Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB III
IDENTIFIKASI DATA
A. Data Objek Perancangan
1. Sejarah Solo Creative City Network
Solo Creative City Network atau SCCN adalah program yang dibentuk oleh
tim dosier penggagas kota kreatif untuk Solo untuk mendapat inisiasi dari
UNESCO menjadi salah satu dari sekian banyak kota kreatif di dunia yang sudah
resmi dinobatkan.
Dimulai dengan pengajuan konsep SCCN pada sosialisasi oleh Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui Direktorat Pengembangan Zona Kreatif
tanggal 8-9 November 2012. Kemudian pada tanggal 21 November 2012
dilanjutkan dengan workshop pengisian dosier dengan permulaan ini dapat
menjadi batu loncatan untuk membangun kota Solo secara lebih kreatif, sesuai
pola kebijakan pemerintah kota yang telah ada.
SCCN dibentuk oleh komunitas kreatif Solo creative city yaitu pelaku di
bidangnya maupun insan-insan yang peduli atau memilki atensi dengan
keprofesian di bidang kreatif. SCCN yang bersifat network / jaringan yang
merupakan gabungan dan juga menghubungkan lintas komunitas, pemerintah
yaitu Badan Ekonomi Kreatif (BEK) dan Badan Pembangunan Daerah (Bappeda),
dinas pariwisata, swasta yaitu Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN),
akademisi, dan media (empat unsur yang membentuk quadro-helix). Pada
2
perkembangannya hingga sekarang memiliki 16 sub sektor sesuai dengan
cakupan aspek pengembangan dengan kepengurusan yang berdiri sendiri /
terpisah seuai bidangnya.
Program SCCN secara makro melakukan pendampingan / advokasi
pengembangan ekonomi kreatif melaui pemerintah kota (BAPPEDA), melakukan
pemetaan potensi kreatif kota, menyusun blue print pengembangan ekonomi
kreatif kota, menyusun RAD yang berisi rekomendasi teknis yang merupakan
bagian dari materi walikota dalam menyusun menerapkan kebijakan
pembangunan yang mencakup lintas SKPD. Sehingga program kerja atau grand
strategy SCCN. melakukan perencanaan yang secara tidak langsung memotret
dan mengolah bersama pemerintah lalu membuat kebijakan yang bisa diterapkan
oleh pemerintah. Sedangkan program yang langsung ke masyarakat yang telah
dilakukan contohnya konferensi tentang kota kreatif Indonesia Creative City
Conference (ICCC) dan Solopolah.
SCCN diposisikan untuk mewakili kota solo khususnya komunitas dalam
forum kreatif yang bersifat nasional maupun internasional. Sementara sasaran
untuk program ini adalah masyarakat kota Solo dengan fungsi ikut memdinamisir
pergerakan kreatif di kota solo dengan melibatkan unsur quadro-helix serta
menjalin kerjasama melalui Memorandum of Understanding (MoU).
Dengan adanya program ini diharapkan masyarakat khususnya di kota Solo
memiliki mindset kreatif atau menjadikan kreatif sebagai alat untuk
meningkatkan daya saing dan value. (Sumber : wawancara dengan Irfan Soetikno
Kasubbid SCCN)
3
2. Struktur Organisasi Solo Creative City Network
Gambar 7. bagan konsep struktur organisasi SCCN
Sumber : dokumen dosier SCCN
Gambar 8. bagan Board of executive SCCN
Sumber : dokumen dosier SCCN
4
3. Promosi yang pernah dilakukan
Solo Creative City Network telah menyelenggarakan konferensi tingkat
internasional yaitu Indonesia Creative City Conference (ICCC) yang
diprogramkan untuk mengkaji sekaligus memperkenalkan kepada masyarakat
Solo sebagai kota kreatif.
Untuk identitas visual, SCCN menggunakan logo yang pernah dibuat seperti
pada gambar di bawah. Logo ini dirancang oleh board of executive dan telah
banyak digunakan pada acara yang didukung maupun yang diikuti oleh SCCN.
Gambar 9. Logo Solo Creative City Network
Sejatinya karena SCCN berdiri sebagai wadah komunitas yang
menjembatani antara quadro-helix dan bukan merupakan badan korporasi /
instansi, maka belum ada material promosi yang khusus dibuat untuk
memperkenalkan mengenai SCCN sendiri ke masyarakat. Bentuk media
pendukung promosi yang pernah ada dibuat dalam rangka mempromosikan acara
atau program langsung ke masyarakat seperti ICCC karena program SCCN tidak
bertujuan untuk diperkenalkan secara esensial kepada masyarakat umum.
5
Gambar 10. Baliho acara ICCC sebagai salah satu bentuk promosi program
SCCN
Sumber : dokumentasi ICCC 2015 di Surakarta
4. Pelaku Kreatif yang Tergabung dalam Solo Creative City Network
Solo Creative City Network yang secara khusus dibentuk untuk menyatukan
berbagai unit di wilayah kantong kesenian baik itu dari instansi pemerintah
maupun swasta, komersil maupun non-komersil memiliki pembagian sebagai
berikut: pemerintah lewat BEK (Badan Ekonomi Kreatif) di Dinas Pariwisata
6
Kota Surakarta dan Bappeda Solo, swasta yang meliputi KADIN dan Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Komunitas (Red Batik Solo, Asosiasi
Desainer Grafis Indonesia Regional Solo (ADGI Solo), Rempah Rumah Karya,
Paadepokan Lemah Putih, dll), Seni Pertunjukan (SBC, Solo Kampung Art,
Festival Dolanan Bocah, Festival Jenang Solo, Solo International Performing Art,
Festival Film Solo, Wayang Orang Sriwedari, Solo International Ethnic Music,
dsb), dan UKM / craft (Mataya Arts & Heritage, Industri Gamelan Wirun,
Kampung Batik Laweyan, Jenang Laweyan, Kampung Batik Kauman, Seni
Liping Jopa Japu, dll).
Pada dasarnya karena SCCN dibangun dan merupakan wadah yang
memfasilitasi ataupun menjadi jembatan penghubung antara pelaku industri
kreatif secara kolektif dengan masyarakat, maka tugas SCCN terbatas sebagai
konektor dan membuat jaringan antar pelaku industri kreatif baik itu di komunitas,
UMKM maupun seni pertunjukan. Hal ini membuat SCCN dapat mendukung
semua pergerakan kreatif di kota Solo, sehingga tidak ada pendataan yang
spesifik untuk kolektif pelaku kreatif yang tergabung di dalamnya dikarenakan
tidak terhitung jumlahnya dan kemungkinan akan terus bertambah seiring
berjalannya program SCCN.
7
B. Target Market & Target Audience
Segmentasi pembagiannya :
a. Geografi : Solo dan sekitar
b. Demografi
1) usia : 17-60 tahun
2) jenis kelamin : laki-laki dan perempuan
3) agama : semua agama
4) sosial ekonomi : semua lapisan masyarakat
c. Psikografi : semua orang yang mengunjungi tempat wisata, dan
pengguna fasilitas umum di kota Solo
d. Segmentasi Perilaku (behavior segmentations) : pengunjung atau
pengamat event yang berkaitan dengan industri kreatif di Solo, praktisi
industri kreatif, pelaku bisnis / pengusaha / investor / stakeholder yang
berminat terhadap khususnya UKM industri kreatif, masyarakat
Indonesia maupun asing yang berminat terhadap perkembangan industri
kreatif di Solo lewat SCCN.
Berdasarkan status maupun tingkat penggunaan : baik bagi awam yang
belum mengenal SCCN maupun yang sudah tahu atau pernah mengenal
program ini.
8
C. Instansi / Lembaga Terkait
Sebagai salah satu bentuk promosi kepariwisataan Solo khususnya di bidang
ekonomi kreatif, SCCN didukung penuh oleh instansi dan dinas pemerintah kota
Surakarta. Berbagai instansi mulai dari HIPMI dan komunitas atau lebih tepatnya
kelompok penggiat acara-acara SCCN yang terhimpun dari berbagai komunitas
dan UKM kota Solo dalam SoloPolah.
Baik Pemkot Surakarta lewat Badan Ekonomi Kreatif (BEK) maupun
SoloPolah mendukung dan membantu kegiatan SCCN, hal ini sudah dibuktikan
dengan program acara yang pernah diselenggarakan oleh SCCN yaitu ICCC di
Kota Solo pada 23-25 Oktober 2015 lalu yang merupakan salah satu acara
terpenting bagi SCCN. SoloPolah ikut menyukseskan acara ini dengan mengurus
penyelenggaraan acara dari awal hingga akhir. Melihat dari bentuk dukungan
lewat salah satu acara SCCN ini maka penulis mengambil BEK dan SoloPolah
sebagai sponsor untuk perancangan bentuk promosi SCCN ini sehingga
diharapkan ke depannya perancangan promosi mengenai SCCN dapat
direalisasikan.
D. Komparasi
Kota kreatif yang telah atau sedang menggarap program yang serupa dengan
SCCN ataupun yang sudah melakukan city branding dengan baik contohnya:
Bandung, dan Yogyakarta. Ini dapat dijadikan kompetitor / pembanding bagi
9
SCCN dalam penyusunan identitas visual dan bentuk promosi berkaitan dengan
penelitian ini.
1. Studi Kasus Kota Bandung sebagai salah satu kota kreatif
a. Kota Bandung yang telah diresmikan oleh UNESCO sebagai kota kreatif
Kota Bandung disebut juga dengan Paris van Java perkembangan industri
kreatif juga mencakup industri kuliner, tempat hiburan, serta kerajinan tangan.
Contohnya ekonomi kreatif yang sangat berkembang di Bandung adalah factory
outlet (FO).
Bandung adalah salah satu kota yang cukup kondusif untuk
mengembangkan industri kreatif. Masyarakat kota Bandung yang toleran
terhadap ide-ide baru dan menghargai kebebasan individu menjadi modal
utama Bandung dalam pengembangan industri kreatif. Selain itu kota Bandung
merupakan tempat yang sangat potensial untuk mensinergikan dan
mengkolaborasikan perguruan tinggi, pelaku bisnis, masyarakat, pemerintah dan
media dalam rangka menciptakan kultur ekonomi kreatif. Sejauh ini, subsektor
industri kreatif yang dapat dijadikan unggulan kota Bandung diantaranya yaitu
musik, fashion, seni, desain, arsitektur, IT dan makanan (kuliner).
b. Perkembangan aspek kreatif melalui forum dan komunitas
Masyarakat Bandung khususnya pelaku industri kreatif maupun komunitas
yang sadar akan pariwisata kreatif didukung oleh pemerintah membangun
menjadi kota yang sadar akan estetika juga kenyamanan kota. Beberapa upaya
10
yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung dalam pengembangan Industri Kreatif
antara lain :
- Memfasilitasi pertemuan dengan komunitas kreatif, antara lain Bandung
Creative City Forum (BCCF), Common Room maupun stakeholder lainnya.
- Memfasilitasi terselenggaranya Helar Fest yang merupakan salah satu
program yang dikembangkan oleh BCCF sebagai bagian dari strategi jangka
panjang pengembangan platform ekonomi kreatif yang berkelanjutan di kota
Bandung.
(Sumber: Persentasi Pemda Bandung dalam PPKI 2009)
Komunitas aktif terkait industri kreatif di Bandung antara lain; Bandung
Creative City Forum; Simpul Space; Common Room Network Foundation;
LINKART (Forum Apresiasi Budaya), dan DEATHROCKSTAR.
c. Bentuk Promosi Kota Kreatif di Bandung
Pada implementasinya Bandung sudah melakukan promosi di bidang kota
kreatif seperti: adanya forum yang mewadahi/mengelola kota kreatif yaitu BCCF;
promosi kepariwisataan lewat gelaran festival tahunan/musiman-art
performance-dll (contoh. Helar Fest, Festival Kuliner Taman Ganesha, dll);
berbagai studi maupun seminar/workshop/event yang diselenggarakan khusus
bidang kreatif. Bandung sama halnya dengan Solo mendapat pengakuan kota
kreatif di bidang desain, merespon dari predikat itu aktivis maupun pelaku
industri kreatif di kota ini melakukan berbagai bentuk promosi dan pembentukan
citra Bandung sebagai kota kreatif.
11
1) (dot) bdg
Diakomodasi oleh Bandung Creative City Forum (BCCF) jenis subsektor
industri kreatif setuju untuk memproduksi sebuah identitas, yang mampu
menyatukan pemangku kepentingan kreatif Bandung menjadi kota kreatif.
Identitas visual dinyatakan dalam karakter huruf-tipografi (dot) .bdg. Bingkai
tipografi ini bisa diisi dengan pola atau warna, tergantung pada karakteristik
masing-masing pelaku ekonomi kreatif. Tipografi ini sangat mudah diingat dan
menarik. Komunitas kreatif dan stakeholder mendukung visi 'Bandung Emerging
Creative City' dengan menggabungkan kegiatan mereka dengan (dot)
identitas .bdg, seperti helarfest.bdg, tourism.bdg, invest.bdg dan sebagainya.
Identitas yang unik ini menjadi merek yang menyatukan kota, untuk sebuah ide
milik rakyat dan diproduksi secara kolektif di tempat yang mendefinisikan
Bandung. (dot) bdg ini menjadi simbol kota Bandung yang placement-nya sudah
dapat kita temukan di beberapa sudut kota.
Gambar 11. desain identitas (dot) bdg dan media placement-nya
12
2) Friendly Bandung
Friendly Bandung dibuat pada tahun 2014 oleh seorang kurator DGi Andi
Rahmat dan Tim dari Nusae Studio yang ditujukan kepada Pemerintah Kota
Bandung.
Gambar 12. desain identitas friendly Bandung
2. Studi Kasus Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota kreatif
Selain Bandung penulis mengambil data komparasi dari kota Yogyakarta.
Yogyakarta termasuk salah satu kota kreatif di bidang Craft and Folk Art yang
diajukan oleh Kemenparekraf. Kota Yogyakarta cocok untuk dijadikan contoh
pembanding terkait pengembangannya di bidang kota kreatif karena sudah pernah
melakukan rebranding.
a. Kota Yogyakarta sebagai kota kreatif
Setelah dipersiapkan sejak tahun 2012, Yogyakarta akhirnya resmi
13
diusulkan sebagai kandidat Kota Kreatif UNESCO. Pengajuan yang dilakukan
oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bertujuan agar Yogyakarta
mendapat pengakuan internasional secara lebih luas sebagai kota yang memiliki
keunggulan dalam bidang seni, budaya dan industri kreatif.
b. Bentuk Promosi di Yogyakarta
Pemerintah daerah DIY mengganti branding ”Jogja Never Ending Asia”
yang dipakai sejak tahun 2001. Rebranding dilakukan untuk menyesuaikan
dengan keadaan masa kini. Dengan brand Jogja Istimewa diharapkan dapat
menonjolkan ciri khas Yogyakarta dengan karakter keistimewaannya. Proses
rebranding awalnya dilakukan bersama perusahaan pemasaran Markplus Inc.
yang dipimpin Hermawan Kartajaya. Namun, logo yang dihasilkan dikritik
banyak pihak sehingga dibentuklah Tim11 yang menggantikan untuk melakukan
rework.
Proses kurasi dan rework mewakili berbagai elemen masyarakat yang
kompeten. Logo Jogja yang baru ini menggunakan huruf kecil yang
melambangkan egaliterisme, kesederajatan, dan persaudaraan. Warna merah bata
yang dominan sebagai warna yang melambangkan keraton dan spirit keberanian
dan untuk menandai warna zaman baru yang berbekal pada akar budaya masa
lalu. Merah mencerminkan keberanian, ketegasan, kebulatan tekad. Akar budaya
ini diperkaya dengan kearifan lokal yang murni. Logo ini menggunakan jenis font
original yang didesain berdasarkan aksara Jawa. Kemudian, dikemas ulang dalam
font modern, simpel, dan dinamis.
14
Tagline “Istimewa” menggantikan Jogja Never Ending Asia, mencerminkan
keistimewaan Jogja yang progresif, integritas, dan memiliki diferensiasi yang
kuat dibanding daerah lain.
15
Gambar 13. Rebranding Jogja Istimewa
E. Analisis SWOT
Dalam penyusunan suatu rencana yang baik, perlu diketahui daya dan
dana yang dimiliki pada saat akan memulai suatu kegiatan, mengetahui
segala unsur kekuatan yang dimiliki, maupun segala kelemahan yang ada. Data
yang terkumpul mengenai faktor-faktor internal tersebut merupakan potensi di
dalam melaksanakan kegiatan yang direncanakan. Di lain pihak perlu
diperhatikan faktor-faktor eksternal yang akan dihadapi yaitu peluang-peluang
atau kesempatan yang ada, hal yang perlu diperhatikan akan timbul, ancaman
atau hambatan yang diperkirakan akan muncul yang akan mempengaruhi usaha
yang dilakukan.
16
Setelah melihat sekilas data-data yang ada dari komparasi, penulis bisa
membuat analisis tentang Strength, Weakness, Opprtunity dan Threat (SWOT).
SWOT adalah salah satu cara untuk menganalisis potensi suatu produk dan
membandingkannya dengan kompetitor atau pembanding. Setiap suatu produk
atau acara pasti memiliki kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(opportunity), dan ancaman (threat) masing-masing dan kesemuanya itu dapat
dikumpulkan dan dianalisa sehingga kualitas penyampaian suatu acara dapat
ditingkatkan, kelemahan dapat diredam, kesempatan dapat dikembangkan
dan setiap ancaman dapat diminalisir.
Analisis SWOT dapat dibuat dengan menggunakan tabel. Dari tabel tersebut
kita dapat membandingkan secara langsung masing-masing SWOT dari kedua
perencanaan tersebut. Berikut ini adalah tabel analisis SWOT perancangan
promosi SCCN dengan Kota Kreatif Bandung dan Yogyakarta :
17
Pembanding Yang Dibahas (SCCN) Pembanding I (Bandung) Pembanding II (Yogyakarta)
Strength
Solo yang memiliki kekuatan pada local
culture, heritage dan industri kreatif
yang jika diolah secara optimal lewat
visual branding-nya dapat menyaingi
kota kreatif skala internasional
BCC sudah memiliki lebih dari satu
brand dan contoh aplikasinya
sudah memiliki brand dan contoh
aplikasinya
Weakness
• hanya pernah sekali melakukan
city branding yaitu Solo Spirit of
Java
• untuk Solo Creative City sendiri
belum ada standar visual untuk
identitas visualnya
• belum terlalu gencar
promosinya
• rancu antara dua desain (belum
ditentukan mana yang bisa
dipakai seterusnya)
penempatannya baru di beberapa
titik meskipun sudah
menemukan media placement
yang tepat
18
Opportunity
• berpeluang menumbuhkan
minat untuk mempromosikan
SCCN melalui media lain
(dapat berupa video, buku,
atau mungkin aplikasi untuk
smartphone)
• identitas visual dapat
digunakan sebagai ikon kota
yang baru maupun pada acara
atau kegiatan dalam
komunitas / forum maupun
event budaya
dengan dibuatnya identitas visual
oleh designaction dan O2 indonesia
untuk kota Bandung Emerging
Creative City bermunculan ide lain
perancangan identitas yang unik
(misal Friendly Bandung)
investor maupun lembaga profit
ataupun non profit menyertakan
logo atau menggunakan identitas
visual jogja dalam kampanye /
promosi produknya (terbukti
dengan bertebarannya
penggunaan logo jogja istimewa
pada benchmark, baliho, banner
di kota)
19
Threats
Kurangnya aktivitas di forum kota
kreatif dan promosi agenda kegiatannya
juga berpengaruh terhadap promosi
identitas SCCN akan menjadi tidak
efektif
terlalu banyak identitas visual akan
menjadi rancu sehingga
penggunaannya akan menyulitkan
rebranding kota yang awalnya
sempat mengundang kontroversi
tidak begitu berpengaruh, namun
jika tidak ada sosialisasi maupun
promosi yang tepat rebranding
akan percuma, kecenderungan
bagi orang yang menggunakan
logo identitas yang lama tidak
bisa dihindari.
Tabel 1. Analisis SWOT perancangan promosi SCCN
20
F. Positioning
Suatu brand atau merk dapat dikatakan baik jika telah memilki citra atau image
yang dikenal oleh orang lain. Solo sebenarnya sudah pernah melakukan city
branding, namun untuk kasus Solo Creative City Network perancangannya masih
prematur sehingga belum terlihat jelas penggunaannya dalam bentuk material
promosi yang akan diketahui oleh masyarakat luas. Maka media informasi
perancangan identitas visual untuk SCCN harus didukung dengan adanya pengenalan
(awareness).
Positioning adalah strategi usaha menciptakan diferensiasi yang unik dalam
benak audiens (sasaran) sehingga terbentuk citra atau imej merk (produk) yang lebih
unggul (Hasan:2008 : 204)
Memposisikan identitas visual langkah ini perlu dilakukan sebagai usaha awal
dalam mempromosikan SCCN, karena tanpa adanya standar visual yang jelas akan
menjadi rancu dalam penggunaan identitas SCCN. Selain itu perancangan identitas
visual dan bentuk media promosi SCCN akan membantu memposisikan image kota
kreatif bagi masyarakat dan promosi serta marketing yang berkaitan tentang Solo
kota kreatif menjadi lebih tepat sasaran.
21
G. Unique Selling Preposition (USP)
Unique Selling Preposition (USP), berorientasi pada keunggulan atau kelebihan
produk yang tidak dimiliki oleh produk saingannya. Kelebihan tersebut juga
merupakan sesuatu yang dicari atau dijadikan alasan konsumen menggunakan
produk tersebut (M. Suyanto, 2004:116)
Untuk bisa menjual produk supaya dapat diterima baik di pasaran selain dengan
melakukan positioning yang tepat adalah dengan menggunakan USP atau
keunggulan dari produk tersebut. USP bisa merupakan sesuatu yang sebenarnya
dimiliki oleh semua produk sejenis namun tidak diolah dan diekspos dengan baik.
Promosi Kota Solo sebagai kota kreatif dapat dilakukan dengan belajar dari
pengalaman kota Bandung maupun Yogyakarta yang menerapkan rebranding.
Namun ketiga kota yang sama-sama berada di Pulau Jawa ini tentunya memilki
khazanah budaya, sejarah, dan kearifan lokal yang sangat berbeda sehingga masing-
masing kota dapat menempatkan keunggulan karena memiliki keunikan tersendiri.
Mengkaji ulang dan menentukan branding terhadap identitas visual kota Solo
terkait kota kreatif akan membantu SCCN di masa yang akan datang. Solo dapat
bersaing lewat keunggulannya jika dipromosikan dengan baik. Oleh karena itu
dibuatlah perancangan identitas visual yang sesuai dengan tujuan SCCN untuk
diaplikasikan. Selain itu melalui perancangan ini dapat dimanfaatkan untuk menarik
22
investor berinvestasi dan memudahkan masyarakat untuk mengenal identitas visual
Solo Creative City.