Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali
Di antara berbagai jenis sapi yang ada di Indonesia, sapi bali merupakan salah satu sapi
asli Indonesia yang cukup penting dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Populasi sapi
bali di Indonesia pernah dicatat dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 1988, pencatatan jumlah sapi
bali setelah itu tidak pernah dilakukan lagi, sehingga jumlahnya saat ini tidak diketahui dengan
pasti. Pada tahun 1988 jumlah sapi bali tercatat 2.632.125 ekor yang berarti sekitar 26,9% dari
total sapi potong di Indonesia. Dibandingkan dengan sapi asli atau sapi lokal lainnya di
Indonesia (sapi Ongole, PO, dan Madura), persentase sapi bali adalah yang tertinggi. Penyebaran
sapi bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. Empat propinsi yang memiliki
jumlah sapi bali terbesar di Indonesia adalah Propinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat
(NTB), Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data statistik peternakan, populasi
sapi bali di Provinsi Bali sebanyak 553.582 ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tahun 2016)
Mengingat jumlahnya yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas maka sapi
Bali merupakan jenis ternak sapi yang cukup penting dalam penyediaan daging nasional. Pada
tahun 2016, produksi daging nasional dari ternak sapi mencapai 524.109 ton dan menempati
peringkat kedua setelah produksi daging ayam potong (Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2016).
Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan
kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan
yang dimiliki sapi bali. Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya
adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik seperti dapat memanfaatkan pakan
dengan kualitas rendah.
Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai kemampuan
produksi sapi bali. Kemampuan produksi sapi bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat
produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat
karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), dan sebagainya, maupun sifat reproduksi seperti
dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval), persentase beranak, dan
sebagainya. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis
yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi.
Sebagai sapi asli Indonesia, sapi bali diharapkan menjadi hewan primadona dalam
menyediakan kebutuhan daging selain ternak import karena prosentase karkasnya cukup tinggi
namun demikian sapi bali ternyata memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa
jenis penyakit. Beberapa penyakit telah dilaporkan menyerang sapi bali. Sapi bali sangat peka
terhadap penyakit Jembrana atau Ramadewa, Malignant Catarrhal Fever (MCF) dan Septicemia
Epizootica (SE). Karena itu, menjadi sangat penting untuk mencegah penyakit tersebut pada sapi
bali. Beberapa penyakit dapat dicegah dengan sistem pemeliharaan yang baik, namun tidak dapat
mengatasi keseluruhan penyakit. Bertambahnya mikroorganisme patogen yang tahan antibiotika
menyebabkan banyak perhatian pada penelitian mengenai metode kontrol penyakit. Pemahaman
mengenai mekanisme genetik ketahanan tubuh dari penyakit sangat membantu dalam hal
penanganan penyakit infeksi melalui penyediaan informasi mengenai pengembangan vaksin
serta seleksi ternak tahan penyakit.
2.2 Kajian Genetik Ketahanan Terhadap Penyakit
Kesehatan hewan menjadi isu yang sangat penting pada pengembangan peternakan.
Penyakit ternak dapat menyebabkan kesakitan dan kematian ternak dan secara signifikan
menyebabkan kerugian secara ekonomi. Semakin berkembangnya penyakit pada ternak,
pembatasan penggunaan antibiotika serta tingginya biaya produksi obat-obatan baru
menyebabkan lebih sulitnya penanganan kesehatan ternak (Woolhouse,2002).
Solusi terbaru sekarang ini adalah terfokus pada faktor gen yang berhubungan dengan
respon imun. Akan tetapi, seleksi petanda dan gen penyebab ketahanan terhadap penyakit dan
respon vaksinasi tidaklah sederhana (Leach et al.,2010). Sangat sulit untuk menentukan kenapa
satu kelompok ternak menjadi sakit, sementara itu kelompok lainnya masih tetap sehat.
Secara genetik, sistem imun merupakan sistem pengatur dengan sifat unik yaitu
mendeteksi dan mengontrol agen infeksi serta mempunyai kemampuan merespon perubahan
lingkungan (Woolhouse,2002).Tubuh ternak mempunyai tiga pertahanan dalam melawan infeksi
yaitu secara alami, bawaan, dan didapat. Dalam menjaga kesehatan ketiganya harus berfungsi.
Kekebalan alami adalah penghalang pertama dari serangan penyakit. Komponen utama
dalam kekebalan alami ini adalah kulit, rambut, selaput lendir,
sekresi tubuh seperti air mata, urine, air liur serta sekresi kulit. Disamping itu, perilaku ternak
seperti menjilat bagian tubuh serta mengibaskan ekor merupakan cara pertahanan tubuh dari
serangan patogen.
Kekebalan bawaan dan didapat merupakan kompleks sel dan jaringan yang berinteraksi
yang berperan dalam mengatasi serangan patogen atau terkait antigen. Kekebalan bawaan
merupakan kekebalan yang dibawa sejak lahir dan umumnya melibatkan peran sel darah putih,
protein komplemen, dan sitokin (Playfair and Chain, 2009).
Pada usaha peternakan, peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan memperbaiki
respon terhadap vaksinasi akan menurunkan biaya serta memperbaiki kesejahteraan hewan. Cara
dalam hal memperbaiki sistem imun adalah dengan mempelajari gen serta mekanismenya dalam
merespon patogen dan vaksinasi. Akan tetapi, dasar-dasar genetik hubungan kepekaan host atau
ketahanan tubuh terhadap penyakit sangat kompleks dan mungkin menyangkut banyak gen.
Peningkatan kesehatan hewan melalui seleksi genetik mempunyai keuntungan, karena
peningkatan mutu genetik bersifat kumulatif dan permanen untuk beberapa generasi (Berry et
al.,2011).
Pada sapi telah banyak dilakukan studi immunogenetik berkaitan dengan hubungan gen
dengan ketahanan tubuh. Sistem imun terdiri atas molekul dan sel yang terintegrasi dan secara
genetik bertanggung jawab terhadap kontrol rangsangan baik dari luar tubuh maupun dari dalam
tubuh termasuk didalamnya mikroorganisme.
Kemajuan di bidang teknologi yang terkenal dengan genomik, memiliki potensi yang
besar untuk mengatasi atau setidaknya meminimalkan kerugian evaluasi genetik secara
tradisional. Kemajuan tersebut telah diaplikasikan di dalam pemuliaan hewan. Penggunaan
penanda seleksi untuk penyaringan berdasarkan asosiasi dengan sifat kuantitatif yang
berhubungan dengan kesehatan hewan telah berhasil dilakukan (Dekker,2004)
2.3 Major Histokompatibility Compleks (MHC).
MHC adalah sekelompok gen yang menentukan kompatibilitas jaringan atau komponen
lainnya bagi tubuh. Gen ini menjadi protein MHC yang pada manusia disebut HLA (Human
leucocyte antigens) terletak pada kromosom 6 (3500 kb), Sapi (bovine leucocyte antigen/BoLA),
terletak pada kromosom 23, pada mencit kromosom 17 dan pada tikus kromosom 20. Fungi
utama dari MHC adalah mengenali suatu protein atau antigen lainnya yang asing bagi tubuh
(kompatibilitas jaringan). Makin asing antigen bagi tubuh makin kuat diikat oleh molekul MHC
begitu juga sebaliknya.
MHC merupakan bagian yang fundamental dari sistem pertahanan tubuh pada hampir
semua vertebrata. MHC merupakan sistem genetik paling penting untuk ketahanan terhadap
penyakit pada veterbrata. Karena itu, pemahaman mengenai struktur, fungsi dan keragaman dari
sistem ini sangat penting untuk mengetahui respon imun pada vertebrata (Behl et al.,2012).
Berikut struktur gen dan molekul MHC pada manusia (HLA) dan tikus (H2).
Gambar 1.Gen dan molekul MHC (Playfair& Chain, 2009)
Pada sapi, daerah genom pada kromosom no. 23 terdapat lokus gen yang mirip dengan
MHC pada manusia, yang menempati daerah sepanjang 4000 kb dan mengandung lebih dari 154
gen yang keterkaitan sangat dekat (tightly linked genes) (Elsik et al., 2009). Lokus gen tersebut
secara kolektif dinamai dengan bovine leukocyte antigen (BoLA). Lokus gen tersebut sangat
menarik dan menjadi perhatian peneliti karena tingginya keragaman serta terdapatnya duplikasi
gen pada lokus tersebut. Bastos-Silveira et al.(2008) melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan pada keragaman alel pada lokus mikrosatelit region gen BoLA pada delapan jenis sapi
di Portugal. Perbedaan ini dihubungkan dengan posisinya pada kromosom. Gen pada
BoLAmenjadi sangat menarik terutama ahli genetika veteriner karena hubungannya dengan
ketahanan dan kepekaan terhadap penyakit (Amills et al.,1998). BoLA merupakan kelompok
besar gen yang sangat erat hubungannya dengan peran penting pada sistem ketahanan tubuh.
Hasil ekspresi gen tersebut adalah merangsang dan mengatur respon imun (Mosafer et al.,2012).
Gambar gen BoLA pada sapi diilustrasikan seperti pada gambar 2 berikut.
Gambar 2: Peta Genetik Major Histocompatibility Complex (MHC) pada Sapi (Amills et al.
1998).
Berdasarkan perannya, MHC dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu molekul kelas I,
kelas II, dan kelas III. Molekul kelas I terdiri dari rantai alpha dengan massa molekul sekitar
45 KDa (rantai berat) terkait noncovalen dengan β2- rantai microglobulin yaitu sekitar 12
KDa. Molekul kelas I disajikan dalam semua sel berinti, dan utama mereka berfungsi untuk
menyajikan peptide ke CD8 dan limfosit T. Molekul kelas II merupakan molekul glikoprotein
heterodimer yang dibentuk oleh hubungan nonkovalen dari rantai α dan β dan dikodekan oleh
gen yang berbeda dalam MHC (De et al., 2011). Molekul Kelas II disajikan pada antigen
presenting cell (APC), seperti sel-sel dendrite dan makrofag. Molekul kelas III terdiri atas
kelompok gen heterogenus yang perannya berkaitan dengan proses kekebalan dan fungsi lainnya
seperti komplemen dan tumor necrosis faktor (TNF).
Pada sapi, gen BoLA klas I mengandung kira-kira 10 sampai 20 gen, tapi bisa juga
bervariasi antara haplotipe (Holmes et al., 2003). Diantara gen tersebut, hanya ada 6 gen yang
sifatnya fungsional dan sisanya diperkirakan sebagai pseudogen (Ellis, 2004). Gen pada klas I
tersebut bersifat polimorfik dan sejumlah haplotipe menunjukkan hubungan dengan respon imun.
Pada sapi, organisasi gen BoLA klas I lebih rumit dan kurang dipahami dibanding dengan gen
BoLA klas II. BoLA klas I terdiri atas lokus A,B, dan C yang masing-masing menyandi rantai α.
Molekul BoLA klas I merupakan molekul intraseluler yang berikatan dengan molekul CD8 dari
limfosit T dan berinteraksi dengan sel NK. BoLA klas I tersebut berlokasi pada kluster gen BTA
23 band 22 (Mosafer et al., 2012).
Peran utama molekul klas I adalah menyajikan peptide yang terikat pada CD8 dari
limfosit T. Peptida yang disajikan diperoleh dari sitosol sel. Peptide tersebut bisa berasal dari
protein sendiri (self) atau protein dari patogen intraseluler seperti virus, bakeri dan protozoa.
Gen BoLA klas II telah dapat dikarakterisasi menggunakan teknik serologi, kloning
heterologus, probe homologus klas II, RFLP, PCR-RFLP dan sekuensing. Gen BoLa Klas II
dibagi menjadi dua daerah yaitu regio IIa dan IIb. Regio klas IIa terdiri atas gen DR dan DQ.
Pada sapi terdapat 1 lokus DRA, 3 lokus DRB, 5 lokus DQA dan 5 lokus DQB (Ripoli et al.,
2003). Gen DRB adalah satu-satunya gen yang bersifat fungsional. Gen DRB terdiri atas DRB1,
DRB2 dan DRB3 (Wuet al.,2010). Diantara gen tersebut gen DRB3 merupakan gen yang paling
polimorfik diantara gen BoLA (Baxter et al.,2008). Pada regio klas II b terdapat gen DOB, DYA,
DYB dan gen DIB. BoLA Klas II regio IIA terutama gen DQ dan DR berlokasi pada kluster gen
BTA 23 band 22 sedangkan lokus klas II lainnya (DIB, DNA, DOB, DYA, DYB) berlokasi pada
kluster gen dekat dengan sentromer BTA 23 band 12-13 (Mosafer et al., 2012).
Gen DRA mengkode rantai alfa daripada molekul DR. Pada awalnya, BoLA DRA
dianggap sebagai gen monomorfik. Namun belakangan dilaporkan bahwa BoLA DRA
mempunyai alel bervariasi. Zhou et al.(2007) melaporkan bahwa gen BoLA DRA pada sapi
mempunyai variasi alel terutama pada exon II. Berlainan dengan di atas, gen yang mengkode
rantai b dari gen BoLA DR, sangat polimorfik. Polimorfisme tersebut utamanya terdapat pada
exon II.Gen DRB3 berlokasi di dalam MHC pada kromosom 23. Gen tersebut mengandung 6
exon dengan exon kedua berperan mengkode secara fungsional PBC (peptide binding cleft) atau
celah ikatan peptide.
Molekul klasik MHC I dan II mengandung lokasi ikatan peptida di ujung distal molekul
dari membran, terbentuk dari dua protein heliks α, berada diatas lapisan β yang berlipat. Lokasi
ikatan atau sering disebut lekukan dapat memuat peptide dengan panjang 9-10 asam amino,
walaupun pada molekul MHC kelas II, ujung lekukan tetap terbuka sehingga memungkinkan
peptide yang lebih panjang dapat memanjang keluar disetiap ujungnya. Berbagai ragam peptide
dapat diikat dengan kuat, oleh interaksi antara residu simpanan dalam molekul MHC dengan
rangka (tulang punggung) asam amino dari peptide antigen. Akan tetapi, untuk menampung
rantai samping asam amino yang lebih besar, dasar lekukan mengandung sejumlah kantong.
Ukuran dan posisi kantong tersebutlah yang membatasi jumlah peptide yang dapat ditampung
sehingga respon imun dipusatkan hanya pada beberapa epitop terbatas (Playfair dan Chain,
2009).
Peptide asing yang berikatan dengan MHC dan akan dikenali oleh reseptor sel T.
Keterlibatan MHC dalam menyajikan antigen kepada sel Tdikenal dengan istilah “Retriksi
MHC”. Peran sistem MHC dalam menyajikan antigen kepermukaan membran sel agar dikenali
oleh sel T dapat dibagi menjadi dua jalur seperti gambar 3 berikut.
Gambar 3. Pengolahan dan Penyajian Antigen oleh MHC. (Plyfair &Chain 2009)
CD8+
T cells CD4
+
T cells
Jalur kelas I (Jalur Endogen)
Saat disintesis dalam sel, protein virus ditemukan dalam sitoplasma bersama-sama
protein yang berasal dari sel itu sendiri (self). Protein dalam sel yang keberadaanya tidak lagi
diperlukan oleh sel, dihancurkan oleh kesatuan enzim yang disebut proteosom. Proteosom
mengandung enzim proteolitik silindris yang mencerna protein menjadi peptide pendek. Peptide
pendek tersebut dapat berasal dari antigen asing maupun antigen dalam tubuh sendiri. Peptide
pendek yang berasal dari antigen asing dan mampu merangsang respon imun disebut peptide
antigenik. Semantara itu, molekul MHC yang berfungsi untuk mengikat peptide pendek
disintesis dalam ribosom yang banyak ditemukan pada retikulum endoplasma kasar.
Dalam sintesis molekul MHC, gen penyandi MHC ditranskripsi dari gen penyandinya
dalam inti sel. Trasnskrip berupa mRNA kemudian diangkut dari inti sel ke ribosom yang
terdapat pada retikulum endoplasma kasar. Retikulum endoplasma kasar MHC I disintesis
sebagai molekul rantai 1, 2 dan 3 serta mikroglobulin β2.dan dikemas dalam endosom
retikulum endoplasma. Peptide yang merupakan hasil degradasi dalam proteosom diangkut oleh
molekul TAP (transporter of antigen peptide) dari sitoplasma ke lumen retikulum endoplasma.
Dari retikulum endoplasma peptide diikat oleh molekul MHC I dan selanjutnya melalui
kompleks Golgi dibawa kepermukaan membrane sel. Kombinasi peptide – MHC ini akan
berinteraksi dengan reseptor sel T (TCR) pada permukaan sel T CD8. Molekul CD8+
diekpresikan oleh sel T sitotoksik untuk mengenali MHC kelas I dan selanjutnya sel T sitotoksik
dapat membunuh sel yang terinfeksi virus (Playfair & Chain, 2009)
Penyajian peptide antigen melalui molekul MHC I ke molekul TCR pada permukaan sel
T CD8 dapat memicu respon imun seluler yang berfungsi untuk menghancurkan sel pembawa
antigen asing. Sel T CD8 menghancurkan sel pembawa antigen asing melalui apoptosis dengan
menskresi mediator pemicu apoptosis seperti Fasl dan Granzyme B. Fasl menginduksi apoptosis
melalui jalur intrinsik dangan mengaktifkan reseptor. Sementara itu, granzyme B memicu
apoptosis dengan cara langsung mendegradasi protein dan DNA sel target dan secara tidak
langsung dengan mengaktifkan enzim kaspase yang berperan dalam apoptosis jalur intrinsik
maupun ekstrinsik.
Jalur kelas II ( Jalur Eksogen)
Setiap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang dapat memicu respon imun
termasuk antigen yang berasal dari luar sel (eksogen) seperti bakteri, parasit dan patogen eksrasel
lainnya. Respon imun terhadap agen eksogen diawali fagositosis atau endositosis. Setelah
difagosit, agen eksogen masuk ke dalam vesikula endositik, secara kolektif disebut endosom atau
fagosom. Pada kasus infeksi mikroba, endosom yang membawa mikroba berfusi dengan lisosom
untuk membentuk vesikula lebih besar yang disebut fagolisosom. Dalam fagolisosom, partikel
mikroba didegradasi oleh berbagai enzim yang terdapat dalam lisosom.
Proses fogositosis dan endositosis dimediasi oleh berbagai reseptor yang terdapat pada
permukaan sel fagosit. Sel makrofag dan sel dendrit membawa banyak reseptor pada
permukaannya seperti reseptor antibodi (FcR) dan reseptor komplemen yang dapat mengikat
komponen mikroba LPS (lipopolisakarida) yang memicu fagositosis mikroba oleh sel fagosit.
Selain itu, makrofag dan sel dendrite dapat secara aktif memfagosit pathogen dengan
mengaktifkan pseudopodianya. Endositosis oleh sel B diperantarai oleh reseptor sel B (BCR)
yang ada pada permukaan sel B. Proses fagositosis inilah yang membawa antigen ke dalam
endosom atau fagosom.
Setelah berada di dalam sel, antigen diolah dan dibelah secara proteolitik menjadi peptide
kecil-kecil. Pada sel APC seperti makrofag, sel dendrit dan sel B, fusi fagolisosom dengan
endosom retikulum endoplasma memungkinkan peptide antigen berikatan dengan MHC II.
Proses eksositosis membawa MHC II dan peptide kepermukaan membran sel APC (antigen
presenting cell) untuk dipresentasikan ke sel T CD4+. APC yang memiliki aktivitas
konstimulator dan kadar MHC II tinggi dapat mengaktifkan sel Th (T Helper) naif menjadi sel
Th aktif yang berperan dalam system kekebaan tubuh. Sel APC berinteraksi dengan sel B dan
mengeluarkan IL1 menyebabkan sel B berproliferasi. Selanjutnya sel Th mengeluarkan IL2, IL4,
IL6 dan INFγ menyebabkan sel B berdiferensiasi menjadi sel pasma dan selanjutnya sel plasma
akan menghasilkan antibodi (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009).
2.4. Mikrostelit
Mikrosatelit merupakan runutan pendek sederhana (khususnya di-, tri- dan
tetranukleotida) yang berulang secara berurutan dalam genom eukariot (Hearne et al., 1992;
Avise, 1994). Mikrosatelit dikenal juga sebagai simple sequence repeats (SSRs) atau simple
tandem repeats (STRs). Polimorfisme alel mikrosatelit timbul sebagai akibat dari perbedaan
jumlah salinan motif (unit runutan). Polimorfisme ini sering dikenal sebagai simple sequence
length polymorphism (SSLPs) atau short tandem repeats polymorphism (STRPs) (Page and
Holmes, 1998).
Runutan pendek berulang diperkirakan timbul dari mutasi, pindah silang tidak sama
(unequal crossing-over), dan pergeseran DNA (DNA slippage)(Page and Holmes, 1998).
Perubahan yang terjadi pada satu runutan nukleotida mengakibatkan pergeseran pasangan basa
dan beberapa kesalahan pasangan basa. Kesalahan pasangan basa diperbaiki dengan cara
mengurangi atau menambah jumlah motif atau unit runutan. Hal ini menimbulkan polimorfisme
alel mikrostelit (Li et al., 1991).
Mikrosatelit ini telah diketahui sangat polimorfik pada suatu populasi, karena keragaman
jumlah nukleotida yang terulang (Litt and Luty, 1989). Penyebarannya sangat acak di dalam
genom (Yang et al., 1999), hal ini menyebabkan mikrosatelit sangat berguna untuk pemetaan
genom. Saat ini mikrosatelit merupakan petanda genetik yang banyak dipilih untuk keperluan
pemeriksaan molekuler. Beberapa pemeriksaan molekuler yang menggunakan mkrosatelit
diantaranya untuk analisis struktur populasi (Arora et al., 2004), memperkirakan keragaman
genetik dan inbreeding (Hedrick et al., 2001; Mateus et al., 2004), catatan silsilah (Talbot et al.,
1996; Liukart et al., 1999), dan identitas individu (Maudet et al., 2004).
Sampai sekarang, mikrosatelit digunakan untuk memetakan lokus gen yang berperan
mempengaruhi sifat produksi pada hewan (Hiendleder et al., 2003; Kühn et al., 2003) serta
merupakan prasarat untuk identifikasi kandidat gen yang bertanggung jawab terhadap sifat
tertentu. Marka mikrosatelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi variasi genetik pada setiap
lokus gen dan daerah kromosom yang mengandung QTL (quantitative trait loci) yang berperan
dalam ekspresi ciri penting bernilai ekonomi pada hewan ternak (Schrooten et al.,2000;
Tambasco et al.,2003; Erhardt and Weimann, 2007).
2.5 Peran Mikrosatelit dalam Identifikasi dan Kontrol Penyakit
Mikrosatelit merupakan marka genetik yang sangat kuat karena mirosatelit bersifat
kodominan, berlimpah di dalam genom, variasi multi alel, polimorfisme tinggi, dan dapat
digunakan untuk karakterisasi dan membedakan semua genotipe (Li et al., 2002). Studi
berkenaan dengan fungsi biologik mikrosatelit telah menyebabkan makin dipahaminya tentang
genom dan genomik (Subramanian et al., 2003). Mikrosatelit diasumsikan berperan di dalam
ekspresi, pengaturan dan fungsi gen (Gupta et al., 1994; Kashi et al.,1997) dan telah pula
diketahui bahwa mikrosatelit berikatan dengan protein inti dan berfungsi sebagai elemen yang
mengaktivasi transkripsi (Li et al.,2002).
Mikrosatelit telah dilaporkan berlokasi di daerah gen penyandi termasuk pada gen
pengkode protein (Morgante et al., 2002). Pengaruh mikrosatelit yang berlokasi pada gen
penyandi terhadap fenotip telah banyak dipelajari terutama pada manusia. Mikrosatelit
terdistribusi secara tidak acak pada daerah pengkode protein, UTRs(untranslated regions), dan
intron. Mikrosatelit yang berada pada daerah pengkode perotein dapat menyebabkan keuntungan
atau hilangnya fungsi gen melalui mutasi frameshift.Variasi urutan mikrosatelit pada 5’-UTRs
dapat mengatur ekspresi gen dengan mempengaruhi proses transkripsi dan translasi. Variasi
mikrosatelit di 3’-UTRs menyebabkan proses transkripsi tidak seperti diharapkan dan
menghasilkan pemanjangan mRNA, akibatnya dapat mengganggu splicing dan mungkin
mengganggu fungsi seluler lainnya.Variasi mikrosatelit pada intron dapat mempengaruhi
transkripsi gen, mRNA splicing (Gambar 4).
Gambar 4. Peran pengaturan mikrosatelit pada exon, 3’-UTRs, 5’-UTRs,
dan introns (Li et al.,2002).
Urutan DNA pada mikrosatelit banyak digunakan untuk pengembangan identifikasi dan
kontrol penyakit hewan (Berry et al.,2011). Kriegesmann et al. (1997) melakukan pemetaan gen
untuk penyakit genetik seperti BLAD(bovine leucocyte adhesion defisiency) pada sapi dan Fujii
et al. (1991) mempelajari variasi gen pada babi yang bertanggung jawab terhadap penyakit
maligne hyperthermia syndrome (MHS)
Mikrosatrelit telah diketahui sebagai marka yang berhubungan dengan QTL, kepekaan
terhadap penyakit seperti kepekaan babi terhadap E. Coli (Meijerink et al., 2000), kepekaan
domba terhadap cacing nematoda (Coltmanet al., 2001), kepekaan terhadap penyakit pada
unggas (Chatterjeeet al. 2010) dan Peelman (1999) telah mengidentifikasi mikrosatelit sebagai
alat diagnostik babi-babi yang resisten terhadap E. coli tipe K88. Mikrosatelit telah dipilih
sebagai marka yang berhubungan dengan beberapa penyakit pada ternak diantaranya marka yang
berlokasi pada MHC domba, marka INRA111 and INRA131 untuk mastitis pada sapi dan CP26
untuk tuberkulosis (Acevedo-Whitehouse et al., 2005). Petroli et al.(2014) menemukan bahwa
mikrosatelit yang berlokasi pada gen MHC domba berhubungan terhadap ketahanan penyakit
parasit gastointestinal.
Mikrosatelit adalah marka genetik yang banyak digunakan untuk pemetaan QTL untuk
sifat produksi dan fungsional pada ternak (Hiendleder et al., 2003; Kühn et al., 2003) dan
kedekatan hubungan sangat berguna sebagai marker assisted selection (MAS) untuk peningkatan
genetik ternak (Teneva et al.,2013).
2.6 Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)
Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit ngorok adalah penyakit hewan
yang bersifat akut, fatal dan pada dasarnya hanya menyerang hewan kerbau dan sapi (Durani et
al.,2013). Penyakit SE disebabkan oleh Pasteurella multocida. Bakteri Pasteurella multocida
adalah bakteri golongan gram negatif, bersifat non motil dan peka terhadap penicilin
(Karunasree,2016). Bakteri ini merupakan flora normal pada saluran pernafasan bagian atas
pada beberapa spesies hewan (Jesse et al.,2013). Kemampuan bakteri ini untuk masuk dan
berkembang pada host dipengaruhi oleh adanya kapsula. Kapsula adalah struktur polisakarida
(Lipopolysaccharida/LPS) yang merupakan salah satu faktor paling penting pada keganasan
bakteri ini (Furian et al.,2014).
Fungsi dari kapsula tersebut meliputi memberi pertahanan terhadap kekeringan,
aktivitas anti fagositik dan dapat berinteraksi dengan komplemen (Boyce et al., 2000). LPS
(lipopolysaccharida) merupakan antigen permukaan yang bertanggung jawab terhadap
patogenesis dari penyakit (Jal-eboori and Suhail, 2015). LPS juga dapat digunakan untuk
identifikasi strain bakteri tersebut. Identifikasi dari strain bakteri ini didasarkan pada 2 sistem
yaitu sistem Namioka dan sistem Hedleston. Sistem Namioka didasarkan pada test aglutinasi
sedangkan Hedleston berdasarkan gel presipitasi. Berdasarkan sistem Namioka, bakteri ini
dibagi menjadi 11 serotipe, sedangkan menurut sistem Hedleston bakteri ini dibagi menjadi 16
serotipe. Berdasarkan kapsulanya, bakteri ini dapat dibedakan menjadi 5 serogrup ( A, B, D,E
dan F). Masing-masing dari serogrup ini umumnya berhubungan dengan kekhususan hostnya
(Jabeen et al.,2013). Pada sapi, umumnya diinfeksi oleh serogrup B dan E (Karunasree,2016) .
Di Indonesia, penyakit ini sudah menyebar ke hampir seluruh propinsi. Morbiditas dan
mortalitas penyakit dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan interaksinya. Umur hewan, endemisitas
penyakit di daerah, paparan penyakit sebelumnya, kekebalan yang terbentuk sesudahnya, tingkat
kekebalan kelompok merupakan faktor-faktor penting. Kasus penyakit SE biasanya dilaporkan
sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami
peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan
gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan
kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Gejala penyakit timbul setelah masa
inkubasi 2 – 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan
suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi
hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan
tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara
berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Alwis, 1992).
Sapi penderita SE dapat disembuhkan, bila pada tahap awal dari masuknya bibit
penyakit. Umumnya, penyakit SE dapat disembuhkan dengan pemberian obat-obatan seperti
streptomisin dan oksitetrasiklin. Akan tetapi kejadian SE bersifat akut, maka sering terlambat
dalam penanganan. Karena itu cara terbaik dalam mengatasi kejadian penyakit SE adalah dengan
Vaksinasi (Karunasree,2016).
Bakteri yang masuk ke tubuh sapi akan menyebabkan terangsangnya dua garis
pertahanan tubuh yaitu humoral dan seluler. Faktor humoral yang berperan dalam garis
pertahanan ini adalah komplemen, antibodi, sedangkan yang berperan dalam garis seluler adalah
sel mononuklear dan neutropil melalui lepasan sitokin seperti faktor nekrosis, interleukin (IL)
antara lain IL1, IL6, IL8 dan PAF (platelets activating factor) (Al-Jeboori and Suhail, 2015).
Neutrofil yang telah teraktivasi akan mengekspresikan CD14, CD11, CD8 dan beberapa
komplemen. Hal ini menyebabkan sel ini mempunyai kemampuan mengenali dan
memfagositosis bakteri yang masuk (Pulendran et al., 2001). Mediator peradangan yang
disekresikan oleh berbagai populasi sel akan mengaktivasi limfosit B dan T. Pada gilirannya, itu
melepaskan IL2 dan IFNγ serta granulosit dan koloni makrofag stimulating factor (GM - CSF).
IL-2 memainkan peran utama dalam aktivasi respon imun humoral dan merangsang berbagai sel-
sel kekebalan. IL-2 merupakan pengatur utama reaktivasi sel T. Peran utama dari IL-2 adalah
untuk mengaktivasi populasi sel T (Smith, 1988). IL-2 juga berperan dalam merangsang
aktivitas sitotoksik CD8 dari limfosit T dan sel NK, proliferasi dan produksi immunoglobulin
oleh limfosit B (Moreau et al.,1995)
2.7 Immunoglobulin
Immunoglobulin (Ig) atau antibodi merupakan molekul penting yang terdapat pada
plasma (serum) yang dapat merespon secara khusus antigen yang merangsang produksinya.
Molekul immunoglobulin merupakan molekul heterotetramer yang mengandung empat rantai
polipetida yang terdiri atas dua rantai panjang dinamakan rantai berat (H),dan dua rantai yang
pendek dinamakan ringan (L) (Sun et al.,2013). Kedua rantai tersebut tersusun secara simetris
dan saling berhubungan satu sama lainnya melalui ikatan disulfida (Interchain Disulfide Bonds).
Analisa asam amino menunjukkan bahwa terminal-N dari rantai L maupun rantai-H
secara fungsional mengandung struktur yang disebut Variabel (V) dan struktur Constan (C).
Struktur C pada kedua rantai berat menentukan aktivitas biologis dari antibodi tersebut. Selain
itu, bagian Fc juga meningkatkan aktivitas berbagai respons imun terhadap antigen setelah
antibodi berikatan dengan antigen, misalnya kemampuan komplemen untuk berikatan dan
menghancurkan agen penyakit sangat meningkat setelah diikat oleh antibodi. Kemampuan
fagositosis sel makrofag juga sangat meningkat setelah agen infeksi diikat oleh antibodi. Dalam
kaitan ini antibodi bertindak sebagai opsonin yang berfunsgi untuk mengikat pathogen dan
membawanya ke permukaan sel makrofag melalui reseptor antibodi (FcR) pada permukaan sel
makrofag. Selain itu, ikatan antibodi dengan pathogen juga dapat menyebabkan degranulasi yang
berperan dalam mengatasi pathogen besar seperti parasit. Fungsi biologis dari bagian Fc pada
berbagai jenis imunoglobulin berbeda tergantung dari struktur primer molekul dan mungkin
memerlukan ikatan dengan antigen sebelum fungsi menjadi aktif.
2.7.1 Klasifikasi Immunoglobulin
Klasifikasi immunoglobulin berdasarkan klas rantai berat.Tiap klas mempunyai berat
molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Ada lima jenis utama dari antibodi:
immunoglobulin A (IgA), immunoglobulin G (IgG), immunoglobulin M (IgM), immunoglobulin
E (IgE) dan immunglobulin D (IgD).
2.7.2 Immunoglobulin G (IgG)
IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000
dalton. Kadarnya dalam serum sekitar 13 mg/ml, merupakan 75% dari semua immunoglobulin.
IgG ditemukan dalam berbagai cairan, antara lain cairan serebrospinal (CSF), darah, peritoneal,
dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta masuk ke fetus dan berperan pada imunitas anakan
sampai beberapa bulan.
IgG selalu tersedia untuk membantu menangkal infeksi dan juga siap untuk mereproduksi
dan menyerang ketika zat-zat asing memasuki tubuh. Kehadiran IgG dalam serum darah
biasanya mengindikasi infeksi baru atau remote. IgG paling umum sekitar 3 minggu setelah
infeksi dimulai. IgG dibagi menjadi empat subklas yang berbeda dari IgG1 sampai IgG4. Setiap
klas IgG mempunyai peran yang berbeda dalam proteksi terhadap beberapa agen infeksi.
IgG dan komplemen bekerja saling membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.
IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena sel-sel fagosit, monosit dan makrofag
mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG sehingga dapat mempererat hubungan antara
fagosit dengan sel sasaran. Opsonin dalam bahasa Yunani berarti menyiapkan untuk dimakan.
Selanjutnya proses opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor untuk komplemen pada permukaan
fagosit.
IgG juga berperanan pada imunitas seluler karena dapat merusak antigen seluler melalui
interaksi dengan sistem komplemen atau melalui efek sitolitik Killer cell (sel K), eosinofil,
neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor untuk Fc dari IgG. Sel K merupakan efektor dan
Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal,
tetapi juga mikroorganisme multiseluler seperti telur skistosoma. Peranan efektor ADCC ini
penting pada penghancuran kanker, penolakan transplan dan penyakit autoimun, sedangkan
ADCC melalui neutrofil dan eosinofil, berperan pada infestasi parasit. Kadar IgG meninggi pada
infeksi kronis dan penyakit autoimun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009)
2.7.3 Immunoglobulin A (IgA)
Immunoglobulin A adalah immunoglobulin utama dalam cairan sekresi, misalnya pada
susu, air liur, air mata dan dalam sekresi pernapasan, saluran genital serta saluran pencernaan
atau usus. IgA diproduksi dalam jumlah besar oleh sel plasma dalam jaringan limfoid yang
terdapat sepanjangsaluran cerna, saluran nafas dan saluran urogenital (Kresno, 2010).
Immunoglobulin ini melindungi selaput mukosa dari serangan bakteri dan virus. Ditemukan pula
sinergisme antara IgA dengan lisozim dan komplemen untuk mematikan kuman koliform. Juga
kemampuan IgA melekat pada sel polimorf dan kemudian melancarkan reaksi komplemen
melalui jalan metabolisme alternatif.
Tiap molekul IgA sekretorik berbobot molekul 400.000 terdiri atas dua unit polipeptida
dan satu molekul rantai-J serta komponen sekretorik. Sekurang-kurangnya dalam serum terdapat
dua subkelas IgA1 dan IgA2. Terdapat dalam serum terutama sebagai monomer 7S tetapi
cenderung membentuk polimer dengan perantaraan polipeptida yang disintesis oleh sel epitel
untuk memungkinkan IgA melewati permukaan epitel, disebut rantai-J. Pada sekresi ini IgA
ditemukan dalam bentuk dimer yang tahan terhadap proteolisis berkat kombinasi dengan suatu
protein khusus, disebut Secretory Component yang disintesa oleh sel epitel lokal dan juga
diproduksi secara lokal oleh sel plasma.
2.7.4 Immunoglobulin M (IgM)
Immunoglobulin M (IgM) adalah antibodi pertama yang dibentuk dalam respons imun.
Nama M berasal dari makroglobulin dengan berat molekul 900.000 dalton. IgM mempunyai
rumus bangun pentamer dan merupakan immunoglobulin terbesar. Molekul-molekul tersebut
diikat oleh rantai J (joining chain) seperti halnya pada IgA pada fraksi Fc.
Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannnya sebagai reseptor antigen dan
dikenal sebagai reseptor sel B atau BCR (B cell receptor). Molekul BCR yang terdapat pada
permukaan sel B biasanya dalam bentuk IgM monomer. Pada respon imun primer, IgM
monomer dilepaskan oleh sel plasma dan membentuk struktur pentamer. Karena itu, sebagai
respon terhadap adanya infeksi atau imunisasi, IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun
primer dibanding dengan IgG, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya
infeksi dini, akan tetapi respon IgM umumnya pendek yaitu hanya beberapa hari dan selanjutnya
menurun. IgM terutama terdapat intravaskuler dan merupakan 10% dari imunoglobulin total
dalam serum (Kresno,2010).
Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofil
adalah IgM. IgM dapat mencegah infeksi melalui berbagaai cara seperti menghambat gerakan
mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan mengagglutinasi secara kuat partikel
patogen, serta mengaktifkan komplemen. Dalam menghambat gerakan pathogen, IgM berikatan
dengan komponen pathogen yang berperan dalam motilitas mikroba pathogen seperti silia dan
flagella. Sementara itu, IgM juga merupakan opsonin yang kuat daam proses fagositosis agen
penyakit oleh sel fagositosis. IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengaktifkan
komplemen dengan kuat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
2.7.5 Immunoglobulin E (IgE)
Di dalam serum, IgE ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah. Namun, kadarnya
dalam serum dapat meningkat pada keadaan alergi atau infeksi parasit. Setelah disintesis dan
disekresi oleh sel plasma, IgE umumnya berada dalam bentuk terikat dengan reseptornya pada
permukaan sel mast dan basofil. Bila sel pembawa molekul IgE seperti sel mast dan basofil
terpapar secara berulang dan terbentuk ikatan silang antar molekul IgE oleh alergen, sel tersebut
mengalami degranulasi dan mengeluarkan mediator reaksi hipersensitifitas yang sangat poten.
Keadaan inilah yang memicu reaksi alergi dan syok anafilaksis yang ditandai dengan kemerahan
dan gatal pada kulit serta pelebaran pembuluh darah yang dapat memicu syok anafilaksis.
2.7.6 Immunoglobulin D (IgD)
Antibodi ini fungsi keseluruhannya belum diketahui secara jelas. Dalam serum IgD
ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. IgD dapat dijumpai pada permukaan sel B. Telah
dibuktikan pula bahwa IgD dapat bertindak sebagai reseptor antigen apabila berada pada
permukaan limfosit B tertentu dalam darah tali pusat dan mungkin merupakan reseptor pertama
dalam permulaan kehidupan sebelum diambil alih fungsinya IgM dan Imunoglobulin lainnya,
setelah sel tubuh berdiferensiasi lebih jauh.