Upload
phamthuy
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cyberbullying pada Remaja
1. Pengertian cyberbullying pada remaja
Willard (2005, menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan perlakuan
kejam yang dilakukan dengan sengaja kepada orang lain dengan mengirimkan
atau mengedarkan bahan yang berbahya atau terlibat dalam bentuk-bentuk
agresi sosial menggunakan internet atau teknologi digital lainya.
Definisicyberbullying menurut Williams dan Guerra (Steffgen, 2013) adalah
suatu tindakan yang ditujukan kepada seseorang melalui pesan teks, e-mail,
pesangambar atau video yang bertujuan untuk mengolok-olok, memaki, dan
mengancam. Menurut Hinduja dan Patchin (2013) menjelaskan bahwa
cyberbullying adalah perilaku yang disengaja dan membahayakan yang terus
menerus diulang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, atau
perangkat elektronik lainya. Definisi lain menururt Kowalski, dkk (2014)
menjelaskan cyberbullying ini didefinsikan sebagai agresi yang dilakukan
dengan sengaja dan berulang kali dilakukan dalam konteks elektronik (seperti,
email, blogs, instant message, dan pesan teks) terhadap seseorang yang tidak
dapat dengan mudah membela dirinya.
16
Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika
seseorang berada pada rentang usia 11-18 tahun (Hurlock, 1994).
Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada
dengan Papalia, Olds dan Feldman, (2009) masa remaja adalah masa
perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi
perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikosisial.
Hurlock, (1980) mengemukakan istilah adolescence, memiliki makna
yang lebih luas, seperti mencakup emosional, sosial, fisik juga mencakup
kematangan mental. Jadi bahwa secara psikologis, masa remaja yaitu masa
usia dimana individu beritegerasi dengan masyarakat dewasa, masa usia
dimanaanak berada dalam tingkatan yang sama, tidak lagi merasa dibawah
tingkat orang-orang dewasa atau orang-orang yang lebih tua, walaupun di
dalam masalah hak.
Dari beberapa definsi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
cyberbullying pada remaja adalah perlakuan kejam kepada orang lain yang
dilakukan seorang individu atau kelompok yang dilakukan dengan sengaja.
Berujuan untuk menindas, menyakiti, mengancam dengan menggunakan
media sosial atau media elektronik lainya, seperti pesan teks, video, email,
dan blog yang dilakukan oleh remaja dengan rentan umur 11-18 tahun.
17
2. Aspek-aspek Cyberbullying
MenururtWillard,(2005) menyebutkan aspek-aspek dari cyberbullying
ada delapan, yaitu:
a. Flaming (terbakar)
Flaming merupakan perilaku yang berupa mengirimkan pesan teks yang
isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah
“flame” ini pun merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.
b. Harassment (gangguan)
Harassment merupakan perilaku mengirim pesan-pesan dengan kata-
kata tidak sopan, yang ditujukan kepada seseorang yang berupa
gangguan yang dikirimkan melalui email,sms, maupun pesan teks, di
jejaring sosial secara terus menerus. Harassment merupakan hasil dari
tindakan flaming dalam jangka panjang. Harassment dilakukan dengan
saling berbalas pesan atau bisa disebut perang teks.
c. Denigration (pencemaran nama baik)
Denigeration merupakan perilaku mengumbar keburukan seseorang di
internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang yang
dituju. Seperti seseorang yang mengirimkan gambar-gambar seseorang
yang sudang diubah sebelumnya menjadi lebih sensual agar korban
diolok-olok dan mendapat penilaian buruk dari orang lain.
18
d. Impersonation (peniruan)
Impersonation merupakan perilaku berpura-pura menjadi orang lain dan
mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik
e. Outing
Outing merupakan perilaku menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-
foto pribadi orang lain.
f. Trickery (tipu daya)
Trickery merupakan perilaku membujuk seseorang dengan tipu daya
agar mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut.
g. Exclusion (pengeluaran)
Exclusion merupakan perilaku dengansecara sengaja dan kejam
mengeluarkan seseorang dari grup online.
h. Cyberstalking
Cyberstalking merupakan perilaku mengganggu dan mencemarkan
nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar
pada orang tersebut.
Menurut Chadwick, (2014) ada delapan aspek dari perilaku
cyberbullying, yaitu :
a. Harassment, merupakan perilaku mengirim pesan-pesan dengan kata-
kata tidak sopan, yang ditujukan kepada seseorang yang berupa
gangguan yang dikirimkan melalui email, sms, maupun pesan teks, di
jejaring sosial secara terus menerus.
19
b. Denigration, merupakan perilaku mengumbar keburukan seseorang di
internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang yang
dituju. Seperti seseorang yang mengirimkan gambar-gambar seseorang
yang sudah diubah sebelumnya menjadi lebih sensual agar korban
diolok-olok dan mendapat penilaian buruk dari orang lain.
c. Flaming, merupakan perilaku yang berupa mengirim pesan teks dengan
kata-kata kasar, dan frontal. Perlakuan ini biasanya dilakukan di dalam
chat group di media sosial seperti mengirimkan gambar-gambar yang
dimaksudkan untuk menghina orang yang dituju.
d. Impersionation, merupakan perilaku berpura-pura menjadi orang lain
danmengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik.
e. Masquerading, merupakan tindakan berpura-pura menjadi orang
laindengan menciptakan alamat email palsu, atau juga dapat
menggunakan ponsel orang lain sehingga akan muncul seolah-olah
ancaman yangdikirim oleh orang lain.
f. Pseudonyms, merupakan perilaku menggunakan nama alias atau
namaonline untuk menutupi identitas mereka. Secara online orang lain
hanya dikenal dengan namasamara, dan hal ini mungkin akan
menjadiberbahaya dan bermaksud untuk menghina.
g. Outing dan trickery, Outingmerupakan perilaku menyebarkan
rahasiaorang lain, atau foto-foto pribadi milik orang lain, sedangkan
20
trickerymerupakan perilaku membujuk sesorang dengan tipu daya
agarmendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut.
h. Cyberstalking, merupakan perilaku mengganggu dan mencemarkan
nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar
pada orang tersebut
Dari penjelasan di atas, peneliti akan menggunakan aspek yang
dijelaskan oleh Willard, yaitu flaming, harassment, denigration,
impersionation, outing, trickert, exlclusion, dan cyberstalking.
3. Elemen Cyberbullying
Pada umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying
dan cyberbullying pelaku (cyberbullies), korban (victims), dan saksi
(bystander).
a. Pelaku (Cyberbullies)
Camodeca dan Goosens (dalam Kowalski, 2008) karakteristik anak yang
menjadi pelaku cyberbullying adalah memiliki kepribadian yang
dominan dan dengan mudah dan menyukai melakukan kekerasan.
Cenderung lebih cepat temperamental, impulsive dan mudah frustasi
dengan keadaan yang seadng dialaminya. Lebih sering melakukan
kekerasan terhadap orang lain dan sikap agresif kepada orang dewasa
dibandingkan dengan anak lainya. Sulit dalam menaati
peraturan.Terllihat kuat dan menunjukkan rendahnya rasa empati pada
21
orang yang dia bully.Pandai memeanipulasi dan berkelit pada situasi
sulit yang di hadapi.Sering terlibat dalam agresi proaktif, agresi yang
disengaja untuk tujuan tertentu dan agresi reaktif, reaksi defensive
ketika diprovokasi.
b. Korban (victims)
Seorang remaja yang biasanya menjadi target cyberbullying biasanya
mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras, berat badan, cacat, agama
dan mereka yang cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan biasanya
mereka yang jarang bergaul atau keluar rumah (Kowalski, 2008).
Sedangkan dalam National School Climate Center (Marde, 2010)
karakteristik remaja yang menjadi target atau korban cyberbullying
adalah sesitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami
masalah dengan keterbelakangan mental, sering membiarkan orang lain
mengendalikan dirinya, dan cenderung depresi. Dalam beberapa
penelitian korban cyberbullying cenderung memiliki self-esteem yang
lebih rendah dibandingkan teman sebayanya. Hal tersebut yang
membuat dirinya mengalami kecemasan sosial dan cenderung
menghindari kontak sosial (Camfield, 2006).
c. Saksi (bystander)
Saksi peristiwa adalah seseorang yang menyaksiskan penyerangan
perilaku bully pada korbanya. Saksi peritiwa dapat dengan bergabung
dalam web dan meninggalkan komentar yang menyakitkan, atau tanpa
22
melakukan apapun kecuali, mengamati perilaku bullying (Marden,
2010). Sedangkan menururt Williard, (2007)bystander terbagi menjadi
dua, yaitu : 1) harmful bystander, pengamat yang mendukung peristiwa
bullying atau terus mengamati kejadian tersebut dan tidak memberi
bantuan apapun kepada korban, dan 2) helpful bystander, pengamat
yang berusaha menghentikan bullying dengan cara memberikan
dukungan kepada korban atau memberi tahu orang yang lebih
mempunyai otoritas.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa elemen baik dalam
setiap praktek bullying dan cyberbullying yaitu pelaku (cyberbullies), korban
(victims), dan saksi (bystander). Dalam penelitian ini yang akan digunakan
sebagai dasar pengukuran cyberbullying adalah pelaku (cyberbullies).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying
Hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh
terhadap bullying dalam literature sebagai faktor yang berperan terjadinya
cyberbullying, menurut Li, (2010) seperti:
a. Bullying Tradisional
Pada penelitian Riebel, Jager & Fisher, (2009) terdapat hubungan antara
bullying yang terjadi secara langsung dengan dunia maya. Maka
memungkinkan bullying yang dimulai secara langsung menjalar ke
23
dunia maya. Hal tersebut memberikan lahan baru bagi pelaku bullying
untuk menghina orang lain.
b. Jenis Kelamin
Banyak penelitian yang telah menujukkan bahwa laki-laki lebih
memungkinkan melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan
perempuan.
c. Budaya
Penelitian Li, (2010) mengindikasi budaya merupakan predictor yang
kuat dalamncyberbullying yang sejalan dengan penelitian Baker, (2010)
mengenai bullying bullyingyang memainkan peran penitng dalam
terjadinya bullying dan cyberbullying.
d. Pengguna Internet
Besarnya kebutuhan pengunaan internet bagi manusia memberikan
dampak yang positif, tetap memberikan dampak resiko yang mungkin
terjdai. Dalam hal kehidupan sosial, salah satu ancaman yang serius
adalah cyberbullying.Cyberbullying yang terjadi pada dunia maya,
menjadi masuk akal untuk berasumsi intensitas penggunaan seseorang
dalam penggunaan internet dapat menjadikan sebagai pelaku atau
korban dari dampak buruk yang dapat diakibatkan dari interaksi pada
dunia maya.
Pada penelitian Hoff dan Mitchell, (2009) menemukan beberap faktor
penyebab dari tindakan cyberbullyingyang dikelompokkan pada dua kategori
24
utama, cyberbullying yang disebabkan oleh isu relasi, seperti: (a) putus
hubungan, (b) kecemburuan, (c) pada kecacatan, agama dan gender, dan (d)
kelompok atau geng dan cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti :
(a) intimidasi golongan luar kelompok dan (b) penyiksaan pada korban.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi cyberbullying diantaranya
adalah bullying tradisional, karakteristik kepribadian, persepsi terhadap
korban, strain, serta peran interaksi orang tua dan anak (Disa, 2011):
a. Bullying tradisional
Peritiwa bullying yang dapat dialami di dunia nyata meiliki pengaruh
besar pada kecenderungan individu untuk menjadi pelaku cyberbullying.
b. Persepsi terhadap koban
Para pelaku mengungkapkan alsan mereka membully adalah karena
karakteristik atau sifat dari korban yang mengundang untuk mereka
bully.
c. Strain
Yaitu kondisi psikis yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan
orang lain yang menimbulkan afek negatif seperti marah dan frustasi
yang mengarah pada kenakalan.
d. Serta peran interaksi orang tua dan anak
Peranan orang tua dalam mengawasi aktivitas anak dalam berinteraksi di
internet merupakan faktor yang cukup berpengaruh pada kecenderungan
anak untuk terlibat dalam aksi cyberbullying.
25
e. Karakteristik kepribadian
Camodeca dan Goosens (dalam Satalina, 2014) mengatakan pelaku
cyberbullying memiliki karakteristik kepribadian yang dominan dan
senang melakukan kekerasan, cenderung temperamental, impulsive,
mudah frustasi, kesulitan mengikuti peraturan, terlibat dalam agresi
proaktif dan agresi reaktif, pandai berkelit pada situasi sulit, serta
terlihat kuat serta menunjukkan sedikit rasa empati atau belas kasian
terhadap korban.
Berdasakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mendasari cyberbullyingadalah bullying tradisional, persepsi terhadap korban,
strain¸serta peran interaksi orang tua dan anak dan karakteristik kepribadian.
Karakteristik kepribadian sendiri mencakup banyak faktor internal, seperti
cenderung tempramen, impulsive, mudah frustasi, kesulitan mengikuti
peratura, terlibat dalam agresi proaktif, dan agresi reaktif, pandai pada situasi
sulit, serta terlihat kuat serta menunjukan seditikit rasa empati atau belas
kasihan terhadap korban. Pada penelelitian ini peneliti menggunakan empati
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi faktorcyberbullying karena
apabila tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang (berempati) dapat
menimbulkan perilaku cyberbullying.Empati merupakan bagian dalam salah
satu faktor yang mempengaruhi yaitu karakteristik kepribadian.
26
B. Empati
1. Pengertian Empati
Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan. Istilah
ini, pada awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk pengalaman
subjektif orang lain. Kemudian pada tahun 1920 seorang ahli psikologi
Amerika, E. B. Tichener, untuk pertama kalinya menggunakan istilah mimikri
motor untuk istilah empati. Istilah Tichener menyatakan bahwa empati berasal
dari peniruan secara fisik atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan
perasaan serupa dalam diri seseorang (Goleman, 2007)
Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses dimana
seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada
pada posisi orang lain itu. Selanjutnya, Kohut melakukan penguatan atas
definisinya dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir
objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain.
Menurut Sears (dalam Asih &Pratiwi, 2010) yang menyatakan bahwa
empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain dan
menempatkan diri pada posisi mereka. Menurut Baron dan Bryne (Asih &
Pratiwi, 2010) menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan untuk
merasakan emosi orang lain, merasa simpati dan dapat mengambil perspektif
orang lain. Selanjutnya menururt Lickona (SEJIWA, 2008), menjelaskan bahwa
empati merupakan kondisi di mana kita mampu untuk merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain. Menurut Malcom dan Greenberg (dalam Marigoudar
27
& Kamble, 2014), mendefinisikan empati sebagai upaya untuk memahami
persepsi orang yang lain, bukan menilai perilaku orang lain dari perspektif
pengalaman seseorang dalam peristiwa tersebut.
Pangaribuan, (1993) menyebutkan empati berarti masuk ke dalam diri
seseorang dan melihat keadaan dari sisi orang tersebut, seolah-olah adalah
orang itu. Seseorang dapat dikatakan memiliki empati jika ia dapat menghayati
keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut pola
acuan orang tersebut, dan mengkomunikasikan penghayatan bahwa dirinya
memahami perasaan, tingkah laku, dan pengalaman orang tersebut secara
pribadi.
Sementara itu, Mead (dalam Eisenberg, 2000) menyatakan bahwa empati
merupakan kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi perspektif
orang lain dihubungkan dengan diri sendiri. Dalam bidang klinis, empati
didefinisikan dalam beberapa macam. Misalnya Rogers mengatakan bahwa
empati berguna untuk memahami kerangka internal orang lain dengan akurat,
dan dengan komponen dan arti yang melekat, seolah-olah menjadi orang lain
tanpa meniadakan “kondisi seandainya” (Eisenberg, 2000).
Empati adalah kemampuan merasakan emosi orang lain baik secara
fisiologis maupun mental yang terbangun pada berbagai keadaan batin orang
lain. Perubahan biologis ini akan muncul ketika individu berempati dengan
orang lain. Prinsip umumnya, semakin sama keadaan fisiologis dua orang pada
momen tertentu, semakin mudah pula mereka bisa merasakan perasaannya satu
28
sama lain (D. Goleman, 2007). Menurut Hurlock, (1996) empati adalah
kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati
pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain, jadi
empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang
lain.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah
kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati
pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain, jadi
empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang
lain dan mampu untuk merasakan apabila berada pada posisi mereka.
2. Aspek-Aspek Empati
Aspek-aspek dari empati, sebagaimana pendapat Williams, Berard, &
Barchard (2005)
a. Kegembiraan responsif (responsive joy), yaitu perasaan gembira dan
bahagia yang dirasakan oleh individu ketika orang terdekatnya
mengalami kegembiraan dan kebahagiaan.
b. Kepedulian empatik (emphatic concern) yaitu perasaan sedih dan duka
yang dirasakan oleh individu ketika mengetahui ada orang lain yang
kurang beruntung dibandingkan dengan diri sendiri.
29
c. Distress responsive (responsive distress) yaitu perasaan tidak nyaman dan
merasa terganggu dirasakan oleh individu ketika mengetahui orang lain
mengalami masalah (Rachmawati, 2014)
Davis (dalam Howe, 2015) empati terdiri dari aspek perspective taking,
fantasy, emphatic concern dan personal distress. Penjabaran adalah sebagai
berikut:
a. Perspective taking (pengambilan perspektif)
Merupakan perilakuindividu untuk mengambil alih secara spontan sudut
pandang orang lain. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu
memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain
b. Fantasi
Merupakan perilaku untuk mengubah pola diri secara imajinatifke dalam
pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakterkhayalan pada buku,
film dan permainan. Aspek ini melihat perilaku individu menempatkan
diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain.
c. Emphatic concern (perhatian empatik)
Empathic concern merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap
orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak
langsung merasakan penderitaan orang lain.
d. Personal distress (distres pribadi)
30
Didefinisikan oleh sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap
penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas,
prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek empati adalah
kehangatan, kelembutan, peduli, kasihan, perspective taking, fantasi, emphatic
concern, personal distress.Peneliti menggunakan aspek dari Davis (dalam
Howe, 2015) empati terdiri dari aspek perspective taking, fantasy, emphatic
concern dan personal distress.Peneliti menggunakan aspek tersebut karena
telah ada alat ukur skala empati yang disusun oleh Davis.
C. Hubungan Antara Empati dengan Cyberbullying
Perkembangan teknologi yang pesat mendorong individu untuk
mempelajari sesuatu yang baru dan dapat mempengaruhi perilaku
individu.Perkembangan teknologi informasi komunikasi yang semakin pesat
mengakibatkan adanya peralihan dari perilaku bullying ke perilaku
cyberbullying, (siegel, 2012). Dampak negatif dari perkembangan teknologi,
yaitu remaja menyalahgunakan fungsi dari alat teknologi komunikasi informasi
seperti penggunaan internet dan media-media sosial untuk merugikan orang
lain, Beran & Li, 2007).
Faktor yang berperan dalam perilaku cyberbullying yaitu empati.
Kemampuan berempati pada remaja berpengaruh terhadap kemampuan dalam
menjalin interaksi sosial dengan orang lain. Empati merupakan kemampuan
31
individu untuk memahami perasaan orang lain, merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain dan memberikan respon belas kasihan terhadap orang tersebut,
(Goleman, 2011). Empati merupakan salah satu faktor yang penting untuk
meningkatkan perilaku positif kepada orang lain, (Brehm dan Kasssin, 1993).
Empati yang tinggi membuat seseorang dapat menunjukan tolerasi, kasih
sayang, memahami kebutuhan orang lain dan membantu orang lain yang sedang
berada dalam kesulitan, (Borba, 2001). Sementara, empati yang rendah
berhubungan dengan tingginya perilaku agresi, karena remaja yang rendah
empatinya tidak mampu untuk memahami dan merasakan apa yang dialami dan
dirasakan oleh orang lain ketika mengalami perilaku agresi, (Hoffman, 2000 &
Gibbs, 2003). Owleus (dalam Kowalski, dkk. 2008) mengatakan bahwa salah
satu karakteristik pelaku cyberbullying adalah individu memiliki kemampuan
empati yang rendah terhadap korban.
Empati memiliki empat aspek yang dijelaskan oleh Davis (1980) yaitu:
perspective taking,fantasy, emphatic concern, dan personal distress.Perspective
taking sendiri adalah kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut
pandang orang lain secara spontan. Menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik,
2012) mendefinisikanya sebagai menempatkan diri sendiri ke dalam posisi
orang lain. Aspek empati yang pertama adalahPersrpective taking. Perspective
taking sendiri secara psikologis dan sosial penting dalam keharmonisan
interkasi antara individu. Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan
berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan
32
perilaku yang terlihat. Individu yang mampu menempatkan dirinya pada
keadaan orang lain, maka akan menahan dirinya untuk memperlakukan orang
lain dengan tidak baik. Individu tersebut mencegah dirinya untuk melakukan
kekerasan baik secara verbal ataupun non verbal terhadap orang lain. Karena
individu tersebut mampu merasakan apabila berada dalam keadaan korban.
Seperti halnya dalam cyberbullying, yang dilakukan remaja. Remaja yang
mampu merasakan keadaan orang lain tidak akan mengumbar keburukan
seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang
tersebut.
Pentingnya kemampuan dalam persepective taking yaitu tidak
berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain.
Pengambilan perspektif berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku
menolong pada remaja. Perspective taking menjadi fokus dari banyak perhatian
karena peranya dalam membangun sosial. Seorang remaja yang kurang
memiliki perspective taking akan menjadikan orang tersebut kurang perhatian
dan kurang peka, sehinggaremaja tersebut dapat melakukan perilaku
cyberbullying. Hal ini dijelaskan pada penelitian Krumbholz & Scheithauer
(dalam Gullotta& Evans, 2005), anak laki-laki dan perempuan dengan skor
yang rendah terkait dengan kognitif empati yaitu perspective taking melaporkan
lebih cenderung melakukan perilaku cyberbullying.Sehingga anak yang
memiliki perspective taking yang rendah akan cenderung melakukan tindakan
cyberbullying karena tidak mampu memahami perasaan sedih atau tidak
33
nyaman sebagai korban. Sehingga remaja yang memiliki perspective taking
yang rendah akan mengulangi melakukan cyberbullying secara terus menerus.
Begitupun sebaliknya, jika remaja memiliki perspective taking yang tinggi akan
cenderung tidak akan melakukan cyberbullying. Hal ini dikarenakan remaja
yang memiliki perspective taking yang tinggi akan mengerti perasaan sedih
atau tidak nyaman korban ketika remaja melakukan cyberbullying. Pelaku juga
merasakan ketidaknyamanan tersebut sehingga dia tidak mengulangi
melakukan cyberbulllying.
Feldman, (1985) menambahkan bahwa individu yang memiliki empati
yang tinggi cenderung tidak melakukan perilaku agresi dibandingkan individu
yang memilii empati yang rendah, karena individu yang tinggi empatinya dapat
mengalami emosi orang lain, menempatkan diri pada posisi orang lain dan
memberikan bantuan kepada orang tersebut. Ozkan &Cifci (2009)
mengemukakan bahwa individu yang memiliki empati rendah, cenderung tinggi
melakukan perilaku bullying. Sementara individu dengan empati yang tinggi
mampu untuk memahami persepsi orang lain, kondisi, keadaan dan perasaan
yang dialami prang tersebut, sehingga individu akan lebih mampu untuk
bertoleransi dengan orang lain.
Aspek kedua dari empati yaitu Fantasy(Davis, dalam Howe 2015).
Fantasy merupakan perilaku untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke
dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film, dan
sandiwara yang dibaca atau ditonton. Seseorang yang memiliki imajinasi yang
34
tinggi, akan cenderung membayangkan hal-hal yang telah dilihatnya maupun
dibaca dari sebuah film maupun sebuah buku. Fantasi terkadang melibatkan
situasi yang sangat tidak mungkin atau mungkin cukup realistis. Fantasi
merupakan sesuatu yang tidak nyata, seperti perasaan yang dirasakan oleh salah
satu indra, tetapi sebagai situasi objek yang dibayangkan seseorang. Davis
(dalam Howe, 2015) mengemukakan bahwa fantasi merupakan aspek yang
berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menghasilkan perilaku
menolong. Remaja yang memiliki fantasi yang tinggi ketika cyberbullying
terjadi akan memunculkan reaksi emosi dan menghasilkan perilaku menolong
terhadap korban, sehingga remaja akan lebih memahami bagaimana perasaan
korban dan remaja cenderung untuk tidak melakukan cyberbullying. Sebaliknya
remaja yang memiliki fantasi yang rendah ketika cyberbullying terjadi tidak
akan memunculkan reaksi emosi yang menghasilkan perilaku menolong.
Remaja justru hanya akan melihat cyberbullying itu terjadi tanpa ada rasa ingin
menolong korban. Remaja yang memiliki fantasy yang rendah biasanya
memiliki karakter yang lebih cenderung temperamental, pandai memanipulasi
dan berkelit (Camoda dan Goosens dalam Kowalski, 2008) sehingga remaja
membiarkan cyberbullying terus menerus berulang terjadi di sekitarnya.
Aspek ketiga dari empati menurut Davis (1980) adalah emphatic concern,
yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian
terhadap kemalangan yang dialami orang lain. Keprihatinan empatik adalah
prediktor yang paling penting dari masing-masing perilaku reaktif. Remaja
35
dengan tingkat kepedulian empatik yang tinggi, lebih mungkin untuk
membantu korban cyberbullying, sementara remaja dengan tingkat keprihatinan
empatik yang rendah, lebih mungkin untuk bergabung dalam perilaku bullying
atau tetap pasif. Remaja yang memiliki empiric concern adalah remaja yang
mampu simpati terhadap orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang
dialami orang lain. Remaja yang cenderung memiliki tingkat empiric concern
yang rendah, akan cenderung tidak melakukan apa-apa saat perilaku
cyberbullying terjadi atau lebih mungkin untuk bergabung dalam perilaku
bullying tersebut dikarenakan remaja tidak mampu simpati pada korban
terhadap kemalangan atau perasaan tidak enak yang dalaminya. Namun
sebaliknya, jika remaja memiliki tingkat empathic concern yang tinggi maka
tidak akan membiarkan perilaku cyberbullying tersebut terjadi pada temannya.
Remaja mampu bersimpati kepada korban dan perhatian terhadap kemalangan
yang diaami korban (Cleemput, Vandebosch & Pabiam, 2014).
Personal Distress merupakan aspek empati yang selanjutnya, personal
distress merupakan kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta
kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal tidak menyenangkan.
Personal distress dapat dikatan sebagai empati negatif. Penelitian yang
dilakukan oleh Mitchel, Wolak, dan Finkelhor (dalam Smith, Mahdavi, dkk,
2008) menemukan bahwa terdapat tekanan yang dialami korban dari
cyberbullying, hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku cyberbullying dapat
membuat remaja menjadi depresi dan tertekan. Tekanan yang dialami oleh
36
remaja, bisa menjadikan remaja tersebut menjadi lebih empati, dikarenakan ia
mengetahui bagaimana rasanya bila berada dalam tekanan. Menurut Hinduja
dan Patchin, (2013) remaja yang mengalami personal distreesakan
menjadikanya lebih empati dan tidak melakukan perilaku cyberbullying.
Dari uraian di atas diketahui bahwa empati dapat mempengaruhi
terjadinya cyberbullying. Empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa
yang dirasakan oleh orang disekitarnya, sehingga empati dapat mempengaruhi
perilaku dari cyberbullying.
D. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pebelitian di atas, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara empati dengan
cyberbullying pada remaja. Semakin tinggi empati, maka semakin rendah
cyberbullying pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah empati, maka akan
semakin tinggi cyberbullying pada remaja.