Upload
doandien
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
33
BAB III
PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG HUKUM SHALAT
SESUDAH MANDI TANPA WUDHU
A. Biografi Ahmad Hassan
Ahmad Hassan (lahir di Singapura, 1887 – Bangil, 10 November
1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Di
samping itu ia juga dikenal sebagai seorang kritikus dan ahli debat/polemik
(terutama di bidang keagamaan). Nama lengkapnya Hassan bin Ahmad. Tetapi
ia lebih popular dengan nama Hassan Bandung, ketika tinggal di Bandung,
atau Hassan Bangil, setelah pindah ke Bangil, Jawa Timur. Hassan Bandung
adalah seorang tokoh Islam terkemuka dan tokoh Persatuan Islam (Persis).1
Dalam bidang pendidikan formal, sesungguhnya, Ahmad Hassan tidak
sempat menamatkan sekolahnya untuk tingkat dasar sekalipun. Pada usia yang
terlalu dini, Hassan telah mulai aktif bekerja. Sungguhpun demikian, untuk
tetap menjaga kelangsungan belajarnya, ia mengambil pelajaran privat,
terutama dalam pelajaran agama dan bahasa Arab. Langkah ini diambilnya,
agar kelak ia dapat memperluas pengetahuan agamanya dengan cara self-
study.2
Sejak usianya yang ke-23, 1910 sampai dengan 1921, berbagai jenis
pekerjaan telah dicobanya, mulai dari seorang guru, pedagang tekstil, juru tulis
di kantor urusan haji, sampai anggota redaksi majalah Utusan Melayu. Dari
1Abdual Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997, hlm..532. 2Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1994, hlm. 82.
34
berbagai jenis pekerjaan yang sempat dilakukannya itu, agaknya,
berwiraswasta dalam bidang pertekstilan lebih menarik bagi dirinya.
Hal ini terbukti, ketika pada 1921 Hassan pindah ke Surabaya dengan
maksud mengambil alih pimpinan sebuah toko tekstil milik pamannya, Haji
Abdul Latif. Masa itu di Surabaya sedang berkembang pertentangan paham
antara kelompok yang lebih bersemangat modernis dengan kelompok yang
cenderung tradisionalis, khususnya dalam persoalan-persoalan fikih. Haji
Abdul Latif sendiri, pamannya, termasuk kelompok tradisionalis.
Oleh karenanya, dapat dipahami mengapa pamannya tidak menyukai
pikiran-pikiran yang berorientasi Wahabiyah. Bahkan, pamannya cenderung
menghalangi Hassan untuk banyak berhubungan dengan mereka, baik yang
bersemangat pikiran modernis maupun yang cenderung kepada pikiran-pikiran
Wahabiyah. Hassan tidak begitu saja dapat menerima pandangan pamannya.
Sesungguhnya pertentangan paham antara kalangan yang kuat memegang
tradisi dengan kelompok yang bersemangat modernis telah mulai dikenalnya
sejak ia masih di Singapura.
Selain ayahnya sendiri pun bersimpati terhadap pikiran-pikiran
Wahabiyah, ia juga telah berkenalan dengan majalah-majalah yang diterbitkan
kalangan modernis, misalnya al-Imam yang terbit di Singapura dan al-Munir
yang diterbitkan di Padang. Bahkan, ia sendiri pernah membaca majalah al-
Manar yang diterbitkan Rasyid Rida di Mesir, meskipun ketika itu ia belum
begitu memahaminya. Tidak berapa lama setelah tinggal di Surabaya, Hassan
pun mengunjungi Bandung. Sebagaimana ia tiba di Surabaya untuk urusan
35
pertekstilan, kali ini pun datang ke Bandung untuk urusan yang sama, bahkan
untuk mengembangkannya lebih jauh.
la bermaksud mempelajari teknik pertenunan di lembaga tekstil
pemerintah untuk dipraktekkannya di perusahaan " tekstil yang hendak
didirikannya di Surabaya. Selama di Bandung Hassan tinggal di tempat Haji
Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis. Tanpa disengaja, Hassan
telah berada di pusat kegiatan organisasi keagamaan. Potensi untuk
memperdalam dan mengembangkan persoalan keagamaan yang telah
membenih dalam dirinya sejak di Singapura, kini menemukan tempat
persemaian yang memungkinkan.
Akhirnya Hassan memutuskan untuk tinggal di Bandung, di samping
untuk mengembangkan usahanya di bidang pertekstilan, juga sekaligus untuk
mengembangkan pikiran-pikiran keagamaannya yang memang cenderung
bersemangat modernis. Usaha yang sudah dirintisnya sejak ia di Singapura
mengalami kebangkrutan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
meninggalkan bidang usahanya, dan seluruh waktu yang dimilikinya
dicurahkan untuk mengembangkan pemahaman dan pemikiran keagamaan
organisasi Persis. Karena seluruh waktunya, dapat dikatakan, tercurahkan
untuk urusan Persis yang berkembang di Bandung ini, akhirnya Hassan
terkenal dengan sebutan "Ahmad Hassan Bandung".3
Bagi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan
merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di
3Ibid, hlm. 83.
36
Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Di samping itu,
sejumlah artikel telah muncul di pelbagai media, dan bahkan di awal tahun
1980-an telah terbit paling tidak tiga buah buku khusus tentang A. Hassan,
Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal (1980) oleh Syafiq Mughni, Riwayat
Hidup A. Hassan (1980) oleh Tamar Djaja, dan A. Hassan: Wajah dan Wijhah
Seorang Mujtahid (1985) oleh Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni.
Dengan penekanan yang agak berbeda, ketiga buku tersebut saling
melengkapi dalam memberikan gambaran tentang perjalanan hidup dan karir
perjuangannya dalam menyebarkan paham-paham ishlah, perbaikan, atau
tajdid, pembaruan, di paruh pertama abad ke-20 ini. Tulisan ini berusaha
memberikan gambaran tentang hal-hal yang dalam tulisan-tulisan sebelumnya
tidak menjadi tekanan, tetapi juga tidak akan berpretensi untuk
mengetengahkan sesuatu yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat bahwa
tulisan ini merupakan penghargaan terhadap warisan pemikiran dan
perjuangan A. Hassan, sambil menyinggung beberapa hal yang relevan dari
kehidupan masyarakat pada zamannya.4
Awal abad ke-20 telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang
pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam perkembangan paham
Islam di Indonesia, yaitu pemikiran di sekitar usaha penyembuhan umat dari
penyakit kejumudan, dengan jalan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
Usaha ini biasa disebut gerakan ishlah atau tajdid, atau dalam sosiologi Barat
disebut reformasi.
4Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 127-130
37
Dalam kerangka itu, A. Hassan merupakan seorang figur yang sangat
penting, bahkan mungkin paling penting. Kecuali karena pikiran-pikirannya,
ada faktor sampingan yang sangat mendukung penilaian itu; antara lain,
keberaniannya secara terbuka untuk menentang arus pemikiran yang
dipandang menjadi kendala bagi kemajuan umat, dan ketekunannya untuk
menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran.
Untuk membuat penilaian keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu
saja tidak cukup dengan melihatnya dalam kurun masa hidup seorang
penggerak, tetapi harus dilihat dalam pengaruh yang timbul sesudahnya.
Sebab seorang mushlih (pelaku ishlah) atau mujaddid (pelaku tajdid) akan
selalu menentang arus masanya dan menghadapi suatu masyarakat yang
memerlukan proses dan berubah.
Pemikir-pemikir dalam tradisi Hambali, misalnya Ibnu Taymiyyah
(w.1328), yang misi utamanya ialah kritik pemikiran dan kehidupan sosial,
mendapatkan reaksi yang keras dari lawan-lawannya, tetapi beberapa abad
kemudian, khususnya dua abad terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat
terhadap gerakan Islam, mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya,
tetapi dalam metode dan semangatnya.5 Secara umum barangkali bisa disebut
bahwa karir A. Hassan merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-
akarnya bisa dilihat dalam tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerus
Ahmad ibn Hambal (w.855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-
5Ibid
38
menarik dengan kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial
yang ada.
Pergeseran dan tarik-menarik antara berbagai kekuatan yang dialami
telah membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat
hidupnya yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat
penting dalam menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus
pemikiran ishlah ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika
masih muda telah menyaksikan polemik di Singapura tentang mencium tangan
seorang sayyid (orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik yang
menggugat hak-hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut perlakuan
istimewa dari masyarakat umumnya.
Tahun 1921 ia pindah ke Surabaya untuk berdagang, dan di kota itu ia
bertemu dengan Wahhab Hasbullah (w.1971), salah seorang pendiri NU yang
mempertahankan ushalli. Pertemuan itu kemudian mengubah Hassan ke suatu
kesimpulan bahwa mengucapkan ushalli tidak punya dasar yang kuat.
Bergerak dari itu, kemudian lahir pendiriannya untuk menentang setiap bid'ah.
Pertemuannya dengan Faqih Hasyim, seorang yang telah dipengaruhi oleh
pemikiran ishlah, juga memperkuat arah pemikirannya.
Setelah itu, ia pindah ke Bandung pada tahun 1923 untuk belajar
pertenunan, tetapi titik yang menentukan arah hidupnya telah terjadi ketika
berkenalan dengan Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam,
yang memperkenalkan organisasi tersebut.6 Kehidupannya selama di Bandung
6Ibid
39
akhirnya tercurah pada kegiatan menulis dan mengajar, suatu pekerjaan yang
ditekuni sampai akhir hayatnya.
1. Perjuangan Ahmad Hassan
Untuk menyebarkan pahamnya, A. Hassan pada tahun 1926 telah
memilih Persatuan Islam (Persis) yang telah berdiri pada tahun 1923 di
Bandung. Organisasi itu didirikan oleh Muhammad Zamzam dan Muhammad
Yunus, dua usahawan yang berasal dari Palembang, Sumatera. A. Hassan
masuk Persis sebenarnya bukan karena tertarik pada paham-pahamnya, karena
bahkan A. Hassanlah yang membawa Persis untuk menjadi gerakan ishlah. A.
Hassan sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan
agar bisa berkembang secara efektif.
Tampaknya gabungan antara watak A. Hassan yang tajam dan ciri
Persis yang keras telah menghasilkan sebuah gerakan paham yang cepat
meluas. Salah satu keuntungan Persis ialah jumlah anggota yang tidak banyak,
karena itu bisa berjalan lebih lincah, dan kesibukan mengurusi anggota seperti
yang dialami oleh organisasi massa lainnya bisa dihindari, sehingga cukup
tenaga untuk menekankan aspek-aspek pendidikan, misalnya sekolah dan
pondok pesantren, publikasi dan kaderisasi. Dibanding dengan
Muhammadiyah yang pada awalnya lebih menekankan kegiatan sosial, dan al-
Irsyad yang membawa kesan eksklusif dalam keanggotaan, Persis memiliki
kelebihan yang sangat menonjol di bidang publikasi.
40
Di samping buku-buku A. Hassan yang tidak kurang dari 80 judul,
terbit pula majalah-majalah, antara lain Pembela Islam (1929-1935), al-Fatwa
(1930-1933), al-Lisan (1933-1942), at-Taqwa (1937-1941), Lasykar Islam
{1937-), dan al-Hikam (1939-) yang banyak memperkenalkan pikiran, di
samping A. Hassan, penulis-penulis muda lainnya, seperti Muhammad Natsir,
seorang murid yang mewarisi semangat perjuangan dan pemikiran A. Hassan.
Ketika A. Hassan pindah ke Bangil (1940), terbit pula majalah al-Muslimim
sampai sekarang.
Nama A. Hassan dan Persis menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan,
karena begitu dominan pemikiran-pemikirannya dalam memberi warna
organisasi tersebut. Setiap pergerakan baru akan berkembang bila memiliki
ideologi yang cocok dengan momentum sejarah. Awal abad ke-20 merupakan
masa yang sangat memerlukan ideologi, sehubungan dengan derasnya arus
nasionalisme dan reformisme serta ideologi lainnya. Umat Islam Indonesia
sedang mencari masa depannya di tengah-tengah pertarungan ideology itu.
Seperti telah disinggung di muka bahwa sebelum masuknya A. Hassan,
Persis tidak lebih dari sekedar kelompok pengajian yang tidak memiliki
ideologi yang jelas. Sesudah menemukan ideologi ishlah yang pertama-tama
muncul dari A. Hassan itu, Persis menjadi daya tarik yang kuat bagi kalangan
muda terdidik terutama di kota Bandung. A. Hassan berfungsi seperti
pemimpin karismatik bagi Persatuan Islam.
Kaderisasi
A. Hassan telah menjadi figur yang menarik orang untuk masuk
41
Persatuan Islam. Dalam lembaga itu, di antara mereka ada yang sempat
terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A. Hassan. Pada titik ini
orang bisa membandingkan secara sederhana antara A. Hassan dan Agus
Salim. Dalam Jong Islamieten Bond (JIB) Agus Salim telah berfungsi sebagai
bapak intelektual yang berperan dalam mempersiapkan generasi muda Islam
yang pada saatnya menduduki jabatan elit politik mewakili umat Islam.
Hasilnya ialah kelompok modernis dengan segala kejujuran intelektual dan
integritas pribadi mereka yang seperti telah diduga oleh Fazlur Rahman
sebagai ciri umum golongan modernis di mana saja, kurang memiliki akar
ilmu agama.
Dalam hal ini, tampak jasa A. Hassan dalam mengisi dimensi ilmu
agama. Muhammad Natsir tampaknya menjadi orang yang beruntung
mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim dan juga A. Hassan.
Dalam proses kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan
tersendiri bagi murid-muridnya. Muhammad Natsir, seorang yang tertarik
pada A. Hassan sejak duduk di sekolah menengah, dalam tulisannya
menggambarkan sebagai berikut:
Suatu keistimewaan beliau (A. Hassan) ialah setiap orang yang berkenalan dengan beliau segera tertarik kepada pribadinya. Seorang ulama memikat hati anak-anak muda sekelilingnya. Kepada semua orang, beliau semata-mata memanggil "tuan." Kami (kata Natsir), beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore datang ke rumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hati terbuka dan serius. Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah saw.
42
Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses
kaderisasi yang dilakukan oleh Hassan, yaitu dalam hal melatih memberikan
reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam. Pada
suatu hari surat kabar berbahasa Belanda AID di Bandung menyiarkan suatu
khutbah seorang bernama Christoffles, isinya menghina Nabi Muhammad
saw. Natsir meminta pandangan Hassan tentang perlunya menangkis
penghinaan itu, dan bahkan mengharapkannya untuk melakukannya. Hassan
menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang
menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke Hassan, karena
Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa Hassan
tidak mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu keluar, A. Hassan
tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit
dalam bentuk risalah berjudul Muhammad is Profeet. Natsir menyatakan
kesannya sebagai berikut:
... beliau tidak mau menyuapkan ibarat makanan kepada kader-kadernya. Kalau beliau sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya. Beliau mendidik kadernya berani bertanggung jawab dan sanggup berjuang menghadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya. ...Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan pemuda Islam. ...Kami pemuda-pemuda yang berada di dekat beliau selalu diteliti dengan kuat, disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab masing-masing.... Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri, ...Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary dan lainnya. Hasil kaderisasi itu bisa dilihat dalam dua figur yang mewakili
kecenderungan pemikiran Hassan, yakni Natsir dan Abdul Qadir, putera
pertama A. Hassan. Orang yang disebut pertama itu telah mewarisi
kecenderungan pemikiran politik A. Hassan, dan bahkan dengan integritas
43
pribadinya telah memberikan teladan etika politik yang sangat berharga bagi
generasi muda. Adapun yang kedua itu mewarisi minat A. Hassan dalam
menekuni dunia ilmu agama dan pendidikan, seperti terlihat dalam tulisan-
tulisannya dan kegiatannya dalam mengasuh Pesantren Persis Bangil.
Warisan
Dengan melihat warisan A. Hassan dalam konteks budaya pemikiran
Islam di Indonesia, akan tampak perannya dalam pendewasaan pemikiran
umat. Dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-madzhab, A. Hassan
memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran
agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A.
Hassan diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi
kemajuan umat akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi
sejak berabad-abad yang lampau.
Ajakan A. Hassan agar selalu merujukkan pandangan terhadap Al-
Qur'an dan Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang
berkaitan dengan kedua sumber itu, misalnya Ushul Fiqh dan Musthalah al-
Hadis, dua ilmu yang pada masa A. Hassan masih bersifat elitis. Dengan kata
lain, gerakan A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan
pendalaman studi Islam.
Dalam fase pencarian bentuk .bagi politik Indonesia pada dua dekade
seputar kemerdekaan, A. Hassan telah secara aktif ikut serta dalam dialog
terbuka antar berbagai arus pemikiran yang hidup di masyarakat. Hal ini bisa
terlihat dalam tulisan-tulisannya, antara lain Pemerintahan Cara Islam (1974),
44
Islam dan Paham Kebangsaan (1941), dan Merebut Kekuasaan (1946).
Dalam buku-buku itu A. Hassan menggambarkan bagaimana sikap Islam
terhadap politik khususnya di Indonesia, dan dengan semangat demokratis
mengemukakan apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Membaca
tulisan-tulisan itu, sama sekali tidak menemukan paham fanatisme, suatu
kesan yang biasanya hanya diperoleh oleh mereka yang tidak paham cara
berpikir kesejarahan, dan tidak mengetahui nilai perbedaan pemikiran dalam
menemukan apa yang selanjutnya dipandang baik dan benar.
Seperti telah disinggung di muka bahwa Persis dalam bidang-bidang
yang sangat karakteristik mengalami masa surut. Dalam bidang publikasi dan
produktivitas pemikiran saat ini tidak lagi berbeda dengan organisasi-
organisasi lain. Bahkan ada tanda-tanda bahwa nantinya persis hanya akan
menjadi bahan kenangan. Salah satu tanda yang sangat menonjol ialah
rendahnya rekrutmen, salah satu sumber energi yang sangat diperlukan bagi
kelangsungan sebuah gerakan. Rendahnya rekrutmen itu telah mencapai titik
kualitatif yang mempengaruhi kesan orang. Namun yang lebih penting dari itu
sesungguhnya ialah muncul suatu keadaan yang diakibatkan oleh gerakan itu
sendiri. Maksudnya, ideologi ishlah yang selama ini menjadi tema terpenting
dari gerakan Persis telah diambil dengan baik oleh organisasi-organisasi
lainnya, misalnya Muhammadiyah, yang memiliki basis anggota lebih meluas
karena perhatiannya yang sangat awal terhadap etos sosial Islam. Selanjutnya,
ide-ide ishlah itu tidak lagi menjadi milik khas gerakan-gerakan yang
dahulunya dikenal berjiwa ishlah, dan bahkan ide-ide dasarnya hampir
45
menjadi milik umat. Akibat lemahnya tantangan terhadap ide ishlah itu,
gerakan-gerakan tersebut menjadi tidak bergairah untuk memberikan
tanggapan.
Kenyataan itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa warisan-warisan
yang ditinggalkan oleh A. Hassan telah diterima dengan baik. Memang ada
kecenderungan yang cukup kuat untuk memahami ajaran Islam di kalangan
umat, tetapi pada saat yang sama muncul juga kecenderungan untuk
meninggalkan "ilmu-ilmu agama" yang dianggap terlalu pelik dan melelahkan.
Sebagai contoh ilmu Musthalah al-Hadis yang merupakan warisan intelektual
sejak berabad-abad dan yang dalam gerakan ishlah menjadi alat analisis A.
Hassan dan puteranya, Abdul Qadir, untuk membongkar bid'ah dan khurafat,
saat ini tampaknya kurang diminati di kalangan pendukung gerakan ishlah.
Bila keadaan ini berlanjut, akan berakibat berhentinya itu sehingga orang akan
cenderung bergantung pada hasil kritik sejarah yang telah dilakukan oleh A.
Hassan atau Abdul Qadir. Ini berarti munculnya kondisi taklid, suatu keadaan
yang sangat ditentang oleh A. Hassan.7
2. Karya-Karya Ahmad Hassan
Beberapa karya Ahmad Hassan dapat disebutkan di bawah ini:
1. Pengajaran Shalat 1930 terbit 45.000 eks.
2. Pengajaran Shalat (huruf 'Arab) 1930 terbit 5.000 eks.
3. Kitab Tallin 1931 terbit 5.000 eks.
4. Risalah Jum'at 1931 terbit 4.000 eks.
7Ibid, hlm 130-141
46
5. Debat Riba 1931 terbit 2.000 eks.
6. Al-Mukhtar 1931 terbit 8.000 eks.
7. Soal Jawab 1931 terbit 7.000 eks.
8. Al-Burhan 1931 terbit 2.000 eks.
9. Al-Furqan 1931 terbit 2.000 eks.
10. Debat Talqin 1932 terbit 7.000 eks.
11. Kitab Riba 1932 terbit 2.000 eks.
12. Risalah Ahmadiyah 1932 terbit 3.000 eks.
13. Pepatah 1934 terbit 2.000 eks.
14. Debat Luar Biasa 1934 terbit 3.000 eks.
15. Debat Taqlid 1935 terbit 6.000 eks.
16. Debat taqlid 1936 terbit 10.000 eks
17. Surat-Surat.Islam dari Endeh 1937 terbit 10.000 eks
18. Al-Hidayah 1937 terbit 2.000 eks.
19. Ketuhanan Yesus Menurut Bibel 1939 terbit 4.000 eks.
20. Bacaan Sembahyang 1939 terbit 15.000 eks
21. Kesopanan Tinggi 1939 terbit 15.000 eks
22. Kesopanan Islam 1939 terbit 2.000 eks
23. Hafalan 1940 terbit 5.000 eks.
24. Qaidah Ibtidaiyah 1940 terbit 8.000 eks.
25. Hai Cucuku 1941 terbit 4.000 eks,
26. Risalah Kerudung 1941 terbit 7.000 eks.
27. Islam dan Kebangsaan 1941 terbit 6.000 eks.
47
28. An-Nubuwah 1941 terbit 8.000 eks.
29. Perempuan Islam 1941 terbit 7.000 eks.
30. Debat Kebangsaan 1941 terbit 3.000 eks.
31. Tertawa 1947 terbit 3.000 eks.
32. Pemerintahan cara Islam 1947 terbit 5.000 eks.
33. Kamus Rampaian 1947 terbit 4.000 eks.
34. A.B.C.Politik 1947 terbit 6.000 eks.8
35. Merebut kekuasaan 1947 terbit 4.000 eks.
36. Al-Manasik 1948 terbit 2.000 eks.
37. Kamus Persamaan 1948 terbit 4.000 eks.
38. Al-Hikam 1948 terbit 4.000 eks.
39. First Step 1948 terbit 2.000 eks.
40. Al-Faraidh 1949 terbit 10.000 eks.
41. Belajar Membaca Huruf Arab 1949 terbit 3.000 eks.
42. Special Edition 1949 terbit 2.000 eks.
43. Al-Hidayah 1949 terbit 6.000 eks.
44. Sejarah Ism Mi'raj 1949 terbit 6.000 eks.
45. Al-Jawahir 1950 terbit 5.000 eks.
46. Matan Ajrumiyah 1950 terbit 2.000 eks.
47. Kitab Tajwid 1950 terbit 8.000 eks.
48. Surat Yasin 1951 terbit 2.000 eks.
49. Is Muhammad a Prophet 1951 terbit 5.000 eks.
8Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997, hlm. 47-
50
48
50. Muhammad Rasul? 1951 terbit 5.000 eks.
51. Apa Dia Islam 1951 terbit 5.000 eks.
52. What is Islam? 1951 terbit 3.000 eks.
53. Tashauf 1951 terbit 30.000 eks.
54. Al-Fatihah 1951 terbit 5.000 eks.
55. At-Tahajji 1951 terbit 5.000 eks.
56. Pedoman Tahajji 1951 terbit 5.000 eks.
57. Syair 1953 terbit 2.000 eks.9.
58. Risalah Hajji 1954 terbit 2.000 eks.
59. Wajibkah Zakat? 1955 terbit 3.000 eks.
60. Wajibkah Perempuan Berjum'at? 1955 terbit 4.000 eks.
61. Topeng Dajjal 1955 terbit 3.000 eks.
62. Halalkah Bermadzhab 1956 terbit 7.000 eks.
63. Al-Madzhab 1956 terbit 7.000 eks.
64. Al-Furqan (Tafsir Qur'an) 1956 terbit 85.000 eks.
65. Bybel-Bybel 1958 terbit 5.000 eks.
66. Isa Disalib 1958 terbit 5.000 eks.
67. Isa dan Agamanya 1958 terbit 5.000 eks.
68. Bulughul Maram 1959 terbit 20.000 eks.
69. At-Tauhid 1959 terbit 15.000 eks.
70. Adakah Tuhan? 1962 terbit 12.000 eks.
71. Pengajaran Shalat 1966 terbit 3.000 eks.
9Ibid
49
72. Dosa-Dosa Yesus 1966 terbit 3.000 eks.
73. Bulughul Maram 11
74. Hai Puteriku
75. Nahwu
76. Al-Iman
77. Aqaid
78. Hai Puteriku II
79. Ringkasan Islam
80. Munazarah 10
Selain menerbitkan buku-buku, ia juga rajin menulis dalam majalah-
majalah dan selebaran-selebaran yang cukup luas penyebarannya. Dalam
perkembangannya, buku-buku A. Hassan sering kali dicetak ulang dan
dijadikan referensi oleh para ulama ataupun santri yang sedang menuntut ilmu
di berbagai lembaga pendidikan Islam, tidak hanya ulama dan santri Persis,
tetapi juga para ulama dan santri di luar jamaah Persis.
B. Pendapat Ahmad Hassan tentang Hukum Shalat Sesudah Mandi Tanpa
Wudhu
Ahmad Hassan menyatakan pendapatnya dengan lebih dahulu
mencantumkan beberapa hadits di bawah ini:
Telah berkata Aisyah :
10Ibid
50
مذي رواه التر( اليتوضأ بعد الغسل ى اهللا عليه وسلّم سول اهللا صلّركان )وغريه
11
Artinya: Adalah Rasulullah s.a.w. tidak berwudhu sesudah mandi. (HR. Tirmizi dan lainnya)
Telah berkata Ibnu Umar :
اي وضوء : الوضوء بعد الغسل قال عنى اهللا عليه وسلّمصلّاسئل النيب ملّ )رواه ابن ايب شيبة (اعم من الغسل؟
Artinya : Tatkala (ditanya akan Nabi s.a.w.) tentang wudhu sesudah
mandi, sabdanya: Manakah wudhu yang lebih rata dari pada mandi ? (H.R. Ibnu Abie Syaibah)
قال رجل البن عمر اني اتوضأبعد الغسل فقال لقدتعمعت
12
Artinya: Telah berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Umar : Sesungguhnya saya berwudhu sesudah mandi. Maka kata Ibnu Umar : Sesungguhnya engkau melebih-lebihi.
يغسل من قرنه اىل قدمه حتى يتوضأ؟ قال حذيفة امايكفي احدكم انْ
13
11 Al- Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak as-Salmi at-
Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 288 12 Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar Min
Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, juz 1, hlm. 310
13 Ibid, hlm. 310.
51
Artinya: Telah berkata Hu-dzaifah : Apakah tidak cukup seorang dari pada kamu mandi dari atas kepalanya hingga kakinya, dengan tidak berwudhu lagi ?
Menurut Ahmad Hassan, hadits dan riwayat-riwayat yang tersebut itu,
dengan jelas menunjukkan, bahwa seorang yang hendak menunaikan shalat
sesudah mandi tak perlu wudhu lagi.14
Selanjutnya menurut Ahmad Hassan, bahwa perkataan mandi yang
tersebut dalam beberapa hadits itu boleh difahami sebagai mandi janabat, dan
boleh juga difahami sebagai mandi biasa, karena riwayat-riwayat dan hadits
itu tidak menyebut mandi "Janabat".15
Dalam uraian selanjutnya, Ahmad Hassan menegaskan: menurut
qa'idah bahwa perkataan yang umum (atau muthlaq) itu perlu dipakai atas
umumnya (atau ithlaqnya) selama tidak ada keterangan yang membatasi
keumumannya (atau ithlaqnya). Jadi, pada pendapatAhmad Hassan, sesudah
mandi, tidak perlu berwudhu lagi untuk shalat.16
C. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hasan
Ahmad Hassan dalam metode istinbath hukumnya menggunakan cara
sebagai berikut:
Pertama, debater. Dalam hal ini Ahmad Hassan mempertahankan
pendapatnya dengan menggunakan jalan debat secara terbuka dan tertutup.
Terbuka ia lakukan manakala persoalannya sudah menyangkut kepentingan
14 A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid 1-2, Bandung: CV
Diponegoro, 2003, hlm. 414 15 Ibid, 414 16 Ibid
52
orang banyak. Misalnya dalam menggulirkan gagasan negara Islam. Ia
mengajak debat terbuka dengan Soekarno. Dalam pandangannya bahwa debat
merupakan bentuk tukar pikiran dan pembahasan mengenai suatu hal dengan
saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Bagi
Ahmad Hassan, debat bisa menghasilkan sebuah kesepakatan bila tidak
bermuatan kepentingan pribadi melainkan kembali kepada dasar al-Qur'an dan
hadis. Tertutup, apabila masalahnya hanya bersifat pribadi yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kepentingan orang banyak.
Kedua, polemik. Metode ini dimanfaatkan olehnya dalam perdebatan
mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka di media massa.
Hal ini biasanya ia tuangkan dalam majalah pembela Islam (1929-1935), al-
Fatwa (1930-1933), al-Lisan (19933-1942), at-Taqwa (1937-1941), Laskar
Islam, dan al-Hikam.
Ketiga, sic et non. Metode ini bersifat dialogis. Ia gunakan dalam
bentuk dialog atau tanya jawab, dan lazimnya ia gunakan ketika membahas
masalah masail fiqhiyyah. Metode ini misalnya ia wujudkan dalam bentuk
buku-bukunya antara lain: Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama,
Bandung: CV.Diponegoro, 2003; At-Tauhid, Bandung: CV.Diponegoro, 1987
Dengan melihat tulisan-tulisan Ahmad Hassan, akan bisa menangkap
apa yang sesungguhnya ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad
Hassan menginginkan agar umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan
sungguh-sungguh dan semurni-murninya, baik dalam tingkat individu,
keluarga/masyarakat/dan negara. Pelaksanaannya harus didasarkan pada
53
pemahaman yang benar menurut nas-nas Al-Qur'an dan Sunnah, serta
pengingkaran semua hal yang berbau bid'ah dan khurafat. Untuk mencapai itu
umat Islam harus melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba, dan
menjauhi taklid, suatu penyakit yang menyebabkan kemunduran umat Islam.
Kerangka berpikir di atas oleh A. Hassan disebut "mengikuti jejak salaf",
jajaran generasi-yang terdekat baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi
Muhammad saw.
Hal-hal seperti tersebut di atas tampaknya merupakan tema yang selalu
berulang-ulang sepanjang sejarah Islam setelah terjadinya kontak antara ajaran
Islam dengan berbagai pemikiran asing yang mengakibatkan kaburnya ajaran
otentik Islam. Seperti diakui oleh Persis sendiri dalam Mukaddimah Qanun
Asasi (anggaran dasarnya), bahwa kondisi semacam itu senantiasa
memunculkan mujaddid, seperti telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw,
pada awal setiap abad. Tema-tema ishlah atau tajdid, misalnya bisa ditemukan
dalam kebanyakan pemikir Hambali, Muhammad 'Abduh (w. 1905) dan
Rasyid Ridha (w. 1935). Tetapi perlu disadari bahwa arus pemikiran Islam itu
terus bergerak secara kumulatif dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan
Sunnah, tetapi situasi dan tantangan yang berbeda akan memerlukan respon
dengan penekanan yang berbeda. Di situlah terlihat jasa A. Hassan dalam
bangunan pemikiran Islam di Indonesia.
Untuk melihat secara jelas ketajaman dan tekanan simbol-simbolnya,
pemikiran A. Hasan perlu diletakkan dalam konteks kesejarahan pada awal
abad ke-20. Kemajuan sikap dan pemikirannya telah mendorong umat Islam
54
untuk meninjau kembali setiap adat dan kebiasaan yang selama ini dianggap
mapan dan tidak perlu dipertanyakan lagi seperti yang dianut oleh "kaum
tradisionalis". Umat Islam telah ditantang untuk berpikir kritis dengan kritik-
kritiknya yang tajam terhadap setiap tindakan dan pemikiran yang tidak
bersumber dari ajaran agama. Tantangan A. Hassan untuk berpikir kritis itu
bukan berarti mengajak orang untuk anti-dogma, dan bahkan dengan tajam ia
mengkritik orang- orang sekuler, yang diwakili oleh penganjur "paham
kebangsaan". Serangan A. Hassan terhadap kelompok tradisionalis dan
sekularis itu mengingatkan kepada serangan Ibn Taymiyah terhadap para sufi
yang menyimpang dan para filsuf yang angkuh. Pada dasarnya A. Hassan
berusaha agar seluruh umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang telah
lama dilupakan dan disalahpahami oleh pemeluknya sendiri
Salah satu kesalah pahaman yang dikritik secara tajam oleh A. Hassan
ialah ide sekuler dalam hubungan antara Islam dan paham kebangsaan
(nasionalisme). Setelah berkembang pada abad ke-18 di Eropa Barat, paham
kebangsaan itu baru masuk ke Indonesia pada abad ke-20, yang ditandai
dengan munculnya ide kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atas dasar ideologi
"asli". Ada kecenderungan bahwa ideologi "asli" itu dimaksudkan untuk
menolak apa saja yang berbau "asing" termasuk memisahkan kehidupan
politik dari asas-asas agama.
Polemik mengenai ideologi ini telah melibatkan sejumlah tokoh
dengan pendapat yang berbeda-beda. Terhadap lawan pahamnya, seperti
Soekarno dan Soetomo, A. Hassan melancarkan kritiknya secara tajam,
55
menyatakan bahwa paham kebangsaan seperti yang dipahami oleh mereka itu
adalah sama dengan 'ashabiyyah, fanatisme kesukuan, suatu semangat
solidaritas yang ditentang oleh Islam. Di samping A. Hassan, Natsir secara
jenius tampil dalam majalah Pembela Islam dengan tulisan berseri yang
berjudul "Kebangsaan Muslimin" yang juga merupakan kritik terhadap
nasionalisme sekuler dan sekaligus pandangan terhadap ideologi yang tepat
untuk Indonesia.
Kritik seperti itu dilakukan oleh A. Hassan dengan cara yang tajam dan
terbuka terhadap siapa saja yang dianggap salah, termasuk terhadap mereka
yang secara pribadi maupun aspirasi dekat dengannya. la pernah mengkritik
Hasbi ash-Shiddiqie karena soal "jabat tangan", Umar Hubaisy dan Bey Arifin
soal madzhab, dan juga Hamka tentang paham kebangsaan. Semua kritik itu
dilakukan dengan tajam sekali, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan
kebencian. Kesan tersebut sebenarnya tidak tepat, karena kejujuran dan
keikhlasanlah yang menyebabkan kritik itu pedas, bahkan terkadang kelewat
pedas menurut ukuran perasaan "Jawa". Orang sering terkejut bahwa A.
Hassan yang keras dalam kritik itu adalah A. Hassan yang lemah-lembut
dalam pergaulan.
Di samping sebagai kritikus, A. Hassan juga dikenal sebagai seorang
polemis dan debater. Polemik dan debat digunakan sebagai senjata untuk
mematahkan paham lawannya, dan membuktikan kebenaran pahamnya
sendiri. Dalam hal seperti itu, pendengar atau pembaca diharapkan dengan
mudah memahami mengapa sesuatu faham itu salah atau benar/berdasar
56
kaidah agama atau logika. Misalnya dalam perdebatan dengan Wahhab
Hasbullah, orang ditantang untuk memilih kebenaran, setelah tahu alasan
diperbolehkan atau diharamkan taklid. Begitu juga dalam polemik dengan
Hussein al-Habsyi tentang soal mazhab. (Menurut A. Hassan, bermadzhab
sama dengan bertaklid, dan haram hukumnya menurut agama). Selama
hidupnya A. Hassan telah melakukan beberapa perdebatan dengan pendeta-
pendeta Kristen, tokoh-tokoh Ahmadiyah, golongan ateis, Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI) dan ulama tradisional.
Metode lain yang disukai A. Hassan dalam tulisan-tulisannya ialah
soal-jawab, sesuatu yang mirip metode "sic-et-non" yang berkembang di abad-
abad pertengahan dalam teologi spekulatif dan ilmu kalam. Hal itu terlihat
dalam buku-bukunya, seperti Soal Jawab dan at-Tauhid. Buku-buku itu
menggunakan metode soal-jawab yang mudah dimengerti, dan isinya
berkaitan dengan soal sehari-hari yang memerlukan kejelasan dan ketegasan.
Karena itu Soal-jawab, misalnya, menjadi sangat populer di kalangan
penganut dan simpatisan gerakan ishlah. Dalam fungsinya sebagai rujukan
bagi persoalan hidup sehari-hari buku itu bagi mereka mirip dengan al-
Masa'il, sebuah buku yang memuat jawaban-jawaban Ahmad ibn Hambal
terhadap persoalan fikih, akhlak, dan akidah yang diajukan oleh berbagai
pihak pada masanya, bagi penganut dan simpatisan Hambali di Baghdad dan
sekitarnya pada abad-abad pertengahan.
57