Upload
dinhphuc
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
1. Sanksi Pidana Seumur Hidup Dalam Peraturan Perundang-undangan
a. Sanksi Pidana Seumur Hidup Dalam KUHP
Perumusan sanksi pidana seumur hidup dalam KUHP dapat dirumuskan
seperti pada tabel dibawah:
Tabel 3.1 Rumusan Ancaman Sanksi Pidana
dengan PSH Dalam KUHP
No. Kelompok Kejahatan Perumusan Ancaman Pidana/ Pasal Mati/SH/20 TH SH/20 TH
1. Keamanan Negara 104, 111 (2), 124 (3)
106, 107 (2), 108 (2), 124
2. Kejahatan terhadap Negara 140 (3) 3. Membahayakan
kepentingan umum 187 ke-3,198 ke-2,
200 ke-3, 202 (2), 204 (2)
4. Terhadap nyawa 340 339 5. Pencurian 365 (4) 6. Pemerasan& Pengancaman 368 (2) 7. Pelayaran 444 8. Penerbangan 479 k (2), 479 o (2) 479 f sub b, 479 k
(1), 479 o (1) Sumber: Tongat. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia,.Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2004
Keterangan: Mati = Pidana Mati SH = Pidana Seumur Hidup 20 TH = Pidana penjara paling lama 20 tahun
2
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perumusan sanksi pidana dalam KUHP
menggunakan sistem alternatif yaitu pidana seumur hidup dialternatifkan dengan
pidana mati atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Sebagai alternatif pidana
mati, pidana seumur hidup berhubungan dengan fungsi subsidair, yaitu sebagai
pengganti untuk delik-delik yang diancam dengan maksimum pidana mati.
Melihat perumusan pidana seumur hidup dalam KUHP yang secara keseluruhan
menggunakan sistem alternatif menunjukkan, bahwa pidana seumur hidup dalam
KUHP merupakan jenis sanksi yang dapat dipilih untuk penjatuhannya tidak
bersifat imperatif. Berbeda halnya dengan perumusan ancaman pidana penjara
selama waktu tertentu yang justru banyak menggunakan perumusan ancaman
pidana dengan sistem tunggal yang bersifat imperatif.
Hal ini tentu berbeda dengan perumusan sanksi pidana diluar KUHP yang
tidak jarang menggunakan sistem gabungan yaitu alternatif kumulasi, meski
jumlahnya tidak terlalu besar. Dari perumusan pidana seumur hidup atas delik-
delik dalam KUHP diatas, secara rasional, ancaman pidana seumur hidup
sebagian besar ditujukan pada tindak pidana berat yang membahayakan nyawa
orang dengan kata lain merupakan tindak pidana yang dapat menyebabkan
kematian.
3
b. Sanksi Pidana Seumur Hidup Di Luar KUHP
Perumusan sanksi pidana seumur hidup selain dalam KUHP, juga terdapat
dalam peraturan perundang-undangan lainnya diluar KUHP. Sebagai bahan
analisis ada 4 (empat) peraturan perundang-undangan diluar KUHP yang memuat
rumusan ancaman pidana seumur hidup yang akan diungkap dalam penelitian ini.
Keempat peraturan tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
1). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 5/1997.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memuat ancaman
pidana seumur hidup terhadap tindak pidana seperti yang diatur pada Pasal 59
ayat 2 yang menyatakan jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Pasal 59 ayat 1
menyatakan perbuatan yang terorganisir yaitu meliputi:
1. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
2. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
4
3. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
4. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan
5. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I.
Ketentuan perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam ketentuan Pasal
59 ayat 2 yang mencakup tindak pidana dalam Pasal 59 ayat 1, dirumuskan secara
alternatif-kumulasi, artinya bahwa sekalipun pidana seumur hidup dialternatifkan
dengan pidana mati atau penjara selama 20 tahun, tetapi juga dikumulasi dengan
ditambah pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta)
rupiah. Bentuk perumusan ancaman pidana seumu hidup dengan alternative-
kumulasi seperti ini tidak terdapat dalam perumusan sanksi pidana seumur hidup
pada KUHP.
2). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 20/2001.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
mengatur ancaman pidana seumur hidup seperti pada Pasal 2 ayat1, Pasal 3, Pasal
15 dan Pasal 16. Pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
5
Pasal 15 undang-undang ini menyatakan bahwa percobaan, pembantuan atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana yang sama dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3. Dengan demikian maka
percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi merupakan delik yang selesai karena ancaman pidananya sama dengan
ancaman pidana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 yaitu pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda. Sanksi pidana dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juga berlaku bagi
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana
korupsi. Delik ini diatur pada Pasal 16 UU Tipikor.
Dalam Pasal 12 B ayat 2 diatur pula ancaman pidana seumur hidup mengenai
delik gratifikasi, menurut Pasal 12B ayat (2), bukan “gratifikasi’ nya, melainkan
perbuatan “menerima gratifikasi” itu. Pasal tersebut menyatakan bahwa pidana
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada Pasal 12 B ayat 2 khusus pidana
seumur hidup dirumuskan secara alternative dengan pidana penjara selama waktu
tertentu paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun).
6
3). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ancaman
pidana seumur hidup diantaranya terdapat pada Pasal 111 ayat 2, 112 ayat 2, 113
ayat 2, 114 (1 dan 2), 115 ayat (2), 116 ayat (2), 118 ayat 2, 119 ayat 2, 121 ayat
2, Pasal 132 dan 133. Pasal 111 ayat 2 menyatakan bahwa dalam hal perbuatan
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon,
pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda.
Ancaman pidana seumur hidup pada pasal tersebut menggunakan sistem
perumusan alternatif kumulasi, khusus pidana seumur hidup dialternatifkan
dengan pidana penjara waktu tertentu paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
banyak 20 (dua puluh) tahun. Pada Pasal 113 ayat 2 dinyatakan bahwa perbuatan
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar) ditambah 1/3 (sepertiga).
Dalam pasal tersebut pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana mati
tetapi juga dialternatifkan dan dikumulasikan dengan pidana penjara paling lama
20(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh
7
miliar). Ketentuan perumusan dengan sistem alternative kumulasi juga terdapat
pada Pasal 114 ayat 1 yang merumuskan ancaman pidana seumur hidup yaitu
“dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda”. Jelas
terlihat bahwa ancaman pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana
penjara waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun ditambah pidana denda.
Pasal 114 ayat 2 yang berkaitan dengan pidana seumur hidup menyatakan
bahwa “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda”. Ketentuan pada Pasal 132 tentang percobaan dan permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut termasuk yang diancam
dengan pidana seumur hidup maka dipidana dengan pidana sesuai ketentuan
dalam Pasal yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan dan
permufakatan jahat dalam undang-undang ini merupakan delik yang dianggap
selesai dan merupakan suatu tindak pidana yang ancaman pidananya sama dengan
ancaman pidana yang diancamkan bagi pelakunya.
4). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun2003.
Perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terdapat pada Pasal
8
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. Pasal 6 menyatakan
bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Melihat ketentuan Pasal diatas ancaman pidana seumur hidup dirumuskan
dengan sistem alternative, yaitu dengan pidana mati atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Selanjutnya Pasal
7 menyatakan ancaman pidana seumur selengkapnya berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, sistem perumusan pidana yang
digunakan adalah dengan sistem tunggal, terlihat bahwa hanya terdapat satu
ancaman pidana yaitu pidana seumur hidup saja. Kelemahan dari sistem
9
tunggal salah satunya adalah hakim akan merasa kesulitan menentukan pidana
yang tepat untuk dijatuhkan pada pelaku, sebab dalam kondisi seperti ini hakim
hanya dihadapkan pada satu jenis ancama pidana. Padahal diketahui bahwa
dalam KUHP tidak ditemukan dan tidak diatur mengenai perumusan tunggal
untuk pidana mati dan pidana seumur hidup. Salah satu pertimbanganya adalah
pidana seumur hidup merupakan pidana terberat satu tingkat setelah pidana
mati. Pembuat undang-undang tidak mencantumkan alasan mengapa sanksi
pidana pada pasal 7 Undang-Undang Teroris ini hanya memuat ancaman
pidana seumur hidup secara tunggal.
Selain perumusan tunggal, terdapat sistem alternative yaitu Pasal 9 yang
merumuskan “dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun”. Ancaman pidana seumur hidup lainnya juga terdapat pada Pasal 14
yaitu: Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain
untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Pasal 15 menyatakan bahwa
setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan
untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
10
Dalam ketentuan tersebut menunjukkan bahwa permufakatan jahat,
percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme
dianggap sebagai delik yang telah selesai karena ancaman pidananya sama
dengan pidana yang diancamkan terhadap pelakunya. Ancaman pidana pada
Pasal 15 juga berlaku bagi tindak pidana pada Pasal 16 Undang-Undang
Teroris. Dari ketentuan pada pasal-pasal yang memuat ancaman pidana seumur
hidup pada undang-undang tersebut, menunjukkan bahwa sebagian besar
ancaman pidana seumur hidup dirumuskan secara alternatif.
Ketentuan ini tentu saja sama dengan sistem perumusan pidana yang terdapat
pada KUHP. Ancaman pidana seumur hidup juga berlaku pada Pasal 17 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun2003 tentang tindak pidana terorisme.
2. Gambaran Tentang Penerapan Pidana Seumur Hidup Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang
Sebagai bahan analisis yang menjadi unit amatan penulisan ini disajikan tabel
narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane guna
memberikan gambaran dalam mengkaji Keputusan Menteri terkait kebijakan
remisi sebagai upaya menunjang tujuan pemasyarakatan bagi narapidana seumur
hidup khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang
sebagai berikut:1
Tabel 3.2. 1 Data yang diperoleh penulis dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Semarang atas ijin Kementerian Hukum dan Ham Kantor Wilayah Jawa Tengah pada tanggal 12 November 2012.
11
Daftar nama narapidana seumur hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Semarang Tahun 2012 No. Nama/umur Ditahan
sejak Perkara/Pasal
Nomor/putusan pengadilan
1. 2. 3. 4. 5.
Suranto Abdul Ghoni/35 th Sarjiyo/ 32 th Rony Wijaya/32 th Ruslan Abdul Gani/23 th Agus Santoso/28 th
26 April 2003 26 April 2003 22 Juni 2008 31 Agustus 2004 31 Agustus 2004
Teroris Teroris 365 KUHP 340 KUHP 340 KUHP
934K/Pid/2004 MARI 10 Maret 2004 1191 K/Pid/2004 MARI 10 Maret 2004 866/Pid/B/2008 PN.Semarang 04 Februari 2009 1329 k/Pid/2005 MARI 10 Oktober 2005 1327 K/Pid/2005 MARI 10 Oktober 2005
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Narapidana atas nama Suranto Abdul dikenai pidana seumur hidup karena
melakukan tindak pidana terorisme melalui Putusan Nomor 934K/Pid/2004
MARI tanggal 10 Maret 2004. Ghoni Sarjiyo dikenai pidana seumur hidup
karena melakukan tindak pidana terorisme yang ditegaskan dengan Putusan
Nomor 1191 K/Pid/2004 MARI tanggal 10 Maret 2004. Narapidana atas nama
Rony Wijaya dikenai pidana seumur hidup karena memenuhi Pasal 365 KUHP
tentang Pencurian yang ditegaskan dalam Putusan Nomor 866/Pid/B/2008 PN.
Semarang tanggal 4 Februari 2009. Ruslan Abdul Gani dikenai pidana seumur
12
hidup karena melakukan tindak pidana Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana, hal tersebut dikuatkan dengan Putusan Nomor 1329 k/Pid/2005 MARI
tanggal 10 Oktober 2005 dan narapidana atas nama Agus Santoso yang dipidana
seumur hidup karena melakukan tindak pidana Pasal 340 KUHP tentang
pembunuhan berencana dan dikuatkan dengan Putusan Nomor 1327 K/Pid/2005
MARI tanggal 10 Oktober 2005. Semua tindak pidana diatas tergolong dalam
tindak pidana berat. Tabel diatas, menunjukkan bahwa Kelima narapidana seumur
hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane Semarang sedang menjalani
pidana seumur hidup samapai dengan tahun 2012.
B. Analisis
1. Pidana Seumur Hidup Dari Perspektif Pokok-Pokok Tujuan Pemidanaan
Tindak pidana yang dipidana seumur hidup tergolong tindak pidana berat
seperti tindak pidana narkotika, terorisme, pembunuhan, maker, kejahatan
terhadap Negara dan lainnya sebagaiman telah dipaparka sebelumnya.
Penjatuhan sebuah pidana seyogianya mampu memberikan tujuan yang adil baik
dalam rangka perlindungan masyarakat maupun perlindungan individu. Pidana
seumur hidup ini mengantarkan Penulis pada penerapan tujuan pemidanaan yang
dapat dicapai melalui pidana seumur hidup saat ini. Tujuan pemidanaan berangkat
dari teori-teori pemidanaan sebelumnya seperti teori retributive atau teori absolut,
yang menyatakan bahwa pidana dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana sebagai
13
akibat dari tindak pidana yang dilakukan. Menurut pandangan teori ini pidana
mutlak diberikan bagi mereka yang telah melakukan kejahatan. Selanjutnya teori
teleologis atau relative, teori ini menyatakan bahwa pidana digunakan sebagai
sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan. Teori ini
dimaksudkan sebagai alat pencegahan baik secara umum maupun khusus.
Sedangkan teori retributivisme teleologis (gabungan) menganggap bahwa selain
sebagai konsekuensi yang harus diterima pelaku tindak pidana, pemidanaan juga
harus memberikan kemanfaatan baik melalui pencegahan secara umum maupun
pencegahan secara khusus.
a. Pidana Seumur Hidup Menurut Teori Retributif
Pidana seumur hidup dipandang dari tujuan pembalasan dalam teori ini
merupakan perwujudan yang nyata bahwa tindak pidana pencurian, teroris dan
pembunuhan sebagaimana merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi
pidana seumur hidup bagi pelakunya adalah konsekuensi yang harus diterima
narapidana. Pidana seumur hidup merupakan bentuk perampasan kemerdekaan
seseorang. Jika tujuan pidana adalah semata-mata untuk sarana pembalasan saja
maka tak ada ruang bebas bagi pelaku tindak pidana yang dipidana seumur hidup.
Dalam pandangan teori absolute, tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dari suatu
pemidanaan cenderung pada sifat pembalasan, bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana adalah wajib menerima sanksi atas perbuatannya
tersebut. Bertolak dari tujuan tersebut dalam kaitannya dengan pidana seumur
14
hidup, pidana seumur hidup merupakan konsekuensi yang mutlak diterima bagi
pelakunnya sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang
dilakukan. Menurut Penulis tujuan pemidanaan dari sudut teori absolute hanya
melihat satu aspek saja yaitu bahwa narapidana hanya dijadikan obyek dalam
penjatuhan pidana tanpa memandang bahwa selain obyek pidana, narapidana
adalah subyek dalam hukum pidana yang patut dihormati hak-haknya, sebab
dalam pandangan teori absolute pelaku tindak pidana adalah mutlak untuk
dipidana.
b. Pidana Seumur Hidup Menurut Teori Teleologis
Menurut pandangan teori ini, pemidanaan harus bertujuan untuk memberikan
kemanfaatan. Pidana dianggap sah apabila dapat memberikan manfaat yang lebih
baik. Pidana ditujukan sebagai sarana pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan secara umum, pidana seumur hidup yang dijatuhkan,setidak-tidaknya
memberikan perlindungan kepada masyarakat umum karena pelaku tindak pidana
dijauhkan dari lingkungan masyarakat. Dengan demikian dapat mengurangi
keresahan yang terjadi dalam masyarakat serta dapat memulihkan keadaan yang
sempat terganggu akibat tindak pidana yang ditimbulkan. Tindak pidana
pencurian, teroris dan pembunuhan sebagaimana merupakan tindak pidana yang
dapat dikenakan pidana seumur hidup memberikan gambaran bagi masyarakat
luas akan sangat besar resiko yang akan diterima bagi pelakunya. Oleh karena itu,
penjatuhan pidana seumur hidup memberikan gambaran bagi masyarakat luas
15
sebagai upaya mencegah masyarakat umumnya tidak melakukan tindak pidana.
Pencegahan secara khusus dimaksudkan agar pidana seumur hidup yang
dijatuhkan dapat memberikan pembelajaran bagi narapidana agar menginsyafi
perbuatannya dan menjadi lebih baik. Pencegahan secara khusus juga
dimaksudkan agar narapidana mampu menahan diri untuk tidak mengulangi
perbuatannya. Bertitik tolak dari tujuan pemidanaan sebagai pencegahan baik
secara umum dan khusus, pidana seumur hidup akan dianggap benar dijatuhkan
bagi para pelakunya, sepanjang dapat memberikan manfaat baik bagi masyarakat
maupun diri pelaku tindak pidana tersebut.
c. Pidana Seumur Hidup Dari Sudut Pandang Teori Retributivisme
Teleologis
Tujuan pidana dalam teori ini adalah gabungan antara unsur dalam teori
absolute (pembalasan) dan unsur dalam teori teleologis/ relatif (kemanfaatan).
Teori gabungan ini menjadi landasan pemidanaan yang ada di Indonesia saat ini
karena dinilai lebih efektif dari teori-teori sebelumnya. Pidana seumur hidup
yang dijatuhkan terhadap narapidana seumur hidup jika dilihat dari sudut pandang
teori ini, menurut Penulis perlu dilihat terlebih dahulu sejauh apa kemanfaatan
yang bisa dirasakan bagi penjatuhan pidana seumur hidup. Tujuan pidana dari
penjatuhan pidana seumur hidup terhadap pelaku tindak pidana dalam hal ini
narapidana seumur hidup, harus dapat memberikan manfaat nyata yang dapat
diterima narapidana sebagai implementasi dari unsur kemanfaatan yang ada
16
dalam teori gabungan. Manfaat tersebut tidak cukup hanya dengan pembinaan dan
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan , tetapi juga manfaat
lain khususnya manfaat yang menjadi harapan terbesar dari suatu pidana
khususnya pidana seumur hidup yaitu pelaksanaan resosialisasi atau kembali ke
dalam masyarakat lagi. Tujuan pemidanaan dalam teori gabungan ini ingin
menunjukkan bahwa pemidanaan tidak saja sebagai unsure pembalasan seperti
pada teori relative, tetapi harus memberikan perlindungan baik bagi masyarakat
maupun individu dalam hal ini pelaku tindak pidana, sebab pada prinsipnya teori
ini adalah pembaharuan dari teori-teori pemidanaan sebelumnya yang berusaha
ingin memandang bahwa pidana dijatuhkan tidak semata-mata untuk pembalasan.
Dengan dipidananya seorang pelaku tindak pidana dengan pidana seumur
hidup, menurut Penulis cenderung hanya diorientasikan pada aspek perlindungan
masyarakat yaitu pencegahan secara umum dengan mengabaikan aspek
perlindungan individu yaitu pencegahan khusus, disatu sisi masyarakat merasa
terhindar dari pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana
namun disis lain pelaku tindak pidana yang menjalani pidana seumur hidup ini
jelas harus menghabiskan hidupnya dengan menjalani pidana di sebuah lembaga
pemasyarakatan. Kenyataan yang demikian memperjelas bahwa pidana
dijatuhkan dengan mengabaikan kepentingan individu yaitu pelaku tindak pidana.
Tujuan pemidanaan yang ingin dicapai tidak hanya terbatas pada salah satu aspek
17
dan mengabaikan aspek lainnya melainkan harus dapat terpenuhi secara seimbang
baik itu dari aspek perlindungan masyarakat maupun perlindungan individu.
Dengan demikian tujuan pemidanaan yang terkandung dalam teori teleologis
relative ini pada dasarnya ingin menunjukkan dua aspek penting yang menjadi
tujuan utama suatu pemidanaan yaitu pemidanaan harus mampu menunjang aspek
perlindungan masyarakat, dan aspek perlindungan individu. Penulis beranggapan
bahwa penjatuhan pidana seumur hidup ini cenderung mengabaikan salah satu
aspek perlindungan yang menjadi tujuan utama dari pemidanaan pada teori
gabungan yaitu aspek perlindungan individu, karena narapidana seumur hidup ini
harus kehilangan kesempatannya berperan aktif dalam kapasitasnya sebagai
subyek hokum. Oleh karena itu Penulis menganggap bahwa pidana seumur hidup
ini tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan.
1. Pidana Seumur Hidup Dari Perspektif Tujuan Pemasyarakatan
a. Pidana Seumur Hidup Menurut Tujuan Resosialisasi
18
Dalam pandangan teoretis konsep pemasyarakatan pada dasarnya merupakan
konsep resosialisasi dalam arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali
para narapidana sehingga menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. Dari
pandangan teoretis tersebut maka diperoleh pengertian bahwa sebenarnya
pemasyarakatan ini bertujuan untuk dapat memasyarakatkan kembali setiap
narapidana yang dipidana. Terkait dengan pidana penjara seumur hidup, maka
tujuan dari pemasyarakatan ini menurut Penulis juga berlaku bagi narapidana
seumur hidup. Penulis menganggap bahwa narapidana seumur hidup juga
manusia yang tidak hanya dijadikan obyek pemidanaan melainkan juga sebagai
subyek dalam tata kehidupan hukum yang berlaku. Artinya narapidana seumur
hidup tidak dapat begitu saja dipandang sebagai orang yang harus kehilangan
haknya karena harus menjalani pidana seumur hidupnya.
Pada dasarnya konsep pemasyarakatan yang bertujuan untuk
memasyarakatkan kembali narapidana dibangun dengan pemikiran yang lebih
manusiawi guna menggantikan prinsip kepenjaraan sebelumnya. Pemikiran ini
yang kemudian menjadi asas dari pelaksanaan pemasyarakatan. Pelaksanaan
pemasyarakatan diantaranya harus berasaskan pengayoman, yaitu perlakuan
terhadap narapidana dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan
diulanginya tindakan pidana oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup
kepada narapidana agar menjadi warga yang berguna. Asas penghormatan harkat
dan martabat, yang berarti bahwa sebagai orang yang tersesat narapidana harus
diperlakukan sebagai manusia dan juga asas kehilangan kemerdekaan merupakan
19
satu-satunya penderitaan, yang dimaksud kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan adalah narapidana harus berada dalam lembaga
pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga Negara mempunyai
kesempatan untuk memperhatikannya.
Bertitik tolak dari asas dalam pelaksanaan pemasyarakatan tersebut, pidana
seumur hidup dalam pengertiannya merupakan bentuk perampasan “kemerdekaan
seseorang”. Narapidana yang dipidana seumur hidup harus menjalani pidana
sepanjang sisa hidupnya dalam sebuah lembaga pemasyarakatan. Hal ini
membuat narapidana pidana seumur hidup kehilangan kesempatannya kembali ke
tengah-tengah masyarakat. Dalam melaksanakan pemasyarakatan ada 3 (tiga) hal
penting yang terlebih dahulu harus dipahami yaitu:
a. Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat
pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan.
b. Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan
di luar lembaga (intramural dan extramural).
c. Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para petugas
pemasyarakatan pada narapidana dan anak didik pemasyarakatan serta
masyarakat umum.
Berangkat dari pemahaman tentang pelaksanaan pemasyarakatan diatas maka
dapat diketahui bahwa proses pemasyarakatan yang ada diatur dan dikelola
dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan
penjaraan,sedangkan pidana seumur ini cenderung bersifat sebagai pembalasan
20
terhadap narapidana. Pelaksanaan proses pemasyarakatan mencakup pembinaan
narapidana di dalam dan di luar lembaga. Narapidana yang dipidana seumur
hidup tetap memperoleh pembinaan di dalam dan diluar lembaga karena system
kepenjaraan saat ini sudah meninggalkan pola atau falsafah pemidanaan dengan
system kepenjaraan, dan menuju system pembinaan bagi narapidana.
Dalam melaksanakan proses pemasyarakatan diperlukan partisipasi,
keterpadan dari petugas pemasyarakatan, narapidana serta masyarakat umum.
Artinya bahwa selama proses pemasyarakatan berlangsung diharapkan adanya
sinkronisasi dan harmonisasi dari ketiga subyek tersebut agar terjadi pelaksanaan
pemasyarakatan yang baik. Petugas pemasyarakatan harus dapat memberikan
pembinaan dan pelayanan tanpa membeda-bedakan narapidana, masyarakat
umum pun diharapkan memberikan pandangan yang positif terhadap narapidana
dan mampu menyadari bahwa narapidana adalah seseorang yang sedang butuh
dibina menjadi lebih baik. Proses pemasyarakatan merupakan suatu prosesbyang
tidak hanya terfokus kepada proses resosialisasi saja.
Dalam pandangan Penulis tujuan dari pembinaan dalam lembaga
pemasyarakatan merupakan bentuk implementasi dari beberapa teori pemidanaan
seperti melindungi kepentingan masyarakat, sarana pencegahan agar pelaku tidak
mengulangi tindak pidananya dan tujuan utama dari pemasyarakatan itu sendiri
yaitu memasyarakatkan pelaku tindak pidana hingga menjadi anggota masyarakat
yang baik. Bertitik tolak dari tujuan pemasyarakatan yaitu ssebagai proses
resosialisasi bagi narapidana, penerapan pidana seumur hidup menjadi suatu
21
bentuk pemidanaan yang tidak sejalan dengan konsep pemasyarakatan, karena
pidana seumur hidup pada prinsipnya adalah pidana yang harusn dijalani oleh
narapidana untuk waktu yang tidak bisa ditentukan yaitu selama sisa hidup
narapidana.
Dengan demikian pidana seumur hidup menurut Penulis tidak sesuai dengan
tujuan pemasyarakatan yang hendak dicapai dari proses pembinaan dalam
lembaga pemasyarakatan yaitu memasyarakatkan narapidana ke dalam
masyarakat kembali atau proses resosialisasi.
3. Pidana Seumur Hidup Ditinjau Dari Penerapan Kebijakan Remisi Pada
Narapidana Seumur Hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Kedung Pane Semarang
Seperti telah diketahui bahwa pemidanaan dengan sistem pemasyarakatan
bertujuan untuk melaksanakan proses resosialisasi atau memasyarakatkan kembali
narapidana yang telah menjalani pidana di suatu lembaga pemasyarakatan. Guna
menunjang tujuan pemasyarakatan bagi pidana seumur hidup, maka diatur
kebijakan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara, sehingga
pencapaian tujuan memasyarakatkan kemabli narapidana juga berlaku bagi
narapidana yang dipidana seumur hidup. Kebijakan remisi diatur dalam Pasal 9
Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi dan pelaksanaanya
diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.03-PS.01.04 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang
Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
22
Sebagai bahan analisis pidana seumur hidup dari perspektif tujuan
pemasyarakatan dilihat dengan merujuk pada data yang telah dipaparkan dalam
hasil penelitian terkait tentang narapidana seumur hidup di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang melalui kebijakan remisi dari
pidana seumur hidup menjadi pidana sementara.
Pada pada tabel 3.2 hasil penelitian daiatas, menunjukkan bahwa Kelima
narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane
Semarang tahun 2012 merupakan narapidana yang sedang menjalani pidana
seumur hidup. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Farida, salah satu pegawai
bagian Bimpas Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane Semarang tanggal 12
November 2012. Dirinya mengatakan bahwa kelima narapidana tersebut sampai
dengan tahun 2012 masih berstatus narapidana seumur hidup karena belum
memenuhi persyaratan mengajukan permohonan remisi menjadi pidana sementara
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomo 174 tentang Remisi dan
juga peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan
HAM Nomor M-03.PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Remisi
Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara
Sementara. Surat pengajuan permohonan remisi dibuat oleh narapidana yang
bersangkutan atau pihak lain selaku kuasa narapidana.
Surat permohonana ditujukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan
HAM sebagaimana diatur dalam Keputusana Menteri diatas. Penjatuhan pidana
23
seumur hidup kepada kelima narapidana seperti pada tabel 3.2, menurut Penulis
merupakan salah satu bentuk sarana pengimbalan atau pembalasan dari suatu
tindak pidana. Kelima narapidana akan menerima sanksi atas tindak pidana yang
mereka lakukan. Merujuk pada syarat pertama pengajuan permohonan remisi
yaitu telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun maka dari data pada
table 3.2 diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: Narapidana masing-
masing bernama Suranto Abdul Goni dan Sarjiyo yang ditahan sejak April tahun
2003 atas tindak pidana terorisme, sampai dengan tahun 2012 mereka telah
menjalani masa pidana selama 9 (Sembilan) tahun, kemudian Ruslan Abdul Gani
dan Agus Santoso yang ditahan sejak Agustus tahun 2004 atas tindak pidana
pembunuhan (Pasal 340) KUHP sampai dengan tahun 2012 mereka telah
menjalani masa pidana selama 8 (delapan) tahun.
Selanjutnya untuk narapidana bernama Roni Wijaya yang ditahan sejak Juni
2008 atas tindak pidana pencurian (Pasal 365) sampai tahun 2012 baru menjalani
pidana kurang lebih 4 (empat) tahun atau belum memenuhi persyaratan minimal
menjalani pidana. Dari 5 (lima) narapidana seumur hidup di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang, empat diantaranya telah
memenuhi syarat minimal menjalani pidana sesuai ketentuan perundang-
undangan yaitu minimal 5 (lima) tahun.
Selain syarat minimal menjalani pidana syarat lain yang harus dipenuhi adalah
telah berkelakuan baik sejak penahanan. Narapidana dapat mengajukan
permohonan remisi menjadi pidana sementara paling lambat 4 (empat) bulan
24
sebelum tanggal 17 Agustus tahun yang berjalan. Surat permohonan tersebut
ditujukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM sesuai dengan tata
cara pengajuan permohonan remisi pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Nomor M.03-PS.01.04 Tahun 2000 yang telah disebutkan sebelumnya.
Dalam hal permohonan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana
sementara dikabulkan, maka untuk selanjutnya narapidana berhak mengajukan
remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun
1999 tentang Remisi. Kebijakan remisi bagi pidana seumur hidup tentu dapat
menjadi harapan bagi setiap narapidana yang dipidana seumur hidup untuk
nantinya dapat kembali ke masyarakat. Merujuk pada narapidana seumur hidup di
Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane tersebut, keempat narapidana sampai
dengan tahun 2012 masih berstatus narapidana yang sedang menjalani pidana
seumur hidup.
Menurut keterangan salah satu pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Kedung Pane, keempat narapidana tersebut belum dapat mengajukan permohonan
remisi karena persyaratan permohonan dan data-data pendukung dari narapidana
belum memenuhi persyaratan. Selain telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima
tahun), narapidana harus telah berkelakuan baik, selama menjalani pidana
minimal 5 (lima) tahun. Berkelakuan baik ini masuk dalam daftar F yang memuat
pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama minimal 5 (lima) tahun.
Namun sampai tahun 2012 keempat narapidana masih menjalani pidana semur
25
hidup. Salinan daftar F bagi keempat narapidana belum terpenuhi sebagai syarat
mengajukan permohonan remisi menjadi pidana penjara sementara.
Penulis memandang bahwa meskipun kebijakan mengenai remisi juga berlaku
bagi pidana seumur hidup untuk dapat pengurangan pidana menjadi pidana
sementara, namun pelaksanaan remisi tersebut sangat selektif dan terbatas.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan remisi
bagi narapidana seumur hidup seperti pada Keputusan Menteri terkait, belum
mampu menunjang pelaksanaan remisi bagi narapidana seumur hidup. Kebijakan
remisi bagi pidana seumur hidup dimaksudkan agar narapidana seumur hidup
dapat dimasyarakatkan kembali dan berperan serta dalam masyarakat sehingga
mampu menunjang tujuan pemasyarakatan yang hendak dicapai yaitu
pelaksanaan resosialisasi.
Namun dalam kenyataannya remisi yang ada belum mampu mengurangi
ketajaman sifat pembalasan dari pidana seumur hidup ini. Untuk dapat
memperoleh remisi syarat dan tata cara yang harus dipenuhi narapidana seumur
hidup sangat selektif dan terbatas, tidak ada jaminan apabila mengajukan remisi
pasti akan dikabulkan.
Oleh karena itu menurut Penulis kebijakan pidana seumur hidup sejatinya
tidak sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Di satu sisi pemasyarakatan bertujuan
untuk memasyarakatkan kembali narapidana, namun disisi lain narapidana
seumur hidup mengalami kesulitan untuk dapat dimasyarakatkan kembali terlebih
26
jika permohonan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara
ditolak. Narapidana harus kehilangan haknya untuk kembali ke masyarakat.
Menurut pandangan Penulis kemungkinan kecil memperoleh remisi bagi
narapidana seumur hidup diantaranya disebabkan oleh beberapa alasan seperti:
1. Belum terpenuhinya syarat-syarat untuk dapat memperoleh pengurangan masa
pidana (remisi) yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani pidana paling
singkat 5 (lima) tahun.
2. Tidak ada jaminan apabila mengajukan permohonan remisi dari pidana
seumur hidup menjadi pidana sementara pasti akan dikabulkan.
3. Masih menimbulkan kekhawatiran atau keresahan dalam masyarakat. Yang
dimaksud menimbulkan kekhawatiran atau keresahan dalam masyarakat
adalah, narapidana dikhawatirkan akan melakukan atau mengulangi tindak
pidana lagi yang dapat merugikan masyarakat setelah bebas nanti.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kecilnya
kemungkinan memperoleh remisi bagi narapidana seumur hidup, menurut Penulis
juga dimaksudkan agar selama dalam proses pembinaan di lembaga
pemasyarakatan, narapidana ini benar-benar dibina dan dididik untuk menjadi
manusia yang nantinya dapat berperan serta dalam masyarakat setelah bebas.
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas Penulis menyimpulkan bahwa pidana
seumur hidup yang merujuk pada narapidana seumur hidup di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang belum dapat menunjukkan
adanya keberhasilan remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri terkait
27
serta perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang remisi bagi pidana
seumur hidup. Remisi ini merupakan hak yang bagi setiap narapidana selama
dalam lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu bentuk upaya mewujudkan
tujuan pemasyarakatan yaitu proses resosialisasi. Disatu sisi pemasyarakatan
bertujuan untuk memasyarakatkan kembali narapidana,(resosialisasi) namun disisi
lain penjatuhan pidana seumur hidup yang diterapkan saat ini menutup
kemungkinan narapidana untuk melakukan resosialisasi.
Salah satu upaya mewujudkan resosialisasi melalui remisi bagi narapidana
seumur hidup sangat selektif dan terbatas, mengingat langkah yang harus
ditempuh narapidana seumur hidup guna memperoleh remisi harus melalui
tahapan yang panjang yaitu bermula dari narapidana yang bersangkutan hingga
kepada Presiden. Remisi yang dimohonkan bagi narapidana seumur hidup juga
tidak ada jaminan bahwa permohonan remisi menjadi pidana sementara pasti akan
dikabulkan. Oleh karena itu menurut pandangan Penulis penerapan kebijakan
remisi dalam peraturan perundang-undangan yang salah satunya diatur dalam
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M-03.PS.01.04 Tahun 2000
dengan merujuk pada narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I Kedung Pane Semarang dapat memberikan gambaran bahwa pelaksanaan
remisi bagi narapidana seumur hidup khususnya pada keempat narapidana seumur
hidup diatas, sangat selektif dan terbatas.