Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL
PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Bank
2.1.1.1. Pengertian Hukum Perbankan dan Dasar Hukum
Perbankan
Menurut Muhamad Djumhana hukum perbankan (banking law)
adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga
keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi,
dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang
lain.23 Pembangunan di bidang ekonomi sudah sangat banyak
dilakukan, namun tidak diiringi dengan pembangunan di bidang
hukum. Liberalisasi dalam perdagangan semakin mengembangkan
globalisasi ekonomi. Maka sudah selayaknya dilakukan pembenahan
untuk mengahadapi pembangunan ekonomi yaitu globalisasi hukum
mengikuti globalisasi ekonomi.
Menurut Rachmadi Usman, unsur-unsur yang terkandung dalam
hukum perbankan adalah :
23 Djoni S.Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Cet.3, Ed.1, Sinar Grafika,
Jakarta, 2016, h.1.
15
1. Serangkaian ketentuan hukum positif, dengan dikeluarkannya
berbagai Peraturan Perundang-undangan baik berupa Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan
Bank Indonesia, Keputusan Direksi dan Surat Edaran Bank
Indonesia dan peraturan pelaksanaan yang lainnya
2. Hukum Positif tersebut bersumber ketentuan yang tertulis dan
tidak tertulis. Ketentuan tertulis adalah ketentuan yang
dibentuk badan pembentuk hukum dan perundang-undangan,
sedangkan ketentuan tidak tertulis adalah ketentuan yang
timbul dan terpelihara dalam praktik penyelengaraan
operasional perbankan.
3. Ketentuan hukum perbankan mengatur ketatalaksanaan
kelembagaan bank, mencakup perizinan, bentuk hukum,
kepengurusan, dan kepemilikan bank.
4. Secara umum fungsi utama bank berdasarkan Pasal 3 Undang-
Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai
penghimpun dana masyarakat dan disalurkan kembali dalam
bentuk kredit. Fungsi ini mencerminkan bank sebagai perantara
pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of founds) dengan
pihak yang kekurangan pajak (lacks of founds).
Selanjutnya tujuan dari perbankan Indonesia adalah untuk
menunjang pelaksanaan perkembangan Nasional dalam rangka
16
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.24
2.1.1.2. Peranan Bank dalam Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yag menyebabkan barang dan jasa yang di produksi
dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.
Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan dalam perekonomian
suatu Negara. Jika pada suatau periode perekonomian mengalami
pertumbuhan ekonomi yang baik atau positif, maka pada periode
tersebut mengalami peningkatan. Begitu juga sebaliknya, apabila
mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, maka pada periode tersebut
mengalami penurunan.
Peningkatan kegiatan perekonomian harus didukung dari sisi
pendanaan guna meningkatkan kuantitas dan kualitas yang dihasilkan.
Salah satu sumber pendanaan yang dikenal dan dimanfaatkan
menunjang perekonomian yaitu dengan adanya sektor perbankan.
Perbankan sebagai lembaga keuangan yang dianggap mampu
mendukung pembangunan yang sedang digalakkan oleh Pemerintah,
yaitu dengan menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi
maka bank membantu dalam sektor riil dalam perekonomian untuk
meningkatkan tingkat ouput sehingga dapat membantu meningkatkan
24 Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Cetakan 1, Edisi 1,Penerbit PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, h.17
17
pertumbuhan ekonomi, sehingga kemajuan Perbankan suatu negara
dapat dijadikan sebagai pedoman untuk kemajuan Negara tersebut.
Peranan Bank dalam Pembangunan Nasional yaitu dengan
menghimpun atau memobilisasi dana yang menganggur dana dari
masyarakat dan perusahaan-perusahaan kemudian disalurkan kedalam
usaha-usaha yang produktif untuk berbagai sektor ekonomi.
2.1.1.3. Sumber Hukum Perbankan dan Asas – asas Perbankan
Sumber hukum perbankan adalah tempat diketemukannya
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perbankan, ketentuan hukum danperundang-undangan perbankan yang
dimaksud adalah hukum positif. Sumber hukum dapat dibedakan atas
sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti
formal. Dalam arti material adalah sumber hukum yang menentukan
isu hukum itu sendiri, dan tergantung dari sudut pandang ekonomi,
sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya. Sumber hukum dalam
arti material baru diperhatikan jika dianggap perlu untuk diketahui
akan asal usul hukum.
Dalam arti formal adalah tempat diketemukannya ketentuan hukum
dan perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai
perbankan. Ketentuan hukum dan perundang-undangan mulai dari
Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 33, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, terutama tentang GBHN, Undang-Undang
Pokok Perbankan sampai kepada peraturan pelaksana dari Undang-
18
Undang Perbankan tersebut. Terdapat faktor-faktor yang membantu
pembentukan hukum perbankan, diantaranya perjanjian-perjanjian
yang dibuat antara bank dan nasabah, dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku di dunia perbankan.
Bank Indonesia dalam melaksanakan hubungan perbankan dengan
bank pelaksana dan nasabah bank harus dilandasi oleh beberapa asas
hukum di antaranya adalah25 :
1. Asas demokrasi ekonomi
Bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
2. Asas kepercayaan (fiduciary principle)
Bahwa bank dalam menjalankan usaha dilandasi oleh
hubungan kepercayaan antara bank dan nasabah
3. Asas kerahasiaan (confidential principle)
Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut
kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
4. Asas kehati-hatian (prudential principle)
Bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi
dana masyarakat yang dipercayakan padanya.
5. Asas Mengenal Nasabah ( know your customer)
25 Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Op.Cit., h.26.
19
Sebelum nasabah melakukan hubungan hukum dengan bank,
maka bank wajib mengerti dan memahami karakter nasabah
tersebut.
2.1.2. Tinjauan Umum Kerahasiaan Bank
2.1.2.1. Rahasia Bank
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran,
karena kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling
pokok dari eksistensi suatu bank, dalam hal ini kepercayaan
masyarakat kepada perbankan adalah kepentingan masyarakat
banyak.26
Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank
menjadi sangat penting. Apabila bank ambruk atau hancur, maka akan
mempunyai akibat rantai atau domino effect yaitu menular kepada
bank-bank yang lain dan tidak mustahil dapat mengganggu fungsi
sistem keuangan dan sistem pembayarannya dari negara lain atau yang
bersangkutan.
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi
nasabah bank yang bersangkutan. Timbulnya pemikiran untuk
perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga
melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank
semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara
individual.
26 Sutan Remy Syahdeini, Rahasia Bank Suatu Dilema, Jakarta, 1997, hlm.2.
20
Namun dalam perkembangannya, sehubungan dengan keadaan
politik dalam negeri dan keadaan sosial, terutama yang menyangkut
timbulnya kejahatan-kejahatan dibidang money laundering dan
kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas
moneter, timbul kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap
kewajiban rahasia bank yang mutlak. Artinya, apabila kepentingam
negara, bangsa, dan masyarakat umum harus didahulukan daripada
kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk
melindungi kepentingan nasabah secara individual itu, dalam arti tidak
boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah, harus dapat
dikesampingkan.
2.1.2.2. Pengertian Rahasia Bank
Hubungan antara bank dengan masyarakat ternyata tidaklah seperti
hubungan kontraktual biasa, tetapi dalam hubungan tersebut terdapat
pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari
nasabahnya kepada pihak lain mana pun kecuali jika ditentukan lain
oleh perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Perbankan, yang
dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Jadi, Undang-Undang Perbankan mempertegas dan
mempersempit pengertian rahasia bank dibandingkan dengan
ketentuannya dalam pasal-pasal dari undang-undang sebelumnya,
21
yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
tidak khusus menunjukkan bank kepada nasabah deposan saja.
Ada beberapa teori mengenai sifat rahasia Bank, yaitu:27
1. Teori Mutlak (Absolute Theory)
Dari teori ini, rahasia bank bersifat mutlak. Semua keterangan
mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di wajib
dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Apabila
terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, maka bank
yang bersangkutan wajib bertanggung jawab atas segala akibat
yang ditimbulkannya. Menurut teori ini, sifat mutlak rahasia
bank sangat sukar untuk diterobos dengan alasan apa pun dan
oleh hukum dan undang-undang sekalipun.
2. Teori Relatif (Relative Theory)
Dari teori ini, rahasia bank bersifat relatif (terbatas). Semua
keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat
di bank wajib dirahasiakan. Apabila ada alasan yang
dibenarkan oleh Undang-Undang, rahasia nasabah yang
bersangkutan boleh dibuka kepada pejabat yang berwenang.
Teori ini sesuai dengan rasa keadilan (senseof justice), artinya
kepentingan negara atau kepentingan masyarakat yang sesuai
dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah dapat
dibuka.
27 Zainal Asikin, Op.Cit., h. 176.
22
Sebagaimana diketahui bahwa di satu pihak kepentingan
masyarakat menghendaki supaya kewajiban rahasia bank dipegang
teguh oleh perbankan, namun agar kepentingan masyarakat lainnya
tidak tersisihkan, dalam hal-hal tertentu beberapa kewajiban rahasia
bank itu dapat dikecualikan. Pengecualian terhadap rahasia bank
meliputi28 :
1. Kepentingan Perpajakan
Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta
surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan
tertentu kepada pejabat pajak
2. Penyelesaian piutang Bank yang diserahkan ke Pejabat
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau Panitia
Urusan Piutang Negara
Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada BUPLN
atau PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai
simpanan nasabah debitur, dan pihak bank wajib memberikan
keterangan yang diminta
3. Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana
Dapat diberikan pengecualian kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim
atas izin Pimpinan Bank Indonesia
4. Perkara Perdata antara Bank dengan nasabah
28 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencuian Uang, Merger, Likuidasi,
dan Kepailitan, cet.1, ed.1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h.13.
23
Dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin
Pimpinan Bank Indonesia
5. Tukar – menukar informasi antar bank
Tukar-menukar informasi antar bank dimaksudkan untuk
memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank, antara
lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan
dan status dari suatu bank yang lain.
6. Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpanan yang dibuat secara tertulis.
Bank wajib memberikan keterengan mengenai simpanan
nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada
pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut atas
dasar permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpanan yang dibuat secara tertulis.
7. Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia
Bila nasabah penyimpan telah meninggal dunia, maka ahli
waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan
berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah
penyimpan tersebut.
2.1.2.3. Dasar Hukum Rahasia Bank
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah
mencantumkan aturan tentang rahasia bank dalam Bab I Pasal 1 Butir
16 dan Bab II Pasal 40, 41A, 42, 42A, 44A, 47, 47A, dan 48. Aturan
mengenai rahasia bank ini kemudian dirubah seperti tercantum dalam
24
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Mekanisme dan prosedur permintaan untuk pembukaan rahasia
bank, yaitu :29
1. Pemohonan ditujukan kepada Pimpinan Bank Indonesia Urusan
Hukum Bank Indonesia
2. Atas permintaan ini Pimpinan Bank Indonesia membahasnya
dan kemudian memberikan keputusannya apakah memberikan
atau menolaknya
3. Apabila permintaan tersebut tidak memenuhi persyaratan
dilakukan penolakan begitu juga sebaliknya apabila telah
memenuhi persyaratan maka diijinkan pembukaan rahasia bank
tersebut.
Secara lebih rinci Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatur rahasia bank
sebagai berikut :
1. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya
2. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpanan dan simpanannya
3. Ketentuan tersebut berlaku bagi pihak terafiliasi
29 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, h. 168
25
2.1.2.4. Sanksi Pelanggaran Rahasia Bank
Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan
dengan rahasia bank.30
1. Ditentukan oleh Pasal 47 ayat (1), yaitu tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin
dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank
atau pihak lain yang terafiliasi untuk memberikan keterangan
yang harus dirahasiakan oleh Bank.
2. Ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2), yaitu tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai
Bank, atau pihak terafiliasi lainnya dipidana sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun yang paling lama 4 (empat) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
Menurut sistem Undang-Undang Perbankan, maka sanksi pidana
atas pelanggaran prinsip kerahasiaan bank bervariasi. Ada 3 (tiga) ciri
khas dalam hal sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank
dalam Undang-Undang Perbankan, sebagaimana juga terhadap sanksi-
sanksi pidana lainnya dalam Undang-Undang Perbankan yang
bersangkutan.
30 Ibid., h. 15.
26
Ciri khas dalam sanksi pidana terhadap pelanggaran prinsip rahasia
bank, sebagai berikut :
1. Terhadap ancaman hukuman minimal disamping ancaman
hukuman maksimal
2. Antara ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda
bersifat kumulatif, bukan alternatif
3. Tidak ada korelasi antara berat ringannya ancaman hukuman
penjara dengan hukuman denda.
Dalam kaitannya dengan pengecualiannya terhadap ketentuan
rahasia bank ini, membawa konsekuensinya kepada bank untuk wajib
memberikan keterangan yang diminta. Hal tersebut ditegaskan dalam
Pasal 42A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,
bahwa bank wajib memberikan keterangan sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42. Dengan demikian, bank
wajib memberika keterangan yang diminta demi hukum dalam rangka
pemeriksaan perpajakan, penyelesaian piutang bank, untuk
pemeriksaan peradilan pidana.
2.1.3. Tinjauan Umum Pajak
2.1.3.1. Ketaatan dan Kesadaran Pajak Masyarakat / Wajib
Pajak
Pembangunan Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
betujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata
dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama
27
dari penerimaan pajak. Untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak
yang terus menerus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan
masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya
yang ada.31
Pajak dipungut dari masyarakat untuk kemudian dikembalikan dan
atau digunakan untuk pembangunan masyarakat itu sendiri, melalui
fungsi pengelolaan dari Pemerintah. Ketaatan dan ketertiban
pelaporan dan penyetoran pajak dari wajib pajak baik wajib pajak
pribadi maupun wajib pajak badan hukum sangat mempengaruhi
kelancaran pembangunan, karena pajak-pajak tersebut merupakan
sumber dana dalam pembangunan nasional, contohnya pembangunan
sarana pendidikan, sarana kesehatan dan transportasi, dan
pembangunan lainnya.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan dari
waktu kewaktu adalah rendahnya kesadaran dan ketaatan masyarakat
dibidang perpajakan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Bukan rahasia umum jika tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia
tidaklah baik. Fakta yang ada dilapangan memaparkan bahwa, tidak
semua wajib pajak patuh dan membayar pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Ada berbagai motif yang dilakukan oleh
31 Konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak.
28
wajib pajak, dari keengganan mendatangi kantor pelayanan pajak
dalam rangka pemenuhan kewajiban pelaporan perpajakan mereka.32
Minimnya pemahaman terhadap peraturan perpajakan, ketegasan
pelaksanaan sanksi dan denda, kurangnya kualitas pelayanan, hingga
sisi manfaat pajak yang tidak dapat dirasakan langsung oleh wajib
pajak, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya
tingkat kepatuhan wajib pajak. Lebih dari 70 (tujuh puluh) persen
APBN yang berasal dari penerimaan pajak. Pemanfaatan APBN yang
meliputi berbagai bidang, seperti kesehatan, infrastruktur daerah,
hingga subsidi BBM.
2.1.3.2. Peran Pajak dalam Pembangunan Nasional
Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia mempunyai masalah
dengan proverty vicious circle (lingkaran setan kemiskinan). Dengan
besarnya penerimaan pajak yang diterima oleh negara, diharapkan
negara dapat memutar roda perekonomian dengan cara penyertaan
modal pada perusahaan-perusahaan milik negara dan melakukan
pembangunan, sehingga negara dapat melakukan peningkatan
pembelanjaan barang modal dan belanja rutin yang dampaknya akan
32 Hasan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam tulisannya di
http://www.pajak.go.id/content/article/slogan-merakyat-pajak-meningkat dengan judul SloganMerakyat, Pajak Meningkat pada di publikasikan pada hari Senin, 18 Nopember 2013 - 18:19, dikunjungi pada tanggal 29 Maret 2019 pukul 23.45 WIB
29
dirasakan oleh sektor swasta sebagai rekanan pemerintah. Untuk
menjadi negara maju, kita memerlukan dana yang besar.33
Dalam APBN yang dibuat oleh Pemerintah, terdapat tiga sumber
penerimaan yaitu :34
a. Penerimaan sektor pajak,
b. Penerimaan dari sektor migas,
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
Penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan terbesar negara. Penerimaan dari migas, yang dahulu
selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang sudah tidak bisa
diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara karena
sifatnya tidak dapat diperbaharui.
2.1.3.3. Pajak untuk Kesejahteraan Rakyat
Negara Republik Indonesia adalah negara Hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam
perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat
dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan
Pemerintah dan seluruh potensi masyarakat.
33 http://www.pajak.go.id/content/news/peran-pajak-terhadap-pembangunan-
nasional-dan-daerah/ Kamis, 22 Mei 2014 - 11:06 ,dikunjungi pada tanggal 30 Maret pukul 00.01 WIB.
34 http://kangom.blogspot.co.id/2013/10/peran-pajak-dan-fungsi-pajak-dalam.html, disuntung pada tanggal 31 Maret 2017, dikunjungi pada tanggal 30 Maret 2019 pukul 00.30 WIB.
30
Pajak dipungut Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pajak dipungut
untuk dikembalikan ke rakyat melalui pengeluaran-pengeluaran dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Manfaat pajak sangat
strategis sebagai urat nadi kehidupan bangsa. Sekitar 70 (tujuh puluh)
persen dari penerimaan negara dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan nasional, baik berupa barang atau jasa. Perekonomian
negara sama halnya dengan perekonomian rumah tangga.
2.1.3.4. Implementasi Transparansi Perpajakan di Dalam
Negeri
Di dalam negeri, seiring dengan kesepakatan AEoI ini, Pemerintah
dan DPR mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan untuk
Kepentingan Perpajakan. Sehingga, wajib pajak kini tidak dapat lagi
menyembunyikan infor masi kekayaannya di luar negeri. Hingga
2017, Direktur Jendral Pajak telah memiliki kewenangan pertukaran
data keuangan dengan 50 negara lain. Di 2018, jumlah tersebut
bertambah sampai 50 negara lainnya, sehingga terdapat 100 negara
mitra yang memiliki perjanjian pertukaran data.
Tak hanya itu, Pemerintah juga semakin mempersempit ruang
gerak Wajib Pajak yang ingin menyembunyikan kekayaannya. Pada
Maret 2017 lalu, Direktur Jendral Pajak dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) meluncurkan sistem aplikasi keuangan nasabah yang
31
terintegrasi, yaitu Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (AKASIA)
bagi kalangan internal Direktur Jendral Pajak dan Aplikasi Buka
Rahasia Bank (AKRAB) untuk kalangan internal OJK. Melalui
aplikasi ini Direktur Jendral Pajak dapat mengakses informasi
keuangan nasabah yang disetorkan perbankan kepada OJK.
Pembukaan data dan informasi keuangan melalui aplikasi ini juga
akan menyingkat waktu pemeriksaan secara signifikan, dari 6 (enam)
bulan menjadi 2 (dua) minggu.
Upaya lain yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan
transparansi perpajakan adalah dengan meluncurkan PMK No.
213/PMK.03/2016 yang mengatur Dokumentasi Transfer Pricing (TP
Doc) dengan tiga tipe pendekatan yaitu master file, local file, dan
Country by Country Report (CbCR). Sehingga, seluruh perusahaan
yang melakukan transaksi afiliasi baik domestik maupun internasional
harus mengungkapkan struktur grupnya, aset tiap entitas, termasuk
jumlah karyawan tiap entitas.
Peraturan yang merupakan bagian dari Rencana Aksi Anti BEPS
(Base Erosion and Profit Shifting) ini juga digagas OECD
(Organization for Economic Coorperation and Development) sebagai
upaya melawan praktik penghindaran pajak yang biasanya dilakukan
oleh perusahaan multinasional. Pemerintah juga memiliki Rencana
Anti-BEPS, ini juga digagas oleh OECD (Organization for Economic
Coorperation and Development) sebagai upaya melawan praktik
32
penghindaran pajak yang biasanya dilakukan oleh perusahaan
multinasional.
Pemerintah juga membuat dan memiliki Rencana Aksi Anti-BEPS
lainnya yaitu Mandatory Disclosure Rule (MDR) yang mengatur
wajib pajak dan promotornya, konsultan pajak, akuntan, lembaga
investasi atau perbankan, wajib melaporkan perencanaan pajak klien
mereka. Perencanaan pajak ini juga perlu dilaporkan karena banyak
perusahaan menerapkan perencanaan pajak agresif (aggressive tax
planning) yang cenderung mengeksploitasi celah hukum semaksimal
mungkin, agar mereka dapat membayar pajak lebih sedikit dengan
cara tidak wajar.
2.2. Hasil Penelitian dan Analisa
2.2.1. AEoI (Automatic Exchange of Information)
Transaksi antar kedua negara atau beberapa negara dapat
menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu disepakati oleh kedua
negara atau seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan
perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat investasi
penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan
wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan
transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional
untuk mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara,
dimana setiap negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah
kedaulatan negara tersebut. Kebijakan perpajakan internasional
33
tersebut yaitu AEoI (Auotomatic Exchange of Information). Pajak
internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional,
dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan
dunia internasional yaitu Konvensi Wina.
Upaya untuk meminimalkan beban pajak dilakukan dengan
membuat perencanaan pajak (tax planning). Tax planning adalah
upaya-upaya yang dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih
memenuji ketentuan perpajakan maupun yang melanggar peraturan
perpajakan. Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance
(penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Tax
avoidance dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar
ketentuan yang berlaku, yaitu memanfaatkan kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam ketentuan perpajakan. Sedangkan tax evasion
dilakukan dengan cara-cara yang bersifat ilegal, yaitu melanggar
ketentuan perpajakan. Seringkali dalam praktik antara tax avoidance
dan tax avasion sulit dibedakan, namun secara ekonomis baik
perencamaan pajak melalui tax avoidance maupun tax avasion sama-
sama mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak.
Latar Belakang dari AEoI (Automatic Exchange of Information)
sendiri mengemuka pada tahun 2008 ketika terjadinya krisis keuangan
global yang menimbulkan dampak yang sangat besar pada hampir
seluruh negara di dunia termasuk Amerika Serikat dan negara-negara
Uni Eropa. Salah satu faktor penyebabnya adalah penghindaran pajak
dalam jumlah besar oleh warga negara Amerika Serikat yang memiliki
34
pendapatan luar negeri. Perekonomian di hampir seluruh negara
mengalami perlambatan dan ketidakpastian. Sehingga kondisi tersebut
mempengaruhi besarnya penerimaan pajak di setiap negara, karena
sebagian besar porsi penerimaan pajak berasal dari aktivitas ekonomi
yang pendapatannya sangat tergantung pada perekonomian dunia.
Pada tahun 2010 Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan FATCA
(Foreign Account Tax Compliance Act). FATCA merupakan peraturan
Pemerintah Amerika Serikat yang merujuk pada ketentuan dalam
Hiring Incentives to Restore Employment Act yang diundangkan pada
tanggal 18 Maret 2010 dan berlaku secara efektif 1 Januari 2013.
FATCA mewajibkan lembaga-lembaga keuangan yang ada di Amerika
Serikat untuk melakukan pelaporan kepada pemerintah mengenai
informasi terkait keuangan masyarakat Amerika Serikat atau entitas
lain dimana penduduk Amerika Serikat sendiri memiliki kepemilikan
yang signifikan. Kewajiban tersebut diiringi dengan pemberlakuan
non-compliance penalty berupa 30% withholding tax atas dana yang
dikeluarkan oleh Amerika Serikat.35
Dari adanya era keterbukaan informasi keuangan yang telah
dipioniri oleh Amerika Serikat dalam bentuk kebijakan FATCA ini
kemudian di respon dengan baik oleh negara lain, salah satunya adalah
negara Indonesia untuk melakukan hal yang serupa.
35 FMEI oleh BEM FEB UNS 2017 “Menakar Kesiapan Indonesia Menghadapi Era
Automatic Exchange of Information (AEoI),” 27 April 2017, http://www.fmeindonesia.org/menakar-kesiapan-indonesia-menghadapi-era-automatic-exchange-of-information-aeoi/ , dikunjungi pada tanggal 18 September 2018 pukul 10.32
35
Pada Tahun 2013, Menteri Keuangan serta Gubernur Bank Sentral
dari negara-negara anggota G-20 dan OECD melakukan pertemuan
guna memberikan dukungan atas pertukaran informasi secara otomatis
sebagai suatu standar pertukaran informasi global. Indonesia
melakukan caranya dengan memperkuat kerjasama Internasional yaitu
pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan dengan memberikan
sanksi bagi masyarakat yang dianggap tidak kooperatif, seperti
penghindaran pajak atau pengelakan pajak. Salah satu modus tersebut
adalah dengan cara menggeser profit dan menyimpan uang dari hasil
kegiatan tersebut di negara-negara suaka pajak (tax havens) atau
Offshore Financial Center. Untuk menangkal praktik penyembunyian
aset keuangan tersebut, diperlukan suatu kerja sama internasional,
khususnya di bidang pertukaran informasi antar otoritas perpajakan,
yang disebut dengan Auotomatic Exchange of Information.
Pada Tahun 2014 negara-negara anggota G-20 dan OECD
menyetujui untuk memformulasikan kebijakan semacam FATCA
melalui Common Reporting Standard (CRS) untuk menjadi dasar
dalam pertukaran informasi secara global. Publikasi OECD per tanggal
14 April 2016 memberikan informasi bahwa sebanyak 94 yurisdiksi
telah memberikan komitmen untuk melaksanakan AEoI melalui
penerapan CRS.
Ketentuan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang
direkomendasikan Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) dan negara-negara yang tergabung dalam G-20,
36
sebenarnya telah diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Dalam rangka mendukung pelaksanaan adanya AEoI ini,
maka Indonesia membuat Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Dalam
pembuatan perppu tersebut hanya UU KUP yang masuk prioritas
legislasi pada tahun 2017.
Dampak jika Indonesia tidak memtuhi dapat berakibat fatal
kedepannya, karena Global Forum sudah
menetapkan defensive measures bagi negara-negara yang gagal
memenuhi komitmen waktunya. Kerugian yang akan diterima
Indonesia adalah menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota
G-20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya
stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai
negara tujuan penempatan dana ilegal. Akhirnya Indonesia
menetapkan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-
Undang pada tanggal 23 Agustus 2017.
2.2.2. Kerahasiaan Bank
2.2.2.1. Latar Belakang Rahasia Bank
Rahasia Bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh
setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola
dana masyarakat, tetapi tidak seluruh aspek yang ditatausahakan bank
merupakan hal-hal yang dirahasiakan, Pemerintah telah menjamin
37
hak-hak nasabah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Bank mempunyai
kewajiban untuk menjaga kerahasiaan data nasabahnya kerhasiaan
tersebut adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan keuangan, dan hal-hal lain dari orang,
badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya.36
Kewajiban bank untuk menjaga rahasia bank itu didasari oleh
adanya hak setiap orang ataupun badan usaha untuk tidak dicampuri
mengenai pribadi mereka, dengan adanya hubungan perikatan antara
bank dengan nasabah membuat bank memiliki fungsi sebagai kuasa
dari nasabah dengan itikad baik wajib melindungi kepentingan dari
nasabahnya. Kerahasiaan bank salah satu faktor untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
2.2.2.2. Pengaturan Rahasia Bank
Pengaturan rahasia bank di Indonesia pertama kali dilakukan pada
tahun 1960 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank
kemudian diganti dengan Undang-Undang No 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan. Pasca diberlakukannya UU No 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka konteks macro prudential
menjadi Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan.37
36 Sutan Remy Sjahdeini, Rahasia Bank dan Berbagai Masalah Disekitarnya, Jurnal
Hukum Bisnis, 1999, hlm.4. 37 Zulkarnan Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suaru Gagasan tentang
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta,2002, hlm.220.
38
Dalam melaksanakan fungsinya, kedua lembaga ini bersifat
independen, namun koordinasi antar keduanya tetap dijalin karena
pengawasan secara mikro ikut mempengaruhi kinerja perekonomian
secara makro, khususnya bank-bank besar yang memiliki dampak
sistematik pada perekonomian. Kewenangan pengaturan dan
pengawasan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan, adalah
kewenangan memberikan izin, kewenangan untuk mengatur,
kewenangan untuk mengawasi, serta kewenangan untuk melakukan
penyidikan.38
2.2.2.3. Kerahasiaan Bank Terkait Perlindungan Data Nasabah
Pasca Diterbitkannya UU No 1 Prp Tahun 2017
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 UU No 1 Prp Tahun 2017,
disebutkan bahwa akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi
keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian
Internasional di bidang perpajakan.
Salah satu dasar pertimbangan diterbitkannya UU No 1 Prp Tahun
2017 adalah untuk memperkuat basis perpajakan guna merealisasikan
target penerimaan negara dari sektor pajak dan yang terpenting adalah
untuk meningkatkan pendapatan negara sehingga dapat berimbas pada
38 Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Booklet Perbankan Indonesia, Jakarta, 2014, Ed 1 Maret
2014
39
tercapainya program-program Pemerintah dalam hal pembangunan
Nasional serta tercapainya pertumbuhan ekonomi yang maksimal.39
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU No 1 Prp Tahun 2017
disebutkan bahwa laporan yang disampaikan oleh Lembaga Keuangan
kepada otoritas perpajakan paling sedikit memuat :
1. Identitas pemegang rekening,
2. Nomor Rekening,
3. Identitas Lembaga Jasa Keuangan,
4. Saldo atau Nilai Rekening,
5. Penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Rumusan tersebut sama dengan rumusan yang diatur dalam Pasal
19 ayat (1) PMK No. 73/PMK.03/2017, dalam hal ini terkait dengan
Laporan Informasi Keuangan yang wajib disampaikan oleh Lembaga
Jasa Keuangan dalam satu tahun kalender. Rumusan dalam ketentuan
tersebut berlaku untuk subjek hukum berupa Pribadi Warga Negara
Indonesia, Pribadi Warga Negara Asing, dan Entitas yang
berkedudukan di Indonesia.
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, maka Otoritas Pajak tidak
dapat mengakses keseluruhan sistem keuangan yang dikelola oleh
perbankan secara langsung, tidak dapat melihat aliran dana masuk dan
keluar dari rekening nasabah, bahkan juga tidak dapat sewaktu-waktu
melihat saldo rekening nasabah karena adanya periodesasi waktu
39 Anonim, Kebijakan Keterbukaan Data Nasabah: Bias dan Rawan Diselewengkan,
PROBANK, No 128, 2017, Jakarta, h.3-5.
40
pelaporan. Diluar dari pada itu, terdapat pula batasan lainnya
berkenaan dengan jumlah nilai rekening keuangan atau saldo
minimum yang wajib untuk dilaporkan, yakni rekening keuangan
yang dimiliki orang pribadi, saldo atau nilai dari satu rekening
keuangan atau lebih dengan jumlah paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau dengan mata uang asing
yang nilainya setara.
Berkenaan dengan dapat diaksesnya beberapa komponen informasi
keuangan nasabah perbankan yang juga sebagai wajib pajak oleh
otoritas perpajakan, sebagaimana diatur dalam UU No 1 Prp Tahun
2017 dan PMK No. 73/PMK.03/2017, tidak lain merupakan
penerapan dari asas hukum yang secara umum berlaku dalam sistem
hukum positif Indonesia, yakni : Lex Specialis Derogat Legi
Generalis. Asas tersebut menafsirkan bahwa peraturan atau norma
yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau mengecualikan
peraturan/norma yang bersifat lebih umum.
Penerapan asas ini dapat dilakukan sepanjang kedua norma tersebut
(baik yang bersifat lebih khusus maupun lebih umum) berada dalam
satu derajat hierarki peraturan dan satu lingkungan hukum yang sama.
Mengingat 2 (dua) norma yang saling berkonflik tersebut (norma
hukum terkait kerahasiaan perbankan dalam Undang-Undang
Perbankan dan norma hukum terkait keterbukaan data nasabah
perbankan) berada dalam derajat hirarki dan lingkungan hukum yang
sama, maka asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dapat
41
diterapkan guna mengedepankan pemberlakuaan norma-norma yang
diatur dalam UU No 1 Prp Tahun 2017 dan oleh karenanya
mengesampingkan norma terkait kerahasiaan perbankan yang diatur
dalam Undang-Undang Perbankan.
Maka meskipun Lex Specialis Derogat Legi Generalis diterapkan
dalam penyelesaian konflik antar norma tersebut, Perppu No 1 Tahun
2017 tidak sepenuhnya mengecualika norma terkait kerahasiaan
perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan
melainkan hanya membebankan kewajiban kepada lembaga keuangan
perbankan untuk membuka sebagian kecil data nasabahnya kepada
otoritas pajak. Dengan kata lain, meskipun peraturan tersebut telah
terbit, tidak semata-mata menghilangkan prinsip kerahasiaan
perbankan yang berlaku, sehingga diluar kepentingan pajak, pasal-
pasal terkait kerahasiaan bank masih berjalan dan berlaku sepanjang
diluar dari pada apa yang diatur baik dalam UU No 1 Prp Tahun 2017
dan PMK No.73/PMK.03/2017.
2.2.2.4. Pembukaan Rahasia Bank untuk Kepentingan
Perpajakan Sebelum dan Sesudah Adanya AEoI
Ketentuan mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan
perpajakan ini diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perbankan
Tahun 1998 yang menyatakan bahwa “Untuk kepentingan perpajakan,
Pimpinan Bank Indonesia atas perintah Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan
42
keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta Surat-Surat
mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada
pejabat pajak.”40
Dalam pembukaan rahasia bank karena untuk keperluan
pemeriksaan dan penyidikan perpajakan, maka pembukaannya harus
ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan, adapun mengenai
keperluan untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan lainnya maka tidak diperlukan permintaan. Hal
demikian didasarkan kepada ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2)
berikut penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994,
yaitu untuk kepentingan menjalankan peraturan perundang-undangan
pajak, pihak pajak langsung dapat meminta keterangan atau bukti dari
bank mengenai keadaan keuangan nasabahnya sepanjang mengenai
perpajakannya.41
Perbedaan pembukaan kerahasiaan bank sebelum adanya AEoI ini
terlihat pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dimana Direktur Jendral Pajak dapat mengakses ke data
informasi nasabah, akan tetapi harus meminta wewenang kepada
Menteri Keuangan. Menteri Keuangan akan meminta ke Bank
Indonesia untuk memberikan perintah kepada Bank terkait untuk
memeriksa akses data ke Pejabat Kantor Pajak yang meminta data
nasabah.
40 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, h.25 41 Muhammad Djumhana, Op.Cit., h.169.
43
Dalam Peraturan Gubernur Bank Indonesia No 2/19/PBI/2000
Pasal 5 dan Pasal 6 dalam kondisi tertentu Direktur Jendral Pajak bisa
mengakses data nasabah untuk kepentingan perpajakan akan tetapi,
harus mendapatkan izin tertulis untuk membuka rahasia bank dari
Pimpinan Bank Indonesia.
Pembukaan kerahasiaan bank setelah adanya AEoI adalah terlihat
dalam Pasal 2 UU No 1 Prp Tahun 2017 tentang Akses Informasi
Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan adalah dimana Direktur
Jendral Pajak memiliki akses secara langsung atau memiliki
wewenang penuh dalam mengakses data rekening nasabah tanpa
terlebih dahulu melakukan prosedur yang diatur dalam Undang-
Undang Perbankan.
2.2.3. Pengaruh AEoI terhadap Perpajakan
2.2.3.1. Akses Informasi
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017
tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan,
Pemerintah telah membuat program Pengampunan Pajak (Amnesti
Pajak) yang merupakan fasilitas dimana Pemerintah memberikan
kepada Wajib Pajak, yang telah berakhir tanggal 31 Maret 2017.
Program Amnesti Pajak tersebut telah memberikan dampak positif
antara lain adalah meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka
pendek, meningkatkan kepatuhan pajak, meningkatkan basis
pemajakan, mewujudkan rekonsiliasi perpajakan nasional, mendorong
44
pertumbuhan ekonomi, sebagai jembatan ke sistem perpajakan baru
yang lebih kuat dan adil.
Walaupun program Amnesti Pajak tersebut telah diikuti oleh
banyak Wajib Pajak dan mendeklarasikan hartanya di tiga periode,
beberapa target program pengampunan pajak ini tidak tercapai.
Pertukaran dan data informasi keuangan secara otomatis ( AEoI) antar
negara memiliki peranan penting dalam di bidang perpajakan,
terutama dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor
perpajakan.
Ada 6 (enam) elemen yang harus dipenuhi oleh Indonesia yaitu :
1. Tersedianya legislasi domestik, baik primer (peraturan
setingkat undang-undang) maupun sekunder (peraturan
dibawah undang-undang) sesuai dengan standar internasional,
yang dinilai dengan domestic legislative assessment dan Global
Forum on Transparancy and Exchange of Information for Tax
Purposes
2. Tersedianya perjanjian internasional yang memuat persetujuan
antar pejabat yang berwenang
3. Tersedianya sistem transmisi data, yang dapat memfasilitasi
pengiriman data dari lembaga keuangan ke Direktur Jendral
Pajak, serta Direktur Jendral Pajak kepada negara atau
yurisdiksi mitra atau sebaliknya
45
4. Terjaminnya kerahasiaan dan pengamanan data di Direktur
Jendral Pajak yang dinilai dengan confidentiality and data
safeguards assessment.
Era keterbukaan informasi keuangan akan membantu otoritas
pajak, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak menekan
penerimaan. Menekan penerimaan pajak dengan cara mengakses data
nasabah bank dan lembaga keuangan non bank. Data tersebut harus
memenuhi format dan lengkap sesuai standar baku common reporting
standard (CRS). Dengan adanya AEoI, data yang diperoleh bukan
hanya bersifat nasional, melainkan juga internasional.
Keberadaan Undang-Undang terkait keterbukaan akses informasi
keuangan tersebut merupakan kunci penting karena sebagai payung
hukum bagi otoritas perpajakan dalam mengakses informasi keuangan
untuk tujuan perpajakan. Disisi lain, suatu negara akan dianggap fail
to comply atau gagal di dalam memenuhi peraturan perundang-
undangan di mata Internasional. Direktur Perpajakan Internasional,
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dengan
diterapkannya AEoI di Indonesia akan menjadi pemicu pelaksanaan
reformasi perpajakan. Keterbukaan sistem pertukaran informasi pada
AEoI akan memicu perubahan yang mendasar di seluruh aspek
administrasi perpajakan. Tax Amnesty itu sebagai bridging antara
kondisi sekarang dan kondisi setelah tax amnesty.
46
Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, menurut
UU No 1 Prp Tahun 2017 ini meliputi akses untuk menerima dan
memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan
perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan lainnya,
dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud, wajib menyampaikan
kepada Direktor Jenderal Pajak :
1. Laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar
pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian
internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening
keuangan yang diindentifikasikan sebagai rekening keuangan
yang wajib dilaporkan
2. Laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan, yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan,
lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud
selama satu tahun kalender.
Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud
menurut Pasal 2 ayat 8 Perppu No 1 Tahun 2017 adalah :
1. Identitas pemegang rekening keuangan
2. Nomor rekening keuangan
3. Identitas lembaga jasa keuangan
4. Saldo atau nilai rekening keuangan
47
5. Penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan
Perppu No 1 Tahun 2017 menegaskan bahwa, lembaga jasa
keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain tidak
diperboleh melayani :
1. Pembukaan rekening keuangan baru bagi nasabah baru, atau
2. Transaksi baru terkait rekening keuangan bagi nasabah lama,
yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi rekening
keuangan sebagaimana dimaksud
Menurut UU No 1 Prp Tahun 2017, selain menerima laporan
sebagaimana dimaksud, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari lembaga jasa
keuangan, lembaga jasa keungan lainnya, dan/atau entitas lain.
Informasi keuangan yang tercantum dalam laporan, dan informasi
dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud, digunakan
sebagai basis data pepajakan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5 UU No 1 Prp Tahun 2017 tentang Akses Informasi
Keungan untuk Kepentingan Perpajakan “Berdasarkan perjanjian
internasional dibidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang
melaksanakan pertukaran informasi keuangan dan/atau informasi
dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dengan otoritas
yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.”
UU No 1 Prp Tahun 2017 memberikan ancaman sanksi bagi
pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan
48
dan/atau pegawai jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau
pegawai entitas lain :
1. Tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
2. Tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan
secara benar, dan/atau
3. Tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan
dipidana paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Terbitnya Perppu No 1 Tahun 2017 memberi kewenangan kepada
Direktorat Jendral Pajak untuk mendapat akses informasi keuangan
dari lembaga perbankan demi kepentingan perpajakan nasional. Hal
ini secara tidak langsung menimbulkan akibat hukum sebagai
konsekuensi logis dari pemberlakuan aturan tersebut.
Sejumlah akibat hukum yang berpotensi muncul sebagai akibat dari
pemberlakuan Perppu No 1 Tahun 2017 tersebut, antara lain adalah :
1. Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan mempunyai
kewenangan dan keleluasaan dalam melakukan upaya-upaya
mengakses informasi keuangan nasabah perbankan yang
merupakan wajib pajak.
2. Persaingan bisnis antar lembaga keuangan di sektor perbankan
memiliki koridor hukum baru, sehingga akan berdampak pada
kebijakan perusahaan dalam pelayanannya terhadap nasabah.
49
3. Perppu No 1 Tahun 2017 secara tidak langsung mengarah pada
reformasi sistem perbankan yang berbasis pada teknologi
informasi, sehingga ke depannya dibutuhkan pengaturan lebih
komprehensif terkait manajemen sistem perbankan berbasis
elektronik (electronic banking system)
4. Aktivitas perbankan menjadi terbuka dan transparan.
Keterbukaan dan transparasi aktivitas perbankan dalam hal ini
merujuk pada kemudahan otoritas pajak dalam turut serta
mengawasi dan mengakses informasi keuangan nasabah yang
juga merupakan wajib pajak.
2.2.3.2. Perluasan Basis Pajak
2.2.3.2.1. Ekstensifikasi Wajib Pajak
Menurut Surat Edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE –
06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah
kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak
terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat
Jendral Pajak. Indikator Ekstensifikasi Perpajakan adalah :
1. Wajib Pajak terdaftar,
2. Penambahan jumlah wajib pajak terdaftar setiap tahun,
3. Peningkatan dengan adanya kegiatan pendapatan objek pajak
Ekstensifikasi dimulai dari proses pendataan dan pengawasan serta
melakukan sosialisasi peraturan dan ketentuan yang berlaku terkait
pajak daerah kepada para pelaku usaha yang usahanya menjadi objek
50
pajak dan belum terdaftar dan tentunya belum melaksanakan
kewajiban pajaknya ini dilakukan bertujuan agar pelaku usaha segera
mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari ekstensifikasi pajak
adalah kegiatan untuk mencari informasi terkait objek dan subjek
pajak yang telah memenuhi syarat atau belum memenuhi syarat
sebagai wajib pajak lalu dilakukan pengawasan serta pembinaan
melalui media sosialisasi sampai terdaftar sebagai wajib pajak.
Ekstensifikasi pajak bertujuan untuk memperbanyak wajib pajak
baik wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan usaha untuk
menambah jumlah pembayaran pajak atau wajib pajak yang terutama
memiliki nomor pokok wajib pajak.
2.2.3.2.2. Intensifikasi Pajak
Menurut Surat Edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE –
06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Intensifikasi Pajak menyatakan
bahwa Intensifikasi Pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian
penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat
atau terdaftar dalam administrasi Direktorat Jendral Pajak, dan dari
hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.
Indikator Intensifikasi Perpajakan adalah :
1. Penyuluhan pembayaran administrasi pajak daerah,
2. Penambahan unit-unit pembantu,
51
3. Peningkatan pelayanan pembayaran pajak secara jabatan.
Dalam intensifikasi pajak, terdapat 3 (tiga) istilah terkait
intensifikasi yaitu, mapping atau pemetaan, profiling atau pembuatan
profil dan benchmarking atau pembandingan. Ketiga kegiatan ini
didukung dengan kegiatan pengumpulan data baik dari Internal
Direktorat Jendral Pajak maupun dari eksternal Direktorat Jendral
Pajak.
Maka dapat disimpulkan bahwa intensifikasi pajak adalah kegiatan
yang dilakukan untuk menambah jumlah penerimaannya dari wajib
pajak yang sudah terdaftar sebagai wajib pajak. Dan pelaksanaannya
dimulai dengan pembinaan, sosialisasi, pengawasan, sekaligus
melakukan pemerikasaan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Manfaat intensifikasi adalah untuk memperbaiki sistem yang
terbengkalai dan hal ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu
dengan memperbaiki administrasi juga pengawasan pegawai dan
perbaikan pada Undang-Undang.