagai pendukungnya. Chen dan Gupta (2006) menyimpulkan bahwa tingkat
pendidikan dapat menguatkan dampak keterbukaan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di negara-negara Afrika bagian
selatan (The Southern African Development Community, SADC), yaitu melalui
penyerapan ilmu pengetahuan dan limpahan teknologi. (Chang, Kaltani, and
Loayza 2009) menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikan-perbaikan
pada infrastruktur publik, sektor finansial, kualitas modal manusia, fleksibilitas
pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonomian dan harga. Perbaikan-
perbaikan tersebut akan menjadikan keterbukaan perdagangan dapat
berlangsung efektif sehingga meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber
daya, memungkinkan diseminasi pengetahuan dan teknologi, serta mendorong
persaingan di pasar domestik dan internasional.
Selain dipengaruhi oleh kondisi dari setiap negara, pola interaksi yang
terjadi antarvariabel dalam suatu perekonomian juga tidak seragam.
Sebagaimana penelitian oleh (Miankhel, Thangavelu, and Kalirajan 2009)
62
tentang keterkaitan PMA, ekspor, dan pertumbuhan ekonomi di enam negara
berkembang yang memiliki tahap pertumbuhan berbeda-beda, yaitu India dan
Pakistan di Asia Selatan, Malaysia dan Thailand di Asia Tenggara, serta Mexico
dan Chile di Amerika Latin. Hasil penelitiannya mendukung hipotesis bahwa
ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi (export led growth), khususnya di
Asia Selatan. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan mendorong
perkembangan variabel-variabel lainnya, yaitu mendorong ekspor di Pakistan
dan mendorong PMA di India. Hubungan yang berbeda terlihat dalam jangka
pendek di Amerika Latin, yaitu PMA memengaruhi pertumbuhan melalui ekspor
di Chile dan PMA memengaruhi pertumbuhan secara langsung di Mexico. Ekspor
memengaruhi pertumbuhan dan PMA di kedua negara tersebut dalam jangka
panjang. Sementara itu, untuk kasus di Asia Tenggara ditemukan hubungan
kausalitas dua arah antara PDB dengan PMA di Thailand, dan sebaliknya
keduanya tidak memiliki hubungan sebab-akibat di Malaysia.
2.3.8 Hubungan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan kemampuan bangsa
untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa (Miles, 2001). Menurut teori
pertumbuhan Solow, pertumbuhan ekonomi selain disebabkan oleh akumulasi
modal dan pertambahan tenaga kerja, juga perkembangan teknologi yang
mampu meningkatkan produktivitas input. Perkembangan teknologi dalam model
solow dianggap sebagai faktor eksogen. Selama teknologi masih terus
berkembang, maka produktifitas akan terus naik dan perekonomian akan terus
tumbuh. Implikasi dari model neo klasik ini ialah semua negara mempunyai
akses kepada teknologi sama, yang akhirnya akan terjadi konvergensi yaitu
perbedaan antara negara semakin mengecil.
63
Kemajuan teknologi yang secara luas diterjemahkan sebagai cara baru
untuk menyelesaikan pekerjaan atau dalam bentuk yang paling sederhana,
kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau
penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional (Todaro,
2006).
Menurut Todaro (2006) produk-produk teknologi seperti komputer dan
internet, merupakan kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor-saving
technological progress), karena dihasilkan dengan menghemat salah satu dari
modal atau tenaga kerja (misalnya, tingkat output yang lebih tinggi dapat dicapai
dengan kuantitas input modal atau tenaga kerja yang sama). Selain itu terdapat
juga kemajuan teknologi yang meningkatkan tenaga kerja (labor-augmenting
technological progressif), terjadi apabila kualitas atau keterampilan tenaga kerja
ditingkatkan, misalnya dengan penggunaan media – media telekomunikasi.
Sebagian besar analisis tentang pertumbuhan ekonomi, dampak
kemajuan teknologi yang dalam hal ini teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan dalam tiga pengaruh. Pertama,
sebagai barang modal, TIK memberikan kontribusi pada modal secara
keseluruhan dan dapat membantu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan
modal. Pertumbuhan dapat terjadi melalui peningkatan penggunaan lahan,
modal dan tenaga kerja dan sumber daya perusahaan, dengan menggunakan
teknologi yang lebih baik atau teknik manajemen dan peningkatan produktivitas
sumber daya yang ada melalui meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan
modal (Miles, 2001). Produktivitas adalah salah satu unsur yang sangat berperan
dalam penentuan daya saing bangsa.
64
Dalam hal ini, TIK memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan suatu negara yang sebagian
dibantu oleh penggunaan teknologi yang lebih baik. Kedua, kemajuan teknologi
yang cepat dalam produksi barang dan jasa yang dkarenakan TIK dapat
mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat di sektor produksi. Penggunaan
TIK memungkinkan produksi barang dalam waktu singkat dengan bantuan sistem
komputerisasi. Kegiatan produksi yang dilakukan oleh tiap organisasi sebagian
besar adalah pekerjaan repetitif yang sudah baku. Dengan memasukkan
komponen TIK ke dalam sebagian peralatan produksi, transportasi, perbankan,
asuransi memungkinkan untuk melakukan pencatatan dan pengendalian secara
real time, mempercepat pelaksanaan transaksi, pembuatan dan penyesuaian
rencana serta perbandingannya dengan realisasi. Dengan demikian
permasalahan akan cepat dideteksi, diidentifikasi, dan diselesaikan. Sehingga
produksi barang dan jasa akan dapat lebih cepat dilakukan. Ketiga, penggunaan
TIK yang lebih besar dapat membantu meningkatkan efisiensi perusahaan
secara keseluruhan. Penggunaan TIK yang lebih besar dapat menyebabkan efek
jaringan, seperti biaya transaksi yang lebih rendah dan inovasi lebih cepat, yang
akan meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan.
OECD (2003) menyatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi juga
berhubungan erat dengan jarak, jika konsumen menghabiskan biaya yang lebih
sedikit pada transportasi, mereka akan menghemat uang, sehingga dapat
menambah penghasilan mereka. Meningkatnya penggunaan TIK dengan
menggunakan mobilitas virtual yang membuat jarak kurang penting. Sehingga
TIK menjadi semakin penting bagi pertumbuhan ekonomi, karena memberikan
cara untuk melakukan banyak kegiatan yang selama ini membutuhkan
65
transportasi fisik dengan penggunaan email, online banking dan e-commerce
secara signifikan mengurangi transportasi fisik yang terlibat dalam mengirim
surat, perbankan dan barang pembelian, yang sebagai hasilnya menghemat
uang. Pada akhirnya efisiensi dan produktivitas di segala sektor akan meningkat.
Selain diakui kontribusi TIK untuk produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi, TIK juga memiliki peran dalam mendorong peningkatan produktivitas
dan inovasi dalam sektor seperti jasa keuangan, dan dalam beberapa aspek
pertambangan, pertanian. TIK juga mengubah pelayanan pemerintah (termasuk
kesehatan dan pendidikan). Teknologi baru ini juga digunakan untuk aplikasi
dalam penyampaian pelayanan pemerintah, yang dapat meningkatkan efisiensi
penyelenggaraan layanan pemerintah dan mengurangi biaya untuk bisnis dan
warga negara berinteraksi dengan lembaga pemerintah. Sehingga ada potensi
besar untuk lebih mengubah pelayanan pemerintah yang efektif melalui
penggunaan teknologi baru. Proses inilah yang membawa manusia ke dalam
Masyarakat atau Ekonomi Informasi yang juga sering disebut sebagai
masyarakat pasca industri.
2.3.9 Hubungan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Penanaman Modal Asing Langsung atau Foreign Direct Investment (FDI)
adalah suatu arus pemberian pinjaman atau pembelian kepemilikan perusahaan
luar negeri yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh penduduk dari negara
yang melakukan investasi (investing country). FDI merupakan salah satu faktor
utama pendorong perekonomian negara. FDI, selain sifatnya yang permanen
dalam jangka panjang, juga memberi andil dalam alih teknologi, alih keterampilan
manajemen dan membuka lapangan kerja baru. (Krugman et al, 2000)
66
FDI adalah investasi riil dalam bentuk pendirian perusahaan,
pembangunan pabrik, pembelian barang modal, tanah, bahan baku, dan
persediaan oleh investor asing dimana investor tersebut terlibat langsung dalam
manajemen perusahaan dan mengontrol penanaman modal tersebut. FDI ini
biasanya dimulai dengan pendirian subsidiary atau pembelian saham mayoritas
dari suatu perusahaan dimana dalam konteks internasional, bentuk investasi ini
biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan operasi dibidang
manufaktur, industri pengolahan, ekstraksi pengolahan, ekstraksi sumber alam,
industri jasa, dan sebagainya (Hady, 2001)
Hady (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang menyebabkan
terjadinya aliran modal, keterampilan dan teknologi dari negara pembawa modal
dengan negara penerima modal antara lain meliputi:
1. Adanya iklim penanaman modal di negara-negara penerima modal itu sendiri
yang mendukung keamanan berusaha (risk country), yang ditunjukkan oleh
stabilitas politik serta tingkat perkembangan ekonomi dinegara penerima
modal.
2. Prospek perkembangan usaha di negara penerima modal.
3. Tersedianya prasarana dan sarana yang diperlukan.
4. Tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang relatif murah serta potensi pasar
dalam negara penerima modal.
5. Aliran modal pada umumnya cenderung mengalir kepada negara-negara yang
tingkat pendapatan nasionalnya per kapita relatif tinggi.
Negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka pada
umumnya memerlukan investasi asing. Di negara maju investasi asing tetap
diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari
67
kelesuan pasar, dan penciptaan kesempatan kerja. Di negara berkembang yang
sangat memerlukan modal untuk pembangunannya, terutama jika modal dalam
negeri tidak mencukupi, FDI dipandang sebagai cara yang lebih efektif untuk
mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara dimana modal asing dapat
memberikan kontribusi yang lebih baik ke dalam proses pembangunan. Oleh
karena itu, beberapa negara penerima modal berusaha memberikan insentif
untuk mendorong masuknya modal asing dalam bentuk FDI berupa insentif
pajak, jaminan dan asuransi atas investasinya. Kegiatan investasi
memungkinkan suatu masyarakat terus-menerus meningkatkan kegiatan
ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
Hady (2001) menyatakan bahwa FDI memberikan dampak positif dan
negatif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dampak positif FDI terhadap
pertumbuhan ekonomi antara lain sebagai sumber pembiayaan jangka panjang
dan pembentukan modal serta sebagai sarana transfer teknologi dan
pengetahuan di bidang manajemen dan pemasaran. FDI tidak akan
memberatkan neraca pembayaran karena tidak ada kewajiban pembayaran
utang dan bunga, sedangkan transfer keuntungan didasarkan kepada
keberhasilan FDI yang dilakukan oleh perusahaan asing tersebut. FDI
diupayakan untuk meningkatkan pembangunan regional dan sektoral,
meningkatkan persaingan dalam negeri dan kewirausahaan yang sehat, serta
meningkatkan lapangan kerja.
Pengaruh negatif FDI terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain
mendorong munculnya dominasi industrial, meningkatkan ketergantungan
teknologi, memengaruhi perubahan budaya. Dominansi FDI dapat menimbulkan
68
gangguan pada perencanaan ekonomi karena terjadi intervensi oleh home
government dari negara penanam modal. Secara sektoral mungkin aliran modal
internasional ini akan ditentang oleh kelompok pemilik faktor produksi tertentu
karena terjadinya redistribusi pendapatan dari pemilik faktor produksi lainnya
(tenaga kerja, tanah/bangunan) ke pemilik modal.
2.3.10 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi
Peranan pemerintah dalam perekonomian merupakan topik yang masih
menjadi perdebatan di kalangan ahli ekonomi. Smith (1776 dalam Kuncoro,
2010) berpandangan bahwa pemerintah tidak perlu turut campur dalam
perekonomian di mana pasar yang akan menciptakan keseimbangan dalam
perekonomian. Peran pemerintah terbatas pada 3 fungsi yaitu pertahanan dan
keamanan, peradilan, dan penyediaan barang-barang publik. Berbeda dengan
J.M. Keynes (1936), seorang ekonom Inggris yang berpandangan bahwa peran
pemerintah sangat penting dalam perekonomian terutama dalam memengaruhi
permintaan agregat. Permintaan agregat sendiri menggambarkan hubungan
antara jumlah output yang diminta dan tingkat harga agregat. Pandangan Keynes
tersebut dilatar belakangi terjadinya depresi besar (great depression) pada tahun
1930-an berupa kemerosotan pendapatan nasional dan tingginya tingkat
pengangguran. Penyebab terhadap dua penyakit besar dalam ekonomi tersebut
adalah permintaan agregat yang rendah. Pentingnya peranan pemerintah dalam
perekonomian dalam Teori Keynes dapat dijelaskan melalui model perpotongan
Keynes (Keynesian Cross) dan model IS-LM. Model IS-LM dapat menunjukkan
apa yang menentukan pendapatan nasional pada berbagai tingkat harga,
(Mankiw, 2009).
69
Dari sisi teori ekonomi publik, pengeluaran pemerintah diperlukan untuk
membiayai pelaksanaan tugas dan fungsi negara. Pemerintah memiliki 3 fungsi
dalam perekonomian yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Ketiga fungsi anggaran negara tersebut diadopsi pula dalam sistem anggaran di
Indonesia. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara,
APBN yang merupakan wujud pengelolaan keuangan negara di Indonesia
memiliki beberapa fungsi, antara lain: (1) fungsi alokasi yang mengandung arti
bahwa anggaran negara diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian; (2) fungsi distribusi yang mengandung arti bahwa kebijakan
anggaran negara memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; dan (3) fungsi
stabilisasi yang mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
2.2. Penelitian Terdahulu
Peter Vackhal (2015), dengan judul The development of Hungarian
competitiveness on the basis of the World Economic Forum’s Global
Competitiveness Index: cause-and-effect relationships, Ia meneliti pengaruh
institusi, makroekonomi, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar uang, efisiensi
pasar tenaga kerja dan inovasi terhadap pendapatan per kapita melalui variabel
antara indeks daya saing dengan metode path analysis. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
GDP adalah inovasi, dan variabel efisiensi pasar uang dan pasar tenaga kerja
memiliki pengaruh yang positif terhadap GCI namun berpengaruh negatif
terhadap GDP per kapita. Sedangkan untuk variabel institusi tidak memiliki
70
pengaruh langsung terhadap GDP per kapita namun memliki pengaruh secara
tidak langsung terhadap GDP per kapita.
Selanjutnya penelitian dari Ben Amar Dan Tlili Hamdi (2012) dengan judul
Global Competitiveness and Economic Growth: Empirical Verification for African
Countries. Mereka meneliti pengaruh dari indeks daya saing, investasi,
pendidikan, pengeluaran pemerintah dan inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi
dengan menggunakan data panel dari 23 negara di afrika dengan periode waktu
(2004-2009), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semua variabel bebas
mampu menjelaskan variabel terikat dengan r square sebesar 0,997. Dan untuk
variabel indeks daya saing, investasi dan pendidikan memiliki pengaruh yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan pengeluaran pemerintah dan
inflasi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penelitian dari Mihaela Herciu dan Claudia Ogrean, (2015) dengan judul
Wealth, Competitiveness, and Intellectual Capital – Sources for Economic
Development. Mereka melakukan penelitian untuk 40 negara (maju, berkembang
dan miskin) dengan tujuan melihat korelasi antara indeks daya saing, indeks
modal intelektual (national intlectual capital index) dan GDP per kapita. Hasil
penelitian mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara indeks
daya saing dan GDP per kapita, GDP per capita memiliki hubungan yang positif
terhadap indeks modal intelektual dan indeks intelectual memiliki hubungan yang
positif terhadap GDP per kapita. Artinya Indeks daya saing dan Indeks modal
intelectual memiliki peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi suatu
negara.
Selanjutnya penelitian dari Aleksandra Kordalska (2016), tujuan dari
penelitiannya adalah mengetahui hubungan antara GCI dan pertumbuhan
71
ekonomi. Ia menggunakan Granger causality dari 114 negara yang dibagi
menjadi lima kelompok, yaitu kelompok lower income, lower midle income, upper
midle income, high income non OECD dan high income OECD selama kurun
waktu 2006-2014. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GCI berpengaruh
terhadap GDP, tapi hanya untuk beberapa negara. Yaitu negara dengan
kelompok low income. Hal ini karena pentingnya good political stability yang
mampu mendorong akumulasi modal dan merangsang pertumbuhan ekonomi di
negara-negara tersebut. Sedangkan untuk maju, GCI berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi hanya untuk negara China, India, US dan Rusia,
sedangkan negara lainnya tidak memiliki hubungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yali Zhang dan Sibin Wu (2012), dengan
judul Is global competitive index a good standard to measure economic growth?
A suggestion for improvement. Penelitiannya menggunakan data panel dari 40
negara selama kurun waktu 2007-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
GCI memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi namun tidak
begitu besar di bandingkan dengan variabel total entrepreneurial activitites and
national culture. Dilihat dari koefisiennya, national culture (karakteristik bangsa)
mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi sebesar 34%, entrepreneurial
activities 27 % dan indeks daya saing 23 %. Hal ini menggambarkan bahwa
indeks daya saing bukanlah satu ukuran untuk dapat menjelaskan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang, namun ada faktor-faktor lain yang memiliki
pengaruh yang lebih dominan.
Delgado, Ketels, Porter, & Stern (2012) melakukan penelitian dengan
judul penelitian The Determinants Of National Competitiveness. Dengan
mengunakan data dari 130 negara selama periode 2001-2008, Porter, et al
72
melakukan pengujian beberapa model. Empat model yang diuji adalah pertama,
pengaruh MICRO, SIPI, dan MFP terhadap produktivitas tenaga kerja yang
diukur dengan tenaga kerja per jam. Regresi tersebut menunjukkan bahwa
faktor SIPI signifikan. Pada model kedua, produktivitas diukur proporsi neraca
perdagangan terhadap GDP. Pada regresi kedua ini, faktor MFP signifikan.
Dibandingkan dengan model regresi ketiga di mana produktivitas didekati
dengan ekspor manufacturing per kapita, faktor MICRO Dan MFP signifikan,
sedangkan faktor SIPI tidak signifikan. Untuk produktivitas yang diukur dengan
proporsi ekspor teknologi tinggi terhadap ekspor manufacturing, faktor
MICRO signifikan. Oleh karena itu, pengaruh ke tiga faktor tersebut dalam
mempengaruhi produktivitas tergantung pada definisi produktivitas yang
dipergunakan. Namun secara keseluruhan, seluruh variabel independen
berpengaruh secara signifikan terhadap GDP per kapita.
Sri Nawatmi (2013) melakukan penelitian dengan judul (Corruption and
Economics Growth In 33 Province - An Empirical Study In Indonesia). Metode
analisis menggunakan data pooling. Jumlah dari data cross-section adalah 33
provinsi dan data time-series adalah tiga tahun. Tujuan penelitian ini untuk
mengkaji pengaruh variabel indeks korupsi, investasi, human capital, dan
penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel investasi dan human capital berpengaruh positif dan signifikan bagi
pertumbuhan ekonomi di 33 Provinsi di Indonesia namun korupsi dan penduduk
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Shera et al. (2014) Melakukan penelitian dengan judul Corruption impact
on Economic Growth: An empirical analysis. Tujuan penelitian untuk
mneganalisis pengaruh modal tetap, FDI, pertumbuhan penduduk, tingkat
73
korupsi, pengeluaran pemerintah, human capital, keterbukaan perdagangan dan
inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data panel
dari 22 negara berkembang (Albania, Macedonia, Serbia, Montenegro, Bosnia
Hercegnovina, Moldavia, Mongolia, Polonia, Rumania, Hungary, Ucraine,
Bullgaria, Polonia, Sllovenia, Sllovakia, Armenia, Bjellorussia, Kazakistan,
Kosovo, Estonia, Lituania, Russia) selama kurun waktu 2001-2012. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa variabel korupsi, penduduk, inflasi dan
pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi
dan untuk variabel FDI, modal tetap, human capital dan keterbukaan
perdagangan berpengaruh positif di negara tersebut.
Pegkas (2014) melakukan penelitian dengan judul The Link between
Educational Levels and Economic Growth: A Neoclassical Approach for the Case
of Greece. Penelitian ini menggunakan data time series periode 1960 – 2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan tingkat dasar tidak memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan pendidikan tingkat tinggi
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan trehadap pertumbuhan ekonomi di
Greece.
Kodongo & Ojah (2016) melakukan penelitian dengan judul Does
Infrastructure Really Explain Economic Growth in Sub-Saharan Africa?.
Penelitian ini menggunakan data panel yang terdiri dari 45 negara Sub-Saharan
African dalam kurun waktu 2000-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Infrastruktur berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di negara Sub-Saharan Afrika.
Ertimi, Dowa, Albisht, & Oqab (2016) melakukan penelitian dengan judul
The Impact of Corruption on Economic Growth in OIC Countries. Penelitian ini
74
menggunakan data panel dari 14 negara Islam yang tergabung dalam OIC
selama kurun waktu 2003-2010. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis
pengaruh korupsi, foreign direct investment (FDI), Inflasi, keterbukaan
perdagangan, pembentukan modal tetap, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan
penduduk dan human capital terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa FDI, keterbukaan perdagangan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pertumbuhan penduduk
dan tingkat korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dan inflasi, pengeluaran pemerintah dan human capital berpengaruh
positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.