Upload
vothuan
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
55
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Subyek Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Kristen 1 Pulau-pulau
Aru –Maluku dengan uraian subyek penelitian sebagai
berikut: siswa dikelompokkan dalam dua puluh lima rombel,
kelas 7, 8, 9 dan responden guru berjumlah 45 orang. Siswa
dengan kisaran usia 11 sampai 16 tahun, sedangkan guru
berusia 21 sampai 55 tahun. Kelas 7 terdiri dari 73 siswa,
kelas 8 berjumlah 71 siswa dan kelas 9 sebanyak 89 siswa.
Jadi, keseluruhan siswa pada ketiga kelas berjumlah 233
orang siswa dan guru berjumlah 45 orang. Jumlah
keseluruhan subyek penelitian dalam penelitian berjumlah
278 responden.
4.2 Karakteristik Responden
Karakteristik responden terjabar dari aspek jenis
kelamin dan usia yang terlihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
Guru
frekuensi Prosentase
L 11 24,44 %
P 34 75,56 %
Jml 45 100 %
Sumber :Data primer yang diolah tahun 2014
56
Pada tabel 4.1 menunjukan bahwa sebagian besar
responden guru dalam penelitian ini berjenis kelamin
perempuan sebanyak 75,56 %.
Tabel 4.2
Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Siswa
Frekuensi Prosentase
L 84 36,05%
P 149 63,95 %
Jml 233 100 %
Sumber: data primer diolah Tahun 2014
Pada tabel 4.2 menunjukan bahwa sebagian besar
responden siswa dalam penelitian ini berjenis kelamin
perempuan 63,95%.
Tabel 4.3
Karakteristik Responden
Guru Berdasarkan Usia
Usia frekuensi Prosentase
21-25 th 5 11%
26-30 th 6 13%
31-35 th 10 22%
36-40 th 11 25%
41-45 th 7 16%
45-50 th 5 11%
51-55 th 1 2%
Jumlah 45 100%
Sumber : data primer diolah tahun 2014
57
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden dalam penelitian ini berusia 36- 40 tahun dengan
prosentase (25%).
Tabel 4.4
Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Prosentase
11 th 21 9,01%
12 th 62 26,60 %
13 th 76 32,62%
14 th 67 28,76%
15 th 4 1,72%
16 th 3 1,29 %
Total 233 100 %
Sumber : data primer diolah tahun 2014
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden siswa dalam penelitian ini berusia 13 tahun
(32,62%).
Tabel 4.5
Karakteristik Responden Guru Berdasarkan
Masa Kerja Golongan sejak pengangkatan
Masa Kerja Frekuensi Prosentase
01-05 th 35 77,78%
06-10 th 6 13,32%
11-15 th - 0%
16-20 th 3 6,67%
21-25 th 1 2,23%
Jumlah 45 100 %
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden dalam
penelitian ini mempunyai masa kerja sebagian besar golongan
1-5 tahun (77,78%).
58
Tabel 4.6
Karakteristik Responden Guru
Berdasarkan Status
Status Guru Frekuensi Prosentase
Tetap 34 75,56%
Tidak Tetap 11 24,44%
Jumlah 45 100
Tabel 4.6 menunjukkan dalam penelitian ini bahwa
sebagian besar responden berstatus sebagai guru tetap
sebanyak 34 (75,56%).
Tabel 4.7
Karakteristik Responden Guru
Berdasarkan Pangkat Golongan
Pangkat Golongan Frekuensi Prosentase
Non Golongan 10 22,22%
II/a-II/b - -
II/c-II/d 6 13,33%
III/a-III/b 24 53,33%
III/c-III/d 3 6,67%
IV/a-IV/b 2 4,45%
Jumlah 45 100 %
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini
sebagian besar responden memiliki pangkat golongan III/a –
III/b sebanyak 53,33%.
59
4.3 ANALISIS DATA
4.3.1 Analisis Deskriptif Variabel Penerimaan Anak
Berkebutuhan Khusus.
Deskripsi distribusi frekuensi penerimaan Anak
Berkebutuhan Khusus oleh guru dan siswa dapat terlihat
pada tabel 4.8 dan 4.9 sebagai berikut:
Tabel 4.8
Deskripsi Frekuensi Penerimaan Guru
Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
Kategori Rentang Skor frekuensi Guru Prosentase
Sangat Tinggi 57 – 68 17 37,78 %
Tinggi 47 – 56 15 33,33%
Sedang 37 – 46 13 28,89%
Rendah 27 – 36 0 0
Sangat Rendah 17 – 26 0 0
Jumlah 45 100 %
Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa penerimaan guru
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P.
Aru – Maluku berada pada kategori Sangat Tinggi sekitar
37,78%.
Tabel 4.9
Deskripsi Frekuensi Penerimaan Siswa
Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
Kategori Rentang Skor frekuensi
Siswa
Prosentase
Sangat Tinggi 57 – 68 7 3 %
Tinggi 47 – 56 89 38,20 %
Sedang 37 – 46 117 50,21 %
Rendah 27 – 36 16 6,87%
Sangat Rendah 17 – 26 4 1,72%
Jumlah 233 100 %
Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014
60
Tabel 4.9 menunjukkan sebagian besar penerimaan
siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus berada pada
kategori Sedang sekitar 50,21%.
4.4 Uji Normalitas
Tabel 4.10
Test of Normality
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Penerimaan
Guru
Penerimaan
siswa
N 45 233
Normal Parametersa Mean. .0000000 .0000000
Std.Deviation .30134382 .92175616
Most Extreme
Differences
Absolute .104 .054
Positive .098 .054
Negative -.104 -.026
Kolmogorov-Smirnov Z .699 .819
Asymp. Sig. (2-tailed) .714 .514
a. Test distribution is Normal.
Pengujian normalitas pada penenelitian ini
menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov test dan pengujian
linearitas menggunakan uji regresi linear. Kriteria yang
dipakai untuk menentukan data berdistribusi normal atau
tidak menggunakan nilai probabilitasnya. Jika nilai
probabilitas di atas 0,05 maka data distribusi normal,
sedangkan jika probabilitanya di bawah 0,05 maka data tidak
berdistribusi normal. Berdasarkan koefisien Kolmogorov-
Smirnov di peroleh Penerimaan Guru = 0,699 dan untuk
Penerimaan Siswa 0,819. dengan Asymp Sig (2-tailed)
61
penerimaan guru 0,714>0,05 dan Asymp sig (2-tailed)
penerimaan siswa 0,514>0,05 Maka kedua variabel distribusi
normal dan memenuhi syarat analisis dengan t-test.
4.5 Analisis Perbedaan Mean Variabel Penelitian
4.5.1 Perbedaan Penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus
Oleh Guru dan Siswa.
Tabel 4.11
Group Statistics
Penerimaan N Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
VAR00
001
1 19 3.53 .772 .177
2 5 3.20 1.095 .490
Berdasarkan tabel 4.12 di atas terlihat bahwa rata-rata
(mean) penerimaan guru (3.53) terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus lebih besar dibandingkan dengan rata-rata (mean)
penerimaan siswa (3.20) terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus dengan selisih mean sebesar 0.33 Dengan kesimpulan
tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara siswa
dan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP
Kristen 1 P. P. Aru – Maluku.
62
4.6.2.Analisis Perbedaan Penerimaan Guru dan Siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
Tabel 4.12
AnalisisPenerimaan Guru dan Siswa Terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. T Df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std.
Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Equal variances
assumed 2.760 .111 .773 22 .448 .326 .422 -.550 1.202
Equal variances not assumed
.626 5.096 .558 .326 .521 -1.005 1.658
Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui hasil Fhitung levene
test sebesar 2,760 dengan signifikansi 0,111 lebih besar dari
0,05 maka Ho di terima atau kedua populasi memiliki varian
yang sama. dengan kata lain kedua variabel homogen. Hasil
uji beda independent sample t-tes terlihat bahwa thitung di
bagian equal variance assumed adalah 0,773 dengan
signifikansi (2-tailed) sebesar 0,448. Karena P>0,05 maka
dapat disimpulkan tidak ada perbedaan penerimaan yang
63
signifikan antara guru dengan siswa terhadap anak
berkebutuhan khusus.
4.6 Uji Hipotesis
Penelitian ini berkepentingan menguji rumusan
hipotesis yaitu: Adakah perbedaan penerimaan terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa di SMP Kristen
1 Pulau-pulau Aru – Maluku.
Hipotesis yang diajukan Ada Perbedaan Penerimaan
yang Signifikan Guru dan siswa terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru
Maluku. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan penerimaan yang signifikan Guru dan Siswa
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-
pulau Aru Maluku, sehingga hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini ditolak.
4.7 Pembahasan Hasil Penelitian.
Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus
antara guru dan siswa dari hasil penelitian dipengaruhi faktor
refleksi penerimaan FEAR. Pendekatan refleksi FEAR
bertujuan menguji interpretasi bahasa dalam lingkungan
sosial. Refleksi FEAR dipahami sebagai faktor kunci penerapan
penerimaan dalam lingkungan sosial (Hayes, 2003). Ciri dan
ungkapan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus di SMP
Kristen 1 P. P. Aru - Maluku oleh guru maupun siswa
teridentifikasi melalui bahasa dan perilaku yang terjabar
dalam empat dimensi yakni: peleburan (Fusion), evaluasi
64
(Evaluation), menghindar (Avoidance) dan memberi alasan
(Giving Reason).
Peleburan menjadi faktor penting seseorang mengalami
proses penerimaan diri dan sosial secara positif. Penerimaan
positif bagi Anak Berkebutuhan Khusus dianalisis dengan
cara: pertama, membedah peleburan kognitif dan perasaan
guru melalui simbol kata dan perilaku ketika berinteraksi
dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Kedua, membedakan
peleburan kognitif dan perasaan siswa melalui pikiran dan
perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan
Khusus.
Berdasarkan hasil analisis proses peleburan
teridentifikasi melalui karakteristik guru dan siswa lewat
kategori jenis kelamin dan usia. Hasil analisis dari kategori
jenis kelamin ditemukan bahwa penerimaan Anak
Berkebutuhan Khusus lebih besar dari responden berjenis
kelamin perempuan di kalangan guru (75,56 %) dan siswa
(63,95%) dibandingkan responden berjenis kelamin laki-laki
hanya untuk guru sekitar 24,44% dan siswa sekitar 36,05%.
Alasannya, terkait aspek keintiman relasi, perempuan
memiliki kualitas keintiman lebih kuat dibandingkan laki-laki.
Perempuan cenderung didominasi perasaan dibandingkan
pikiran sehingga mudah melebur dan berinteraksi secara
sosial, sebaliknya laki-laki mengutamakan logika/ pikiran
dibandingkan perasaan sehingga sulit membangun keintiman
relasi.
65
Prinsip evaluasi juga termasuk faktor penting yang
menentukan proses penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus.
Fokus evaluasi merujuk pada kesiapan Anak Berkebutuhan
Khusus di sekolah, keluarga dan lingkungan sosial untuk
menerima pengalaman diskriminatif sebagaimana adanya dan
berani mengevaluasi pengalaman pahit tersebut. Berdasarkan
hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku sebagai
ruang sosial Anak Berkebutuhan Khusus, ditemukan fakta
bahwa penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus sebagian besar berada pada kategori sangat tinggi
sekitar 37,78%, sementara penerimaan siswa di kategori
sedang sebanyak 50,21%. Intinya, penerimaan guru terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus dinilai baik.
Penulis menemukan adanya relasi mutualistis–simbiosis
antara Anak Berkebutuhan Khusus dengan guru. Pada satu
sisi, Anak Berkebutuhan Khusus mampu menerima
pengalaman diskriminasi oleh guru dan mengevaluasinya
secara positif demi pengembangan diri. Sebaliknya, pada sisi
lain guru sebagai stakeholder di lembaga pendidikan mampu
mengevaluasi praktek diskriminasi Anak Berkebutuhan
Khusus dan menghadirkan iklim penerimaan positif di
sekolah. Relasi mutualistis – simbiosis memungkinkan
terciptanya iklim interaksi sosial positif dan konstruktif
sehingga tercapai kualitas pendidikan yang baik.
Pada domain penelitian di kalangan siswa, ditemukan
fakta berbeda bahwa sebagian besar penerimaan terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus berada pada kategori sedang
66
sekitar 50,21% di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan
Khusus memiliki tingkat inisiatif yang sedang untuk
berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Proses interaksi ini
menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus memiliki
kemampuan sedang atau biasa untuk mengevaluasi dan
menerima pengalaman diskriminatif ketika berinteraksi
dengan teman-teman sebaya. Tingkat evaluasi dan
penerimaan pengalaman diskriminatif sedang dari Anak
Berkebutuhan Khusus mempengaruhi persepsi diri mereka.
Alasannya, interaksi dan penerimaan mempengaruhi
bangunan persepsi diri seseorang termasuk kesediaan
mengevaluasi dan menerima pengalaman diskriminatif.
Faktor lain yang menentukan penerimaan Anak
Berkebutuhan Khusus adalah sikap menghindar dan memberi
alasan. Kedua sikap ini memiliki hubungan kausal dengan
faktor evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif.
Kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman
diskriminatif Anak Berkebutuhan Khusus terukur dengan
sikap menghindar dan memberi alasan. Artinya, sikap
menghindar dan memberi alasan adalah ciri orang yang
memiliki kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman
diskriminatif rendah. Selain itu, sikap menghindar dan
memberi alasan berhubungan satu dengan lainnya. Salah satu
ciri sikap menghindar adalah kebiasaan memberi alasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap menghindar
dan memberi alasan Anak Berkebutuhan Khusus berbeda
67
ketika berinteraksi dengan guru dan siswa. Dalam relasi yang
positif dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus tidak
terdorong untuk menghindar, mengelak bahkan berkamuflase.
Anak Berkebutuhan Khusus justru lebih jujur dan tulus
mengekspresikan diri di hadapan guru. Sebaliknya, dalam
relasi sosial dengan teman-teman sebaya, Anak Berkebutuhan
Khusus tidak mengekspresikan diri secara utuh. Sikap
menghindar ditampilkan dengan kadar sedang. Intinya, Anak
Berkebutuhan Khusus dipahami tidak mampu mengeksplorasi
dan mengekspresikan diri secara optimal. Menurut penulis,
secara psikologis Anak Berkebutuhan Khusus mengalami
dilema berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Pada satu
sisi, takut dan agak curiga terhadap teman-temannya
sehingga cenderung menghindar, mengelak dan berkamuflase.
Pada sisi lain, Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan
ruang persahabatan dengan teman sebayanya untuk bebas
mengekspresikan diri.
Sikap dilematis, Anak Berkebutuhan Khusus perlu
dikelola secara baik untuk membentuk kepribadian sehat
secara fisik maupun psikis. Sikap menghindar dan memberi
alasan adalah ekspresi dan kompensasi masalah perilaku
psikososial yang menghambat sikap penerimaan Anak
Berkebutuhan Khusus secara personal maupun sosial. Guru
dan siswa mesti membangun relasi jujur dan tulus dengan
Anak Berkebutuhan Khusus. Kebiasan berkamuflase dengan
memberi alasan sebaiknya diubah dengan sikap jujur untuk
68
mengakui Anak Berkebutuhan Khusus sebagai bagian dari
dirinya.
Berdasarkan perbandingan kedua kelompok penerimaan
di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan fakta bahwa
tidak ada perbedaan penerimaan signifikan Anak
Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa. Terbukti, hasil
perhitungan uji beda rata-rata (mean) penerimaan guru (3.53)
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan rata-rata (mean)
penerimaan siswa (3,20) terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus dengan selisih mean sebesar 0,33. dan signifikansi
0.111>0.05.
4.7.1 Penerimaan Guru Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus
Secara analitis, penulis perlu mengulas tentang sikap
maupun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan guru
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Ada beragam
pemahaman guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.
Penerimaan guru terhadap Anak berkebutuhan Khusus
terbangun dalam tiga pilihan yakni: pertama, penilaian negatif
yang cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua,
penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan
Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi
menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Sikap guru
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus menggambarkan
penilaian dan komitmen guru dalam mengembangkan mutu
pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bersamaan dengan
itu, sikap guru juga menunjukkan sejauh mana tanggung-
69
jawab dan penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus di sekolah.
Sikap positif guru diwujudkan dengan memberi
kesempatan yang lebih besar bagi Anak Berkebutuhan
Khusus belajar bersama teman sebayanya sehingga
menikmati kenyamanan pendidikan yang maksimal (Olson,
2003). Sikap guru yang negatif menggambarkan harapannya
rendah bagi Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah (Elliot,
2008). Dalam konteks SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku
ditemukan penerimaan bersifat positif guru terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus. Ini menunjukkan bahwa guru di SMP
Kristen 1 P. P. Aru – Maluku memberi kesempatan dan
kenyamanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
menikmati kualitas pendidikan yang baik.
Menurut Avramidis dan Norwich (2002), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus, yakni:
a. Pemahaman guru terhadap siswa.
Konsep guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
tergantung pada jenis hambatan siswa, tingkat
keparahan hambatan siswa dan kebutuhan siswa akan
pendidikan (Clough dan Lindsay, 1991 dalam
Avramiddis dan Norwich, 2002). Persepsi guru mengenai
jenis hambatan siswa berdasar tiga hal yakni: hambatan
fisik dan sensori, kognitif dan perilaku emosional siswa.
Guru menilai siswa dengan problem belajar ringan
dipandang lebih positif dibandingkan dengan siswa
70
dengan problem belajar berat (Sharma dkk, 2008;
Hasting & Oakford, 2003). Guru kadang bersikap
pesimis jika Anak Berkebutuhan Khusus mendapat
pelayanan pendidikan di sekolah reguler, karena
dianggap tepat dilayani di SLB. Kompensasinya,
terkadang guru mengekspresikan penolakan terhadap
Anak Bekebutuhan Khusus lewat kata dan perbuatan.
Terungkap sterotipe yang melemahkan semangat belajar
Anak Berkebutuhan Khusus. Hasil penelitian di SMP
Kristen I P. P. Aru – Maluku menunjukkan penerimaan
positif guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.
Artinya, guru di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku tidak
pesimis terhadap hambatan siswa. Sebaliknya, guru
pro-aktif memberi pelayanan pendidikan secara baik
dan nyaman bagi kecerdasan Anak Berkebutuhan
Khusus.
b. Gender.
Faktor ini terkait kategorisasi tenaga guru sesuai gender
yang mempengaruhi penerimaan terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus. Beberapa peneliti menemukaan
bahwa guru perempuan memiliki toleransi lebih tinggi
dibandingkn guru laki-laki dalam proses interaksi
dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Aksamit, Morris
and Leunberger, 1987; Thomas, 1985). Ditemukan
kecenderungan bahwa guru perempuan menunjukkan
sikap positif terhadap Anak yang memiliki masalah
perilaku dibandingkan guru laki-laki. Terbukti dari hasil
71
penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku bahwa
bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar
responden guru menerima secara positif Anak
Berkebutuhan Khusus berjenis kelamin perempuan
sebanyak 75,56 % bagi guru dibandingkan responden
laki-laki sekitar 24,44%.
c. Usia dan Pengalaman Mengajar.
Guru yang lebih muda dengan pengalaman mengajar
sedikit memiliki tingkat penerimaan yang tinggi
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (Clough and
Linsay, 1991 dalam Avramidis and Norwich, 2002).
Harvey (1985 dalam Avramidis and Norwich, 2002)
menemukan ada keengganan guru yang telah
berpengalaman untuk menerima dan melayani Anak
Berkebutuhan Khusus. Alasannya, guru berpengalaman
mencintai kemapanan dan kurang berminat mengikuti
pelatihan sehingga sulit mengalami transformasi
pemikiran dan sikap. Kondisi berbeda dengan guru lebih
muda yang tertarik mengikuti berbagai pelatihan dan
bersedia menerapkan program integrasi kepada Anak
Berkebutuhan Khusus. Tingkat penerimaan guru lebih
muda lebih tinggi kepada Anak Berkebutuhan Khusus
dibanding guru berpengalaman. Hal ini menjadi alasan,
guru baru lebih memiliki sikap dan penerimaan positif
terhadap program integrasi Anak Berkebutuhan
Khusus. Terbukti dari hasil penelitian di SMP Kristen 1
P. P. Aru – Maluku, bahwa sesuai usia, masa dan
72
golongan kerja, sebagian besar responden guru berusia
muda sekitar 36 – 40 tahun (25%) dengan pangkat
golongan III/a – III/b (53,33%) dan masa kerja 1 - 5
tahun (77,78%) memiliki penerimaan tinggi terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus.
4.7.2 Penerimaan Siswa Normal Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus.
Sikap penerimaan siswa normal terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus juga sejalan dengan guru terpola
dalam tiga pilihan, yakni: pertama, penilaian negatif yang
cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua,
penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan
Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi
menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Berdasarkan hasil
penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan
tingkat penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus pada kategori sedang, sekitar 50,21%. Artinya, sikap
penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus tidak
terlalu tinggi maupun rendah.
Penulis memakai hasil penelitian sebelumnya dari
Marloes Koster (2010) berjudul “Social Participation of
Students with Special Needs in Regular Primary Education in
the Netherlends” untuk menjelaskan sikap penerimaan siswa
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut Marloes
Koster (2010), ada empat tema utama untuk mengukur
tingkat partisipasi sosial Anak Berkebutuhan Khusus, yakni:
a. Persepsi Diri Siswa
73
Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus
antara guru dan siswa normal menunjukkan fakta
tentang persepsi diri Anak Berkebutuhan. Anak
Berkebetuhan Khusus terindikasi memiliki perspesi diri
berbeda di hadapan guru dan siswa normal. Dalam
relasi dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus
memiliki tingkat persepsi diri baik dan positif.
Sebaliknya dengan siswa normal, Anak Berkebutuhan
Khusus dinilai memiliki tingkat persepsi diri
dikategorikan sedang atau biasa saja. Persepsi diri Anak
Berkebutuhan Khusus akan semakin baik dan positif
jika ruang interaksi dan penerimaan terbangun baik.
Sebaliknya, persepsi diri menjadi lemah ketika
terbangun relasi yang buruk.
b. Penerimaan oleh Teman-teman Sekelas
Tingkat penerimaan yang sedang terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus menunjukkan bahwa relasi
pertemanan Anak Berkebutuhan Khusus dengan teman-
teman sebaya belum sepenuhnya terbangun baik.
Kategori sedang menunjukkan Anak Berkebutuhan
Khusus belum secara utuh diterima oleh teman-teman
sebayanya. Sikap ini dilatari beberapa faktor, yakni:
pertama, tingkat pendidikan siswa rendah sehingga
belum terdorong secara baik untuk menerima teman
sebayanya dengan kelemahan, dan kedua, tingkat
kematangan mental dan psikologis lemah sehingga
74
terkesan labil dalam menentukan sikap positif bagi
teman sebayanya.
c. Persahabatan.
Tingkat penerimaan yang sedang mempengaruhi relasi
persahabatan Anak Berkebutuhan Khusus dengan
teman-teman sebayanya. Anak Berkebutuhan Khusus
masih tersudutkan dalam ambiguitas peran. Pada satu
sisi diposisikan peran isolasi, tetapi pada sisi lain
terdorong memainkan peran partisipatif. Ketegangan
peran isolasi dan peran partisipatif dipengaruhi oleh
cara pandang dan sikap yang belum menerima Anak
Berkebutuhan Khusus secara utuh.
d. Kontak/ interaksi.
Anak Berkebutuhan Khusus diterima pada tingkat
sedang oleh siswa dilatari karena kurang adanya
inisiatif untuk membangun relasi dengan siswa normal
dan ketidaksiapan mental untuk menerima pengalaman
diskriminasi. Kedua belah pihak, Anak Berkebutuhan
Khusus dan siswa normal belum memiliki kemampuan
mental psikologis dan pemahaman yang baik untuk
menerima dan mengevaluasi pengalaman diskriminasi
sebagai realitas yang lumrah dan manusiawi. Realitas
ini mempengaruhi komitmen untuk membangun ruang
interaksi sosial yang sehat dan positif demi
pengembangan mutu hidup.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sherly
(2012) yang menyatakan perbedaan penerimaan ditentukan
75
oleh jenjang pendidikan dan tidak ditentukan oleh usia.
Menurut Sherly (2012), perbedaan penerimaan Anak
Berkebutuhan Khusus tergantung perbedaan jenjang
pendidikan. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki
penerimaan lebih besar terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
dibanding ibu dengan berpendidikan rendah. Terbukti, dalam
penelitian Sherly (2012) di SLB Semarang, ibu yang
berpendidikan rendah memiliki nilai rata-rata sebesar 83,53
yang dikategorikan sedang (66,84) dengan standar deviasi
10,63. Penerimaan berdasarkan jenjang pendidikan terjabar,
pendidikan rendah 21 orang, jenjang pendidikan sedang 24
orang dan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 25 orang.
Sebaliknya penelitian ini menemukan fakta guru dengan
pendidikan tinggi dan siswa berpendidikan rendah tidak
memiliki perbedaan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus. Terbukti dari hasil perhitungan uji beda rata-rata
antara dua kelompok penerimaan terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus diperoleh hasil thitung sebesar 0,773
untuk kelompok guru dan kelompok siswa sebesar 0,626
dengan signifikansi 0.111 > 0.05.
Namun demikian penelitian sama dengan penelitian
Sherly (2012) yang menyatakan perbedaan penerimaan tidak
ditentukan oleh usia. Hasil penelitian ini berdasarkan kategori
usia menunjukkan bahwa sebagian besar responden guru
berusia 36 - 40 tahun dengan prosentase (25%). Sedangkan
paling sedikit responden berusia 51 - 55 tahun dengan
prosentase (2%). Responden guru terbukti memiliki kategori
76
penerimaan tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.
Penulis menilai guru di usia 36 - 40 tahun termasuk kategori
usia produktif dan pola pikirnya terbuka terhadap perubahan
sehingga mampu menerima Anak Berkebutuhan Khusus
secara positif dan transformatif. Sebaliknya, pada usia 51 - 55
tahun termasuk kategori usia matang yang terjebak dalam
kemapanan sehingga sulit berinteraksi dan melebur secara
supel. Secara kejiwaan, guru pada usia ini sulit berinteraksi
dan melebur dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg,
1995).
Pada kelompok siswa, penulis menemukan fakta
berbeda bahwa sebagian besar responden siswa berusia 13
tahun (32,62%) dibandingkan usia 16 tahun berjumlah sedikit
sekitar 1,29%. Dalam perspektif psikologi perkembangan, usia
13 tahun adalah masa atau etape seorang anak
membutuhkan relasi sosial tinggi dengan teman-teman
sebayanya. Nilai hidup anak ditentukan dengan relasi sosial
disekitarnya, karena itu wajar jika anak pada usia 13 tahun
jauh lebih terbuka dan supel untuk melebur sekaligus
menerima keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus. Kondisi
berbeda dengan usia 16 tahun yang memasuki usia dewasa
dan cenderung individualis sehingga sulit melebur dan
menerima Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg, 1995).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tidak
ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara guru dan
siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Penerimaan
siswa dan guru dilatari oleh tingkat pendidikan, usia, jenis
77
kelamin maupun kematangan mental psikologis. Anak
Berkebutuhan Khusus membutuhkan penerimaan utuh,
penerimaan diri maupun sosial baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Relasi dan penerimaan yang
jujur, tulus maupun positif akan membangun mutu
kepribadian yang baik bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
Relasi negatif mesti ditransformasi menjadi relasi positif agar
Anak Berkebutuhan Khusus bertumbuh dan berkembang
secara baik. Guru dan siswa mesti memperkecil peran isolasi
Anak Berkebutuhan Khusus dan memberi peran partisipatif
agar Anak Berkebutuhan Khusus mampu mengekspresikan
diri secara baik.
78