If you can't read please download the document
Upload
phamcong
View
236
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Ventilasi Mekanik
1. Definisi
Ventilator mekanik adalah Alat bantu nafas yang memeberian bantuan
nafas dengan cara membantu sebagian atau mengambil alih semua fungsi
pernafasan guna untuk mampertahankan hidup.(38)
2. Fisiologi pernafasan pada ventilator Mekanik
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot-
otot interkostalis, rongga dada mengembang karena terjadi tekanan negatif
sehingga aliran udara masuk ke paru-paru sedangkan fase ekspirasi
berjalan secara pasif, pada pernafasan ventilator mekanik mengirimkan
udara dengan memompa ke paru-paru pasien sehingga tekanan selama
inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat
pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorak paling positif .(38)
3. Indikasi pemasangan ventilator mekanik
Indikasi pemasangan ventilator mekanik adalah pada pasien yang
mengalami gagal nafas, henti jantung paru, trauma (terutama kepala, leher,
dan dada), gangguan kardiovaskular (stroke, tumor, infeksi, emboli,
trauma), penyakit neuromuskuler (guillainebare syndrome, poliomylitis,
myastenia), peningkatan tahanan jalan pernafasan (COPD, Asma berat).(39)
15
4. Tujuan ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik bertujuan untuk: (39)
a. Mengatasi hipoksemia
b. Mengatasi asidosis pernapasan akut
c. Meringankan gangguan pernapasan
d. Mencegah atelektasis
e. Mengistirahatkan otot-otot pernafasan
5. Komplikasi Ventilasi Mekanik
Ada beberapa komplikasi ventilasi mekanik, antara lain:(40)
a. Risiko yang berhubungan dengan intubasi endotrakea, termasuk kesulitan
intubasi, sumbatan pipa endotrakea oleh sekret.
b. Intubasi endotrakea jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan laring
terutama pita suara dan trakea. Umumnya setelah 14 hari dilakukan
trakeostomi.
c. Gas ventilasi dapat menyebabkan efek mengeringkan jalan napas dan
retensi sekret dan mengganggu proses batuk sehingga dapat menimbulkan
infeksi paru-paru.
d. Masalah-masalah yang berhubungan dengan pemberian sedasi dan anestesi
yang memiliki efek depresi jantung, gangguan pengosongan lambung,
penurunan mobilitas dan memperlama proses pemulihan.
e. Gangguan hemodinamik terutama pada penggunaan PEEP yang dapat
mengurangi venous return, curah jantung dan tekanan darah sehingga
mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan dan ginjal.
f. Barotrauma dan volutrauma
16
B. Konsep nyeri
1. Definisi
The Internasional Association for the Study of Pain (IASP)
menedifinisikan nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau
ancaman kerusakan jaringan.(9)
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan
suatu gabungan dari komponen objektif (asfek fisiologi sensorik nyeri) dan
komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Sedangkan nyeri akut
disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau
akibat fungsi otot atau visceral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan
stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan
disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan menghilang
sesuai dengan laju proses penyembuhan.(41)
2. Klasifikasi Nyeri
a. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi: (42)
1) Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan
terlokalisasi.
2) Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
17
3) Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau organ yang menutupinya
(pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi
menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih
viseral dan nyeri alih parietal.
b. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:(42)
1) Aksis I : region atau lokasi anatomi nyeri
2) Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan
dengan timbulnya nyeri
3) Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
regular, kontinyu)
4) Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
5) Aksis V : etiologi nyeri
c. Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:(43)
1) Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatic maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun
dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
18
2) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur
serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sensi yang dirasakan adalah rasa panas dan
seperti ditusk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa
tidak enak pada perabaan. Nyeri nerogenik dapat menyebabkan
terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian
menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP
merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.
3) Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
d. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:(43)
1) Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah:
menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
19
a) Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
b) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat
c) Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2) Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang
tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan.
e. Berdasarkan derajat nyeri dikelompokkan menjadi :(43)
1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas
sehari hari dan menjelang tidur.
2) Nyeri sedang adalah nyeri terus-menerus, aktivitas terganggu yang
hanya hilang bila penderita tidur.
3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
3. Anatomi dan Fisiologi Nyeri
Salah satu sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi
nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan
informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada
struktur sentral pada otak Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen:(44)
20
a. Reseptor khusus yang disebut nociseptors, pada sistem saraf perifer,
mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious. (orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus
noxious ke CNS.
c. Kornu dorsali medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan
antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks
hubungan antara local eksitasi dan inhibitor interneuron dan tarktus
desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis
dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada
thalamus. (orde 2)
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat
relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen
afektif nyeri, ingatan tentang nyeri yang dihubungkan dengan respon
motoris.
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada
level medulla spinalis.
4. Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh,
seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan
dapat menimbulkan nyeri. Akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator
21
seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti
metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.(42)
Tabel 2.1
Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Zat Sumber Menimbulkan
nyeri
Efek pada
aferen primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak Sensitisasi
Substansi P Aferen primer Sensitisasi
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan
sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses
yang mengikuti sustu proses nosisepsis yaitu:
a. Tranduksi/Tranduction
Adalah perubahan rangsangan nyeri (noxious stimuli) menjadi
aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti
prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium,
histamine, asam laktat dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi
reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung
bebas serat-serat afferent A-delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak
22
dijumpai di jaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan
tubuh yang lain. Serat saraf afferent A-delta dan C adalah serat-serat saraf
sensorik yang mempuyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke
sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor
nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. Transduksi adalah adalah
proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh
otak.
Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
(nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang
datang seperti kerusakan jaringan.(43)
b. Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi
melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke
sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen akan berakson pada
dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem
contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju
cortex serebral.(44)
c. Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya
mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf,
transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan
mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti
23
bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui
saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor.(43)
d. Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjektif.(44)
Proses persepsi ini tidak
hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan
tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh
karena itu, faktor psikologis, emosional,dan berhavioral (perilaku) juga
muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut.
Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena
yang melibatkan multidimensional.(45)
5. Respon Tubuh Terhadap Nyeri
Nyeri akaut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh.
Impuls nyeri oleh serat efferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di
kornu dorsalis medulla spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di
kornu enterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.(41)
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stress sistem
neuroendokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan.
Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf efferent diteruskan melalui sel-
sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan juga diteruskan
melalui sel-sel di kornu anterolateral dan kornu enterior medulla spinalis
memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi
dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi
organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi).
24
Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks
hormonal, metabolic dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang
noxious. Nyeri juga berespon terhadap psikologis pasien seperti interpretasi
nyeri, marah dan takut.(46)
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral akan
mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang disarafi oleh
sistem simpatis akan aktif. Nyeri akut baik yang ringan sampai berat akan
memberikan efek pada tubuh seperti :(46)
a. Sistem respirasi
Pengaruh dari peningkatan laju metabolism, pengaruh reflek segmental,
dan hormone seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida
mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga
meningkatkan kerja pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit
paru. Penurunan gerakan dinding torak menurunkan volume tidal kapasitas
residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, hipoksemia
dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.
b. Sistem Kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi,
hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler
berupa peningakatan produksi ketokelamin, angiostensin II, dan anti
deuretik hormon sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti
hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara
sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada
25
pasien dengan kelainan fungsi jantungakan mengalami penurunan cardiac
output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri
menyebabkan peningkatan kebutuahan oksigen myocard , sehingga nyeri
dapat menyebabkan terjadinya Iskemia Myocardial. Nyeri merupakan salah
satu stressor bagi tubuh sehingga menghasilkan sebuah stimulasi simpatis
berupa peningkatan laju nadi, tekanan arteri rata-rata, jumlah keringat dan
perubahan ukuran pupil sebagai bentuk kompensasi tubuh terhadap
rangsangan nyeri tersebut.(47)
c. Sistem Gastrointestinal
Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan spingter dan
menurunkanmotilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi
asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan
motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia
aspirasi. Mual, muntah dan konstipasi sering terjadi.
d. Sistem Urogenital
Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan spingter saluran
kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi
urin.
e. Sistem Metabolisme dan Endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketokelamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kubutuhan oksigen
meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-
hormon metabolic seperti ketokelamin, kortisol dan glucagon sehingga
menyebabkan penurunan hormon anabolic seperti insulin dan testosterone.
26
Peningkatan kadar ketokelamin dalam darah mempunyai pengaruh
terhadap kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan
metabolism glukosa sehingga kadar gula dalam darah meningkat. Hal ini
mendorong pelepasan glucagon, glucagon memicu peningkatan proses
glukogenensis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan
keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan rennin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antideuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari
ruangan ekstraseluler.
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis,
dan hiperkoagulopati.
g. Sistem Imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial. yang pada akhirnya akan
menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.
h. Efek fisiologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan ,
ketakutan, agitasi, dan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat
menyebabkan depresi.
i. Homeostasis Cairan dan Eletrolit
Efek yang ditimbulkan akaibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosteron berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH
27
berupa retensi cairan dan penurunan produksi urin. Hormon ketokelamin
dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit
lainnya.
6. Dimensi nyeri
Nyeri adalah fenomena yang multidimensional.(48)
Mengkategorikan lima
dimensi dari nyeri yang dialami. Identifikasi dimensi nyeri ini mulanya
diperuntukan untuk nyeri-nyeri pada kasus-kasus kanker. Kelima dimensi ini
meliputi: dimensi fisiologi, sensori, afektif, kognitif, dan behavior (perilaku).
Sebagai tambahan, McGuire menambahkan dimensi social-kultural sebagai
dimensi keenam dalam multidimensional dari fenomena nyeri.(45)
Keenam
dimensi dari fenomena nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis
dan dijelaskan sebagai berikut:
a. Dimensi Fisiologi
Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organik dari nyeri tersebut seperti
kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah
menginfiltrasi ke sistem saraf. Berdasarkan dimensi fisiologis,terdapat dua
karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola
nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut
akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri
singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut,
menetap atau konstan. (48)
28
b. Dimensi Afektif
Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri
yang dirasakanya. Dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal
tertentu dari individu.(45)
Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami
kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah
mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Dari
hasil penelitian telah ditemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan
signifikan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik.
Mereka juga menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka
semakin tinggi tingkat depresi individu tersebut.(49)
c. Dimensi Sosio-kultural
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor
demograpi, adaptasi istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang
berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang
terhadap nyerinya. Kultur atau budaya memiliki peran yang kuat untuk
menentukan faktor sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon
nyerinya. Sementara itu sikap individu ini juga berkaitan dengan faktor
usia, jenis kelamin dan ras. McGuire menemukan bahwa wanita berkulit
non-putih dan yang berkulit putih memiliki perbedaan yang signifikan
dalam melaporkan nyerinya. Wanita berkulit bukan putih melaporkan nyeri
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan wanita berkulit putih ketika
mengalami nyeri.(45)
29
d. Dimensi Sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu
timbul dan bagaimanan rasanya. Terdapat tiga komponen spesifik dalam
dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. (48)
Lokasi dari
nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek
sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau
lebih lokasi. (45)
Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi
yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin
banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit
bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri, intensitas
nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali
digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas
nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari
nyeri yang dirasakan. Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan
bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri
seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar
dan gatal. (45)
e. Dimensi Kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan
oleh individu terhadap proses berpikirnya atau pandangan individu
terhadap dirinya sendiri.(48)
Respon pikiran individu terhadap nyeri yang
dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan koping individu
mengahadapi nyerinya. Barkwell melaporkan bahwa pasien yang
berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih
rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan
30
mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang
menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh.
Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif.
Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi
response seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri
dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang
dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri
tersebut dalam kehidupannya.(49)
f. Dimensi Perilaku (Behavioral)
Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu.
Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat
diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak
sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut
mengalami atau merasakan nyeri. Tampilan perilaku nyeri yang
diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing,
keluhan verbal,dan perilaku mengkonsumsi obat. Lebih jauh lagi, Fordyce
mengajukan bahwa perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan atau dapat juga direinforce oleh perhatian,suport sosial, atau
menghindari kegiatan yang dapat merangsang nyeri (seperti:bekerja di
kantor, pekerjaan rumah tangga).(50)
31
C. Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Pada Pasien Kritis
Faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah :
1. Usia
Batasan usia anak-anak mulai usia 0-2 tahun, remaja usia 13-18
tahun, dewasa usia 19-59 tahun, lansia usia lebih dari 60 tahun. Usia
mempunyai peranan yang penting dalam mempersepsikan dan
mengekspresikan rasa nyeri. Pasien dewasa memiliki respon yang berbeda
terhadap nyeri dibandingkan pada lansia.(51)
Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses penuaan. Cara
menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah normal dari proses
penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan. Usia sebagai faktor penting dalam
pemberian obat. Perubahan Metabolik pada orang yang lebih tua
mempengaruhi respon terhadap analgesik opioid. Banyak penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi nyeri dan
hasilnya sudah tidak konsisten. Telah ditemukan bahwa orang tua
membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri dibandingkan
orang usia muda.(52)
Menurut Edwards & Fillingham menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan persepsi nyeri antara orang muda dengan orang tua,(53)
sedangkan menurut Li, Green-wald dan Gennis menemukan bahwa nyeri
pada lansia pasien merupakan bagian dari proses penuaan. Pasien usia
lanjut melaporkan nyeri kurang signifikan dibandingkan pasien yang lebih
muda.(54)
Dalam penelitian Laura tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi nyeri menunjukkan bahwa usia yang lebih tua akan lebih sensitif
32
dalam mempersepsikan nyeri bila dibandingkan usia yang lebih muda.(55)
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa usia mempunyai peranan yang
penting dalam mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien
dewasa memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan pada
lansia.(51)
Namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Edwards & Fillingham yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
persepsi nyeri antara orang muda dengan orang tua.(53)
Beberapa penelitian
juga melaporkan bahwa orang tua memiliki kemampuan tingkat toleransi
nyeri yang lebih tinggi daripada orang dengan usia yang lebih muda,(56)
selain itu orang dengan usia lebih tua mengungkapkan tingkat nyeri yang
lebih rendah dari pada orang yang lebih muda.(57)
Hasil penelitian ini telah menujukkan intensitas nyeri yang lebih
tinggi pada orang yang lebih tua. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah penyakit kronis.(56)
Faktor lain yang juga
berkontribusi terhadap persepsi nyeri juga telah dilaporkan oleh Harkins
dan Chapman yaitu faktor jenis stimulus nyeri yang diberikan, untuk
stimulus nyeri ringan orang tua melaporkan nyeri lebih rendah dari usia
yang lebih muda sedangkan dengan stimulus nyeri berat orang tua
melaporkan nyeri lebih tinggi dari usia yang lebih muda.(57)
2. Jenis kelamin
Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Telah dilakukan
penelitian terhadap sampel 100 pasien untuk mengetahui perbedaan respon
nyeri antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukan bahwa ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu
33
perempuan mempunyai respon nyeri lebih baik dari pada laki-laki.(50)
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Laura yang
menunjukkan bahwa wanita lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.(55)
Brattberg melaporkan bahwa perempuan mengungkapkan rasa nyeri yang
lebih tinggi daripada laki-laki.(58)
Pada perempuan letak persepsi nyeri
berada pada limbik yang berperan sebagai pusat utama emosi seseorang
sedangkan pada laki-laki terletak pada korteks prefrontal yang berperan
sebagai pusat analisa dan kognitif. Jadi secara emosional perempuan lebih
sensitif dalam mempersepsikan nyeri.(58)
3. Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Telah ditemukan
bahwa orang Jawa dan Batak mempunyai respon yang berbeda terhadap
nyeri. Dia menemukan bahwa pasien Jawa mencoba untuk mengabaikan
rasa sakit dan hanya diam, menunjukkan sikap tabah, dan mencoba
mengalihkan rasa sakit melalui kegiatan keagamaan. Ini berarti bahwa
pasien Jawa memiliki kemampuan untuk mengelola nya atau rasa sakitnya.
Di sisi lain, pasien Batak merespon nyeri dengan berteriak, menangis, atau
marah dalam rangka untuk mendapatkan perhatian dari orang lain,
sehingga menunjukkan ekspresif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pasien dengan budaya yang berbeda dinyatakan dalam cara yang berbeda
yang mempengaruhi persepsi nyeri. (59)
34
4. Faktor fisik
Faktor fisik yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang terpasang
ventilator di ruang ICU termasuk gejala penyakit kritis (misalnya, angina,
infark miokard, dyspnea), luka (pasca-trauma, pasca operasi), gangguan
tidur, keterbatasan gerak karna alat-alat invasif yang terpasang, faktor fisik
lainnya adalah hipertermi karena proses penyakit yang dialami. Penyakit
yang paling umum atau cedera dirawat di ICU: infark miokard, bedah
torax, penyakit cardiovaskuler dan penyakit traumatik dan untuk beberapa
pasien nyeri dianggap terus menerus dan durasi selama menjalani
perawatan di ruang ICU.(60)
Hasil penelitian Zimmer menunjukkan bahwa
kelompok diagnosa penyakit yang lebih berisiko mengalami nyeri yang
lebih tinggi adalah pada pasien dengan sepsis.(61)
Pada penelitian yang
dilakukan oleh gelinas kondisi fisik pasien juga sangat mempengaruhi yaitu
tingkat kesadaran akan mempengaruhi pasien dalam mepersepsikan nyeri,
skor rata-rata nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran lebih rendah
dibandingkan pasien dengan kesdaran yang baik.(25)
5. Faktor psikososial
Faktor psikososial mempunyai pengaruh terhadap nyeri pada pasien yang
dirawat di ICU dengan ventilator mekanik faktor faktor itu antara lain
cemas dan depresi, gangguan komunikasi, ketidakmampuan untuk
melaporkan dan menggambarkan rasa sakit, takut sakit, cacat, tidak adanya
keluarga yang menunggu disamping pasien sebagai support system,
kejenuhan yang dialami oleh pasien yang terpasang ventilator mekanik.
Cemas merupakan faktor yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang
35
terpasang ventilator mekanik di ruang ICU seperti lingkungan yang asing
tidak adanya keluarga yang menunggu, rasa aman dan nyaman didapat dari
keluarga, teman, kenyakinan beragama(62)
6. Faktor lingkungan
Lingkungan perawatan ICU merupakan faktor yang menyebabkan nyeri
pada pasien yang dirawat di ruang ICU. Banyak alat elektronik yang ada di
ruang ICU seperti ventilator mekanik, bedside monitor, syiring pump, infus
pump suara yang ditimbulkan alat-alat tersebut membuat kebisingan di
ruang ICU. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Puntillo melaporkan
bahwa selama pasien menjalani perawatan di ruang ICU, 15% dari mereka
mengalami keadaan tidak nyaman, 50% dari mereka mempunyai
pengalaman tidak nyaman, dan 35% dari mereka mengalami sangat tidak
nyaman (nyeri).(62)
D. Nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik
Nyeri merupakan salah satu stressor bagi pasien perawatan kritis.(63,64)
Beberapa sumber nyeri yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah penyakit
akut, pembedahan, trauma, peralatan invasif, intervensi keperawatan dan
medis.(65,66)
Beberapa prosedur yang sering mengakibatkan nyeri akut adalah
perubahan posisi pasien, penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan
ventilasi mekanik, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan
kateter.(15)
Nyeri sedang hingga parah telah disampaikan oleh pasien selama
dirawat di unit perawatan intensif.(67-71)
Rasa nyeri bersifat subyektif dan
dipengaruhi oleh banyak komponen yaitu komponen sensorik, afektif, kognitif,
36
fisiologis ,dan perilaku.(72-75)
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien sakit kritis dengan
ventilasi mekanik mengalami stres, perasaan yang tidak menyenangkan, dan
berpotensi mengalami pengalaman yang buruk selama perawatan di unit perawatan
intensif (ICU). Ini terdiri dari rasa nyeri, takut, kurang tidur, mimpi buruk,
ketidakmampuan untuk berbicara, dan perasaan terisolasi serta merasakan
kesendirian.(6,17)
Hampir 50 % dari pasien telah diwawancarai, nilai intensitas nyeri
mereka berada pada skala sedang sampai parah, baik saat istirahat maupun selama
dilakukan prosedur.(7,8)
Masalah ini menjadi lebih kompleks bagi sebagian besar
pasien ICU yang terpasang ventilasi mekanik yang tidak mampu untuk melaporkan
rasa nyeri yang mereka rasakan dikarenakan penggunaan obat penenang (hipnotis)
atau sebagai akibat adanya kerusakan otak parah.
Walaupun pasien dengan ventilasi mekanik di unit perawatan intensif tidak
dapat berkomunikasi, banyak ekspresi wajah dan gerakan tangan yang bisa
dijadikan sarana berkomunikasi untuk menyatakan nyeri kepada tenaga medis.
Indikator yang bisa diobservasi termasuk indikator fisiologik dan indikator sikap.
Indikator-indikator ini bisa digunakan untuk menilai nyeri. Indikator fisiologik
bisa dengan mudah didokumentasi pada pasien-pasien di unit perawatan intensif.
Peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju nadi adalah tanda umum yang
dikorelasikan dengan nyeri akut. Indikator sikap seperti ekspresi wajah, pergerakan
badan, postur rigid, keteraturan dengan ventilator juga dikorelasikan dengan nyeri
akut. Hasil-hasil dari penilaian ini bisa digunakan untuk menilai nyeri pada pasien-
pasien unit perawatan intensif
Manajemen nyeri memiliki peran penting dalam perawatan intensif di unit
37
perawatan intensif. Penanganan nyeri pada pasien sakit kritis akan memperbaiki
toleransi pemakaian pipa endotrakeal, ventilasi mekanik, penghisapan lendir dan
tindakan lainnya. Selama penyapihan dari ventilator dan pasca ektubasi,
penanganan nyeri yang baik akan membuat pasien bernafas dengan volume tidal
yang lebih besar, pertukaran gas yang lebih baik, pengeluaran sputum yang lebih
baik dan pasien dapat mengikuti tindakan fisioterapi lebih maksimal. Penanganan
nyeri yang baik juga akan mengurangi respon stress dan mengurangi kecemasan
selama berada di Unit perawatan intensif.
Telah dilakukan penelitian oleh Chanques et al. pada 230 sampel di unit
perawatan intensif dimana pasien dibagi menjadi dua kategori yaitu 100 pasien
tidak dilakukan penilaian nyeri dan 130 pasien dilakukan penilaian nyeri dengan
menggunakan BPS dan NRS, dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa pada
pasien yang dilakukan penilaian nyeri didapatkan berkurangnya insidens nyeri dan
agitasi, berkurangnya lama pemakaian ventilasi mekanik (65 jam vs 120 jam,
p
38
dan penelitian (sekarang badan penelitian dan kualitas kesehatan) telah
merekomendasikan agar melakukan penilaian nyeri sesering mungkin.(78)
Laporan
nyeri yang diberikan langsung oleh pasien itu sendiri harus diperoleh karena
laporan ini adalah ukuran nyeri yang paling valid.(79)
Tetapi pada pasien perawatan
kritis, banyak faktor yang dapat menyulitkan komunikasi verbal dengan pasien ,
seperti pamberian sedatif, ventilasi mekanis, dan perubahan tingkat kesadaran
pasien.(45,65,80)
Namun, meskipun mereka tidak dapat berkomunikasi secara verbal,
banyak pasien dengan ventilasi mekanik dapat berkomunikasi dengan
menggunakan ekspresi wajah atau gerakan tangan atau dengan mencari perhatian
dengan gerakan lain.
Beberapa skala sudah dikembangkan sebagai alat untuk menilai nyeri pada
pasien-pasien di unit perawatan intensif, seperti Pain Assessment and Intervention
Notation (PAIN),(81)
Behavioural Pain Scale (BPS),(2)
Nonverbal Adult Pain
Assessment Scale (NVPS),(82)
dan Critical-Care Pain Observasion Tool
(CPOT).(23)
Semua skala ini sudah diperiksakan pada pasien-pasien unit perawatan
intensif, termasuk orang tua selama fase pasca operasi dan prosedur nosiseptif.
Walaupun skala-skala ini memiliki beberapa keterbatasan dan memerlukan
validasi yang lebih jauh, skala BPSdan CPOT memiliki validitas dan hasil yang
baik dan disarankan penggunaannya oleh para ahli.(83)
39
E. Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur
mempengaruhi, sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman
terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan
juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman
nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi terhadap nyeri. Definisi nyeri sendiri
dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang merasakan nyeri dan
menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif,
respon emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita),
dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun
observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal,
mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai
suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras. Penilaian skala
nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat
melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan
ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan
tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.
1. Pasien dapat berkomunikasi
a. Numerical Rating Scale (NRS)
Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat
ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan
mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga
40
10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri,
sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat. (24)
Gambar 2.1 Skala NRS
b. Visual Descriptif Scale (VDS)
Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka.
Bisa bebas mengekspresikan nyeri, arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan
sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang. Pasien
diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua nilai ekstrem.
Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang
moderate/sedang.(24)
Tidak ada rasa nyeri Sangat nyeri
Gambar 2.2 Skala VDS
c. Visual Analogue Scale (VAS)
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan
Visual Analog Scale (VAS). 34 Skala berupa suatu garis lurus yang
panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal
pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka
41
10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 -
42
b. Skala Wajah Wong Baker
Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda,
menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk
mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak
usia 3 (tiga) tahun.(24)
Gambar 2.4 Skala Wong Baker
Penelitian tentang reliabilitas Wong-Baker pernah dilakukan pada
komunitas anak berkulit hitam usia 3-18 tahun dengan jumlah sampel 100
orang, menunjukkan bahwa Wong-Baker memiliki reliabilitas cukup baik
namun belum memuaskan dengan nilai inter-rater reliability
(ICC=0,67).(36)
c. Behavioral Pain Scale (BPS)
BPS merupakan skala yang terdiri dari tiga indikator yaitu: ekspresi
wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan toleransi terhadap ventilasi
mekanik. Alasan penggunaan tiga indikator ini adalah sebagai berikut:
Pergerakan saat dilakukannya suatu prosedur biasanya dianggap sebagai
indikator nyeri perilaku dan banyak disertakan dalam skala nyeri perilaku
pada anak. Ekspresi wajah dihubungkan dengan berbagai stimulasi
nosiseptif yang menghasilkan bukti untuk ekspresi wajah dapat diterima
secara luas sebagai indikator nyeri. Toleransi terhadap ventilasi mekanik
43
sebagai suatu respon terhadap stimulasi nosiseptif belum banyak mendapat
perhatian.
Pengamatan rutin dari perawat unit perawatan intensif menunjukkan
bahwa pasien yang terintubasi memberikan respon terhaap nyeri dengan
perubahan toleransi terhadap ventilasi mekanik (batuk, melawan). (2)
Payen, dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa BPS mampu
memberikan perbedaan bermakna antara penilaian nyeri pada pasien yang
menjalani prosedur yang mencetuskan nyeri dibandingkan pada prosedur
yang tidak mencetuskan nyeri dimana nilai BPS lebih tinggi pada pasien
yang menjalani prosedur yang mencetuskan nyeri.(2)
Tabel 2.3. Skala BPS
Indikator Karakteristik Nilai
Ekspresi Wajah Tenang 1
Tegang sebagian (Dahi mengerenyit) 2
Tegang seluruhnya (Kelopak mata menutup) 3
Meringis/menyeringai 4
Ekstremitas atas Tenang 1
Menekuk sebagaian di daerah siku 2
Menenkuk seluruhnya dengan dahi mengepal 3
Menekuk total terus menerus 4 Toleransi Terhadap
Ventilasi Mekanik
Dapat mengikuti pola ventilasi 1
Batuk, tapi masih bisa mengikuti pola
ventilasi
2
Melawan pola ventilasi 3
Pola ventilasi tidak dapatdiikuti 4
44
d. Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT)
Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) adalah sebuah skala
sikap yang disarankan oleh para ahli untuk menilai nyeri pada pasien-pasien
kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Skala ini
dikembangkan di Prancis, memiliki 4 bagian dengan setiap bagian memiliki
kategori sikap yang berbeda, yaitu, ekspresi wajah, pergerakan badan,
tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi
atau vokalisasi untuk pasien yang tidak terintubasi. Setiap bagian memiliki
skor 0 sampai 2, dengan jangkauan kemungkinan nilai 0 8. (83)
Bagian-bagian dari skala CPOT diambil dari beberapa instrumen
penilaian nyeri sebelumnya, penilaian bagan dari rekam medik pada 52
pasien-pasien unit perawatan intensif, serta hasil diskusi dari 9 grup yang
terdiri dari 48 perawat unit perawatan intensif dan wawancara 12 dokter unit
perawatan intensif. Walaupun Wibbenmeyer et al. dalam penelitiannya
tentang validitas dan reliabilitas CPOT memperoleh nilai inter-rater
reliability relatif rendah, hal ini disebabkan karena pengambil data tidak
diberikan pelatihan sebelum melakukan pengukuran.(29)
Namun hasil
penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan pada total 105 pasien unit perawatan intensif dilakukan
penilaian dengan CPOT, keandalan antar pemeriksa tinggi pada hampir
semua waktu pemeriksaan nilai interrater agreement 0,52-0,88 , dan terdapat
perbedaan bermakna antara nilai nyeri sebelum prosedur nyeri dan saat dilakukan
prosedur P < 0,001.(23)
Sebagai contoh ditemukan asosiasi antara pelaporan
nyeri dari pasien dengan skor CPOT. Pasien yang mengalami nyeri akan
45
memiliki skor CPOT yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang
tidak mengalami nyeri, hasil penelitian ini juga menunjukkan nilai interrater
agreement yang tinggi, pada saat istirahat ( 0,95-1) dan saat prosedur (0,83-1). (30)
Pada tahun 2007 Gelinas dan Jhonston juga melakukan penelitian dengan
menggunakan skala CPOT yang diterjemahkan kedalam bahasa inggris
dengan melibatkan 51 orang perawat sebagai pengumpul data, diperoleh
nilai inter-rater reliability yang tinggi, yaitu antara 0,80 0,93.(25)
Marmo
and Fowler juga melakukan penelitian validitas dan reliabilitas CPOT yang
digunakan pada pasien bedah jatung, diperoleh nilai inter-rater reliability
yang tinggi yaitu 0,981.(27)
Hasil penelitian yang serupa tentang reliabilitas
CPOT pada kelompok pasien yang terpasang ventilasi mekanik yang
dilakukan oleh Vazquez at al juga memperoleh nilai inter-rater reliability
yang tinggi yaitu antara 0,79 1.(26)
Dalam penelitian lain yang pernah
dilakukan oleh Kwak EM at al pada psien yang dirawat di ruang perawatan
intensif dengan menggunakan skala CPOT dalam versi bahasa korea
diperoleh nilai inter-rater reliability yang tinggi (0,81 - 0,88).(31)
Beberapa
hasil penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa skala CPOT merupakan
skala yang cukup reliabel untuk menilai nyeri pada pasien dengan ventilasi
mekanik, baik pada pasien yang sadar maupun pada pasien dengan
penurunan kesadaran.
Implementasi dari skala CPOT sudah dilakukan pada 5 studi dengan
total 255 pasien dengan berbagai diagnosis dan dirawat di unit perawatan
intensif. Skala CPOT sudah menunjukkan memiliki kemampuan
psikometrik yang baik (realibilitas antar pemeriksa dan validitas) untuk
46
mendeteksi nyeri pada pasien unit perawatan intensif. Hasil dari studi-studi
sebelumnya dikatakan bahwa nilai batas atas CPOT dimana intervensi
terhadap nyeri dilakukan adalah 2 sampai 3. Sebagai rekomendasi, dicurigai
didapatkan nyeri pada pasien jika skor CPOT lebih besar dari 2 atau jika
skor CPOT meningkat 2 angka atau lebih. Berkurangnya skor CPOT dengan
2 angka atau lebih menandakan intervensi nyeri yang diberikan cukup
berhasil. Telah banyak penelitian yang menguji validitas skala CPOT,
diantaranya Arroyo-Novoa et al pada tahun 2007, menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan laju nadi dan tekanan darah setelah diberikan
rangsangan nyeri berupa penghisapan lendir trakea pada 755 sampel.(84)
Dalam penelitian yang dilakukan Puntilo et al telah ditarik kesimpulan
bahwa pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi seperti pasien dengan
ventilasi mekanik, indikator fisiologis yang bisa dijadikan indikator dalam
menilai skala nyeri adalah tekanan darah dan tekanan arteri rata-rata. (81)
Peningkatan kedua indikator fisiologis ini terjadi karena nyeri merupakan
salah satu stressor bagi tubuh sehingga menghasilkan sebuah stimulasi
simpatis berupa peningkatan laju nadi, tekanan arteri rata-rata, jumlah
keringat dan perubahan ukuran pupil sebagai bentuk kompensasi tubuh
terhadap rangsangan nyeri tersebut.(47)
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Gelinas et al menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan rata-rata skor
CPOT, saat istirahat (0,49-2,11) menjadi menjadi (1,62-3,65) saat prosedur
nyeri.(23)
Pada tahun 2011 hasil penelitian Vazquez et al juga menunjukkan
peningkatan rata-rata skor CPOT dari 0,27 pada saat istirahat menjadi 1,93
pada saat prosedur nyeri.(26)
47
Tabel 2.4 Skala CPOT
Indikator Skor Deskripsi
Ekspresi Wajah
Santai, netral 0 Tidak ada ketegangan otot yang terlihat
Tegang 1 Merengut, alis menurun, orbit
menegang dan terdapat kerutan levator
atau perubahan lainnya (misalnya
membuka mata atau menangis selama
prosedur nosiseptif)
Meringis 2 Semua gerakan wajah sebelumnya
ditambah kelopak mata tertutup rapat
(pasien dapat mengalami mulut terbuka
atau menggigit tabung endotrakeal
Gerakan Tubuh Tidak adanya
gerakan 0 atau
posisi normal
Tidak bergerak sama sekali (tidak
berarti tidak adanya rasa sakit) atau
posisi normal (gerakan tidak
dilakukan terhadap bagian yang terasa
nyeri atau tidak dilakukan untuk
tujuan perlindungan)
Perlindungan 1 Lambat, gerakan hati-hati, menyentuh
atau menggosok bagian yang nyeri,
mencari perhatian melalui gerakan
Kegelisahan /
Agitasi 2 Menarik tabung, mencoba untuk
duduk, menggerakkan tungkai /
meronta-ronta, tidak mengikuti
perintah, menyerang staf, mencoba
turun dari tempat tidur
Kepatuhan dengan ventilator
(pasien diintubasi)
Menoleransi
ventilator atau
gerakan 0
Alarm tidak dimatikan, ventilasi muda
Batuk tapi
menoleransi 1
Batuk, alarm dapat diaktifkan tapi
berhenti secara spontan
Melawan
ventilator 2
Tidak ada sinkronisasi : menghalangi
ventilasi, alarm sering diaktifkan
Atau
Vokalisasi (Pasien
diekstubasi)
Berbicara dalam
nada normal
atau tidak ada
suara
Berbicara dalam suara normal atau
tidak ada suara sama sekali
Menghela napas,
merintih 1
Menghela napas, merintih
Menangis,
terisak-isak 2
Menangis, terisak-isak
Ketegangan otot Santai 0 tidak ada perlawanan pada gerakan
pasif
Tegang kaku 1 Perlawanan pada gerakan pasif
Sangat tegang
atau kaku 2
Perlawanan kuat sampai gerakan pasif
atau ketidakmampuan mereka untuk
menyelesaikannya
JUMLAH 8
48
F. Konsep Sedasi
1. Pengertian
Sedasi merupakan suatu keadaan di mana terjadi penurunan kecemasan,
aktifitas motorik dan ketajaman kognitif. Perubahan perilaku terjadi pada dosis
efektif terendah dari obat sedatif hipnotik.(89)
Obat-obat yang diklasifikasikan
sebagai sedatif hipnotik digunakan untuk merelakskan pasien dan memacu
tidur. Obat sedative memberi efek ketenangan pada pasien. Pada dosis tinggi,
obat yang sama dapat mengakibatkan kantuk dan mengawali tahap normal
tidur (hipnosis). Pada dosis yang lebih tinggi, beberapa obat sedative
(khususnya barbiturat) akan menyebabkan hilang rasa. Karena efeknya dalam
menekan sistem saraf pusat, beberapa obat sedatif hipnotik digunakan dalam
mengobati epilepsi atau menghasilkan relaksasi otot.(90)
2. Klasifikasi Sedatif Hipnotik
Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni:(90)
a. Benzodiazepin
b. Barbiturat
c. Golongan obat nonbarbiturat nonbenzodiazepin
3. Benzodiazepin
a. Pengertian
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi
sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui
medula spinalis, dan amnesia retrograde. Benzodiazepine banyak
digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari
barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan
49
yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan
tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak
digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa
perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam.
Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.(91)
b. Struktur Kimia Benzodiazepin
Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi
sebuah diazepine ring yang berisi tujuh molekul.(91)
c. Mekanisme Kerja
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi
gammaaminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di
otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan
meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter
penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post
sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak
dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia
retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Efek
sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang
merupakan 60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks
serebelum, thalamus). Sementara efek ansiolotik timbul dari aktifasi
GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).(91)
50
d. Efek Samping
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada
penggunaan lama benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas
setidaknya selama 2 minggu. Penggunaan yang lama benzodiazepine tidak
akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung dan
ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan
penyakit paru kronis. Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi
kebutuhan akan obat anestesi inhalasi ataupun injeksi. Walaupun
penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid dan
mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine,
flumazenil, juga meningkatkan efek analgesik opioid. (91)
4. Pengukuran Level Sedasi
Untuk mengukur kedalaman sedasi digunakan skor Ramsay .(92)
Tabel 2.5 Skor Ramsay
Skor Kriteria
1 Cemas , agitasi, tidak dapat tenang
2 Kooperatif, orientasi baik dan tenang
3 Diam, hanya berespon pada perintah verbal
4 Tidur, respon yang cepat terhadap ketukan pada glabella atau
rangsangan verbal yang keras
5 Tidur, respon yang lambat terhadap ketukan pada glabella atau
rangsangan verbal yang keras
6 Tidak ada respon terhadap rangsang
51
G. Pengukuran Parameter Psikometrik
Uji validitas dari sebuah alat ukur yang mengukur variabel subyektif
membutuhkan perbandingan dengan uji yang sudah menjadi standar baku emas.
Hanya saja, belum ada skala nyeri yang telah di uji kesahihanya pada pasien sakit
kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif akibat adanya alat bantu napas
atau latar belakang kondisi patologisnya. Uji validitas dari CPOT menggunakan
perbandingan tidak langsung dengan menggunakan parameter psikometrik seperti
validitas, reliabilitas dan ketanggapan.
Reliabilitas adalah tingkat kesalahan dalam pengukuran dalam sebuah alat
ukur yang mencakup konsistensi internal dan keandalan antar penilai. Konsistensi
internal merupakan indikator bagaimana tiap-tiap komponen dalam skala tersebut
saling terkait. Cronbach merupakan salah satu cara menilai konsistensi internal.
Secara umum, nilai lebih dari 0.7 dianggap memuaskan. Reliabilitas antar
pemeriksa (persetujuan antar pemeriksa) merupakan kemampuan suatu alat
menghasilan nilai ukur yang serupa bila dinilai oleh pemeriksa yang berbeda.
Keandalan diperiksa menggunakan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). ICC
digunakan untuk menilai konsistensi dan kesesuaian dari pengukuran yang
dilakukan oleh beberapa penilai untuk menilai konsep yang sama. Dasarnya adalah
ICC berada dalam rentang 0 (tidak ada kesamaan) sampai dengan 1.0 (persetujuan
total). Nilai persetujuan diatas 0.8 dianggap memuaskan. Penilaian ICC untuk tiap-
tiap komponen dinilai secara terpisah dan dicari nilai koefisien untuk interval
kepercayaan 95% .(20)
Validitas merupakan derajat dimana sebuah alat ukut mengukur nilai yang
harus diukur. Validitas dinilai dengan 3 cara: validitas konsep, perubahan nilai
52
CPOT saat periode nyeri, dan faktor struktur dari CPOT. Validitas konsep adalah
pengembangan dimana nilai suatu skala berhubungan dengan nilai pengukuran lain
dengan hubungan yang telah diduga sebelumnya. Hipotesisnya adalah hubungan
bermakna antara nilai CPOT dengan 2 variabel fisiologis yang dianggap
menunjukkan hal yang sama (nyeri). Hubungan nilai CPOT dengan skala Ramsay
juga dinilai. Perubahan nilai CPOT saat istirahat dan prosedur yang menimbulkan
nyeri juga dibandingkan, dengan hipotesis, nilai CPOT seharusnya lebih tinggi saat
prosedur yang menimbulkan nyeri dibandingkan saat istirahat. Faktor Struktur dari
CPOT dinilai dengan cara menelusuri analisis faktor dari komponen dasar. Hal ini
merupakan prosedur statistik yang dapat menentukan latar belakang dimensi suatu
skala. Faktor struktur digunakan untuk menilai hubungan antara masing-masing
parameter penilaian, untuk melihat seberapa kuat hubungan parameter yang satu
dengan yang lainnya.(21)
Ketanggapan merupakan kemampuan alat untuk mendeteksi perubahan
penting antar waktu dari konsep yang sedang diukur (nyeri), walaupun perubahan
tersebut kecil. Nilai dari suatu ketanggapan ditentukan dengan menggunakan effect
size. Effect size dikatakan kecil bila kurang dari 0.2, menengah bila sekitar 0.5 dan
besar bila lebih dari 0.8.(22)
53
H. Kerangka Teori
Skema 2.1 Kerangka Teori
.
`
Reliabilitas, validitas dan
ketanggapan Instrumen
Gangguan pernafasan/oksigenasi
Pemasangan endotracheal
tube (ETT), pemasangan
ventilator mekanik
Penghisapan
lendir
Trauma,
Peradangan
Perubahan
posisi
Skoring
Dapat
berkomunikasi
Tidak dapat berkomunikasi
1. VAS
2. VDS
3. NRS
Parameter
perilaku
Parameter
Fisiologis
1. BPS 2. CPOT 3. FLACC 4. Wong Baker
1. TD 2. Nadi 3. MAP 4. Tingkat sedasi
Nyeri
Faktor usia, jenis
kelamin, budaya
Faktor fisik,
psikososial,
lingkungan