Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Piper betle L.
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Tanaman sirih ini merupakan tanaman merambat dan hidup di iklim tropis
hingga tingginya dapat mencapai 15 meter. Tanaman ini lebih dikenal dengan
sebutan daun sirih karena bagian yang paling dimanfaatkan adalah daunnya. Daun
sirih telah dimanfaatkan sejak berabad-abad silam sebagai sarana pengobatan,
bahkan sejak jaman neolitikum (purba) Asia. Sirih yang merupakan tanaman
antibakteri ini banyak dijumpai di daerah tropis seperti Indonesia. Tanaman ini
banyak tumbuh di daerah Jawa, Madura, Bali, Aceh, Sumatera, Timor, Sulawesi,
Ternate dan lampung.
Klasifikasi dari tanaman Piper betle Linn menurut (Dwievedi & Tripathi.,
2014) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliphyta
Class : Magnolipsida
Order : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Species : Piper betle L.
Gambar 2.1 Daun dan bunga Piper betle L. (Rekha et al., 2014)
7
2.1.2 Nama Lain Piper betle L.
Negara kita memiliki beragam suku dengan bahasa yang berbeda-beda pada
masing-masing daerah. Adanya beragam bahasa ini menyebabkan perbedaan
dalam penyebutan suatu tanaman salah satunya adalah sebutan tanaman daun sirih
hijau (Piper betle L.) terdapat berbagai macam sebutan nama diantaranya : Ranub
(aceh), sereh (Gayo), Belo Batak (karo), Burangir (Mandailing),Cabai
(Mentawai), Sirih (Palembang, Minangkabau), Seureuh (Sunda), Sere (Madura),
Uwit (Dayak), Nahi (Bima), Malu (Solor), Mokeh (Alor), Mota(Flores), Bido
(Bacan). (Budiman et al., 2018)
2.1.3 Morfologi Tanaman
Tumbuhan dengan famili piperaceae secara morfologi merupakan tumbuhan
kormus. Dimana makna dari kormus itu sendiri adalah tumbuhan yang sudah
dapat dibedakan organ utamanya seperti akar, batang, dan daun. Famili Piperaceae
adalah jenis tanaman yang sering dijumpai dilingkungan kita dan banyak jenisnya
digolongkan kedalam tanaman dikotil. Tanaman ini juga sering dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai tanaman obat tradisional. (Sarjani et al., 2017)
Daun sirih hijau ini memiliki ciri-ciri morfologi sebagai berikut, mulai dari
akar, batang dan terutama daun (bagian yang paling banyak dimanfaatkan). Daun
sirih hijau merupakan tanaman merambat yang mencapai ketinggian hingga 15 m
bahkan tanaman ini panjangnya mampu mencapai puluhan meter. Daunnya
berbentuk seperti jantung dengan tangkai daun panjang, tepi daun rata, ujung daun
meruncing, pangkal daun berlekuk, tulang daun menyirip, dan daging daun tipis.
Permukaan daun berwarna hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya berwarna
hijau kecoklatan dan permukaan kulit batang kasar serta berkerut-kerut yang
beruas-ruas sebagai tempat keluarnya akar. Daun sirih yang tumbuh subur
ukurannya dapat mencapai lebar dengan kisaran antara 8 cm -12 cm dan
panjangnya 10 cm-15 cm. Tulang daun bagian bawah licin, tebal, berwarna putih.
Panjang tulang daun sekitar 5 cm – 18 cm, lebar 2,5 cm – 10,5 cm. Bunga
berbentuk bulir, berdiri sendiri diujung cabang dan berhadapan dengan daun.
Daun pelindung berbentuk lingkaran, bundar telur terbalik atau lonjong, panjang
kirakira 1 mm. Bulir jantan memiliki panjang tangkai 2,5 cm – 3 cm, benang sari
sangat pendek. Bulir betina memiliki panjang tangkai sekitar 2,5 cm – 6 cm.
8
Kepala putik berjumlah 3-5 buah. Buah buni, bulat, dengan ujung gundul. Bulir
masak berambut kelabu, rapat, mempunyai tebal 1 cm – 1,5 cm. Biji membentuk
lingkaran. (Ningtias & Asyiah., 2014)
2.1.4 Penyebaran Piper betle L.
Daun sirih hijau (Piper betle L.) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.
Pada ketinggian 10-300 mdpl merupakan angka pertumbuhan yang optimal untuk
tanaman sirih. Disamping itu beberapa jenis sirih juga mampu tumbuh sampai
ketinggian lebih dari 1.000 mdpl. Tanaman sirih tidak tahan terhadap genangan
dan intensitas cahaya. Salah satu faktor yang menentukan untuk pertumbuhan
sirih adalah curah hujan yang tinggi. (Widiyastuti et al., 2013). Daerah persebaran
Piper betle L. dapat dikatan cukup luas, khususnya di kawasan tropis dan
subtropis. Indonesia merupakan satu dari delapan pusat keanekaragaman genetik,
delapan negara tersebut adalah sebagai berikut ; Brazil, Indonesia, Kolombia,
Australia, Meksiko, Madagaskar, Peru dan Cina. Sehingga dapat dipastikan
bahwa Indonesia sebagai salah satu negara asal tumbuhan sirih-sirihan ini. Habitat
alami yang baik untuk Piperaceae adalah di tempat yang lembab dan kaya akan
humus. (Munawaroh., 2017). Daerah yang spesifik untuk tanaman sirih hijau
(Piper betle L.) tumbuh subur adalah disepanjang Asia tropis hingga Afrika
Timur. Menyebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri
Lanka, India hingga Madagaskar. Di Indonesia, tanaman ini dapat ditemukan di
pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. (Carolia &
Noventi, 2016)
2.1.5 Kandungan Fitokimia Piper betle L.
Daun sirih banyak dimanfaatkan sebagai antisariawan, antibatuk dan
antiseptik. Senyawa aktif yang berkhasiat sebagai antibakteri yang terkandung
dalam Piper betle L. adalah saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri.
Saponin dapat bekerja sebagai antimikroba dengan cara merusak membran
sitoplasma dan membunuh sel. Senyawa flavonoid juga dikatakan sebagai
antimikroba karena diduga dapat mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak
membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi. Flavonoid bekerja dengan menghambat
fase penting dalam biosintesis prostaglandin, yaitu pada lintasan siklooksigenase.
Kandungan fenol dalam daun sirih hijau diyakini memiliki jumlah yang lebih
9
banyak dibanding fenol pada umumnya. Fenol merupakan salah stau senyawa
yang dapat menghambat aktivitas bakteri. Fenol alam yang terkandung dalam
minyak atsiri pada daun sirih memiliki daya antiseptik lima kali lebih kuat
dibandingkan fenol biasa. Mekanisme kerja fenol sebagai antibakteri berperan
sebagai toksin dalam protoplasma, merusak dan menembus dinding serta
mengendapkan protein sel bakteri. (Carolia & Noventi, 2016)
Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri
1-4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C,
yodium, gula dan pati. Dari berbagai kandungan tersebut, dalam minyak atsiri
terdapat fenol alam yang mempunyai daya antiseptik 5 kali lebih kuat
dibandingkan dengan fenol biasa (bakterisid dan fungisid) tetapi tidak sporasid.
Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol dan beberapa derivatnya.
Minyak atsiri terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol,
metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin, Kavikol
merupakan komponen paling banyak dalam minyak atsiri yang memberi bau khas
pada sirih. Kavikol bersifat mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan
warna.
Salah satu penelitian mengenai mekanisme antibakteri pada proses
penghambatan pertumbuhan bakteri dari ekstrak daun sirih hijau yang dilakukan
oleh Suliantari di tahun 2008 mendapatkan hasil bahwa ekstrak daun sirih hijau
yang diperoleh dengan pelarut etanol mempunyai aktivitas antibakteri terhadap
beberapa bakteri Gram positif dan Gram negatif yang salah satunya adalah
Escherichia coli, yang hasilnya pelarut etanol dapat menghambat pertumbuhan
sebesar 14 mm dan untuk konsenterasi minimum penghambatan (Minimum
Inhibitory Concentracion) didapatkan sebesar 1%. Pengaruh ekstrak daun sirih
hijau (Piper betle L.) terhadap pertumbuhan Escherichia coli dengan metode
difusi disk didapatkan pada konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% dengan daya hambat
sebesar 10,00; 9,420; dan 10,57 mm.
2.1.6 Manfaat Piper betle L. Sebagai Herbal Medicine
Ekstrak dari daun sirih hijau memiliki aktivitas antibakteri dimana ekstrak
ini memiliki banyak manfaat, salah satunya dapat digunakan untuk penyembuhan
beberapa masalah kesehatan. Daun sirih hijau digunakan sebagai obat batuk, obat
10
cacing, antiseptik luka, obat sakit gigi, penyegar dan lain sebgainya. Kandungan
kimia yang terdapat pada daun sirih hijau (Piper betle L.) antara lain minyak
atsiri, terpenoid, tanin, polifenol serta steroid. Di samping senyawa-senyawa yang
bersifat polar, terdapat juga kandungan senyawa non polar ataupun semi polar dan
bersifat lipofil, sebagaimana yang terkandung pada tanaman tingkat tinggi pada
umumnya. Hasil penelitian oleh Suliantari (2008) menunjukkan hasil ekstrak
etanol daun sirih hijau dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dengan
kategori sedang, penelitian lain oleh Anang Hermawan (2007), bahwa ekstrak
daun sirih hijau dengan pelarut DMSO (Dimethyl Sulfoxide) dapat menghambat
aktivitas bakteri Staphylococcus aureus dengan kategori kuat. Selain itu juga
memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap Propionibacterium acnes dan
Staphylococcus aureus (Kursia et al., 2016)
2.2 Bakteri Propionibacterium acnes
Propionibacterium acnes merupakan bakteri gram positif dan bersifat
anaerob dimana bakteri ini merupakan flora normal pada kelenjar pilosebasea
akan tetapi dapat bersifat invasiv. Propionibacterium acnes menghasilkan lipase
yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit yang akan menyebabkan
terjadinya inflamasi jaringan sehingga mendukung terbentuknya acne. Peranan
Propionibacterium acnes pada patogenesis acne vulgaris adalah memecah
trigliserida, salah satu komponen sebum yang kemudian menjadi asam lemak
bebas sehingga terjadi kolonisasi yang memicu inflamasi. Selain itu, antibodi
terhadap antigen dinding sel Propionibacterium acnes meningkatkan respons
inflamasi melalui aktivasi komplemen. (Kursia et al., 2016)
2.2.1 Klasifikasi Bakteri
Propionibacterium acnes merupakan salah satu flora normal pada kulit yang
termasuk golongan bakteri gram positif, pleomorfik, dan bersifat anaerob
aerotoleran (Jawetz et al., 2013). Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 -
0,8 µm dan panjang 3 - 4 µm, bakteri ini berbentuk batang dengan ujung
meruncing atau kokoid (bulat) (Damayanti, 2014). Adapun klasifikasi ilmiah
bakteri Propionibacterium acnes adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
11
Class : Actinomycetales
Ordo : Proionibacterineae
Famili : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acnes
Gambar 2.2 Propionibacterium acnes (Yuan et al., 2017)
2.2.2 Morfologi Bakteri
Propionibacterium acnes adalah bakteri yang berbentuk basil dan bersifat
gram positif yang berada di dalam folikel pilosebaseus dan juga dapat ditemukan
di konjungtiva (area mata), rongga mulut, saluran usus, dan saluran telinga luar.
Genom dari Propionibacterium acnes dapat mengkode semua komponen proses
fosforilasi oksidatif seperti NADH dehydrogenase, sitokrom c-reduktase,
sitokrom c-oksidase, dan tipe ATP sintase. Selain itu, ia juga memiliki gen
sitokrom d-oksidase, yang memastikan bahwa bakteri tersebut dapat tumbuh
dalam kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, Propionibacterium acnes dapat
mentolerir paparan oksigen selama beberapa jam dan mampu secara in vitro
bertahan dalam kondisi anaerob hingga 8 bulan. Pengamatan terakhir
menunjukkan bahwa Propionibacterium acnes juga dapat bertahan untuk waktu
yang lama dalam jaringan manusia dengan potensi oksidasi yang rendah. (Portillo
et al., 2013)
2.2.3 Sifat Biakan dan Pertumbuhan
Suhu optimal untuk pertumbuhan Propionibacterium acnes adalah 370C.
Pertumbuhan Propionibacterium acnes dapat dilakukan pada media kultur agar
aerob dan anaerob selama 14 hari dan diinokulasi ke dalam larutan tioglikolat
dimana harus dilakukan pengecekan dan disubkultur secara rutin. Meskipun
12
karakteristiknya toleran oksigen, Propionibacterium acnes tidak terdeteksi oleh
kultur aerobik karena pertumbuhannya yang lambat. Oleh karena itu, keberadaan
pertumbuhan Propionibacterium acnes harus ditafsirkan dengan hati-hati.
(Portillo et al., 2013)
2.2.4 Fisiologi Bakteri
Bakteri ini tergolong ke dalam kelompok bakteri anaerob hingga
aerotolerant dengan pertumbuhan optimum pada suhu 30-37°C. Mikroorganisme
anaerob sensitif terhadap oksigen, karena dapat menghambat pertumbuhan dan
menyebabkan kematian. Pada media agar koloni bakteri ini berwarna kuning
hingga merah muda dengan bentuk yang khas. Metode yang digunakan untuk
mengisolasi bakteri ini adalah metode Hungate yang menggunakan anaerobic jar.
Peralatan ini kedap udara dan rendah oksigen karena ditambahkan paladium yang
sangat efektif untuk mereduksi oksigen, namun harganya mahal (Kurnia et al.,
2015). Sebagai alternatif, teknik stoples lilin dapat diterapkan untuk pengurangan
cepat sebagian besar oksigen dan kemudian sisa oksigen 12% dapat dikurangi
secara perlahan dengan menerapkan pelat yang mengandung bahan kimia
pereduksi (Maiti, 2013)
Bakteri ini berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta pembentukan
enzim lipolitik pengubah fraksi sebum menjadi massa padat, yang menyebabkan
terjadinya penyumbatan pada saluran kelenjar sebasea. Penyebab adanya zat
nutrisi bagi bakteri yang diproduksi dari sekresi kelenjar sebasea yakni air, asam
amino, urea, garam dan asam lemak. Jerawat yang disebabkan oleh beberapa
bakteri seperti Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus epidermidis menimbulkan efek yang berbeda-beda. (Kursia et al.,
2016)
2.3 Acne Vulgaris (Jerawat)
2.3.1 Definisi
Acne vulgaris adalah suatu kondisi inflamasi umum pada unit pilosebaseus
yang terjadi pada remaja dan dewasa, dengan gambaran klinis biasanya
polimorfik yang terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa: komedo, papul, pustul,
nodul, dan jaringan parut. Acne vulgaris merupakan penyakit yang banyak
diderita masyarakat terutama remaja. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
13
yaitu Propionibacterium acnes dan bakteri Staphylococcus epidermidis.
Propionibacterium acnes menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas
dari lipid kulit yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi jaringan sehingga
mendukung terbentuknya acne. (Morales & Cano, 2004)
2.3.2 Epidemiologi
Acne vulgaris merupakan gangguan kulit paling umum yang terjadi di
Amerika Serikat. Gangguan kulit ini mempengaruhi sekitar 80% dari populasi
antara usia 11 sampai 30 tahun, tanpa jenis kelamin, ras, atau prevalensi etnis.
Usia timbulnya jerawat bervariasi, akan tetapi biasanya dimulai pada masa
pubertas. Jerawat dewasa dapat pertama kali terjadi setelah pertengahan 20-an,
lebih banyak terjadi pada perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dan dengan
lesi umumnya terdistribusi di daerah wajah bawah sekitar mulut, dagu, dan garis
rahang (Morales & Cano, 2004)
2.3.3 Etiologi
Terdapat berbagai faktor yang berkaitan dengan patogenesis acne vulgaris
seperti: perubahan pola keratinisasi, produksi sebum yang meningkat, peningkatan
hormon androgen, terjadinya stress psikis, faktor lain yaitu usia, ras, familial,
makanan, cuaca. Pemakaian bahan kosmetika tertentu dalam jangka waktu yang
lama akan dapat menyebabkan timbulnya jerawat. Empat faktor utama yang
diidentifikasikan penyebab terjadinya pembentukan lesi jerawat yakni
peningkatan produksi sebum, mengelupas mengelupasnya keratinosit,
pertumbuhan bakteri, dan peradangan. (Morales & Cano, 2004)
2.3.4 Patogenesis
Acne vulgaris adalah penyakit pada unit pilosebaceous (yaitu kelenjar
sebaceous dan folikel rambut yang berdekatan). Kelenjar sebaceous, dominan
pada wajah, dada, dan punggung atas, berespons terhadap androgen stimulasi.
Kelenjar ini memberikan sebum ke kanal folikel dan akhirnya ke permukaan kulit
melalui pembukaan folikel. Isi saluran folikel termasuk keratinosit,
Propionibacterium acnes, dan asam lemak bebas. Peradangan atau trauma pada
folikel dapat menyebabkan pembentukan lesi yang muncul sebagai “blackhead”
komedo terbuka atau “whitehead” komedo tertutup. warna coklat atau hitam
bukan merupakan hasil dari akumulasi kotoran, melainkan dari melanin (pigmen).
14
Komedo tertutup ini merupakan masalah penting secara klinis karena dapat
menjadi lebih besar akibat adanya aktivitas lokal dari bakteri Propionibacterium
acnes.
Mekanisme pembentukan acne vulgaris sebagai berikut: pertama, stimulasi
produksi kelenjar sebaseus yang menyebabkan hiperseborrea biasanya dimulai
pada pubertas; kedua, pembentukkan komedo yang berhubungan dengan anomali
proliferasi keratinosit, adhesi dan diferensiasi pada infrainfudibulum folikel
pilosebaseus, ketiga, pembentukkan lesi inflamasi dimana yang berperan adalah
bakteri anaerob yaitu Propionibacterium acnes. (Morales & Cano, 2004)
2.3.5 Manifestasi Klinis Acne Vulgaris
Acne vulgaris memiliki gambaran klinis yang beragam, mulai dari komedo,
papul, pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosispoli
morfik dan memiliki peranan poligenetik. (Morales & Cano, 2004)
2.3.6 Pengobatan
Penatalaksanaan untuk menangani acne vulgaris terbagi menjadi 2 yaitu
penatalaksanaan secara umum dan secara medikamentosa. Secara umum yaitu
dengan menhindari pemencetan lesi dengan cara yang non higienis, memilih
kosmetik yang non komedogenik, dan lakukan perawatan kulit wajah. Sedangkan
secara medikamentosa dibagi menurut derajat keparahan dari acne vulgaris itu
sendiri. Secara teori manajemen acne vulgaris yang efektif adalah menurunkan
atau mengeliminasi lesi primer secara klinik yaitu mikrokomedo yang merupakan
prekursor untuk semua lesi acne vulgaris. Sebagian besar acne ringan sampai
sedang membutuhkan terapi topikal. Acne sedang sampai berat menggunakan
kombinasi terapi topikal dan oral. Terapi acne dimulai dari pembersihan wajah
menggunakan sabun. Beberapa sabun sudah mengandung antibakteri, misalnya
triclosan yang menghambat bakteri kokus yang bersifat gram positif. Selain itu
juga banyak sabun mengandung benzoil peroksida atau asam salisilat. Bahan
topical untuk pengobatan acnesangat beragam. Sulfur, sodium sulfasetamid,
resorsinol, dan asam salisilat, sering ditemukan sebagai obat bebas. Asam azaleat
dengan konsentrasi krim 20 persen atau gel 15%, memiliki efek antimikroba dan
komedolitik, selain mengurangi pigmentasi dengan berfungsi sebagai inhibitor
kompetitif tirosinase. Benzoil peroksida merupakan antimikroba kuat, tetapi
15
bukan antibiotik, sehingga tidak menimbulkan resistensi. Retinoid topikal secara
umum bersifat komedolitik dan menghambat pembentukkan mikrokomedo yang
merupakan awal dari acne vulgaris. Target kerja retinoid yaitu pada proliferasi
abnormal dan diferensiasi keratinosit serta mempunyai efek antiinflamasi
Retinoid merupakan turunan vitamin A yang mencegah pembentukan
komedo dengan menormalkan deskuamasi epitel folikular. Retinoid topikal yang
utama adalah tretinoin, tazaroten, dan adapalene. Tretinoin paling banyak
digunakan, bersifat komedolitik dan antiinflamasi poten. Secara umum, semua
retinoid dapat menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pasien dapat disarankan
menggunakan tretinoin dua malam sekalipada beberapa minggu pertama untuk
mengurangi efek iritasi. Tretinoin bersifat photolabile sehingga disarankan
aplikasipada malam hari. Antibiotik spektrum luas banyak digunakan dalam
pengobatan akne vulgaris inflamatori. Pada Akne vulgaris inflamatori dapat
ditemukan papul eritem, pustul, nodul dan kista sedangkan akne vulgaris non
inflamatori hanya terdiri dari komedo. Antibiotik sistemik diberikan pada akne
derajat sedang sampai dengan berat, pada pasien akne vulgaris yang gagal atau
tidak respon terhadap pemberian antibiotik topikal, dan pada pasien dengan akne
vulgaris luas yang mengenai permukaan tubuh selain wajah. Antibiotik sistemik
pada akne vulgaris bekerja sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan
imunomodulator. Antibiotik ini terbukti dapat menghambat lipase bakteri dan
menurunkan produksi asam lemak bebas. Terapi antibiotik yang efektif dapat
mengurangi populasi Propionibacterium acnes sebesar isotretinoin yang
dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kg/hari dengan dosis kumulatif 120-150 mg/kg berat
badan. Obat ini langsung menekan aktivitas kelenjar sebasea, menormalkan
keratinisasi folikel kelenjar sebasea, menghambat inflamasi dan mengurangi
pertumbuhan Propionibacterium acnes secara tidak langsung. Isotretinoin paling
efektif untuk acne nodulokistik rekalsitran dan mencegah jaringan parut.
Meskipun demikian, isotretinoin tidak bersifat kuratif untuk acne. Penghentian
obat ini tanpa disertai terapi pemeliharaan yang memadai, akan menimbulkan
kekambuhan acne. Selain itu, penggunaan obat ini harus berhati-hati pada
perempuan usia reproduksi karena bersifat teratogenik. Penggunaan isotretinoin
dan tetrasiklin bersamaan sebaiknya dihindari karena meningkatkan risiko pseudo
16
tumor serebri. Suntikan glukokortiokoid intralesi dapatdiberikan untuk lesi acne
nodular dan cepat mengurangi inflamasinya. Risiko tindakan ini adalah
hipopigmentasi dan atrofi. Modalitaslain yang dapat digunakan untuk
mengatasiacne adalah radiasi ultraviolet yang memiliki efek antiinflamasi
terhadap acne. Radiasi UVB atau kombinasi UVB dan UVA dapat bermanfaat
untuk acne inflamasi, tetapi perlu diwaspadai potensi karsinogeniknya. (Morales
& Cano, 2004)
2.4 Tinjauan Tentang Antibiotik
Antibiotik merupakan sediaan farmasi berbahan kimiawi yang dihasilkan
oleh organisme seperti bakteri atau jamur. Bahan tersebut memiliki kemampuan
dapat mengganggu mikroorganisme lain. Fungsi dari bahan ini dapat membunuh
bakteri atau biasa disebut dengan istilah bakterisidal dan menghambat
pertumbuhan bakteri atau biasa disebut bakteriostatik. Antibiotik dibedakan
menjadi beberapa kategori salah satunya dibedakan berdasarkan antibiotik
berspektrum luas dan berspektrum sempit. Antibiotik yang bersifat aktif terhadap
beberapa spesies bakteri disebut antibiotic berspektrum luas sedangkan antibiotik
lain yang bersifat lebih spesifik terhadap spesies bakteri tertentu disebut antibiotik
berspektrum sempit. (Sari et al., 2017.)
Pemakaian antibiotik pada saat ini sangat tinggi dikarenakan banyaknya
penyakit infeksi yang masih mendominasi. Antibiotik telah terbukti bermanfaat
bagi kehidupan manusia sejak mulai awal ditemukannya sampai sekarang.
Penggunaan antibiotik akan menguntungkan dan memberikan efek bila diresepkan
dan dikonsumsi sesuai dengan aturan. Namun, sekarang ini antibiotik telah
digunakan secara bebas dan luas oleh masyarakat tanpa mengetahui dampak dari
pemakaian tanpa aturan. Di berbagai bagian rumah sakit ditemukan sekitar 30-
80% penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi. Penggunaannya yang terus
menerus meningkat inilah yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Masalah
terpenting adalah timbulnya galur bakteri resisten terhadap berbagai jenis
antibiotik yang dapat menyebabkan pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik
tidak lagi efisien atau bahkan menjadi lebih mahal. (Yarza et al, 2015)
2.4.1 Penggunaan Antibiotik
a) Terapi empiris
17
Terapi empiris merupakan terapi awal yang diberikan pada pasien, karena
belum diketahui bakteri dari infeksi tersebut maka antibiotik yang digunakan
adalah antibiotik spektrum luas, setelah diketahui bakteri dari infeksi maka terapi
empiris akan diganti dengan terapi definitif.
b) Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi dengan antibiotik yang dipilih sesuai dengan
etiologi penyebab infeksi, antibiotik yang digunakan adalah antibiotik spektrum
sempit yang spesifik terhadap bakteri penyebab.
c) Profilaksis
Antibiotik profilaksis diberikan dengan indikasi untuk mengurangi insidensi
post operative surgical site infection yang diakibatkan oleh flora normal kulit
maupun infeksi iatrogenik dari prosedur pembedahan yang tidak sesuai, waktu
pemberian yang ideal adalah satu jam sebelum insisi awal pada surgical site.
(Pratiwi, 2018)
2.4.2 Penggolongan Antibiotik
Dalam pembagian atau klasifikasinya antibiotika dibedakan berdasar cara
kerja maupun spektrum kerjanya. Akan tetapi klasifikasi tersebut secara klinis
masih kurang sepsifik. Secara klinis klasifikasi yang paling sering dipakai adalah
berdasarkan susunan senyawa kimia dari masing-masing antibiotik. Klasifikasi ini
sering dipakai karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung
terkait dengan golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi
berdasar senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin,
amfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida, linkosamid, polipeptida, dan
antimikobakterium. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan klasifikasi atau
penggolongan antibiotika dikelompokan lebih spesifik lagi. Pada saati ini juga
mulai diperkenalkan jenis-jenis baru dari golongan beta laktam misalnya
kelompok monosiklik beta laktam yakni aztreonam, yang terutama aktif terhadap
kuman Gram negatif, termasuk pseudomonas. Salain itu ada juga antibiotika
karbapenem (misalnya imipenem) yang dikatakan tahan terhadap penisilinase dan
aktif terhadap kumankuman Gram positif dan Gram negatif. (Utami, 2012)
18
2.4.3 Klindamisin
Klindamisin merupakan antibiotika linkosamid semisintetik yang
diturunkan dari linkomisin. Termasuk ke dalam antibiotika bakteriostatik,
klindamisin memiliki aktifitas kerja dengan menghambat sintesa protein bakteri.
Klindamisin mempunyai aktifitas penetrasi yang baik ke jaringan lunak dan keras.
Mekanisme kerja antibiotika ini serupa dengan eritromisin yang dapat mengikat
ribosom 50S dan menekan sintesis protein bakteri. Klindamisin efektif terhadap
bakteri stric anaerob yang memproduksi enzim β-laktamase, antara lain
pigmented dan non-pigmented prevotella. Klindamisin digunakan secara topikal
dalam sediaan gel, solusio, dan suspensi (lotio) 1% serta terutama untuk
pengobatan akne.
Klindamisin memiliki efek lipofilik yang lebih besar karena unsur klorin
yang dimilikinya. Hal ini membuat penetrasi klindamisin ke dalam sel bakteri
lebih baik daripada lincomycin. Klindamisin berpotensi meningkatkan daya tahan
tubuh serta menghambat transmisi neuromuskuler, sehingga dapat membantu
mengurangi rasa sakit. Klindamisin merupakan salah satu antibiotika topical yang
memegang peranan penting pada penanganan kasus di bidang kulit terutama
pengobatan topikal untuk akne. (Suhariyanto, 2007)
Antibiotik ini sangat efektif terhadap bakteri anaerob gram positif. Bakteri
gram positif yang rentan terhadap klindamisin adalah Actinomyces, Eubacterium,
Lactobacillus, Peptostreptococcus, Propionibacterium, dan spesies
Staphylococcus, termasuk strains yang resisten terhadap penisilin. Salah satunya
pada Propionibacterium acnes yang merupakan bakteri penyebab acne vulgaris.
Secara spesifik efek antiinflamasi yang dimiliki klindamisin yaitu untuk
menghambat pertumbuhan, sintesa protein, produksi lipase, produksi folikular
asam lemak bebas, dan molekul kemotaksis leukosit pada Propionibacterium
acnes. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) untuk Propionibacterium acnes
adalah 0,02 ug/ml (Rima, 2013).
2.4.4 Resistensi Bakteri
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang
seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance
19
didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi
obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan
obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika
bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya
efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan
berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap
kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan
perkembangan bakteri. (Utami, 2012)
2.5 Tinjauan Tentang Fraksinasi
Fraksinasi didefinisakan sebagai proses penarikan senyawa pada suatu
ekstrak dimana pengelompokkan senyawa tersebut berdasarkan tingkat kepolaran.
Ekstrak dipisahkan dengan menggunakan pelarut seperti n-heksan, kloroform, etil
asetat, dan etanol. Pemilihan pelarut pada ekstraksi tergantung pada sifat analitnya
dimana pelarut dan analit harus memiliki sifat yang sama, contohnya analit yang
sifat lipofilitasnya tinggi akan terekstraksi pada pelarut yang relatif nonpolar
seperti n-heksan sedangkan analit yang semipolar terlarut pada pelarut yang
semipolar (Venn, 2008). Dari proses ini dapat diduga sifat kepolaran dari senyawa
yang akan dipisahkan. Sebagaimana diketahui bahwa senyawa-senyawa yang
bersifat non polar akan larut dalam pelarut yang non polar sedangkan senyawa-
senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut yang bersifat polar juga
(Mutiasari, 2012).
Metode yang sering digunakan untuk pemisahan senyawa pada ekstrak
adalah metode kromatografi. Metode kromatografi dibagi menjadi dua yaitu
kromatografi lapis tipis dan kromatografi kolom. Kromatografi lapis tipis
digunakan untuk tujuan kualitatif sedangkan kromatografi kolom untuk tujuan
kuantitatif. Menurut (Haznawati, 2012) terdapat salah satu peralatan laboratorium
yang biasanya digunakan untuk memisahkan komponen - komponen dalam
campuran antara dua fase pelarut yang memiliki massa jenis berbeda yang tidak
tercampur yaitu corong pisah.
20
2.6 Tinjauan Tentang Pelarut
Pelarut merupakan zat yang digunakan untuk melarutkan zat lain atau suatu
obat dalam sediaan larutan (Ansel, 2005). Hal utama yang harus diperhatikan
dalam pemilihan pelarut pada proses ekstraksi dan fraksinasi adalah mengetahui
sifat dari metabolit sekunder yang akan diisolasi dari suatu tanaman karena dalam
proses ekstraksi untuk memperoleh senyawa yang diinginkan harus menggunakan
pelarut yang sesuai. Suatu senyawa polar akan lebih mudah larut pada pelarut
polar sedangkan suatu senyawa non polar lebih mudah larut pada senyawa non
polar (Romadanu et al., 2014)
Hal yang sangat berpengaruh terhadap daya larut adalah polaritas pelarut.
Indikator kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan
nilai polaritas pelarut. Besarnya nilai polaritas pelarut proporsional dengan
konstanta dielektriknya. Konstanta dielektrikum dinyatakan sebagai gaya tolak
menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik dalam suatu molekul. Pelarut
organik dapat dibedakan menjadi dua menurut konstanta dielektrikumnya antara
lain pelarut polar dan pelarut non- polar. Semakin tinggi konstanta
dielektrikumnya maka pelarut bersifat semakin polar (Febryanto, 2017)
Pada penelitian ini pelarut yang digunakan adalah etanol dimana etanol itu
sendiri merupakan pelarut yang serbaguna. Etanol dapat menyatu dengan air dan
dengan sebagian besar bahan organik yang bersifat cair termasuk zat cair,
termasuk zat cair nonpolar seperti hidrokarbon alifatik. Etanol juga digunakan
sebagai pelarut dalam melarutkan bahan obat-obatan. Etanol (etil alkohol)
mempunyai rumus kimia C2H5OH, memiliki sifat mudah terbakar, titik cair -
114,30C dan titik didih 78,40C.
Ekstraksi menggunakan pelarut etanol atau metanol biasa digunakan untuk
mengekstraksi kandungan kimia tanaman yang berupa komponen aromatik atau
komponen organik jenuh. Umumnya pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi
komponen yang aktiv sebagai antimikroba digunakan pelarut metanol, etanol dan
air. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi simplisia pada industri obat
tradisional menggunakan etanol, air atau campuran etanol-air. (Zainab, 2013)
Pemerian dari etanol adalah larutan yang jernih, tidak memiliki warna,
mempunyai volatil dan bau yang khas. Etanol bersifat polar, universal, mudah
21
didapat, selektif, tidak memberikan efek toksik dan ekonomis. Alasan mengapa
digunakan pelarut etanol pada proses penyarian adalah karena cara kerjanya yang
dapat menembus dinding sel dan juga masuk pada rongga sel yang memiliki
kandungan zat aktif kemudian akan larut pada cairan penyari. Terdapat perbedaan
konsentrasi yang dimiliki oleh zat aktif di dalam sel dengan yang terdapat diluar
sel kemudian dapat mengakibatkan larutan yang pekat akan dipaksa keluar.
Peristiwa tersebut dapat diulang sampai memiliki keseimbangan antara larutan
didalam maupun diluar sel. (Rachmania, 2017)
2.7 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis adalah salah satu metode pemisahan kromatografi
yang fleksibel dan banyak digunakan. Metode analisis kromatografi lapis tipis
(KLT) telah menjadi bagian dari teknik analisis rutin pada laboratorium analisis
dan pengembangan produk karena memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan
utama metode analisis kromatografi lapis tipis dibandingkan metode analisis
kromatografi cair kinerja tinggi adalah analisis beberapa sampel dapat dilakukan
secara simultan dengan menggunakan fase gerak dalam jumlah kecil sehingga
lebih hemat waktu dan biaya analisis serta lebih ramah lingkungan. Teknik
pemisahannya sederhana dengan peralatan yang minimal. Kromatografi lapis tipis
(KLT) dan kromatografi kertas tergolong "kromatografi planar”. KLT adalah yang
metode kromatografi paling sederhana yang banyak digunakan. Peralatan dan
bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemisahan dan analisis sampel
dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah bejana tertutup (chamber)
yang berisi pelarut dan lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan menggunakan
instrumen komersial yang tersedia, pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang
akurat dapat dicapai. Kromatografi planar juga dapat digunakan untuk pemisahan
skala preparatif yaitu dengan menggunakan lempeng, peralatan,.dan teknik
khusus. (Lestyo W, 2011)
2.7.1 Fase Diam
Fase diam pada kromatografi lapis tipis biasa disebut dengan zat penjerap.
Zat penjerap merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng
kaca, plastik atau logam secara merata. Lempeng yang berfungsi sebagai kolom
kromatografi yang terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada
22
adsorpsi, partisi atau kombinasi kedua efek, tergantung jenis penyangga, cara
pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan. Fase diam yang digunakan dalam
KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30
µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan
resolusinya. (Depkes RI, 1995). Fase diam yang paling sering digunakan adalah
silika gel dan serbuk selulosa, sementara mekanisme penjerapan yang utama pada
KLT adalah adsorpsi dan partisi. (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.7.2 Fase Gerak
Selain fase diam, terdapat fase gerak yang merupakan salah satu bagian penting
dalam analisis pemisahan senyawa menggunakan KLT karena polaritas dari fase
gerak dapat menentukan pemisahan (Sudjadi, 2007). Sistem yang paling
sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal. Beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak
antara lain adalah fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi
karena KLT merupakan teknik yang sensitive, daya elusi fase gerak harus diatur
sedemikian rupa sehingga nilai Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan
pemisahan, penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke
dalam pelarut non polar seperti metil benzena akan meningkatkan harga Rf secara
signifikan. (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.8 Uji Kepekaan Terhadap Antibakteri
Uji kepekaan terhadap antibakteri adalah penentuan terhadap bakteri
penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu
antibakteri atau kemampuan suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan
bakteri yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih sebagai antibakteri yang
berpotensi untuk pengobatan. Uji kepekaan antibakteri (antimicrobial
susceptibility testing) dilakukan pada isolat mikroba yang didapatkan dari
spesimen pasien untuk mendapatkan agen antimikroba yang tepat untuk
mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroba tersebut.
23
2.8.1 Metode Dilusi
Metode dilusi digunakan untuk menentukan Diameter zona hambat
minimum atau konsentrasi terendah dari agen antimikroba yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan mikroba. Keuntungan utama dari metode dilusi dapat
memperkirakan konsentrasi senyawa uji dalam medium agar atau suspensi broth,
biasanya digunakan untuk menentukan nilai KHM. Pada metode dilusi agar,
medium diinokulasi dengan organisme uji dan sampel yang di uji dicampur
dengan inokulum. Material yang diinokulasi dan pertumbuhan mikroorganisme
dapat terlihat dan dibandingkan dengan kultur kontrol yang tidak mengandung
sampel uji. Dalam tabung uji, berbagai konsentrasi senyawa uji dicampur dengan
suspensi bakteri pada beberapa tabung, konsentrasi terendah menyebabkan
penghambatan pertumbuhan mikroorganisme sesuai dengan nilai KHM. Pada uji
mikrodilusi cair, mikroorganisme yang tumbuh di sumur plat, dimana berbagai
konsentrasi senyawa uji ditambahkan. Pertumbuhan mikroorganisme ditunjukkan
oleh adanya kekeruhan dalam sumur (Pangestu P, 2017)
2.8.2 Metode Difusi Cakram
Metode difusi berprinsip bahwa kemampuan suatu agen antibakteri dapat
terdifusi ke dalam media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Pada
cara ini digunakan suatu cakram kertas saring (paper disk) yang berfungsi sebagai
tempat menampung zat antimikroba. Kertas saring tersebut kemudian diletakkan
pada lempeng agar yang telah diinokulasi mikroba uji, kemudian diinkubasi pada
waktu tertentu dan suhu tertentu, sesuai dengan kondisi optimum dari mikroba uji.
Cawan petri yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar dan hasil
area yang jernih mengindakasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar. (Pratiwi,
2008)
2.8.3 Bioautografi
Metode bioautografi dibagi menjadi tiga yaitu, bioautografi kontak,
bioautgrafi imersi, dan bioautografi langsung. Prinsip bioautografi kontak, plat
kromatografi diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi mikroba uji
selama beberap menit atau jam sehingga proses difusi dapat terjadi. Plat
24
kromatogram diambil dan media agar diinkubasi. Daerah hambatan ditunjukan
dengan adanya spot antimikroba yang menepel pada permukaan media agar. Pada
bioautografi imersi, plat kromatogram dicelup pada medium agar, setelah agar
memadat ditambahakan mikroorganisme uji lalu diinkubasi. Pada metode ini
senyawa antimikroba ditransfer dari kromatogram ke media agar, seperti dalam
metode kontak, tetapi lapisan agar tetap pada permukaan kromatogram selama
inkubasi dan visualisasi seperti pada bioautografi langsung. Bioautografi langsung
dilakukan dengan cara plat KLT dicelupkan pada suspensi mikroorganisme
kemudian diinkubasi. Visualisasi dari zona ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan reagen dehydrogenase untuk deteksi aktivitas, yang paling umum
adalah garam tetrazolium. Dehydrogenase mikroorganisme mengkonversi garam
tetrazolium menjadi berwarna, sehingga terlihat spot krem-putih dengan latar
belakang ungu pada permukaan plat KLT menunjukan keberadaan agen
antibakteri (Pangestu P, 2017)
2.9 Tinjauan Skrining Fitokimia
2.9.1 Uji Alkaloid
Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang paling banyak
ditemukan di alam. Senyawa alkaloid memiliki ciri khas dimana semua alkaloid
mengandung paling sedikit satu atom N yang berisfat basa dan pada umumnya
merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Uji skrining fitokimia senyawa
golongan alkaloid dilakukan dengan menggunakan metode Culvenor dan
Fitzgerald yang menggunakan pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorf. Tabung
reaksi yang pertama ditambahkan dua tetes pereaksi Mayer. Tabung reaksi kedua
ditambahkan dua tetes pereaksi Dragendorf dan ke dalam tabung reaksi yang
ketiga dimasukkan dua tetes pereaksi Wagener. Adanya senyawa alkaloid ditandai
dengan terbentuknya endapan putih pada tabung reaksi yang pertama dan
timbulnya endapan berwarna coklat kemerahan pada tabung reaksi kedua dan
ketiga. (Endarini, 2016)
2.9.2 Uji Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang paling banyak
ditemukan di alam. Banyaknya senyawa flavonoid ini bukan disebabkan karena
banyaknya variasi struktur, akan tetapi lebih disebabkan oleh berbagai tingkat
25
hidroksilasi, alkoksilasi atau glikoksilasi pada struktur senyawa tersebut.
Flavonoid di alam juga sering dijumpai dalam bentuk glikosidanya. Beberapa
flavonoid sengaja dihasilkan oleh jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap
infeksi atau luka yang kemudian berfungsi untuk menghambat fungsi
menyerangnya. Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek
fisiologis tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak
dipakai dalam pengobatan tradisional.
Uji skrining fitokimia senyawa ini dilakukan dengan menggunakan pereaksi
Wilstater / Sianidin. Bahan sampel tanaman sebanyak 5 gram diekstraksi dengan
pelarut n-heksana atau petroleum eter sebanyak 15 ml kemudian disaring. Ekstrak
yang diperoleh selanjutnya diekstraksi lebih lanjut menggunakan metanol atau
etanol sebanyak 30 ml. Selanjutnya, 2 ml ekstrak metanol atau etanol yang
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan 0,5
ml asam klorida pekat (HCl pekat) dan 3-4 pita logam Mg. Adanya flavonoid
ditandai dengan warna merah, oranye dan hijau tergantung struktur flavonoid
yang terkandung dalam sampel tersebut. (Endarini, 2016)
2.9.3 Uji Steroid atau Triterpenoid
Steroid merupakan kelompok senyawa bahan alam yang dominan
strukturnya terdiri atas 17 atom C (karbon) dengan membentuk struktur 1,2-
siklopentenoperhidrofenantren. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa
yang pengelompokannya didasarkan pada efek fisiologis yang dapat ditimbulkan.
Ditinjau dari segi struktur, perbedaan antara berbagai kelompok ini ditentukan
oleh jenis substituent R1, R2, dan R3 yang terikat pada kerangka dasar sedangkan
perbedaan antara senyawa yang satu dengan senyawa yang lain dari satu
kelompok ditentukan oleh panjangnya rantai karbon substituent, gugus fungsi
yang terdapat pada substituent, jumlah dan posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan
rangkap pada kerangka dasar serta konfigurasi pusat asimetris pada kerangka
dasar. Secara biogenetik, steroid yang terdapat di alam berasal dari triterpen.
Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan, berasal dari lanosterol, sedangkan
yang terdapat dalam jaringan tumbuhan berasal dari sikloartenol, setelah kedua
triterpen ini mengalami serangkaian perubahan.
26
Uji skrining senyawa golongan terpenoid dan steroid tak jenuh dilakukan
dengan menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard. Bahan sampel tanaman
sebanyak 5 gram diekstraksi dengan pelarut n-heksana atau petroleum eter
sebanyak 10 ml kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh diambil sedikit dan
dikeringkan di atas papan spot test, ditambahkan tiga tetes anhidrida asetat dan
kemudian satu tetes asam sulfat pekat. Adanya senyawa golongan terpenoid akan
ditandai dengan timbulnya warna merah sedangkan adanya senyawa golongan
steroid ditandai dengan munculnya warna biru. (Endarini, 2016)
2.9.4 Uji Antrakinon
Di alam kira-kira telah ditemukan 40 turunan antrakuinon yang berbeda-
beda, 30 macam diantaranya termasuk dalam famili Rubiaceae. Pada tanaman
monokotil, antrakuinon hanya ditemukan dalam famili Liliaceae dan dalam
bentuk yang tidak lazim, yaitu C-glikosida barbaloin. Sementara pada tanaman
dikotil, antrakuinon ditemukan dalam famili Rubiaceae, leguminoseae,
Rhamnaceae, Ericaceae, Euphorbiaceae, Lythraceae, Saxifragraceae,
Scrophulariaceae dan Verbenaceae. Turunan antrakuinon seringkali berwarna
merah oranye dan sering dapat dilihat secara visual, misalnya di dalam jari-jari
teras akar kelembak (Rheum officinale). Turunan antrakuinon larut dalam air
panas atau etanol encer.
Identifikasi senyawa antrakuionon umumnya menggunakan pereaksi
Borntrager. Modifikasi uji Borntrager dapat digunakan untuk menguji adanya
senyawa golongan antrakuinon. Bahan tanaman sebanyak 5 gram diuapkan di atas
penangas air sampai kering. Bahan kering yang sudah dingin tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam campuran larutan 10 ml KOH 5N dan 1 ml H2O2 3% dan
dipanaskan di atas penangas air selama 10 menit, kemudian disaring. Ke dalam
filtrat yang diperoleh setelah penyaringan ditambahkan asam asetat glasial sampai
larutan bersifat asam, kemudian diekstraksi dengan benzena. Ekstrak benzena
yang diperoleh kemudian diambil 5 ml dan ditambah dengan 5 ml amonia, lalu
dikocok. Jika terbentuk warna merah pada lapisan amonia, maka bahan tanaman
tersebut mengandung senyawa golongan antrakuinon. (Endarini, 2016)
27
2.9.5 Uji Tanin
Tanin merupakan senyawa bahan alam yang terdapat luas dalam tumbuhan
berpembuluh dan di dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Di
dalam tanaman, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Menurut
batasannya, tanin dapat bereaksi dengan proteina membentuk kopolimer kuat
yang tak larut dalam air. Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar
merata dalam dunia tumbuhan. Tanin-terkondensasi hampir terdapat semesta di
dalam paku-pakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae,
terutama pada jenis tanaman berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan
penyebarannya terbatas pada tanaman berkeping dua.
Uji skrining fitokimia senyawa tanin dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu uji gelatin dan pereaksi FeCl3. Pada uji FeCl3, maka sebanyak 2 ml ekstrak
air dari suatu bagian tanaman ditambahkan ke dalam 2 ml air suling. Selanjutnya,
larutan ekstrak tersebut ditetesi dengan satu atau dua tetes larutan FeCl31%.
Adanya kandungan tanin ditandai dengan timbulnya warna hijau gelap atau hijau
kebiruan. Suatu esktrak bagian tanaman mengandung tanin jika terbentuk endapan
putih, setelah diberi larutan gelatin 1% yang mengandung NaCl 10%. (Endarini,
2016).