Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intensi Turnover
1. Pengertian Intensi Turnover
Intensi turnover (keinginan berpindah) merupakan cerminan keinginan
individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan.
Indriantoro (1999) menggambarkan intensi turnover sebagai pikiran untuk
keluar, mencari pekerjaan di tempat lain, serta keinginan meninggalkan
organisasi. Sementara itu, Zeffane (1994) menyebutkan bahwa intensi turnover
adalah kecenderungan karyawan untuk berhenti bekerja. Selain itu, menurut
Bluedorn (2001) intensi turnover adalah kecenderungan sikap atau tingkat di
mana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan
organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaannya. Lebih
lanjut dijelaskan Mobley (2001), keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala
awal terjadinya turnover dalam perusahaan. intensi turnover juga diartikan
sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover dapat berupa
pengunduran diri, perpindahan keluar organisasi, pemberhentian atau kematian
anggota organisasi.
Pada dasarnya, keinginan untuk pindah atau intensi turnover merupakan
kecenderungan sikap satau tingkat di mana seorang karyawan memiliki
kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara
sukarela dari pekerjaanya (Bluedorn, 2001). Menurut Netemeyer (1990),
14
semakin tinggi kepuasan kerja dan komitmen organisasi diharapkan akan
menurunkan maksud dan tujuan karyawan untuk meninggalkan organisasi.
Lebih lanjut, karyawan yang tidak puas dengan aspek-aspek pekerjaannya dan
tidak memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih mungkin mencari
pekerjaan pada organisasi yang lain.
Robbins (2006), menjelaskan bahwa adanya intensi turnover atau
penarikan diri seseorang keluar dari perusahaan (turnover) dapat diputuskan
karena 2 alasan atau sebab, yaitu:
a. Sukarela (voluntary turnover)
Voluntary turnover merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan
perusahaan secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik
pekerjaannya saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Voluntary
turnover terjadi ketika perusahaan lebih menyukai pekerjan tetap pada
pekerjaannya, contohnya pengunduran diri, pindah, dan lain-lain.
b. Tidak sukarela (involuntary turnover)
Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan
keputusan pemberi kerja untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat
uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya (Shaw dkk, 1998).
involuntary turnover adalah pemisahan yang dilakukan oleh organisasi.
Menurut Harninda (1999), intensi turnover pada prinsipnya adalah sama
dengan keinginan berpindahnya karyawan dari satu tempat kerja ke tempat
kerja lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa intensi turnover adalah
keinginan untuk berpindah, belum pada tahap realisasi yaitu melakukan
15
perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Widodo (2010)
juga menyatakan intensi turnover adalah kadar intensitas dari keinginan untuk
keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya intensi
turnover ini dan antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang
diungkapkan sebelumnya, bahwa intensi turnover pada dasarnya adalah
keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan.
Toly (2001) menyatakan tingkat keinginan berpindah yang tinggi para
karyawan akan menimbulkan biaya potensial untuk perusahaan atau lembaga
yang menaungi karyawan. Pendapat ini menunjukkan bahwa intensi turnover
merupakan bentuk keinginan karyawan untuk berpindah ke perusahaan lain.
Handoko (2000) menyatakan bahwa intensi turnover merupakan tantangan
khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian tersebut
tidak dapat diperkirakan, kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap
saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, program pengembangan
perusahaan yang sangat baik juga berpotensi meningkatkan intensi turnover.
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli mengenai, intensi turnover,
dapat disimpulkan bahwa intensi turnover adalah suatu niat yang muncul dari
dalam diri individu untuk membuka kemungkinan keluar dari pekerjaan di
sebuah lembaga atau perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan
atau pekerjaan yang lebih baik.
16
2. Aspek-Aspek Intensi Turnover
Menurut Mobley (2011) terdapat tiga indikator yang digunakan untuk
mengukur intensi turnover, yaitu
a. Pikiran-pikiran untuk berhenti (thoughts of quitting)
Mencerminkan individu untuk berpikir keluar dari pekerjaan atau tetap
berada di lingkungan pekerjaan. Diawali dengan ketidakpuasan kerja yang
dirasakan oleh karyawan, kemudian karyawan mulai berfikir untuk keluar
dari tempat bekerjanya saat ini sehingga mengakibatkan tinggi rendahnya
intensitas untuk tidak hadir ke tempatnya bekerja.
b. Keinginan untuk meninggalkan (intention to quit).
Mencerminkan individu untuk mencari pekerjaan pada organisasi lain. Jika
karyawan sudah mulai sering berfikir untuk keluar dari pekerjaannya,
karyawan tersebut akan mencoba mencari pekerjaan diluar perusahaannya
yang dirasa lebih baik.
c. Keinginan untuk mencari pekerjaan lain (intention to search for another
job).
Mencerminkan individu yang berniat untuk keluar. Karyawan berniat untuk
keluar apabila telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, cepat atau
lambat akan diakhiri dengan keputusan karyawan tersebut untuk tetap
tinggal atau keluar dari pekerjaannya.
17
Selain itu, menurut Harnoto (dalam Carolina, 2012) intensi turnover
dapat terlihat berkaitan dengan perilaku karyawan, di antaranya :
a. Absensi yang meningkat. Karyawan yang mempunyai keinginan berpindah
kerja, ditandai dengan meningkatnya absensi. Pada kondisi ini, tingkat
tanggung jawab karyawan menjadi berkurang dari kondisi sebelumnya.
b. Mulai malas bekerja. Pada kondisi ini, karyawan cenderung akan malas
bekerja karena timbulnya orientasi karyawan mengenai tempat kerja yang
baru, sehingga mengabaikan kenyamanan bekerja di tempat yang sekarang.
c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja. Berbagai pelanggaran
tata tertib kerap dilakukan oleh karyawan yang ingin melakukan turnover.
Misalnya, meninggalkan tempat kerja pada saat jam kerja berlangsung,
maupun berbagai pelanggaran lainnya.
d. Peningkatan protes terhadap atasan. Karyawan yang memiliki keinginan
untuk pindah, cenderung melakukan protes terhadap kebijakan organisasi
maupun perusahaan yang dirasa kurang sesuai dengan keinginan karyawan.
e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Terdapat perubahan
perilaku pada karyawan yang berkarakteristik positif, yaitu karyawan yang
mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan.
Apabila perubahan sikap tersebut menjadi meningkat tinggi maka
menunjukan karyawan ini akan melakukan turnover.
18
Dess (2001) dan Jeffrey (2007) juga mengemukakan bahwa terdapat
beberapa aspek intensi turnover yang meliputi:
a. Sering berpikir untuk keluar (resign)
Sering berpikir keluar dari pekerjaan atau tetap berada di lingkungan
pekerjaan. Diawali dengan ketidakpuasan kerja yang dirasakan oleh
karyawan, kemudian karyawan mulai berfikir untuk keluar dari tempat
bekerjanya saat ini.
b. Kemungkinan mencari pekerjaan baru
Ingin untuk mencari pekerjaan pada organisasi lain. Jika karyawan sudah
mulai sering berpikir untuk keluar dari pekerjaannya, karyawan tersebut
akan mencoba mencari pekerjaan di luar perusahaannya yang lebih baik.
c. Berpikir untuk mengubah pekerjaan
Karyawan berniat untuk keluar apabila telah mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik dan nantinya akan diakhiri dengan keputusan karyawan tersebut
untuk tetap tinggal atau keluar dari pekerjaannya.
Berdasarkan uraian teori para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
aspek-aspek intensi turnover meliputi pikiran-pikiran untuk berhenti (thoughts
of quitting), keinginan untuk meninggalkan (intention to quit), keinginan untuk
mencari pekerjaan lain (intention to search for another job), upah, usia, lama
kerja, integrasi, kepuasan kerja, absensi yang meningkat, mulai malas bekerja,
peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja, peningkatan protes terhadap
atasan dan perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Berdasarkan
uraian tersebut, aspek intensi turnover yang digunakan adalah menurut Mobley
19
(2011), yaitu pikiran-pikiran untuk berhenti (thoughts of quitting), keinginan
untuk meninggalkan (intention to quit) dan keinginan untuk mencari pekerjaan
lain (intention to search for another job). Hal tersebut disebabkan karena
dalam asepk Mobley telah mencakup keseluruhan aspek lainnya dan relefansi
aspek tersebut dapat disesuaikan dengan fakta yang didapat peneliti dari
wawancara dengan satuan Brimob Detasemen Gegana, serta menjadi dasar
pembuatan alat ukur.
3. Faktor-Faktor Penyebab Intensi Turnover
Menurut Toly (2001) faktor-faktor yang menyebabkan intensi turnover
ada delapan faktor, di antaranya adalah faktor kepuasan kerja, komitmen
organisasional, kepercayaan organisasional, job insecurity, konflik peran,
ketidakjelasan peran, locus of control, dan perubahan organisasional. Berikut
adalah uraian masing-masing faktor;
a. Kepuasan kerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kepuasan adalah perasaan
senang, gembira, dan lega karena sudah terpenuhi hasrat hatinya.
Sementara kepuasan kerja didefinisikan sebagai keadaan psikis yang
menyenangkan yang dirasakan oleh pekerja di suatu lingkungan pekerjaan
karena terpenuhinya semua kebutuhan secara memadai. Dengan kata lain
kepuasan kerja merupakan respon afektif seseorang terhadap suatu
pekerjaan. Kepuasan kerja ini bersifat individual, tingkat kepuasan antara
individu yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Biasanya setiap
20
individu akan merasa puas atas pekerjaannya apabila pekerjaan yang dila
lakukan telah sesuai dengan harapan dan tujuan bekerja.
Kepuasan kerja merupakan orientasi individu yang berpengaruh
terhadap peran dalam bekerja dan karakteristik dari pekerjaanya. Handoko
(1998), mendefinisikan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para
karyawan memandang pekerjaan. Kepuasan kerja merupakan cermin
perasaan seseorang terhadap pekerjaanya.
Adapun Robbins (2001), mendefinisikan kepuasan kerja adalah
suatu sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya, selisih antara
banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang
diyakini seharusnya pekerja terima. Penilaian (assesment) seorang
karyawan terhadap puas atau tidak puas akan pekerjaannya merupakan
penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaaan yang diskrit
(terbedakan atau terpisah satu sama lain). Kepuasan kerja ditentukan oleh
beberapa faktor yakni kerja yang secara mental menantang, kondisi kerja
yang mendukung, rekan kerja yang mendukung, serta kesesuaian
kepribadian dengan pekerjaan. Persepsi seseorang bukanlah merupakan
refleksi konkrit yang lengkap tentang pekerjaan, dan masing-masing
individu dalam situasi yang sama dapat memiliki pandangan yang berbeda.
Kepuasan kerja juga dihubungkan negatif dengan intensi turnover,
tetapi faktor-faktor lain seperti kondisi pasar kerja, kesempatan kerja
21
alternatif, dan panjangnya masa kerja merupakan kendala yang penting
untuk meninggalkan pekerjaan yang ada (Robbins, 2001).
Individu yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung
bertahan dalam organisasi. Sedangkan individu yang kurang terpuaskan
dengan pekerjaannya akan memilih untuk keluar dan organisasi. Kepuasan
kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk
keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan
mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar
akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain.
b. Komitmen Organisasional
Komitmen organisasi merupakan usaha mendefinisikan dan
melibatkan diri dalam organsasi dan tidak ada keinginan meninggalkannya
(Robbins, 2006). Steers dan Porter (1987) mendefinisikan komitmen
merupakan sikap seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya terhadap
organisasi beserta nilai-nilai dan tujuannya serta keinginan untuk tetap
menjadi anggota untuk mencapai tujuan. Komitmen organisasi menunjuk
pengidentifikasian dengan tujuan organisasi, kemampuan mengarahkan
segala daya untuk kepentingan organisasi, ketertarikan untuk tetap menjadi
bagian organisasi (Mowday, 1979). Luthans (2006) menjelaskan bahwa
sebagai komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai keinginan
untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha
keras sesuai keinginan organisasi, dan keyakinan tertentu, penerimaan nilai
dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang
22
merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan
di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap
organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
c. Kepercayaan Organisasional
Kepercayaan organisasional yakni tahapan, di mana seseorang mau
beranggapan bahwa orang lain memiliki niat baik dan berkeyakinan pada
perkataan serta perbuatan orang lain (Debora, 2006). Kepercayaan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterpaduan kelompok,
persepsi pada keputusan yany adil, perilaku anggota kelompok, kepuasan
kerja dan efektivitas organisasi. Ketidakpercayaan timbul ketika informasi
disimpan sendiri, sumber daya dialokasi secara inkonsisten, dan ketika
para karyawan tidak mendapat dukungan dari manajemen. Laschinger
(2001) juga menemukan hubungan positif yangkuat antara kepercayaan
organisasi dan kepuasan kerja.
Kepercayaan organisasional merupakan suatu variabel yang penting
bagi efektivitas organisasi. Para peneliti mengindentifikasikan
kepercayaan sebagai prasyarat para manager dalam memberdayakan para
karyawan (Mayer, 1997). Kepercayaan organisasional terjadi pada
beberapa level (individu, kelompok, institusi) dan memiliki sifat-sifat.
Pertama, berakar pada budaya organisasi, yang berarti bahwa kepercayaan
terikat erat pada norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan dari budaya
organisasi. Kedua, berbasis komunikasi, yang berarti bahwa kepercayaan
adalah keluaran dari perilaku-perilaku komunikasi, seperti misalnya
23
menyediakan informasi yang akurat, memberikan penjelasan penjelasan
mengenai keputusan-keputusan dan menunjukkan keterbukaan. Ketiga,
bersifat dinamis, yang berarti bahwa kepercayaan mengalami perubahan
secara konstan ketika anggota berdaur melalui fase-fase pembangunan,
menjadi stabil, dan menjadi larut. Keempat, bersifat multidimensional,
yang berarti kepercayaan terdiri dari banyak faktor pada tingkat kognitif,
emosional, dan perilaku, di mana kesemuanya mempengaruhi persepsi
seseorang atas kepercayaan (Zalabak dkk, 2000).
Hanya sedikit penelitian empiris yang berhubungan dengan
kepercayaan organisasi. Dalam surveinya, Kramer dan Schmalenberg
(2005) menyimpulkan bahwa kepercayaan organisasional adalah prediktor
terbaik atas perasaan akan otonomi dan pemberdayaan. Rosen (2001),
membuktikan bahwa para pegawai yang lebih diberdayakan dalam
organisasi yang memiliki arus informasi yang baik dan tingkat
kepercayaan yang tinggi. Morrison (1999), menekankan pentingnya
perilaku kepemimpinan dalam mengembangkan dan mempertahankan
tingkat kepercayaan organisasional dalam seting kerja. Sementara Finegan
(2005), menghubungkan kepercayaan organisasional dengan peningkatan
kepuasan kerja dan komitmen organisasional.
d. Job Insecurity
Keamanan kerja didefinisikan sebagai harapan karyawan terhadap
keberlangsungan pekerjaannya. Keamanan kerja mencakup hal-hal seperti
tidak adanya kesempatan promosi, kondisi pekerjaan umumnya dan
24
kesempatan karir jangka panjang (Jacobson, 1991). Penekanan terhadap
pentingnya memahami peran keamanan kerjaterhadap reaksi karyawan
dari adanya perubahan organisasi telah meningkat pada dekade terakhir
(Davy dkk, 1997). Keamanan kerja tidak dapat dipisahkan dari perhatian
terhadap ketidakpastian kelanjutan pekerjaan seseorang dan situasi yang
tidak pasti yang dihasilkan dari adanya perubahan dalam organisasi seperti
dan reorganisasi dan belum adanya penelitian yang sistematik yang
dilakukan untuk menguraikan peran ketidakpastian dalam mempengaruhi
reaksi individual dari adanya perubahan organisasi. Selama perubahan
organisasional seperti merger dianggap sebagai suatu ancaman bagi
harapan karyawan, maka inilah yang disebut sebagai keamanan kerja
(Davy dkk, 1997). Pentingnya faktor keamanan kerja digerakkan oleh
adanya kenyataan mengenai pengaruhnya terhadap berbagai outcomes
yang berhubungan dengan pekerjaan. (Yousef, 2002).
e. Konflik Peran
Dalam kondisi persaingan bisnis yang ketat, karyawan dituntut untuk
memainkan perannya lebih cepat. Tuntutan peran menjadi tekanan bagi
karyawan ketika harus memenuhi satu harapan namun sulit atautidak bisa
memenuhi harapan yang lain. Konflik peran merupakan suatu gejala
psikologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan
rasa tidak nyaman dalam bekerja (Puspa dan Bambang, 1999).
Gibson (1995) menyatakan konflik peran adalah dua atau lebih
tuntutan yang dihadapi individu secara simultan, di mana pemenuhan yang
25
satu menghalangi pemenuhan yang lainnya. Senada dengan Gibson (1995),
Kahn (1987) merumuskan konflik peran sebagai adanya dua atau lebih
tuntutan yang datang bersamaan sehingga salah satu tuntutan tersebut akan
menyulitkan pemenuhan tuntutan yang lainnya. Konflik peran terjadi
ketika ada berbagai tuntutan dari banyak sumber yang menyebabkan
karyawan menjadi kesulitan dalam menentukan tuntutan apa yang harus
dipenuhi tanpa membuat tuntutan lain diabaikan (Lirtzman, 1970).
Kreitner (2001) menyatakan bahwa ketika individu merasakan
adanya tuntutan yang saling bertentangan dari orang-orang di sekitar maka
individu tersebut sedang mengalami konflik peran. Jadi konflik peran
adalah pertentangan rangkaian tuntutan atau harapan yang disampaikan
oleh anggota-anggota perangkat peranan (role set) di mana pemenuhan
satu tuntutan akan menghalangi pemenuhan tuntutan yang lainnya. Konflik
peran juga dialami individu ketika nilai-nilai internal, etika, atau standar
dirinya bertabrakan dengan tuntutan yang lainnya.
Konflik peran terjadi ketika seseorang menghadapi
ketidakkonsistenan antara peran yang diterima dengan perilaku peran.
Konflik peran tidak sama dengan ambiguitas peran karena peran yang
diterima itu jelas (Cherrington, 1994). Ivancevich, (2005) turut
menyatakan konflik peran muncul ketika seseorang menerima pesan yang
tidak sebanding atau sesuai dengan perilaku peran. Konflik pada
pemegang peran juga dapat terjadi ketika peran dengan beban kerja
26
berlebih, peran yang kekurangan beban kerja dan rumusan berlebih
(Barnes dkk, 1984).
f. Ketidakjelasan Peran
Ketidakjelasan peran adalah tidak cukupnya informasi yang dimiliki
serta tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian tentang
otoritas, kewajiban dan hubungan dengan lainnya, dan ketidakpastian
sangsi dan ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan (Fanani, 2008).
Individu mengalami ketidakjelasan peran apabila merasa tidak adanya
kejelasan ekspektasi pekerjaan, seperti kurangnya informasi yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan atau tidak memperoleh
kejelasan mengenai deskripsi tugas dari pekerjaan.
Ketidakjelasan peran muncul karena tidak cukupnya informasi yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan yang diberikan
dengan cara yang memuaskan (Smith, 1995). Pada umumnya seseorang
yang mengalami ketidakjelasan peran akanmerasa cemas, menjadi lebih
tidak puas,dan melakukan tugas dengan kurang efektif dibandingkan
individu lainnya, sehingga dapat menurunkan kinerja. Ketidakjelasan
peran juga sama halnya dengan konflik peran yang akan menimbulkan rasa
tidak nyaman dalam bekerja dan dapat menurunkan motivasi kerja yang
pada akhirnya mengakibatkan penurunan kinerja dan bahkan
mengakibatkan karyawan mengalami turnover.
27
g. Locus of Control
Locus of control adalah istilah yang mengacu pada keyakinan
seseorang tentang apa yang menyebabkan hasil yang baik atau buruk
dalam hidupnya, baik secara umum atau khusus seperti kesehatan.
Menurut Patten (2005), locus of control mengacu pada sejauhmana orang
percaya bahwa dapat mengendalikan peristiwa-peristiwa yang
mempengaruhi. Individu dengan locus of control tinggi percaya bahwa
peristiwa merupakan akibat dari perilaku dan tindakannya sendiri.
Individu yang tinggi locus of control eksternal percaya bahwa
kekuatan orang lain, takdir, atau kebetulan terutama menentukan peristiwa.
Individu yang tinggi locus of control internal memiliki kontrol yang lebih
baik dari perilaku, cenderung menunjukkan lebih banyak perilaku politik,
dan lebih mungkin untuk mencoba mempengaruhi orang lain daripada
individu dengan tingkat tinggi locus of control eksternal, individu lebih
cenderung untuk menganggap bahwa usaha yang dilakukan akan berhasil.
individu lebih aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan tentang
situasi. Rotter (1990) dalam Patten (2005) mendefinisikan locus of control
internal yaitu sejauh mana orang mengharapkan bahwa hasil perilaku
bergantung pada perilaku sendiri atau karakteristik pribadi, sedangkan
locus of control eksternal yaitu sejauh mana orang mengharapkan bahwa
hasil bukan muncul dari dalam diri orang tersebut, namun dari
kesempatan, keberuntungan, atau takdir, berada di bawah kontrol yang
kuat orang lain, atau sesuatu yang tidak terduga.
28
Individu yang yakin dapat mengendalikan tujuan dikatakan memiliki
locus of control internal, sedangkan yang memandang hidup dikendalikan
oleh kekuatan pihak luar disebut memiliki locus of control eksternal
(Robbins, 1996). Internal kontrol mengacu pada persepsi terhadap kejadian
baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi dari tindakan ataupun
perbuatan sendiri dan berada dibawah pengendalian dirinya. Eksternal
kontrol mengacu pada keyakinan bahwa kejadian tidak memiliki hubungan
langsung dengan tindakan yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan
berada diluar kontrol dirinya (Susanti, 2001).
Brownell (1981) mendefinisikan locus of control sebagai tingkatan
di mana seseorang menerima tanggung jawab personal terhadap apa yang
terjadi pada dirinya. Beberapa orang meyakini bahwa dapat menguasai
nasibnya sendiri. Sementara itu, ada juga orang yang memandang diri
sebagai „boneka‟ nasib, dengan meyakini bahwa apa yang terjadi pada diri
disebabkan oleh kemujuran atau peluang (Susanti, 2001). Dengan
menggunakan locus of control, perilaku kerja dapat dilihat melalui
penilaian karyawan terhadap hasil ketika dikontrol secara internal ataupun
secara eksternal. Karyawan yang merasakan kontrol internal merasa bahwa
secara personal dapat memengaruhi hasil melalui kemampuan, keahlian,
ataupun atas usaha diri sendiri. Karyawan yang menilai kontrol eksternal
merasa bahwa hasil yang dicapai itu di luar kontrol diri sendiri, karyawan
merasa bahwa kekuatan eksternal seperti keberuntungan atau tingkat
kesulitan terhadap tugas yang dijalankan, itu lebih menentukan hasil kerja.
29
h. Perubahan Organisasional
Perubahan selalu terjadi, disadari atau tidak. Begitu pula halnya
dengan organisasi. Organisasi hanya dapat bertahan jika dapat melakukan
perubahan. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi harus dicermati
karena keefektifan suatu organisasi tergantung pada sejauhmana organisasi
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Pada hakekatnya
kehidupan manusia selalu bergerak dan diliputi oleh perubahan secara
berkelanjutan. Perubahan organisasi (Nasution, 2006) adalah pergeseran
dari keadaan sekarang organisasi menuju pada keadaan yang diinginkan di
masa depan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada struktur organisasi,
proses mekanisme kerja, sumber daya manusia dan budaya. Perubahan
adalah membuat sesuatu menjadi berbeda dan perubahan berarti bahwa
kita harus merubah dalam cara mengerjakan atau berfikir tentang sesuatu.
Pada dasarnya semua perubahan yang dilakukan mengarah pada
peningkatan efektifitas organisasi dengan tujuan mengupayakan perbaikan
kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2003).
Lebih lanjut Robbins menyatakan perubahan organisasi dapat dilakukan
pada struktur yang mencakup strategi dan sistem, teknologi, penataan fisik
dan sumber daya manusia. Sobirin (2005) menyatakan ada dua faktor yang
mendorong terjadinya perubahan, yaitu faktor ekstern seperti perubahan
teknologi dan semakin terintegrasinya ekonomi internasional serta intern
organisasi yang mencakup dua hal pokok yaitu perubahan perangkat keras
30
organisasi (hard system tools) atau yang biasa disebut dengan perubahan
struktural, yang meliputi perubahan strategi, stuktur organisasi dan sistem
serta Perubahan perangkat lunak organisasi (soft system tools) atau
perubahan kultural yang meliputi perubahan perilaku manusia dalam
organisasi, kebijakan sumber daya manusia dan budaya organisasi.
Selain itu, menurut Maier (Pristianti, 2015) terdapat beberapa faktor
penyebab terjadinya intensi turnover seperti :
a. Usia.
Karyawan yang lebih muda lebih tinggi kemungkinannya untuk
keluar. Tingkat turnover yang cenderung tinggi pada karyawan berusia
muda disebabkan karena mereka masih memiliki keinginan untuk mencoba
pekerjaan.
b. Lama kerja.
Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja
lebih singkat. Interaksi dengan usia dan kurangnya sosialisasi awal
merupakan keadaan yang memungkinkan untuk terjadinya turnover.
c. Beban kerja.
Akibat beban kerja yang terlalu berat dapat mengakibatkan seorang
pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.
d. Faktor lingkungan.
Lokasi yang menyenangkan akan menarik bagi karyawan, demikian
juga dengan lingkungan fisik yang dapat berpengaruh pada turnover
karyawan.
31
e. Kepuasan Kerja.
Penelitian yang dilakukan Mowday (1982) menunjukkan bahwa
tingkat turnover dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang.
f. Kepuasan gaji
Kepuasan kerja karyawan dianggap sebagai penyebab turnover,
namun persepsi karyawan terhadap perlakuan tidak adil dalam hal
kompensasi menjadi penyebab lebih kuat.
g. Faktor organisasi.
Didapatkan bahwa ketika pendatang baru memiliki profil nilai
mendekati profil nilai organisasi, maka kemungkinan untuk tetap bertahan
di tempat kerja lebih besar.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi intensi turnover seperti kepuasan kerja, komitmen
organisasional, kepercayaan organisasional, job insecurity, konflik peran,
ketidakjelasan peran, locus of control, perubahan organisasional, usia, lama
kerja, faktor lingkungan, gaji, faktor organisasi dan beban kerja. Adapun faktor
yang dipilih dalam penelitian ini adalah beban kerja. Hal tersebut didasarkan
pada pernyataan Mobley (1986) yang mengatakan bahwa beban kerja
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan intensi turnover. Selain itu
hasil penelitian yang dilakukan oleh Fuhasari (2016) dan Putra (2016)
memperkuat bahwa beban kerja berpengaruh secara signifikan terhadap intensi
turnover.
32
B. Beban Kerja
1. Pengertian Beban Kerja
Schultz dan Schultz (2006) menyatakan beban kerja adalah terlalu banyak
pekerjaan pada waktu yang tersedia atau melakukan pekerjaan yang terlalu sulit
untuk karyawan. Menurut Manuaba (dalam Ambarwati, 2014), beban kerja
merupakan kemampuan tubuh dalam menerima pekerjaan. Kapasitas pekerjaan
harus disesuaikan dengan jumlah karyawan. Seperti yang dikatakan oleh
Munandar (2001), setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan
seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun
keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut.
Beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing
pekerjaan dalam jangka waktu tertentu (Irwandy, 2007). Beban kerja merupakan
salah satu unsur yang harus diperhatikan bagi seorang tenaga kerja untuk
mendapatkan keserasian dan produktivitas kerja yang tinggi selain unsur beban
tambahan akibat lingkungan kerja dan kapasitas kerja. Menurut Permendagri No.
12/2008, beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu
jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma
waktu (Utomo, 2008).
Beban kerja adalah volume dari hasil kerja atau catatan-catatan tentang hasil
pekerjaan yang dapat menunjukkan volume yang dihasilkan oleh sejumlah
pegawai dalam suatu bagian tertentu (Moekijat, 1998). Dari sudut pandang
ergonomi setiap beban kerja yang diterima seorang harus sesuai dan seimbang
baik terhadap kemampuan fisik, kemamuan kognitif maupun keterbatasan
33
manusia yang menerima beban tersebut. Manuaba dalam Satria (2013),
menyatakan bahwa beban dapat berupa beban fisik dan mental. Beban kerja fisik
dapat berupa beratnya pekerjaan seperti mengangkat, mengangkut, mendorong.
Sedangkan beban kerja mental dapat berupa sejauh mana tingkat keahlian dan
prestasi kerja yang dimiliki individu dengan individu lainnya.
Menurut Bina Diknakes dalam Tambunan (2013) menyatakan bahwa
pengelolaan tenaga kerja yang tidak direncanakan dengan baik dapat
menyebabkan keluhan subyektif, beban kerja semakin berat, tidak efektif dan
tidak efisien yang memungkinkan ketidakpuasan bekerja yang mengakibatkan
turunnya kinerja dan produktivitas serta mutu pelayanan yang merosot.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beban kerja adalah besaran
pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu unit organisasi dan merupakan hasil kali
antara jumlah pekerjaan dengan waktu. Setiap pekerja dapat bekerja secara tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, untuk itu
perlu dilakukan upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja agar, sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU
Kesehatan No 36 Tahun 2009).
2. Klasifikasi Beban Kerja
Menurut Munandar (dalam Tambunan, 2013), beban kerja diklasifikasikan
dalam beberapa hal, antara lain:
34
a. Beban Berlebih Kuantitatif
Beban berlebih secara fisik atau mental akibat terlalu banyak melakukan
kegiatan merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Unsur yang
menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap
tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat.
b. Beban Terlalu Sedikit Kuantitatif
Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, di mana banyak terjadi
pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam
kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang
harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian.Hal ini, secara
potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam
keadaan darurat.
c. Beban Berlebih Kualitatif
Kemajuan teknologi mengakibatkan sebagian besar pekerjaan yang selama ini
dikerjakan secara manual oleh tenaga kerja diambil alih oleh mesin atau
robot, sehingga pekerjaan manusia beralih titik beratnya pada pekerjaan
otak.Pekerjaan makin menjadi majemuk sehingga mengakibatkan adanya
beban berlebih kualitatif.Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan
seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban
berlebih kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal
dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki.
35
d. Beban Terlalu Sedikit Kualitatif
Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan di mana tenaga kerja tidak
diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau
untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu
sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat
yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa “tidak maju-maju”, dan
merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan ketrampilannya.
3. Aspek-Aspek Beban Kerja
Tarwaka (2010) membagi beban kerja ke dalam tiga aspek yaitu:
a. Time Load (Beban Waktu): yaitu yang menunjukkan jumlah waktu yang
tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas. (Beban
waktu rendah, beban waktu sedang, beban waktu tinggi).
b. Mental Effort Load (Beban Mental): adalah menduga atau memperkirakan
seberapa banyak usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk
melaksanakan suatu tugas. (Beban usaha mental rendah, beban usaha mental
sedang, beban usaha mental tinggi).
c. Psychological Stres Load (Beban Psikologis): adalah mengukur jumlah
resiko, kebingungan, frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau
penampilan tugas. (Beban tekanan psikologis rendah, beban tekanan
psikologis sedang, beban tekanan psikologis tinggi).
36
Selain itu, Hart dan Staveland (dalam Tarwaka, 2010) membagi beban kerja
menjadi enam aspek yaitu:
a. Physical demand, yaitu besarnya aktivitas fisik yang dibutuhkan dalam
melakukan tugas (contoh: mendorong, menarik, memutar, mengontrol,
menjalankan dan lainnya).
b. Effort, yaitu usaha yang dikeluarkan secara fisik dan mental yang
dibutuhkan untuk mencapai level performansi karyawan.
c. Mental demand, yaitu besarnya aktivitas mental dan perseptual yang
dibutuhkan untuk melihat, mengingat, dan mencari. Pekerjaan tersebut
mudah atau sulit, sederhana atau kompleks, dan longgar atau ketat.
d. Temporal demand, yaitu jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu yang
dirasakan selama pekerjaan berlangsung. Pekerjaan perlahan atau santai
atau cepat, dan melelahkan.
e. Frustation level, yaitu seberapa tidak aman, putus asa, tersinggung,
terganggu, dibandingkan dengan perasaan aman, puas, nyaman, dan
kepuasan diri yang dirasakan.
f. Performance, yaitu seberapa besar keberhasilan seseorang di dalam
pekerjaannya dan seberapa puas dengan hasil kerjanya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa aspek-aspek beban kerja
yang ada dalam penelitian ini seperti time load, mental effort load, psychological
stres, physical demand, effort, mental demand, temporal demand, frustation level
dan performance. Pada penelitian ini, aspek-aspek yang digunakan adalah aspek
beban kerja dari Tarwaka (2010). Alasan menggunakan aspek-aspek dari karena
37
aspek tersebut dapat mengukur beban kerja secara waktu, mental, dan psikologis.
Hal ini penulis anggap relevan mengukur beban kerja dari detasemen gegana
Daerah Istimewa Yogyakarta.
C. Hubungan antara Beban Kerja dengan Intensi Turnover pada Detasemen
Gegana Daerah Istimewa Yogyakarta
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu
institusi penting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di dalam
Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2002 pasal 2
turut menyatakan bahwa fungsi Kepolisian adalah fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena
itu, kepolisian sebagai aparatur negara memiliki tugas yang sangat kompleks
dalam berbagai tindakan preventif, antisipatif, dan represif terkait dengan
keamanan dan keterbiban masyarakat.
Sebagai bentuk konkrit dalam memberikan perasaan aman kepada
masyarakat, Polri memiliki Satuan Gegana yang merupakan sub bagian dari
Brigade Mobil (Brimob). Sebagai bagian dari Polri, Satuan Gegana memiliki
kemampuan khusus di antaranya anti teror, penjinakan bom, intelijen, anti
anarkis. Di era globalisasi ini, maraknya kasus-kasus kriminalitas sekarang ini
membuat tugas dan tanggung jawab kepolisian semakin berat. Terlebih,
tingginya angka kriminalitas ini tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah
personil di Satuan Kepolisian. Permasalahan ini tentu menutut para personil
38
kepolisian untuk dapat terus meningkatkan profesionalitasnya (Ismail, 2001).
Bagi, sebagian besar anggota Satuan Gegana, besarnya tanggung jawab dan
tuntutan pekerjaan yang tinggi ini berpotensi menimbulkan intensi turnover
dari anggotanya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2016) menunjukan bahwa
terdapat hubungan antara beban kerja dan intensi turnover. Penelitian tersebut
mengasumsikan bahwa semakin tinggi beban kerja yang diterima oleh
karyawan maka tingkat intensi turnover yang dimiliki juga tinggi. Lebih lanjut
Quereshi (2013) menemukan fakta bahwa implikasi dari beban kerja dan
intensi turnover yang tinggi adalah tingginya tingkat stress sehingga efektifitas
waktu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan menjadi rendah. Hal tersebut tentu
dapat mengakibatkan masalah bila terjadi didalam instansi seperti POLRI
khususnya Detasemen Gegana yang dituntut untuk bekerja secara cepat dan
efisien dalam melaksanakan setiap tugas.
Selanjutnya Schultz dan Schultz (2006) menyatakan bahwa beban kerja
terjadi saat individu menerima banyak pekerjaan pada waktu yang tersedia atau
melakukan pekerjaan yang terlalu sulit diatas kemampuan yang dimilikinya.
Menurut Manuaba (dalam Ambarwati, 2014) juga menjelaskan bahwa beban
kerja merupakan kemampuan tubuh dalam menerima pekerjaan. Kapasitas
pekerjaan harus disesuaikan dengan jumlah karyawan. Oleh sebab itu,
Munandar (2001) menyarankan bahwa setiap beban kerja yang diterima
seseorang harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik,
39
kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban
tersebut.
Tarwaka (2010) menjelaskan bahwa terdapat 3 aspek yang dapat
menjadi tolak ukur terhadap beban kerja karyawan yaitu time load (beban
waktu), mental effort load (beban mental), dan psychological stress load
(beban psikologis). Aspek-aspek tersebut akan dibahas satu persatu dalam
kaitannya dengan intensi turnover satuan brimob Detasemen Gegana Daerah
Istimewa Yogyakarta. Time Load (Beban Waktu) merupakan beban yang
menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring tugas (Tarwaka, 2010). Menurut Rosadi (2014), beban waktu yang
tersedia dalam merencanakan, melaksanakan suatu pekerjaan berkaitan dengan
intensi turnover karyawan. Beban waktu yang cukup dalam merencanakan dan
melaksanakan suatu pekerjaan akan membuat karyawan merasa mampu dan
sanggup untuk melalukan pekerjaanya. Sebaliknya, beban waktu yang terlalu
singkat dalam merencanakan dan melaksanakan suatu pekerjaan akan membuat
karyawan tersebut merasa kesulitan dalam mencapai target yang diinginkan
oleh perusahaan tersebut. Beban waktu yang terlalu singkat dalam
merencanakan dan melaksanakan suatu pekerjaan pun akan menyebabkan
tekanan atau stres kerja yang tinggi sehingga akan berdampak pada tingkat
turnover yang tinggi.
Selanjutnya mengenai mental effort load (beban mental). Menurut
Tarwaka (2010), mental effort load (beban mental) adalah menduga atau
memperkirakan seberapa banyak usaha mental dalam perencanaan yang
40
diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas. Grandjean (1993) menyatakan
bahwa setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi,
interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ
sensor untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang
lampau. Dalam merencanakan dan melaksanakan suatu pekerjan, seorang
karyawan sebaiknya memiliki beban mental yang rendah mengenai
pekerjaannya karena berpengaruh terhadap tekanan yang dirasakannya. Ketika
seorang karyawan merasa mampu menyelesaikan pekerjaan yang diberikan
padanya maka tekanan yang dirasakan akan rendah. Namun sebaliknya, ketika
seorang karyawan merasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang
diberikan maka tekanan yang dirasakan akan tinggi. Hal ini dikuatkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Putra (2016) yaitu, ada pengaruh positif antara
beban kerja mental terhadap intensi turnover. Semakin tinggi beban kerja
mental maka semakin tinggi tingikat intensi turnover. Sebaliknya semakin
rendah beban kerja mental maka semakin rendah intensi turnover.
Dimensi yang terakhir yaitu beban psikologis. Tarwaka (2010)
mengartikan beban psikologis dengan mengukur jumlah resiko, kebingungan,
frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau kinerja. Resiko pekerjaan
yang tinggi, kebingungan terhadap pekerjaan yang dijalani akan membuat
seorang karyawan menjadi frustasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
beban psikologis yang dirasakan karyawan (seperti resiko pekerjaan yang
rendah dan instruksi yang jelas dalam melaksanakan pekerjaan) akan membuat
tekanan yang dirasakan rendah. Sebaliknya ketika beban psikologis rendah
41
maka karyawan merasakan tekanan yang tinggi. Tarwaka (2010)
menambahkan bahwa tekanan yang tinggi atau frustasi yang dirasakan oleh
karyawan berhubungan erat dengat kinerja karyawan tersebut. Semakin tinggi
tingkat frustasi suatu pekerjaan maka semakin rendah kinerja karyawan
tersebut. Irvianti dan Verina (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
semakin tinggi beban kinerja karyawan (seperti tidak bisa mencapai target)
maka semakin tinggi pula intensi turnover karyawan. Sebaliknya jika seorang
karyawan memiliki tingkat beban kinerja yang rendah atau bisa mencapai
target yang ditentukan oleh perusahaan maka instensi turnover akan rendah.
Beban kerja anggota detasemen gegana Daerah Istimewa Yogyakarta
berupa tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan
memberikan hasil yang bagus sesuai dengan perintah Negara dan atasannya,
merencanakan dan melaksanakan semua tugas secara mental dengan baik, serta
resiko pekerjaan yang tinggi ketika di lapangan. Anggota Brimob yang
memiliki beban kerja yang rendah akan memiliki intensi turnover yang rendah
juga, sehingga akan berdampak pada kehidupannya sehari-hari seperti sehat
secara fisik, dan psikologis, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang positif.
Hasil penelitian yang di lakukan Lilla Fuhasari (2016) menunjukan bahwa
beban kerja karyawan berpengaruh positif terhadap intensi turnover. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat beban kerja karyawan maka
semakin tinggi tingkat intensi turnover pada karyawan. Sebaliknya, semakin
rendah beban kerja karyawan maka semakin rendah tingkat intensi turnover.
42
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah, terdapat hubungan positif antara
beban kerja dengan intensi turnover pada Detasemen Gegana Daerah Istimewa
Yogyakarta. Semakin tinggi beban kerja pada anggota detaemen gegana
Daerah Istimewa Yogyakarta, maka semakin tinggi pula intensi turnover-nya,
namun sebaliknya semakin rendah beban kerja pada Detasemen Gegana
Daerah Istimewa Yogyakarta, maka semakin rendah pula intensi turnover-nya.