23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Di antara berbagai jenis sapi yang ada di Indonesia, sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia yang cukup penting dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Populasi sapi bali di Indonesia pernah dicatat dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 1988, pencatatan jumlah sapi bali setelah itu tidak pernah dilakukan lagi, sehingga jumlahnya saat ini tidak diketahui dengan pasti. Pada tahun 1988 jumlah sapi bali tercatat 2.632.125 ekor yang berarti sekitar 26,9% dari total sapi potong di Indonesia. Dibandingkan dengan sapi asli atau sapi lokal lainnya di Indonesia (sapi Ongole, PO, dan Madura), persentase sapi bali adalah yang tertinggi. Penyebaran sapi bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. Empat propinsi yang memiliki jumlah sapi bali terbesar di Indonesia adalah Propinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data statistik peternakan, populasi sapi bali di Provinsi Bali sebanyak 553.582 ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2016) Mengingat jumlahnya yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas maka sapi Bali merupakan jenis ternak sapi yang cukup penting dalam penyediaan daging nasional. Pada tahun 2016, produksi daging nasional dari ternak sapi mencapai 524.109 ton dan menempati peringkat kedua setelah produksi daging ayam potong (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2016). Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali

Di antara berbagai jenis sapi yang ada di Indonesia, sapi bali merupakan salah satu sapi

asli Indonesia yang cukup penting dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Populasi sapi

bali di Indonesia pernah dicatat dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 1988, pencatatan jumlah sapi

bali setelah itu tidak pernah dilakukan lagi, sehingga jumlahnya saat ini tidak diketahui dengan

pasti. Pada tahun 1988 jumlah sapi bali tercatat 2.632.125 ekor yang berarti sekitar 26,9% dari

total sapi potong di Indonesia. Dibandingkan dengan sapi asli atau sapi lokal lainnya di

Indonesia (sapi Ongole, PO, dan Madura), persentase sapi bali adalah yang tertinggi. Penyebaran

sapi bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. Empat propinsi yang memiliki

jumlah sapi bali terbesar di Indonesia adalah Propinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat

(NTB), Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data statistik peternakan, populasi

sapi bali di Provinsi Bali sebanyak 553.582 ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan

Tahun 2016)

Mengingat jumlahnya yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas maka sapi

Bali merupakan jenis ternak sapi yang cukup penting dalam penyediaan daging nasional. Pada

tahun 2016, produksi daging nasional dari ternak sapi mencapai 524.109 ton dan menempati

peringkat kedua setelah produksi daging ayam potong (Direktorat Jendral Peternakan dan

Kesehatan Hewan, 2016).

Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan

kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

yang dimiliki sapi bali. Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya

adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik seperti dapat memanfaatkan pakan

dengan kualitas rendah.

Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai kemampuan

produksi sapi bali. Kemampuan produksi sapi bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat

produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat

karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), dan sebagainya, maupun sifat reproduksi seperti

dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval), persentase beranak, dan

sebagainya. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis

yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi.

Sebagai sapi asli Indonesia, sapi bali diharapkan menjadi hewan primadona dalam

menyediakan kebutuhan daging selain ternak import karena prosentase karkasnya cukup tinggi

namun demikian sapi bali ternyata memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa

jenis penyakit. Beberapa penyakit telah dilaporkan menyerang sapi bali. Sapi bali sangat peka

terhadap penyakit Jembrana atau Ramadewa, Malignant Catarrhal Fever (MCF) dan Septicemia

Epizootica (SE). Karena itu, menjadi sangat penting untuk mencegah penyakit tersebut pada sapi

bali. Beberapa penyakit dapat dicegah dengan sistem pemeliharaan yang baik, namun tidak dapat

mengatasi keseluruhan penyakit. Bertambahnya mikroorganisme patogen yang tahan antibiotika

menyebabkan banyak perhatian pada penelitian mengenai metode kontrol penyakit. Pemahaman

mengenai mekanisme genetik ketahanan tubuh dari penyakit sangat membantu dalam hal

penanganan penyakit infeksi melalui penyediaan informasi mengenai pengembangan vaksin

serta seleksi ternak tahan penyakit.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

2.2 Kajian Genetik Ketahanan Terhadap Penyakit

Kesehatan hewan menjadi isu yang sangat penting pada pengembangan peternakan.

Penyakit ternak dapat menyebabkan kesakitan dan kematian ternak dan secara signifikan

menyebabkan kerugian secara ekonomi. Semakin berkembangnya penyakit pada ternak,

pembatasan penggunaan antibiotika serta tingginya biaya produksi obat-obatan baru

menyebabkan lebih sulitnya penanganan kesehatan ternak (Woolhouse,2002).

Solusi terbaru sekarang ini adalah terfokus pada faktor gen yang berhubungan dengan

respon imun. Akan tetapi, seleksi petanda dan gen penyebab ketahanan terhadap penyakit dan

respon vaksinasi tidaklah sederhana (Leach et al.,2010). Sangat sulit untuk menentukan kenapa

satu kelompok ternak menjadi sakit, sementara itu kelompok lainnya masih tetap sehat.

Secara genetik, sistem imun merupakan sistem pengatur dengan sifat unik yaitu

mendeteksi dan mengontrol agen infeksi serta mempunyai kemampuan merespon perubahan

lingkungan (Woolhouse,2002).Tubuh ternak mempunyai tiga pertahanan dalam melawan infeksi

yaitu secara alami, bawaan, dan didapat. Dalam menjaga kesehatan ketiganya harus berfungsi.

Kekebalan alami adalah penghalang pertama dari serangan penyakit. Komponen utama

dalam kekebalan alami ini adalah kulit, rambut, selaput lendir,

sekresi tubuh seperti air mata, urine, air liur serta sekresi kulit. Disamping itu, perilaku ternak

seperti menjilat bagian tubuh serta mengibaskan ekor merupakan cara pertahanan tubuh dari

serangan patogen.

Kekebalan bawaan dan didapat merupakan kompleks sel dan jaringan yang berinteraksi

yang berperan dalam mengatasi serangan patogen atau terkait antigen. Kekebalan bawaan

merupakan kekebalan yang dibawa sejak lahir dan umumnya melibatkan peran sel darah putih,

protein komplemen, dan sitokin (Playfair and Chain, 2009).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Pada usaha peternakan, peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan memperbaiki

respon terhadap vaksinasi akan menurunkan biaya serta memperbaiki kesejahteraan hewan. Cara

dalam hal memperbaiki sistem imun adalah dengan mempelajari gen serta mekanismenya dalam

merespon patogen dan vaksinasi. Akan tetapi, dasar-dasar genetik hubungan kepekaan host atau

ketahanan tubuh terhadap penyakit sangat kompleks dan mungkin menyangkut banyak gen.

Peningkatan kesehatan hewan melalui seleksi genetik mempunyai keuntungan, karena

peningkatan mutu genetik bersifat kumulatif dan permanen untuk beberapa generasi (Berry et

al.,2011).

Pada sapi telah banyak dilakukan studi immunogenetik berkaitan dengan hubungan gen

dengan ketahanan tubuh. Sistem imun terdiri atas molekul dan sel yang terintegrasi dan secara

genetik bertanggung jawab terhadap kontrol rangsangan baik dari luar tubuh maupun dari dalam

tubuh termasuk didalamnya mikroorganisme.

Kemajuan di bidang teknologi yang terkenal dengan genomik, memiliki potensi yang

besar untuk mengatasi atau setidaknya meminimalkan kerugian evaluasi genetik secara

tradisional. Kemajuan tersebut telah diaplikasikan di dalam pemuliaan hewan. Penggunaan

penanda seleksi untuk penyaringan berdasarkan asosiasi dengan sifat kuantitatif yang

berhubungan dengan kesehatan hewan telah berhasil dilakukan (Dekker,2004)

2.3 Major Histokompatibility Compleks (MHC).

MHC adalah sekelompok gen yang menentukan kompatibilitas jaringan atau komponen

lainnya bagi tubuh. Gen ini menjadi protein MHC yang pada manusia disebut HLA (Human

leucocyte antigens) terletak pada kromosom 6 (3500 kb), Sapi (bovine leucocyte antigen/BoLA),

terletak pada kromosom 23, pada mencit kromosom 17 dan pada tikus kromosom 20. Fungi

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

utama dari MHC adalah mengenali suatu protein atau antigen lainnya yang asing bagi tubuh

(kompatibilitas jaringan). Makin asing antigen bagi tubuh makin kuat diikat oleh molekul MHC

begitu juga sebaliknya.

MHC merupakan bagian yang fundamental dari sistem pertahanan tubuh pada hampir

semua vertebrata. MHC merupakan sistem genetik paling penting untuk ketahanan terhadap

penyakit pada veterbrata. Karena itu, pemahaman mengenai struktur, fungsi dan keragaman dari

sistem ini sangat penting untuk mengetahui respon imun pada vertebrata (Behl et al.,2012).

Berikut struktur gen dan molekul MHC pada manusia (HLA) dan tikus (H2).

Gambar 1.Gen dan molekul MHC (Playfair& Chain, 2009)

Pada sapi, daerah genom pada kromosom no. 23 terdapat lokus gen yang mirip dengan

MHC pada manusia, yang menempati daerah sepanjang 4000 kb dan mengandung lebih dari 154

gen yang keterkaitan sangat dekat (tightly linked genes) (Elsik et al., 2009). Lokus gen tersebut

secara kolektif dinamai dengan bovine leukocyte antigen (BoLA). Lokus gen tersebut sangat

menarik dan menjadi perhatian peneliti karena tingginya keragaman serta terdapatnya duplikasi

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

gen pada lokus tersebut. Bastos-Silveira et al.(2008) melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan pada keragaman alel pada lokus mikrosatelit region gen BoLA pada delapan jenis sapi

di Portugal. Perbedaan ini dihubungkan dengan posisinya pada kromosom. Gen pada

BoLAmenjadi sangat menarik terutama ahli genetika veteriner karena hubungannya dengan

ketahanan dan kepekaan terhadap penyakit (Amills et al.,1998). BoLA merupakan kelompok

besar gen yang sangat erat hubungannya dengan peran penting pada sistem ketahanan tubuh.

Hasil ekspresi gen tersebut adalah merangsang dan mengatur respon imun (Mosafer et al.,2012).

Gambar gen BoLA pada sapi diilustrasikan seperti pada gambar 2 berikut.

Gambar 2: Peta Genetik Major Histocompatibility Complex (MHC) pada Sapi (Amills et al.

1998).

Berdasarkan perannya, MHC dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu molekul kelas I,

kelas II, dan kelas III. Molekul kelas I terdiri dari rantai alpha dengan massa molekul sekitar

45 KDa (rantai berat) terkait noncovalen dengan β2- rantai microglobulin yaitu sekitar 12

KDa. Molekul kelas I disajikan dalam semua sel berinti, dan utama mereka berfungsi untuk

menyajikan peptide ke CD8 dan limfosit T. Molekul kelas II merupakan molekul glikoprotein

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

heterodimer yang dibentuk oleh hubungan nonkovalen dari rantai α dan β dan dikodekan oleh

gen yang berbeda dalam MHC (De et al., 2011). Molekul Kelas II disajikan pada antigen

presenting cell (APC), seperti sel-sel dendrite dan makrofag. Molekul kelas III terdiri atas

kelompok gen heterogenus yang perannya berkaitan dengan proses kekebalan dan fungsi lainnya

seperti komplemen dan tumor necrosis faktor (TNF).

Pada sapi, gen BoLA klas I mengandung kira-kira 10 sampai 20 gen, tapi bisa juga

bervariasi antara haplotipe (Holmes et al., 2003). Diantara gen tersebut, hanya ada 6 gen yang

sifatnya fungsional dan sisanya diperkirakan sebagai pseudogen (Ellis, 2004). Gen pada klas I

tersebut bersifat polimorfik dan sejumlah haplotipe menunjukkan hubungan dengan respon imun.

Pada sapi, organisasi gen BoLA klas I lebih rumit dan kurang dipahami dibanding dengan gen

BoLA klas II. BoLA klas I terdiri atas lokus A,B, dan C yang masing-masing menyandi rantai α.

Molekul BoLA klas I merupakan molekul intraseluler yang berikatan dengan molekul CD8 dari

limfosit T dan berinteraksi dengan sel NK. BoLA klas I tersebut berlokasi pada kluster gen BTA

23 band 22 (Mosafer et al., 2012).

Peran utama molekul klas I adalah menyajikan peptide yang terikat pada CD8 dari

limfosit T. Peptida yang disajikan diperoleh dari sitosol sel. Peptide tersebut bisa berasal dari

protein sendiri (self) atau protein dari patogen intraseluler seperti virus, bakeri dan protozoa.

Gen BoLA klas II telah dapat dikarakterisasi menggunakan teknik serologi, kloning

heterologus, probe homologus klas II, RFLP, PCR-RFLP dan sekuensing. Gen BoLa Klas II

dibagi menjadi dua daerah yaitu regio IIa dan IIb. Regio klas IIa terdiri atas gen DR dan DQ.

Pada sapi terdapat 1 lokus DRA, 3 lokus DRB, 5 lokus DQA dan 5 lokus DQB (Ripoli et al.,

2003). Gen DRB adalah satu-satunya gen yang bersifat fungsional. Gen DRB terdiri atas DRB1,

DRB2 dan DRB3 (Wuet al.,2010). Diantara gen tersebut gen DRB3 merupakan gen yang paling

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

polimorfik diantara gen BoLA (Baxter et al.,2008). Pada regio klas II b terdapat gen DOB, DYA,

DYB dan gen DIB. BoLA Klas II regio IIA terutama gen DQ dan DR berlokasi pada kluster gen

BTA 23 band 22 sedangkan lokus klas II lainnya (DIB, DNA, DOB, DYA, DYB) berlokasi pada

kluster gen dekat dengan sentromer BTA 23 band 12-13 (Mosafer et al., 2012).

Gen DRA mengkode rantai alfa daripada molekul DR. Pada awalnya, BoLA DRA

dianggap sebagai gen monomorfik. Namun belakangan dilaporkan bahwa BoLA DRA

mempunyai alel bervariasi. Zhou et al.(2007) melaporkan bahwa gen BoLA DRA pada sapi

mempunyai variasi alel terutama pada exon II. Berlainan dengan di atas, gen yang mengkode

rantai b dari gen BoLA DR, sangat polimorfik. Polimorfisme tersebut utamanya terdapat pada

exon II.Gen DRB3 berlokasi di dalam MHC pada kromosom 23. Gen tersebut mengandung 6

exon dengan exon kedua berperan mengkode secara fungsional PBC (peptide binding cleft) atau

celah ikatan peptide.

Molekul klasik MHC I dan II mengandung lokasi ikatan peptida di ujung distal molekul

dari membran, terbentuk dari dua protein heliks α, berada diatas lapisan β yang berlipat. Lokasi

ikatan atau sering disebut lekukan dapat memuat peptide dengan panjang 9-10 asam amino,

walaupun pada molekul MHC kelas II, ujung lekukan tetap terbuka sehingga memungkinkan

peptide yang lebih panjang dapat memanjang keluar disetiap ujungnya. Berbagai ragam peptide

dapat diikat dengan kuat, oleh interaksi antara residu simpanan dalam molekul MHC dengan

rangka (tulang punggung) asam amino dari peptide antigen. Akan tetapi, untuk menampung

rantai samping asam amino yang lebih besar, dasar lekukan mengandung sejumlah kantong.

Ukuran dan posisi kantong tersebutlah yang membatasi jumlah peptide yang dapat ditampung

sehingga respon imun dipusatkan hanya pada beberapa epitop terbatas (Playfair dan Chain,

2009).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Peptide asing yang berikatan dengan MHC dan akan dikenali oleh reseptor sel T.

Keterlibatan MHC dalam menyajikan antigen kepada sel Tdikenal dengan istilah “Retriksi

MHC”. Peran sistem MHC dalam menyajikan antigen kepermukaan membran sel agar dikenali

oleh sel T dapat dibagi menjadi dua jalur seperti gambar 3 berikut.

Gambar 3. Pengolahan dan Penyajian Antigen oleh MHC. (Plyfair &Chain 2009)

CD8+

T cells CD4

+

T cells

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Jalur kelas I (Jalur Endogen)

Saat disintesis dalam sel, protein virus ditemukan dalam sitoplasma bersama-sama

protein yang berasal dari sel itu sendiri (self). Protein dalam sel yang keberadaanya tidak lagi

diperlukan oleh sel, dihancurkan oleh kesatuan enzim yang disebut proteosom. Proteosom

mengandung enzim proteolitik silindris yang mencerna protein menjadi peptide pendek. Peptide

pendek tersebut dapat berasal dari antigen asing maupun antigen dalam tubuh sendiri. Peptide

pendek yang berasal dari antigen asing dan mampu merangsang respon imun disebut peptide

antigenik. Semantara itu, molekul MHC yang berfungsi untuk mengikat peptide pendek

disintesis dalam ribosom yang banyak ditemukan pada retikulum endoplasma kasar.

Dalam sintesis molekul MHC, gen penyandi MHC ditranskripsi dari gen penyandinya

dalam inti sel. Trasnskrip berupa mRNA kemudian diangkut dari inti sel ke ribosom yang

terdapat pada retikulum endoplasma kasar. Retikulum endoplasma kasar MHC I disintesis

sebagai molekul rantai 1, 2 dan 3 serta mikroglobulin β2.dan dikemas dalam endosom

retikulum endoplasma. Peptide yang merupakan hasil degradasi dalam proteosom diangkut oleh

molekul TAP (transporter of antigen peptide) dari sitoplasma ke lumen retikulum endoplasma.

Dari retikulum endoplasma peptide diikat oleh molekul MHC I dan selanjutnya melalui

kompleks Golgi dibawa kepermukaan membrane sel. Kombinasi peptide – MHC ini akan

berinteraksi dengan reseptor sel T (TCR) pada permukaan sel T CD8. Molekul CD8+

diekpresikan oleh sel T sitotoksik untuk mengenali MHC kelas I dan selanjutnya sel T sitotoksik

dapat membunuh sel yang terinfeksi virus (Playfair & Chain, 2009)

Penyajian peptide antigen melalui molekul MHC I ke molekul TCR pada permukaan sel

T CD8 dapat memicu respon imun seluler yang berfungsi untuk menghancurkan sel pembawa

antigen asing. Sel T CD8 menghancurkan sel pembawa antigen asing melalui apoptosis dengan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

menskresi mediator pemicu apoptosis seperti Fasl dan Granzyme B. Fasl menginduksi apoptosis

melalui jalur intrinsik dangan mengaktifkan reseptor. Sementara itu, granzyme B memicu

apoptosis dengan cara langsung mendegradasi protein dan DNA sel target dan secara tidak

langsung dengan mengaktifkan enzim kaspase yang berperan dalam apoptosis jalur intrinsik

maupun ekstrinsik.

Jalur kelas II ( Jalur Eksogen)

Setiap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang dapat memicu respon imun

termasuk antigen yang berasal dari luar sel (eksogen) seperti bakteri, parasit dan patogen eksrasel

lainnya. Respon imun terhadap agen eksogen diawali fagositosis atau endositosis. Setelah

difagosit, agen eksogen masuk ke dalam vesikula endositik, secara kolektif disebut endosom atau

fagosom. Pada kasus infeksi mikroba, endosom yang membawa mikroba berfusi dengan lisosom

untuk membentuk vesikula lebih besar yang disebut fagolisosom. Dalam fagolisosom, partikel

mikroba didegradasi oleh berbagai enzim yang terdapat dalam lisosom.

Proses fogositosis dan endositosis dimediasi oleh berbagai reseptor yang terdapat pada

permukaan sel fagosit. Sel makrofag dan sel dendrit membawa banyak reseptor pada

permukaannya seperti reseptor antibodi (FcR) dan reseptor komplemen yang dapat mengikat

komponen mikroba LPS (lipopolisakarida) yang memicu fagositosis mikroba oleh sel fagosit.

Selain itu, makrofag dan sel dendrite dapat secara aktif memfagosit pathogen dengan

mengaktifkan pseudopodianya. Endositosis oleh sel B diperantarai oleh reseptor sel B (BCR)

yang ada pada permukaan sel B. Proses fagositosis inilah yang membawa antigen ke dalam

endosom atau fagosom.

Setelah berada di dalam sel, antigen diolah dan dibelah secara proteolitik menjadi peptide

kecil-kecil. Pada sel APC seperti makrofag, sel dendrit dan sel B, fusi fagolisosom dengan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

endosom retikulum endoplasma memungkinkan peptide antigen berikatan dengan MHC II.

Proses eksositosis membawa MHC II dan peptide kepermukaan membran sel APC (antigen

presenting cell) untuk dipresentasikan ke sel T CD4+. APC yang memiliki aktivitas

konstimulator dan kadar MHC II tinggi dapat mengaktifkan sel Th (T Helper) naif menjadi sel

Th aktif yang berperan dalam system kekebaan tubuh. Sel APC berinteraksi dengan sel B dan

mengeluarkan IL1 menyebabkan sel B berproliferasi. Selanjutnya sel Th mengeluarkan IL2, IL4,

IL6 dan INFγ menyebabkan sel B berdiferensiasi menjadi sel pasma dan selanjutnya sel plasma

akan menghasilkan antibodi (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009).

2.4. Mikrostelit

Mikrosatelit merupakan runutan pendek sederhana (khususnya di-, tri- dan

tetranukleotida) yang berulang secara berurutan dalam genom eukariot (Hearne et al., 1992;

Avise, 1994). Mikrosatelit dikenal juga sebagai simple sequence repeats (SSRs) atau simple

tandem repeats (STRs). Polimorfisme alel mikrosatelit timbul sebagai akibat dari perbedaan

jumlah salinan motif (unit runutan). Polimorfisme ini sering dikenal sebagai simple sequence

length polymorphism (SSLPs) atau short tandem repeats polymorphism (STRPs) (Page and

Holmes, 1998).

Runutan pendek berulang diperkirakan timbul dari mutasi, pindah silang tidak sama

(unequal crossing-over), dan pergeseran DNA (DNA slippage)(Page and Holmes, 1998).

Perubahan yang terjadi pada satu runutan nukleotida mengakibatkan pergeseran pasangan basa

dan beberapa kesalahan pasangan basa. Kesalahan pasangan basa diperbaiki dengan cara

mengurangi atau menambah jumlah motif atau unit runutan. Hal ini menimbulkan polimorfisme

alel mikrostelit (Li et al., 1991).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Mikrosatelit ini telah diketahui sangat polimorfik pada suatu populasi, karena keragaman

jumlah nukleotida yang terulang (Litt and Luty, 1989). Penyebarannya sangat acak di dalam

genom (Yang et al., 1999), hal ini menyebabkan mikrosatelit sangat berguna untuk pemetaan

genom. Saat ini mikrosatelit merupakan petanda genetik yang banyak dipilih untuk keperluan

pemeriksaan molekuler. Beberapa pemeriksaan molekuler yang menggunakan mkrosatelit

diantaranya untuk analisis struktur populasi (Arora et al., 2004), memperkirakan keragaman

genetik dan inbreeding (Hedrick et al., 2001; Mateus et al., 2004), catatan silsilah (Talbot et al.,

1996; Liukart et al., 1999), dan identitas individu (Maudet et al., 2004).

Sampai sekarang, mikrosatelit digunakan untuk memetakan lokus gen yang berperan

mempengaruhi sifat produksi pada hewan (Hiendleder et al., 2003; Kühn et al., 2003) serta

merupakan prasarat untuk identifikasi kandidat gen yang bertanggung jawab terhadap sifat

tertentu. Marka mikrosatelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi variasi genetik pada setiap

lokus gen dan daerah kromosom yang mengandung QTL (quantitative trait loci) yang berperan

dalam ekspresi ciri penting bernilai ekonomi pada hewan ternak (Schrooten et al.,2000;

Tambasco et al.,2003; Erhardt and Weimann, 2007).

2.5 Peran Mikrosatelit dalam Identifikasi dan Kontrol Penyakit

Mikrosatelit merupakan marka genetik yang sangat kuat karena mirosatelit bersifat

kodominan, berlimpah di dalam genom, variasi multi alel, polimorfisme tinggi, dan dapat

digunakan untuk karakterisasi dan membedakan semua genotipe (Li et al., 2002). Studi

berkenaan dengan fungsi biologik mikrosatelit telah menyebabkan makin dipahaminya tentang

genom dan genomik (Subramanian et al., 2003). Mikrosatelit diasumsikan berperan di dalam

ekspresi, pengaturan dan fungsi gen (Gupta et al., 1994; Kashi et al.,1997) dan telah pula

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

diketahui bahwa mikrosatelit berikatan dengan protein inti dan berfungsi sebagai elemen yang

mengaktivasi transkripsi (Li et al.,2002).

Mikrosatelit telah dilaporkan berlokasi di daerah gen penyandi termasuk pada gen

pengkode protein (Morgante et al., 2002). Pengaruh mikrosatelit yang berlokasi pada gen

penyandi terhadap fenotip telah banyak dipelajari terutama pada manusia. Mikrosatelit

terdistribusi secara tidak acak pada daerah pengkode protein, UTRs(untranslated regions), dan

intron. Mikrosatelit yang berada pada daerah pengkode perotein dapat menyebabkan keuntungan

atau hilangnya fungsi gen melalui mutasi frameshift.Variasi urutan mikrosatelit pada 5’-UTRs

dapat mengatur ekspresi gen dengan mempengaruhi proses transkripsi dan translasi. Variasi

mikrosatelit di 3’-UTRs menyebabkan proses transkripsi tidak seperti diharapkan dan

menghasilkan pemanjangan mRNA, akibatnya dapat mengganggu splicing dan mungkin

mengganggu fungsi seluler lainnya.Variasi mikrosatelit pada intron dapat mempengaruhi

transkripsi gen, mRNA splicing (Gambar 4).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Gambar 4. Peran pengaturan mikrosatelit pada exon, 3’-UTRs, 5’-UTRs,

dan introns (Li et al.,2002).

Urutan DNA pada mikrosatelit banyak digunakan untuk pengembangan identifikasi dan

kontrol penyakit hewan (Berry et al.,2011). Kriegesmann et al. (1997) melakukan pemetaan gen

untuk penyakit genetik seperti BLAD(bovine leucocyte adhesion defisiency) pada sapi dan Fujii

et al. (1991) mempelajari variasi gen pada babi yang bertanggung jawab terhadap penyakit

maligne hyperthermia syndrome (MHS)

Mikrosatrelit telah diketahui sebagai marka yang berhubungan dengan QTL, kepekaan

terhadap penyakit seperti kepekaan babi terhadap E. Coli (Meijerink et al., 2000), kepekaan

domba terhadap cacing nematoda (Coltmanet al., 2001), kepekaan terhadap penyakit pada

unggas (Chatterjeeet al. 2010) dan Peelman (1999) telah mengidentifikasi mikrosatelit sebagai

alat diagnostik babi-babi yang resisten terhadap E. coli tipe K88. Mikrosatelit telah dipilih

sebagai marka yang berhubungan dengan beberapa penyakit pada ternak diantaranya marka yang

berlokasi pada MHC domba, marka INRA111 and INRA131 untuk mastitis pada sapi dan CP26

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

untuk tuberkulosis (Acevedo-Whitehouse et al., 2005). Petroli et al.(2014) menemukan bahwa

mikrosatelit yang berlokasi pada gen MHC domba berhubungan terhadap ketahanan penyakit

parasit gastointestinal.

Mikrosatelit adalah marka genetik yang banyak digunakan untuk pemetaan QTL untuk

sifat produksi dan fungsional pada ternak (Hiendleder et al., 2003; Kühn et al., 2003) dan

kedekatan hubungan sangat berguna sebagai marker assisted selection (MAS) untuk peningkatan

genetik ternak (Teneva et al.,2013).

2.6 Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)

Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit ngorok adalah penyakit hewan

yang bersifat akut, fatal dan pada dasarnya hanya menyerang hewan kerbau dan sapi (Durani et

al.,2013). Penyakit SE disebabkan oleh Pasteurella multocida. Bakteri Pasteurella multocida

adalah bakteri golongan gram negatif, bersifat non motil dan peka terhadap penicilin

(Karunasree,2016). Bakteri ini merupakan flora normal pada saluran pernafasan bagian atas

pada beberapa spesies hewan (Jesse et al.,2013). Kemampuan bakteri ini untuk masuk dan

berkembang pada host dipengaruhi oleh adanya kapsula. Kapsula adalah struktur polisakarida

(Lipopolysaccharida/LPS) yang merupakan salah satu faktor paling penting pada keganasan

bakteri ini (Furian et al.,2014).

Fungsi dari kapsula tersebut meliputi memberi pertahanan terhadap kekeringan,

aktivitas anti fagositik dan dapat berinteraksi dengan komplemen (Boyce et al., 2000). LPS

(lipopolysaccharida) merupakan antigen permukaan yang bertanggung jawab terhadap

patogenesis dari penyakit (Jal-eboori and Suhail, 2015). LPS juga dapat digunakan untuk

identifikasi strain bakteri tersebut. Identifikasi dari strain bakteri ini didasarkan pada 2 sistem

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

yaitu sistem Namioka dan sistem Hedleston. Sistem Namioka didasarkan pada test aglutinasi

sedangkan Hedleston berdasarkan gel presipitasi. Berdasarkan sistem Namioka, bakteri ini

dibagi menjadi 11 serotipe, sedangkan menurut sistem Hedleston bakteri ini dibagi menjadi 16

serotipe. Berdasarkan kapsulanya, bakteri ini dapat dibedakan menjadi 5 serogrup ( A, B, D,E

dan F). Masing-masing dari serogrup ini umumnya berhubungan dengan kekhususan hostnya

(Jabeen et al.,2013). Pada sapi, umumnya diinfeksi oleh serogrup B dan E (Karunasree,2016) .

Di Indonesia, penyakit ini sudah menyebar ke hampir seluruh propinsi. Morbiditas dan

mortalitas penyakit dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan interaksinya. Umur hewan, endemisitas

penyakit di daerah, paparan penyakit sebelumnya, kekebalan yang terbentuk sesudahnya, tingkat

kekebalan kelompok merupakan faktor-faktor penting. Kasus penyakit SE biasanya dilaporkan

sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami

peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan

gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan

kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Gejala penyakit timbul setelah masa

inkubasi 2 – 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan

suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi

hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan

tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara

berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Alwis, 1992).

Sapi penderita SE dapat disembuhkan, bila pada tahap awal dari masuknya bibit

penyakit. Umumnya, penyakit SE dapat disembuhkan dengan pemberian obat-obatan seperti

streptomisin dan oksitetrasiklin. Akan tetapi kejadian SE bersifat akut, maka sering terlambat

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

dalam penanganan. Karena itu cara terbaik dalam mengatasi kejadian penyakit SE adalah dengan

Vaksinasi (Karunasree,2016).

Bakteri yang masuk ke tubuh sapi akan menyebabkan terangsangnya dua garis

pertahanan tubuh yaitu humoral dan seluler. Faktor humoral yang berperan dalam garis

pertahanan ini adalah komplemen, antibodi, sedangkan yang berperan dalam garis seluler adalah

sel mononuklear dan neutropil melalui lepasan sitokin seperti faktor nekrosis, interleukin (IL)

antara lain IL1, IL6, IL8 dan PAF (platelets activating factor) (Al-Jeboori and Suhail, 2015).

Neutrofil yang telah teraktivasi akan mengekspresikan CD14, CD11, CD8 dan beberapa

komplemen. Hal ini menyebabkan sel ini mempunyai kemampuan mengenali dan

memfagositosis bakteri yang masuk (Pulendran et al., 2001). Mediator peradangan yang

disekresikan oleh berbagai populasi sel akan mengaktivasi limfosit B dan T. Pada gilirannya, itu

melepaskan IL2 dan IFNγ serta granulosit dan koloni makrofag stimulating factor (GM - CSF).

IL-2 memainkan peran utama dalam aktivasi respon imun humoral dan merangsang berbagai sel-

sel kekebalan. IL-2 merupakan pengatur utama reaktivasi sel T. Peran utama dari IL-2 adalah

untuk mengaktivasi populasi sel T (Smith, 1988). IL-2 juga berperan dalam merangsang

aktivitas sitotoksik CD8 dari limfosit T dan sel NK, proliferasi dan produksi immunoglobulin

oleh limfosit B (Moreau et al.,1995)

2.7 Immunoglobulin

Immunoglobulin (Ig) atau antibodi merupakan molekul penting yang terdapat pada

plasma (serum) yang dapat merespon secara khusus antigen yang merangsang produksinya.

Molekul immunoglobulin merupakan molekul heterotetramer yang mengandung empat rantai

polipetida yang terdiri atas dua rantai panjang dinamakan rantai berat (H),dan dua rantai yang

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

pendek dinamakan ringan (L) (Sun et al.,2013). Kedua rantai tersebut tersusun secara simetris

dan saling berhubungan satu sama lainnya melalui ikatan disulfida (Interchain Disulfide Bonds).

Analisa asam amino menunjukkan bahwa terminal-N dari rantai L maupun rantai-H

secara fungsional mengandung struktur yang disebut Variabel (V) dan struktur Constan (C).

Struktur C pada kedua rantai berat menentukan aktivitas biologis dari antibodi tersebut. Selain

itu, bagian Fc juga meningkatkan aktivitas berbagai respons imun terhadap antigen setelah

antibodi berikatan dengan antigen, misalnya kemampuan komplemen untuk berikatan dan

menghancurkan agen penyakit sangat meningkat setelah diikat oleh antibodi. Kemampuan

fagositosis sel makrofag juga sangat meningkat setelah agen infeksi diikat oleh antibodi. Dalam

kaitan ini antibodi bertindak sebagai opsonin yang berfunsgi untuk mengikat pathogen dan

membawanya ke permukaan sel makrofag melalui reseptor antibodi (FcR) pada permukaan sel

makrofag. Selain itu, ikatan antibodi dengan pathogen juga dapat menyebabkan degranulasi yang

berperan dalam mengatasi pathogen besar seperti parasit. Fungsi biologis dari bagian Fc pada

berbagai jenis imunoglobulin berbeda tergantung dari struktur primer molekul dan mungkin

memerlukan ikatan dengan antigen sebelum fungsi menjadi aktif.

2.7.1 Klasifikasi Immunoglobulin

Klasifikasi immunoglobulin berdasarkan klas rantai berat.Tiap klas mempunyai berat

molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Ada lima jenis utama dari antibodi:

immunoglobulin A (IgA), immunoglobulin G (IgG), immunoglobulin M (IgM), immunoglobulin

E (IgE) dan immunglobulin D (IgD).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

2.7.2 Immunoglobulin G (IgG)

IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000

dalton. Kadarnya dalam serum sekitar 13 mg/ml, merupakan 75% dari semua immunoglobulin.

IgG ditemukan dalam berbagai cairan, antara lain cairan serebrospinal (CSF), darah, peritoneal,

dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta masuk ke fetus dan berperan pada imunitas anakan

sampai beberapa bulan.

IgG selalu tersedia untuk membantu menangkal infeksi dan juga siap untuk mereproduksi

dan menyerang ketika zat-zat asing memasuki tubuh. Kehadiran IgG dalam serum darah

biasanya mengindikasi infeksi baru atau remote. IgG paling umum sekitar 3 minggu setelah

infeksi dimulai. IgG dibagi menjadi empat subklas yang berbeda dari IgG1 sampai IgG4. Setiap

klas IgG mempunyai peran yang berbeda dalam proteksi terhadap beberapa agen infeksi.

IgG dan komplemen bekerja saling membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.

IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena sel-sel fagosit, monosit dan makrofag

mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG sehingga dapat mempererat hubungan antara

fagosit dengan sel sasaran. Opsonin dalam bahasa Yunani berarti menyiapkan untuk dimakan.

Selanjutnya proses opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor untuk komplemen pada permukaan

fagosit.

IgG juga berperanan pada imunitas seluler karena dapat merusak antigen seluler melalui

interaksi dengan sistem komplemen atau melalui efek sitolitik Killer cell (sel K), eosinofil,

neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor untuk Fc dari IgG. Sel K merupakan efektor dan

Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal,

tetapi juga mikroorganisme multiseluler seperti telur skistosoma. Peranan efektor ADCC ini

penting pada penghancuran kanker, penolakan transplan dan penyakit autoimun, sedangkan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

ADCC melalui neutrofil dan eosinofil, berperan pada infestasi parasit. Kadar IgG meninggi pada

infeksi kronis dan penyakit autoimun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009)

2.7.3 Immunoglobulin A (IgA)

Immunoglobulin A adalah immunoglobulin utama dalam cairan sekresi, misalnya pada

susu, air liur, air mata dan dalam sekresi pernapasan, saluran genital serta saluran pencernaan

atau usus. IgA diproduksi dalam jumlah besar oleh sel plasma dalam jaringan limfoid yang

terdapat sepanjangsaluran cerna, saluran nafas dan saluran urogenital (Kresno, 2010).

Immunoglobulin ini melindungi selaput mukosa dari serangan bakteri dan virus. Ditemukan pula

sinergisme antara IgA dengan lisozim dan komplemen untuk mematikan kuman koliform. Juga

kemampuan IgA melekat pada sel polimorf dan kemudian melancarkan reaksi komplemen

melalui jalan metabolisme alternatif.

Tiap molekul IgA sekretorik berbobot molekul 400.000 terdiri atas dua unit polipeptida

dan satu molekul rantai-J serta komponen sekretorik. Sekurang-kurangnya dalam serum terdapat

dua subkelas IgA1 dan IgA2. Terdapat dalam serum terutama sebagai monomer 7S tetapi

cenderung membentuk polimer dengan perantaraan polipeptida yang disintesis oleh sel epitel

untuk memungkinkan IgA melewati permukaan epitel, disebut rantai-J. Pada sekresi ini IgA

ditemukan dalam bentuk dimer yang tahan terhadap proteolisis berkat kombinasi dengan suatu

protein khusus, disebut Secretory Component yang disintesa oleh sel epitel lokal dan juga

diproduksi secara lokal oleh sel plasma.

2.7.4 Immunoglobulin M (IgM)

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

Immunoglobulin M (IgM) adalah antibodi pertama yang dibentuk dalam respons imun.

Nama M berasal dari makroglobulin dengan berat molekul 900.000 dalton. IgM mempunyai

rumus bangun pentamer dan merupakan immunoglobulin terbesar. Molekul-molekul tersebut

diikat oleh rantai J (joining chain) seperti halnya pada IgA pada fraksi Fc.

Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannnya sebagai reseptor antigen dan

dikenal sebagai reseptor sel B atau BCR (B cell receptor). Molekul BCR yang terdapat pada

permukaan sel B biasanya dalam bentuk IgM monomer. Pada respon imun primer, IgM

monomer dilepaskan oleh sel plasma dan membentuk struktur pentamer. Karena itu, sebagai

respon terhadap adanya infeksi atau imunisasi, IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun

primer dibanding dengan IgG, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya

infeksi dini, akan tetapi respon IgM umumnya pendek yaitu hanya beberapa hari dan selanjutnya

menurun. IgM terutama terdapat intravaskuler dan merupakan 10% dari imunoglobulin total

dalam serum (Kresno,2010).

Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofil

adalah IgM. IgM dapat mencegah infeksi melalui berbagaai cara seperti menghambat gerakan

mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan mengagglutinasi secara kuat partikel

patogen, serta mengaktifkan komplemen. Dalam menghambat gerakan pathogen, IgM berikatan

dengan komponen pathogen yang berperan dalam motilitas mikroba pathogen seperti silia dan

flagella. Sementara itu, IgM juga merupakan opsonin yang kuat daam proses fagositosis agen

penyakit oleh sel fagositosis. IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengaktifkan

komplemen dengan kuat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

2.7.5 Immunoglobulin E (IgE)

Di dalam serum, IgE ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah. Namun, kadarnya

dalam serum dapat meningkat pada keadaan alergi atau infeksi parasit. Setelah disintesis dan

disekresi oleh sel plasma, IgE umumnya berada dalam bentuk terikat dengan reseptornya pada

permukaan sel mast dan basofil. Bila sel pembawa molekul IgE seperti sel mast dan basofil

terpapar secara berulang dan terbentuk ikatan silang antar molekul IgE oleh alergen, sel tersebut

mengalami degranulasi dan mengeluarkan mediator reaksi hipersensitifitas yang sangat poten.

Keadaan inilah yang memicu reaksi alergi dan syok anafilaksis yang ditandai dengan kemerahan

dan gatal pada kulit serta pelebaran pembuluh darah yang dapat memicu syok anafilaksis.

2.7.6 Immunoglobulin D (IgD)

Antibodi ini fungsi keseluruhannya belum diketahui secara jelas. Dalam serum IgD

ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. IgD dapat dijumpai pada permukaan sel B. Telah

dibuktikan pula bahwa IgD dapat bertindak sebagai reseptor antigen apabila berada pada

permukaan limfosit B tertentu dalam darah tali pusat dan mungkin merupakan reseptor pertama

dalam permulaan kehidupan sebelum diambil alih fungsinya IgM dan Imunoglobulin lainnya,

setelah sel tubuh berdiferensiasi lebih jauh.