Upload
ngocong
View
231
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perumusan Kebijakan
Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah
pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari
pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting
bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai. Kemampuan
dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus
diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap
kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana
diungkapkan oleh Gerston (2002, 14) bahwa kebijakan publik dibuat dan
dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para
pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan
kewenangannya.1
Selain itu menurut Gerston, hal yang penting lainnya adalah bagaimana
memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan
kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002, 14). Dengan pemahaman
yang seperti ini, akan dapat memastikan pembuatan kebijakan publik yang
mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga pada
akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggung – jawabkan secara
memadai.
1Larry N. Gerston, Public Policy Making in a Democratic Society: A Guide to Civic Engagement,Armonk: M. E. Sharpe2002 hal 14
Kebijakan itu sendiri menurut Anderson (2003;2), a policy is defined as a
relatively stable, purposive course of action followed by an actor or set actors in
dealing with a problem or matter of concern. Kebijakan publik menurut Anderson
dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah dalam menyelesaikan masalah
yang ada serta memiliki dampak secara substansial terhadap masyarakat.
1) Kategori Kebijakan
Menyangkut kebijakan publik, Anderson (2003; 5-12) membagi kedalam
empat kategori dari kebijakan publik, yakni: kebijakan substantif dan prosedural;
kebijakan distributif, pengaturan, pengaturan sendiri, dan redistribusi; kebijakan
material dan simbolik; serta kebijakan yang melibatkan barang kolektif atau
barang privat.
- Kategori kebijakan yang pertama adalah Kebijakan substantif dan prosedural.
Kebijakan substantif adalah kebijakan mengenai apa yang ingin dilakukan
oleh pemerintah. Kebijakan substantif mengalokasikan secara langsung
kepada masyarakat keuntungan dan kerugian maupun biaya dan manfaatnya.
Sebaliknya kebijakan prosedural merupakan kebijakan yang berkaitan dengan
bagaimana sesuatu itu akan dilakukan atau siapa yang akan diberi
kewenangan untuk mengambil tindakan.
- Kategori kebijakan yang kedua adalah kategori yang didasarkan atas dampak
dari kebijakan terhadap masyarakat serta hubungan diantara mereka yang
terlibat dalam pembentukan kebijakan. Dalam kategori ini terdapat empat
jenis kebijakan yaitu distributif, pengaturan, pengaturan sendiri dan
redistribusi. Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam mengalokasikan
pelayanan atau manfaat terhadap segmen tertentu dari masyarakat-individu,
kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya
melibatkan penggunaan dana publik untuk membantu kelompok, masyarakat
atau perusahaan tertentu. Kebijakan pengaturan adalah kebijakan yang
memberlakukan larangan terhadap perilaku individu atau kelompok.
Kebijakan pengaturan sendiri adalah kebijakan yang membatasi atau
mengawasi terhadap suatu kelompok yang dilakukan dengan memberikan
kewenangan kepada kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri dalam
rangka melindungi atau mempromosikan keperitingan dari anggota
kelompoknya. Kebijakan ini biasanya terkait dengan kelompok profesi
tertentu. Sementara itu, kebijakan redistribusi adalah kebijakan oleh
pemerintah untuk menggeser alokasi kesejahteraan, pendapatan, kepemilikan
ataupun hak diantara berbagai kelompok masyarakat.
- Kategori kebijakan yang ketiga adalah kebijakan yang terdiri dari kebijakan
material dan kebijakan simbolik. Kebijakan material adalah kebijakan yang
menyediakan sumberdaya nyata (tangible) atau kekuasaan substantif kepada
penerima manfaatnya atau dengan memaksakan kerugian nyata pada mereka
yang terkena dampak. Adapun kebijakan simbolik adalah kebijakan yang
tidak memiliki dampak material nyata kepada masyarakat. Kebijakan
simbolik biasanya menyangkut nilai-nilai yang disukai oleh masyarakat.
Contoh kebijakan material adalah kebijakan yang mengatur mengenai upah
minimum, sementara kebijakan simbolik adalah kebijakan yang mengatur
perilaku masyarakat terhadap penghormatan akan nilai-nilai tertentu seperti
terhadap lambang-lambang kenegaraan.
- Kategori kebijakan yang terakhir menurut Anderson adalah kebijakan yang
melibatkan penyediaan baik barang-barang kolektif maupun barang-barang
privat. Barang-barang kolektif adalah barang-barang yang harus disediakan
kepada semua orang, sementara barang privat adalah barang-barang yang
dikonsumsi oleh individu tertentu saja.
2) Teori Perumusan Kebijakan
Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap
masyarakat, maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat
digunakan dalam proses pembuatan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan
untuk mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu. Menurut
Anderson (2006, 121-125), terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam
proses pembuatan sebuah kebijakan yakni: teori rasional-komprehensif; teori
inkremental; serta teori mixed scanning.
- The Rational-comprehensive theory (Teori rasional-komprehensif) yaitu teori
yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan publik
dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan
dan alternatif kebijakan secara memadai. Adapun menurut Anderson (2003;
121) elemen - elemen dari teori tersebut yaitu :
The rational - comprehensive theory ussualy includes these elements :1. The decision-maker is confronted with a problem that can be separates
from other problems or at least considered meaningfully in comparisonwith them.
2. The goals, values, or Objectives that guide the decision-maker are knownand can be clarified and ranked according to their importance.
3. The various alternatives for dealing with are examined.4. The consequences (cost and benefits, advantages and disadvantages) that
would follow from selecting each alternative are investigated.5. Each alternatives, and its attendant consequences, is then compared with
the other alternatives.6. The Decision-maker will choose the alternative, and its consequences, that
maximizes attainment of his or her goals, values or objectives.
Dalam model ini membuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu
kemudian masalah tersebut dipisahkan dengan masalah - masalah yang lain
karena masalah tersebut lebih bermakna dibanding masalah yang lain. Kemudian
tujuan - tujuan, nilai - nilai atau sasaran - sasaran yang mengarahkan pembuat
keputusan dijelaskan dan disusun menurut kepentingannya. Langkah selanjutnya
dilakukan pengujian atau penyelidikan terhadap alternatif - alternatif yang akan
dijadikan kebijakan tersebut termasuk juga konsekuensi - konsekuensi baik itu
biaya atau manfaat yang mungkin akan timbul dari setiap pilihan alternatif
tersebut diteliti. Setiap alternatif dan konsekuensi yang mungkin akan muncul
dapat dibandingkan dengan alternatif - alternatif lain, pembuat keputusan
memiliki alternatif serta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan,
nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Namun beberapa ahli dibidang kebijakan Publik mengajukan beberapa
keberatan dan kritik tehadap model ini, sebagaimana dinyatakan Winarno merujuk
beberapa pendapat ahli diantaranya Charles E Lindblom, David Braybrook, dan
Ira Sharkansky (2012, 107), yang menyatakan : "masalah - masalah dan persoalan
- persoalan yang dikemukakan oleh para pengkritik model rasional komprehensif
ini boleh dikatakan beragam sehingga masing - masing kritik perlu dikaji secara
terpisah dan memiliki sejumlah keterbatasan pada pembuat keputusan yang
mencoba memberikan "satu alternatif terbaik" keputusan rasional. Kritik - kritik
ini didasarkan pada ketidakmampuan decision makers untuk benar - benar
mengambil keputusan sesuai dengan konsep model rasional.
- The Incremental Theory (Teori Inkremental) adalah teori yang intinya tidak
melakukan perbandingan terhadap permasalahan dan alternatif serta lebih
memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat
kebijakan. Menurut Anderson (2003; 123) merujuk pada Charles Lindblom
(1979) teori inkremental meliputi beberapa hal yaitu :
Incrementalism (Lindblom refers ti it as "disjointed incrementalism") can besummarized in the following manner :1. The selection of goals or objectives and the empirical analysis of the
action neede to attain them are closely interwined with, rather thandistinct from, one another.
2. The decision:maker consider only some of the alternatives for dealing witha problem, which will differ only incrementally (i.e., marginally) fromexisting policies.
3. For each alternative, only a limited number of "important" consequencesare evaluated.
4. The problem confronting the decision- maker is continually redefined.Incrementalism allows for countless ends-means and means-enssadjusments that helpmake the problem more manageable.
5. There is no single decision or "right" solution for a problem. The test of agood decision is that various analysts find themselves directly agreeing onit, without agreeing that the decision is the most appropriate or optimummeans to anagreed objective.
6. Incremental decision-making is essentially remedial and is geared more toameliorating present, concrete social imperfections than to promotingfuture social goals.
Teori ini merupakan teori yang lahir dikarenakan beragamnya kritikan
terhadap teori model rasional komprehensif. Teori inkremental (penambahan)
dilakukan melalui beberapa hal yang harus menjadi perhatian yaitu pemilihan -
pemilihan tujuan atau sasaran - sasaran dan analisis - analisis empirik terhadap
tindakan yang dibutuhkan, keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan
berada satu sama lain. Kemudian, pembuat keputusan hanya mempertimbangkan
beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif -
alternatif ini hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang ada.
Selanjutnya untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi
beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja. Kemudian, masalah yang
dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi secara berkesinambungan,
inkrementalisme memungkinkan penyesuaian - penyesuaian sarana - tujuan dan
tujuan - sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinan masalah dapat
dikendalikan. Selain itu, tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian yang
dianggap tepat, pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa
persetujuan terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan
persoalan tidak di ikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan
sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati. Terakhir
yang perlu diperhatikan dalam model inkrementalis ini bahwa pembuatan
keputusan incremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih
banyak kepada perbaikan terhadap ketidak-sempurnaan sosial yang nyata
sekarang ini dari pada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Teori inkremental merupakan model teori yang mencoba menyesuaikan
dengan realitas kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan
demokrasi maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia.
- Teori mixed scanning adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori
rasional-komprehensif dengan teori inkremental. Anderson (2003; 125)
menyatakan :
Mixed scanning enables decision-makers to utilize both the rational-comprehensive and incremental theoris, but in different situations. In someinstance, incrementalism will be adequate ; in others, a more thoroughapproach along rational-comprehensive lines will be needed. Mixed scanningalso takes into account differing capacities of decision - makers.
Hal tersebut Anderson kemukakan merujuk pada pendapat Amitai Etzioni
(1967) dalam Anderson (2003; 124) yang menyatakan
"Amitai, Etzioni beleives that both the rational-comprehensive theory andincremental theory have shortcomings . for instances, he says that decisionsmake by incrementalists will reflect the interest of the most powerful andorganized interest in society. White neglecling the interest of theunderprivileged and politically and unorganized. Great fundamentaldecisions, a declaration of war for example, do not come within the ambitincermentalism.' Although limited in number, these fundamental decisions arehighly significant and often provide the context for numerous incrementaldecision. etzioni present mixed scanning as an approach to decision - makingthat draws on both fundamental and incremental decision and provides for"high-order, fundamental policy-making processes which set basic directionsand... incremental processes which prepare for fundamental decisions andwork them out after they have been reached"
Amitai Etzioni menggabungkan antara model rasional Komprehensif dengan
model inkremental dengan menamakan "mixed-scanning". Secara mendasar
etzioni berpendapat ada hal - hal yang bisa digunakan dalam model rasional
dalam mengambil suatu keputusan, namun ada juga beberapa hal menjadi
kelemahan dari model teori rasional komprehensif, begitu pula dengan
inkremental ada hal - hal yang terlihat menjadi kelemahan - kelemahan dalam
model pembuatan keputusan inkremental. Menurut Etzioni, dalam pembuatan
keputusan incremental keputusan yang dibuat lebih merefleksikan kepentingan
kelompok - kelompok yang yang paling kuat dan terorganisir dalam masyarakat
sedangkan masyarakat yang lemah dan tidak terorganisir cenderung diabaikan.
Dalam mengambil suatu keputusan, Anderson (2003, 126-134)
mengemukakan ada enam kriteria yang harus dipertimbangkan, yakni (1) nilai
nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun
ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik;
(5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan.
3) Siklus / Proses Kebijakan
Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas
yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli
dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan
publik. Untuk membantu melakukan hal ini, para ahli kemudian mengembangkan
sejumlah kerangka untuk memahami proses kebijakan (policy process) atau
seringkali disebut juga sebagai siklus kebijakan (policy cycles). Sejumlah ahli
yang mengembangkan kerangka pemahaman tersebut diantaranya adalah Thomas
R. Dye (2005) dan James E. Anderson (2003). Menurut Dye (2005, 31),
bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui dengan mempertimbangkan
sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem politik. Terkait hal ini,
dalam pandangan Dye (2005, 31-32), pembuatan kebijakan sebagai sebuah proses
akan meliputi sejumlah proses, aktivitas, dan keterlibatan peserta sebagaimana
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2
Pembuatan Kebijakan sebagai sebuah Proses
Proses Aktivitas Peserta
Identifikasi Masalah Publikasi masalah sosial;mengekspresikan tuntutan akantindakan dari pemerintah
Media massa; kelompokkepentingan; inisiatifmasyarakat; opini publik
Penetapan Agenda Menentukan mengenaimasalah-masalah apa yangakan diputuskan; masalah apayang akan dibahas/ditanganioleh pemerintah
Elit, termasuk presidendan kongres; kandidatuntuk jabatan publiktertentu; media massa
Perumusan Kebijakan Pengembangan proposalkebijakan untuk menyelesaikandan memperbaiki masalah
Pemikir; Presiden dan.lembaga eksekutif;komite kongres;kelompok kepentingan
Legitimasi Kebijakan Memilih proposal;mengembangkan dukunganuntuk proposal terpilih;menetapkannya menjadiperaturan hukum; memutuskankonstitusionalnya
Kelompok kepentingan;presiden; kongres;pengadilan
ImplementasiKebijakan
Mengorganisasikandepartemen dan badan;menyediakan pembiayaan ataujasa pelayanan; menetapkanpajak
Presiden dan stafkepresidenan; departemendan badan
Evaluasi Kebijakan Melaporkan output dariprogram pemerintah;
mengevaluasi dampakkebijakan kepada kelompoksasaran dan bukan sasaran;mengusulkan perubahan danreformasi
Departemen dan badan;komite pengawasankongres; media massa;pemikir
Sumber: Dye, 2005, 32
Terkait dengan pendapat dari Dye mengenai siklus kebijakan sebagaimana
dapat dilihat dalam tabel 1 diatas, Anderson (2003,27-28) memiliki pandangan
yang sedikit berbeda mengenai proses atau siklus kebijakan tersebut, menurut
Anderson, proses kebijakan terdiri atas lima tahapan sebagaimana dapat dilihat
dalam tabel 2 berikut.
Tabel 3
Proses Kebijakan
Terminologikebijakan
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5
AgendaKebijakan
PerumusanKebijakan
Pembuatankebijakan
ImplementasiKebijakan
EvaluasiKebijakan
Definition Sejumlahpermasalahandiantarabanyakpermasalahanlainnya yangmendapatperhatianserius daripejabatpublic
Pengembangan usulan akantindakan yangterkait dandapat diterimauntukmenanganipermasalahanpublic
Pengembangan dukunganterhadapsebuahproposaltertentusehinggasebuahkebijakandapatdilegitimasiatau disahkan
Aplikasikebijakanoleh mesinadminsitrasipemerintah
Upayapemerintahuntukmenentukanapakahkebijakanefektif, sertamengapaefektif atautidak efektif
Commonsense
Membuatpemerintahuntukmempertimbangkantindakanterhadapmasalah
apa yangdiusulkanuntukdilakukanterhadapmasalah
membuatpemerintahuntukmenerimasolusitertentuterhadapmasalah
menerapkankebijakanpemerintahterhadapmasalah
ApakahKebijakanbekerjadengan baik?
Sumber: Anderson, 2003, 28 (diadaptasi dari Anderson, Brady dan Bullock III,1984)
Berdasarkan tabel 1 dan 2 tersebut, dapat dilihat bahwa perbedaan pandangan
dari Dye dan Anderson mengenai proses kebijakan //hanya terletak pada masalah
identifikasi kebijakan saja. Dye membedakan tahapan antara aktivitas identifikasi
masalah dengan penetapan agenda, sementara Anderson menganggap kedua hal
tersebut sebagai tahap agenda kebijakan. Tahapan lainnya cenderung sama antara
pendapat Dye dan Anderson, yang berbeda hanya istilah penyebutannya saja. Baik
Dye dan Anderson juga cenderung sepakat bahwa tahapan perumusan kebijakan
merupakan tahap dimana dikembangkan proposal yang berisikan sejumlah
alternatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dijelaskan oleh Anderson (2003, 27-29) tahapan Proses Kebijakan dimulai
dengan agenda kebijakan dimana dari sejumlah permasalahan, ada permasalahan
yang akan mendapat perhatian secara serius dari pejabat publik dan pemerintah
akan mempertimbangkan tindakan atau langkah apa yang akan dilakukan
terhadap permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi dan menspesifikasi
permasalahan dan menetapkannya sebagai agenda kebijakan pemerintah.
kemudian tahap perumusan kebijakan, dimana dikembangkan usulan tindakan
yang akan dilakukan dan dapat diterima dalam menangani permasalahan, pada
tahap ini akan dihasilkan sejumlah usulan kebijakan yang akan diputuskan untuk
diambil oleh pemerintah dan aktor aktor kebijakan. selanjutnya tahap adopsi
kebijakan, tahap ini dilakukan pengembangan dukungan terhadap usulan tertentu
sehingga menjadi sebuah kebjakan yang dilegitimasi dan disahkan oleh
permerintah. Kemudian tahap implementasi kebijakan dimana kebijakan yang
sudah dibuat dan disahkan tersebut diterapkan oleh mesin adiminstrasi
pemerintah. Tahap terakhir yaitu evaluasi kebijakan dimana pemerintah
menentukan apakah kebijakan tersebut berjalan efektif atau tidak.
Sebagai salah satu tahapan dalam siklus kebijakan, Perumusan kebijakan
dinyatakan Anderson (2003; 27) bahwa :
"Formulation. This encompasses the creation, identification, or borrowingof proposed courses of action, often called alternatives or options, forresolving or ameliorating public problems. Who participates in policyformulation? How are alternatives for dealing with a problem developed?Are there difficulties and biases in formulating policy proposals?
Perumusan kebijakan menurut Anderson (2003; 27) merupakan suatu
aktivitas yang meliputi pembuatan, identifikasi, dan mengambil program untuk
dilakukan tindakan terhadap suatu masalah atau sering disebut juga alternatif atau
pilihan - pilihan. Untuk menyelesaikan atau memperbaiki masalah publik. Siapa
yang terlibat dalam merumuskan kebijakan, bagaimana alternatif - alternatif yang
ada untuk menangani permasalahan yang berkembang, dan apakah ada kesulitan
dan ketidak-jelasan dalam merumuskan usulan kebijakan. Hal ini juga diperkuat
dalam pandangan Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007;79), tahapan
perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini
terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang
biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan
dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan
dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan
sosial, politik dan ekonomi.
Menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), tahap perumusan
kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif
kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan; serta mempersempit
seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir.
Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999), menurut Sidney
(Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), perumusan kebijakan mencoba menjawab
terhadap sejumlah pertanyaan "apa", yakni: apa rencana untuk menyelesaikan
masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk
mencapai tujuan tersebut? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan?
Eksternalitas apa, baik positif maupun negatif yang terkait dengan setiap
alternatif?
Selanjutnya, menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79),
perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi terhadap
berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian
mengidentifikasi dan mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang
dapat mewakili setiap pendekatan. Tahap perumusan juga melibatkan proses
penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif-yang isinya mendeskripsikan
diantaranya mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, dan lain sebagainya-serta
mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku
dan memiliki dampak.
Apa yang dinyatakan oleh Sidney tersebut menguatkan pernyataan Jann dan
Wegrich (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 48). Menurut Jann dan
Wegrich (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 48), didalam tahap perumusan
kebijakan permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat
ditransformasikan kedalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan
dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran-yakni apa yang akan
dicapai melalui kebijakan-serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah
alternatif yang berbeda.
Sementara itu, menurut Anderson (2003, 101-102), menyatakan bahwa
"perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan
yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal atau
pilihan) untuk menangani permasalahan publik." Perumusan kebijakan menurut
Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah
produk peraturan perundang–undangan. Seringkali pembuat kebijakan
memutuskan untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan
membiarkannya selesai sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil
mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu
masalah tertentu. Namun demikian, pada umumnya sebuah proposal kebijakan
biasanya ditujukan untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang
ada saat ini.
Menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), terdapat sejumlah
kriteria yang membantu dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif
kebijakan untuk dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan
secara politis, biaya, manfaat, dan lain sebagainya. Hal tersebut mengutip
pendapat Jann dan Wegrich dalam Fischer, Miller and Sidney (2007; 50)
mengemukakan dua faktor utama yang menentukan sejauhmana alternatif
kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yakni: (1) penghilangan alternatif
kebijakan yang akan ditentukan oleh sejumlah parameter susbtansial dasar
misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan alternatif kebijakan.
Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik
yang didapat dalam proses pembuatan kebijakan. Apabila dalam proses
pembuatan kebijakan suatu alternatif kebijakan banyak mendapat kritikan secara
politik, maka alternatif tersebut layak untuk dihilangkan karena kurangnya
dukungan politik. (2) alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga
memainkan peranan penting dalam penentuan kebijakan.
Diluar kedua faktor tersebut, Jann dan Wegrich dalam Fischer, Miller and
Sidney (2007; 51) juga mengemukakan mengenai peranan penting dari akademisi
yang berperan sebagai penasehat kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun
dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan.
Disamping itu Anderson (2006, 104), juga menyampaikan bahwa perumus
kebijakan perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan alternatif –
alternatif kebijakan yang dirumuskan dapat berhasil menyelesaikan permasalahan,
Sejumlah factor tersebut adalah: (1) apakah proposal memadai secara teknis?
Apakah proposal diarahkan kepada penyebab permasalahan? Sejauhmana
proposal akan menyelesaikan atau mengurangi permasalahan? (2) apakah
anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan masuk akal atau dapat diterima?
Hal ini penting untuk diperhatikan khususnya apabila terkait dengan program
kesejahteraan sosial. (3) apakah secara politik proposal dapat diterima? Dapatkah
proposal mendapatkan dukungan dari anggota parlemen atau pejabat publik
lainnya? (4) jika proposal telah menjadi peraturan perundang-undangan, apakah
akan disetujui oleh publik? Keempat hal tersebut menurut Anderson (2006, 104)
sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan sebuah kebijakan Publik.
4) Lingkungan Kebijakan (Aktor dan Partisipasi Publik)
Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik
yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh
Anderson (2003, 46-67) sebagai pembuat kebijakan. resmi (official policy-
makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat
kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat
dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut Anderson (2006, 46-57)
terdiri atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif
merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para
staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya.
Sementara itu, badan administratif menurut Anderson merujuk kepada lembaga-
lembaga pelaksana kebijakan. Dipihak lain menurut Anderson, Pengadilan juga
merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan
melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta penafsiran mereka
terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan
bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam
proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik;
organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini
yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental
participants) karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah
situasi kebijakan tetapi mereka tidak mem iliki kewenangan legal untuk membuat
kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan
informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson,
2006, 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah
mereka siapkan.
Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam
tahapan perumusan kebijakan, menurut Sidney (dalam Fischer, Miller and Sidney,
2007; 79) tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang lebih
sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini
menurut Sidney, yang lebih banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan
alternatif kebijakan yang mengambil tempat diluar mata/perhatian publik. Dalam
sejumlah teks standar kebijakan, tahap perumusan disebut sebagai sebuah fungsi
ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya dirumuskan oleh staff dari
birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses perumusan ini
biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus tersebut.meskipun pada
akhirnya perumusan alternatif kebijakan dilakukan lebih banyak oleh para aktor
tersebut, menurut Jann dan Wegrich (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 49),
tidak sepenuhnya bisa dipisahkan dari masyarakat umum dalam perumusan
kebijakan. Para perumus menurut Jann dan Wegrich senantiasa berinteraksi
dengan aktor sosial dan membentuk pola hubungan kebijakan (policy networks)
yang stabil diantara mereka. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan
oleh institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses informal
negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan demikian
keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses perumusan kebijakan
tetap atau sangat diperlukan.
2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Bersama
2.2.1 Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) atau dalam bahasa inggris disebut election adalah
cara yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemilihan umum sudah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu negara demokrasi, hampir semua negara
demokrasi melaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum dapat dipahami
merupakan sarana bagi masyarakat untuk mewujudkan kedaulatannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. bagi negara-negara yang menganut pada
sistem demokratis merupakan suatu hal yang fundamental dalam setiap kurun
waktu tertentu peralihan kekuasaannya diserahkan pilihannya kepada rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Menurut Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory,
memberi definisi sebagai berikut. Sistem politik yang demokratis ialah di mana
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik2.
Morissan (2005:17) pemilihan Umum (pemilu) merupakan salah satu hak
asasi warga negara yang sangat prinsipil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
Pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat
mengenai arah dan kebijakan negara kedepan. Paling tidak ada tiga macam tujuan
2Joko J. Prihatmoko, 2005, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”, Filosofi dan ProblemPenerapan di Indonesia, LP3M Universitas Wachid Hasyim, Semarang, hlm. 204
pemilihan umum, yaitu
1. Memungkinkan peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
3. Dalam rangka melaksanakan hak asasi warga Negara.
Jadi pemilihan umum adalah suatu cara untuk memilih wakil rakyat balk di
legislatif maupun pemerintahan sebagai ciri dari negara demokrasi. Abd Rohim
Ghazali (1997:68) Dalam jurnal Afkar, Vol. IV. No.2, 1997 mengatakan bahwa
ada tiga aspek yang harus diagendakan dalam menjadikan pemilu sebagai
penunjang demokrasi adalah:
1. Pada aspek filosofi konseptual, pemilih harus diberi makna dinamik.
kontekstual dengan multiperspektif. Pemilu yang monolik hanya akan
menjadi bagian dari proses hegemonik makna yang memperbodoh
masyarakat.
2. pada aspek legal konstitusional, undang-undangdan peraturan bagi
pelaksanaan pemilu harus diubah, disesuaikan dengan aspek filosofi
kontekstual.
3. pada aspek sosiokultur, setiap parpol harus diberikan kewenangan untuk
mengeksoresikan dan melaksanakan program-programnyasecara mandiri.
Parpol bukan pengumpul suara legitimasi bagi pemerintahan yang sedang
berjalan, namun merupakan instrument penggerak kearah demokrasi.
Ditegaskan dalam ketentuan pasal 22E UUD 1945 bahwa
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang undang. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 ayat ( 4 ) menegaskan
mengenai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang
harus dipilih secara demokratis, yakni "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing - masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis".
Dalam ketentuan umum Undang-Undangno 10 tahun 2008 tentang pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan umum diartikan sebagai :
"Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaankedaulatan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil dalan Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasiladan UUD 1945"
Yang kemudian selanjutnya dalam perkembangannya pelaksanaan pemilihan
umum baik DPR, DPD, dan DPR serta Presiden dan Wakil Presiden, Bupati dan
Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan pemilihan secara
langsung oleh masyarakat sebagai mana diatur dalam berbagai ketentuan
perundang - undangan baik UU no. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum DPR,
DPD, dan DPRD sebagaimana diubah melalui UU No 10 tahun 2008 untuk
pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD dan UU no. 32 tahun 2004 mengenai
pemerintahan daerah sebagaimana diubah oleh UU No. 12 tahun 2008 yang
didalamnya mengatur masalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang oleh ketentuan UU no 22 tahun 2007 sebagaimana telah dirubah menjadi UU
No 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu rezim pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah menjadi termasuk pemilihan umum secara langsung.
2.2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada)
Pemilihan Umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan produk
kebijakan pemerintah pusat dalam mewujudkan tuntutan masyarakat untuk
dijalankannya pembagian kekuasaan dan kewenangan dalam mengurus
daerahnya, Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang menghendaki adanya
desentralisasi / otonomi daerah tidak terkecuali dalam perwujudan demokrasi
lokal. "Istilah Demokrasi yang menurut asal kata berarti "rakyat berkuasa" atau
"government of rule by the people" Kata Yunani demos berarti rakyat,
kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa3. Oleh karenanya pemilukada sebagai
wujud demokrasi di daerah pada hakekatnya menempatkan rakyat sebagai penentu
dalam memberikan mandatnya terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah. Hal
ini sejalan dengan yang dikemukakan Peny Khalid Semangat pemilihan Kepala
3Miriam Budiharjo, 1989, "Dasar-dasar Ilmu Poline', PT Gramedia, Jakarta, hlm 50
Daerah langsung adalah memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik
masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan
kebutuhan didaerah masing - masing, sehingga diharapkan kebijakan dari
pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya.
Atau dengan kata lain lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya.4
Leo Agustino (2006) mengemukakan dalam arti yang (relatif) agak luas
demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang
dikelola, dengan menjadikan rakyat sebagai subyek dan titik tumpu roda penentu
berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan.5
Demokrasi di daerah dalam bentuk pemilukada dapat dipahami secara
kontekstual sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 peraturan pemerintah no 6
tahun 2005 yaitu :
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnyadisebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayahprovinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilihKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.6
Dalam era reformasi ini pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung
tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah. Sejarah
Pilkada di era Reformasi diawali dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dipi.lih oleh DPRD dengan dasar hukumnya UU No.22 tentang
4Leo Agustino. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI dan Puslit KP2W Lemlit Unpad2006ha142-4325lbid hal 2126PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentiankepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah oleh PP no 49 tahun2008tentangPerubahan ketiga atasPeraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005Tentangpemilihan, pengesahan pengangkatan,Dan pemberhentian kepala daerah dan wakilkepala daerah.
Pemerintahan Daerah tahun 1999. Sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan dan penyelenggaraan otonomi daerah maka diganti dengan UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyempurnakan UU
sebelumnya, sehingga Kepala Daerah dan Wakilnya dipilih langsung oleh
masyarakat dengan penyelenggaranya KPUD.
Sejak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi
partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak
melakukan tanggung jawabnya dengan balk, sehingga legitimasi mereka lemah.
Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong
rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak
mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam
format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung.
Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian dilanjutkan
dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada fase demokrasi
langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali
digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala nasional ini
merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia karena
keberhasilannya.Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen poltik dalam
tataran demokrasi ini, diawali pada tahun 2005 juga dilakukan 'proses rekrutmen
politik elit daerah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil
presiden yang telah melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi
rakyat. Pemilihan Umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan
proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan
DPRD yang telah dipilih secara langsung.
Dari sisi kedaulatan rakyat daerah. demokrasi lokal dibangun untuk
memberikan porsi yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian
legitimasi pada elit eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan
kedaulatan hanya pada legislatif daerah sajamelalui pemilu legislatif. Hal ini
terkait dengan pola hubungan pemerintahan pusat daerah dalam asas
desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan dapat
dibagi kedalam hierarkhi demokrasi nasional dan lokal dari tata cara rekrutmen
politiknya.
Pemilukada sebagai wujud demokrasi lokal dengan penempatannya sebagai
implementasi desentralisasi dan otonomi daerah telah menarik perhatian beberapa
penulis untuk melakukan penelitian sebagaimana telah diuraikan pada latar
belakang diatas, persoalan - persoalan dalam pemilukada yang diangkat dalam
penelitian seperti yang dilakukan oleh Ratna Fitria (2011) Penelitian ini
menekankan pada aspek pemilih pada pemilihan kepala daerah Kota Bandung
yang dilaksanakan pada tahun 2008, pada penelitian ini Ratna (2001)
menggambarkan fenomena tentang perilaku pemilih dalam pemilihan kepala
daerah melalui pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitiannya yaitu:
pertama, bagaimana keterkaitan perilaku memilih dengan kandidat, dalam hal ini
aspek yang menjadi gambaran penelitiannya adalah masyarakat melakukan
evaluasi terhadap kandidat sebagai dasar dari pilihan mereka, maka masyarakat
akan cenderung memilih kandidat yang telah terbukti memberikan keuntungan
kepada mereka daripada kepada kandidat yang baru muncul dengan janji - janji
baru. Kedua, Bagaimana Keterkaitan Opini Publik dengan Perilaku memilih,
dalam hal ini aspek yang menjadi gambaran penelitiannya yaitu masyarakat
sebagai pemilih yang mendapatkan informasi (isu) tentang partai/kandidat yang
akan memberikan keuntungan pada mereka dibandingkan partai/kandidat lainnya,
maka masyarakat lebih sukarela memberikan suaranya kepada partai/kandidat
yang memberikan keuntungan tadi.
Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh Rien A. Muslim Ruhsan (2009)
Penelitian ini menekankan pada aspek pencalonan dalam pemilihan kepala daerah,
pencalonan merupakan salah satu tahapan dan aspek penting dalam
penyelenggaraan pemilukada. Pelaksanaan pemilukada tidak akan terlaksana
apabila tidak ada pesertanya yaitu calon kepala daerah, dalam hal ini Rien (2009)
menggambarkan fenomena seorang calon peserta pemilukada sebagai politikus
juga berasal dari kalangan selebritis (celebrity Politics) yang pada saat itu sedang
begitu maraknya di Indonesia kalangan selebritis mengikuti perhelatan
pemilukada. Fenomena yang digambarkan tersebut didngkat melalui pokok
permasalahan yaitu : Pertama, Mengapa selebriti mencalonkan diri sebagai Wakil
Gurbernur, dalam konteks ini bahasan yang digambarkan oleh Rien (2009) yaitu
seorang selebritis dalam hal ini dede yusuf merupakan seorang warga negara dan
memiliki hak politik yang sama dalam kedudukannya sebagai warga negara untuk
dipilih maupun memilih dan aktualisasi diri merupakan motif partisipasi politik
selebritis (Dede Yusuf ). Kedua, mengapa partai memilih selebritis sebagai Wakil
Gurbernur Jawa Barat, dalam konteks ini Rien (2009) menggambarkan bahwa
popularitas seorang selebritis merupakan modal politik yang harus dimanfaatkan
sedemikian rupa, disamping itu pula memanfaatkan kejenuhan masyarakat
terhadap incumbent dan politisi konvensional sehingga membuka ruang
masyarakat untuk memiliki harapan baru terhadap calon kepala daerah yang
berlatar belakang selebritis.
Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Novie (2009) menekankan pada
aspek pemilih dimana penelitian mengenai pemilih hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2011) yang membedakan penelitian ini
lebih kepada aspek rasionalitas pemilih dengan rumusan permasalahan yang
diangkat yaitu : pertama, seberapa besar tingkat rasionalitas pemilih dalam
pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008. Dalam
konteks ini Novie (2009) mengukur tingkat rasionalitas pemilih yang diukur
dengan informasi yang memadai, kebutuhan program kerja, dan kalkulasi rasional
para pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang.
Sehingga semakin tinggi akses informasi/pengetahuan yang diperoleh pemilih,
kesesuaian kepentingan/kebutuhan mengenai isu/program kerja kandidat dan
kebutuhan tentang pemimpin yang ideal serta kalkulasi rasional maka semakin
tinggi pula tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan
Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008. Kedua, bagaimana:kategori pemilih
apakah termasuk traditional-emotional voters (pemilih emosional-tradisional)
ataukah modern-rational voters (Pemilih rasional modern) dalam konteks ini
Novie(2009) mengklasifikasikan apakah para pemilih dalam pelaksanaan
pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang tahun 2008 dilihat dari tinggi atau
rendahnya tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil
Bupati Sumedang Tahun 2008, apabila tinggi maka pemilih dalam pelaksanaan
pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008 termasuk kategori
modern-rational voters (Pemilih rasional modern), apabila rendah tingkat
rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang
Tahun 2008 maka termasuk kategori traditional-emotional voters (pemilih
emosional-tradisional).
Penelitian - Penelitian ini berbeda dengan permasalahan yang penulis akan
teliti. walaupun sama penelitiannya dalam masalah pemilihan kepala daerah,
penelitian yang dilakukan penulis menyangkut aspek pendanaan pemilukada
bersama dan lebih kepada aspek sumber daya pemilukada yaitu pendanaan yang
tentunya sangat menentukan terhadap penyelenggaraan pemilukada berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2011) yang mengkaji aspek
pemilih, dan Penelitian yang dilakukan oleh Rien (2009) yang mengangkat aspek
pencalonan (calon Wakil Kepala Daerah) yang Iebih kepada manusianyasebagai
peserta pemilukada dan merupakan bagian dari tahapan pemilukada serta
penelitian Novie (2009) yang menguji variabel pemilih dalam pemilukada.
2.2.3 Pemilukada Bersama
Pemilukada bersama merupakan istilah yang baru dalam menginterpretasikan
ketentuan pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008 yang menentukan bahwa apabila
dalam suatu daerah dalam hal ini kota / kabupaten masa jabatan walikota dan
wakil walikota atau bupati dan wakil bupati berada dalam kurun waktu 90 hari
dengan berakhirnya masa jabatan gubrenur dalam wilayah yang sama, maka hari
dan tanggal pemungutan suara nya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama
dan ini berlaku 90 hari kedepan maupun kebelakang. Sebelumnya istilah yang
digunakan dalam menginterpretasikan penyamaan hari dan tanggal pemungutan
suara antara pemilukada provinsi dan kabupaten/kota yang masa jabatan kepala
daerahnya berakhir dalam kurun waktu 90 hari bermacam - macam ada yang
menyebut pemilukada gabungan (pilgab), pemilukada serentak (piltak) namun
Jawa Barat hasil dari penelaahan berdasarkan nomenklatur yang tertuang dalam
pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008 yang menyebutkan frase "pemungutan
suaranya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama" oleh karenanya
penggunaan istilah "pemilukada bersama" merupakan istilah yang cukup tepat
terhadap interpretasi ketentuan pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008.
2.3 Pendanaan Bersama
Kata pendanaan berasal dari kata dana atau Anggaran yang merupakan
terjemahan dari kata "budget "dalam bahasa inggris. Menurut Arif ((arif
et.a1.2002:14) Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan
belanja yang diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapathn yang
diusulkan untuk membiayai belanja tersebut.
Menurut Govermental Accounting Standards Board (GASB) dalam Bastian
(2006:164), definisi anggaran (budget) adalah: "...rencana operasi keuangan, yang
mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang
diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu". Pendapat senada
dikemukakan Freeman dalam Nordiawan (2006: 48), anggaran adalah sebuah
proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan
sumber daya yang dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas.
Pengertian tersebut mengungkap peran strategis anggaran dalam pengelolaan
kekayaan sebuah organisasi publik. Organisasi sektor publik tentunya
berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi
seringkali terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki.7
Sedangkan pendanaan / penganggaran (budgeting) menurut Arif et.al
(.2002:17) merupakan aktifitas pengalokasian sumber daya keuangan untuk
pembiayaan belanja Negara yang cenderung tanpa batas. Dengan arti lain
wildvasky (1975) dalam Arifet.al (2002:17) menyatakan "budgeting is translating
financial resources into human purposes".
Anggaran dalam public policy memainkan peran penting terhadap tercapainya
tujuan dikeluarkannya kebijakan publik hal ini sebaimana dinyatakan Anderson
(2003,158) Yaitu :
It is a rare public policy that can be carried into effect without theexpenditure of money. At a minimum funding will be needed foradministrative personnel, office space, and equipment many importantprograms, such as social security, 'Medicaid and unemploymentcompensation primarily entail transfer payments moving money fromtaxpayer to the government and then to eligible beneficiaries who spend it ongoods and services. Money is also central the farm, highway, public housing,medical research and Pell grant programs.The effectiveness and impact of many regulatory programs antitrust,consumer protections, environmental pollution control and securities andstock exchange regulation among others is determined in part by the amountof money available to agencies responsible for their conduct andimplementation.At the extreme policies without funding become nullities...
Mencermati pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa begitu banyaknya
tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam menangani permasalahan -
7Dikutip dari Sri Rahayu, Unti Ludigdo. Didied Affandy,Studi Fenomenologis Terhadap ProsesPenyusunan Anggaran Daerah Bukti Empiris Dari Satu Satuan Kerja Perangkat Daerah DiProvinsi Jambi pada Simposium Nasional Akuntansi X 2007
permasalahan yang rnenyangkut kemasyarakatan baik itu pengangguran,
kesehatan, sarana prasarana umum dan lain sebagainya, sehingga mendorong
untuk pemerintah mengeluarkan berbagai program dan kebijakan untuk
menanggulangi permasalahan - permasalahan tersebut. Tentunya dalam langkah
dan tindakan pemerintah tersebut harus dipersiapkan sumber daya manusia dalam
hal ini aparatur pemerintah (birokrasi) untuk menjalankannya, namun langkah -
langkah untuk terlaksananya suatu program dalam penanganan permasalahan
tersebut tentu juga membutuhkan anggaran yang memadai. Anderson (2003; 158)
menyatakan secara ekstrem bahwa "kebijakan tanpa pendanaan hanya sedikit
tindakan yang bisa dilakukan dan sedikit kemungkinan untuk berhasil mencapai
tujuan"
Pengertian Pendanaan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Permendagri
nomor 44 tahun 2007 adalah semua aktivitas berkaitan dengan pengelolaan
sumber pendapatan dan pemanfaatan belanja daerah untuk mencapai tujuan dari
kegiatan yang memenuhi prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi dan
akuntabilitas.8
Pendanaan diuraikan dalam pasal 8 permendagri no 57 tahun 2009 yang
menyatakan :
(1) Dalam hal pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam satu
daerah yang sama diselenggarakan pada hari dan tanggal yang sama,
pelaksanaan Pemilu dilakukan dengan pendanaan bersama.
8Peraturan menteri dalam negeri no 44 tahun 2007 tentang pedoman-pedomanpengelolaanBelanjapemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dirubah oleh Permendagri 57tahun 2009.
(2) Pendanaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
pembayaran honorarium, uang lembur, perlengkapan KPPS/TPS,
pengangkutan, pembiayaan pemutakhiran data pemilih dan perjalanan dinas.
(3) Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pembayaran
honorarium kepada KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat KPU Kabupaten/Kota,
Anggota Pokja KPU Kabupaten/Kota, PPK, Sekretariat PPK, PPS,
Sekretariat PPS, KPPS, Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Sekretariat Panwaslu Kabupaten/Kota, Anggota Pokja
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Sekretariat Panwaslu
Kecamatan, Anggota Pokja Panwaslu Kecamatan dan Petugas Pengawas
Pemilu Lapangan di Desa/Kelurahan.
(4) Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pembayaran uang
lembur kepada KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Petugas Pemutakhiran Data
Pemilih, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Petugas
Pengawas Pemilu Lapangan di Desa/Kelurahan.\
(5) Perlengkapan KPPS/TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
bantalan dan alat pencoblos, tanda pengenal, lem, tali, spidol, ballpoint,
pemasangan dan pembongkaran kotak dan bilik suara, tanda khusus (tinta
Pemilukada) dan template penyandang cacat.
(6) Pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengangkutan
dari Kabupaten/Kota ke Kecamatan (PPK), dari Kecamatan ke
Desa/Kelurahan (PPS), dari Desa/Kelurahan ke KPPS (TPS) dan
pengangkutan sebaliknya.
(7) Pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
cetak formulir pemutakhiran data pemilih.
(8) Perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perjalanan
dinas yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Panwaslu
Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan.
Kemudian di pasal 8A permendagri no 57 tahun 2009 ini pun mengatur
mengenai pendanaan bersama yang menjadi beban pemerintah daerah dalam hal
ini pemerintah provinsi Jawa - Barat dan Pemerintah kota sukabumi sekaitan
dengan pelaksanaan pemilukada gubernur Jawa - Barat dan pemilukada walikota
Sukabumi yang dinyatakan bahwa :
(1) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang melakukan pendanaan bersama dalam
rangka Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
bersamaan menetapkan besaran dana yang akan dibebankan kepada masing-
masing pemerintah daerah.
(2) daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara proporsional
sesuai dengan beban kerja.
(3) Beban kerja masing - masing pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disepakati bersama dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
(4) Gubernur Penetapan besaran dana yang akan dibebankan kepada masing -
masing pemerintah menetapkan standar honorarium dan/atau uang lembur
penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakilk Kepala Daerah dengan
besaran nilai yang sama dan berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di
wilayahnya.
Selanjutnya di Pasal 8B permendagri no 57 tahun 2009 memberikan ruang
kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi atau pemerintah kota
/kabupaten untuk memberikan dan atau mendapatkan bantuan keuangan apabila
kondisi keuangan daerah tidak memiliki kemampuan keuangan yang dinyatakan :
(1) Dalam hal Pemerintah Provinsi mengalami keterbatasan kemampuan
keuangan daerah untuk penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Pemerintah Kabupaten/Kota di wi layahnya dapat membantu
pendanaan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur.
(2) Dalam hal Pemerintah Kabupaten/Kota mengalami keterbatasan kemampuan
keuangan daerah untuk penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, Pemerintah Provinsi dapat membantu
pendanaan Pemilu Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota.
Ketentuan yang mengatur pendanaan bersama sebagaimana tertuang dalam
pasal 8 permendagri no 57 yang diuraikan diatas, secara sederhana dapat
digambarkan pada alur bagan pada gambar sebagai berikut :
Gambar 3. Alur pola Pendanaan bersama berdasarkan pasal 8 permendagri 57
tahun 2009
Berdasarkan Permendagri No. 57 tahun 2009 tentang perubahan atas PermendagriNo 44 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan belanja Pemilukada.
Dari bagan diatas dimulai dari KPU Provinsi Jawa Barat dan KPU Kota
Sukabumi mengusulkan anggaran untuk kebutuhan penyelenggaraan kepada
pemerintah daerah masing - masing sebagaimana ditentukan dalam peraturan
KPU No 9 tahun 2010, Penyusunan dan Penyampaian Program dan anggaran
untuk kegiatan Pemilukada mengikuti jadwal penyusunan APBD sesuai dengan
tahun anggaran dan kebutuhan tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah
KPU KotaSukabumi
KPU ProvinsiJabar
DPRD KotaSukabumi
PemerintahKota Sukabumi
PemerintahPtovinsi Jabar
DPRDProvinsi Jabar
APBD KotaSukabumi
Pemilu Walikota& Wakil Walikota
Sukabumi
KPU KotaSukabumi
APBD KotaSukabumi
KPU Provinsijabar
Pemilu Gubernur& Wakil Gubernur
Jabar
RKA (Rencana Kegiatan Anggaran) PemiluWalikota & Wakil Walikota Sukabumi dan PemiluGubernur dan Wakil Gubernur di Kota Sukabumi
KesepakatanPembiayaan 6
komponenPendanaanbersama
dan Wakil Kepala Daerah. kemudian masing - masing pemerintah daerah pada
mat melakukan pembahasan ABPD setelah menerima usulan program dan
anggaran dari KPUD masing - masing dimana setelah kebijakan mengenai
penganggaran APBD yang didalamnya disamping untuk kegiatan pembangunan
daerah juga sudah teralokasikan untuk pembiayan penyelenggaraan pemilukada.
Kemudian Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota diamanatkan untuk
melakukan pembahasan terkait dengan komponen pembiayaan yang ditentukan
untuk dilakukan pendanaan bersama yaitu 6 komponen yang terdiri dari
honorarium, uang lembur, pengangkutan, perjalanan dinas, alat kelengkapan TPS
dan pemutakhiran data pemilih. Setelah kesepakatan bersama tersebut disepakati
besaran beban masing - masing pemerintah daerah untuk pembiayaan komponen
pendanaan bersama, kemudian anggaran kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan
Pemilukada Provinsi Jawa Barat serta pemilukada Kota Sukabumi didistribusikan
kepada masing-masing penyelenggara pemiliukada yaitu KPU Provinsi dan KPU
Kota Sukabumi oleh masing - masing pemerintah daerah, dalam hal ini alokasi
anggaran pelaksanaan pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur di kota sukabumi
oleh KPU Provinsi didistribusikan ke KPU Kota Sukabumi sebagai penyelenggara
Pemilu Gubernur ditingkat Kota Sukabumi. Disinilah Pendanaan Bersama
tersebut akan terlaksana sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi sebagaimana diatur dalam
Permendagri 57 tahun 2009.
2.4 Kerangka Pemikiran Dan Proposisi Penelitian
Dari uraian diatas untuk dapat dipahami bahwa mengenai kebijakan yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal penyelenggaraan pemilukada diatur
sebagaiaman hierarki ketentuan perundang - undangan dimulai dari UUD 1945
yang mengamanatkan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah dilakukan secara
demokratis yang kemudian dijabarkan oleh para pembuat kebijakan dengan UU
no 32 tahun 2004 sebagaimana telah dirubah 2 kali dan terakhir oleh UU No 12
Tahun 2008 yang mengatur bahwa pelaksanaan Pemilukada dilaksanakan secara
langsung dan dalam satu pasangan dengan wakil kepala daerah selanjutnya secara
tekhnis diatur oleh PP no 6 tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh PP 49
tahun 2008 Tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian
kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pendanaan Pemilukada diatur dalam
permendagri no 44 tahun 2005 pedoman pengelolaan belanja pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah Permendagri no
57 tahun 2009, sejalan dengan itu pengaturan tentang penyelenggara pemilihan
umum yang diatur oleh UU No. 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU
No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum juga menempatkan
pemilukada sebagai bagian dari rezim pemilihan umum dengan memberikan
kewenangan KPU sebagai Penyelenggara Pemilu untuk membuat ketentuan -
ketentuan tekhnis melalui Peraturan KPU (PKPU) dalam penyelenggaraan
Pemilukada sehingga secara alur bagan hierarki perundang-undangan tersebut
dapat dilihat pada pada gambar dibawah ini :
Gambar 4. Bagan Ketentuan perundang - undangan yang menjadi dasar hukum
pendanaan pemilukada :
Melihat alur Pola Pendanaan bersama (gambar 1) dan bagan ketentuan
perundang - undangan (gambar 2) tesebut dan mencermati pendapat Gerston
UUD 45 pasal 18 ayat 4 (Kepala daerah dipilih secara demokratis)
UU 32 tahun 2004 tentangpemerintahan Daerah Pasal 56ayat 1 (pemaknaan demokratis kepala
daerah dipilih secara langsung)sebagaimana telah dirubah 2 kali dan
terakhir oleh UU No 12 tahun 2008(menegaskan pemilukada dalam wilayah
yang sama dalam kurun waktu 90 haripemungutan suaranya dilaksanakan pada
hari dan tanggal yang sama)
UU 22 tahun 2007 tentangPenyelenggara Pemilu
(mengamanatkan pemilukadasebagai erzim pemilihan umum
dan KPUD sebagaipenyelenggara) sebagaimanatelah dirubah oleh UU no 15
tahun 2011 tentangpenyelenggara pemilu
PP No 2005 tentang pemilihan,pengesahan pengangkatan, dan
pemberhentian kepala daerah danwakil kepala daerah sebagaimana telah
diubah Permendagri no 57
Peraturan – peraturan KPUdiantaranya PKPU no 9 tahun 2009Program jadwal tahapan pemilukada
Permendagri no 44 (pedomanpengelolaan belanja pemilihan umumkepala daerah & wakil kepala daerah)
sebagaimana telah diubah permendagrino 57
Permendagri no 44 (pedomanpengelolaan belanja pemilihan umumkepala daerah & wakil kepala daerah)
sebagaimana telah diubah permendagrino 57
Rincian Kegiatan danAnggaran (RKA) dan Rencana
Kebutuhan Biaya (RKB)Pemilukada
(2002, 14) yang menyatakan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan
pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung-jawab para pembuat
kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.
Kebijakan pendanaan bersama yang menjadi beban pemerintah daerah dalam
merumuskan dan menentukan alokasi besaran anggaran untuk mendanai
komponen - komponen pendanaan bersama pemilukada bersama Provinsi Jawa
barat dan Pemilukada Kota Sukabumi sebagaimana ketentuan pasal 8A
Permendagri No 57 Tahun 2009 yang mengamanatkan Provinsi Jawa - Barat dan
Kota sukabumi karena melakukan pendanaan bersama dalam Pemilukada yang
dilaksanakan secara bersamaan menetapkan besaran dana yang akan dibebankan
kepada masing-masing pemerintah daerah. Kemudian penetapan besaran dana
yang akan dibebankan kepada pemerintah Provinsi Jawa - Barat dan Pemerintah
Kota Sukabumi ditetapkan secara proporsional sesuai dengan beban kerja. Yang
selanjutnya Beban kerja masing - masing pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disepakati bersama dan ditetapkan dalam Keputusan
Gubernur. Sebagaimana telah dikemukakan dilatar belakang bahwa Gubernur
telah menetapkan Standar Honorarium dan Uang lembur.
Merujuk pada pendapat Anderson , Jann dan Weidrich, dan Mara Sydney
sebagaimana telah diuraikan dalam tinjauan pustaka yang mengemukakan
pendapat yang hampir sama dalam perumusan kebijakan, bahwa perumusan
kebijakan menyangkut upaya menjawab dua hal yaitu :
1) Bagaimana alternatif - alternatif yang dibangun dalam menentukan
kesepakatan besaran beban komponen - komponen pendanaan bersama
2) Siapa dan bagaimana aktor – aktor resmi maupun tidak resmi yang
mempengaruhi dalam memainkan peran menentukan alternatif yang diambil
dalam permasalahan pendanaan bersama.
Gambar 3. Bagan Alur Perumusan Kebijakan Kesepakatan Komponen -
Komponen Pendanaan Bersama di bawah ini :
Prosesnya diawali dari pengalokasian anggaran untuk kebutuhan pemilihan
umum Gurbernur dan Wakil Gurbernur Jawa Barat telah ditentukan dalam APBD
Provinsi untuk kebutuhan pemilu Gurbernur diseluruh wilayah Jawa Barat, dan
Alokasi Anggaran untukpenyelenggaraan Pemilu
Gubernur dan WakilGubernur di Kota Sukabumidari APBD Provinsi Jabar
Alokasi Anggaran untukpenyelenggaraan Pemilu
Walikota dan WakilWalikota di Kota Sukabumidari APBD Kota Sukabumi
Alternatif – alternatif untukmenentukan besaran beban
komponen – komponenpendanaan bersama antaraPemerintah Provinsi JawaBarat dan pemerintah Kota
Sukabumi
Aktor – aktor yang terlibatbaik resmi maupun tidak
resmi yang mempengaruhidan menentukan lesepakatan
besaran beban pendanaanbersama antara pemerintah
Provinsi Jawa barat danpemerintah Kota Sukabumi
Kebijakan Kesepakatan proporsionalitas besaran pembiayaan6(enam) komponen Pendanaan Bersama yang menjadi bebanPemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumiuntuk komponen :
1. Honorarium2. Uang lembur3. Pengangkutan4. Alat -alat Kelengkapan TPS5. Perjalanan Dinas6. Pemutakhiran Data Pemilih
pada saat yang sama Kota Sukabumi sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat juga
menentukan alokasi anggaran untuk Pemilu Walikota dan Wakil Walikota
Sukabumi namun dengan kondisi APBD Kota Sukabumi dengan Tingkat
Pendapatan Asli Daerah yang minim memiliki keterbatasan anggaran dalam
memenuhi usulan pembiayaan pemilu Walikota dan Wakil Walikota sukabumi
sebesar 19,6 miliar dari penyelenggara pemilu di Kota Sukabumi, dengan hanya
mengalokasikan anggaran 8 miliar untuk tahun 2012 dan anggaran tersebut juga
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pengawas pemilu dan pengamanan, dan
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk kebutuhan
penyelenggara pemilu tahun 2012 pemerintah kota Sukabumi hanya
mengalokasikan 4,6 m yang sudah barang tentu sangat jauh dari kebutuhan,
besarnya kebutuhan anggaran untuk penyelenggaraan pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Sukabumi serta adanya kebijakan pendanaan bersama dalam
rangka Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Daerah yang pemungutan suaranya
dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama, menjadi permasalahan yang
mendapat perhatian pemerintah Kota Sukabumi dan pemerintah Provinsi Jawa
Barat. Sehingga menjadi agenda kebijakan untuk selanjutnya dilakukan
perumusan kesepakatan antara pemerintah Kota Sukabumi dan pemerintah
Provinsi Jawa Barat mengenai pendanaan bersama pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Sukabumi dan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat
yang dilaksanakan Di Kota Sukabumi.
Bagaimana proses perumusan kesepakatan komponen pendanaan bersama
tersebut dirumuskan dan disepakati, dengan menjadikan permasalahan beban
alokasi pembiayaan pemilihan walikota dan wakil walikota sukabumi bersama
dengan pemlihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang harus disediakan oleh
pemerintah Kota Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat dan disepakati sebagai
permasalahan yang masuk kedalam agenda kebijakan pemerintah Kota Sukabumi
dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan merumuskan alternatif - alternatif
atau pilihan - pilihan apa saja yang diusulkan untuk disepakati dalam pembiayaan
komponen honorarium, uang lembur, alat - alat kelengkapan TPS, pengangkutan,
perjalanan dinas, dan pemutakhiran data pemilih (sesuai pasal 8 Permendagri no
57 tahun 2009), dalam merumuskan kesepakatan pendanaan bersama,
sebagaimana dinyatakan Anderson (2006,104), para perumus kebijakan perlu
mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan kebijakan yang dirumuskan dapat
berhasil menyelesaikan permasalahan beban alokasi pembiayaan pendanaan
bersama antara pemerintah Kota Sukabumi dengan Pemerintah Jawa Barat yang
harus disepakatiu, yaitu : (1) Apakah usulan pembagian alokasi beban
pembiayaan pendanaan bersama tersebut memadai secara tekhnis, (2) apakah
anggaran yang diusulkan untuk pembiayaan komponen pendanaan bersama
tersebut masuk akal atau dapat diterima? (3) apakah secara politik usulan besaran
beban pembiayan komponen pendanaan bersama dapat diterima? Apakah usulan
besaran beban komponen pendanaan bersama tesebut juga mendapat dukungan
dari anggota Dewan ? (4) jika Usulan besaran beban pembiayaan komponen
pendanaan bersama tersebut disepakati, dapatkah juga disetujui oleh Publik?
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan
sebelumnya, maka Proposisi yang dibangun sebagaimana terlihat pada gambar
kerangka pemikiran dibawah ini yaitu :
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Perumusan Kebijakan Kesepakatan Komponen
Pendanaan Bersama Pemilukada Bersama di Kota Sukabumi
Sehingga proposisi yang disusun penulis yaitu sebagai berikut : "Perumusan
kebijakan beban pembiayaan komponen pendanaan bersama dapat menghasilkan
kesepakatan antara pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota
Sukabumi sebagai sebuah kebijakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
komponen pendanaan bersama dengan memperhatikan altematif atau pilihan -
pilihan yang diusulkan, serta aktor - aktor yang terlibat baik aktor resmi maupun
aktor tidak resmi dan bagaimana aktor - aktor tersebut mempengaruhi terhadap
perumusan kesepakatan kebijakan pembiayaan komponen pendanaan bersama.
Perumusan Kebijakan KesepakatanPembiayaan Komponen Pendanaan Bersama
Alternatif - alternatif untukmenentukan kesepakatan beban
pembiayaan komponen pendanaanbersama antara Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan Pemerintah KotaSukabumi
Aktor-aktor yang terlibat baik resmimaupun tidak resmi yang mempengaruhi
dan menentukan kesepakatan besaranbeban pendanaan bersama antara
Pemerintah Provinsi Jawa Barat danPemerintah Kota Sukabumi
Kesepakatan alokasi besaran beban pembiayaan komponen PendanaanBersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota
Sukabumi untuk komponen Honorarium, Uang lembur, Pengangkutan, Alat -alat Kelengkapan TPS, Perjalanan Dinas dan Pemutakhiran Data Pemilih.
Agenda Kebijakan :Tersedianya besaran beban anggaran pembiayaan komponen pendanaan
bersama untuk pemilukada bersama di Kota Sukabumi oleh Pemerintah KotaSukabumi dan Pemerintah Jawa Barat