42
86 BAB III PERAN DAN FUNGSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) A. GAMBARAN UMUM WILAYAH PAPUA 1. Sejarah Istilah Papua yang digunakan mengacu pada pengertian tanah Papua yang secara administratif terdiri atas Provinsi Papua dan Papua Barat. Status politik Papua dipengaruhi dengan penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesi apada tajun 1949 memunculkan persoalan politik status Papua yang berujung pada persetujuan new york 1962 dimana Belanda menyerahkan Papua ke UNTEA (united nation temporary executive authority) dan selanjutnya UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia sebagai bagian persetuajuan new york dari hasil penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969. 1 Papua pada masa kolonial Belandan disebut dengan west new guinea atau nederlandse nieuw guinea. Setelah bergabung dengan Indonesia 1 Muridan S. Widjojo, Road Map Papua, LIPI, Jakarta, 2009

BAB III PERAN DAN FUNGSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

86

BAB III

PERAN DAN FUNGSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP)

A. GAMBARAN UMUM WILAYAH PAPUA

1. Sejarah

Istilah Papua yang digunakan mengacu pada pengertian tanah Papua

yang secara administratif terdiri atas Provinsi Papua dan Papua Barat.

Status politik Papua dipengaruhi dengan penyerahan kedaulatan

Hindia Belanda kepada Indonesi apada tajun 1949 memunculkan

persoalan politik status Papua yang berujung pada persetujuan new

york 1962 dimana Belanda menyerahkan Papua ke UNTEA (united

nation temporary executive authority) dan selanjutnya UNTEA

menyerahkan Papua ke Indonesia sebagai bagian persetuajuan new

york dari hasil penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969.1

Papua pada masa kolonial Belandan disebut dengan west new guinea

atau nederlandse nieuw guinea. Setelah bergabung dengan Indonesia

1 Muridan S. Widjojo, Road Map Papua, LIPI, Jakarta, 2009

87

nama daerah ini diganti menjadi Provinsi Irian Barat. Kemudian pada

masa orde baru, Soeharto mengganti Irian Barat dengan nama Irian

Jaya. Sesudah berakhirnya orde baru nama Irian Jaya berubah menjadi

Papua.2

2. Geografis

Provinsi Papua terletak antara 20 25’ – 90 Lintang Selatan dan 1300 -

1410 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas 319.036,05

km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia, merupakan provinsi

dengan wilayah terluas di Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi

menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Merauke merupakan

kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan Kota Jayapura merupakan

kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas

Papua).3

Papua di bagian utara dibatasi Samudra Pasifik, sedangkan di bagian

selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan

dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur

berbatasan dengan Papua New Guinea. Wilayah Papua terletak pada

2 Ibid, hal. 4

3 Papua Dalam Angka 2011, BPS Prov. Papua, hal. 3

88

ketinggian antara 0 – 3.000 meter dari permukaan laut. Puncak Jaya

merupakan kabupaten/kota tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl,

sedangkan Kota Jayapura merupakan kabupaten terendah, yaitu 4

mdpl.4

Secara topografis, Papua terdiri atas dataran rendah berawa sampai

dataran tinggi yang dipadati dengan hutan hujan tropis, padang rumput

dan lembah lengkap dengan alang-alangnya. Di bagian tengah berjejer

rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bagian

dari pegunungan itu adalah Jayawijaya yang sangat terkenal. Di sana

terdapat tiga.5

3. Demografis Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi Papua berdasarkan hasil Sensus Penduduk

2010, tercatat sebanyak 2.833.381 jiwa. Dengan luas wilayah 317 062

km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 8.93/km2, sehingga

menjadikan Provinsi Papua sebagai wilayah yang paling sedikit

penduduknya di Indonesia.6

4 Ibid, hal. 3

5 Profil Papua 2011, BAPPEDA Prov. Papua, hal. 33

6 Ibid, hal. 39

89

Kota Jayapura masih merupakan kabupaten/kota dengan jumlah

penduduk terbanyak (256.705 jiwa), dengan laju pertumbuhan

penduduk 3.29 persen per tahun selama periode tahun 2000-

2010.Kabupaten dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten

Supiori sebanyak 15,874 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduknya

yang relatif kecil yaitu 2.72 persen per tahun selama periode 2000-

2010.7

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Papua

jumlah penduduk Provinsi Papua adalah 2.833.381 orang, terdiri dari

1.505.883 orang laki-laki (53,15 persen) dan 1.327.498 orang

perempuan (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di

Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio)

tertinggi terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di

Kabupaten Dogiyai sebesar 102. Laju pertumbuhan penduduk

Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari

tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk

Kabupaten Tolikara adalah yang tertinggi dibanding kabupaten/kota

lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan

laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan

7 Ibid, hal. 41

90

Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus

bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan

penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk

Papua masih berpusat di Kota Jayapura.8

B. EKSISTENSI PERAN DAN FUNGSI MRP PADA

TATARAN NORMATIF

Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada dasar hukum di

Indonesia ialah Setelah Perubahan keempat UUD 1945 terdapat dalam

bab IV amandemen UUD 1945. Dalam bab IV yang mengatur tentang

Pemerintah Daerah, yaitu:

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

8 BPS, Op.cit, hal. 63

91

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan.

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan

daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan

kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan

selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, menegaskan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah dalam:

Pasal 10

92

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan

asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri

atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada

perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat

menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan

desa

(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur

selaku wakil Pemerintah; atau

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah

dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas

pembantuan.

Dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan, Pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,

ditentukan bahwa yang memegang kekuasaan untuk membentuk

93

peraturan daerah adalah DPRD. Demikian dalam Pasal 41 UU Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa DPRD

memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Serta UU Otsus

Papua yang mengatur tentang kedudukan lemabaga perwakilan di

daerah dalam pelaksanaan Otsus Papua.

Lembaga daerah dapat dilihat pembentukan dari peraturan

perundangan, DPRD merupakan lembaga di tingkat daerah, lembaga

tersebut disebut sebagai lembaga daerah, sepanjang bekerjanya

dibiayai oleh anggaran belanja negara atau daerah. DPRD merupakan

lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang

pengangkatan anggota dilakukan dengan keputusan presiden.

Sedangkan untuk MRP, adalah lembaga daerah yang dibentuk

berdasarkan peraturan tingkat pusat atau peraturan daerah propinsi,

dan pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan keputusan presiden.

Walaupun dalam hal pembentukan kedua lembaga daerah tersebut

berbeda dari sisi hierarki peraturan perundangan tetapi mempunyai

kedudukan yang sederajat sebagai lembaga daerah yang berperan

dalam wujud lembaga perwakilan.

94

Dengan melihat kedudukan antara MRP dan DPRD dalam

pelaksanaan sebagai lembaga daerah adalah Pasal 10 ayat (1)

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah; ayat (2)

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan.

Pengertian arti otonomi seluas-luasnnya hampir sama dengan

pemberian Otonomi Khusus yang terjadi di Papua. Dimana

pemerintah mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan daerah

berdasarkan aturan peraturan khusus.

Dengan melihat kedudukan MRP dalam wujud lembaga perwakilan

yang telah termuat dalam UU Otsus Papua sebelum lahirnya UU

Pemda. Di dalam UU Otsus termuat pembentukan suatu lembaga

perwakilan selain yang telah ada dalam wujud DPRD. Namun tugas

dan wewenangnya tidak berbeda jauh dengan apa yang telah ada pada

95

UU Pemda, hanya yang berbeda di dalam MRP adalah fungsi

membuat dan mengusulkan peraturan perundangan yang ada terdapat

pada DPRD.

Mengenai tugas dan wewenang DPRD ditentukan dalam Pasal 42 ayat

(1) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu :

a. Membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk

mendapat persetujuan bersama;

b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD

bersama dengan kepala daerah;

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan

peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah,

APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program

pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala

daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri

Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam

Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;

e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan

wakil kepala daerah;

f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah

terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional

yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

i. Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

96

j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

k. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah

dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

Apabila melihat pembentukan DPRD dalam UU Nomor 32 Tahun

2004. Untuk MRP lebih terlihat dalam pelaksanaan UU Otsus Papua,

dimana pengaturan tentang kedudukan dan kewenagangan diberikan

kepada MRP sebagai lembaga didaerah yang dibentuk berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang MRP dan

Peraturan Pelaksananya diatur dalam Perdasus tentang MRP, yaitu

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 3 Tahun 2008

Tentang hak dan Kewajiban MRP sedangkan dalam Peraturan Daerah

Khusus Provinsi Papua Nomor Nomor 4 tahun 2008 Pelaksanaan

Tugas Dan Wewenang MRP.

Pelaksanaan fungsi dan peran MRP sebagai lembaga perwakilan lebih

terlihat di dalam pelaksanaan UU Otsus Papua, dimana dalam Pasal 1

huruf menyebutkan mengenai Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya

disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang

memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak

orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap

adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan

97

kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang

ini.

MRP adalah lembaga yang termasuk dalam susunan pemerintahan

daerah dalam UU Otsus, Pasal 5 ayat (2) Dalam rangka

penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis

Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua

yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-

hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan

terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan

kerukunan hidup beragama; ayat (3) MRP dan DPRP berkedudukan di

ibu kota Provinsi.

Pengaturan mengenai MRP lebih tegas dalam hal tugas, kewenangan,

hak dan kewajiban diatur dalam UU Otsus, yaitu:

Pasal 19 ayat (1) MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang

terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil

perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total

anggota MRP;

Pasal 20 ayat (1) MRP mempunyai tugas dan wewenang: memberikan

pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan

Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (a). memberikan

pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi

Papua yang diusulkan oleh DPRP; (b). memberikan pertimbangan dan

persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP

98

bersama-sama dengan Gubernur; (c). memberikan saran,

pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama

yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan

pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut

perlindungan hak-hak orang asli Papua; (d). memperhatikan dan

menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama,

perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak

orang asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (e).

memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD

Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait

dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (f). (2) Pelaksanaan

tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Perdasus.

Pasal 21 ayat (1) MRP mempunyai hak: (a). meminta keterangan

kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang

terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (b). meminta

peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai

bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (c).

mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai

satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Provinsi Papua; dan (d). menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP; ayat

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Pasal 22 ayat (1) Setiap anggota MRP mempunyai hak: (a).

mengajukan pertanyaan; (b). menyampaikan usul dan pendapat; (c).

imunitas; (d). protokoler; dan (e). keuangan/administrasi. Ayat (2)

Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

Peraturan Tata Tertib.

Pasal 23 ayat (1) MRP mempunyai kewajiban: mempertahankan dan

memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; (a). mengamalkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala perundang-

undangan; (c). membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat

dan budaya asli Papua; (d). membina kerukunan kehidupan beragama;

dan (e). mendorong pemberdayaan perempuan. Ayat (2) Tata cara

pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

99

Kedudukan MRP selain diatur di dalam UU Otsus Papua, dimana

dalam UU tersebut yang melahirkan adanya MRP. Dengan demikian

dalam hal pengaturan pelaksaan dari UU Otsus Papua maka

pemerintah pusat telah di mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat

Papua. Hadirnya PP MRP memberikan ketagaasan akan kehadiran

MRP dalam pelaksanaan Otsus di Papua. Dan memberikan ruang

kepada MRP sebagai lembaga daerah yang berpartner dengan lembaga

daerah lain dalam menjalankan pemerintahan daerah dalam UU Otsus

Papua. Peran MRP dalam PP MRP dapat terlihat dari Pasal-pasal

sebagai berikut :

Pasal 36 MRP mempunyai tugas dan wewenang, (a). memberikan

pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon

gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (b).

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan

perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

(c). memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap

rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah maupun

pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di wilayah

Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli

Papua; (d). Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan

masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat

pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta

memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; (e). Memberikan

pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta

100

Bupati/ Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlingdungan

hak-hak orang asli Papua.

Pasal 38 Tata Cara Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan

Terhadap Rancangan Perdasus, Ayat (1) Rancangan Perdasus

disampaikan oleh pemerintah provinsi bersama DPRP kepada MRP

untuk dilakukan pembahasan guna mendapat pertimbangan dan

persetujuan; ayat (2) Pembahasan Rancangan Perdasus sebagaiman

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja paling lama 30

(tiga puluh) hari sejak diterimanya rancangan Perdasus; ayat (3)

Dalam memberikan pertimbangan dan persetuju an sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) MRP melakukan konsultasi dengan

pemerintah provinsi dan DPRP; ayat (4) Dalam hal Rancangan

Perdasus tidak mendapatkan pertimbangan dan persetujuan lebih dari

30 (tiga puluh) hari sebagaiman dimaksud pada ayat (1), Rancangan

Perdasus dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan oleh

MRP; ayat (5) Pemerintah Provinsi bersama DPRP menetapkan

Rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi

Perdasus.

Pasal 39 Tata Cara Memberikan Pertimbangan Dan Persetujuan

Terhadap Kerjasama dengan Pihak Ketiga, ayat (1) Rencana

Perjanjian Kerjasama dengan pihak ketiga disampaikan oleh

pemerintah atau pemerinyah provinsi bersama DPRP kepada MRP

untuk mendapat pertimbangan khusus menyangkut perlingdungan

hak-hak orang asli Papua; ayat (2) Pembahasan rencana perjanjian

kerjasama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh kelompok kerja yang membidangi untuk mendapatkan

persetujuan rapat pleno MRP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

sejak diterim anya rencana perjanjian; ayat (3) Apabila diperlukan

kelompok kerja dapat berkonsultasi kepada pemerintah atau

pemerintah provinsi mengenai rencana perjanjian kerja sama dengan

pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1); ayat (4) Dalam hal

rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga tidak mendapat

pertimbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rencna perjanjian kerjasama

dengan pihak ketiga dianggap telah mendapat pertimbangan dan

persetujuan MRP; ayat (5) Perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga

dari luar negeri dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang mengatur hubungan luar negeri.

101

Pasal 40 Tata Cara Menerima Penyampaian Aspirasi dan Pengaduan:

ayat (1) Masyarakat Adat, Umat beragama, kaum perempuan dan

masyarakat pada umumnya yang datang secara langsung ke MRP

untuk menyampaikan aspirasi dan pengaduan diterima oleh

Sekretariat MRP dan disalurkan kepada pimpinan MRP dan/atau

kelompok kerja yang membidanginya; ayat (2) Dalam

menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) pimpinan MRP meneruskan kepada Gubernur dan DPRP

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 41 Tata Cara Memberikan Pertimbangan Terhadap Perlingdun

gan Hak -Hak Orang Asli Papua: ayat (1) Kebijakan Daerah yang

dibuat oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli

Papua, disampaikan kepada MRP untuk mendapat pertimbangan; ayat

(2) Pertimbangan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaiakn secara tertulis paling lambat diberikan 14 (empat belas)

hari sejak diterima oleh MRP untuk mendapatkan perhatian

pemerintah daerah.

Pasal 42 Hak Meminta Keterangan: ayat (1) MRP dapat meminta

keterangan pemerintah provinsi yang berkaitan dengan perlindungan

hak-hak orang asli Papua; (2). Permintaan Keterangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh paling sedikit 20 % (dua puluh

per seratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan unsure

wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama; (3) 3. Usul

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan MRP

disampaikan kepada rapat pleno MRP untuk memperoleh keputusan;

ayat (4) Dalam rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (3), para

pengusul diberi kesempatan menyampaiakan penjelasan lisan atas

usulan permintaan tersebut; ayat (5) Apabila rapat pleno menyetujui

usul permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

pimpinan MRP menyampaikan permintaan keterangan secara tertulis

kepada pemerintah provinsi; ayat (6) Pemerintah Provinsi

memberikan keterangan tertulis kepada pimpinan MRP; ayat (7)

Angota MRP dapat mengajukan pertanyaan atas keterangan

pemerintah provinsi dan rapat kerja.

Pasal 43 Hak Meminta Peninjauan Kembali Perdasi : ayat (1) MRP

dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali Perdasi atau

102

Peratuan Gubernur yang bertentangan dengan perlindungan hak-hak

dasar orang asli Papua; ayat (2) Permintaan peninjauan kembali

sebgaimana dim aksud pada ayat (1) diajukan oleh paling sedikit 30%

(tiga puluh per seratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan

unsure wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama dan mendapat

persetujuan rapat pleno MRP; ayat (3) Permintaan peninjauan kembali

sebagaima na dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis

kepada pemerintah provinsi dan DPRP ; ayat (4) Permintaan

peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditanggapi

secara tertulis ileh Pemerintah Provinsi dan DPRP untuk dibahas

dalam rapat kerja.

Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 tentang Hak dan kewajiban MRP lebih

terlihat dari sisi pengawasan terhadap pemerintah daerah.

Pasal-Pasal yang mengatur, yaitu: Pasal 1 huruf (a). meminta

keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai

hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;

(b). meminta peninjauan kembali Peraturan Daerah Provinsi atau

Peraturan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan

hak-hak orang asli Papua; Pasal 2 MRP berhak meminta keterangan

kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai

hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;

Pasal 8 MRP berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali

Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Gubernur yang dinilai

bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.;

Dalam Perdasus Nomor 4/2008 tentang tugas kewenangan MRP diatur

dalam Pasal 2 huruf (a). memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang

diusulkan oleh DPRP; (b). memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap Rancangan Perdasus yang di ajukan oleh DPRP bersama-

sama dengan Gubernur; Pasal 8 ayat (1) DPRP menyampaikan

Rancangan Perdasus hasil Pembahasan Gubernur dan DPRP kepada

MRP untuk mendapatkan pertimbangan dan persetujuan; Pasal 10 ayat

(1) Pokja atau lintas Pokja menyampaikan hasil pembahasan

Rancangan Perdasus kepada Pimpinan MRP dalam bentuk persetujuan

103

atau penolakan; Pasal 11 Pimpinan MRP melakukan penetapan

Rancangan Perdasus hasil pembahasan Pokja atau lintas Pokja dalam

rapat pleno.

Dengan melihat peraturan yang mengatur tentang lembaga perwakilan

didaerah, maka terlihat dengan jelas bahwa eksistensi dan peran MRP

dalam fungsi legislasi atau mengusulkan atau membuat peraturan

tidak terlihat dengan jelas dalam pengaturan khususnya dalam UU

Otsus sampai dengan Perdasus yang mengatur mengenai kewenangan

dari MRP. Dengan demikian MRP kedudukannya tidak ikut

membahas, tidak ikut menentukan yang strategis, mereka hanya

mempertimbangkan menyarankan menyetujui tetapi justru

pembentukan politik daerah, kebijakan daerah dilakukan oleh DPRP

dan gubernur. Hal ini berbeda apabila dilihat dalam peran MRP dari

sisi lembaga yang mempunyai peran sebagai lembaga yang berperan

dalam perwakilan dan pengawasan. Dalam kedua hal tersebut peran

dari MRP sangat jelas sebagai fungsi dari sistem checks and balances

terhadapa pemerintah daerah. Peraturan yang memberikan MRP ruang

tersebut juga dengan jelas memberikan porsi kepada MRP dalam

menjalankan pengawasan terhadapa pelaksanaan pemerintahan daerah

104

dalam era Otsus Papua dalam memberikan perlindungan terhadap

orang asli Papua.

C. IMPLEMENTASI PERAN MRP

Implementasi peran MRP dapat dilihat dalam tiga hal yaitu dalam

fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan. Dari

sistem perwakilan dimana apabila menganut diantara dua sistem

perwakilan Sistem perwakilan politik (political representation) dan

Sistem perwakilan fungsional (functional representation)

menggambarkan adanya dua lembaga perwakilan dengan sistem

bikameral. Ini dapat terlihat pada pelaksanaan Otsus Papua dimana

terdapat dua lembaga perwakilan yang berbeda dari sisi perwakilan.

DPRP mewakilkan unsur politik sedangkan MRP mewakilkan unsur

kultural atau non politik. Dengan melihat sistem perwakilan tersebut

maka dapat dilihat fungsi-fungsi dari lembaga perwakilan yang ada di

Papua.

Eksistensi fungsi dan peran MRP dilihat dalam hierarki peraturan

perundangan akan memberikan gambaran suatu bentuk khusus bentuk

lembaga perwakilan di

105

Dalam sistem perwakilan di Papua, bagaimana dapat mengakomodasi

kelompok-kelompok di dalam masyarakat asli Papua dengan

memberikan perlindungan secara kultural. Dengan demikian adanya

suatu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua dapat

terakomodasi dengan kehadiran MRP. Bahwa secara geografis,

keseluruhan tanah Papua dibagi ke dalarn 7 (tujuh) wilayah kesatuan

masyarakat hukum adat, yang terdiri dari: 1. Wilayah Adat I Mamta;

2. - Wilayah Adat II Saireri; 3. Wilayah Adat III Boberai; 4. Wilayah

Adat IV Bomberai; 5. Wilayah Adat V Ha-Anim; 6. Wilayah Adat VI

La-Pago; Dan 7. Wilayah Mat VII Mi-Pago.

Secara politis dan administratif, Wilayah Adat I Mamta, Wilayah Adat

II Saireri, Wilayah Adat V Ha-Anim, Wilayah Adat VI La-Pago dan

Wilayah Adat VII Mi-Pago berada di Wilayah Provinsi Papua,

sedangkan Wilayah Adat III Boberai dan Wilayah Adat IV Bomberai

berada di wilayah Provinsi Papua Barat.

1. Peran dan Fungsi Legislasi MRP

Peran MRP dalam fungsi legislasi dapat dilihat dalam pelaksanaan

Otsus Papua, di dalam pelaksanaan Otsus Papua terdapat salah satu

lembaga yang bersifat perwakilan kultural dari orang asli papua dalam

106

memberikan perlindungan terhadap hak-hak orang asli papua (afirmatf

action) dalam bidang-bidang tertentu yang telah tertuang didalam UU

Otsus Papua dalam wujud peraturan daerah khusus (Perdasus).

Menurut Jimly Asshidiqie fungsi pengaturan legislasi adalah Cabang

kekuasaan legislatif merupakan cabang kekuasaan yang pertama-tama

mencerminkan kedaualatan rakyat. Ada tiga hal penting yang harus

diatur oleh wakil rakyat diparlemen, yaitu: a. Pengaturan yang dapat

mengurangi hak dan kebebasan warga negara, b. Pengaturan yang

dapat membebani harta kekayaan warga negara, c. Pengaturan

mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara.

Pengatran mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakaukan

dengan atas persetujuan warga negara, yaitu melalui wakil-wakil

mereka diparlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Kedudukan sebagai lembaga perwakilan secara kultural tidak

membuat MRP sebagai suatu lembaga yang mempunyai peran dalam

melakukan fungsi legislasi. Dimana kewenangan MRP dalam hal

membentuk peraturan perundangan seperti halnya DPRP tidak

terdapat dalam UU Otsus.

107

Kewewenangan dalam legislasi MRP, apabila dilihat dalam peraturan

perundangan dalam hierarkhi peraturan yang mengatur secara umum,

demikian juga dilihat dalam perturan yang mengatur secara khusus,

yaitu UU Otsus tidak memberikan ruang kepada MRP dalam

melakukan fungsi legislasi. Dilihat pasal-pasal di dalam UU Otsus

sangat jelas mengatur di dalam memberikan fungsi legislasi tidak

terdapat di dalam MRP. Kewenangan yang terdapat dalam MRP

hanya sebatas menyutujui suatu rancangan peraturan khusus

(Perdasus) Papua. Diluar aturan mengenai Perdasus MRP tidak dapat

mengusulkan suatu peraturan kepada DPRD untuk dibahas bersama.

Kedudukan MRP dalam tataran normatif ini dapat dilihat fungsi dari

MRP sangat terbatas dalam tataran norma hukum yang telah lahir

dalam susunan hierarki peraturan perundangan di Indonesia. Dilihat

dari tataran UU No 32 tahun 2004 tentang Pemda, dalam hal fungsi

legislasi UU Pemda lebih mengatur mengenai kedudukan DPRD dan

pemerintah daerah dalam membuat dan mengajukan suatu rancangan

peraturan di tingkat daerah. Hal ini terlihat dengan jelas dalam UU

Pemda, dimana dalam pasal 41, Pasal 42 dan Pasal 43 telah mengatur

dengan jelas penguasa legislasi pada tingkat daerah. Fungsi legislasi

yang umum adalah pengaturan, penganggaran, pengawasan dan

108

penampungan, serta penyalur aspirasi rakyat. Adapun hak-haknya

(DPRD juga memiliki hak berdasarakan Pasal 43 ayat (1), UU Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah) adalah hak bertanya, hak

meminta keterangan (interplasi), hak penyelidikan (angket), dan hak

usul pernyataan pendapat.

Dengan melihat dalam tataran UU No 32 2004 hanya dikenal

pembentuk UU di daerah adalah DPRD beserta dengan Pemerintah

Daerah. Hal tersebut juga dapat dilihat dalam Pasal 40 UU Nomor 10

tahnun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mana

memberikan kewenangan dalam membentuk peraturan peurndangan

pada tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah.

Melihat peran dan fungsi MRP dalam UU Otsus, dimana MRP

sebagai partner dari DPRP dan Pemerintah Daerah dalam hal

peraturan daerah itu mengatur suatu hal yang khusus untuk Prov.

Papua. Tidak terlihat peran yang lebih dari MRP dalam pembentukan

Perdasus. Dalam UU Otsus, peran MRP dapat dilihat dalam Pasal 20

ayat (1) huruf f dan g dan Pasal 8 ayat (1) huruf f sedangakan pada

pemerintah daerah Pasal 14 huruf g. Didalam Pasal-pasal tersebut

terlihat kewenangan menyusun dan mengajukan suatu peraturan

109

khusus terletak pada DPRP dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan

aturan perundangan tidak nampak peran dari MRP dalam membuat

dan mengajukan rancangan Perdasus. Hal ini sebenarnya menjadi

suatu titik lemah dalam kedudukan MRP dalam membuat atau

mengusulkan suatu rancangan peraturan perundangan (perdasus).

Kewenangan tersebut tidak terdapat di dalam MRP dilihat dalam UU

Otsus tidak memberikan ruang kepada lembaga lain diluar DPRP dan

pemerintah daerah dalam membentuk dan menciptakan suatu

peraturan perundangan. Kelemahan dalam UU Otsus Papua yang tidak

memberikan ruang kepada MRP dalam membuat Perdasus yang

menagkibatkan kewenangan DPRP lebih besar dibandingkan MRP

dalam hal legislasi.

Disisi lain kedudukan MRP dalam peran legislasi diberikan porsi

dalam hal untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap

suatu rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP dan pemerindah

daerah. Kewenangan MRP tersebut diatur dalam Pasal 20 huruf c dan

Pasal 29 ayat (1) UU Otsus Papua. Dengan hanya diberikan peran

dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap perdasus

membuat MRP tidak memiliki fungsi legislasi.

110

Dalam PP No.54 Tahun 2004 tentang MRP, dalam tugas dan

wewenang MRP, Pasal 36 huruf b dan Pasal 38 tidak memberikan

kedudukan kepada MRP dalam menjalankan fungsi legislasi.

Demikian dilihat dalam Perdasus No. 4 Tahun 2004 tentang

pelaksanaan tugas dan wewenang MRP dalam Pasal 2 sama dengan

peraturan yang diatasnya.

Peran dalam membuat atau mengusulkan Perdasus memang tidak

dimiliki oleh MRP secara penuh, MRP diberikan peran dalam hal

memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap suatu usulan

rancangan Perdasus, hal ini yang menjadi bagian dari tugas MRP

dalam melaksanakan UU Otsus dimana melihat usulan rancangan

Perdasus merupakan suatu affirmatve action terhadap kepentingan

orang asli Papua. Disisi lain MRP diberikan kewenangan dalam

memberikan peninjaun kembali terhadap suatu Perdasi yang dibuat

oleh DPRP dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya peran dalam

meninjau kembali Perdasi dan juga memberikan persetujuan dalam

Perdasus setidaknya MRP dapat berperan dalam urusan legislasi

walaupun bukan sebagai pembuat atau pengusul dari Perdasus.

111

Sedangkan menurut Miriam Budiarjo salah satu peran penting dari

fungsi lembaga legislatif adalah membuat peraturan perundang-

undangan. Apa bila peran ini tidak terdapat dalam MRP maka dengan

demikian MRP tidak mempunyai fungsi dalam legislasi.

Menurut Jimly Asshidiqie, Fungsi Pengaturan atau Legislasi

menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:

a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);

b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);

c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactment approval);

d. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian

atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum

yang mengikat lainnya (Binding decision making on

international agreement and treaties or other legal binding

documents).

Dengan demikan nampak bahwa fungsi legislasi yang terdapat

didalam MRP hanya sebatas pembahasan rancangan perundang-

undangan, pengesahan dan memberikan persetujuan terhadap

rancangan undang-undang. Dengan demikian MRP dalam fungsi

112

legislasi hanya menjalankan 2 (dua) bentuk dari fungsi legislasi.

Dengan kewenangan yang terbatas, MRP tidak dapat dikatakan

mempunyai fungsi legislasi. Dikarenakan didalam fungsi legislasi

harus dilihat secara utuh, yaitu mulai dari proses pembuatan,

pengajuan dan pengesahan dapat dilakukan oleh MRP. Selama peran

tersebut tidak terdapatdi didalam MRP maka MRP tidak mempunyai

fungsi legislasi dalam pembentukan peraturan perundangan

(Perdasus). Dengan melihat hal tersebut maka fungsi legislasi dalam

pelaksanaan Otsus Papua menjadi monopoli dari DPRP dan hanya

terdapat dilembaga DPRP.

Dengan tidak adanya peran legislasi dalam MRP menjadikan tugas

besar bagi DPRP dalam menjalankan fungsi legislasi khususnya dalam

pembuatan Perdasus. Pembagian dalam fungsi legislasi sebenarnya

akan lebih meringankan beban dari DPRP dimana dalam hal

pembentukan Perdasus diserahkan kepada MRP sehingga pembuatan

Perdasus tidak terhambat. Fungsi legislasi yang diserahkan ke MRP

hanya sebatas dalam pembentukan Perdasus sesuai dengan amanat UU

Otsus. Hal ini dimaksudkan untuk pembagian pembentukan peraturan

perundangan di Papua dimana pembentukan dari Perdasus terletak

pada MRP dan pembentukan peraturan Perdasi terdapat di dalam

113

DPRP. Adanya pembagian tersebut akan memberikan kinerja dari

kedua lembaga perwakilan ini dapat lebih baik dan terarah dalam

pembahasan pembuatan peraturan perundangan tanpa mengurangi

salah satu lembaga dalam fungsi legislasi.

Kelemahan dari MRP tersebut yang membuat pembentukan Perdasus

Papua tidak dapat berjalan dengan maksimal. Dari lahirnya UU Otsus

Papua dan dibentuknya MRP, kelemahan ini yang menjadi dasar

terlambatnya lahirnya aturan pelaksana dari pasal-pasal dalam UU

Otsus dalam pembentukan Perdasus. Kebanyakan Perdasus yang telah

dibuat oleh DPRP dan Pemda apabila dilihat sejak hadirnya UU Otsus

dan MRP adalah berselang setelah hampir 7 (tujuh) tahun baru

dibuatnya Perdasus. Namun masih ada banyak pasal-pasal dalam UU

Otsus yang belum direalisasikan dalam bentuk Perdasus oleh DPRP

dan Pemda.

Tabel 2.1 Pasal-Pasal dalam Otsus yang Belum Ditindaklanjuti

Landasan

Hukum UU

No.21/2001

Isu Utama Aturan Tindak

Lanjut

Pasal 2 Lambang Daerah Perdasus

Pasal 4 Kewenangan-kewenangan Khusus

Pemerintahan yang diberlakukan di Perdasi/Perdasus

114

Provinsi Papua

Kewenangan kab/kota lainnya Perdasi/Perdasus

Tata cara pemberian pertimbangan

oleh Gubernur mengenai perjanjian

Internasional

Perdasus

Pasal 6 Tata cara pengangkatan anggota

DPRP Perdasus

Pasal 11 Tatacara pemilihan Gub/Wagub Perdasus

Pasal 28 Partai Politik Lokal Perdasus

Pasal 34 Pembagian Dana Otsus Perdasus

Pasal 38

Usaha-usaha perekonomian,

penghormatan hak-hak masyarakat

adat, jaminan kepastian hukum,

pelestarian lingkungan,

pembangunan berkelanjutan

Perdasus

Pasal 66

Pengembangan suku-suku yang

terisolasi, terpencil dan terabaikan di

Provinsi Papua

Perdasus

Pasal 67 Pengawasan hukum, politik, sosial Perdasus

Pasal 69

ayat (1) PP

54/2004

Pengawasan Masyarakat terhadap

pelaksanaan tugas, wewenang, hak

dan kewajiban MRP

Perdasus

Tabel 2.2 Pasal-Pasal dalam Otsus yang sudah Ditindaklanjuti

Landasan

Hukum UU

No.21/2001

Isu Utama Perdasus yang sdh

terealisasikan

115

Pasal 20 Tugas dan Wewenang MRP

Perdasus Nomor 4

Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang MRP

Pasal 21 dan

Pasal 23 Hak dan Kewajiban MRP

Perdasus Nomor 3

Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan Hak dan

Kewajiban MRP

Pasal 38 Perekonomian Berbasis

Kerakyatan

Perdasus Nomor 18

Tahun 2008 tentang

Perekonomian Berbasis

Kerakyatan

Pasal 43 Hak Ulayat Masyarakt Hukum

Adat

Perdasus Nomor 23

Tahun 2008 Hak Ulayat

Masyarakat Hukum

Adat dan Hak

Perorangan Warga

Masyarakat Hukum

Adat atas Tanah

Pasal 51 Peradilan Adat

Perdasus Nomor 20

Tahun 2008 tentang

Peradilan Adat di Papua

Pasal 57 Perlindungan HAKI Orang

Asli Papua

Perdasus Nomor 19

Tahun 2008 tentang

Perlindungan HAKI

Orang Asli Papua

Pasal 63 Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan

Perdasus Nomor 23

Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan di

Provinsi Papua

Pasal 64 Pengelolaan dan Pengelolaan

SDA Masyarakat Adat

Perdasus Nomor 22

Tahun 2008 tentang

Pelindungan dan

116

Pengelolaan SDA

Masyarakat Hukum

Adat

2. Peran dan Fungsi Pengawasan MRP

Melihat MRP dalam fungsi pengawasan pada pelaksanaan Otsus

Papua mempunyai peran yang penting. Hal ini dikarenakan

kedudukan MRP yang merupakan representasi orang asli Papua.

Pengawasan terhadap pelakanaan pemerintah daerah menyangkut

kepentingan orang asli Papua mendapatkan pengawasan dari MRP.

Yang menjadi peran MRP dalam melakukan pengawasan di dalam

pelaksanaan Otsus Papua. Dalam UU Otsus Papua dapat terlihat

dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 29, Pasal 38, Pasal

40 dimana MRP dapat menjalankan perannya sebagai pengawas

terhadap pelaksanaan Otsus Papua yang lebih mengutamakan

perlindaungan terhadap orang asli Papua/keberpihakan kepada orang

asli Papua dalam affirmative action.

Dengan demikian perlindungan yang telah terdapat dalam UU Otsus

ditambah dengan dikeluarkannya PP MRP yang mana dapat dilihat

dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 dan

117

Pasal 43. Semua pasal-pasal tersebut lebih pada perlindungan orang

asli Papua. Kemudian dalam peraturan pelaksana yaitu Perdasus yang

lebih menjabarkan titik beratka kepada peningkatan peran masyarakat

asli Papua dan perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua di

segala aspek. Dalam Perdasus dapat dilihat dalam Pasal 2, Pasal 4,

Pasal 8, Pasal 14 dan Pasal 18.

Menurut Jimmly Asshidiqie, Fungsi Pengawasan (control) adalah,

Pelaksanaan dari pengaturan yang telah dibuat tersebut ada

pengawasan dari wakil rakyat di parlemen. Oleh karena itu lembaga

perwakilan diberikan kewenangan untuk melakukan kontrol dalam

tiga hal, yaitu a. kontrol terhadap pemerintah (control of executive), b.

Kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), c. Kontrol atas

pemungutan pajak (contol of taxation).

Jimmly membagi salah satu tugas pokok dari lembaga perwakilan

salah satunya fungsi pengawasan (Control):

a. Pengawasan atas penentuan kebijakan (control of policy making);

b. Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan (control of policy

executing);

c. Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara (control of

budgeting);

d. Pengawasan atas pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control

of budget implementation);

118

e. Pengawasan atas kinerja pemerintahan (control of government

performances);

f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of

political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan

atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan

oleh DPR.

Pengawasan yang dilakukan oleh MRP yang telah diatur oleh UU

Otsus Papua, PP MRP dan Perdasus. Peranan dalam pengawasan oleh

MRP dalam pelaksanaan Otsus Papua, lebih berfungsi menyangkut

mengenai hak-hak dasar orang asli papua. Pengawasan tersebut

menyangkut peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

daerah.

MRP dapat menggunakan haknya untuk meminta peninjauan kembali

suatu peraturan daerah (perdasi) yang dibuat oleh pemerintah daerah

apabila peraturan daerah tersebut merugikan hak-hak asli orang papua

dalam pelaksanaannya. Dengan demikian pemerintah daerah dalam

membuat peraturan daerah provinsi (Perdasi) harus memperhatikan

kekhususan yang dimiliki oleh orang asli papua.

Dalam hal pemerintah daerah melakukan suatu hubungan kerja sama

dengan pihak ketiga. Peran MRP memberikan pertimbangan dan

119

persetujuan terhadap perjanjian kerja sama yang akan dilakukan oleh

pemerintah daerah. Dimana lebih menekankan bahwa kerjasama

tersebut tidak merugikan bagi kepentingan orang asli papua dalam

kedudukannya sebagai yang mempunyai kuasa atas hak ulayat dan

keuntungan dalam ekonomi, sosial dan budaya. Kedudukan dalam

memberikan pertimbagan dan persetujuan terhadap kerjasama

memberikan tujuan proteksi terhadap orang asli Papua dalam

keterlibatan dalam suatu perjanjian yang dihasilkan. Selain

keterlibatan MRP dalam memberikan persetujuan juga tidak lepas dari

peran masyarakat yang merupakan sasaran dari perjanjian kerjasama

yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pengawasan terhadap hak-hak orang asli Papua juga terlihat dalam

pemberdayaan sektor ekonomi dimana dalam pengembangan sektor

ekonomi MRP memberikan peran dalam proteksi terhadap orang asli

papua. Didalam rencana pembangunan ekonomi tidak merusak tataran

adat dalam hal hak ulayat dari masyarakat adat Papua. Dengan

demikian diharapkan hak-hak ulayat dalam masyarakat tetap terjaga

dan keterlibatan dari pemilik hak ulayat dalam pengembangan

ekonomi.

120

Peran MRP yang paling sentral adalah melindungi Hak-hak orang asli

Papua. Peran ini yang diletakan pada MRP dalam memberikan

perlindungan terhadap orang asli Papua di berbagai aspek kehidupan

dan terutama menjaga agar hak-hak ulayat adat tidak hilang dengan

berkembangnya dinamika kehidupan dalam pembangunan di Papua

secara keseluruhan. MRP yang diletakan sebgai lembaga perlindungan

terhadap orang asli Papua juga berperan dalam menerima pengaduan

dan aspirasi dari masyarakat. Aspirasi dan pengaduan yang diterima

MRP dari masyarakat adalah pengaduan terhadap kebijakan

pemerintah daerah. Disini MRP terlibat dalam memberikan apa yang

terjadi dan terlibat dalam proses penyelesaian masalah. Dengan

demikian MRP lebih berperan dalam pengawasan terhadap

pelaksanaan Otsus Papua. Fungsi pengawasan ini yang lebih

menonjol berada di MRP dibandingkan fungsi sebagai pembentuk dan

pembuat peraturan perundangan khususnya Perdasus di tingkat

Provinsi.

Fungsi pengawasan ini juga terhadap pencalonan gubernur dan wakil

gubernur Papua. Dalam hal ini MRP dapat menyatakan gubernur

adalah orang asli Papua adalah kewenangan dari MRP. Pengakuan

MRP terhadap status asli atau tidaknya seseorang sebagai orang asli

121

Papua bertujuan dalam hal pencalonan gubernur dalam proses

pemilukada. Hal ini akan berakibat apabila MRP tidak mengakui

seseorang adalah orang asli Papua maka tidak dapat diajukan dalam

salah satu cagub dalam pemilukada gubernur.

3. Peran dan Fungsi Perwakilan MRP

Lahirnya MRP sebagai suatu lembaga perwakilan memberikan

proteksi kepada orang asli Papua dalam keterwakilan secara kultural

dan bukan politik. Kehadiran MRP dalam wujud perwakilan kepada

kelompok-kelompok masyarakat di Papua. Keterwakilan tersebut

diantaranya adalah Adat, Agama dan Perempuan yang

merepresentasikan keseluruhan dari masyarakat Papua. Yang mana

telah diatur keterwakilan tersebut di dalam UU Otsus Papua Pasal 19

dan PP MRP Pasal 1 angka 5 dan 12.

Wujud keterwakilan dari Adat memperhatikan suatu pengakuan

terhadap nilai-nilai kultural Adat orang asli Papua. Hal ini terlihat dari

pengkuan perwakilan adat dalam MRP yang berasal dari berbagai

Lembaga Masyarakat Adat Papua dimana mereka dilihat dari status di

dalam kehidupan Adat Papua. Perwakilan dari Agama, kelompok

perwakilan agama merepresentasikan agama-agama yang terdapat di

122

Papua. Antara lain adalah agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam.

Namun perwakilan agama tetap merepsentasikan orang asli Papua.

Sehingga mereka yang mewakili dari agama adalah orang asli Papua

dan berdasarkan mayoritas dedominasi gereja yang ada di Papua.

Terakhir adalah perwakilan dari unsur perempuan dalam MRP.

Perwakilan perempuan tetap memperhatikan dari orang asli Papua.

unsur ini diambil dari mereka yang bekerja di LSM dan juga berasal

dari Lembaga Adat Masyarakat. Keterwakilan perempuan dalam

memberikan posisi peran perempuan dalam perlindungan terhadap

hak-hak mereka dalam kehidupan adat istiadat di Papua.

Jimly Asshidiqie, Fungsi Perwakilan (representasi), dalam hal ini

harus dibedakan antara pengertian representation in presence

(keterwakilan melalui kehadiran) dan representation in ideas

(keterwakilan secara ide/aspirasi).

Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling

pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu

sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak

bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu, penting dibedakan antara

pengertian representation in presence dan representation in ideas.

123

Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang

dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian

keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas

dasar aspirasi atau idea. Dalam pengertian yang formal, keterwakilan

itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat

yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi,

secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat

dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat

rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil

menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga

perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidaktidaknya aspirasi

mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi

perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.

Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai

hubungan di antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana

wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan

yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.

Perwakilan terhadap orang asli Papua dalam MRP, dimana para wakil

tersebut bertindak atas kepentingan masyarakat asli Papua. pembagian

124

perwakilan dalam masyarakat adat menggambarkan beragam pihak

yang diwakilkankan dalam MRP. Peran dari wakil-wakil tersebut

lebih dekat kepada masyarakat adat dikarenakan faktor kedekatan

dalam kultur. Dengan demikian perwakilan di MRP merupakan wakil

yang dipilih untuk mewakilkan siapa dan dengan kepentingan

menjaga keserasian dalam kehidupan di Papua secara umum.

Anggota MRP yang telah dibagi dalam pokja berperan dalam

mendengarkan aspirasi masyarakat adat. Hal dilakukan dengan

melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang mengalami masalah baik

apakah permasalahan tersebut berhubungan dengan adat, agama dan

perempuan. Representasi keterwakilan di dalam pokja berperan dalam

medengar aspirasi masyarakat. Hal tersebut berhubungan dengan rasa

pertanggung jawaban dari anggota MRP terhadap masyarakat Papua.

walaupun anggota MRP berasal dari berbaga suku adat yang terdapat

di Papua namun mereka mempunyai tanggung jawab secara

keseluruhan terhadap masyarakat Papua. Perekrutan dalam mengisi

anggota MRP akan berhungan dengan kemampuan MRP menghadapi

dinamika sosial dan politik di Papua. walaupun perwakilan MRP

berasal dari latar belakang adat, namun bukan berarti tidak ada standar

pendidikan yang ditetapkan dalam rekrutmen anggota MRP. Wakil-

125

wakil adat diberikan tempat untuk turut serta memberikan

pertimbangan terhadap praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan

dalam rangka otonomi khusus pada umumnya, dan pembentukan

Perdasus dalam rangka melindungi hak-hak orang asli Papua. UU

Nomor 21 Tahun 2001 telah memberikan tempat yang tepat dan

proposional kepada wakil-wakil adat dalam lembaga MRP.

Lembaga MRP dibentuk sebagai wujud menanggapi/menjaring

aspirasi dan isu-isu yang berkembang di Papua, dengan mendengar

aspirasi dari masing-masing lembaga adat diharapkan dapat

memperjuangkan keputusan-keputusan yang lebih berpihak kepada

masyarakat asli papua. Diharapkan MRP dapat memperjuangkan

aspirasi sosial, budaya, ekonomi dan politik orang Papua dalam

menjaga identitas budaya dan politik orang Papua.

Dengan melihat konstruksi bikameral yang ada di dalam pelaksanaan

Otsus Papua dan berangkat dari pandangan bahwa lembaga

perwakilan yang ada mencerminkan dua perwakilan. Dimana ada

terdapat dua lembaga perwakilan, yaitu DPRP dan MRP. Namun

kedudukan kedua lemabaga perwakilan tersebut berbeda apabila

dilihat dalamsistem pemilihan anggota. DPRP dipilih dalam pemilu

126

dimana keterwakilannya berasal dari anggota partai politik yang dilih

dalam pemilu sedangkan MRP pemilihan anggota MRP berasal dari

wakil adat, perempuan dan agama yang bukan berasal dari partai

politik.

Pandangan Jimly Assidiqie terhadap rancangan pembentukan lembaga

perwakilan, memberikan saran agar nama parlemen di Papua adalah

Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ini terdiri dari dua kamar

(bikameral), pertama senat yang terdiri dari orang-orang asli Papua

(wakil-wakil adat, agama dan perempuan) kedua adalah kamar yang

terdiri dari wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilu,

yang disebut-sebut DPRD (sekarang disebut dengan DPRP).

Dalam Sistem bikameral yang tergambar di dalam Otsus papua masih

terbatas, yaitu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis

mengenai Papua, sehingga peran dan fungsi dari MRP terlihat sangat

terbatas dalam sistem bikameral terutama dalam hal pembuatan dan

pengusulan mengenai Perdasus. Dimana fungsi legislasi tersebut

berada ditangan DPRP.

Dengan tidak berimbangnya peran dan fungsi MRP di dalam

kedudukannya sebagai lembaga perwakilan yang hadir dalam

127

pelaksanaan Otsus Papua. Dimana ada batas dalam fungsi legislasi

dalam pembuat dan mengusulkan suatu peraturan daerah khusus

sehingga peran dominan dalam legislasi berada ditangan DPRP.

Hal ini dalam sistem bikameral apabila salah satu kamar lebih

dominan dibandingkan kamar lain dalam kewenangan yang tidak

berimbang atau sama kuat akan mengarah kepada Weak bicameralism.

Hal ini sebaiknya dihindari karena akan menghilangkan tujuan

bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol diantara kedua

kamarnya. Dengan demikian kedudukan antara DPRP dan MRP lebih

tepat mengarah kepada strong bicameralism, dimana kedudukan

kewenangan diantara kedua kamar berimbang sehingga menciptakan

saling kontrol diantara kedua lembaga. Kedua kamar dilengkapi

dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi

satu sama lain dalam pelaksanaan Otsus Papua.