Upload
rido-nofendri
View
739
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
PROSES PEMBUATAN GULA
3.1 Bahan
Bahan baku proses pengolahan gula kristal putih adalah tebu. Sumber
bahan baku PG. Kebon Agung sebagian besar didapat dari perkebunan lokal
(daerah Kabupaten Malang).
Selain bahan baku, proses pengolahan gula kristal putih juga memerlukan
bahan pembantu. Bahan pembantu tersebut adalah:
a. Air
Air di PG. Kebon Agung digunakan untuk proses, pencuci dan pendingin
mesin-mesin (air injeksi). Kebutuhan air untuk proses giling relalitif sedikit
karena selama proses operasi berlangsung banyak dihasilkan air kondensat yang
dapat digunakan (recycle) untuk proses lagi.
b. Kapur tohor
Kapur tohor dipakai untuk menghilangkan suasana asam yang terdapat
pada nira mentah. Penambahan bertujuan agar sukrosa yang terdapat dalam tebu
tidak terinversi karena sukrosa sangat mudah terpecah dalam suasana asam. Kapur
tohor yang dipakai untuk proses produksi dibuat menjadi susu kapur. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah pemerataan kapur dalam nira sehingga akan
mempermudah peoses pengendapan pada waktu pemurnian.
Kapur yang digunakan berasal dari Sumber Manjing (Malang Selatan) dan
telah memenuhi standar kualitas yang ditetapkan P3GI (Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia) Pasuruan.
c. Belerang
Belerang ditambahkan dalam bentuk gas SO2. Gas ini terbentuk karena
adanya pembakaran sehingga belerang bereaksi dengan O2 (Oksigen) membentuk
gas SO2. Pemberian ini bermaksud untuk menetralkan kelebihan basa sekaligus
mempercepat proses pengendapan pada Stasiun Pemurnian nira. Selain itu, juga
bertujuan untuk mereduksi kandungan zat warna yang terkandung dalam nira.
25
Belerang yang digunakan PG Kebon Agung diimpor dari Singapura dan
telah memiliki sertifikat mutu dari P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia) Pasuruan.
d. Asam fosfat
Asam Fosfat ditambahkan dengan maksud untuk membentuk endapan
dengan kapur dan menyerap koloid serta bertindak sebagai inti endapan.
e. Flocculant agent
Flocculant agent diberikan dengan tujuan mempercepat proses flokulasi
dan koagulasi dalam bak pengendapan. Flokulan yang dipakai di PG Kebon
Agung adalah jenis Superflok Accofloc A-110 H. Flokulan ditambahkan dalam
bentuk cairan yang encer.
3.2 Proses Pengolahan Gula Kristal Putih (GKP)
Proses pengolahan gula pasir atau gula kristal putih di PG pada dasarnya
adalah pemisahan sukrosa dari bahan-bahan non-sukrosa, kemudian diikuti
dengan proses pengkrisatalan sukrosa. Dengan kata lain, tujuan proses pabrikasi
adalah mengambil nira sebanyak-banyaknya dari tebu dan mengubahnya menjadi
gula kristal putih secara efektif dan efisien sehingga siap dikomersilkan. Proses
pabrikasi tersebut terdiri dari tahapan-tahapan (stasiun), antara lain:
a. Stasiun Persiapan Bahan Baku
b. Stasiun Gilingan
c. Stasiun Pemurnian
d. Stasiun Penguapan
e. Stasiun Masakan
f. Stasiun Putaran
g. Stasiun Penyelesaian
3.2.1 Stasiun Persiapan Bahan Baku
Stasiun persiapan bahan baku bertujuan untuk mempersiapkan bahan baku
(tebu maupun bahan non tebu) sebelum diproses lebih lanjut. Stasiun ini terbagi
menjadi dua bagian, yaitu stasiun penerimaan dan stasiun penimbangan.
3.2.1.1 Stasiun Penerimaan
Stasiun penerimaan merupakan tempat untuk penerimaan tebu. Stasiun ini
mempunyai tugas diantaranya:
1. Menerima SPTA (Surat Perintah Tebang Tebu dan Angkut).
SPTA secara fisik merupakan lembaran rangkap 4 dan berbeda warna.
Lembar pertama berwarna putih sebagai arsip PDE. Lembar ke dua berwarna
kuning sebagai arsip pabrikasi. Lembar ke tiga berwarna merah sebagai arsip bina
wilayah, dan lembar ke empat berwarna hijau sebagai arsip untuk sopir. Dalam
SPTA tercantum beberapa hal yaitu:
a. Jenis tebang
b. Nama petani
c. Kode regristasi
d. Tanggal tebang tebu, dan
e. No. urut SPTA.
Ada dua jenis SPTA yang dikeluarkan oleh PG. Kebon Agung, yaitu:
a. SPTA untuk tebu yang ditebang KUD/ ditebang sendiri.
b. SPTA untuk tebu yang ditebang PG. Kebon Agung sendiri.
SPTA ini harus dibawa setiap truk yang mengangkut tebu dari penyalur tebu
(KUD) yang telah memiliki nomor regristasi dan telah terdaftar di PG. Kebon
Agung, untuk kemudian diberikan nomor antrian dan selanjutnya menunggu di
terminal penempatan (emplacement).
2. Memberi nomor truk di Emplecement.
Sopir truk yang sudah di periksa SPTAnya kemudian diberikan nomor
antrian yang selanjutnya menunggu di terminal penempatan (emplacement).
Emplacement yang dimiliki oleh PG. Kebon Agung mampu menampung 440 truk
biasa dan 60 truk gandeng yang terdiri dari 35 jalur antrian dan jalur cadangan
yang mampu menampung 90 truk biasa (jalur kembar dan jalur gudang).
Apabila terjadi suatu masalah sampai menimbulkan stop giling, jumlah
truk-truk yang masuk di terminal emplacement bisa mencapai ± 1000 buah per
hari. Hal ini diatasi PG. Kebon Agung dengan cara menempatkan luapan truk
tersebut pada lapangan sepak bola PG. Kebon Agung untuk sementara waktu.
Namun, pada kondisi normal, truk-truk tersebut menunggu selama 24 jam untuk
sampai pada stasiun gilingan.
3. Pengaturan antrian truk sesuai dengan sistem FIFO (First In First
Out)
Pengaturan dengan sistem FIFO adalah pengaturan jalur truk yang mana
truk yang masuk lebih awal maka muatan tebunya akan digiling lebih dulu. Sistem
FIFO bertujuan untuk menekan kehilangan gula dalam tebu sebelum pengolahan
pabrik.
4. Seleksi tebu yang akan masuk.
Kebijakan seleksi tebu yang dilakukan PG. Kebon Agung adalah tebu yang
sesuai dengan standar MBS (Manis, Bersih dan Segar). Uraian standar MBS
adalah sebagai berikut:
Manis, maksudnya tebu harus memiliki kadar brix dan rendemen
sesuai dengan standar dan ketentuan pabrik. Seleksi yang dilakukan diawali
dengan mengambil sedikit air tebu menggunakan alat hand brix. Air tebu yang
diambil diteteskan pada kaca hand brix untuk diketahui % brixnya. Semakin
tinggi % brixnya maka semakin tinggi pula kadar gulanya. Adapun % brix
yang ditetapkan oleh PG. Kebon Agung secara umum adalah 18 % untuk
semua jenis tebu. Sedangkan konsekuensi tebu terkait dengan standarisasi
persen brix adalah:
a. % brix < 10 % = Tebu ditolak masuk
b. % brix berkisar 10 % dan <14 % = Ketentuan rafaksi di meja tebu
c. % brix >14 % = Tebu diterima masuk
Bersih, maksudnya tebu harus bersih dari sogolan, daduk dan
pucukan-pucukan serta kotoran lain seperti tanah, plastik dan lain-lain.
Adapun kriteria kotoran dan pengenaan rafraksi khusus (% ) yaitu:
a. Tebu dengan tali pucuk dikenakan rafaksi 2 % (seharusnya memakai tali
dari pohon bambu).
b. Tebu yang masih terdapat akar atau daduk dikenakan rafaksi 5 %.
c. Tebu sogolan (anak tebu) terkena rafaksi 10 %.
d. Tebu pucuk atau terdapat akar dan tanah (cara memotongnya terlalu
memucuk) terkena rafaksi 15 %.
e. Tebu yang terdapat akar, tanah, sogolan, pucuk dan daduk (ASTSPD)
dikenai rafaksi 20 %.
f. Tebu campur tanah dikenai rafaksi 15 %.
g. Tebu muda dan tebu terbakar dikenakan rendemen khusus.
Segar, maksudnya bahwa tebu yang datang harus segera digiling
dalam keadaan segar. Dalam artian bahwa tebu digiling tidak lebih dari 24 jam
sejak waktu ditebang.
3.2.1.2 Stasiun Penimbangan
Setelah tebu diterima pada stasiun penerimaan, selanjutnya tebu tersebut
ditimbang. Ada tiga jenis timbangan yang digunakan PG. Kebon Agung Malang,
yaitu:
1. Timbangan truk 1
Proses penimbangan dilakukan dua tahapan. Pertama, truk dan tebu
ditimbang secara bersamaan pada jembatan timbangan sehingga didapatkan
berat bruto. Selanjutnya tebu diturunkan ke meja tebu. Truk yang muatannya
kosong ditimbang untuk kali kedua sehingga didapat berat tarra. Jadi, berat
netto tebu tersebut adalah selisih antara berat bruto dan berat tarra.
Alat timbang yang digunakan adalah timbangan AND AD 4347
dengan kapasitas maksimumnya 50 ton.
2. Timbangan crane
Timbangan crane merupakan timbangan yang diperuntukkan khusus
tebu yang ditebang oleh PG. Kebon Agung untuk kemudian dipindahkan ke
lori. Oleh karena itu truk tersebut harus membawa tebu dengan aturan tidak
melebihi kapasitas 10 ton. Ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan
kapasitas lori. Sedangkan pengawasannnya dengan cara melewatkan truk
tersebut pada sebuah portal setinggi 2,75 m sebelum memasuki penimbangan
dengan tujuan jumlah tebu yang dibawa tidak berlebihan dan sesuai dengan
kapasitas lori.
PG. Kebon Agung menggunakan timbangan crane bermerk Up Green
dengan kapasitas 10 ton dan indicator merk DCGI. Pada timbangan ini
dilengkapi dengan rantai yang digunakan untuk mengangkat tebu dari truk,
selain itu juga berfungsi sebagai penggantung saat tebu di timbang. Rantai
tersebut berbobot 25 kg. Dengan demikian, berat hasil penimbangan yang
diperoleh langsung dikurangi 25 kg (berat rantai) untuk memperoleh berat
tebu sesungguhnya.
3. Timbangan truk II
Timbangan ini diperuntukkan khusus bagi truk yang bermuatan selain
tebu, seperti tetes, belerang, kapur, blotong, pupuk, bibit tebu, residu, besi
tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, timbangan ini juga dikenal dengan
sebutan timbangan non tebu.
Adapun cara kerja timbangan ini sama seperti timbangan truk I,
dimana dilakukan dua tahapan penimbangan untuk kemudian diperoleh berat
netto.
PG. Kebon Agung menggunakan timbangan dengan merk Toledo
dengan kapasitas maksimum 40 ton sedangkan satuan minimun adalah 5 kg.
3.2.2 Stasiun Gilingan
Pada prinsipnya, stasiun gilingan merupakan tahapan proses dalam rangka
pemisahan (ekstraksi) nira dari tebu secara efektif dan efisien. Dengan kata lain
fungsi stasiun gilingan adalah untuk mengambil nira sebanyak mungkin dari tebu.
Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi proses pada stasiun gilingan ditentukan
oleh dua hal yaitu mekanisme proses serta pemberian air imbibisi.
3.2.2.1. Mekanisme Proses Gilingan
Mekanisme proses penggilingan terdiri dari dua tahap, yaitu perlakuan
pendahuluan dan pemerahan nira.
a. Perlakuan pendahuluan (pembukaan sel-sel tebu)
Tebu dari kereta lori dan truk diangkat oleh 4 buah crane berkapasitas
12,5 ton kemudian dialokasikan ke meja tebu (cane table). Selanjutnya tebu
digiring menju cane leaveller untuk pengaturan dan pemerataan posisi tebu
terlebih dahulu dengan sistem rolling. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
proses pemotongan tebu. Selanjutnya, tebu diarahkan oleh auxiliary cane carrier
menuju cane cutter.
Proses selanjutnya adalah pemotongan tebu oleh cane cutter. Kemudian
potongan-potongan tebu tersebut dihancurkan/dicacah dengan cara ditumbuk-
tumbuk menggunakan Unigrator sehingga berbentuk serabut-serabut. Dengan
begitu tebu tersebut akan menghasilkan nira yang maksimal ketika dilakukan
pemerahan.
b. Pemerahan nira
Pemerahan nira dilakukan dengan metode penggilingan bertahap, secara
mekanis menggunakan rol gilingan. Terdapat 5 (lima) unit atau tahap gilingan
yang mana tiap unit tebu mengalami dua kali pemerahan secara kontinyu. Proses
penggilingan menghasilkan nira maupun ampas.
Gilingan I
Serpihan-serpihan tebu masuk ke Gilingan I dengan alat bantu Donelly
Chute. Serpihan tersebut dibawa oleh rol pengumpan (feeding rol) yang
berperan untuk memasukan dan menarik umpan (serpihan tebu) pada rol
gilingan. Nira yang dihasilkan dari Gilingan I ini disebut Nira Perahan
Pertama (N1) untuk selanjutnya ditampung. Sedangkan ampas yang yang
dihasilkan disebut ampas I (A1) dan dialirkan ke gilingan II.
Selain proses pemerahan, pada gilingan I juga dilakukan pembunuhan
mikroba dengan menggunakan steam bertekanan 7 kg/cm2 setiap 2 jam sekali.
Gilingan II
Ampas gilingan I (A1) masuk ke gilingan II dengan menggunakan
Intermediate Carrier II. A1 ditambahkan nira hasil dari gilingan III (nira
imbibisi) kemudian digiling di gilingan II. Nira hasil gilingan II disebut nira
perahan kedua (N2). N2 bersama N1 kemudian dipompa ke saringan DSM dan
dialirkan ke penampungan nira mentah.
Adapun ampas hasil gilingan II disebut ampas II (A2) dan masih
diteruskan ke gilingan III.
Gilingan III
Ampas gilingan II (A2) diumpankan ke Gilingan III melalui alat
Intermediate Carrier III. A2 ditambahkan nira hasil dari gilingan IV (nira
imbibisi) kemudian digiling di gilingan III. Nira hasil gilingan III disebut nira
perahan ketiga (N3).
Nira gilingan III ditambahkan susu kapur (Ca(OH)2 dan desinfektan
(voltabio 2219). Penambahan susu kapur bertujuan untuk meningkatkan pH
agar nira tidak menjadi asam sehingga sukrosa tidak terinversi sedangkan
penambahan desinfektan (voltabio 2219) bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme yang berada pada nira. Nira gilingan III kemudian digunakan
untuk membasahi ampas gilingan I.
Sedangkan output gilingan III lainnya berupa ampas III (A3). Ampas
ini akan digiling kembali pada gilingan IV.
Gilingan IV
Ampas Gilingan III (A3) masuk ke dalam Gilingan IV melalui
Intermediate Carrier IV. A3 ditambahkan nira hasil dari gilingan V (nira
imbibisi) kemudian digiling di gilingan IV.
Nira hasil gilingan IV disebut nira perahan keempat (N4). Nira gilingan
IV ditambahkan desinfektan untuk selanjutnya digunakan sebagai nira imbibisi
pada ampas gilingan II. Ampas hasil gilingan IV (A4) selanjutnya akan
diteruskan ke gilingan V.
Gilingan V
Ampas Gilingan IV (A4) diteruskan ke Gilingan V melalui
Intermediate Carrier V. Sebelumnya, A4 dibasahi dengan air imbibisi
bertemperatur 60 – 70 oC terlebih dahulu untuk kemudian digiling di gilingan
V. Nira hasil gilingan V disebut nira perahan kelima (N5). Nira ini kemudian
ditambahkan susu kapur dan selanjutnya digunakan sebagai nira imbibisi pada
ampas gilingan III.
Air imbibisi yang ditambahkan berkisar dari 24-28% kondisi ini sangat
memungkinkan untuk melarutkan zat lilin. Zat lilin ini dapat mengakibatkan
timbulnya endapan atau kerak di pipa.
Ampas hasil gilingan V (A5) akan dibawa bagasse elevator menuju
stasiun ketel untuk manfaatkan sebagai bahan bakar. Sebelumnya, ampas
tersebut diuraikan dan dikeringkan oleh udara bertemperatur 150 oC.
Kelebihan ampas pada stasiun ketel akan disaring pada bagassilo separator
untuk mendapatkan ampas halus.
Nira gilingan I (N1) dan II (N2) merupakan nira mentah yang akan
diproses pada stasiun berikutnya. Nira mentah tersebut dipompakan ke saringan
DSM untuk menyaring ampas-ampas halus dan pasir yang masih tertinggal dalam
nira. Ampas yang tersaring dikembalikan ke gilingan II sedangkan nira mentah
yang telah disaring dipompakan tanki nira.
3.2.2.2. Air Imbibisi
Penambahan air imbibisi merupakan hal yang ikut menentukan sejuah
mana efektivitas dan efisiensi proses penggilingan. Penambahan air imbibisi
bertujuan untuk menyempurnakan ekstraksi (perasan) nira dari cacahan tebu serta
meminimalisir kehilangan gula dalam ampas. Air imbibisi ditambahkan terhadap
ampas dengan porsi 25 – 26 % berat tebu.
Apabila pemerahan nira pada stasiun gilingan dilakukan tanpa pemberian
air imbibisi maka brix nira yang keluar dari setiap rol gilingan akan sama. Serta
kemurniannya akan turun secara teratur mulai dari nira gilingan awal sampai nira
gilingan akhir.
Pemberian air imbibisi dapat dilakukan dengan 2 cara. Yaitu:
Cara penyiraman
Dilakukan dengan cara menyemprotkan air yang berfungsi sebagai
pengencer.
Cara perendaman
Dilakukan dengan cara merendam ampas tebu sebelum digiling ke dalam air
atau nira yang dipakai sebagai pengencer.
Berdasarkan cara pemberiaannya, air imbibisi dibagi menjadi dua yaitu:
Imbibisi tunggal
Penambahan air imbibisi pada satu unit penggilingan saja, yaitu pada unit
penggilingan terakhir.
Imbibisi ganda
Penambaha air imbibisi yang diberikan kepaa lebih dari satu unit
penggilingan.
Berdasarkan temperatur, air imbibisi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Imbibisi panas
Apabila air yang digunakan bertemperatur 65-70 oC. Keuntungan imbibisi
panas adalah mampu melarutkan gula dalam ampas lebih banyak karena lebih
efektif membuka pori-pori pada ampas selain itu, mampu menghambat
pertumbuhan mikroorganisme perusak nira. Kerugian penggunaan imbibisi
panas adalah biaya yang mahal serta berpeluang melarutkan zat-zat lain (non
gula) sehingga menambah kotoran dalam nira.
Imbibisi dingin
Apabila air yang digunakan bertemperatur 30 oC. Keuntungannya adalah
biaya yang lebih murah serta tidak menambah kotoran pada nira. Adapun
kerugiannya adalah pelarutan gula dalam ampas yang kurang sempurna serta
masih aktifnya mikroorganisme perusak nira.
3.2.3 Stasiun Pemurnian
Stasiun pemurnian merupakan tahapan proses dimana dilakukan proses
pemurnian terhadap nira mentah hasil penggilingan. Pemurnian bertujuan untuk
memisahkan semaksimal mungkin zat-zat bukan gula yang terkandung di dalam
nira mentah dengan proses yang cepat, tidak memakan biaya yang banyak dan
tanpa merusak sukrosa sehingga outputnya berupa nira yang jernih. Stasiun
pemurnian merupakan bagian yang menentukan baik tidaknya kualitas gula yang
dihasilkan. Warna kristal gula yang putih merupakan efek dari proses pada stasiun
pemurnian.
Mekanisme proses pemurnian secara garis besarnya terdiri dari 3 cara,
yaitu:
a. Secara fisika
Dilakukan dengan cara penyaringan dan pengendapan kotoran-kotoran nira.
b. Secara kimia
Dilakukan dengan jalan penambahan bahan-bahan kimia (susu kapur, gas SO2
dan asam phospat) sehingga ketika bereaksi dengan kotoran terbentuk
endapan yang dapat dipisahkan.
c. Secara kimia-fisika
Dilakukan dengan jalan pemanasan, sehingga terjadi penggumpalan kotoran,
disertai dengan pemanfaatan daya absorbsi suatu bahan padat di dalam nira.
Pemurnian ini lebih banyak ditujukan pada kotoran-kotoran yang berbentuk
koloid.
3.2.3.1. Unit dan Proses Pemurnian
a. Penambahan Asam Phospat
Nira mentah dengan pH 5,2 – 5,4 dari saringan DSM yang dialirkan
ke tanki penampungan nira mentah, dilewatkan pada alat pengukur volume
Fox Boro untuk mengetahui volume nira tersebut. Nira pada tanki
penampungan, ditambahkan pupuk TSP sebagai pengganti asam phospat.
Pergantian ini dikarenakan semakin mahalnya harga asam phospat di pasaran.
Penambahan TSP dilakukan secara kontinyu dengan tujuan untuk
menambah kandungan phospat dalam nira sehingga mempermudah dalam
pembentukan flok yang nantinya akan mengikat kotoran-kotoran yang ada
dalam nira. Kebutuhan phospat dalam nira yang diinginkan yaitu sekitar 300–
350 ppm.
b. Heater I
Selanjutnya nira dari tanki penampungan dipompakan menuju
pemanas pendahuluan I (PP I) atau heater I untuk dipanaskan hingga suhu 75
- 80 °C. Suhu ini merupakan suhu optimun, dimana pada temperatur ini
endapan kapur yang terjadi dapat dioptimalkan dan reaksi berlangsung cepat.
Jika suhu yang dipakai lebih dari 80 OC maka akan terjadi gula reduksi akibat
inversi terhadap sukrosa sedangkan jika suhunya lebih kecil dari 75 OC maka
reaksinya akan berjalan kurang sempurna sertan bakteri–bakteri perusak
sukrosa akan tetap hidup.
Adapun tujuan pemanasan pendahuluan I adalah:
1. Mempercepat proses reaksi.
2. Mempercepat reaksi pembentukan endapan Ca3(PO4)2 dimana endapan ini
dapat menggumpalkan unsur Fe(besi) dan Alumunium (Al) karena pada
suasana asam akan membentuk Fe(OH)3 dan Al(OH)3 yang merupakan
hidroksida yang sukar larut.
3. Menekan kerusakan sukrosa akibat inversi.
4. Mengurangi resiko meningkatnya gula reduksi.
5. Mengurangi atau menonaktifkan mikroorganisme khususnya bakteri yang
dapat merusak sukrosa.
c. Preliming
Setelah proses di Heater I nira selanjutnya dipompakan ke Preliming.
Pada unit ini terjadi penambahan susu kapur (Ca(OH)2) ke dalam nira
sehingga pH-nya naik. Penambahan susu kapur bertujuan untuk membentuk
endapan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2), hasil reaksi dengan phospat. Kalsium
fosfat dapat mengadsorbsi kotoran yang melayang disekitarnya (dalam nira).
Ini dikarenakan kalsium phospat merupakan kristalin yang mempunyai daya
ikat yang tinggi terhadap koloid-koloid dan partikel yang melayang.
Reaksi yang terjadi adalah:
P2O5 + 3H2O 2H3PO4
3 Ca(OH)2 + 2 H3PO4 Ca3(PO4)2 + 6 H2O
PG. Kebon Agung menggunakan dua buah Preliming, yaitu Preliming
I dan II. Penambahan susu kapur pada Preliming I diharapkan menghasilkan
nira dengan pH 7-7,5. Sedangkan penambahan kembali susu kapur pada
Preliming II menghasilkan nira dengan pH 8-9. Pengontrolan pH nira
menjadi penting, mengingat apabila pH nira ± 11 maka sukrosa dalam nira
akan tereduksi menjadi fruktosa dan glukosa. Sebaliknya apabila pH nira
terlalu rendah (dibawah 8) maka beresiko pada kerusakan sukrosa sehingga
menghasilkan gula inversi yang rasanya asam.
Adapun pertimbangan terhadap pemberian kapur dalam bentuk susu
kapur, yaitu:
Pemberian menggunakan kapur padat memungkinkan terjadinya
pemberian yang tidak merata (menumpuk) sehingga pH nira tidak sama
pada setiap titik.
Pemberian dengan susu kapur akan menyempurnakan proses
penggaraman.
d. SO2 tower
Nira terkapur harus secepatnya dinetralisir dengan penambahan gas
sulfit (SO2) pada unit bejana sulfitasi atau SO2 tower. Hal ini dilakukan untuk
mencegah timbulnya pemecahan monosakarida yang tidak diinginkan.
Pemberian gas sulfit dengan cara penyemprotan, kemudian terjadi reaksi
netralisasi antara SO2 dan Ca(OH)2 sehingga menurunkan pH nira menjadi
6,5-7,5.
Reaksi yang terjadi adalah:
Ca(OH)2 + SO2 → CaSO3 + H2O
Gas SO2 juga mampu mengeliminasi bahan-bahan pembentuk zat
warna dan mereduksi warna sejumlah garam-garam ferri yang terbentuk
karena kontak dengan gilingan, tanki-tanki dan pipa-pipa. Oleh karena itu,
pemberian gas SO2 membuat warna nira kelihatan lebih jernih.
Senyawa CaSO3 yang terbentuk dari reaksi di atas, dapat menarik
kotoran yang ada pada nira sehingga membentuk flok. Semakin besar
diameter flok maka semakin cepat pula proses pengendapannya.
e. Tanki netralisasi
Setelah disulfitasi nira dipompakan ke tanki reaksi. Dalam tanki
reaksi, pH nira dikontrol agar tetap netral. Pengontrolan tersebut dilakukan
dengan cara penambahan senyawa Ca(OH)2 sehingga pH nira menjadi 7
(netral).
f. Heater II
Kemudian, nira diteruskan ke Pemanas Pendahuluan II atau heater II
untuk dipanaskan pada suhu 105 — 110 °C. Pemanasan ini bertujuan untuk
menyempurnakan reaksi, menurunkan kelarutan gas atau udara dalam nira
serta mempercepat pengendapan.
g. Prefloc tower
Proses selanjutnya adalah mengalirkan nira dari heater II menuju
prefloc tower. Pada unit ini nira ditambahkan dengan flokulan, yaitu senyawa
kimia yang berfungsi untuk mempercepat proses pengendapan kotoran.
Flokulan akan membentuk ikatan berantai dengan kotoran sehingga ikut
mengendap dengan kotoran. Selain itu, pada prefloc tower juga dilengkapi
dengan flash tank yang berfungsi untuk mengeluarkan gas-gas yang tidak
diperlukan dan dapat mengganggu proses pengendapan.
Flokulan yang digunakan bermerek Accofloc A-110H. Jumlah
pemberian flokulan adalah 6 kg/shift. Sebelum ditambahkan ke prefloc tower,
flokulan tersebut dilarutkan dengan air pada holding tank terlebih dahulu.
h. Single tray clarifier
Setelah ditambahkan flokulan, nira kemudian diteruskan ke unit single
tray clarifier untuk proses pengendapan. Pada intinya, unit ini merupakan
unit pemisahan nira sehingga didapatkan nira kotor dan nira jernih.
Nira jernih (encer) kemudian diteruskan ke peti nira encer melalui
saringan nira encer (terdapat 9 buah saringan dengan ukuran 160 mesh) yang
bertujuan memisahkan kotoran-kotoran terutama ampas halus yang masih ada
pada nira jernih. Selanjutnya nira jernih dipompakan ke heater III dengan
suhu 115-120 °C. Pemanasan ini bertujuan untuk menguapakan air yang ada
di dalam nira serta mendekatkan titik didih nira jernih sebelum masuk ke
stasiun penguapan atau mengembalikan panas yang hilang akibat proses
pengendapan sehingga meringankan kerja preevaporator.
Sedangkan nira kotor dipompakan ke tanki nira kotor untuk kemudian
ditambahkan bagassilo (ampas halus) menggunakan mixer yang bertujuan
untuk memperkuat kualitas blotong dan menekan kandungan nira dalam
blotong. Kemudian, nira kotor diteruskan ke rotary vaccum filter (RVF) untuk
memisahkan kotoran atau blotong dan nira tapis. Nira tapis selanjutnya
dipompa ke tanki reaksi. Sedangkan blotong dibawa ke tempat pengolahan
pupuk organik biokompos sebagai bahan baku.
3.2.3.2. Pembuatan Gas SO2
Gas SO2 dihasilkan dari pembakaran belerang padat. Awalnya, belerang
padat pada penampungan dialirkan ke Rotary Sulfur Burner (RSB). Belerang
padat dialirkan secara bertahap ke dalam RSB melalui srew conveyor. Di dalam
RSB, belerang padat di lelehkan sehingga terbentuk belerang cair. Setelah
terbentuk belerang cair kemudian direaksikan dengan udara kering sehingga
menghasilkan belerang dalam bentuk gas. Gas belerang tersebut disublimasi
dalam tangki sublimasi sehingga menghasilkan gas sulfit.
Di dalam tangki sublimasi terdapat 2 saringan berupa batu bata tahan api
yang berfungsi sebagai tempat menempelnya kotoran, menyaring gas sulfit serta
mencegah terjadinya SO3 sehingga dihasilkan gas sulfit yang bersih. Gas sulfit
selanjutnya masuk ke SO2 tower dengan bantuan blower.
Reaksi yang terjadi:
S (s) S (l) S (g)
S (g) + O2 (g) SO2
3.2.3.3. Pembuatan Susu Kapur
Pertama, kapur tohor (CaO) dimasukkan ke dalam molen dan ditambahkan
air panas. Reaksi yang terjadi adalah:
CaO + H2O Ca(OH)2
Susu kapur kemudian dilewatkan saringan untuk memisahkan kotoran, seperti
batu kerikil. Susu kapur ditampung dalam tanki kemudian ditambahkan air panas
agar kekentalannya terjaga pada harga 7 °Be. Setelah itu susu kapur dipompa ke
stasiun-stasiun yang membutuhkan.
3.2.4 Stasiun Penguapan
Hasil dari proses pemurnian adalah nira encer yang masih banyak
terkandung air. Air tersebut perlu dihilangkan untuk mendapatkan nira yang kadar
sukrosanya tinggi melalui stasiun penguapan. Tujuan stasiun penguapan adalah
untuk menaikkan konsentrasi nira sampai mendekati konsentrasi jenuhnya. Nira
kental yang diharapkan adalah nira dengan kadar Brix mencapai 60% atau
kekentalan 30 Be (diukur dengan alat yang bernama Baume). Penguapan nira
dimaksudkan untuk memaksimalkan proses di stasiun masakan dalam
menghasilkan kristal-kristal gula.
Penguapan nira encer dilakukan secara bertahap dengan menggunakan
sistem multiple effect evaporator dengan kondisi vakum. Penggunaan multiple
effect evaporator dengan pertimbangan untuk menghemat penggunaan uap. PG.
Kebon Agung menggunakan 5 (lima) unit evaporator atau Quintiple Effect
Evaporator yang dijalankan secara forward feed. Adapun keuntungan dari tipe ini
adalah:
Efektif. 1 kg uap panas dapat menguapkan 5 kg air dari nira encer.
Efisien. Uap pemanas hanya diperlukan pada badan I sedangkan
badan selanjutnya hanya menggunakan uap panas dari badan sebelumnya.
Memperkecil resiko inversi.
Biaya operasi lebih murah.
Pemilihan kondisi vakum bertujuan untuk:
Menurunkan suhu penguapan nira sehingga tidak merusak sukrosa.
Mencegah terjadinya karamelisasi.
Untuk kebutuhan tenaga pendorong uap dan nira dari evaporator I sampai
evaporator V dengan adanya perbedaan tekanan antara evaporator satu dengan
yang lain.
Jumlah evaporator (badan penguap) yang dimiliki PG. Kebon Agung
untuk saat ini adalah sebanyak 8 buah ditambah 1 buah preevaporator. Dari 9
bejana yang ada, hanya 6 buah yang aktif digunakan sedangkan 3 buah bejana
yang lainnya dalam kondisi siap pakai untuk cadangan. Bejana evaporator ini
terbuat dari alumunium sedangkan pipa yang berada di dalam bejana terbuat dari
stainless steel.
3.2.4.1. Proses Perjalanan Nira
a. Penguapan
Proses awal aliran nira jernih pada stasiun penguapan adalah pemanasan
awal pada preevaporator. Pemanasan pada preevaporator dilakukan untuk
mengurangi beban panas pada evaporator I – V. Kemudian, secara berurutan dan
kontinyu nira diteruskan ke evaporator I, II, III, IV dan V. Nira hasil evaporator
terakhir diharapkan memiliki kadar Brix 60% dan kekentalan 25 - 30 Be.
Tekanan pada setiap evaporator dibuat berbeda dimana tekanan pada
Evaporator I lebih rendah dari Evaporator II, tekanan Evaporator II lebih rendah
dari Evaporator III dan seterusnya. Hal ini bertujuan untuk mengalirkan nira
dengan sendirinya berdasarkan beda tekanan.
b. Unit talodura
Nira kental hasil penguapan kemudian diproses lebih lanjut oleh unit
talodura. Pertama-tama nira tersebut ditampung dalam tangki penampungan
kemudian dialirkan menuju buffer tank, dipanaskan dengan suhu 75-80 °C, dan
selanjutnya dialirkan ke tangki reaksi. Pada tangki reaksi dilakukan penambahan
asam phospat dan susu kapur, kemudian diinputkan gelembung udara dan
flokulan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses
pengapungan kotoran.
Selanjutnya dilakukan pemisahan antara nira kental dengan pengotornya
pada talo dura clarifier sehingga menghasilkan scum dan sirop (nira kental bebas
kotoran). Sirop kemudian diteruskan ke bejana sulfitasi untuk proses sulfitasi.
Proses sulfitasi dilakukan dengan cara penambahan gas SO2 ke dalam nira. Tujuan
sulfitasi nira kental adalah untuk menurunkan pH nira menjadi 5,4 - 5,6 dan
pemucatan nira kental agar dihasilkan gula yang lebih putih. Optimalisasi pH
tersebut dilakukan untuk mencegah pembentukan warna coklat pada nira yang
hanya dapat terjadi pada pH netral dan basah atau lebih besar dari range pH yang
telah ditetapkan.
3.2.4.2. Proses Perjalanan Steam (Uap)
Pada preevaporator uap yang digunakan sebagai pemanas adalah uap
bekas turbin dan penggilingan. Sedangkan uap bekas preevaporator digunakan
kembali sebagai pemanas pan masakan. Untuk evaporator I, steam pemanas yang
digunakan berasal dari boiler. Uap nira yang dihasilkan dari evaporator I
digunakan sebagai pemanas evaporator II, kemudian dari evaporator II ke
evaporator III, dari evaporator III ke evaporator IV, dari evaporator IV ke
evaporator V, dan uap hasil evaporator V selanjutnya dialirkan ke juice catcher
(juice catcher berfungsi untuk menyaring nira yang masih terikut dalam uap). Uap
yang keluar dari juice catcher kemudian dialirkan keluar menuju kondensor
baromatik.
Kondensor baromatik kolom merupakan bagian yang berguna untuk
menghisap gas dan uap air yang terbentuk sehingga kondisi dalam evaporator
berada dalam tekanan rendah. Tekanan yang rendah dalam evaporator akan
mempercepat proses penguapan kandungan air dalam nira. Prinsip kerja
kondensor barometik adalah mengkontakkan air dingin melalui pipa injeksi
dengan uap air yang dihisap, sehingga terjadi perubahan uap air menjadi embun
yang kemudian jatuh ke bawah sebagai air jatuhan.
3.2.4.3. Proses Perjalanan Air Kondensat
Proses pengembunan (kondensasi) terjadi karena penurunan suhu uap
(steam) yang menyebabkan penurunan tekanan pada steam sehingga berubah fase
menjadi embun (kondensat).
Air kondensat dari tiap evaporator dianalisa kandungan gula dan pH-nya.
Air kondensat yang bagus (tidak mengandung gula) digunakan untuk mengisi
boiler. Sedangkan air kondensat yang mengandung gula digunakan sebagai air
proses pabrikasi seperti untuk air imbibisi, pencucian, puteran dan sebagainya.
3.2.4.4. Pembersihan (Skrapping) Evaporator
Untuk memperlancar proses penguapan pipa pemanas maupun pipa nira
perlu dilakukan pembersihan secara periodik. Evaporator cadangan digunakan
untuk menggantikan evaporator yang dibersihkan sehinggga tidak menghambat
proses penguapan. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara, seperti berikut:
a. Cara kimia
Bahan yang digunakan adalah soda caustic. Cara perlakuannya adalah
dengan merendamnya dengan soda caustic selama 8 jam setelah itu dibilas dan
dipanasi dengan air untuk kemudian dibersihkan secara mekanis.
b. Cara Mekanis
Setelah pembersihan secara kimia, pembersihan dilanjutkan secara
mekanis. Cara perlakuannya dengan menggunakan sikat yang menggunakan
tenaga manusia atau biasnya disebut dengan penyekrapan. Pembersihan dilakukan
secara berulang – ulang mulai pipa bagian bawah sampai bagian atas.
3.2.5 Stasiun Masakan
Stasiun masakan merupakan tahapan proses nira berikutnya setelah stasiun
penguapan. Fungsi stasiun masakan adalah untuk memasak nira pekat sebagai
proses awal dalam rangka mengkristalkan gula (sukrosa) yang terdapat dalam
larutan nira pekat dengan syarat-syarat mutu yang ditentukan secara ekonomis.
Dalam larutan nira pekat yang dikristalkan mempunyai tingkat kemurnian
75 – 85 % dengan kandungan bukan gula sebesar 15 – 25 %. Dalam proses
kristalisasi kandungan bukan gula ini dapat menghambat terjadinya proses
kristalisasi gula. Selain itu proses kristalisasi harus dilakukan pada tekanan vakum
secara bertingkat agar sirkulasi di dalam pan merata sehingga proses berlangsung
cepat.
PG. Kebon Agung menggunakan 10 pan masakan yang masing-masing
berkapasitas ± 400 HL (termasuk juga pada bibitan), dengan penggunaan seperti
berikut:
Pan nomor 1 2 3 8 9 10 untuk masakan A
Pan nomor 4 untuk masakan C dan A2
Pan nomor 5 6 7 untuk masakan D
3.2.5.1. Proses Pembentukan Kristal Gula
Nira kental tersulfit hasil dari stasiun penguapan yang memiliki kadar brix
60-65 merupakan larutan dibawah jenuh. Untuk dapat menghasilkan gula, kadar
brix larutan tersebut harus ditingkatkan. Peningkatan kadar brix dilakukan dengan
meningkatkan derajat kejenuhan larutan nira. Langkah untuk meningkatan derajat
kejenuhan adalah:
a. Penguapan air dalam pan masakan
b. Pengkristalan
Terbentuknya kristal pada proses kristalisasi disebabkan oleh saling tarik
menarik dan berkumpulnya molekul-molekul sukrosa dalam larutan. Pada larutan
yang tidak jenuh, letak molekul-molekul sukrosa berjauhan serta berjumlah
sedikit. Akan tetapi pada larutan yang jenuh, jumlah molekul tersebut lebih
banyak dan kedudukannya berdekatan (rapat). Karena jarak molekul yang rapat
menyebabkan daya tarik menarik antar molekul semakin besar sehingga
membentuk gumpalan-gumpalan yang disebut submicron. Penguapan lebih lanjut
menuju fase jenuh menyebabkan submicron-submiron tersebut menyatu menjadi
rantai-rantai sukrosa. Apabila larutan sudah mencapai batas titik jenuhnya (super
saturated solution) maka rantai-rantai sukrosa saling berikatan sehingga
membentuk kerangka yang disebut inti kristal.
Kecepatan kristalisasi dinyatakan sebagai milligram tiap menit per m3 luas
permukaan kristal. Kecepatan kristalisasi tergantung pada factor-faktor berikut:
Suhu
Semakin tinggi suhu operasi maka semakin tinggi kecepatan kristalisasi.
Kemurnian
Semakin rendah kemurnian larutan maka semakin rendah pula kecepatan
kristalisasi. Hal ini dikarenakan tehalangnya daya tarik menarik antar molekul
sukrosa dalam larutan oleh zat-zat bukan gula.
3.2.5.2. Proses Memasak
Hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai operasi proses memasak
adalah pengkondisian pan masakan. Pengkondisian pan masakan berupa
pembersihan dengan steam pada suhu 100-120 °C selama beberapa menit hingga
sisa gula larut. Dengan kata lain pembersihan berfungsi untuk membersihkan
kotoran-kotoran kristal gula yang menempel pada dinding pan masakan. Selain
pembersihan, pan masakan juga dibuat dalam kondisi vakum hingga tekanan
ruang pan masakan sekitar mencapai 62-65 cmHg.
Tahapan proses memasak adalah sebagai berikut:
a. Masakan D2
Bahan dasar untuk D2 adalah stroop A, klare D. Pertama-tama nira
kental dan stroop A dimasukkan ke dalam pan masakan hingga volume ± 200
HL. Selanjutnya bahan tersebut dipanaskan sampai suhu 60-62 0C sampai
membentuk benangan ± 2,5 cm. Apabila terbentuk kristal maka ditambahkan
air sampai kristal hilang. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kristal palsu. Berikutnya adalah penambahkan fondan sebanyak 200 cc
kemudian dituakan ± 10 menit, kemudian ditambahkan stroop A lagi sampai
tampak kristal (untuk melihat kristal tersebut dilakukan pengambilan sedikit
sampel kemudian dilihat melalui mikroskop).
b. Masakan D
Bahan dasar yang digunakan adalah hasil masakan D2, stroop A,
stroop C dan klare D. Hasil masakan D2 dimasukkan sampai volumenya ±
200 HL dan suhunya dijaga pada ± 60 °C. Apabila sudah cukup tua,
ditambahkan stroop A hingga volumenya ± 250 HL. Kemudian dituakan
kembali sambil sesekali diamati hasilnya, untuk menghindari kristal palsu
yang ditandai dengan bentuk kristal yang tak beraturan. Apabila kristal palsu
terbentuk maka harus segera dieliminasi dengan cara pemberian air.
Kemudian sampel diambil untuk pengamatan.
Setelah kristal terbentuk, masakan dituakan. Setelah tua, ditambahkan
stroop A, stroop C atau klare D sampai volume ± 350 HL. Kemudian
dituakan kembali hingga % Brixnya mencapai ± 97 %. Berikutnya,
dimasukkan ke palung pendingin D dan dipompakan ke rapid untuk
didinginkan secara cepat. Tujuannya adalah agar kristal yang dihasilkan tidak
meleleh.
Waktu yang dibutuhkan untuk proses masakan D secara keseluruhan
berkisar 4-5 jam dan ukuran kristal gula yang dihasilkan dari masakan D
adalah 0,3-0,4 mm.
c. Masakan C
Bahan yang digunakan adalah stroop A, klare D, nira kental dan
babonan D (kristal dari putaran D/EWD). Setelah pan selesai dikondisikan
(pembersihan dan divakumkan), nira pekat dan stroop A dimasukkan hingga
mencapai volume 200 HL dan dipanaskan hingga terbentuk benangan.
Babonan D dimasukkan sebanyak 40 HL kemudian diamati jarak kristalnya.
Apabila jaraknya sudah cukup (rapat dan teratur) masakan dituakan. Setelah
itu ditambahkan lagi stroop A sampai volumenya 250 HL. Sampel diambil
untuk analisa HK, Brix dan Pol.. HK masakan harus berkisar 69-75 %.
Setelah itu nira, stroop A atau klare D dimasukkan sampai volume 400 HL
dan dituakan. Setelah kristal mencapai ukuran 0,4-0,6 mm, massacuite
diturunkan dalam palung pendingin dan diproses di putaran C.
d. Masakan A2
Bahan yang digunakan adalah klare SHS, nira kental dan babonan C.
Setelah pan dikondisikan (pembersihan dan divakumkan), nira kental dan
klare SHS dimasukkan sampai volumenya 200 HL. Setelah itu dituakan
sampai terbentuk benangan 2,5-3 cm dan dimasukkan Babonan C sebanyak ±
400 HL kemudian dituakan kembali. Secara bertahap ditambahkan nira kental
atau klare SHS sampai volumenya 400 HL. Setelah kristal mencapai ukuran
0,6 – 0,8 mm, masakan siap diteruskan ke dua pan masakan A, masing-
masing 200 HL. Penggunaan dua pan masakan A ini diharapkan dapat
menghasilkan kristal yang lebih besar.
e. Masakan A
Bahan yang digunakan adalah klare SHS, nira kental dan hasil
masakan A2. Setelah pan dikondisikan (pembersihan dan divakumkan), hasil
masakan A2 dimasukkan sebanyak 200 HL dan dituakan secukupnya.
Kemudian ditambahkan nira kental atau klare SHS Sampai volumenya 250
HL. Masakan dituakan lagi sambil diamati ukuran kristalnya. Apabila masih
lembut, maka nira kental atau klare SHS ditambahkan lagi sampai volume
400 HL. Namun, bila ukuran kristalnya cukup kasar, maka penambahannya
dilakukan perlahan-lahan. Sesekali masakan disiram dengan air untuk
menghindari kristal palsu. Jika ukuran kristal antara 0,8 – 1,2 mm maka
masakan diturunkan ke palung pendingin A yang selanjutnya dipompa ke
putaran A.
Selama proses pemasakan di dalam pan masakan (A, C, dan D) berjalan
sebaiknya sering dilakukan pengontrolan terhadap resiko terjadinya kristal palsu.
Kristal palsu terbentuk apabila terjadi penurunan vakum, pencampuan dalam pan
masakan yang tidak merata, bahan baku yang mengandung kristal palsu serta
perbedaan suhu yang signifikan antara bahan yang ditambahkan dengan bahan
yang ada di dalam pan masakan. Kristal palsu ini akan merusak kualitas produk
gula kristal putih.
Oleh karena itu, resiko kristal palsu sedini mungkin harus dicegah dan
dihilangkan. Cara penghilangan kristal palsu adalah pencucian dengan air panas,
dan yang kedua adalah dengan memotong vakum, yaitu dengan menutup
kondensasi, membuka steam sehingga suhu naik dan vakum turun sehingga kristal
palsu akan larut.
3.2.6 Stasiun Putaran
Stasiun putaran bertujuan untuk memisahkan kristal-kristal gula dari
larutannya (stroop). Hasil proses kristalisasi yang masih berupa massa campuran
antara kristal-kristal gula dan sedikit sisa larutan induknya ditampung dalam
palung-palung pendingin dengan harapan akan terjadi kristalisasi lebih lanjut
(makristalisasi). Proses pemutaran menggunakan sistem penyaringan yang bekerja
berdasarkan gaya sentrifugal.
Untuk memisahkan antara kristal-kristal gula dan larutan sisanya
digunakan alat pemisah atau saringan yang berbentuk basket yang diputar pada
porosnya (sentrifuge). Karena gaya sentrifugal pada saat diputar maka massa akan
terlempar menjauhi titik pusat dan dengan adanya saringan kristal-kristal gula
akan tertahan pada dinding saringan. Sedangkan larutan sisanya (stroop) akan
menembus dinding saringan sehingga keduanya akan terpisah. Larutan inilah yang
kemudian dikembalikan ke stasiun masakan untuk dikristalkan kembali pada
tahap masak berikutnya.
Proses putaran pada PG. Kebon Agung terbagi 3 (tiga) bagian berdasarkan
hasil masakan (massecuite) yang diumpankan. Putaran D untuk massecuite D,
putaran C untuk massecuite C dan putaran A untuk massecuite A. Putaran D dan
C menggunakan operasi putaran kontinyu sedangkan putaran A dioperasikan
secara diskontinyu (batch).
3.2.6.1. Putaran D
Proses putaran massecuite pada putaran D dibagi menjadi 2 (dua) tahap,
yaitu:
a. Putaran D1
Hasil pan masakan D (massecuite D) dimasukkan ke dalam rapid
crystallizer, yang memiliki element berisi air dingin. Tujuannya adalah untuk
mempercepat proses pendinginan, sehingga bentuk kristalnya tetap terjaga dan
tidak meleleh. Setelah diproses pada rapid crystallizer, massecuite D diteruskan
ke distributor D1 dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas proses putaran D1.
Pada putaran D1 massecuite D disiram dengan air panas secara kontinyu. Putaran
ini menghasilkan tetes dan magma D1.
Tetes merupakan hasil samping yang tidak dapat diproses menjadi gula
lagi atau sudah tidak dapat diambil kristal gulanya sehingga langsung dialirkan ke
tangki penampungan tetes. Tetes dapat dijual kembali ke pabrik yang berbahan
baku tetes, seperti pabrik MSG (Monosodium Glutamat) atau vetsin serta pabrik
alcohol.
Sedangkan magma D1 dipompakan ke putaran D2 untuk proses lebih lanjut.
b. Putaran D2
Bahan yang masuk ke putaran D2 adalah magma D . Magma D
dimasukan ke distributor D2 untuk menjaga kontinuitas proses putaran D2. Hasil
putaran D2 adalah babonan D dan klare D. Babonan digunakan untuk bahan
masakan C sedangkan klare D digunakan untuk bahan masakan D.
3.2.6.2. Putaran C
Bahan yang masuk ke putaran C adalah massecuite C. Massecuite C
dimasukkan ke distributor C yang bertujuan untuk menjaga kontinuitas inputan
putaran C. Prinsip kerja putaran C sama dengan putaran D1, bedanya hasil putaran
C tidak diputar lagi. Putaran C menghasilkan stroop C dan babonan C. Stroop C
digunakan untuk bahan pada masakan D, sedangkan babonan C ditampung di
dalam tanki babonan C yang selanjutnya digunakan untuk bahan pada masakan
A2.
3.2.6.3. Putaran A
Bahan yang masuk ke putaran A adalah massecuite A. Massecuite A di
masukkan ke dalam distributor A, dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas
proses putaran A. Selanjutnya massecuite A dimasukan ke putaran sebanyak
650 kg sesuai dengan kapasitas putaran dan disiram dengan air panas (90-100 0C)
selama 15 detik. 15 detik kemudian dilakukan penyiraman lagi dengan air panas
(90-100 0C).
Pada siraman pertama dihasilkan stroop A yang direcycle kembali pada
masakan C, D dan D2. Sedangkan siraman kedua menghasilkan klare SHS yang
direcyle kembali pada masakan A2 dan A
Setelah siraman kedua, proses ditunggu 25 detik sehingga terbentuk
kristal gula yang terpisah pada dinding putaran. Kristal gula tersebut merupakan
gula produk atau gula kristal putih (GKP) yang kemudian discrub dan diturunkan
ke talang goyang untuk diproses selanjutnya pada stasiun penyelesaian.
3.2.7 Stasiun Penyelesaian
Stasiun penyelesaian merupakan tahap akhir proses pengolahan gula
sebelum dikomersilkan. Tujuan stasiun penyelesaian adalah memberi perlakuan
pada gula kristal putih (GKP) agar kualitasnya tetap stabil ketika dipasarkan.
Adapun perlakuan-perlakuan tersebut terdiri dari proses pengeringan dan
pengayakan, pembungkusan dan penimbangan, serta penyimpanan.
3.2.7.1 Proses Pengeringan dan Pengayakan
Gula kristal putih (GKP) dari putaran A diturunkan ke talang goyang
untuk diangkut ke sugar drayer. Getaran pada talang goyang akan menyebabkan
gula bersinggungan dengan udara sehingga mengurangi kelembaban pada gula
secara natural. Kemudian secara mekanis, gula dikeringkan untuk mengurangi
kelembaban dengan bantuan udara panas pada sugar drayer. Selanjutnya, gula
dibawa bucket elevator untuk disaring pada vibrating screen. Pada vibrating
screen terdapat 3 saringan berbeda yang menghasilkan gula dengan ukuran yang
berbeda pula, yaitu:
a. Saringan I untuk menyaring kristal gula dengan ukuran saringan 6 mesh
terletak di bagian paling atas (gula kasar).
b. Saringan II untuk menyaring kristal gula dengan ukuran saringan 18 mesh
terletak di bagian tengah (gula normal atau gula SHS).
c. Saringan III untuk menyaring kristal gula dengan ukuran saringan 28 mesh
terletak di bagian bawah (gula halus).
Gula kasar dan halus dilebur kembali di tangki leburan dengan
penambahan air panas dan kemudian dibawa menuju tangki nira kental tersulfitasi
untuk masuk ke stasiun pemasakan.. Gula SHS ditampung pada silo untuk
kemudian dilakukan pembungkusan dan penimbangan.
3.2.7.2 Pembungkusan dan Penimbangan
Tujuan dari pembungkusan adalah untuk mempermudah penyimpanan
gula, sedangkan penimbangan bertujuan untuk memastikan bahwa gula yang
dibungkus sebanyak 50 kg. Gula kristal putih dari silo diturunkan dan ditampung
dalam karung plastik kemudian dibawa belt conveyor menuju alat timbang dengan
kuantitas 50 kg .
3.2.7.3 Penyimpanan
Gula produk yang telah dibungkus dan ditimbang disimpan di gudang
dalam waktu yang cuukup lama dan untuk menjaga agar produk tidak rusak pada
saat penyimpanan, maka gudang tempat penyimpanan harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
Gula yang telah dibungkus dan ditimbang kemudian disimpan di dalam
gudang sebelum dipasarkan.
Syarat-syarat gudang penyimpanan adalah :
Tinggi 10-11 m sesuai dengan tumpukan karung.
Kelembaban udara antara 50-60 %.
Dinding gudang diusahakan dapat sinar matahari untuk
menghindari kelebihan kelembaban
Letak gedung harus berjauhan dari bangunan lain untuk
menghindari kelebihan kelembaban.
Memiliki lantai yang cukup tebal agar tidak mudah tertembus air
ketika hujan, yaitu dengan dilapisi kayu atau goni.
Jauh dari kemungkinan adanya kebakaran
Bersih dari kotoran-kotoran.
Penyusunan gula dimulai dari tepi dengan susunan tiga membujur dan
lima melintang, hal ini untuk membantu penyusunan gula di dalam portable
conveyor. Penyusunan karung ke atas dilakukan secara berselang-selang, sehinga
antara karung yang satu dengan yang lain tidak berhimpitan.
Pengeluaran gula dari gudang menggunakan prinsip ”first in first out”
yang artinya gula yang masuk lebih awal harus keluar lebih awal juga, hal ini
untuk meminimalisir kerusakan gula saat penyimpanan.