Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Drainase
Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem
guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam
perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya). Drainase yang berasal
dari bahasa Inggris yaitu drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras,
membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase dapat didefinisikan
sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal
dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan atau
lahan, sehingga fungsi kawasan atau lahan tidak terganggu (Hutomo. dkk, 2016).
Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya
dengan pembuatan saluran yang dapat menampung air hujan yang mengalir di
permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas selanjutnya dialirkan ke sistem
yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan saluran rumah
tangga dan sistem saluran bangunan infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup
banyak limbah cair yang berada dalam saluran tersebut perlu diolah (treatment).
Seluruh proses tersebut di atas yang disebut dengan sistem drainase (Prasetyo,
2018).
Bagian infrastruktur (sistem drainase) dapat didefinisikan sebagai
serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang
kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan
secara optimal. Ditinjau dari hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran
penerima (interseptor drain), saluran pengumpul (colector drain), saluran pembawa
(conveyor drain), saluran induk (main drain) dan badan air penerima (receiving
waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-
gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan
terjun, kolam tando dan stasiun pompa. Pada sistem drainase yang lengkap,
sebelum masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada instalasi pengolah air
limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur. Hanya air yang telah memiliki
8
baku mutu tertentu yang dimasukkan ke dalam badan air penerima biasanya sungai,
sehingga tidak merusak lingkungan (Prasetyo, 2018).
2.2 Permasalahan Drainase dan Gangguan Sistem Drainase
Banyak faktor yang mempengaruhi dan perlu dipertimbangkan secara
matang dalam perencanaan suatu sistem drainase yang berkelanjutan. Perencanaan
tidak hanya disesuaikan dengan kondisi sekarang namun juga untuk masa yang
akan datang. Dalam perencanaan drainase perkotaan tidak lepas dari berbagai
masalah yang perlu ditangani secara benar dan menyeluruh. Permasalahan-
permasalahan drainase perkotaan antara lain:
1. Peningkatan Debit
Perubahan tata guna lahan yang selalu terjadi akibat perkembangan kota
dapat mengakibatkan peningkatan aliran permukaan dan debit banjir. Besar
kecil aliran permukaan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang
diekspresikan dalam koefisien pengaliran yang bervariasi antara 0,10 (hutan
datar) sampai 0,95 (perkerasan jalan). Hal ini menunjukkan bahwa
pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan bisa
meningkatkan debit puncak banjir sampai 9,5 kali, dan hal ini
mengakibatkan prasarana drainase yang ada menjadi tidak mampu
menampung debit yang meningkat tersebut.
2. Penyempitan Dan Pendangkalan Saluran
Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat mengakibatkan
berkurangnya lahan untuk saluran drainase. Banyak pemukiman yang
didirikan di atas saluran drainase sehingga aliran drainase menjadi
tersumbat. Selain itu, sampah penduduk juga tidak jarang dijumpai di aliran
drainase, terutama di daerah perkotaan. Hal ini karena kesadaran penduduk
yang rendah terhadap kebersihan lingkungan.
3. Lemahnya koordinasi dan sinkronisasi
Lemahnya koordinasi dan sinkronisasi dengan komponen infrastruktur yang
lain. Hal ini dapat dilihat dari seringnya dijumpai tiang listrik atau pipa air
bersih di tengah saluran drainase, yang berakibat terganggunya kelancaran
aliran di drainase itu sendiri. Selain itu, seringkali penggalian saluran
9
drainase tidak sengaja merusak prasarana yang sudah ada atau yang ditanam
dalam tanah. Biasanya kesalahan ini terjadi karena tidak adanya informasi
yang akurat mengenai prasarana tersebut.Permasalahan-permasalahan
tersebut tidak dapat diatasi tanpa peran aktif masyarakat itu sendiri. Dalam
skala yang lebih kecil kita dapat turut berperan dengan tidak membuang
sampah sembarangan dan membuat sumur resapan (Anggraini, 2018).
2.3 Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) atau dalam skala luasan kecil disebut
catchment area adalah suatu wilayah daratan yang dikelilingi oleh batas-batas
pemisah topografi atau punggung bukit yang berfungsi menerima, menyimpan, dan
mengalirkan air hujan ke sungai utama melalui anak sungainya dan akhirnya
bermuara ke danau/waduk atau ke laut (Naharuddin dkk., 2018).
Daerah Aliras Sungai (DAS) adalah satu kesatuan dari suatu wilayah
daratan dan sungai beserta anak-anak sungainya yang dibatasi oleh tinggi
rendahnya kontur wilayah tersebut (topografi), yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air hujan ke danau atau laut (SNI 2415:2016).
Setiap DAS terbagi menjadi beberapa sub DAS. Sub DAS adalah satu
kesatuan wilayah yang terbentuk secara alamiah, terdiri dari ekosistem-ekosistem
tempat air hujan meresap atau mengalirkan air melalui anak sungai menuju sungai
utama yang membentuk bagian wilayah DAS (Naharuddin dkk., 2018). Ilustrasi
kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Daerah Aliran Sungai
Sumber: Naharuddin dkk., 2018
10
2.4 Penyebab Terjadinya Banjir
Banyak faktor menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum
penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir
yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan
manusia (Anggraini, 2018).
1. Curah Hujan
Indonesia mempunyai iklim tropis sehingga sepanjang tahun mempunyai
dua musim yaitu musim hujan umumnya terjadi antara bulan Oktober
sampai bulan Maret, dan musim kemarau terjadi antara bulan April sampai
bulan September. Pada musim penghujan, curah hujan yang tinggi akan
mengakibatkan banjir disungai dan bilamana melebihi tebing sungai maka
akan timbul banjir atau genangan.
2. Pengaruh Fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan
daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik
(bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potonan memanjang, material
dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain. Merupakan hal-hal yang
mempengaruhi terjadinya banjir.
3. Erosi dan Sedimentasi
Erosi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang
sungai. Erosi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya
sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran, sehingga timbul genangan
dan banjir di sungai. Sedimentasi juga menjadi masalah besar pada sungai-
sungai di Indonesia.
4. Kapasitas Sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh
pengendapan berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang
berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena tidak adanya vegetasi
penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat.
11
5. Kapasitas Drainase yang tidak memadai
Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah
genangan yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi
langganan banjir di musim hujan.
6. Pengaruh air pasang
Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir
bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir
menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater).
7. Kawasan kumuh
Perumahan kumuh yang terdapat di sepanjang sungai, dapat merupakan
penghambat aliran. Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai faktor penting
terhadap masalah banjir daerah pedesaan/perkotaan.
2.5 Analisa Hidrologi
Pada perencanaan saluran drainase terdapat masalah yaitu berapakah besar
debit air yang harus disalurkan melalui saluran tersebut. Karena debit air ini
tergantung kepada curah hujan tidak tetap (berubah-ubah) maka debit air yang akan
ditampung saluran juga pasti akan berubah-ubah. Dalam hal perencanaan saluran
drainase kita harus menetapkan suatu besarnya debit rencana (debit banjir rencana)
jika memilih atau membuat debit rencana tidak bisa kecil, maka nantinya dapat
berakibat air didalam saluran akan meluap dan sebaliknya juga tidak boleh
mengambilnya terlalu besar karena dapat juga berakibat saluran yang kita
rencanakan tidak ekonomis. Kita harus dapat memperhitungkan besarnya debit
didalam saluran drainase agar dapat memilih suatu debit rencana. Didalam memilih
debit rencana maka diambil debit banjir maximum pada daerah perencanaan
(Prasetyo, 2018).
2.5.1 Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi
ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan
air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat
berjalan secara kontinu. Air menguap, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam
12
bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju, hujan gerimis atau kabut. Pada
perjalanan menuju bumi air dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh
yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah
mencapai tanah, siklus hidrologi terus terjadi secara kontinu seperti yang terlihat
pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Siklus Hidrologi
Sumber: Naharuddin dkk., 2018
Menurut Tanika dkk., (2016), siklus hidrologi melibatkan beberapa
komponen/proses antara lain: hujan, aliran batang dan tetesan daun, infiltrasi, aliran
bawah permukaan, absorbsi oleh tanaman, aliran permukaan, evaporasi, dan
transpirasi seperti yang terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Komponen/proses penyusun siklus hidrologi
No Komponen/proses Deskripsi
1 Hujan (precipitation) Jatuhnya tetes-tetes uap air yang berasal dari
awan
2 Intersepsi (interception) Proses tertahannya air hujan oleh tanaman yang
kemudian sampai ke permukaan tanah melalui
aliran batang dan tetesan kanopi tanaman
(stemflow and throughfall)
3 Infiltrasi (infiltration) Proses meresapnya air hujan ke dalam tanah
4 Aliran bawah
permukaan (sub
surface flow)
Aliran air secara horizontal yang terjadi di
bawah permukaan tanah
5 Penyerapan oleh
tanaman (uptake)
Air tanah yang diserap atau digunakan oleh
tanaman
13
No Komponen/proses Deskripsi
6 Aliran limpasan
(surface flow)
Air hujan yang mengalir secara horizontal yang
terjadi di atas permukaan tanah. Aliran
permukaan terjadi jika tanah sudah tidak mampu
menyerap air yang jatuh ke atas permukaan
tanah.
7 Evaporasi
(evaporation)
Proses perubahan bentuk air ke dalam uap air
dan membaur di atmosfer yang kemudian
membentuk kabut dan awan melalui proses
kondensasi
8 Transpirasi
(transpiration)
Proses pelepasan uap air oleh tanaman ke
atmosfer yang kemudian membentuk kabut dan
awan melalui proses kondensasi
9 Perkolasi (percolation) Aliran air dalam tanah secara vertikal melalui
lapisan-lapisan tanah yang disebabkan oleh gaya
gravitasi dan kapiler
10 Aliran Dasar (base
flow)
Aliran air secara horizontal yang terjadi di
lapisan aquifer yang memiliki sifat aliran yang
lambat
*) Naharuddin dkk., 2018
Komponen/proses diatas merupakan penyusun siklus hidrologi yang
memegang peran penting bagi kelangsungan hidup organisme bumi. Melalui siklus
ini, ketersediaan air di daratan bumi dapat tetap terjaga, mengingat teraturnya suhu
lingkungan, cuaca, hujan, dan keseimbangan ekosistem bumi dapat tercipta karena
proses siklus hidrologi.
2.5.2 Perhitungan hujan rerata Daerah Pematusan
Ada tiga cara untuk melakukan perjhitungan hujan rata rata daerah
pematusan yaitu (a) Cara rata rata Aritmatik, (b) Cara rata rata thiesen dan (c) Cara
Isyohiet. Dari ketiga cara tersebut hanya dua cara pertama yang paling sering
digunakan di Indonesia karena kesederhanaannya, selain itu cara ketiga
membutuhkan kerapatan stasiun yang sesuai dengan jaring jaring kagan padahal
untuk mendapatkan hal tersebut masih sulit dilakukan (Kusuma, 2016).
1. Rata-rata Aritmatik
Metode rata-rata aritmatik ini, digunakan dengan cara menghitung rata-rata
curah hujan dari stasiun yang terdekat. Rumus yang digunakan untuk cara
ini adalah sebagai berikut:
14
(2.1)
Keterangan:
XR = Curah hujan rata rata daerah pematusan (mm)
n = Jumlah stasiun hujan
iR = Curah hujan di stasiun hujan ke-i (mm)
2. Rata-rata Poligon Thiesen
Poligon Thiessen. Cara perhitungan Poligon Thiessen dilakukan seperti
memperhitungkan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan
Tahapan perhitungan hujan rata-rata adalah sebagai berikut:
a. Semua stasiun pengamatan di dalam dan sekitar daerah pengaliran harus
dicantumkan pada peta fotografi, kemudian tiap-tiap stasiun yang
berdekatan dihubungkan dengan sebuah garis lurus sehingga terbentuk
jaringan-jaringan segitiga
b. Daerah yang bersangkutan tersebut dibagi dalam poligon-poligon yang
didapat dengan menggambar garis bagi tegak lurus pada tiap sisi
segitiga
c. Curah hujan dalam tiap poligon itu dapat dianggap diwakili oleh curah
hujan dari titik pengamatan dalam setiap polygon seperti yang terlihat
pada gambar berikut 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Hitungan dengan poligon Thiessen
Sumber: Maryono (1999) dalam Sari (2016)
1
1.
n
X i
i
R Rn =
=
15
Cara ini lebih teliti dibandingkan dengan cara sebelumnya terutama
untuk daerah pematusan yang penyebaran stasiunnya tidak merata. Dengan
memperhitungkan daerah pengaruh dari masing masing stasiun maka
diharapkan hasilnya lebih mendekati dari kenyataan. Rumusan Poligon
Thiesen adalah sebagai berikut:
( )1 1 2 2
1 2
. . ... .
...
n n
n
A R A R A RR
A A A
+ + +=
+ + + (2.2)
Keterangan:
R = Curah hujan rata-rata
1R 2R nR = Curah hujan di tiap titik pengamatan
1A 2A nA = Bagian luas yang mewakili tiap titik pengamatan
n = Jumlah titik pengamatan
3. Isohyet
Cara perhitungan Isohyet adalah garis yang menghubungkan tempattempat
yang mempunyai curah hujan yang sama pembagian daerahnya. Tahapan
perhitungannya adalah sebagai berikut:
a. Cara ini dilakukan dengan membuat kontur, berupa garis-garis yang
menunjukkan nilai curah hujan yang sama
b. Luas bagian daerah antara dua garis isohyet yang berdekatan diukur
dengan planimeter
c. Curah hujan ditetapkan sebagai hujan rata-rata antara dua isohyet seperti
yang terlihat pada Gambar 2.4.
Hujan rata – rata DAS metode isohyet dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
1
( 1)
2
n
n
i
Ai Ri Ri
RAi
+ +
=
(2.3)
Dimana:
R = Curah hujan rata-rata (mm)
1R 2R nR = Curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2,...,
n (mm),
16
1A 2A nA = Luas areal poligon 1, 2,..., n (km2),
n = Banyaknya pos penakar hujan
Gambar 2.4 Hitungan Dengan Metode Ishoyet
Sumber: Maryono (1999) dalam Sari (2016)
2.5.3 Analisis Data Curah Hujan Hilang
Data curah hujan dari sebuah stasiun pengukur hujan sering tidak lengkap
atau hilang. Untuk memperbaiki atau memperkirakan data curah hujan yang tidak
lengkap atau hilang, maka dapat dilakukan perhitungan dengan metode reciprocal.
Metode reciprocal dengan menggunakan jarak antar stasiun sebagi faktor koreksi.
Koreksi antara dua stasiun hujan menjadi makin kecil dengan makin besarnya jarak
antar stasiun (Harto, 1993) dalam (Fahmi, 2015).
Untuk mencari data curah hujan yang hilang dari sebuah data curah hujan
di stasiun pencatat curah hujan , maka dilakukan perkiraan data yang hilang/tidak
lengkap dengan metode reciprocal. Metode ini menggunakan perhitungan dengan
sumber jarak antar stasiun pengamat hujan sebagai faktor koreksi (Harto, 1993)
dalam (Fahmi, 2015).
2 2
2 2
1 1
( ) ( )
1 1
( ) ( )
PA PBDxA DxB
Px
DxA DxB
+
=
+
(2.4)
Keterangan:
Px = Data curah hujan pada stasiun X yang diperkirakan data hilang
PA , PB = Hujan pada stasiun A dan B
DxA , DxB = jarak antar stasiun hujan X dengan stasiun hujan A, B
17
2.5.4 Analisis Hujan Rencana
Periode ulang hujan (return period) ialah suatu periode ulang dalam tahun
dalam suatu kejadian hujan dengan intensitas yang sama berulang kembali
kejadianya. Misalnya 2, 5, 10, 25, 100 tahun sekali (Wati, 2015)
Penetapan periode ulang hujan ini digunakan untuk menentukan besarnya
besarnya kapasitas saluran / bangunan drainase. Hal ini berkaitan dengan penentuan
skala prioritas berdasarkan kemampuan pembiayaan, resiko, dan teknologi yang
digunakan. Penentuan periode ulang hujan (PUH) yang digunakan di dalam
perencanaan drainase seperti Tabel 2.2.
Tabel 2.2 PUH untuk Perencanaan Saluran dan Bangunan Air Drainase Perkotaan
No Fasilitas PUH
1 Saluran Mikro
perumahan, Taman, Lahan tak
terbangun 2
Pusat Kota 5 Industri Besar 5 Industri Menengah 10 Industri Kecil 25
2 Saluran Tersier
Resiko Kecil 2 Resiko Besar 5
3 Saluran Sekunder
Resiko Kecil 5 Resiko Besar 10
4 Saluran Primer
Resiko Kecil 10 Resiko Besar 25 Atau
Luas DAS 25-10 ha 5 Luas DAS 50-100 ha 5-10 Luas DAS 100-1300 ha 10-25 Luas DAS 1300-6500 ha 25-100
5 Banjir Makro
6 Gorong-gorong
Jalan raya biasa 10 Jalan by pas 25 Jalan bebas hambatan 50
7 Saluran Tepian
Jalan raya biasa 10
18
No Fasilitas PUH Jalan by pas 25 Jalan bebas hambatan 50
*) Wati, 2015
Besarnya curah hujan yang direncanakan dipilih berdasarkan pada
kesesuaian kawasan yang ditinjau. Nilai periode ulang suatu kawasan yang sesuai
dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Nilai Periode Ulang
Daerah Periode Ulang
(tahun)
Permukiman 5 -15
Pusat pemerintaha yang penting, daerah komersil, dan daerah
padat dengan nilai ekonomi tinggi 10 - 50
Perencanaan gorong-gorong jalan raya dan lapangan terbang 3 -15
Perencanaan pengendalian banjir pada sungai 23 - 50
*) Sumber: Wesli (2008) dalam Sari (2016)
Dalam perencanaan saluran drainase pada DAS Durian, DAS Kedondong
dan DAS Sahari periode ulang yang dipergunakan tergantung dari fungsi saluran.
Penggunaan periode ulang untuk perencanaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4
berikut.
Tabel 2.4 Periode Ulang Untuk Perencanaan Saluran
Saluran Periode Ulang (tahun)
Kwarter 1
Tersier 2
Sekunder 5
Primer 10
*) Sumber: Wesli (2008) dalam Sari (2016)
2.5.5 Analisa Frekuensi Curah Hujan
Dalam analisa frekuensi curah hujan, dikenal beberapa distribusi
probabilitas yang sering digunakan untuk memperoleh nilai curah hujan rencana,
antara lain sebagai berikut (Anugerah, 2019).
19
a. Distribusi Normal
b. Distribusi Log Normal
c. Distribusi Gumbel
d. Distribusi Log Pearson Type III
Penentuan jenis distribusi probabilitas yang sesuai data dilakukan dengan
mencocokkan parameter data tersebut dengan syarat masing-masing jenis distribusi
seperti pada Tabel 2.5 berikut.
Tabel 2.5 Persyaratan Parameter untuk Distribusi
No Distribusi Persyaratan
1 Normal 0Cs
3Ck
2 Log Normal
3 3v vCs C C= +
8 6 4 26 15 16 3v v v vCk C C C C= + + + +
3 Gumbel 1.14Cs =
5.40Ck =
4 Log Pearson Type III Cs dan Ck fleksibel
*) Anugerah, 2019
Masing-masing distribusi probabilitas yang telah disebutkan di atas
memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data curah hujan harus diuji kesesuaiannya
dengan sifat statistik masing-masing tersebut. Setiap jenis distribusi atau sebaran
mempunyai parameter statistik diantaranya terdiri dari:
X = Nilai rata-rata hitung
& S = Deviasi standar
Cv = Koefisien variasi
Ck = Koefisien ketajaman
Cs = Koefisien kemencengan
Dimana setiap parameter statistik tersebut dicari berdasarkan rumus:
1. Nilai rata-rata (Mean):
xx
n=
(2.5)
Dimana:
x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)
x = Total nilai curah hujan (mm)
20
n = Jumlah data curah hujan
2. Deviasi standar (Standar Deviation):
( )2
1
x xS
n
−=
−
(2.6)
Dimana:
S = Deviasi standar curah hujan
x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)
x = Nilai curah hujan (mm)
n = Jumlah data curah hujan
3. Koefisien variasi (Coefficien of Vareation) :
SCv
x= (2.7)
Dimana:
Cv = Koefisien variasi curah hujan
S = Deviasi standar curah hujan
x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)
4. Koefisien Kemencengan (Coefficien of Skewness):
( )
( )( )
3
31 2
n x xCs
n n S
−=
− −
(2.8)
Dimana:
Cs = koefisien kemencengan curah hujan
S = Deviasi standar curah hujan
x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)
x = Nilai curah hujan (mm)
n = Jumlah data curah hujan
21
5. Koefisien ketajaman (Coefficien of Kurtosis)
Koefisien Ketajaman digunakan untuk mengukur keruncingan bentuk
kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.
( )
( )( )( )
42
41 2 3
n x xCk
n n n S
−=
− − −
(2.9)
Dimana:
Ck = koefisien kurtosis curah hujan
S = Deviasi standar curah hujan
x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)
x = Nilai rata-rata curah hujan (mm)
n = Jumlah data curah hujan
2.5.6 Perhitungan Hujan rencana dengan Distribusi Frekuensi
Curah hujan rencana untuk periode ulang tertentu secara statistik dapat
diperkirakan berdasarkan seri data curah hujan harian maksimum tahunan
(maximum annual series) jangka panjang dengan analisis distribusi frekuensi.
Curah hujan rancangan/desain ini biasanya dihitung untuk periode ulang 2, 5, 10,
20 atau 25 tahun. Untuk mencari distribusi yang cocok dengan data yang tersedia
dari pos-pos penakar hujan yang ada di sekitar lokasi pekerjaan perlu dilakukan
Analisis Frekuensi. Analisis frekuensi dapat dilakukan dengan seri data hujan
maupun data debit. Jenis distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam
hidrologi adalah distribusi Gumbel, Log Pearson type III, Log Normal, dan Normal.
1. Distribusi Normal
Jika data yang digunakan berupa sampel, maka perhitungan hujan rencana
dengan distribusi normal dilakukan dengan persamaan-persamaan antara lain
sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):
T TX x K S= + (2.10)
Dimana:
TX = Perkiraan nilai curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode
ulang T
22
x = nilai curah hujan rata-rata,
S = deviasi standar,
TK = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode
ulang
Nilai KT bergantung dari nilai T (periode ulang), seperti yang terlihat dalam
Tabel 2.6 yang sering disebut sebagai tabel nilai variable reduksi Gauss
(Variable Reduced Gauss).
Tabel 2.6 Nilai Variabel Reduksi Gauss untuk Distribusi Normal
Periode Ulang
(Tahun) Peluang k
1.001 0.999 -3.05
1.005 0.995 -2.58
1.01 0.990 -2.33
1.05 0.950 -1.64
1.11 0.900 -1.28
1.25 0.800 -0.84
1.33 0.750 -0.67
1.43 0.700 -0.52
1.67 0.600 -0.25
2 0.500 0
2.5 0.400 0.25
3.33 0.300 0.52
4 0.250 0.67
5 0.200 0.84
10 0.100 1.28
20 0.050 1.64
50 0.200 2.05
100 0.010 2.33
200 0.005 2.58
500 0.002 2.88
1000 0.001 3.09
*) Suripin, 2004
Nilai KT atau faktor frekuensi, merupakan fungsi dari periode ulang dan
tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis
peluang.
23
2. Distribusi Log Normal
Jika data yang digunakan berupa sampel, maka perhitungan hujan rencana
dengan distribusi log normal dilakukan dengan persamaan-persamaan antara
lain sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):
log log logT TX x K S x= + (2.11)
Dimana:
𝑋𝑇 = Perkiraan nilai curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode
ulang T
log x = Nilai rata-rata dari log x = 1
logn
i
i
x
n
=
S Log x = Deviasi standar dari Log x,
=
( )2
1
log log
1
n
i
i
x x
n
=
−
−
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode
ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan
untuk analisis peluang. Nilai KT bergantung dari nilai T (periode
ulang), seperti yang terlihat dalam Tabel 2.7 berikut.
Tabel 2.7 Faktor Frekuensi KT Untuk Distribusi Log Normal
Cv
Peluang komulatif P (%):P (X ≤ X)
50 80 90 95 98 99
Periode Ulang (Tahun)
2 5 10 20 50 100
0.05 -0.025 0.8334 1.2965 1.6863 2.1314 2.457
0.1 -0.0496 0.8222 1.3078 1.7247 2.213 2.5489
0.15 -0.0738 0.8085 1.3156 1.7598 2.2899 2.2607
0.2 -0.0971 0.7926 1.32 1.7911 2.364 2.7716
0.25 -0.1194 0.7746 1.3209 1.8183 2.4318 2.8805
0.3 -0.1406 0.7647 1.3183 1.8414 2.5015 2.9866
0.35 -0.1604 0.7333 1.3126 1.8602 2.5638 3.089
0.4 -0.1788 0.71 1.3037 1.8746 2.6212 3.187
0.45 -0.1957 0.687 1.292 1.8848 2.6731 3.2799
0.5 -0.2111 0.6626 1.2778 1.8909 2.7202 3.3673
0.55 -0.2251 0.6379 1.2613 1.8931 2.7613 3.4488
0.6 -0.2375 0.6129 1.2428 1.8915 2.7971 3.5211
24
Cv
Peluang komulatif P (%):P (X ≤ X)
50 80 90 95 98 99
Periode Ulang (Tahun)
2 5 10 20 50 100
0.65 -0.2185 0.5879 1.2226 1.8866 2.8279 3.393
0.7 -0.2582 0.5631 1.2011 1.8786 2.8532 3.3663
0.75 -0.2667 0.5387 1.1748 1.8677 2.8735 3.7118
0.8 -0.2739 0.5118 1.1548 1.8543 2.8891 3.7617
0.85 -0.2801 0.4914 1.1306 1.8388 2.9002 3.9056
0.9 -0.2852 0.4686 1.106 1.8212 2.9071 3.8137
0.95 -0.2895 0.4466 1.081 1.8021 2.9103 3.8762
1 -0.2929 0.4254 1.056 1.7815 2.9098 3.9035
*) Soewarno, 1995
Nilau faktor frekuensi KT diatas ialah karakteristik dari distribusi log
normal dua parameter. Nilai KT dapat diperoleh dari tabel yang merupakan fungsi
dari periode ulang dan nilai koefisien variasinya.
3. Distribusi Gumbel
Perhitungan persamuum garis lurus untuk distribusi Gumbel, menggunakan
metode paling sering digunakan karena lebih sederhana dan kurang
menyimpang. Persamaan garis lurus untuk distribusi frekuensi tipe I Gumbel
dapat juga menggunakan persam&m distribusi frekuensi empiris sebagai
berikut (Soewarno, 1995).
( )T T n
n
Sx x Y Y
S= + − (2.12)
Hubungan antara periode ulang T dengan Y dapat dapat dihitung dengan
rumus berikut:
1ln lnT
TY
T
− = − −
(2.13)
Keterangan:
Tx = Nilai hujan rencana pada periode ulang T tahun
x = Nilai rata-rata hitung variat
TY = Nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada
25
periode ulang tertentu (hubungan antara periode ulang T dengan Y
dapat dilihat pada Tabel 2.8. untuk T ≥ 20, maka Y= ln T
S = Standar deviasi
nY = Nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduced variate)
nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada Tabel
2.9.
nS = Deviasi standar dari reduksi variat (standard deviation of the
reduced variate), nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat
dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.8 TY Untuk Metode Gumbel
Periode Ulang Tr
(tahun)
Reduced Variate
YTr
Periode Ulang Tr
(tahun)
Reduced Variate
YTr
2 0.3668 100 4.6012
5 1.500 200 5.2969
10 2.25 250 5.5206
20 2.971 500 6.2149
25 3.199 1000 6.9087
50 3.9028 5000 8.5188
75 4.3117 10000 9.2121
*) Sari, 2016
Nilai Yt ialah hubungan Periode Ulang (Tr) yang akan direncanakan dengan
Reduksi Variat dari Variabel (Yt) yaitu nilai reduksi dari periode yang
direncanakan.
Tabel 2.9 nY Untuk Metode Gumbel
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.495 0.500 0.504 0.507 0.510 0.513 0.516 0.518 0.520 0.522
20 0.524 0.525 0.527 0.528 0.530 0.531 0.532 0.533 0.534 0.535
30 0.536 0.537 0.538 0.539 0.540 0.540 0.541 0.542 0.542 0.544
40 0.544 0.544 0.545 0.545 0.546 0.546 0.547 0.547 0.548 0.548
50 0.549 0.549 0.549 0.550 0.550 0.550 0.551 0.551 0.552 0.552
60 0.552 0.552 0.553 0.553 0.553 0.554 0.554 0.554 0.554 0.555
70 0.555 0.555 0.555 0.556 0.556 0.556 0.556 0.556 0.557 0.557
80 0.557 0.557 0.557 0.557 0.558 0.558 0.558 0.558 0.558 0.559
90 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559 0.560 0.560 0.560 0.560
100 0.560 0.560 0.560 0.560 0.561 0.561 0.561 0.561 0.561 0.561
*) Anugerah, 2019
26
Nilai nY ialah hubungan Reduksi Variat Rata-Rata (Yn) yang diperoleh
berdasarkan Jumlah Data (n) yang digunakan dalam perencanaan.
Tabel 2.10 nS Untuk Metode Gumbel
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.950 0.968 0.983 0.997 1.010 1.021 1.032 1.041 1.049 1.057
20 1.063 1.070 1.075 1.081 1.086 1.092 1.096 1.100 1.105 1.108
30 1.112 1.116 1.119 1.123 1.126 1.129 1.131 1.134 1.136 1.139
40 1.141 1.144 1.146 1.148 1.150 1.152 1.154 1.156 1.157 1.159
50 1.161 1.162 1.164 1.166 1.167 1.168 1.170 1.171 1.172 1.173
60 1.175 1.176 1.177 1.178 1.179 1.180 1.181 1.182 1.183 1.184
70 1.185 1.186 1.187 1.188 1.189 1.190 1.191 1.192 1.192 1.193
80 1.194 1.195 1.195 1.196 1.197 1.197 1.198 1.199 1.199 1.200
90 1.201 1.201 1.202 1.203 1.203 1.204 1.204 1.205 1.206 1.206
100 1.207 1.207 1.207 1.208 1.208 1.208 1.209 1.209 1.209 1.210
*) Anugerah, 2019
Nilai nS ialah hubungan antara Deviasi Standar (sn) yang nilainya harus
berdasarkan dengan Jumlah Data (n) digunakan dalam perencanaan.
4. Distribusi Pearson Tipe III
Menurut Soewarno (1995) Distribusi Pearson Tipe III sering juga di sebut
dengan Distribusi Gamma, persamaan Distribusi Pearson Tipe III sebagai
berikut.
.X X k S= + (2.14)
Dimana:
X = Nilai rata-rata hitung
S = Deviasi Standart
k = Faktor sifat dari Distribusi Pearson Tipe III
5. Distribusi Log Pearson Type III
Jika data yang digunakan berupa sampel, maka perhitungan hujan rencana
dengan distribusi log pearson III dilakukan dengan persamaan-persamaan antara
lain sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):
27
log log logT TX x K S x= + (2.15)
Dimana:
𝑋𝑇 = Perkiraan nilai curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode
ulang T
log x = Nilai rata-rata dari log x (seperti pada persamaan 2.7)
S Log x = deviasi standar dari Log x (seperti pada persamaan 2.7)
Dimana besarnya nilai TK tergantung dari koefisien kemencengan pada
Tabel 2.11 memperlihatkan harga KT untuk berbagai nilai kemencengan (Cs).
Tabel 2.11 Nilai TK Distribusi Log Pearson Tipe III
*) Soewarno, 1995
Pada Distribusi Log Pearson Type III nilai TK diperoleh berdasarkan
hubungan antara Koefisien Kemencengan (Cs) ddengan periode ulang atau
presentase peluang. Jika nilai Cs sama dengan nol, maka distribusi kembali ke
distribusi Log Normal.
28
2.5.7 Uji Kecocokan Distribusi
Pengujian parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel
data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan
atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Uji kecocokan distribusi ini
dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran analisis curah hujan terhadap
simpangan data vertikal maupun simpangan data horizontal. Untuk mengetahui
pengujian distribusi terlebih dahulu harus dilakukan ploting data. Jika pengujian
telah memenuhi syarat tersebut perlu diuji kecocokan distribusi dengan beberapa
metode. Maka diketahui apakah pemilihan metode distribusi frekuensi yang
digunakan dalam perhitungan curah hujan dapat diterima atau ditolak. Terdapat dua
metode pengujian distribusi probabilitas, yaitu Metode Chi-Kuadrat (X2) dan
Metode Smirnov-Kolmogorof (Prasetyo, 2018).
1. Uji Chi-Kuadrat
Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik
sampel data analisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter,
oleh karena itu disebut Chi-Kuadrat. Parameter dapat dihitung dengan rumus
berikut (Kusuma, 2016).
22
1
( )ni i
h
i i
O EX
E=
−= (2.16)
Dimana:
2
hX = Parameter uji chi kuadrat
G = Jumlah sub kelompok (minimal 4 data pengamatan)
n = Jumlah sub-kelompok
iO = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i
iE = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i
Prosedur perhitungan dengan metode uji Chi-Kuadrat antara lain sebagai
berikut:
1. Data diurutkan dari nilai yang besar ke kecil atau sebaliknya,
2. Menghitung jumlah kelas dengan persamaan berikut:
29
1 0.33log( )K n= + (2.17)
Dimana:
K = Banyaknya kelas
n = Banyaknya nilai observasi (data)
3. Menghitung derajat kebebasan (Dk) dengan persamaan berikut:
( 1)Dk K p= − + (2.18)
4. Menghitung kelas distribusi
5. Menghitung interval kelas
6. Melakukan perhitungan X2
7. Membandingkan nilai 2X terhadap 2
crX yang ditunjukkan pada Tabel
2.12.
Distribusi probabilitas yang digunakan untuk menentukan curah hujan
rencana adalah distribusi probabilitas yang memiliki simpangan maksimum
terkecil dan lebih kecil dari simpangan kritis seperti persamaan berikut ini:
2 2
crX X (2.19)
Tabel 2.12 Nilai Kritis untuk Uji Chi-Kuadrat
Dk ALFA derajat kepercayaan
0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005
1 0 0 0.001 0.004 3.841 5.024 6.634 7.879
2 0.01 0.02 0.051 0.103 5.991 7.378 9.21 10.596
3 0.072 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.344 12.838
4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.276 14.86
5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.07 12.833 15.086 16.749
6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.811 18.547
7 0.989 1.239 1.69 2.167 14.067 16.013 18.475 20.277
8 1.344 1.646 2.18 2.733 15.507 17.535 20.09 21.954
9 1.735 2.088 2.7 3.325 16.919 19.023 21.665 23.589
10 2.156 2.558 3.247 3.94 18.307 20.483 23.209 25.188
11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.92 24.724 26.756
12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.216 28.299
13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.819
14 4.075 4.66 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319
15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.577 32.801
16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.845 31.999 34.267
17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.408 35.718
18 6.265 7.015 8.231 9.39 28.869 31.526 34.805 37.156
19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.19 38.582
30
Dk ALFA derajat kepercayaan
0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005
20 7.434 8.26 9.591 10.851 31.41 34.17 37.566 39.996
21 8.034 8.897 10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401
22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.795
23 9.26 10.196 11.689 13.091 35.172 38.076 41.638 44.181
24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.979 45.558
25 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.979 45.558
26 11.16 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.641 48.289
27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.195 46.962 49.644
28 12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 50.993
29 13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.587 52.335
30 13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 50.892 53.671
*) Kusuma, 2016
Nilai kritis diperoleh dari hubungan antara hasil perhitungan dk dengan
derajat kepercayaan yang digunakan dalam perencanaan (Soewarno, 1995).
2. Uji kecocokan Smirnov – Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov – Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan
Non Parametric (nonparametric test), karena pengujianya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu (Kusuma, 2016).
Pengujian dengan metode smirnov-kolmogorof dilakukan dengan
langkahlangkah sebagai berikut (I Made Kamiana, 2010):
1. Data diurutkan dari nilai yang besar ke kecil atau sebaliknya dan
ditentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.
2. Menentukan nilai peluang empiris dari masing-masing data yang telah
diurutkan dengan rumus tertentu, misalnya rumus:
( )( 1)
i
mP X
n=
+ (2.20)
Dimana:
n = jumlah data
i = nomor urut data (setelah diurutkan)
3. Menentukan nilai peluang teoritis masing-masing data yang telah
diurutkan '( )iP X berdasarkan distribusi probabilitas yang dipilih
(Gumbel, Normal, dan sebagainya)
31
4. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesarnya antara
peluang pengamatan dengan peluang teoritis:
( ) '( )i i iP P X P X = − (2.21)
5. Melakukan perbandingan nilai iP terhadap iP kritis. Nilai iP kritis
ditunjukan pada Tabel 2.13 berikut.
Tabel 2.13 Nilai Kritis iP Uji Smirnov-Kolmogorof
N Derajat kepercayaan (α)
0.2 0.1 0.05 0.01
5 0.45 0.51 0.56 0.67
10 0.32 0.37 0.41 0.49
15 0.27 0.3 0.34 0.4
20 0.23 0.26 0.29 0.36
25 0.21 0.24 0.27 0.32
30 0.19 0.22 0.24 0.29
35 0.18 0.2 0.23 0.27
40 0.17 0.19 0.21 0.25
45 0.16 0.18 0.2 0.24
50 0.15 0.17 0.19 0.23
N>50 0.5
1.07
N
0.5
1.22
N
0.5
1.36
N
0.5
1.63
N
*) Soewarno, 1995
Nilai Kritis iP Uji Smirnov-Kolmogorof diperoleh dengan dari
hubungan jumlah data (n) dengan derajat kepercayaan (α). Apabila nilai iP
lebih kecil dari iP kritis maka distribusi probabilitas yang digunakan dapat
diterima, demikian sebaliknya.
2.5.8 Intensitas Curah Hujan Rencana
Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan
atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda,
tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas hujan
diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun
secara empiris. Intensitas hujan ialah ketinggian hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu air hujan terkonsentrasi (Prasetyo, 2018).
32
Terdapat beberapa metode perhitungan intensitas hujan untuk perencanaan
drainase, namun pada umumnya perhitungan intensitas hujan menggunakan
perumusan Mononobe yang menggunakan data hujan harian maksimum yaitu
sebagai berikut (Anugerah, 2019).
24 24
24
mR
It
=
(2.22)
Dimana:
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = Waktu konsentrasi (jam),
m = Tetapan = 2/3
24R = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).
2.5.9 Waktu Konsentrasi (tc)
Waktu konsentrasi dapat diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan air untuk
mengalir dari titik terjauh pada suatu kawasan sampai masuk pada titik saluran yang
terjauh. I Made Kamiana (2010) dalam Setiawan (2019) mengemukakan bahwa
waktu konsentrasi tc dapat dihitung menggunakan rumus kirpich dengan persamaan
sebagai berikut :
0.38520.87
1000c
Lt
S
=
(2.23)
Dimana:
ct = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang lintasan air pada lahan (Km)
S = kemiringan rata-rata daerah lintasan air
2.5.10 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah perbandingan besarnya aliran permukaan
(bagian hujan yang membentuk limpasan) dengan hujan total. Hujan yang jatuh di
atas permukaan tanah, sebelum melimpas atau mengalir di atas permukaan tanah
akan mengalami hal–hal berikut:
33
a. Intersepsi
Air hujan membasahi segala suatu yang ada di atas permukaan tanah, seperti
tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan
b. Infiltrasi
Merembesnya air dari permukaan tanah ke dalam tanah yang lamanya
sangat tergantung dari jenis dan kondisi tanah
c. Retensi
Air hujan mengisi celah-celah dan retakan-retakan serta cekungan yang ada
di atas tanah.
Peristiwa intersepsi, infiltrasi, dan retensi merupakan suatu
peristiwa “kehilangan air” ditambah dengan evapotranspirasi atau
penguapan – penguapan.
Limpasan permukaan = Hujan Total – Kehilangan Air
1 2Q Q Q= − (2.24)
Koefisien Pengaliran:
(C) = 1
Q
Q (2.25)
Kondisi tata guna lahan yang sebenarnya di lapangan sangatlah bervariasi,
sehingga untuk menentukan koefisien pengaliran adalah koefisien pengaliran rata-
rata atau koefisien pengaliran komposit kawasan. Perhitungan koefisien rata-rata �̅�:
1 1 2 2
1 2
...
...
i i n n
n
C A C A C A C AC
A A A A
+ + += =
+ + +
(2.26)
Dimana:
C = Koefisien pengaliran rata – rata
iC = Koefisien pengaliran bagian
iA = Luas bagian.
Koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.14 berikut.
Tabel 2.14 Koefisien aliran (C)
Tipe Daerah Aliran C
Rerumputan
Tanah pasir, datar, 2% 0,50-0,10
Tanah pasir, sedang, 2-7% 0,10-0,15
34
Tipe Daerah Aliran C
Tanah pasir, curam, 7% 0,15-0,20
Tanah gemuk, datar, 2% 0,13-0,17
Tanah gemuk, sedang, 2-7% 0,18-0,22
kebun
Tanah gemuk, curam, 7%
0.2
0,25-0,35 Perdagangan
Daerah kota lama 0,75-0,95
Daerah pinggiran 0,50-0,70
Perumahan
Daerah single family 0,30-0,50
Multi unit terpisah 0,40-0,60
Multi unit tertutup 0,60-0,75
Suburban 0,25-0,40
Daerah apartemen 0,50-0,70
Industri
Daerah ringan 0.50-0.80
Daerah berat 0,60-0,90
Taman, kuburan 0,10-0,25
Tempat bermain 0,20-0,35
Halaman kereta api 0,20-0,40
Daerah tidak dikerjakan 0,10-0,30
Jalan: beraspal
Beton 0,80-0,95
Batu 0,70-0,85
Atap 0,70-0,85
*) Sadhu, 2014
Kodoatie dan Syarief (2005) dalam Setiawan (2019) mengungkapkan
bahwa terdapat beberapa komponen lahan lainnya seperti hutan sekuder, badan air,
belukar dan jalan beraspal yang memiliki nilai koefisien C masing-masing sebesar
3%, 20%, 15%, dan 95%. Nilai koefisien pengaliran (C) ditentukan berdasaran jenis
lahan pada saluran drainase yang ditinjau. Nilai C dapat ditentukan berdasarkan
range yang ditetapkan.
2.5.11 Analisa Hidrologi (Qp)
Perhitungan debit hidrologi pada tugas akhir ini dilakukan dengan metode
rasional. SNI 2415 2016 tentang Tata Cara Perhitungan Debit Banjir Rencana
menjelaskan bahwa metode rasional berlaku untuk luas DAS hingga 5000 hektar.
35
Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam perhitungan debit hidrologi
dengan metode rasional:
0.278PQ C I A= (2.26)
Dengan:
PQ = Debit puncak banjir (m3/s)
C = Koefisien limpasan
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = Luas daerah aliran (km2)
2.6 Analisa Hidrolika
Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat lain melalui bangunan pembawa
alamiah maupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat berupa terbuka
maupun tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut
saluran tertutup (closed conduits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut
saluran terbuka (open channels).
Berdasarkan (Triatmodjo, 1993), konsistensi bentuk penampang dan
kemiringan dasarnya saluran terbuka dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Saluran prismatik (prismatic channel) yaitu saluran yang bentuk penampang
melintang dan kemiringan dasarnya tetap.
Contoh: saluran drainase, saluran irigasi.
2. Saluran non prismatik (non prismatic channel) yaitu saluran yang berbentuk
penampang melintang dan kemiringan dasarnya berubah-ubah.
Contoh: sungai.
Aliran pada saluran terbuka terdiri dari saluran alam (natural channel)
seperti sungai-sungai kecil di daerah hulu atau pegunungan hingga sungai besar di
muara, dan saluran buatan (artificial channel) seperti saluran drainase di tepi jalan,
saluran irigasi untuk mengairi persawahan, saluran pembuangan, saluran untuk
membawa air ke pembangkit listrik tenaga air, saluran untuk supply air minum, dan
saluran banjir. Saluran buatan dapat berbentuk segitiga, trapesium, segiempat,
bulat, setengah lingkaran, dan bentuk tersusun (Prasetyo, 2018).
36
2.6.1 Dimensi Penampang Saluran
Bentuk penampang saluran untuk drainase yang paling sering digunakan
adalah penampang trapesium yang banyak digunakan terutama saluran yang dibuat
di tanah asli dan segiempat yang digunakan untuk lahan terbatas, dibuat dari beton
atau pasangan batu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.
Gambar 2.5 Penampang saluran trapezium
Sumber: Prasetyo, 2018
Dilakukan pengukuran terhadap dimensi saluran, yaitu lebar dasar saluran
(b), lebar atas saluran (B), kemiringan sisi saluran (m), tinggi jagaan (F), tinggi
basah saluran (h) dan kemiringan saluran (S). Dengan diketahui lebar dasar saluran
dan tinggi basah saluran di atas, maka diperoleh luas penampang basah saluran (A),
keliling basah saluran (P) dan jari-jari hidrolis (R). Berdasarkan (Triatmodjo, 1993)
diperoleh seperti di bawah ini:
( . ).A b m h h= + (2.27)
22 . 1P b h m= + + (2.28)
AR
P= (2.29)
Gambar 2.6 Penampang Saluran Persegi
Sumber: Prasetyo, 2018
37
Menurut (Triatmodjo, 1993), dalam perencanaan saluran di lapangan
dipakai saluran persegi dimana hubungan antara debit rencana dengan dimensi
tampang ditentukan berdasarkan rumus Manning, yaitu:
.A b h= (2.30)
2P b h= + (2.31)
AR
P= (2.32)
Keterangan:
A = Luas penampang basah saluran (m2) F = Tinggi jagaan (m)
R = Jari-jari hidrolis (m) b = Lebar dasar saluran (m)
P = Keliling basah saluran (m) B = Lebar atas saluran (m)
S = Kemiringan saluran h = Tinggi basah saluran (m)
n = Koefisien kekasaran Manning
m = Kemiringan sisi saluran
2.6.2 Dimensi Saluran
Dimensi saluran menurut Triatmodjo (1993) dalam Prasetyo, (2018), harus
mampu mengalirkan debit rencana atau dengan kata lain debit yang dialirkan oleh
saluran ( Qs ) sama atau lebih besar dari debit rencana ( QT ). Hubungan ini
ditunjukkan sebagai berikut:
Qs QT (2.33)
Debit suatu penampang saluran (Qs) dapat diperoleh dengan menggunakan
rumus seperti di bawah ini:
.Qs AsV= (2.34)
Keterangan:
Qs = Debit penampang saluran (m3/det)
As = Luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)
V = Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)
Berdasarkan Triatmodjo, (1993) dalam Prasetyo, (2018), kecepatan rata-
rata aliran di dalam suatu saluran dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Manning seperti di bawah ini:
38
2 1
3 21
. .V R SIn
= (2.35)
AsR
p= (2.36)
Keterangan:
V = Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)
n = Koefisien kekasaran Manning
R = Jari-jari hidrolis (m)
SI = Kemiringan saluran
As = Luas penampang saluran tegak lurus arah aliran (m2)
p = Keliling basah saluran (m)
Nilai dari koefisien kekasaran ditentukan berdasarkan bahan/material yang
digunakan pada saluran, nilai koefisien kekasaran saluran dan nilai kemiringan
dinding saluran sesuai bahan ditunjukkan seperti yang terlihat pada Tabel 2.15 dan
Tabel 2.16.
Tabel 2.15 Koefisien Kekasaran Manning ( n )
No Tipe Saluran Baik Sekali Baik Sedang Jelek
SALURAN BUATAN
1 Saluran tanah, lurus teratur. 0.017 0.02 0.023 0.025
2 Saluran tanah yang dibuat dengan
excavator.
0.023 0.028 0.03 0.04
3 Saluran pada dinding batuan, tidak
lurus, teratur.
0.02 0.03 0.033 0.035
4 Saluran pada dinding batuan, tidak
lurus, tidak teratur.
0.035 0.04 0.045 0.045
5 Saluran batuan yang diletakkan,
ada tumbuh-tumbuhan.
0.025 0.03 0.035 0.04
6 Dasar saluran dari tanah, sisi
saluran berbatu.
0.028 0.03 0.033 0.035
7 Saluran lengkung dengan
kecepatan aliran rendah
0.02 0.025 0.028 0.03
SALURAN ALAM
8 Bersih, lurus, tidak berpasir, tidak
berlubang.
0.025 0.028 0.03 0.033
9 Seperti No.8 tetapi ada timbunan
atau kerikil.
0.03 0.033 0.035 0.04
39
No Tipe Saluran Baik Sekali Baik Sedang Jelek
10 Melengkung bersih, berlubang dan
berdinding pasir.
0.033 0.045 0.05 0.055
11 Seperti No.10 dangkal tidak teratur. 0.04 0.045 0.05 0.055
12 Seperti No.10 berbatu dan ada
tumbuh-tumbuhan.
0.035 0.04 0.045 0.05
13 Aliran pelan, banyak tumbuh-
tumbuhan dan berlubang.
0.05 0.06 0.07 0.08
14 Banyak tumbuh-tumbuhan. 0.075 0.01 0.0125 0.015
SALURAN BUATAN, BETON atau BATU KALI
15 Saluran pasangan batu, tanpa
penyelesaian
0.025 0.03 0.033 0.035
16 Seperti No.16 tapi dengan
penyelesaian.
0.017 0.02 0.025 0.03
17 Saluran beton. 0.014 0.016 0.019 0.21
18 Saluran beton halus dan rata 0.01 0.022 0.012 0.013
19 Saluran beton pracetak dengan
acuan baja.
0.013 0.014 0.014 0.015
20 Saluran beton pracetak dengan
acuan kayu.
0.015 0.16 0.016 0.018
*) Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/BNKT/1990
Koefisien Kekasaran Manning ( n ) Pada suatu saluran tidak selalu sama.
Nilai tersebut bervariasi meskipun pada penampang yang sama, Faktor yang
mempengaruhi nilai tersebut ialah kekasaran permukaan, tumbuhan,
ketidakteraturan saluran, trase saluran, pengendapan dan penggerusan, hambatan,
ukuran dan bentuk saluran, taraf air dan debit, perubahan musiman, endapan
melayang dan endapan dasar (Prasetyo, 2018).
Tabel 2.16 Nilai kemiringan dinding saluran sesuai bahan
No Material
Saluran
Kemiringan Saluran
(%)
1 Pasir halus 0-5
2 Tanah asli 0-6
3 Napal kepasiran 0-7
4 Lanau aluvial 0-8
5 Kerikil halus 0-9
6 Lempung
kokoh 0-10
7 Lempung padat 0-10
8 Kerikil padat 0-10
40
9 Batu-batu besar 0-10
10 Pasangan batu
kali 10
11 Beton 10
*) Anugerah, 2019
Dalam merencanakan saluran drainase kemiringan memanjang saluran juga
harus sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana yang ditetapkan pada tabel
diatas (Anugerah, 2019)
Kemudian hasil perhitungan debit saluran tersebut dibandingkan dengan
perhitungan debit limpasan berdasarkan intensitas hujan yang diperoleh dari
analisis hidrologi dengan menggunakan persamaan Modifikasi Rasional
(Hardjosuprapto, 1998). Debit adalah faktor konversi dikalikan dengan koefisien
tampungan dikalikan dengan koefisien limpasan dikalikan dengan luas daerah
pengaliran sungai dengan pesamaan sebagai berikut.
. . . .Q F Cs C A I= (2.37)
Keterangan:
Q = Debit (m3/det)
F = Faktor konvensi,
F = 1/360 untuk Q dalam (m3/det)
F = 100/36 untuk Q dalam (1/det)
2.6.3 Kecepatan Aliran Drainase
Komponen kecepatan ini bervariasi terhadap kedalaman dari permukaan air.
Kecepatan minimum yang diijinkan adalah kecepatan terkecil yang tidak
menimbulkan pengendapan dan tidak merangsang tumbuhnya tanaman aquatic dan
lumut. Batas kecepatan aliran air berdasarakan bahan penyusun dinding dan dasar
saluran dapat dilihat pada Tabel 2.17 berikut.
Tabel 2.17 Batas Kecepatan Aliran berdasarkan Bahan Material
No Material Saluran Kecepatan Maksimum (m/s)
1 Tanah 0.7
2 Pasangan Batu Kali 2
3 Beton 3
*) Permen PU No. 12, 2014
41
Batas maksimum dan minimum kecepatan aliran di saluran drainase harus
memenuhi persyaratan yang diizinkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 12 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.
Batas minimum kecepatan aliran di saluran adalah sebesar 0.6 m/s, sedangkan batas
maksimum kecepatan terlihat pada tabel 2.15 diatas (Permen PU No. 12, 2014)
2.6.4 Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan merupakan jarak vertical dari puncak sungai ke permukaan
air pada kondisi debit rencana. Harga minimum untuk tinggi jagaan berdasarka
debit banjir yang terjadi dapat dilihat pada tabel 2.18 sebagai berikut :
Tabel 2.18 Tinggi Jagaan
Debit Tanggul Pasangan
(m3/s) (m) (m)
< 0.5 0.40 0.20
0.5 - 1.5 0.50 0.20
1.5 - 5.0 0.60 0.25
5.0 - 10.0 0.75 0.30
10.0 - 15.0 0.85 0.40
> 15.0 1.00 0.50
*) Sumber: Kementrian PU (2013)
Pada studi ini untuk menentukan bajir suatu penampang ditunjukkan dengan
ketinggian air yang harus lebih rendah hingga mencapai 0.5 meter dari pada tinggi
penampang yang ada dikarenakan debit rencana yang mencapai lebih dari 15 m3 /s
dan konstruksi penampang dari pasangan batu atau pasangan beton.
Tinggi jagaan adalah ruang pengamanan berupa ketinggian yang diukur dari
permukaan air maksimum sampai permukaan tanggul saluran dan/atau muka tanah
(SNI,2011:108). Tinggi total saluran dapat diperoleh dari jumlah tinggi jagaan (w)
dan tinggi saluran (H) adalah sebagai berikut:
H w h= + (2.39)
Dimana:
H = Tinggi total (m)
w = Tinggi jagaan (m)
h = Kedalaman air yang tergenang (m)
42
2.6.5 Bangunan bantu
Sofiah (2006) dalam Sari (2016) Bangunan bantu sebagai fasilitas drainase
jalan meliputi gorong-gorong, bangunan pematah arus atau terjunan. Gorong-
gorong untuk membawa saluran irigasi atau saluran drainase lain melintasi jalan
raya. Bangunan terjun untuk mengatur kemiringan saluran di medan yang curam.
Gambar-gambar bangunan.
1. Bangunan Terjun
Menurut Naharuddin dkk. (2018) Bangunan terjun dibutuhkan jika
kemiringan saluran lebih dari 1%, jika dibawah itu maka saluran tidak
membutuhkan bangunan terjun. Bangunan terjun direncanakan sendiri,
dimana konsep ada tidaknya bangunan terjun dapat diketahui dengan rumus:
PanjangSaluran Sn
TinggiTerjunan
=
(2.40)
Bangunan terjun adalah bangunan pertolongan yang diperlukan
untuk mengatasi perbedaan yang terlalu besar antara kemiringan dilapangan
dengan kemiringan rencana saluran. Bangunan diperlukan apabila Imedan >
IRencana .
Rumus yang digunakan untuk menghitun bangunan terjun adalah:
Gambar 2.7 Gambar Potongan Memanjang Bangunan Terjun
Sumber: Naharuddin dkk., 2018
1 3L z=
2 1 . 0.25cL C z h= + (2.41)
Dengan :
2L = Panjang Kolam Olak (m)
43
ch = Kedalaman Kritis (m)
Salh = Tinggi Air di Saluran (m) h1 = h2
t = Tinggi terjunan (m)
z = Kehilangan Energi (m)
2. Pintu Air
Pintu air dibuka saat muka air hilir (pembuangan akhir) rendah dan ditutup
bila muka air hilir tinggi. Saat kapasitas saluran di hulu cukup menahan air
sampai muka air hilir surut, bila tidak akan meluap atau menggenang.
Perencanaan lebar dan besar bukaan pintu itu pada saluran dihitung
menggunakan rumus seperti berikut dan pintu air yang direncanakan dapat
dilihat pada gambar 2.8.
. . .(2 ).1 2Q k A gz= (2.42)
Dimana:
Q = Debit outflow
k = Faktor aliran tenggelam (dapat dilihat pada gambar 2.17)
= Koefisien aliran (dapat dilihat pada gambar 2.18)
A = Luas penampang pintu air
z = Beda tinggi air upstream dan downstream
g = Percepatan gravitasi
Gambar 2.8 Pintu Air
Sumber: Sari, 2016
44
2.7 Konsep Analisa Hidrolika dengan HEC-RAS
Analisa hidrolika merupakan suatu analisis yang kompleks, dimana analisis
ini dilakukan dengan iterasi secara berulang baik pada aliran kondisi permanen
(steady flow) maupun pada aliran kondisi tidak permanen (unsteady flow) dengan
memasukkan parameter-parameter tertentu untuk mendapatkan variabel-variabel
tertentu (Rossana, 2015 dalam Anugerah 2019).
Salah satu variabel yang dihasilkan oleh HEC-RAS adalah profil muka air,
baik aliran baik pada aliran kondisi permanen (steady flow) maupun pada aliran
kondisi tidak permanen (unsteady flow). Profil muka air dari suatu penampang
dihitung dengan persamaan energi melalui prosedur iterasi yang disebut dengan
standart step method yang ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut:
2 2
2 2 1 12 2 1 1
2 2e
V VY Z Y Z h
g g
+ + = + + + (2.43)
Keterangan:
1Y , 2Y = Tinggi muka air pada penampang melintang 1 dan 2 (m)
1V , 2V = Kecepatan rata-rata pada penampang melintang 1 dan 2 (m/det)
1 , 2 = Koefisien Coriolis
g = Percepatan gravitasi (m2/det)
eh = Kehilangan tinggi energi (m)
2.8 Profil Air Balik (Back Water)
Dalam trasenya kadang-kadang pada saluran terdapat perubahan pada alur
atau gangguan pada aliran. Perubahan pada alur saluran misalnya perubahan
kemiringan dasar, perubahan elevasi dasar (pada terjunan), atau perubahan
penampang saluran. Gangguan pada aliran antara lain oleh adanya pintu air,
pelimpah atau perubahan muka air di hilirnya. Akibat perubahan dan gangguan
tersebut profil muka air berubah. Hal ini perlu diperhitungkan agar saluran tetap
dapat mengalirkan air buangan dan tak terjadi peluapan, serta sebagai dasar untuk
menentukan bangunan pelengkap/pertolongan.
Metode untuk menggambarkan bentuk lengkung air balik, diantaranya
Tahapan Langsung (Direct Step). Pembahasan hanya untuk aliran tidak seragam
45
berubah lambat laun (gradually varied flow) yang banyak ditemui dalam praktek.
Sifat aliran adalah subkritis dan perhitungan dimulai dari hilir ke arah hulu. Metode
yang dipakai untuk menggambarkan profil muka air adalah metode Tahapan
Langsung seperti yang terlihat pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Sket definisi untuk perhitungan aliran tidak seragam, metode
tahapan langsung
Sumber: Sofiah. F, 2006 dalam Sari. O.L, 2016 2 2
1 21 20 .
2 2O e
V VS x h h S x
g g + + = + + + (2.43)
1 2 .O eS x E E S x + = + (2.44)
2 1
0 ert
E Ex
S S
− =
− (2.45)
Dimana:
OS = Kemiringan dasar saluran
eS = Kemiringan energi = 2 2
4/3
V n
R
V = Q
A
ertS = 2
2
e elS S+
E = Energi spesifik
x = Jarak
x = panjang pengaruh backwater
46
2.8 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi
dalam penulisan tugas akhir ini seperti yang terlihat pada Tabel 2.19 berikut.
Tabel 2.19 Penelitian Terdahulu
No Judul Permasalahan Solusi
1
Evaluasi Sistem
Drainase Kecamatan
Ponorogo Kabupaten
Ponorogo.
Suryaman, H (2013)
- Kapasitas saluran
drainase primer dan
saluran drainase
sekunder tidak dapat
menampung debit
rancangan yang ada
- Penyempitan saluran
primer
- Perencanaan dimensi saluran di
sesuaikan dengan daerah
(Cath-
ment area) yang berpengaruh
pada saluran tersebut
- Perencanaan dimensi saluran
sesuai perubahan tata guna
lahan perkembangan saat ini
2
Perencanaan Saluran
Drainase (Studi Kasus
Desa Rambah).
Lubis, H dkk (2014)
- Tidak terawatnya
drainase Alami
- Tidak berfungsinya
drainase alami
- Perencanaan ulang dimensi
saluran sesuai debit rencana
3
Analisis Kinerja
Sistem Drainase
Kelurahan Kuto Panji
Kecematan Belinyu.
Restiani, E & Sabri, F
(2015)
- Kurangnya kinerja
system drainase
- Saluran sekunder tidak
dapat menampung
debit aliran
- Pelebaran saluran agar dapat
menampung debit rencana
- Normalisasi saluran berupa
pengerukan secara berkala
dan menambahkan penyaring
sampah pada saluran alami
4
Analisis Hidrologi
dan Kapasitas Sistem
Drainase Kota
Surakarta. Hutomo,
F.P & Firmansyah , R
(2016)
- Backwater dari aliran
tengah kota
- Banjir kiriman oleh
aliran dari hulu DAS
Solo
- Saluran sekunder tidak
dapat menampung
debit aliran
- Perencanaan ulang dimensi
saluran saluran sekunder sesuai
debit kala ulang
- Mendesign sumur resapan pada
- Setiap DAS yang banjir
*) Penulis, 2019
2.9 Letak Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah berdasarkan penelitian-penelitian
terdahulu yang telah dipelajari oleh penulis. Penelitian yang dilakukan memiliki
beberapa pesamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu, secara umum posisi
penelitian dapat dijabarkan seperti pada Tabel 2.20 berikut.
Tabel 2.20 Posisi penelitian
No Sumber
Analisis
Debit
Limpasan
Evaluasi
Kinerja
Saluran
Perencanaan
Ulang
Saluran
Draisane
Perencanaan
Bangunan
Terjun
1 Suryaman, H (2013) √ √ √
2 Lubis, H dkk (2014) √ √
47
No Sumber
Analisis
Debit
Limpasan
Evaluasi
Kinerja
Saluran
Perencanaan
Ulang
Saluran
Draisane
Perencanaan
Bangunan
Terjun
3 Restiani, E & Sabri,
F (2015) √
4
Hutomo, F.P &
Firmansyah , R
(2016)
√ √ √
5 Penelitian yang
dilakukan √ √ √ √
*) Penulis, 2019
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, terdapat penelitian terdahulu
yang hanya melakukan evaluasi kinerja saluran maupun perencanaan ulang saluran
drainase, sehingga penulis mencoba untuk menambahkan bangunan bantu berupa
pintu air. Terdapat beberapa persamaan metode perencanaan yang dilakukan
penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu dan perbedaan yang terletak pada
posisi penelitian yang dilakukan penulis. Letak penelitian dapat dilihat pada gambar
2.10 berikut.
Gambar 2.10 Posisi Penelitian
Sumber: Penulis, 2019
Pada gambar 2.10 dijelaskan bahwa penelitian yang dikerjakan oleh penulis
adalah irisan dari tiga poin utama yang terletak pada penelitian-penelitian terdahulu.
Pada diagram Venn tersebut pokok penelitian penulis sama denganpenelitian
48
terdahulu no 1 dan 4. Hal yang membedakan penelitian ialah lokasi yang ditinjau,
luas area tinjauan, kontur daerah tinjauan serta, tata guna lahan area yang ditinjau.