Upload
dinhanh
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Acute Limpoblastik Leukimia (ALL)
a. Pengertian
Leukemia akut merupakan suatu penyakit yang serius,
berkembang dengan cepat, dan apabila tidak diterapi dapat
menyebabkan kematian dalam waktu beberapa minggu atau bulan.
Leukemia akut dapat mempengaruhi jalur perkembangan sel limfoid
(leukemia limfoblastik akut atau acute lymphoblastic leukemia (ALL)
atau jalur perkembangan sel myeloid (leukemia myeloid akut atau acute
myeloid leukemia (AML) (Davey, 2011). Leukemia ditandai oleh
proliferasi ganas sel darah putih abnormal (sel blas) dalam sumsum
tulang (Meadow & Newell, 2009).
Leukemia merupakan neoplasma ganas sel darah putih (leukosit)
yang ditandai dengan bertambah banyaknya sel darah putih abnormal
dalam aliran darah. Terjadinya produksi sel-sel darah putih yang masih
muda dengan cepat, berlebihan, dan tidak berfungsi. Sel-sel tersebut
berinfiltrasi secara progresif ke dalam jaringan tubuh, terutama pada
sumsum tulang. Hasl tersebut mengakibatkan sumsum tulang rusak dan
kehilangan fungsinya untuk membuat sel darah merah (eritrosit)
normal, sel darah putih normal, dan platelets. Sebagai akibat dari
http://repository.unimus.ac.id
kegagalan membuat sel darah merah maka dapat mengakibatkan
anemia. Kurangnya sel darah putih yang normal dapat mengakibatkan
penurunan kekebalan tubuh terhadap infeksi dan gagalnya produksi
platelets dapat mengakibatkan perdarahan yang gawat (Wijayakusuma,
2012).
b. Prevalensi
ALL lebih sering terjadi pada anak-anak, dengan insidensi yang
paling tinggi pada usia 4 tahun. Pemaparan terhadap obat sitotoksik,
radiasi, dan beberapa zat kimia seperti benzena meningkatkan
kemungkinan terjadinya leukemia akut (Davey, 2011). Leukemia
limfoblastik akut terjadi pada 85% kasus, lebih sering muncul pada
anak laki-laki dan insidensi puncak terjadi antara usia 2 sampai 5 tahun
(Meadow & Newell, 2009).
c. Etiologi
Pada sebagian besar pasien, penyebab leukemia akut tidak dapat
ditentukan, walaupun infeksi dapat berperan dalam terjadinya ALL
pada masa kanak-kanak (Davey, 2011). Menurut Wijayakusuma (2012)
leukemia limfositik akut lebih sering terjadi pada anak-anak, akan tetapi
penyebabnya belum diketahui secara pasti, kemungkinan besar faktor
pendorongnya adalah kombinasi virus genetik, faktor imunologik, tidak
tahan terhadap radiasi dan beberapa zat kimia.
http://repository.unimus.ac.id
d. Manifestasi klinik
Gejala yang dapat timbul pada leukemia akut, yaitu perdarahan
yang abnormal seperti mimisan, perdarahan gusi, mudah mengalami
memar, adanya bintik merah dan cokelat tua, anemia, berat badan
menurun, badan terasa tidak enak, lemah, lelah, kehilangan energi,
denyut jantung cepat, sakit pada tulang atau lambung, dan rentan
terhadap infeksi (Wijayakusuma, 2012).
e. Penatalaksanaan
Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Sel
blas juga dapat dilihat dalam darah perifer. Anak dengan hitung jumlah
sel darah putih total kurang dari 50 X 109/L saat diagnosis memiliki
prognosis baik, sementara anak dengan jumlah lebih dari 100 X 109/L
memiliki prognosis yang lebih buruk. Terapi awal terdiri dari induksi
kemoterapi yang bertujuan mencapai remisi (didefinisikan sebagai sel
blas kurang dari 5% pada pemeriksaan sumsum tulang). Dalam satu
bulan sejak dimulai kemoterapi 95% anak akan mencapai remisi.
Leukemia meningeal merupakan komplikasi yang sering terjadi,
sehingga induksi kemoterapi harus diikuti dengan metotreksat
intratekal, kadang dengan radiasi kranial. Remisi dipertahankan dengan
siklus kemoterapi intermiten selama 2 tahun. Dengan terapi agresif
modern, 70% anak akan tetap bebas penyakit 5 tahun setelah diagnosis.
Relaps jarang terjadi sesudahnya (Meadow & Newell, 2009).
http://repository.unimus.ac.id
f. Kemoterapi
1) Pengertian dan Tujuan
Kemoterapi secara harfiah berarti penggunaan bahan kimia
untuk melawan, mengendalikan atau menyembuhkan penyakit.
Namun dalam maknanya yang sekarang lebih banyak digunakan
sebagai penggunaan obat untuk pengobatan kanker (Miller, 2008 ).
Kemoterapi adalah terapi anti kanker untuk membunuh sel-sel tumor
dengan mengganggu fungsi dan reproduksi seluler.
Tujuan dari kemoterapi adalah penyembuhan, pengontrolan
dan paliatif sehingga realistik, karena tujuan tersebut akan
menetapkan medikasi yang digunakan dan keagresifan rencana
pengobatan. Obat yang digunakan untuk mengobati kanker
menghambat mekanisme proliferasi sel, obat ini bersifat toksik bagi
sel tumor maupun sel normal yang berproliferasi khususnya pada
sumsum tulang, epitel gastrointestinal, dan folikel rambut (Neal,
2010).
2) Bentuk Kemoterapi
Menurut Ganiswarna (2009) pemberian kemoterapi dapat
diberikan dapat diberikan dengan satu macam atau dengan
kombinasi, sehingga dikenal tiga macam bentuk kemoterapi kanker
yaitu:
http://repository.unimus.ac.id
a) Monoterapi (Kemoterapi Tunggal).
Monoterapi yaitu kemoterapi yang dilakukan dengan satu macam
sitostatika. Sekarang banyak ditinggalkan, karena polikemoterapi
memberi hasil yang lebih memuaskan.
b) Polikemoterapi (kemoterapi Kombinasi).
Prinsip pemberian kemoterapi kombinasi adalah obat-
obat yang diberikan sudah diketahui memberikan hasil yang baik
bila diberikan secara tunggal, tetapi masing-masing obat bekerja
pada fase siklus sel yang berbeda, sehingga akan lebih banyak sel
kanker yang terbunuh. Dasar pemberian dua atau lebih antikanker
adalah untuk mendapatkan sinergisme tanpa menambah
toksisitas. Kemoterapi kombinasi juga dapat mencegah atau
menunda terjadinya resistensi terhadap obat-obat ini.
c) Kemoterapi Lokal.
Kemoterpi lokal digunakan untuk: pengobatan terhadap
efusi akibat kanker, pengobatan langsung intra dan peri tumor
serta pengobatan intratekal.
3) Cara Pemberian Kemoterapi
Menurut (Miller, 2008) obat kemoterapi dapat diberikan
dengan cara:
a) Oral
Obat kemoterapi diberikan secara oral, yaitu dalam bentuk tablet
atau kapsul, harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan
http://repository.unimus.ac.id
b) Intramuskuler
Caranya dengan menyuntikkan ke dalm otot, pastikan
untuk pindah tempat penyuntikan untuk setiap dosis, karena
tempat yang sudah pernah mengalami penusukan membutuhkan
waktu tertentu dalam penyembuhannya.
c) Intratekal
Caranya obat dimasukkan ke lapisan sub arakhnoid di
dalam otak atau disuntikkan ke dalam cairan tulang belakang.
d) Intrakavitas
Memasukkan obat ke dalam kandung kemih melalui
kateter dan atau melalui selang dada ke dal rongga pleura.
e) Intravena
Diberikan melalui kateter vena sentral atau akses vena
perifer, cara ini paling banyak digunakan.
4) Efek Samping Kemoterapi
Umumnya efek samping kemoterapi meliputi gangguan
saluran cerna, mulut, lambung dan usus menyebabkan sariawan,
mual, muntah, dan diare.
Penekanan sumsum tulang belakang memberi pengaruh
tehadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Pada kulit
dan rambut pemberian kemoterapi menyebabkan hiperpigmentasi
kulit, kering dan gatal, rambut rontok. Sedangkan dampak pada
bagian genetalia biasanya berpengaruh terhadap menstruasi dan
http://repository.unimus.ac.id
kesuburan pada wanita, dan berpengaruh terhadap spermatogenesis
dan menurunkan nafsu seksual pada pria. Akibat dari dampak yang
tidak diinginkan atau dampak yang tidak menguntungkan dari
pemberian kemoterapi, maka pasien akan mengalami gangguan fisik
atau kelelahan fisik sehingga akan lebih mudah mengalami stres atau
kecemasan (Gale & Charette, 2007).
5) Siklus Kemoterapi
Dalam pemberian kemoterapi ada yang disebut dengan istilah
“siklus kemoterapi”. Siklus kemoterapi adalah waktu yang
diperlukan untuk pemberian satu kemoterapi. Untuk satu siklus
kemoterapi sudah ditentukan masing-masing jenis kanker berapa
siklus harus diberikan dan berapa interval waktu antar siklusnya.
Sebagai contoh, kemoterapi untuk pasien ALL rawat inap dilakukan
setiap minggu sekali dengan kombinasi obat kemoterapi yang
berbeda-beda sesuai dengan diagnosa medis, stadium kanker, dan
kondisi pasien. Selain itu ada dua jenis kemoterapi pada pasien ALL,
yaitu standart risk dan high risk (Protokol Kemoterapi RSUP Dr.
Kariadi Semarang, 2017).
Jumlah pemberian kemoterapi juga sudah ditetapkan untuk
masing-masing kanker. Ada yang 4 kali, 6 kali, 12 kali, dsb. Jumlah
pemberian ini tidak boleh ditawar-tawar, misalkan hanya diberikan
satu atau dua kali saja lalu berhenti. Hukumnya dalam pemberian
kemoterapi adalah diberikan semuanya atau tidak sama sekali. Bila
http://repository.unimus.ac.id
diberikan hanya satu atau dua kali saja, tidak ada manfaatnya, karena
kanker tidak akan dapat disembuhkan bahkan menjadi lebih tahan
atau resisten terhadap pemberian kemoterapi berikunya, selain itu
efek sampingnya juga hebat namun tidak memberikan manfaat, juga
secara ekonomi memboroskan biaya yang tidak perlu dan hanya
membuang-buang waktu saja (Suryo, 2010).
Pasien dengan Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) selain
mendapatkan farmakoterapi juga membutuhkan dukungan sosial dari
perawat maupun keluarga, sebagai salah satu mekanisme koping dampak
psikologis akibat progam pengobatan kemoterapi.
2. Dukungan Sosial
a. Pengertian
Cohen & Sme dalam Harnilawati (2013), dukungan sosial adalah
suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang
lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada
orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya.
Friedman dalam Harnilawati(2013), dukungan sosial keluarga adalah
sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan
sosial.
Dukungan sosial menjadikan keluarga telah mengkonseptualisasi
dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan
yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat.
Dukungan sosial keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan,
http://repository.unimus.ac.id
tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi,
tempat ibadah, dan praktisi kesehatan. Dukungan sosial internal antara
lain dukungan dari suami atau istri, dari keluarga kandung atau
dukungan dari anak (Friedman dalam Harnilawati, 2013).
b. Jenis dukungan sosial
Jenis dukungan sosial ada empat, yaitu (Harnilawati, 2013):
1) Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis & konkrit.
2) Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator
(penyebar informasi).
3) Dukungan penilaian (appraisal)
Keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai
sumber dan validator identitas keluarga
4) Dukungan emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi.
c. Ciri-ciri dukungan sosial
Menurut Friedman dalam Harnilawati (2013), dukungan sosial
mempunyai cirri-ciri:
http://repository.unimus.ac.id
1) Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat
digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-
persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan,
ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini
dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi
persoalan yang sama atau hampir sama.
2) Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan
afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan
empati, cinta dan kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian
seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak
menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang
memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan
empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau
membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.
3) Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk
mempermudah seseorang dalam melakukan aktivitasnya berkaitan
dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, misalnya dengan
menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita,
menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain.
4) Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan
seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari
penderita. Penilaian ini bias positif atau negative yang mana
pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan
http://repository.unimus.ac.id
dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu
adalah penilaian yang positif.
3. Dukungan Perawat terhadap Keluarga Pasien ALL
a. Definisi
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang paling
sering berinteraksi dengan pasien dan keluarga pasien, mempunyai
kewajiban membantu pasien mempersiapkan fisik dan mental untuk
menghadapi tindakan medis, termasuk dalam pemberian pendidikan
kesehatan. Seorang perawat diharapkan mampu memahami kondisi,
kebutuhan pasien dan keluarga. Termasuk salah satunya dalam
mengendalikan kebutuhan emosi diri pasien dan keluarga pasien
(Ibrahim, 2009). Peran perawat dalam upaya penyembuhan klien
menjadi sangat penting. Peran perawat juga diperlukan dalam
penanggulangan kecemasan dan berupaya agar pasien tidak merasa
cemas melalui asuhan keperawatan komprehensif. Perawat memiliki
berbagai peran sebagai pemberi perawatan, sebagai perawat primer,
pengambil keputusan klinik, advokat, peneliti dan pendidik (Perry &
Potter, 2013).
b. Tujuan
Saat melakukan asuhan keperawatan perawat dapat menjalankan
peran tersebut dengan melakukan asuhan keperawatan holistik salah
satunya dengan memperhatikan aspek psikososial dan spiritual pasien
dan keluarga pasien. Salah satu peran perawat sebagai pemberi
http://repository.unimus.ac.id
dukungan sosial dalam melakukan asuhan keperawatan pasien adalah
memberi dukungan atau suport mental dengan tujuan untuk membantu
pasien dan keluarganya mengurangi rasa cemas. Dukungan perawat
diberikan sebagai salah satu upaya mengatasi masalah psikososial dan
spiritual yang dialami pasien dan keluarganya. Dukungan perawat adalah
sikap, tindakan dan penerimaan perawat terhadap pasien melalui
pelayanan keperawatan bio-psiko-sosial-spriritual yang komprehensif
bertujuan untuk memberikan kenyamanan fisik dan psikologis. Dukungan
yang diberikan perawat kepada pasien dan keluarga pasien dalam
menghadapi masalah psikologis dapat meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan, meningkatkan keamanan dan kenyamanan (Sarafino,
2010).
c. Jenis dukungan perawat terhadap keluarga pasien ALL
Dukungan yang diberikan perawat termasuk dalam dukungan
sosial, meliputi (Sarafino, 2010):
1) Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang
dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang,
pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini
dapat mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung
memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.
http://repository.unimus.ac.id
2) Dukungan informasional (informational support)
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi,
pengetahuan, petunjuk, saran atau umpan balik tentang situasi dan
kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong
individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih
mudah.
3) Dukungan emosional (emotional support)
Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang
selalu mendampingi, adanya suasana kehangatan, dan rasa
diperhatikan akan membuat individu memiliki perasaan nyaman,
yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial
sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik.
4) Dukungan pada harga diri (esteem support)
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada
individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu
dan perbandingan yang positif dengan individu lain.
Dukungan sosial tersebut baik dukungan dari keluarga maupun
perawat bertujuan untuk mengurangi tingkat kecemasan pada pasien dan
orang tua pasien ALL selama mengobati pengobatan kemoterapi.
4. Kecemasan
a. Pengertian dan insiden kecemasan
Kecemasan atau ansietas adalah suatu keadaan emosional yang
tidak menyenangkan yang ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik
http://repository.unimus.ac.id
yang menegangkan serta tidak diinginkan (Craig, 2009). Kecemasan
juga merupakan suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Pedrick &
Hyman, 2012).
Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi
kecemasan menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan
proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya.
Dalam bentuknya yang ekstrim, kecemasan dapat mengganggu fungsi
individu sehari-hari (Videbeck, 2008).
Kebanyak kasus wanita lebih banyak mengalami kecemasan dari
pada pria. Setidaknya 17% individu dewasa di Amerika Serikat
menunjukkan satu gangguan ansietas atau lebih dalam satu tahun
(Videbeck, 2014). Kecemasan juga banyak ditemui pada pasien yang
menjalani pemeriksaan, investigasi atau perawatan dalam bidang
kesehatan seperti pasien kanker yang menjalani kemoterapi (Skeel &
Khleif, 2011).
b. Penyebab dan presipitasi terjadinya kecemasan
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan penyebab
dari gangguan kecemasan. Antara lain teori psikodinamik, faktor-faktor
sosial dan lingkungan, faktor-faktor kognitif dan emosional dan faktor
biologis (Pedrick & Hyman, 2012).
1) Teori psikodinamika menjelaskan bahwa gangguan kecemasan
sebagai usaha ego untuk mengendalikan munculnya impuls-impuls
http://repository.unimus.ac.id
yang mengancam ke kesadaran. Perasaan kecemasan adalah tanda-
tanda peringatan bahwa impuls-impuls yang mengancam mendekat
ke kesadaran. Ego menggerakkan mekanisme pertahanan diri untuk
mengalihkan impuls-impuls tersebut, yang kemudian mengarah
menjadi gangguan kecemasan lainnya (Pedrick & Hyman, 2012).
2) Faktor-faktor lingkungan dan sosial yang menyebabkan terjadinya
gangguan kecemasan didapatkan dari pemaparan terhadap
peristiwa yang mengancam atau traumatis, mengamati respon takut
pada orang lain dan kurangnya mendapat dukungan sosial.
Termasuk dalam dukungan sosial adalah dukungan perawat dan
dukungan keluarga (Smeltzer & Bare, 2010).
3) Faktor-faktor kognitif dan emosional menadi penyebab gangguan
kecemasan disebabkan konflik psikologis yang tidak terselesaikan,
prediksi berlebih tentang ketakutan, keyakinan-keyakinan yang
tidak rasional, sensitivitas yang berlebihan tentang ancaman, salah
mengartikan dari sinyal-sinyal tubuh (Pedrick & Hyman, 2012).
4) Faktor-faktor biologis menjadi penyebab gangguan kecemasan
diperoleh dari predisposisi genetik, dan ketidakseimbangan
biokimia di otak. Sebagai faktor predisposisi kondisi kesehatan
umum seperti kondisi penderita kanker sangat berhubungan
dengan penyebab kecemasan (Pedrick & Hyman, 2012).
Kecemasan pada pasien sebagai individu dapat dicetuskan oleh
adanya ancaman. Faktor-faktor presipitasi yang dapat menyebabkan
http://repository.unimus.ac.id
terjadinya masalah kecemasan dapat berupa ancaman terhadap
integritas biologi dan ancaman terhadap konsep diri dan harga diri
(Hawari, 2011). Ancaman terhadap integritas biologi dapat berupa
penyakit trauma fisik. Ancaman terhadap konsep diri dan harga diri
seperti: proses kehilangan, perubahan peran, perubahan hubungan,
lingkungan dan status sosial. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kecemasan yaitu:
1) Faktor internal
a) Potensi stressor
Merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan stressor psikososial perubahan dalam kehidupan
seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi
(Smeltzer & Bare, 2010).
b) Maturitas
Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih
sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu
yang matur memiliki daya adaptasi yang lebih besar terhadap
kecemasan.
c) Pendidikan dan status ekonomi
Pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada
seseorang menyebabkan orang tersebut mudah mengalami
kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh
http://repository.unimus.ac.id
terhadap kemampuan berfikir rasional dan menangkap informasi
baru termasuk menguraikan masalah baru (Stuart, 2006).
d) Keadaan fisik
Seseorang yang mengalami gangguan fisik, penyakit
kronis, penyakit keganasan akan mudah mengalami kelelahan
fisik, sehingga akan mudah mengalami kecemasan.
e) Tipe kepribadian
Tidak semua orang mengalami stressor psikososial akan
menderita gangguan kecemasan, hal ini juga tergantung pada
struktur atau tipe kepribadian seseorang. Orang yang
berkepribadian A akan lebih mudah mengalami gangguan akibat
kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Ciri-ciri orang
berkepribadian A adalah : tidak sabar ambisius menginginkan
kesempurnaan, merasa teburu-buru waktu, mudah gelisah.
Sedang orang tipe B adalah orang yang penyabar, tenang, teliti
dan rutinitas (Stuart, 2006).
f) Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada pada lingkungan yang asing akan
mudah mengalami kecemasan dibandingkan bila ia berada di
lingkungan yang biasa dia tempati.
http://repository.unimus.ac.id
g) Usia
Seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata
lebih mudah mengalami gangguan kecemasan daripada orang
yang lebih tua, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya.
h) Jenis kelamin
Gangguan kecemasan lebih sering dialami perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
2) Faktor eksternal
Dukungan sosial dapat mempengaruhi kemampuan koping
seseorang dalam mengatasi masalah, termasuk dalam hal
kecemasan, selain itu dukungan sosial juga membuat pasien merasa
diperhatikan dan dicintai oleh orang lain, merasa dirinya dianggap
dan dihargai, dan membuat seseorang merasa bahwa dirinya bagian
dari jaringan komunikasi oleh anggotanya. termasuk diantara
dukungan sosial meliputi dukungan keluarga dan dukungan orang
lain (termasuk perawat) yang bermakna dalam membantu pasien
mengatasi masalah (Smeltzer & Bare, 2010).
a) Dukungan keluarga
Dukungan keluarga ialah sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap penderita yang sakit.
http://repository.unimus.ac.id
b) Dukungan perawat
Selain dukungan keluarga, salah satu dukungan sosial
yang penting bagi orang tua pasien adalah dukungan perawat.
Peran perawat sangat penting untuk memberikan suport atau
dukungan dan penyuluhan terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada orang tua pasien.
c. Tingkat Kecemasan
Ada empat tingkat kecemasan atau ansietas menurut Videbeck
(2014), yaitu ringan, sedang, berat, dan panik:
1) Ansietas ringan
Ansietas ini adalah ansietas normal berhubungan dengan
ketegangan dalam peristiwa sehari-hari yang memotivasi individu
untuk meningkatkan kesadaran individu serta mempertajam
perasaannya. Ansietas tahap ini dipandang penting dan konstuktif.
Ditandai dengan kewaspadaan meningkat, persepsi terhadap
lingkungan meningkat. Respon fisiologis berupa napas pendek,
nadi dan tekanan darahmeningkat sedikit, gejala ringan pada
lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar. Respon kognitif
mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada
masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, dan terangsang
untuk melakukan tindakan. Respon perilaku dan emosi berupa
http://repository.unimus.ac.id
duduk tidak tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-
kadang meninggi.
2) Ansietas sedang
Pada tahap ini lapangan persepsi individu menyempit,
seluruh indra dipusatkan pada penyebab ansietas sehingga
perhatian terhadap rangsangan dari lingkungan berkurang. Respon
fisiologis berupa sering napas pendek, nadi ekstra sistol dan
tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare atau
konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih. Respon kognitif
memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan
rangsangan dari luar tidak mampu diterima. Respon perilaku dan
emosi berupa gerakan tersentak-sentak, terlihat lebih tegang, bicara
banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman
3) Ansietas berat
Lapangan persepsi menyempit, individu berfokus pada hal-
hal yang kecil, sehingga individu tidak mampu memecahkan
masalahnya, dan terjadi gangguan fungsional. Kondisi ini
menyebabkan individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja
dan mengabaikan hal yang lain. Respon fisiologis napas pendek,
nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala,
penglihatan berkabut, serta tampak tegang. Respon kognitif tidak
mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan
http://repository.unimus.ac.id
atau tuntunan, serta lapang persepsi menyempit. Respon perilaku
dan emosi perasaan terancam meningkat dan komunikasi menjadi
terganggu (verbalisasi cepat).
4) Panik
Merupakan bentuk ansietas yang ekstrem, terjadi
disorganisasi dan dapat membahayakan diri. Individu tidak dapat
bertindak, agitasi atau hiperaktif, ansietas tidak dapat langsung
dilihat, tetapi dikomunikasikan melalui perilaku individu. Respon
fisiologis napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada,
pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik. Respon
kognitif gangguan realitas, tidak dapat berpikir logis, persepsi
terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan ketidakmampuan
memahami situasi. Respon perilaku dan emosi berupa agitasi,
mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan
kendali atau kontrol diri (aktivitas motorik tidak menentu),
perasaan terancam, serta dapat berbuat sesuatu yang
membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Tidak
Cemas Cemas Berat Cemas
sedang
Panik
Cemas
ringan Panik
Rentang Respons Ansietas
Respons adaptif Respons maladaptif
Gambar 2.1
Rentang Respons Ansietas
Sumber Stuart & Sundeen dalam Asmadi (2008)
http://repository.unimus.ac.id
d. Gejala Klinis
Gejala klinis cemas tampak pada keluhan-keluhan yang sering
dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara
lain khawatir, firasat buruk, takut pada perkiraannya sendiri, mudah
tersinggung dan kadang individu yang bersangkutan merasa tegang dan
gelisah. Gejala-gejala lain yang dapat timbul adalah mudah terkejut,
takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola
tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan
daya ingat, serta keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot
dan tulang, pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak nafas,
gangguan pencernakan gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari,
2011).
Hawari (2011) menyebutkan bahwa tingkat kecemasan dapat
diukur dengan menggunakan (Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-
A) yang sudah dikembangkan oleh kelompok Psikiatri Biologi Jakarta
(KPBJ). Tingkatan kecemasan juga dapat diukur dengan menggunakan
Visual Analog Scale (VAS) dari angka 0 sampai 100. Pengukuran skala
kecemasan menggunakan Visual Analog Scale 0-100 lebih mudah
digunakan tidak membutuhkan waktu yang lama (kurang dari 5 menit)
jika dibandingkan dengan HRS-A yang membutuhkan waktu sekitar 10
menit.
http://repository.unimus.ac.id
B. Kerangka teori
Skema 2.1
Kerangka Teori
C. Kerangka konsep
Skema 2.2
Kerangka konsep penelitian
Faktor-faktor yangmempengaruhi
kecemasan:
Faktor Internal
Umur
Lingkungan
Tipe kepribadian
Pendidikan dan status ekonomi
Maturitas
Keadaan fisik
Jenis kelamin
Status Pekerjaan
Potensi stressor (stadium
kanker)
Faktor Eksternal
Dukungan Sosial:
Dukungan keluarga
Dukungan perawat
Tingkat kecemasan
Cemas ringan
Cemas sedang
Cemas berat
Panik
Variabel Independen Variabel Dependen
Stress
Stressor:
Kanker & kemoterapi
Kecemasan
Dukungan Perawat Tingkat Kecemasan
http://repository.unimus.ac.id
D. Variabel penelitian
Variabel penelitian adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh
anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok
yang lain (Nursalam, 2008). Variabel dalam penelitian ini ada dua variabel
yaitu:
1. Variabel independen yaitu dukungan perawat terhadap orang tua pasien
anak dengan Acute Limpoblastic Leukimia (ALL)
2. Variabel dependen, yaitu tingkat kecemasan orang tua pasien Acute
Limpoblastik Leukimia (ALL) di ruang anak RSUP Dr. Kariadi Semarang
E. Hipotesa penelitian
Hipotesa yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan dukungan perawat dengan tingkat kecemasan orang tua
pasien Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) di Ruang Anak RSUP Dr.
Kariadi Semarang
2. Tidak ada hubungan dukungan perawat dengan tingkat kecemasan orang
tua pasien Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) di Ruang Anak RSUP Dr.
Kariadi Semarang
http://repository.unimus.ac.id