23
51 BAB III YB MANGUNWIJAYA, KARYA, DAN PEMIKIRANYA A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosio Kultur Sosok intelektual yang akrab disapa Romo Mangun, memiliki nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya 1 . Lahir di Ambarawa 6 Mei 1926, adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah 2 . Bilyarta adalah nama kecilnya. Nama Yusuf di depan Bilyarta adalah nama permandian atau nama baptis. Sementara nama Mangunwijaya diambil dari nama kakeknya, seorang petani tembakau 3 Seperti sejarah banyak orang, sejarah YB Mangunwijaya juga ditentukan oleh perjalanan hidup ayahnya. Semasa kecil, ayahnya diangkat anak oleh pakde ayahnya sendiri yang menjabat sebagai lurah desa di daerah Parakan, Jawa Tengah. Pengangkatan ayahnya sebagai anak lurah ini kelak ikut membentuk sejarah Mangunwijaya. Sebab berkat pengangkatan ayahnya lantas dimungkinkan mengenyam pendidikan dan menjadi guru SD. Ibu Mangun yang juga sempat mengenyam pendidikan menjadi guru TK 4 Pada zaman kolonial Belanda 5 , sekolah memang hanya diperuntukan bagi keturunan Belanda dan priyayi pribumi. Priyayi rendahan apalagi rakyat biasa tidak 1 Ketika Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau akrab dipanggil Romo Mangun meninggal dunia, tanggal 10 Februari 1999, ribuan pelayat menghadiri pemakamannya. Tidak hanya dari kalangan rohaniawan dan Penganut agama Katholik atau masyarakat Yogyakarta saja, tetapi juga masyarakat dari berbagai agama, suku, kedudukan, pangkat, profesi dan lain-lain ( Simposium Sosok YB Mangunwijaya, Sabtu, 28 Juni 2003 di Aula RS st Borromeus. File: http://www. Google . Simposium Sosok YB Mangunwijaya - Sabtu, 28 Juni 2003.htm 2 Orang tua, khususnya ibunya, berharap agar anak sulung tersebut menjadi seseorang imam, namun tidak demikian harapannya pada anak-anaknya yang lain. Oleh orang tuanya, Yusuf kecil mendapat mainan untuk 'misa-misaan'. Dia memerankan imam dan adik-adiknya disuruh menjadi umat. Semua adik-adiknya laki-laki tidak pernah memerankan imam seperti dia. Dan dalam kenyataannya, memang hanya Yusuplah yang menjadi pelayan Tuhan dari keluarga besar tersebut. ” file: http://www. Google ..mangun.htm .14.02.04) 3 Willy Pramudya, sebuah Pengantar Perjalanan Hidup Seorang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dalam “ Mendidik Manusia Merdeka”, Romo Y. B. Mangunwijaya 65 Tahun (Yogyakarta: Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 3 4 Ibid 5 Mangun kecil jauh lebih beruntung dibanding anak-anak dari keluarga kebanyakan, sebab boleh mengenyam pendidikan yang ketika itu hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat

BAB III YB MANGUNWIJAYA, KARYA, DAN PEMIKIRANYA A. …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/8/jtptiain-gdl-s1-2004... · Mangunwijaya dalam “ Mendidik Manusia Merdeka

  • Upload
    letruc

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

51

BAB III

YB MANGUNWIJAYA, KARYA, DAN PEMIKIRANYA

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosio Kultur

Sosok intelektual yang akrab disapa Romo Mangun, memiliki nama lengkap

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya1. Lahir di Ambarawa 6 Mei 1926, adalah anak sulung

dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah2.

Bilyarta adalah nama kecilnya. Nama Yusuf di depan Bilyarta adalah nama

permandian atau nama baptis. Sementara nama Mangunwijaya diambil dari nama

kakeknya, seorang petani tembakau3

Seperti sejarah banyak orang, sejarah YB Mangunwijaya juga ditentukan

oleh perjalanan hidup ayahnya. Semasa kecil, ayahnya diangkat anak oleh pakde

ayahnya sendiri yang menjabat sebagai lurah desa di daerah Parakan, Jawa Tengah.

Pengangkatan ayahnya sebagai anak lurah ini kelak ikut membentuk sejarah

Mangunwijaya. Sebab berkat pengangkatan ayahnya lantas dimungkinkan

mengenyam pendidikan dan menjadi guru SD. Ibu Mangun yang juga sempat

mengenyam pendidikan menjadi guru TK4

Pada zaman kolonial Belanda5, sekolah memang hanya diperuntukan bagi

keturunan Belanda dan priyayi pribumi. Priyayi rendahan apalagi rakyat biasa tidak

1 Ketika Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau akrab dipanggil Romo Mangun meninggal

dunia, tanggal 10 Februari 1999, ribuan pelayat menghadiri pemakamannya. Tidak hanya dari kalangan rohaniawan dan Penganut agama Katholik atau masyarakat Yogyakarta saja, tetapi juga masyarakat dari berbagai agama, suku, kedudukan, pangkat, profesi dan lain-lain ( Simposium Sosok YB Mangunwijaya, Sabtu, 28 Juni 2003 di Aula RS st Borromeus. File: http://www. Google. Simposium Sosok YB Mangunwijaya - Sabtu, 28 Juni 2003.htm

2 Orang tua, khususnya ibunya, berharap agar anak sulung tersebut menjadi seseorang imam, namun tidak demikian harapannya pada anak-anaknya yang lain. Oleh orang tuanya, Yusuf kecil mendapat mainan untuk 'misa-misaan'. Dia memerankan imam dan adik-adiknya disuruh menjadi umat. Semua adik-adiknya laki-laki tidak pernah memerankan imam seperti dia. Dan dalam kenyataannya, memang hanya Yusuplah yang menjadi pelayan Tuhan dari keluarga besar tersebut. ” file: http://www. Google..mangun.htm.14.02.04)

3 Willy Pramudya, sebuah Pengantar Perjalanan Hidup Seorang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dalam “ Mendidik Manusia Merdeka”, Romo Y. B. Mangunwijaya 65 Tahun (Yogyakarta: Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 3

4 Ibid 5 Mangun kecil jauh lebih beruntung dibanding anak-anak dari keluarga kebanyakan, sebab

boleh mengenyam pendidikan yang ketika itu hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat

52

memperoleh kesempatan itu. Melihat nasib seperti ini, gereja melalui para

misionaris atau zendingnya mendirikan sekolah swasta bagi golongan rakyat. Di

sekolah seperti inilah ayahnya mengenyam pendidikan dasar hingga pendidikan

lanjutannya sebaga calon guru SD. Ayahnya bahkan sempat menjadi pimpinan

asrama sekolah tempat mengajar. Di Muntilan, sekolah ayahnya ini pula, Mangun

kecil memulai pendidikan formalnya. Berbeda dengan teman-teman asramanya dari

berbagai daerah yang harus berpisah dengan orang tua dan lingkunganya (yang

merupakan sistim pendidikan waktu itu)6

Meski cukup lama hidup di Asrama, pribadi Mangun lebih banyak terbentuk

oleh keluarganya sendiri. Tetapi yang jelas masa kanak-kanak saat itu baginya

adalah masa yang penuh kenangan manis dan menguntungkannya. Sayang setelah

Jepang datang7, sekolah itu terpaksa bubar. Bahkan sebagian besar teman-temanya

itu tidak terdengar lagi kabar beritanya hingga kini8.

Di masa kanak-kanaknya, meski tidak pernah bergaul langsung dengan

Belanda atau Indo-Belanda, Mangun punya kenang-kenangan yang berkaitan

dengan suasana anak-anak Belanda dan Indo-Belanda. Salah satu kegemaranya

adalah mengintip para sinyo atau noni cilik Belanda yang mempunyai banyak

mainan asing yang membuatnya kagum. Mangun kecil suka melihat9 anak-anak

yang memiliki status sosial tertentu. Selain itu perjalanan hidup Mangun kecil juga sangat ditentukan oleh hidup ayah dan ibunya yang berprofesi sebagai guru. Latar belakang sadar pendidikan inilah yang mengantarnya kelak menjadi intelektual (Asyer Tandapai “Gereja Dispiora Paguyuban Kharismatik Sosio Religius” file: http://www. Google..htm.28/02/25)

6 Willy Pramudya, Op Cit, hlm 4 7 Masa yang dirasakanya sangat mengerikan adalah saat Indonesia di bawah pendudukan

fasis militer Jepang. Ketika itu, keluarganya tinggal di kota Magelang, kota tangsi yang bersuasana militer Belanda. Suasana pendidikan yang sangat memperihatinkan segi-segi penghalusan akal budi dan pencerdasan akal sehat, digantikan dengan suasana militeristis yang memporak porandakan ekonomi dan kebudayaan. Dunia fasis yang serba kasar sangat dibenciya (B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 3

8 Singgih Nugroho Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), Cet I Sep, hlm. 16

9 “Melihat mereka, serasa mereka dalam suasana surgawi sebagaimana cerita-cerita yang diajarkan dalam pelajaran agama. Mereka memiliki mainan lengkap dan menyenangkan yang tak mungkin dibeli oleh orang tuaku” kenangnya. Sebagai orang Jawa, Mangun kecil tidak merasa terganggu, iri, atau cemburu melihat tingkah laku mereka meskipun sadar bahwa tidak mungkin bermain bersama karena suasana zaman yang membedakan mereka secara sosial (Willy Pramudya, Op Cit, hlm 5)

53

Belanda yang sedang bermain-main di jalan-jalan atau di pemukiman Belanda. Bagi

mangun, anak-anak Belanda khususnya noni-noni itu sangat manis dan

menyenangkannya untuk dilihat sehingga menjadi hiburan tersendiri10

Sejak kecil Mangun sudah menunjukan telenta pada bidang ilmu-ilmu pasti

alam dan tehnik, setidaknya ia selalu tertarik pada bidang keilmuan tersebut. Karena

itulah setamat SD, ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Tehnik (ST) di Semarang.

Sebab saat itu ST, apalagi jurusan listrik, memiliki gengsi tersediri di mata

masyarakat. Menurutnya lulusan ST jaman itu sering jauh lebih bermutu

dibandingkan dengan lulusan sekolah tehnik yang ada sekarang. Saat duduk di ST

inilah kecerdasan Mangun mulai terlihat. Beberapa kali dia selalu mendapat juara

satu dan atau dua di kelas maupun sekolahnya. Namun suatu ketika ia berubah

pikiran. Peristiwa ini bermula dari setiap perjalanan pulang dan usai liburan di

sepanjang perjalanan. Ia selalu mendengarkan pembicaraan para pelajar sekolah

umum (setingkat SMP dan terutama setingkat SMA). Mereka selalu berdebat

tentang sejarah dunia dan para tokohnya serta para cendikiawan dan hasil dari

pemikiran mereka, yang membuatnya seperti tidak tahu apa-apa tentang dunia.

Selain itu pengaruh bacaan buku-buku sejarah dan filsafat milik ayanya yang

bertutur tentang Aristoteles, Plato, Socrates yang setiap kali dibacanya dan berbagai

bacaan lainya dari perpustakaan ayahnya makin mengganggu pikiranya. Kemudian

Mangun remaja makin merasa bahwa sekolah tehnik kurang luas horison baginya.

Karena itu setelah lulus ST, mangun muda, justru ingin melanjutkan ke SMA11

Satu hal yang juga menjadi bakat Mangun sejak kecil adalah kegemaranya

membuat berbagai desain mainan di pasir seperti rumah-rumahan, pelabuhan,

lapangan terbang dan berbagai bangunan mainan lainya. Kesempatan yang di

perolehnya di waktu kecil keluar masuk lingkungan Belanda melihat noni-noni juga

ikut memberi inspirasi dalam dirinya. Ia mengamatinya secara khusus bangunan-

bangunan ala Belanda. Disamping kegemaranya membaca sejarah dunia, khususnya

sejarah Eropa, dan lebih khusus sejarah Belanda. Kelak, pengetahuan tentang

10 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 17 11 Ibid hlm 18

54

berbagai kreasi kebudayaan Eropa yang terekam mendalam pada diri YB

Mangunwijaya turut mempengaruhi prestasi dan keberpihakanya pada dunia

arsitektur12.

Ketika Jepang datang, dunia pendidikan mengalami perubahan drastis.

Disamping karena gangguan perang, yang membuat proses pendidikan tersedat-

sendat, yang sangat mendasar adalah perubahan sistemnya. Menurutnya, sistem

pendidikan Belanda yang lebih menekankan pada olah pikir13 dan pengenalan

berbagai budaya di samping pakaian yang necis dan bersih diganti dengan sistim

Jepang yang lebih berorientasi pada olah raga “seni” berkelahi dan perang dengan

teriak-teriak dan macam-macam latihan yang berkesan biadab untuk anak yang

pernah dididik cara Eropa. Suasana Jepang yang kasar menghadapi perang Timur

Raya waktu itu tidak disukainya14.

Tidak heran, tatkala tanah air membutuhkan dukungan dari warga

bangsanya, maka bersemangatlah Mangun muda, ketika Moh. Sadli (kelak menjadi

Menteri Perdagangan zaman Orde Baru) guru mekanika di STM memperseiapkan

murid-muridnya untuk siaga bila perjuangan demi kemerdekaan memerlukan para

pemuda.

Pada tahun 1945-1951, Mangun muda beserta sejumlah pemuda lain ikut

mendaftarkan diri menjadi tentara dan akhirnya sempat bergabung dengan TKR

Batalyon X Devisi III Yogyakarta, komisi zeni, pimpinan Mayor Soeharto yang

berpengkalan didepan Benteng Vredenburg depan Istana Kepresidenan kala

revolusi. Selama di TKR ini Mangun sempat terlibat dalam pertempuran di

Magelang, Ambarawa dan Semarang15.

12 Ibid 13 Mata pelajaran SD zaman Belanda dibuat tidak untuk dihapalkan, abstrak, dan tidak

bersangkut paut dengan kehidupan riil, tetapi benar-benar berakar pada kebutuhan lokal serta situasional si anak dengan dimensi pembukaan pintu gerbang masa depan. Disamping itu, guru-guru Belanda itu sangat memperhatikan daya kreasi dan fantasi anak-anak. Jika anak-anak hanya menirukan jawaban tanpa memahaminya, itulah dosa-dosa besar iklim pendidikan sekolah dasar sekarang ini (B. Rahmanto Op Cit hlm 2)

14 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 19 15 Y. B. Mangunwijaya Tumbal Kumpulan Tulisan YB Mangunwijaya (Yogyakarta :

Benteng Intervisi Utama, 1994), Cet II Juni, hlm. 441

55

Tidak lama kemudian perang usai dan Mangun ingin melanjutkan

sekolahnya. Akhirnya ada tawaran dari Uskup Malang untuk sekolah di sana. Di

Malang sesudah RI menang, Mangun meninggalkan dunia tentara. Di sana Mangun

muda sempat aktif di organisasi Pemuda Katholik. Dalam sebuah kesempatan dia

mewakili organisasinya untuk mengikuti perayaan besar-besaran atas menangnya RI

melawan Belanda. Mangun muda tidak manyangka bahwa perayaan itu akan

membelokan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi insinyur yang kaya, menikah,

punya anak-istri, hidup nyaman, indah dengan punya rumah mewah, tetapi punya

ruang untuk kegiatan sosial. Ia tidak pernah menyangka bahwa pidato16 dari

Komandan Tentara Pelajar RI (TP-RI) bernama Mayor Isman (ayahanda Hayono

Isman, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga) akan mengubah cita-citanya17.

Pidato yang diucapkan dengan gaya retorika yang memukau itu seingat

Mangun sempat membuat hadirin terdiam panjang. Namun, bagi Mangun pidato itu

tidak hanya membuatnya terdiam panjang. Hampir semua yang yang diucapkan

Isman membuatnya tidak bisa tidur. Beberapa hari sangat gelisah. Bahkan ia

mengalami krisis mengenai hari depanya.

Karena tidak mampu meredam kegelisahan, Mangun minta nasihat dari

seorang pastor gurunya, Romo Jayus (alm). Beliau menasihati agar ikut merenung

dan berdoa mendalam. “kamu perlu retret (ziarah rohani dengan menyingkirkan diri

dari dunia ramai untuk mengadakan penyucian bathin dan refleksi diri).

Retret berjalan lancar. Mangun kembali “normal”. Tetapi ada yang

memanggil-manggil. Sebuah keyakinan tumbuh. Bangsa Indonesia telah menang

dan diakui kemerdekaan politiknya. Tetapi perjalanan yang amat jauh dan lebih sulit

masih harus dihadapi, yakni menemukan sikap dasar yang menjauhkan bangsanya

dari godaan “berlumuran darah” dalam segala bentuk. Selain itu Mangun ingin

16 “Kami bukan pahlawan, kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat.

Karena, kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam. Karenanya, kami minta tolong agar kami yang menjadi manusia normal kembali. Inilah jasa yang dapat anda berikan kepada kami yang menjadi korban revolusi, yang terpaksa membela tanah air dengan senjata” (YB Mangunwijaya Saya Ingin Membayar Utang kepada Rakyat, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), Cet V, hlm. 59

17 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 20

56

membalas budi kepada rakyat yang paling besar jasa dan pengorbanannya selama

perang-perang kemerdekaan. Ia ingin menjadi rohaniawan yang bekerja tidak demi

harta dan kekuasaan, apalagi dengan tangan-tangan berlumuran darah yang

mengorbankan rakyat. Ia18 ingin masuk seminari dan diterima di Seminari

Menengah Kanisius di Magelang, kemudian di Seminari Tinggi Sancti Pauli

Yogyakarta19

Tahun 1959-1960 ia mendapat tugas untuk belajar arsitektur ke ITB dan

kemudian diteruskan studinya di Sekolah Tinggi Rheinisch-Westfaelische

Techmische Hochchule, Aanchen, Jerman Barat (1960-1966). Di sini ia kenal akrab

dengan B. J. Habiebie dan Wardiman Djojonegoro yang pernah menolong Mangun

muda yang masih asing di Jerman untuk mendaftarkan kuliah di Aanchen. Di sini

Mangun disamping mempelajari ilmu-ilmu tehnik, juga mulai mendalami

pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial, kebudayaan dan filsafat

Tahun 1966 setelah berhasil menyelesaikan studinya di Jerman, Mangun

menjadi pastur di Jetis dan Salam (Magelang) disamping itu, ia mengajar di jurusan

Tehnik Arsitektur Universitas Gadjah Mada UGM. Namun akhirnya pada tahun

1980, setelah mengajar 12 tahun di sana, Romo Mangun memilih keluar dari UGM.

Karena menurutnya kampus itu telah menjadi milik orang-orang besar dan tidak

bersahabat dengan orang-orang miskin. Kemudian dia lebih berkonsentrasi

menjalankan tugas kepastoranya20..

Suatu ketika ia meminta ijin kepada Kardinal Justinus Darmojuwono untuk

tingal di daerah kumuh. Keinginan itu pada awalnya diejek sebagai kesempatan

untuk piknik. Namun Mangun berhasil meyakinkan bahwa sudah saatnya ia hidup

dan bernafas bersama rakyat paling bawah. Ia hanya ingin sekedar mengaktualisasi

apa yang ada pada dirinya dan memang sudah lama diinstruksikan oleh

Gereja:Preferential option for the poor21.

18Mangun menerima pentahbisan sebagai imam untuk keuskupan (Agung) Semarang dari

Mgr. A. Soegijapranata (1959). Sejak tahun itu ia resmi menjadi pastur (Ibid hlm 22) 19 Willy Pramudya, Op Cit hlm 10 20 YB Mngunwihaya, Tumbal Op Cit hlm 443 21 Willy Pramudya, Loc Cit hlm 15

57

Sejak di Kali Code ini, Mangun semakin mengenal kondisi masyarakat. Ia

semakin mengenal berbagai aspek kehidupan lebih lengkap. Ia juga belajar

membuat dunia teologi yang lebih bersifat normatif dan abstrak itu menjadi lebih

membumi.

Paradigma berpikir demikian mendorongnya untuk selalu berusaha berpihak

kepada orang-orang miskin dan kaum tertindas, tanpa mempermasalahkan “baju”

agamanya. Bagi Mangunwijaya, sesungguhnya memahami persoalan kemanusiaan

lebih bijak dengan pendekatan religiusitas, bukan agama. Sebab iman sebenarnya

adalah praksis. Inilah yang mendorongnya berpihak kepada para petani yang

menjadi korban ambisi negara22

B. Karya-Karya YB Mangunwijaya

Untuk menelusuri karya-karya YB. Mangunwijaya tidak terlalu sulit.

Banyak karyanya yang tersebar di berbagai media massa sehingga memudahkan kita

untuk mengaksesnya. Bahkan berbagai tulisan itu sekarang sudah dikumpulkan

dalam berbagai bukunya, salah satu diantaranya ialah, bukunya yang berjudul

Tumbal, merupakan kumpulan tulisannya di harian Kompas, dari tahun 1970-1990,

Gerundelan Orang Republik23.

Agar bisa memahami perkembangan pemikiran YB Mangunwijaya dalam

bingkai yang utuh, secara sederhana kita bisa melihatnya dalam sosok diri

Mangunwijaya- yang agamawan sekaligus budayawan24.

22 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 24 23 Dalam buku ini gerundelan orang republik Romo Mangun mangajak kita

mempertanyakan kembali esensi kemerdekaan yang terdalam, mempertanyakan kembali apa perbedaanya setelah “merdeka” bagi rakyat, buku ini ditujukan terutama pada generasi muda, karena Romo Mangun ingin mengekspresikan simpati dan kepercayaan kepada mereka. Menurutnya esai bukan merupakan gugusan dalil-dalil yang mampu mengklaim kebenaran secara mutlak, melainkan merupakan upaya ihktiar dalam rangka memahami sesuatu yang dianggap penting. YB Mangunwijaya Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) Cet I September, hlm 17

24 Dua profesi inilah inilah yang menjadi dasar berpijak untuk menjalani pilihan hidupnya. Sebagai agamawan Katolik, dia berprinsip bahwa hidup keagamaanya adalah pengembangan iman dan religius, bukan mengerasnya lembaga agama yang dapat mengakibatkan eklusifisme. Dia mengatakan bahwa agama cenderung dan dalam tingkat tertentu, harus menjadi eksklusif, tetapi iman selalu terbuka dan inklusif. (Singgih Nugroho Op Cit, hlm 25)

58

Sebagai seorang budayawan, tulisan menjadi salah satu alat perjuanganya.

Pergulatan hidupnya yang selalu bersama dengan rakyat, membuat isi karangan

yang pernah dibuatnya, tidak terpisah dengan realitas kehidupan. Hampir dalam

setiap tulisanya, pasti kita akan menemukan nuansa dan wacana pemerdekaan,

menggugat ketidakadilan, menggugah semangat cinta kasih, kemanusiaan,

keagamaan yang inklusif, dsb.

Menurut Budi Darmawan, seorang budayawan, sejak Mangun meluncurkan

novel pertamanya, Romo Rohadi ,manuju mester piece-nya, lalu menuju novel

sejarah, Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homo 25disambung gubahan cerita Roro-roro

Mendut, sampai dengan novel-novel akhirnya, antara lain Burung-Burung Rantau,

tidak lain adalah produk tradisi sastra realisme26

Melalui novel (sebagai corong refleksi pemikiran dan perasaan), YB

Mangunwijaya mengajak kita menaruh keprihatinan serius mengenai wujud

masayarakat Indonesia: hubungan antar sesama, hubungan dengan masayarakat dan

bagaimana hidup yang bertolak dan berdasar pada nilai27.

Keprihatinan pokok mengenai wujud negara dilambangkan dengan

“pembangunan sarang burung manyar”28 demi meletakan generasi masa depan

(baru) telur-telur manyar itu. Pembangunan “sarang burung” ini amat ditentukan

oleh kualitas manusia-manusia matang yang mampu mencapai dan mampu hidup

atas dasar jati dirinya.

25 Dalam novel ini, Mangunwijaya menyuguhkan tafsirannya atas suatu peristiwa sejarah

yang pernah melanda masyarakat Halmahera dan sekitarnya pada abad ke-17. menurut pengakuanya, novel ini diilhami setelah membaca suatu monografi A. Hueting tahun 1912 tentang adat istiadat dan riwayat suku Tobelo Halmahera. B. Rahmanto Op Cit hlm 30

26 Singgih Nugroho Loc Cit, hlm 26 27Mudji Sutrisno, “Benang-Benang Merah Pemikiran Mangunwijaya” dalam “Mendidik

Manusia Merdeka” (Yogyakarta : Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 89 28 Terdapat dalam novel “Burung-Burung Manyar”, struktur bangunan luar novel ini mirip

arsitektur gedung. Lantai pertama (bagian I: 1934-1944, masa sepuluh tahun), lantai kedua (bagian II: 1945-1950, masa lima tahun, dan lantai ketiga (bagian III:1968-1978, masa sepuluh tahun. Lantai pertama itu, seperti halnya menonton pertunjukan wayang kulit (Mangunwijaya sendiri selalu mengatakan bahwa novel BBM sebenarnya “wayang” dalam bentuk novel modern) membaca novel ini tidak boleh meloncat, tetapi urut. B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya 2001, Op Cit hlm 23

59

“Sarang Burung Manyar” ini cara membangunya menuntut keberanian

membongkar mentalitas lama demi terjaminya citra diri. Dalam bahasa arsitektur,

dirumusnya sebagai “wusthu citra”, artinya:dimensi kejiwaan yang bersumber pada

jati diri manusia sang pembangun.29.

Sisi lain yang menarik ada beberapa novel, yang sebenarnya merupakan

pengungkapan jujur secara implicit dari diri Manguwijaya-meskipun Mangun

sendiri terkadang mengelak. Novel Burung-Burung Rantau misalnya, novel itu

merupakan gagasanya tentang format kebudayaan baru, sebuah gagasan yang

sebetulnya sudah dilontarkanya pada tahun 1980-an. Di novel itu, diceritakan

tentang sosok wanita akademisi yang begitu hebat kemampuan intelektualnya dan

masa depanya, dengan mendadak memutuskan untuk mengorbankan kecerdasan dan

masa depanya dengan jalan menjadi pembela anak-anak hina, papa, dan kaum

tertindas. Gambaran ini sesuai dengan kehidupan Mangunwijaya sendiri yang

membela orang-orang miskin di Pinggir Kali Code dan para petani korban Waduk

Kedung Ombo.30

Pembelaan Mangun kepada rakyat kecil, dapat kita lihat di banyak tulisanya.

Ia menulis Kasus Nipah dan Rasa Keadilan, begitu terdengar kabar orang-orang

Nipah harus membayar nyawanya untuk membayar tanah yang akan dibangun

waduk. Ketika Marsinah mendapat anugrah HAM Yap Thiam Hien 1993, Romo

Mangun pun mengungkapkan rasa syukur dengan menulis Marsinah, Pahlawan

HAM. Dalam novel-novelnya seperti Trilogi Roro Mendut, Gedhuk Duku dan

Lusi Lindri31 juga mengungkap penderitaan rakyat kecil.

Romo Mangun tergolong bukan pastur seperti pada umumnya. Ia pastur

dengan sejumlah predikat. Selain menjadi rohaniawan Katholik, ia juga seseorang

29 Mudji Sutrisno Loc Cit hlm 89 30 Singgih Nugroho Op Cit, hlm27 31 Sesuai dengan nama “Trilogi”, ketiga novel sejarah itu dapat dibaca sendiri-sendiri.

Namun, ketiganya sebenarnya disatukan oleh satu tema pokok trdisional, yaitu kebathilan-keculasan dan kesewenang-wenangan pasti akan mendapatkan hukumanya yang setimpal. Yang hanya ingin mengetahui bagiamana Mangunwijaya menafsirkan kembali mitos cinta segi tiga Roro Mendut-Pronocitro-Wiroguno yang berakhir dengan mengenaskan, cukup membaca RM sebagai buku pertama. B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya 2001, Op Cit hlm 41

60

arsitek. Sebagai arsitek, selain berkarya nyata, Romo Mangun juga berteori melalui

penulisan buku. Semua karyanya, baik karya arsitektur rumah tinggal, bangunan

peribadatan, kampus, kantor, lingkungan perumahan, rancangan kota maupun dua

buku yang dikarang-Pasal-pasal Penghantar Fisika Bangunan dan Wusthu Citra

(PT Gramedia)-adalah karya arsitektural yang monumental. Buat saya, Romo

Mangun adalah seoarang arsitek modern dan pascamodernis yang paling terampil

sekaligus paling intelektual yang pernah dimiliki Indonesia sampai saat ini.

Bahkan, tidaklah berlebihan bila F. Silaban kita katakan sebagai salah

seoarang Bapak Arsitektur Modern Indonesia, maka YB Mangunwijaya adalah

seorang Bapak Arsitektur Pasca Modernisme Indonesia32

Diantara karya-karyanya antara lain: Gedung Bentara Budaya Jakarta,

rumah kediaman Arief Budiman di Salatiga, Gedung Gereja Katholik di Klaten,

Salam, Jetis dan sebagainya. Rancangan khas Mangun biasanya berciri dari bahan

kayu dan bambu, yang diakui arsitektur berkepribadian Nusantara. Karya-karya

arsitekturnya mendapat berbagai penghargaan. Diantaranya dari Badan Lingkungan

Dunia di Vancouver (1977), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berturut-turut pada

tahun 1991 dan 1993 memberikan IAI Award untuk sumbangan pada usaha

penataan lingkungan komplek ziarah, Sendang Seno, Kulon Progo Yogyakarta. Ia

pun meraih penghargaan Aga Khan Award For Architecture in The Muslim Word

(1992) atas keberhasilanya membenahi kampung di pinggir Kali Code yang semula

kumuh menjadi artistik, indah dipandang meski sederhana33

Demikian YB Mangunwijaya, seorang yang maminjam istilah Arief

Budiman adalah sosok yang multidimensional34. Romo Mangun biasa dilihat dari

banyak segi. Bisa dilihat sebagai budayawan, rohaniawan, arsitektur dan pejuang

32 Andy Siswanto, “ YB Mangunwijaya;Arsitek Wusthu Catra” dalam “Mendidik Manusia

Merdeka” (Yogyakarta : Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 209 33 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 28 34 Arief Budiman “Romo Mangun dan Masyarakat Ketakutan” dalam Mendidik Manusia

Merdeka, Op Cit hlm 377

61

kemanusiaan, tidak sedikit pula yang menyebutnya seniman. Dan barangkali yang

tak terlupakan adalah dia juga seorang pendidik35

Sebagai seorang pendidik, pendidikan dimaknainya sebagai upaya

pemerdekaan manusia. Dia berusaha mengembangkan pola pendidikan yang

memberikan ruang kesetaraan antara murid dan guru. Baginya kebodohan tidak

selalu dibawa semenjak lahir tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke

dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah

masyarakatnya. Pendidikan berfungsi antara lain, mengurangi dan menyingkirkan

halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan

intelegensinya yang sederhana dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang

mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri atas tindakan yang dilakukannya36

Kecintaannya pada anak-anak membuatnya berpikir sistem pendidikan yang

mampu memberdayakan muridnya. Dan menurutnya, hal itu bisa terlaksana ketika

pendidikan dasar sudah kuat. Asumsi itulah yang membuatnya dirinya concern pada

sekolah dasar (SD). Sebab baginya SD adalah modal dasar bagi pembentukan

seseorang, baru kemudian revolusi dan sebaginya merupakan sekolah kedua.

Pendidikan dasar sangatlah fundamental bagi eksistensi dan hancurnya sebuah

bangsa37

Demikianlah sekilas tentang Romo Mangun. Rakyat kecil adalah pilihan

awal dan akhir Romo Mangunwijaya. Dengan segala kelabihan dan kekuranganya,

dia telah memberikan warisan yang terbaik bagi bangsa ini. Dia memang bukanlah

sosok yang lengkap pemikiranya. Pemikiranya memang amat subur tetapi, ia

bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori. Pemikiranya adalah respon

spontan kepada keadaan, tanpa memberikan suatu kerangka besar yang dapat

dipegang secara konseptual

35 Karya-karyanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan sebagian dibukukan dalam Impian dari Yogyakarta (Kompas 2003) dan Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat (Kanisius 2003) File:http://www.Google.Simposium Sosok YB Mangunwijaya - Sabtu, 28 Juni 2003.htm

36 Singgih Nugroho Loc Cit, hlm 29 37Singgih Nugroho Op Cit, hlm 30

62

C. Dimensi Pendidikan Pemerdekaan YB Mangunwijaya

Secara tradisional, pendidikan diselenggarakan terutama oleh orang tua atau

kolektifitas dusun/suku secara spontan, melalui adat istiadat. Pada tahap lebih lanjut,

datanglah pihak agama dengan sistim pesantren, ashram, surau, asrama dan

sebagainya. Setelah dikenal pola tata politik, ekonomi, sosial dan kultur barat,

munculah sistim sekolah (pengindonesiaan kata Belanda school, baca: “skool”)

yang secara formal bersarana kurikulum, tingkat-tingkat, jenjang-jenjang, ijazah dan

sebagainya.

Para perintis pendidikan bangsa, khususnya Ki Hajar Dewantoro, merasa

perlu untuk menandaskan bahwa visi pendidikan mereka sungguh-sungguh

bermetodologi modern. Alasanya kurang lebih sama dengan alasan Restorasi Meiji

di Jepang yang juga menghadapi invasi kebudayaan Barat, yaitu bahwa yang

mampu menandingi hegemoni Barat hanyalah kaum terpelajar keluaran sekolah-

sekolah yang bermetode modern juga. Walaupun begitu, penerapanya tetap

berpedoman pada “kebudayaan Timur yang luhur”. Oleh karena itu, pembentukan

karakter atau sifat/sikap dasar moral dan budi pekerti (ditambah semangat

perjuangan) menjadi program utama38

Dewantara juga berpendapat, bahwa salah satu konsepsi pendidikan adalah

sebagai proses memerdekakan manusia. Manusia merdeka adalah manusia kolektif,

manusia yang selalu sadar, bahwa dirinya adalah anggota masyarakat yang harus

melakukan kewajiban-kewajiban yang di letakan oleh masyarakat kepadanya.

Manusia merdeka yang kolektif ini adalah manusia yang sadar, bahwa

kemerdekaanya dan kebebasanya berfikir dan berbuat untuk mencapai kebahagiaan

hidup yang sudah menjadi haknya itu, haruslah dapat memperkaya masyarakatnya,

memperkaya pergaulan hidup. Manusia merdeka yang kolektif itu juga berarti

38 YB Mangunwijaya “Mencari Visi Dasar Pendidikan “ dalam (Sindhunata, Ed)

Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman , (Yogyakarta; Kanisius, 2001), Cet I, hlm. 155

63

manusia yang dalam mempergunakan haknya untuk mengatur dirinya sendiri selalu

mengingat tertib damainya masyarakat39

Cita-cita kemerdekaan dengan tonggak historis Proklamasi Kemerdekaan

ialah pemerdekaan/pembebasan bangsa kita, baik secara kolektif maupun personal,

dari pembelengguan dari bentuk apapun dan oleh siapapun. Jadi tidak cuman

pemerdekaan/pembebasan dari Belanda. Inti cita-cita kemerdekaan bangsa kita ialah

pencapaian suatu tata masyarakat, tata negara dan pergaulan antar manusia di

negeri ini yang bebas dari exploitation de l’homme par I’ home. Ini perumusan

Soekarno yang sulit mendapat tandingan dalam kejelasan dan bobot isinya. Secara

positif dikatakan membangun masyarakat yang adil dan makmur dalam dimensi

manusia yang seutuh-utuhnya40

Paradigma Pendidikan pemerdekaan Mangun - secara makro - dimaknainya

sebagai proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap

manusia sebagai pelaku sejarah. Sebab kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai

apabila seseorang telah berhasil membaca realitas dan belajar memahami

lingkungan mereka dengan perantaraan dunia di sekitar mereka. Proses yang paling

tepat untuk pencapaian kesadaran tersebut adalah lewat pendidikan41

Walau seseorang tanpa pendidikanpun dapat belajar dan memahami realitas

di sekitarnya, pemahamanya tidak bisa utuh dan menyentuh, sebab persoalan yang

ada, karena tidak mempunyai perangkat analisis yang sistimatis. Dalam konteks

inilah seseorang memerlukan sebuah proses pendidikan yang dilakukan dengan

kesadaran untuk belajar memahami realitas secara bersama-sama dengan metode

dan analisis yang tepat, sehingga menemukan sebuah akar dari permasalahan yang

ada.

39Syamsul Ma’arif “Mengembalikan Fungsi Sekolah Untuk Proyek Kemanusiaan”Jurnal Edukasi Vol II, Nomor 2, Desember 2004, hlm 286

40 YB Mangunwijaya “Bangsa Kita Belum Merdeka dalam Kurungan Magis”dalam imam waluyo dkk “Dialog: Indonesia Kini dan Esok” ( Jakarta: Lappenas, 1981) hlm 91

41Singgih Nugroho Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), Cet I Sep, hlm 84

64

1. Pemerdekaan Kemanusiaan dan Keadilan Sosial

Romo Mangun adalah sosok intelektual, banyak gagasanya yang tertuju

pada persoalan yang substansi dan mendasar. Baginya, tugas pendidikan - secara

mikro - adalah mengantar dan menolong peserta didik untuk mengenal dan

mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri,

dewasa dan utuh. Manusia merdeka - berarti membimbing peserta didik dengan

penuh tanggung jawab tanpa tekanan, untuk menjadi SDM yang berkemampuan

sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk budaya dan juga sosial42.- sekaligus

peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan

yang terjadi, dengan jati diri serta citra diri yang semakin utuh harmonis dan integer.

Visinya tentang nasionalisme (kebangsaan) tidak lepas dari perjuangan

kemanusiaan dan pemerdekaan jiwa. Baginya kebangsaan hanya merupakan

jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna, bukan untuk

memuaskan diri sendiri, sekali-kali bukan untuk merusak pergaulan kemanusiaan43.

Pendidikan pemerdekaan Mangun dipengaruhi oleh prinsip hidupnya, yang

dikenal dengan “tribina” yakni bina manusia, bina usaha dan bina lingkungan.

Prinsip inilah yang mendorong dirinya untuk selalu komitmen total. Selalu

melakukan usaha pembebasan dan pemerdekaan jiwa individu dari penindasan oleh

yang kuat terhadap yang lemah, dalam segala bentuk, melalui proses penyadaran

(Conscientiization) 44dan gerakan anti kekerasan.

Kemerdekaan adalah modal utama bagi setiap manusia, merdeka disini tidak

saja terlepas dari tekanan dari seseorang atau kelompok tertentu. Akan tetapi

42 Nursyid Sumaatmadja “Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, (Bandung:

Alfabeta, 2002) Cet I November, hlm 71 43 Singgih Nugroho, Op Cit hlm 435 44 Kata ‘konsientisasi’ (berasal dari bahasa Brasil conscientizaCao),proses dimana manusia

berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan. Konsientisasi tidak dapat mengabaikan perubahan yang menghasilkan penyingkapan dan realisasi yang konkrit. Paulo Freire, Politik Pendidikan kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet IV Des, Hlm. 183

65

merdeka apabila seseorang mampu berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaanya,

bukan pada nilai-nilai yang datang dari luar sebagai nilai paksaan.45

Pendidikan dalam dimensi tersebut seharusnya membuat masyarakat sadar,

siapa darinya, bagaimana dirinya dengan dunia di luarnya. Kesadaran ini akan

menggugah bahwa dirinya tak sebebas yang dibayangkanya. Dalam hal ini

pendidikan harus mampu menyadarkan manusia karena pemaksaan dan penindasan

tidak hanya mengenai hal fisik dan luaran saja, tetapi pemaksaan dan penindasan

juga akan merasuk ke dalam kesadaran manusia. Justru lewat kedalaman itulah

manusia harus bengkit dari kesadaran yang dulunya menindas.46

Oleh karena itu komitmenya di bidang pendidikan, Mangunwijaya lebih

memilih pendidikan yang berpihak kepada kaum miskin dan tertindas Filsafat

pendidikanya berdasarkan pendidikan pancasila khususnya sila kedua dan kelima.47

1.1 Kemanusiaan

Persatuan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang

tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha

esa. Dilengkapi horizontal oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila sikap

dasar vertikal dan horisotal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan, buahnya ialah,

persahabatan, persaudaraan, saling manghargai, saling menolong. Jadi sikap-sikap

dasar yang berciri ingklusif saling merangkul48

Jika keduanya (vertical dan horizontal) dihubungkan, maka akan menjadi

theoanthroposentris, yaitu mengandung hubungan antara manusia dengan Tuhan

dan hubungan antara manusia dengan manusia lain. Hal ini jika dilihat dari sudut

pandangan pancasila, hal diatas kurang lengkap. Untuk itu perlu ditambah

45Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire YB Mangunwijaya,

(Yogyakarta: Logos Pustaka, 2004) Cet I September, hlm 10 46 Ibid 47 SDEKM merupakan SD yang murid-muridnya hampir semua anak-anak dari keluarga

ekonomi lemah beserta segala akibat budaya/kebiasaan mereka yang positif dan negative dan agama yang beragam. Pada tahun 1999 siswa dengan jumlah total 54 siswa dengan jumlah 6 orang guru. Kelas di mulai dari kelas II sampai VI. Kelas I tidak ada sudah hamper mau di tutup. Di kutip dalam Singgih Nugroho Op Cit, hlm 61

48 YB Mangunwijaya “Demi Kesatuan dan Persatuan” dalam Nur Achmad (ed), “Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman” (Jakarta: Kompas, 2001) CetI, hlm 30

66

cosmosentris yaitu alam sekitar atau alam sekeliling menjadi pusat pembicaraan

sehingga menjadi “theoantro cosmosentris” karena pancasila memandang manusia

mempunyai tiga hubungan yaitu: Hubungan manusia dengan Tuhanya terkait

dengan sila I, hubungan manusia dengan manusia yang lain terkait dengan sila ke II,

serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya atau alam sekelilingnya terkait

dengan sila III, IV dan V. 49

Pada prinsipnya sila ini menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan dan sikap saling menghargai antara sesama

manusia ‘tepa selira’ atau besar rasa tengang rasa50. Kemanusiaan Yang Adil dan

Beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan

kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela bangsa Indonesia merasa

dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.51

Keseluruhan pengertian tentang sila kedua dari pancasila52 ini jelaslah

merupakan suatu kebulatan pengertian yang lengkap tentang manusia. Manusia utuh

dilihat dari kacamata sila kedua adalah yang sadar akan dirinya sebagai manusia,

yaitu yang berkepribadian luhur. Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan,

manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh karena itu manusia utuh adalah

yang berbuat sesuai dengan nilai-nilai kejiwaannya.53

Manusia dapat dikatakan memiliki kebebasan dalam hal keinginannya,

tetapi terikat oleh keterbatasan dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan

49 Bambang Daroeso dan Suyamo, “Filsafat Pancasila”, (Yogyakarta: Liberty, tt.), hlm. 62 50Krissantono (Ed) “Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila” ( Jakarta: CSIS,

1976) Cet I Maret hlm 39 51 Achmad Fauzi dkk, “Pancasila ditinjau Dari Segi Sejarah, Yuridis Konstitusional, dan

Segi Filosofis”( Malang: Lembaga Penerbitan Brawijaya, 1983),. hlm 102 52 Sebagai bentuk pengamalan sila kedua antara lain, Mengakui persamaan derajat, saling

mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Ibid

53 H. Sunoto, “Mengenal Filsafat Pancasila; Filsafat Sosial dan Politik Pancasila”, Edisi 3, (Yogyakarta: Andi Offset, tt. ), hlm. 21

67

Negara, dibatasi juga oleh lingkungan yang itu semua karena manusia tidak hidup

sendiri. Walaupun dia ingin hidup sendiri, tetapi hal itu tidaklah mungkin54

Dengan begitu manusia secara alamiah merdeka, dan secara alamiah pula ia

memiliki sifat sosial. Untuk bisa menggunakanya kebebasanya secara tepat ia butuh

disiplin. Untuk hidup dalam masyarakat ia perlu kebajikan-kebajikan moral. Moral

yang baik serta kebiasaan intelektual dibutuhkan demi pengembangan hakikat

manusia seutuhnya.

Lebih lanjut Omar al Tomy sebagaimana dikutip Syamsul Ma’arif

mengatakan “kebebasan/kemerdekaan” adalah jalan-jalan yang betul ke arah

kebahagiaan individu, keselarasan sosial dan psikologinya yang baik, pencapaian

sendirinya, menyadarkan akan hakikat manusia, kehormatan, kebanggaan, dan

kekuatannya. Juga ke arah peningkatan semangat produktifitasnya, membuka bakat-

bakat, minat dan mengembangkan kebolehan-kebolehannya. Jadi

kebebasan/kemerdekaan merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi, tanpa

itu manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya55

Segala pendidikan yang ingin menumbuhkan bibit-bibit unggul dengan basis

yang luas dan tanah tumbuh yang subur hanya berpredikat sejati, bila tujuan primer

manusia-manusia seutuhnya yang beremansipasi. Teremansipasi berarti merdeka

dewasa mandiri (termasuk sikap sosialnya) yang secara integral seimbang mampu

menghadapi tantangan-tantangan riil yang dihadapi dan akan dihadapi anak didik.

Pendidikan emansipatorik oleh Fuad Hassan seperti yang di kutip oleh Mangun

adalah-memandirikan manusia untuk memekarkan eksistensinya-penciptaan iklim

yang meleluaskan anak manusia berkembang dan terus mekar sendiri hingga

menjadi pribadi yang mandiri. Dan tidak bertujuan mencetak alumni siap pakai

karena hal ini akan bermuara pada eksploitasi antar sesama manusia56

54Kansil (Ed) “Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”(Jakarta: Balai Pustaka, 1979) Cet

III Januari, hlm 26 55Syamsul Ma’arif “Mengembalikan Fungsi Sekolah Untuk Proyek Kemanusiaan”Jurnal

Edukasi Vol II, Nomor 2, Desember 2004, hlm 286 56Yb Mangunwijaya “Impian Dari Yogyakarta”, Kumpulan Esai Masalah Pendidikan,

(Jakarta: Kompas, 2003) Cet I, hlm 272

68

Pendidikan yang diterapkan oleh Mangun, baik melalui pendidikan

pendampingan terhadap warga masyarakat tertindas maupun pendidikan bagi anak

miskin melalui SD Mangunannya, merupakan cita-citanya untuk mengabdikan diri

bersama masyarakat dan berusaha mengangkat harkat dan martabat masyarakat dari

berbagai penindasan. Dia yang terjun langsung ke tengah masyarakat dapat

mengamati tentang banyaknya warga masyarakat yang belum mampu hidup layak57

Usaha Mangun adalah memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk

cerdas membaca realitas yang melingkupi seluruh hidupnya dan mengembalikan

kemerdekaan yang hilang. Baginya rakyat akan bisa cerdas apabila hak-hak mereka

dihormati dan seluruh partisipasi dan emansipasi mereka diakui layaknya orang lain,

terutama dalam memperoleh pendidikan

1.2 Keadilan Sosial

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah kesesuaian sifat-sifat

dan keadaan dengan hakikat adil, di mana secara umum hakikat adil adalah

memberikan diri sendiri dan orang lain apa yang menjadi haknya, tidak berat

sebelah, selayaknya, tidak sewenang-wenang, dan mendapat perlakuan yang sama.

Dengan demikian dalam hubungan hak dan kewajiban, adil adalah memperoleh

perlakuan yang sama dan layak serta tidak berat sebelah di dalam hak dan

kewajiban.58

Pada prinsipnya sila keadilan sosial menghendaki adanya kemakmuran yang

merata di antara seluruh rakyat, bukan merata yang statis melainkan merata yang

dinamis dan meningkat. Artinya seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi

bangsa, diolah bersama-sama menurut kemampuan dan bidang masing-masing,

untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi

seluruh rakyat59

Sila ini secara bulat berarti bahwa setiap rakyat Indonesia mendapat

perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya dan

57 Firdaus M. Yunus, Op Cit hlm 76 58 Bambang Daroeso dan Suyamo, Op Cit, hlm. 73 59 Krissantono (Ed), Op Cit hlm 70

69

pendidikan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, pengertian keadilan sosial

mencakup pula pengertian adil dan makmur60

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain tersirat bahwa

cita-cita bangsa Indonesia ialah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material

dan spiritual berdasarkan pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik

Indonesia

Jalan untuk mencapai tujuan itu benar-benar harus bersendikan moral yang

luhur untuk kepentingan nasional. Salah satu jalan yang ditempuh ialah dengan

mempergunakan asas kekeluargaan. Sudah barang tentu harus disertai dengan

kesediaan dari semua pihak untuk bekerja keras. Asas ini khas Indonesia, sesuai

dengan asas yang lebih kebersamaan dari pada perorangan. Suatu asas yang cocok

kalau dipadukan dengan prinsip musyawarah.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang

Sistim Pendidikan Nasional bagian keempat tentang Hak dan Kewajiban Pemerintah

dan Pemerintah Daerah pasal 11 disebutkan bahwa:

1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan

serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi

2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna

terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh

sampai dengan lima belas tahun

Dari kedua pasal ini terlihat bahwa pemerintah ikut andil dan bertanggung

jawab terhadap pendidikan sesuai dengan pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan

kehidupan Bangsa” Namun yang terjadi adalah bahwa dunia pendidikan kini berada

dalam genggaman sikap mental kapitalisitik. Ketimpangan pendidikan ini makin

memperburuk situasi. Mestinya si Miskin bersekolah dengan harapan akan mampu

merubah nasibnya, yang terjadi justru si Miskin tetap miskin karena tidak mampu

membayar biaya sekolah. Sebaliknya yang kaya terus menikmati fasilitas dan lulus

60 Kansil (Ed), Op Cit hlm 38

70

juga mampu membayar untuk bekerja di kantor atau perusahaan yang baik. Artinya

lingkaran kemiskinan terus membelit.61

Dengan kata lain pendidikan Formal justru melahirkan stratifikasi sosial dan

makin mempertajam kesenjangan. Mahalnya biaya sekolah justru diikuti pula oleh

kemerosotan dunia ekonomi. Pengangguran terselubung makin banyak jumlahnya

dan pertumbuhan penduduk tetap tinggi. Dari titik inilah muncul keresahan sosial,

dan berbagai konflik yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial 62

Menurut Mangun fungsi esensial dunia pendidikan63 demi kehidupan real

kini dan mendatang ialah bagimana jalan-jalan persekolahan formal maupun

nonformal dan informal, ketiganya berpadu secara bagus agar peserta didikan

semakin cerdas memakai daya intelegensinya mereka. Terlatih untuk jeli

menemukan sendiri sumber-sumber informasi yang penting, dan pandai

menyelekasi mana sumber serius mana sumber gadungan, mana yang relevan dan

tidak. 64

Mangunwijaya mengatakan pendidikan formal hanyalah eksplisit saja

meskipun penting, akan tetapi dalam situasi komunikasi modern masa kini, tidak

begitu penting mempersoalkan pendidikan formal atau pendidikan non formal, yang

terpenting sekarang adalah bagaimana mendialogkan65 pendidikan itu semua kepada

61 Saratri Wilonoyudho “Pendidikan Berbasis Kapitalisme”Jurnal Edukasi Vol II, Nomor 2,

Desember 2004, hlm 278 62 Ibid 63 Pendidikan ternyata perlu di lihat di dalam lingkupan pengertian yang luas. Ada tiga hal

yang perlu dikaji kembali yaitu: pertama pendidikan yang tidak dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu rumusan mengenai pendidikan yang hanya membedakan antara nonformal dan informal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting dalam pembentukan tingkah laku manusia.Kedua pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik, selanjutnya pendidikan bukan hanya membuat anak pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya. Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi seorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya, kini dan masa depan. Tilaar. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rinika Cipta, 2000), Cet I, hlm 21

64 Singgih Nugroho Op Cit hlm 55 65 Pola dialogisme yang di kembangkannya sebenarnya bukan hanya pola relasi antara

pemerintah dan masyarakat, tapi bagaimana upaya dialog yang dilakukan oleh guru terhadap murid. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi dominasi antara guru terhadap murid maupun pemerintah

71

masyarakat, baik pendidikan dalam bentuk formal maupun pendidikan dalam bentuk

non formal, agar masyarakat dapat sadar terhadap barbagai permasalahan yang

menimpa mereka sebagai masyarakat66

Dalam RUU-PN - ketika Mangun menulis ini belum ada UUSPN 2003- pun

sudah menegaskan bahwa selain jalur sekolah formal, masih ada dua jalur yang

sangat penting dan menentukan perkembangan nasion, yakni jalur nonformal (NF)

dan informal (IF). Banyak yang beranggapan bahwa jalur NF dan IF hanya untuk

kaum berekonomi lemah atau yang bodoh, dan memang kenyataanya RUU-PN pun

praktis hanya menggarap hal-hal yang berhubungan dengan persekolahan formal,

dan hanya menyinggung sebentar bahwa jalur NF dan IF itu ada. Sebenarnya

pembagian pendidikan formal, nonformal, dan informal oleh UNESCO bermaksud

baik, tetapi dalam praktiknya pembagian itu ditafsiri keliru, seolah-olah pendidikan

formal itu normative, standar dan sempurna, sehingga pendidikan kelas dua tidak

normal, dan hanya ditoleransi, mengingat mereka yang bodoh, yang miskin, yang

seharusnya mengikuti pendidikan formal tetapi tidak mampu.67

Di dalam hampir semua seminar atau tanggapan mengenai RUU-PN salah

kaprah itu melayang. Khususnya kalau orang berbicara tentang pendidikan dasar,

selalu saja orang masih saja terkurung pada gagasan sempit, seolah-olah pendidikan

dasar itu sama sebatas dengan sekolah formal SD dan SMP. Apalagi SD dan SMP

praktis hanya dilihat melulu sebagai jenjang untuk meneruskan pelajaran ke sekolah

(formal lagi). Suatu nasion yang begitu melekat dan mendewakan sekolah formal

dalam pancaroba Revolusi Industri ke II yang melejit cepat masa kini ini- padahal

masih harus mengejar banyak segi keterbelakangan dengan penduduk yang sebentar

lagi melebihi 200 juta orang, dengan segala kendala geografis dan cultural, dengan

semakin manganganya jurang antara kaya dan miskin, antara yang melimpah

informasi dan yang kekurangan-tidak akan mungkin akan lepas landas, apalagi

makmur adil merata. Sehebat-hebatnya sekolah formal, jumlah dan kualitasnya tidak

terhadap masyarakat, sehingga wewenang untuk mencerdaskan bangsa adalah tanggung jawab berasama

66 Firdaus M. Yunus, Op Cit hlm 81 67YB Mangunwijaya, Impian Dari Yogyakarta,Op Cit, hlm 163

72

mungkin menangani sendiri masalah abad ke-21 yang semakin menggunung dan

semakin berubah, serba kejutan-kejutan baru. Kita akan terbelenggu tak ketolongan

oleh keahlian-keahlian semu si Hasil Sekolah, yang begitu serba menghapal,

sampai nanti kalau tamat ia hanya tahu mengulang-ulang kesalahan-kesalahan

sekian abad orang-orang Barat maupun Timur dengan bangga.

Kita tidak ingin meremehkan peran dan pentingnya dunia sekolah formal.

Hanya perlu diingat, bahwa mati hidupnya tanaman berkondisi pada tanah-

tumbuhnya, ikan pada airnya, pasukan gerilya tergantung pada rakyatnya. Kita ini

sudah begitu tergenangi iklim serba semu, sampai menyangka Eropa, Amerika Utara

dan Jepang maju karena terutama hebatnya sistim persekolahan formal mereka.

Padahal, jalur NF/IF itu jalur yang sungguh sama-sama terhormat dan sederajat,

walaupun tidak setingkat jalur formal, dan fungsinya, metodiknya, sasaranya. Sayur

gudeg dan telur tidak lebih tinggi martabatnya dari pada nasi putih biasa. Satu

piring, tetapi lain sama sekali posisi, fungsi, bahkan kodratnya. Pemahaman itu

memang dapat dipahami, Cuma semogalah itu jangan dilembagakan dan justru

diperkuat salah kaprahnya. Orang kan tidak mengatakan bahwa jalan aspal itu lebih

tinggi derajanya dibanding dengan jalan rel besi kerata api68.

Jalur-jalur formal dan nonformal/informal pada hakikatya terlanjur keliru

disebut jalur. Seharusnya dimensi, matra aspek sudut. Istilah jalur mengesankan hal-

hal yang lepas berdampingan. Dimensi menunjuk kepada kemanunggalan perkara-

perkara yang memang berlainan, tetapi masih dalam satu kesatuan yang lebih besar

dan menyeluruh.

1.3 Penyadaran sebagai Tujuan Pendidikan

Pemikiran pendidikan pemerdekaan yang di bangun YB Mangunwijaya

mempunyai misi dan visi yang jelas yaitu menyadarkan seluruh masyarakat. Sasaran

pendidikan Mangunwijaya tidak hanya terbatas pada satu golongan saja, tetapi

bersentuhan dengan seluruh lapisan masyarakat yang ada, baik pendidikan dalam

68 Ibid hlm 164-171

73

bentuk formal, maupun pendidikan dalam bentuk non formal sebagai upaya dalam

menggugah kesadaran kritis manusia

Penyadaran adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk membuka tabir-

tabir keterasingan dan penindasan yang menyelimuti manusia. Kesadaran sosial

dalam proses pemerdekaan manusia begitu penting, karena hanya kesadaran dan

mentalitas yang tercerahkan, jernih dalam melihat realitas dan wawasan

kemanusiaan yang baru, yang menentukan terjadinya transformasi sosial. Dengan

kesadaran kemanusiaan yang luhur manusia akan menjadi penentu atas terciptanya

struktur hidup yang harmonis

Proses penyadaran yang dilakukan oleh Mangunwijaya terhadap masyarakat

bersifat ganda, yaitu “makro” dan “mikro”69. Aspek “makro” meliputi aspek

structural masyarakat yang meliputi, struktur sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

pendidikan. Sementara persoalan “mikro” berkaitan dengan kemiskinan masyarakat

itu sendiri yang diwarnai oleh corak kehidupan mereka sehari-hari, terutama

kecenderungan menjadi apatis dan mereproduksi struktur makro yang menindas

dalam skala mikro.

69 Salah satu ajaran dasar nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada

umat dalam pelbagai dimensi,baik dalam dimensi pendidikan, sosial politik dan kebudayaan. (Al-qur’an 16:25). Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan dalam Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IAIN dan Pustaka Pelajar, 2001), Cet I Mei, hlm 7