Upload
nguyennhan
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Pada tinjauan pustaka ini akan dikaji beberapa konsep dasar yang penulis
jelaskan dalam membahas jaringan sosial pedagang pasar tradisional. Konsep yang
akan diuraikan dalam bab ini: 1) perkembangan pasar tradisional, 2) fungsi dan
peranan pasar tradisional, 3) aktor pasar, 4) jaringan sosial pedagang pasar tradisional
dan 5) pendekatan jaringan sosial.
2.1.1 Perkembangan Pasar Tradisional
Dalam bahasa Latin, pasar berasal dari kata “mercatus”, yang bermakna
berdagang atau tempat berdagang. Clifford Geertz (1973:30-31) menjelaskan bahwa
pengertian pasar sebagai kata serapan dari bahasa Parsi, yaitu “bazaar”, lewat bahasa
Arab bermakna suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum
dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat, dan suatu dunia
sosial-budaya yang lengkap dalam sendirinya.
Hal yang sama turut dijelaskan Chandradhy (1984:19) bahwa kata lain dari
pasar adalah “pekan” yang kata kerjanya mapeken artinya berkumpul. Berkumpul
dalam arti saling ketemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam
panggilan sosial perodik. Pasar secara harfiah berarti berkumpul untuk tukar menukar
barang atau jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari bahasa Sanskerta
13
Pancawara. Dalam konsep urban jawa pasar merupakan kejadian yang berulang
secara ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral, yang sentral dalam kegiatan
pasaran adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa.
Munculnya pasar menurut Nastiti (2003:60) adalah tidak terlepas dari
kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan
sendiri terpenuhi memerlukan tempat untuk menjualnya. Selain itu pemenuhan
kebutuhan akan barang-barang membutuhkan tempat yang praktis untuk
mendapatkan barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya kebutuhan inilah
yang menyebabkan munculnya tempat berdagang yang disebut pasar. Alasan tersebut
yang melatarbelakangi manusia membutuhkan pasar sebagai tempat untuk
memperoleh barang atau jasa yang diperlukan, tetapi tidak mungkin masyarakat dapat
menghasilkan sendiri.
Lebih jauh Nastiti menjelaskan komponen-komponen pasar antara lain lokasi,
bentuk fisik, komoditi, produksi, distribusi, transportasi, transaksi serta rotasi. Hal
yang sama dengan Mahendara (2007:83) menjelaskan bahwa pasar muncul sebagai
pusat tukar menukar, perdagangan sebagai kegiatan tukar menukar yang sebenarnya,
dan uang sebagai alat penukarnya.
Perkembangan sebuah pasar secara garis besar diawali dengan adanya dua
kebutuhan yang berbeda sehingga muncul barter pada saat itu. Pasar terus
berkembang setelah dikenal nilai tukar barang (uang), muncul pasar tradisional yang
memiliki lokasi tersebar pada ragam wilayah dan menempati tempat yang lebih
permanen. Moersid (dalam Heri Hermanto, 2008:16) menjelaskan bahwa pada
14
awalnya pasar tradisional ini mengambil tempat di suatu ruang atau lapangan terbuka,
di bawah pohon besar yang telah ada, di salah satu sudut perempatan jalan atau
tempat lain yang setidaknya adalah strategis dilihat dari lokasi lingkungan yang
bersangkutan.
Pedagang dalam berjualan hanya sekedar menempati ruang terbuka tersebut
dengan alat bantu berjualan yang dibawa dari tempat tinggalnya dan dibawa pulang
setelah selesai berjualan. Pasar berkembang sejalan dengan munculnya bangunan
sederhana terbuat dari bahan seperti bambu, kayu dan menempati ruang bercampur
dengan para pedagang yang berjualan dengan cara sebelumnya. Campur tangan pihak
pengelola daerah pada aktivitas pasar ini adalah berupa pembuatan kios/los yang
permanen. Adapun perkembangan bentuk pasar tradisional adalah dapat dijelaskan
pada gambar berikut:
Gambar 2.1 Perkembangan Bentuk Pasar Tradisional
Sumber: Moersid (1995)
Menurut Moersid (dalam Heri Hermanto, 2008:17) hal positif yang ada pada
pasar tradisional adalah:
1. Pasar memberikan pelayanan kepada semua tingkatan golongan masyarakat dan jadi tempat bertemunya antar golongan tersebut.
15
2. Pasar menyediakan berbagai jenis pelayanan dan tingkat fasilitas sehingga pasar jadi tempat berbelanja dan berdagang dari berbagai golongan masyarakat.
3. Pasar menampung pedagang-pedagang kecil golongan ekonomi lemah. 4. Pasar menumbuhkan berbagai kesempatan kerja sampingan dan pelayanan
penunjang. 5. Pasar dengan kelanjutan bentuk ‘tradisional’ ini menimbulkan suasana ‘bazzaar’,
tradisi tawar menawar dan hubungan langsung antar manusia yang manusiawi.
Tipe pasar tradisional sebenarnya sangatlah beragam jenisnya, dan dalam
pertumbuhannya telah berlangsung lama. Setiap pasar memantapkan peran, fungsi
serta bentuknya sendiri-sendiri. Bila umumnya mereka berfungsi sebagai pasar
pengecer, di kota-kota beberapa pasar berkembang menjadi pasar pengumpul,
sementara di kota-kota besar menjadi grosir. Menurut Dewar (dalam Heri Hermanto,
2008:18) menjelaskan bahwa beberapa pasar ada yang mengkhususkan pada
penjualan komoditi tertentu, seperti hewan/ternak, buah dan sebagainya. Dalam
waktu kegiatan perdagangannya pasar tradisional ini dikenal adanya pasar harian dan
periodik (pasar Legi, Kliwon, Pon, Wage, pasar Minggu, pasar Jum’at dan
sebagainya) sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat akan komoditas pasar
yang tidak selalu harus dipenuhi setiap hari.
Dalam sosiologi ekonomi, pasar diartikan sebagai salah satu lembaga paling
penting dalam institusi ekonomi yang menggerakkan dinamika kehidupan ekonomi,
berfungsinya pasar tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh pembeli dan
pedagang. Aspek yang tidak kalah menarik dalam pasar adalah aspek ruang dan
waktu serta aspek tawar-menawar yang terjadi di pasar (Damsar, 1997: 101).
16
Chourmain (1994: 231) menjelaskan bahwa pasar adalah tempat dimana
terjadinya interaksi antara penjual dan pembeli. Selanjutnya Belshaw (1981:10)
menjelaskan bahwa pasar tradisional adalah tempat yang mempunyai unsur-unsur
sosial, ekonomi, kebudayaan, politik dan lain-lain, tempat pembeli dan penjual (atau
penukar tipe lain) saling bertemu untuk mengadakan tukar menukar. Bangunan
biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los yang dibuka oleh penjual maupun suatu
pengelola pasar. Bahkan pasar merupakan ciri pokok dari jalinan tukar menukar yang
menyatukan seluruh kegiatan ekonomi. Sehingga pasar merupakan pranata penting
dalam kegiatan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
Dari beberapa pengertian tersebut, pasar diartikan sebagai institusi ekonomi
yang berperan dalam pertukaran ataupun tempat transaksi jual beli yang dilakukan
oleh pembeli dan pedagang. Pedagang menawarkan barang dagangannya dengan
harapan barang dagangannya dapat laku terjual dan memperoleh uang sebagai
gantinya. Adapun para pembeli akan datang ke pasar untuk berbelanja dengan
membawa uang untuk membayar sejumlah barang yang dibelinya. Pedagang dan
pembeli akan melakukan tawar menawar harga hingga terjadi kesepakatan harga.
Setelah kesepakatan harga dapat dilakukan, barang akan berpindah dari tangan
penjual ke tangan pembeli. Pembeli akan menerima barang dan penjual akan
menerima uang. Hal ini merupakan pengertian pasar secara konkrit, artinya
pengertian pasar dalam kehidupan sehari-hari yaitu tempat orang-orang bertemu
untuk melakukan transaksi jual beli barang.
17
Sementara itu, dalam Peraturan Presiden (No. 112 tahun 2007) secara umum
pasar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Pasar tradisional merupakan pasar dengan area jual beli yang dikembangkan dan dikelola secara resmi oleh PEMDA dimana aktivitas tersebut hanya didukung oleh jumlah sarana serta tingkat kenyamanan yang relatif secukupnya. Termasuk dalam hal ini pasar regional, pasar kota, pasar wilayah dan pasar lingkungan.
2. Pasar modern yaitu pasar dengan jual beli berbagai jenis barang yang dikelola secara terpadu dan pada umumnya menerapkan pola swalayan. Karakteristik yang terpenting dari pola pasar ini adalah adanya pengelolaan modern seperti manejemen, teknologi, serta promosi yang agresif, disamping tersedianya sarana belanja umum yang mewah, teratur, bersih dan nyaman. Pasar swalayan (supermarket), department store, pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza termasuk dalam kategori pasar ini.
3. Pasar informal merupakan pasar dengan area jual beli yang menempati lokasi secara tidak legal, sehingga aktivitas perdagangan yang terjadi berlangsung dalam suasana yang darurat dan seadanya. Pasar ini tidak memiliki sarana penunjang, pengaturan, maupun kenyamanan berbelanja. Pasar ini biasanya terdapat di sekitar pasar formal, titik keramaian di jalan raya atau di wilayah permukiman.
2.1.2 Fungsi dan Peranan Pasar Tradisional
Pasar mempunyai peranan penting dalam mendorong kegiatan perekonomian
baik bagi konsumen, produsen maupun pemerintah. Bagi konsumen, pasar
memberikan kemudahan untuk memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan, tidak
perlu mencari produsen penghasil barang dan jasa yang dibutuhkan. Dengan
demikian konsumen dapat menghemat waktu, biaya dan tenaga. Bagi produsen, pasar
berperan sebagai tempat untuk memperoleh dan barang-barang yang akan digunakan
dalam suatu proses produksi. Selain itu, pasar juga berperan sebagai tempat untuk
memasarkan dan mempromosikan hasil produksi. Peranan pasar bagi pemerintah
daerah, melalui pasar pemerintah dapat memperoleh pendapatan melalui pungutan
retribusi dan penerimaan lainnya.
18
Fungsi pasar yang ada saat ini berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 378/KPTS/1987 tentang Pengesahan 33 Standar Konstruksi Bangunan
Indonesia, diuraikan sebagai berikut:
1. Pasar sebagai tempat pengumpul hasil pertanian. Penjualan hasil-hasil pertanian seperti ketela, kol, kentang, beras dan lain-lain banyak terjadi di pasar, di mana proses pengumpulan hasil pertanian tersebut dilakukan di lokasi pertanian.
2. Pasar sebagai tempat distribusi barang industri. Pasar juga merupakan tempat distribusi barang-barang industri tertentu yang menyediakan peralatan rumah tangga yang diperlukan sebagai pelengkap dapur atau kebutuhan sehari-hari.
3. Pasar sebagai tempat menukar barang kebutuhan Proses jual beli sering kali terjadi dengan tidak mempergunakan alat tukar (uang) tetapi dengan barang (barter). Proses ini terjadi akibat adanya kontak langsung antara penjual dan pembeli dan kuatnya faktor budaya atau kebiasaan dari penjual.
4. Pasar sebagai tempat jual beli barang dan jasa Pasar berdasarkan fungsi ekonomis merupakan tempat jual beli barang dan jasa. Jasa disini tidak selalu berupa barang tetapi lebih merupakan 29 tenaga keahlian atau pelayanan, misalnya tukang cukur, tukang parut, pembawa barang dagangan.
5. Pasar sebagai tempat informasi perdagangan Pasar merupakan tempat informasi perdagangan karena di dalam pasar terjadi proses perputaran berbagai jenis barang, uang dan jasa. Jumlah barang atau jenis barang yang diperlukan atau yang beredar, harga yang berlaku sampai pada distribusi barang dapat diketahui melalui informasi pasar.
Selanjutnya Soelarno (1999:297) juga menjelaskan bahwa fungsi pasar selain
mempertemukan pembeli dan penjual di dalam pasar, juga dapat diamati dari
berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti bidang sosial, ekonomi, budaya dan
politik
1. Fungsi pasar dari sudut sosial: (1) menyediakan bahan pokok yang diperlukan masyarakat; (2) menyediakan tempat berjualan bagi pedagang atau pihak-pihak yang ingin memasarkan barang/dagangannya; (3) tempat bertemunya produk yang siap dijual dan konsumen yang memerlukan produk dimaksud; (4) tempat untuk mendapatkan kesempatan kerja baik pemilik modal maupun mereka yang
19
bermodalkan tenaga/jasa; (5) dalam perkembangan keadaan yang semakin maju ini pasar dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi/jalan-jalan sambil belanja.
2. Fungsi pasar dari sudut ekonomi: (1) memberi penyaluran kegiatan ekonomi yaitu penawar dan permintaan; (2) memberi informasi dan menciptakan stabilitas harga; (3) tempat pembinaan para pedagang; (4) tempat mencari nafkah bagi pencari kerja selain pedagang; (5) mendorong pengusaha kecil; (6) sarana penyaluran bantuan modal bagi para pedagang yang membutuhkan; (7) tempat pengembangan koperasi antar pedagang maupun pihak-pihak yang ada di lingkungan pasar.
3. Fungsi pasar dari sudut budaya: (1) menyediakan tempat bagi pengrajin termasuk benda-benda seni; (2) untuk mendapatkan gambaran perilaku masyarakat (ekonomi lemah, pedagang kecil dan sebagainya); (3) dapat menampilkan gambaran tentang bagian dari budaya bangsa dengan berbagai corak yang dipasarkan.
4. Fungsi pasar dari sudut politik: salah satu unsur stabilitas nasional adalah stabilitas politik, dan ini dapat berjalan dan terlaksana dengan baik apabila tidak ada keresahan dalam masyarakat. Dalam usaha mencegah keresahan masyarakat salah satu diantaranya dapat ditempuh memenuhi stabilitas harga, menyediakan barang-barang dengan cukup dan memberi kesempatan kerja kepada banyak orang yang memerlukan. Kesemuanya ini dapat dilakukan melalui pasar.
Peran pasar terus meningkat sebagai akibat berkembangnya fungsi pasar saat
ini. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987
tentang Pengesahan 33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, peranan pasar
dijabarkan sebagai berikut:
1. Pasar sebagai tempat pemenuhan kebutuhan. Pasar menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari yaitu sandang dan pangan, dengan demikian bisa diartikan bahwa di dalam pasar dapat ditemukan kebutuhan pokok sehari-hari atau kebutuhan pada waktu-waktu tertentu.
2. Pasar sebagai tempat rekreasi. Pasar menyediakan aneka ragam barang untuk kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan yang akan datang. Barang-barang tersebut ditata dan disajikan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian pengunjung. Orang-orang yang datang ke pasar kadang-kadang hanya sekedar berjalan-jalan sambil melihat-lihat barang dagangan untuk melepaskan ketegangan atau mengurangi kejenuhan.
3. Pasar sebagai sumber pendapatan daerah/kota. Kegiatan pasar akan mengakibatkan terjadinya perputaran uang dan Pemerintah Kabupaten berhak menarik retribusi dari kegiatan-kegiatan tertentu yang terjadi di pasar. Hasil penarikan retribusi akan menambah pendapatan daerah dan besarnya
20
hasil penarikan dari retribusi ini akan sangat bergantung pada kondisi pasar, skala pelayanan dan pengelolaan pasar.
4. Pasar sebagai tempat bekerja. Berdagang juga merupakan pelayanan jasa sehingga dalam kegiatan itu pasar tidak lagi sekedar tempat jual beli tetapi juga sebagai tempat kerja.
5. Pasar sebagai tempat komunikasi sosial. Bentuk jual beli antara pedagang dan pembeli terjadi dengan cara kontak langsung, sehingga dalam proses jual beli terjadi komunikasi dan terjadi interaksi sosial. Pasar-pasar tradisional yang berada di lokasi di mana masyarakat sekitarnya masih menampakkan sifat kerukunan dan masih adanya ikatan masyarakat yang sering disebut paguyuban, merupakan tempat orang berkumpul dan berbincang-bincang, mengikat kerukunan yang telah ada dan menyambung hubungan batin. Paguyuban tampak akrab karena pembeli yang datang tidak dibedakan status sosial dan profesinya.
6. Pasar sebagai tempat studi dan latihan. Pasar dapat digunakan sebagai tempat studi dan pendidikan di mana pada pasar tersebut dapat diketahui seluk-beluk kondisi pasar dan perkembangan pasar, tingkat kebutuhan pasar suatu daerah/kota, tingkat pendapatan, tingkat pelayanan, pola hubungan antara pasar dengan komponen pelayanan yang lainnya.
2.1.3 Aktor Pasar
Perdagangan merupakan kegiatan atau proses jual beli dan tawar menawar
antara seorang penjual di satu pihak dan pembeli di pihak lain. Melalui perdagangan
individu dan kelompok melakukan transaksi ekonomi untuk mendapatkan sesuatu
yang menjadi kebutuhannya berupa barang atau jasa secara kontinuitas, tindakan
perdagangan dilakukan pada suatu institusi ekonomi yaitu pasar yang di dalamnya
terdapat proses tawar menawar dan tukar menukar aktor perdagangan (Rex, 1985:
36).
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Belshaw (1981:7) bahwa perdagangan
didalamnya terdapat tukar menukar, menerobos seluruh bangunan sosial dan dapat
dipandang sebagai tali pengikat masyarakat. Berdasarkan analisis sosiologis,
21
perdagangan dapat melahirkan bentuk-bentuk interaksi dan hubungan yang akrab
diantara orang-orang yang terlibat didalamnya. Artinya, perdagangan tersusun dalam
dimensi yang kompleks meliputi penawaran, persaingan, konflik dan lain-lain.
Kesemuanya itu menemukan pola interaksi dan strategi aktor-aktor yang terlibat
didalamnya.
Lebih lanjut Weber (1964) mengemukakan bahwa aktor selalu
memperhatikan orang lain melalui makna yang dibangun secara sosial. Dalam
pandangan ini, aktor ekonomi adalah homo sosiologicus. Ini berarti bahwa aktor
menginterpretasikan (verstehen) kebiasaan-kebiasaan adat-istiadat dan norma-norma
yang dimiliki dalam sistem hubungan sosial yang sedang berlangsung.
Damsar (2005:106) menjelaskan bahwa aktor pasar retail di Indonesia terdiri
dari pedagang, pembeli dan organisator pasar. Selengkapnya peran dari masing-
masing aktor dijelaskan sebagai berikut:
1. Pedagang adalah orang atau instansi yang memperjualbelikan produk atau barang kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Pembeli adalah konsumen yang membutuhkan barang dan melakukan transaksi di dalam pasar.
3. Organisator pasar adalah pihak yang mengelola pasar.
Damsar memaparkan mengenai pedagang dilihat dari sudut pandang sosiologi
ekonomi dapat dibedakan berdasarkan cara penggunaan dan pengolahan pendapatan
yang didapatkannya dari hasil perdagangan dan hubungannya dengan ekonomi
keluarga. Dari studi Sosiologi Ekonomi tentang pedagang yang telah dilakukan
seperti Geertz (1963), Mai dan Buchholt (1987) (dalam Damsar 2002:95) dapat
disimpulkan diantaranya yaitu:
22
1. Pedagang profesional yaitu pedagang yang menganggap aktivitas perdagangan merupakan pendapat dari hasil perdagangan sumber utama dan satu-satunya bagi ekonomi keluarga. Pedagang professional mungkin saja ia adalah pedagang distributor, pedagang (partai) besar atau pedagang eceran.
2. Pedagang semi profesional adalah pedagang yang mengakui aktivitasnya untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.
3. Pedagang Subsistensi merupakan pedagang yang menjual produk atau barang dari hasil aktivitas atas subsitensi untuk memenuhi ekonomi rumah tangga.
4. Pedagang Semu adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan karena hobi atau untuk mendapatkan suasana baru atau mengisi waktu luang.
Seperti halnya pedagang, pembeli juga tidak seragam. Damsar (2005:109)
membedakan pembeli menjadi 3 (tiga) tipe yaitu:
1. Pengunjung yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar tanpa mempunyai tujuan untuk melakukan pembelian terhadap sesuatu barang atau jasa. Mereka ini adalah orang-orang yang menghabiskan waktu luangnya di lokasi pasar.
2. Pembeli yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud untuk membeli suatu barang atau jasa, tetapi tidak mempunyai tujuan ke (di) mana akan membeli.
3. Pelanggan yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud membeli sesuatu barang atau jasa dan punya arah tujuan yang pasti ke (di) mana akan membeli. Seseorang yang menjadi pembeli tetap dari seorang penjual tidak terjadi secara kebetulan, tetapi melalui proses interaksi sosial.
Sedangkan organisator pasar di Indonesia diselenggarakan oleh paling sedikit
3 (tiga) aktor (Damsar, 2005:112), yaitu:
1. Pemerintah, biasanya berfungsi pada pasar-pasar yang didirikan oleh pemerintah sendiri, misalnya pasar inpres, pasar tradisional dan seterusnya. Pasar ini dikelola oleh Dinas Pasar dari struktur pemerintahan tertentu, misalnya kabupaten dan kotamadya. Dalam struktur pasar jenis ini, selain terdapat pengurus pasar yang merupakan bahagian dari tugas Pegawai Negeri juga terdapat pegawai lepas atau harian misalnya pemungut retribusi, petugas keamanan pasar dan seterusnya.
2. Bukan pemerintah merupakan pasar yang dikelola oleh masyarakat. Pada daerah tertentu terdapat pasar secara sosio-kultural yang merupakan bahagian dari masyarakat misalnya pasar di Minangkabau. Pasar tersebut diorganisir oleh suatu nagari. Struktur pengelolaan dan penamaannya dikaitkan dengan tradisi yang dimiliki seperti penghulu pasar, mantra pasar dan seterusnya.
3. Swasta yaitu pasar yang dibangun dan dikelola oleh pihak swasta. Pasar ini biasanya terdapat di kota-kota besar seperti di Jakarta dan Surabaya. Pasar jenis ini
23
dikelola secara swadaya mulai dari aspek keamanan sampai pada pengembangan pasar tersebut.
2.1.4 Jaringan Sosial Pedagang Pasar Tradisional
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup bersama dengan orang lain. Oleh
sebab itu, dalam hidupnya seorang anak manusia (individu) selalu ingin melakukan
interaksi sosial dengan individu lainnya. Interaksi sosial antar individu tersebut
mengkristal menjadi suatu hubungan sosial. Hubungan sosial yang terus menerus
antar individu menghasilkan jaringan sosial diantara mereka. Pada dasarnya setiap
individu sebagai mahkluk sosial akan selalu dihubungkan dengan jaringan sosial yang
kompleks.
Dalam hubungan dengan perdagangan, Hans-Dieter Evers (1988:92-93)
memberikan batasan tentang jaringan perdagangan (trading network) yaitu merujuk
pada proses sosial dari pertukaran yang mana terjadi interaksi sosial antara pribadi-
pribadi dengan tujuan utama pertukaran barang yang dikarenakan adanya jarak
geografis yang relatif jauh. Pada umumnya antara pedagang-pedagang tidak selalu
berada dalam jarak yang dekat akan tetapi bisa dalam jarak yang berjauhan. Dengan
demikian perdagangan merupakan sesuatu yang lazim dilakukan masyarakat untuk
memperoleh barang yang tidak tersedia atau langka bagi masyarakat.
Kegiatan berdagang di pasar tradisional tidak menuntut keahlian yang khusus,
usaha yang berskala kecil dan tidak menuntut modal yang besar. Di dalam kegiatan
tersebut pedagang pasar tradisional memerlukan hubungan sosial dengan aktor-aktor
lainnya. Seorang pedagang pasar tradisional yang sukses adalah orang yang bisa
24
menjaga hubungan bisnis dengan baik karena mereka sadar bahwa suksesnya berasal
dari siapa saja relasi yang dibangunnya dan seberapa besar kontribusi relasi tersebut
terhadap bisnisnya.
Suparlan (1982: 37) menjelaskan bahwa jaringan sosial dapat dilihat sebagai
sejumlah kecil titik-titik yang dihubungkan oleh garis-garis. Titik-titik ini dapat
berupa orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat,
negara dan sebagainya. Garisnya ini dapat merupakan perwujudan dari hubungan
sosial antar individu, pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-
subordinat, hubungan antarorganisasi, persekutuan militer, dan sebagainya.
Dalam pendekatan jaringan sosial, pasar merupakan suatu struktur hubungan
antara beberapa aktor pasar seperti pemasok (rekanan), distributor, pelanggan,
pembeli dan lain-lain (Damsar, 2005:16). Kesemua aktor tersebut membentuk suatu
kompleksitas jaringan aktor pasar yang menggunakan berbagai macam energi sosial
budaya seperti trust, clientization, berbagai bentuk hubungan seperti kekerabatan,
suku, daerah asal, almamater dan seterusnya. Para pedagang pasar tradisional
membangun jaringan sosial berdasarkan hubungan sosial yang telah terjalin lama.
Melalui jaringan sosial, aktor-aktor berhubungan satu sama lain dengan ikut serta
dalam tindakan yang resiprositas (hubungan timbal-balik) dan melalui hubungan ini
pula diperoleh keuntungan yang saling memberikan apa yang dibutuhkan satu sama
lain. Akhirnya, memberikan pengaruh positif bagi eksistensi mereka.
Jaringan sosial perdagangan umumnya dilakukan atas dasar kepercayaan yang
dibentuk oleh pedagang dan pembeli. Sebagaimana diungkapkan oleh Damsar
25
(2005:167) bahwa dengan adanya jaringan sosial aktor-aktor dalam suatu rangkaian
jaringan dihubungkan, direkat atau diikat oleh unsur kepercayaan antara satu dengan
yang lainnya. Sehingga individu-individu ikut serta dalam tindakan resiprositas dan
melalui hubungan itu pula diperoleh kesepakatan “dapat bahagian”, informasi dan
sumber daya. Hal yang sama juga dijelaskan Granovetter (Damsar, 2002:131) bahwa
jaringan hubungan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau
hubungan sosial yang sama diantara individu-individu atau kelompok-kelompok.
Jaringan sosial ini terbentuk berdasarkan kepentingan atau ketertarikan
individu yang sama untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu dalam
memahami jaringan sosial pedagang pasar tradisional dapat ditunjukkan melalui
keterkaitan hubungan-hubungan sosial pedagang dengan orang lain dalam rangka
mempertahankan aktivitas bisnis mereka. Jaringan sosial ini dimanfaatkan untuk
memperoleh informasi-informasi bisnis dan sumber daya yang akan membantu
suksesnya kegiatan dalam perdagangan.
2.2 Pendekatan Jaringan Sosial
Dalam pandangan sosiologi, pasar merupakan fenomena sosial yang
kompleks dengan berbagai macam perangkatnya, sebagaimana Damsar (2005:5)
menggambarkan bahwa pasar merupakan suatu struktur yang padat dengan jaringan
sosial atau yang penuh dengan konflik dan persaingan. Terbentuknya jaringan sosial
disebabkan karena adanya serangkaian hubungan sosial yang teratur, konsisten dan
26
berlangsung lama di antara sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan tujuan
yang sama.
Menurut pakar teori jaringan menjelaskan bahwa sasaran perhatian utama
teori jaringan adalah pola ikatan yang menghubungkan anggota masyarakat
(individual dan kolektivitas). Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Wellman (dalam
Ritzer dan Douglas, 2005:382) bahwa:
“Analisis jaringan memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama sosiolog adalah mempelajari struktur sosial… cara paling langsung mempelajari struktur sosial adalah menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menelusuri struktur bagian yang berada di bawah pola jaringan biasa yang sering muncul ke permukaan sebagai sistem sosial yang kompleks… aktor dan prilakunya dipandang sebagai dipaksa oleh struktur sosial ini. Jadi, sasaran perhatian analisis jaringan bukan pada aktor sukarela, tetapi pada paksaan struktural.
Selanjutnya Ritzer dan Goodman (2003:384-385) menyebutkan bahwa teori
jaringan ini bersandar pada sekumpulan prinsip yang berkaitan secara logis seperti
berikut:
1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang makin besar atau makin kecil.
2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas. 3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan nonacak. Di satu
pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan terdapat ikatan antara A dan C. akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B dan C. Di lain pihak, ada keterbatasan tentang berapa banyak hubungan yang dapat muncul dan seberapa kuatnya hubungan itu dapat terjadi.
4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antar kelompok jaringan maupun antar individu.
5. Ada ikatan simetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tak merata.
27
6. Distribusi yang timpang akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan bekerjasama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya.
Ciri khas dari teori jaringan adalah pemusatan perhatian pada struktur mikro
hingga makro. Artinya, aktor dari teori jaringan adalah individu, kelompok
perusahaan dan masyarakat. Sehingga hubungan yang terjadi disini berada di tingkat
struktur sosial skala luas maupun di tingkat yang lebih mikroskopik. Lebih lanjut,
dalam menganalisis jaringan sosial Granoveter memperkenalkan konsep keterlekatan
yaitu tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded)
dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor.
Granovetter (1985:490) menggambarkan hubungan di tingkat mikro itu seperti
tindakan yang “melekat” dalam hubungan pribadi konkret dan dalam struktur
(jaringan) hubungan itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor
(individu atau kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang
bernilai (kekuasaan, kekayaan, informasi) (Ritzer, 2005:383).
Selanjutnya Granovetter (2005) mengungkapkan bahwa terdapat empat
prinsip utama yang melandasi pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara
jaringan sosial dengan manfaat ekonomi yaitu: (1) Norma dan kepadatan jaringan
(network density). (2) Lemah atau kuatnya ikatan (ties) yakni manfaat ekonomi yang
ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Dalam konteks ini ia
menjelaskan bahwa tataran empiris, informasi baru misalnya, akan cenderung didapat
dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang umumnya memiliki
wawasan yang hampir sama dengan individu dan kenalan baru relatif membuka
28
cakrawala dunia luar individu. (3) Peran lubang struktur (structural holes) yang
berada di luar ikatan lemah ataupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk
menjembatani relasi individu dengan pihak lain. (4) Interpretasi terhadap tindakan
ekonomi dan non ekonomi, yaitu adanya kegiatan-kegiatan non ekonomis yang
dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata mempengaruhi tindakan
ekonominya. Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non
ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial.
Kemudian Granovetter (1990) membedakan dua bentuk keterlekatan, yaitu:
1. Keterlekatan relasional merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor.
2. Keterlekatan struktural adalah keterlekatan yang terjadi dalam suatu jaringan hubungan yang lebih luas seperti institusi atau struktur sosial.
Fukuyama (2002: 324) menjelaskan bahwa jaringan diartikan sebagai
sekelompok agen-agen individual yang berbagi norma-norma atau nilai-nilai informal
melampaui nilai-nilai atau norma-norma yang penting untuk transaksi-transaksi pasar
biasa. Sedangkan Boissevain (1978: 24) mendefinisikan jaringan sebagai suatu
bentuk relasi sosial dalam setiap individu yang terkait dapat dinyatakan sebagai
sebuah jaringan. Kemudian ia juga menambahkan bahwa jaringan sosial adalah lebih
dari konsep jaringan komunikasi karena pada bentuk tertentu, interaksi antara dua
aktor yang terbentuk berdasarkan prinsip dan nilai dari interaksi tersebut dan hal ini
dinyatakan sebagai transactions. Hubungan sosial yang terbentuk dalam interaksi ini
dilihat sebagai pergeseran dari sistem kepada struktur.
29
Hal yang berbeda dijelaskan oleh Lawang (2004:50) bahwa jaringan yang
digunakan dalam teori kapital sosial (social capital), dapat diartikan sebagai berikut:
1. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial) yaitu dapat berupa saling tolong menolong dan lain-lain. Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan, boleh dalam bentuk strategik, boleh pula dalam bentuk moralistik. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.
3. Seperti halnya sebuah jaringan (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat “menangkap ikan” lebih banyak.
4. Dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaring itu tidak bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat.
5. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan
6. Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan (Lawang, 2004: 50-51).
Menurut Lawang (2005), prinsip-prinsip jaringan sosial adalah:
1. Jaringan sosial apapun harus diukur dengan fungsi ekonomi dan fungsi kesejahteraan sosial sekaligus.
2. Masih dalam fungsinya memperlancar (pelumas) kegiatan ekonomi, jaringan sosial harus memiliki sifat keterbukaan pada semua orang untuk memberikan kesempatan kepada publik menilai fungsinya yang mendukung kepentingan umum.
3. Kombinasi dari fungsi ekonomi dan sosial sekaligus yang terdapat dalam kapital sosial, jaringan sosial harus bersifat emansipatoris dan integratif.
Selanjutnya Lawang (2005) memaparkan bentuk jaringan sosial ke dalam
beberapa bentuk, yaitu:
1. Jaringan antar personal atau individu. Jaringan ini dibangun oleh individu dan melibatkan dua individu atau lebih. Jaringan bermula dari komunikasi awal berupa perkenalan yang kemudian berlanjut pada peningkatan komunikasi yang lebih intens. Melalui komunikasi secara terus menerus yang kemudian terbukalah
30
kemungkinan untuk membangun jaringan. Berdasarkan jumlah individu yang membentuknya, jaringan antar personal dapat berbentuk jaringan duaan, tigaan, empatan, dan seterusnya dengan variasi berbeda pada masing-masing tingkatan.
2. Jaringan antar individu dengan institusi. Jaringan ini terbangun antara individu dengan institusi yang sebenarnya juga diwakili oleh individu. Hanya saja saat individu yang mewakili institusi itu bertindak atau mengambil keputusan, individu tersebut melakukannya atas nama institusi atau bersifat kelembagaan. Jaringan antara individu dengan institusi bersifat resiprokal karena masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Misalnya keterlibatan pedagang pasar tradisonal dalam paguyuban membuat dirinya mendapatkan kemudahan dalam pinjaman modal.
3. Jaringan antar institusi. Jaringan ini dibangun oleh institusi-institusi yang mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama ataupun karena fungsinya, misalnya pemerintah. Jaringan antar institusi ini memungkinkan pencapaian tujuan institusi ini memungkinkan pencapaian tujuan institusi atau individu yang tergabung di dalamnya dapat segera tercapai.
Sementara itu Mitchall (dalam Kusnadi, 2000:13) mengartikan jaringan sosial
sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk diantara kelompok
orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk
menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat
didalamnya. Hubungan-hubungan sosial yang dilakukan individu tersebut merupakan
suatu upaya untuk mempertahankan keberadaannya. Soekanto (2000: 76-77)
menyebutkan terdapat beberapa bentuk hubungan setiap komunitas yaitu kerjasama
(co-operation), persaingan (competition), pertentangan (conflict) serta akomodasi.
Suparlan (1982:35) memberikan uraian bahwa jaringan sosial merupakan
proses pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang yang masing-masing
mempunyai identitas sendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada.
Melalui hubungan tersebut, mereka dapat dikelompokkan menjadi satu kesatuan
31
sosial. Lebih lanjut Suparlan (1982: 36-39) menguraikan ada beberapa hal yang
merupakan ciri-ciri utama dari jaringan sosial, yaitu:
1. Titik-titik, merupakan titik-titik yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu atau sejumlah garis yang dapat merupakan perwujudan dari orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, negara dan sebagainya.
2. Garis-garis, merupakan penghubung atau pengikat antara titik-titik yang ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat berbentuk pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antarorganisasi, persekutuan militer dan sebagainya.
3. Ciri-ciri struktur. Pola dari garis yang menghubungkan serangkaian atau satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial dapat digolongkan dalam jaringan sosial tingkat mikro atau makro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan. Contoh dari jaringan tingkat mikro yang paling dasar adalah suatu jaringan yang titik-titiknya terdiri atas tiga buah yang satu sama lainnya dihubungkan oleh garis-garis yang mewujudkan segitiga yang dinamakan triadic balance (keseimbangan segitiga); sedangkan contoh dari jaringan tingkat makro ditandai oleh sifatnya yang menekankan pda hubungan antara sistem atau organisasi, atau bahkan antarnegara.
4. Konteks (ruang). Setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud dalam suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (yaitu secara fisik), maupun dalam ruang yang didefenisikan secara sosial, ataupun dalam keduanya. Misalnya, jaringan transportasi selalu terletak dalam suatu ruangan fisik, sedangkan jaringan perseorangan yang terwujud dari hubungan-hubungan sosial tidak resmi yang ada dalam suatu organisasi adalah suatu contoh dari suatu jaringan yang terwujud dalam satu ruang sosial. Jaringan komunikasi dapat digambarkan sebagai sebuah peta baik secara fisik, yaitu geografis maupun menurut ruang sosialnya, yaitu yang menyangkut status dan kelas sosial.
5. Aspek-aspek temporer. Untuk maksud-maksud sesuatu analisa tertentu, sebuah jaringan sosial dapat dilihat baik secara sinkronik maupun secara diakronik, yaitu baik sebagai gejala yang statis maupun dinamis.
Pentingnya jaringan-jaringan yang terbentuk dalam masyarakat disebabkan
karena tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan
hubungan sosial dengan manusia lainnya di dalam masyarakatnya. Manusia selalu
membina hubungan sosial dengan manusia lain di manapun berada, hal ini
disebabkan karena manusia pada dasarnya tidak dapat dan tidak sanggup hidup
32
sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Agusyanto (1992) bahwa jaringan
sosial dimanfaatkan sekelompok masyarakat tertentu dalam mencapai tujuan tertentu,
hubungan-hubungan sosial yang terbentuk tidak semata-mata hubungan antar
individu, tapi melampaui batas-batas geografis dan garis keturunan.
Jika dilihat dari skala hubungan sosial yang dilakukan sejumlah individu-
individu, Barnes (1969: 55-57) menyebutkan adanya dua macam jaringan, yaitu
jaringan total (menyeluruh) dan jaringan parsial (bagian). Jaringan total adalah
keseluruhan jaringan yang dimiliki individu dan mencakup berbagai konteks atau
bidang kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan jaringan parsial adalah jaringan
yang dimiliki oleh individu terbatas pada bidang kehidupan tertentu, misalnya
jaringan politik, jaringan keagamaan, jaringan kekerabatan, dan sebagainya.
Sementara itu jika ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk
jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, Agusyanto (1997: 26-28) menjelaskan
bahwa jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Jaringan kekuasaan (power) merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan antar pelaku di dalamnya disengaja atau diatur oleh kekuasaan. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen. Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau distrukturkan secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe ini tidak dapat
33
menyandarkan diri pada kesadaran para angotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa insentif.
2. Jaringan kepentingan (interest) merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuan-tujuan tersebut spesifik dan konkret seperti memperoleh pekerjaan, barang, atau jasa maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik seperti itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen.
3. Jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan, dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini cenderung mantap dan permanen. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelaku-pelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol secara emosional yang relatif kuat antarpelaku.
Dalam kenyataan di lapangan, sebuah jaringan sosial tidak hanya dibentuk
oleh satu jenis jaringan sosial di atas. Namun, terjadi tumpang tindih antara tiga jenis
bentuk hubungan sosial tersebut. Sebuah jaringan sosial dianggap sebagai jaringan
kepentingan jika hubungan-hubungan yang terbentuk dalam jaringan sosial tersebut
lebih dominan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan
tertentu. Dua jenis jaringan sosial yang lain, yaitu jaringan kekuasan dan jaringan
perasaan tetap ada tetapi tidak dominan.
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat
perkotaan ditemui adanya tiga jenis keteraturan hubungan-hubungan sosial, yaitu: (1)
keteratuan struktural (structural order), adalah perilaku orang-orang ditafsirkan
dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam
34
seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, asosiasi-
asosiasi sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2) keteraturan
kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam situasi tidak
terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti kelas, ras dan
kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order), adalah perilaku orang-
orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur, dapat ditafsirkan
dalam istilah hubungan-hubungan antar individu dalam suatu kelompok atau
hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan sosial
keluarga yang diteliti oleh Bott (Mitchell, 1969: 9-10).
Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan struktur
sosial. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para
pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian
hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak
dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan status dan peranan masing-masing
(Suparlan, 1982: 31-34). Sekurang-kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua
unsur, yaitu keseluruhan hubungan sosial yang ada di antara individu-individu dan
perbedaan individu-individu tertentu yang secara nyata ada dan konkret.
Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan
dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami batas-batas
status dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan-
hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu, Mitchell (1969: 4) mengungkapkan bahwa
salah satu aspek penting dalam studi jaringan sosial tidak semata-mata terletak pada
35
atribut para pelakunya, tetapi juga terletak pada karakteristik dan pola-pola hubungan
di antara individu-individu di dalam jaringan sebagai cara untuk memahami dasar
atau latar belakang perilaku mereka itu.
Bila dilihat dari status sosial ekonomi dari individu-individu yang terlibat
dalam suatu jaringan sosial, terdapat dua jenis jaringan sosial, yaitu jaringan sosial
yang bersifat horizontal dan jaringan sosial yang bersifat vertikal. Jaringan sosial
bersifat horisontal jika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki status
sosial ekonomi yang relatif sama. Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam
perolehan sumber daya, dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama.
Sebaliknya, dalam jaringan-jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu
yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan
(Haryono, 1999: 30-31)
Dalam penelitian ini pendekatan jaringan sosial digunakan untuk menganalisis
keterkaitan hubungan-hubungan sosial dari pedagang di Pasar Raya Inpres Padang
untuk memanfaatkan jaringan sosial yang dimiliki dalam rangka mempertahankan
keberadaan aktivitas bisnisnya. Para pedagang Pasar Raya Inpres Padang dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya akan membentuk hubungan dengan siapa saja sejauh
hubungan yang terjadi mempunyai arti penting baginya secara sosial maupun
ekonomi.
Untuk memahami jaringan sosial dalam penelitian ini memperlihatkan pada
tingkatan jaringan sosial mikro dan tingkatan jaringan sosial meso, yang berkaitan
dengan ikatan dalam tingkatan antar individu dan dalam kelompok. Sebagaimana
36
yang dijelaskan oleh Powell dan Smith-Doer (1994:365) bahwa studi jaringan sosial
biasanya dikaitkan dengan bagaimana pribadi-pribadi berhubungan antara satu sama
lain dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin dalam memperoleh
sesuatu yang dikerjakan, sebagai jembatan untuk memudahkan hubungan antara satu
pihak dengan pihak lainnya, maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan
makna pada kehidupan sosial.
2.3 Kerangka Pikiran
Pasar tradisional merupakan tempat pertemuan pembeli dan penjual dalam
melakukan aktivitas jual beli dengan sistem tawar menawar dan menggunakan uang
tunai sebagai alat pembayaran. Keberadaan pasar tradisional di zaman modern
sekarang ini masih tetap ada dan bertahan sebagai pasar rakyat. Demikian halnya
dengan Pasar Raya Inpres Kota Padang yang memiliki arti dan peran penting bagi
perekonomian Kota Padang sampai saat ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya
keberadaan pembeli dan pedagang yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya
melalui aktivitas perdagangan dalam kurun waktu yang relatif lama.
Dengan menggunakan pendekatan jaringan sosial, pedagang Pasar Raya
Inpres Kota Padang menunjukkan hubungan sosial antara pedagang dengan berbagai
pelaku dalam rangka mempertahankan keberadaannya. Dalam konteks ini, pedagang
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan jaringan sosial yang dibangun baik itu
oleh pedagang eceran, pedagang perantara, pedagang besar (bandar) maupun pembeli
dan pelanggan di Pasar Raya Inpres Kota Padang.
37
Pembentukan dan pemanfaatan jaringan sosial ini merupakan sebagai bagian
dari langkah untuk mempertahankan keberadaan pedagang pasar tradisional.
Keterikatan individu-individu dalam hubungan-hubungan sosial adalah pencerminan
dirinya sebagai makhluk sosial. Individu-individu yang terlibat diikat oleh
kepemilikan informasi, rasa saling percaya, saling memahami, kesamaan nilai dan
saling mendukung dalam suatu jaringan sosial. Sehingga dengan adanya jaringan
kerjasama yang sinergis akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama.
Jaringan sosial yang dibangun secara baik melalui kepercayaan (trust) yang
kuat menyebabkan pedagang dengan mudah memperoleh akses terhadap hal-hal
tertentu tanpa menghabiskan banyak waktu dan biaya. Misalnya pedagang akan
mudah memperoleh sumber daya dalam bentuk pertukaran informasi informal dan
kemampuan untuk memobilisasi dukungan finansial mereka. Kemudahan akses ini
akan memperlancar kegiatan bisnis mereka. Dengan demikian jaringan sosial yang
dibentuk oleh pedagang Pasar Raya Inpres Kota Padang memberikan pengaruh positif
bagi keberlangsungan bisnisnya.
Hubungan-hubungan sosial yang dikaitkan dengan aktivitas ekonomi yang
berlangsung atau yang muncul dari interaksi komunitas di Pasar Raya Inpres Kota
Padang bermuara pada penjual dan pembeli yang akhirnya membentuk hubungan
bersifat spesifik. Hal ini disebabkan karena hubungan sosial dalam perilaku ekonomi
tidak berjalan dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai
yang dimiliki oleh pedagang dan berlaku secara turun menurun dalam kehidupan
pasar tradisional. Norma dan nilai-nilai ini melembaga dalam proses membina dan
38
mengembangkan jaringan sosial dalam kehidupan berdagang. Sehingga unsur-unsur
tersebut mampu menyeimbangkan hubungan antara sesama pedagang dan bertahan di
tengah persaingan dagang yang semakin ketat di antara pedagang itu sendiri.
Dengan adanya hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam jaringan
sosial menunjukkan suatu keteraturan yang jelas. Keteraturan dalam jaringan sosial
berimplikasi pada pembentukan struktur sosial di komunitas pedagang berupa pola-
pola yang relatif tahan lama, setiap pedagang mempunyai hak dan kewajiban sesuai
dengan posisi sosial mereka berada dan saling keterhubungan diantara mereka
berinteraksi dengan orang lain.
Di samping itu, terbentuknya jaringan sosial dalam suatu masyarakat didorong
oleh adanya kepentingan dan tujuan yang sama. Sebagaimana kegiatan berdagang
pada umumnya, jalinan hubungan antara pedagang Pasar Raya Inpres Kota Padang
dengan pembeli merupakan jalinan yang cukup menentukan kelancaran perolehan
penghasilan. Pedagang memiliki kemampuan jaringan sosial yang baik, ditandai
dengan pembeli merasa puas dan merasa dekat dengan pedagang sehingga
menimbulkan ikatan hubungan personal yang akhirnya membawa dampak
menguntungkan bagi kedua belah pihak.