24
55 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru –Maluku dengan uraian subyek penelitian sebagai berikut: siswa dikelompokkan dalam dua puluh lima rombel, kelas 7, 8, 9 dan responden guru berjumlah 45 orang. Siswa dengan kisaran usia 11 sampai 16 tahun, sedangkan guru berusia 21 sampai 55 tahun. Kelas 7 terdiri dari 73 siswa, kelas 8 berjumlah 71 siswa dan kelas 9 sebanyak 89 siswa. Jadi, keseluruhan siswa pada ketiga kelas berjumlah 233 orang siswa dan guru berjumlah 45 orang. Jumlah keseluruhan subyek penelitian dalam penelitian berjumlah 278 responden. 4.2 Karakteristik Responden Karakteristik responden terjabar dari aspek jenis kelamin dan usia yang terlihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Guru frekuensi Prosentase L 11 24,44 % P 34 75,56 % Jml 45 100 % Sumber :Data primer yang diolah tahun 2014

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

  • Upload
    vothuan

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

55

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Subyek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Kristen 1 Pulau-pulau

Aru –Maluku dengan uraian subyek penelitian sebagai

berikut: siswa dikelompokkan dalam dua puluh lima rombel,

kelas 7, 8, 9 dan responden guru berjumlah 45 orang. Siswa

dengan kisaran usia 11 sampai 16 tahun, sedangkan guru

berusia 21 sampai 55 tahun. Kelas 7 terdiri dari 73 siswa,

kelas 8 berjumlah 71 siswa dan kelas 9 sebanyak 89 siswa.

Jadi, keseluruhan siswa pada ketiga kelas berjumlah 233

orang siswa dan guru berjumlah 45 orang. Jumlah

keseluruhan subyek penelitian dalam penelitian berjumlah

278 responden.

4.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden terjabar dari aspek jenis

kelamin dan usia yang terlihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1

Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis

Kelamin

Guru

frekuensi Prosentase

L 11 24,44 %

P 34 75,56 %

Jml 45 100 %

Sumber :Data primer yang diolah tahun 2014

Page 2: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

56

Pada tabel 4.1 menunjukan bahwa sebagian besar

responden guru dalam penelitian ini berjenis kelamin

perempuan sebanyak 75,56 %.

Tabel 4.2

Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Siswa

Frekuensi Prosentase

L 84 36,05%

P 149 63,95 %

Jml 233 100 %

Sumber: data primer diolah Tahun 2014

Pada tabel 4.2 menunjukan bahwa sebagian besar

responden siswa dalam penelitian ini berjenis kelamin

perempuan 63,95%.

Tabel 4.3

Karakteristik Responden

Guru Berdasarkan Usia

Usia frekuensi Prosentase

21-25 th 5 11%

26-30 th 6 13%

31-35 th 10 22%

36-40 th 11 25%

41-45 th 7 16%

45-50 th 5 11%

51-55 th 1 2%

Jumlah 45 100%

Sumber : data primer diolah tahun 2014

Page 3: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

57

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar

responden dalam penelitian ini berusia 36- 40 tahun dengan

prosentase (25%).

Tabel 4.4

Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Prosentase

11 th 21 9,01%

12 th 62 26,60 %

13 th 76 32,62%

14 th 67 28,76%

15 th 4 1,72%

16 th 3 1,29 %

Total 233 100 %

Sumber : data primer diolah tahun 2014

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar

responden siswa dalam penelitian ini berusia 13 tahun

(32,62%).

Tabel 4.5

Karakteristik Responden Guru Berdasarkan

Masa Kerja Golongan sejak pengangkatan

Masa Kerja Frekuensi Prosentase

01-05 th 35 77,78%

06-10 th 6 13,32%

11-15 th - 0%

16-20 th 3 6,67%

21-25 th 1 2,23%

Jumlah 45 100 %

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden dalam

penelitian ini mempunyai masa kerja sebagian besar golongan

1-5 tahun (77,78%).

Page 4: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

58

Tabel 4.6

Karakteristik Responden Guru

Berdasarkan Status

Status Guru Frekuensi Prosentase

Tetap 34 75,56%

Tidak Tetap 11 24,44%

Jumlah 45 100

Tabel 4.6 menunjukkan dalam penelitian ini bahwa

sebagian besar responden berstatus sebagai guru tetap

sebanyak 34 (75,56%).

Tabel 4.7

Karakteristik Responden Guru

Berdasarkan Pangkat Golongan

Pangkat Golongan Frekuensi Prosentase

Non Golongan 10 22,22%

II/a-II/b - -

II/c-II/d 6 13,33%

III/a-III/b 24 53,33%

III/c-III/d 3 6,67%

IV/a-IV/b 2 4,45%

Jumlah 45 100 %

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini

sebagian besar responden memiliki pangkat golongan III/a –

III/b sebanyak 53,33%.

Page 5: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

59

4.3 ANALISIS DATA

4.3.1 Analisis Deskriptif Variabel Penerimaan Anak

Berkebutuhan Khusus.

Deskripsi distribusi frekuensi penerimaan Anak

Berkebutuhan Khusus oleh guru dan siswa dapat terlihat

pada tabel 4.8 dan 4.9 sebagai berikut:

Tabel 4.8

Deskripsi Frekuensi Penerimaan Guru

Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Kategori Rentang Skor frekuensi Guru Prosentase

Sangat Tinggi 57 – 68 17 37,78 %

Tinggi 47 – 56 15 33,33%

Sedang 37 – 46 13 28,89%

Rendah 27 – 36 0 0

Sangat Rendah 17 – 26 0 0

Jumlah 45 100 %

Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa penerimaan guru

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P.

Aru – Maluku berada pada kategori Sangat Tinggi sekitar

37,78%.

Tabel 4.9

Deskripsi Frekuensi Penerimaan Siswa

Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Kategori Rentang Skor frekuensi

Siswa

Prosentase

Sangat Tinggi 57 – 68 7 3 %

Tinggi 47 – 56 89 38,20 %

Sedang 37 – 46 117 50,21 %

Rendah 27 – 36 16 6,87%

Sangat Rendah 17 – 26 4 1,72%

Jumlah 233 100 %

Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014

Page 6: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

60

Tabel 4.9 menunjukkan sebagian besar penerimaan

siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus berada pada

kategori Sedang sekitar 50,21%.

4.4 Uji Normalitas

Tabel 4.10

Test of Normality

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Penerimaan

Guru

Penerimaan

siswa

N 45 233

Normal Parametersa Mean. .0000000 .0000000

Std.Deviation .30134382 .92175616

Most Extreme

Differences

Absolute .104 .054

Positive .098 .054

Negative -.104 -.026

Kolmogorov-Smirnov Z .699 .819

Asymp. Sig. (2-tailed) .714 .514

a. Test distribution is Normal.

Pengujian normalitas pada penenelitian ini

menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov test dan pengujian

linearitas menggunakan uji regresi linear. Kriteria yang

dipakai untuk menentukan data berdistribusi normal atau

tidak menggunakan nilai probabilitasnya. Jika nilai

probabilitas di atas 0,05 maka data distribusi normal,

sedangkan jika probabilitanya di bawah 0,05 maka data tidak

berdistribusi normal. Berdasarkan koefisien Kolmogorov-

Smirnov di peroleh Penerimaan Guru = 0,699 dan untuk

Penerimaan Siswa 0,819. dengan Asymp Sig (2-tailed)

Page 7: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

61

penerimaan guru 0,714>0,05 dan Asymp sig (2-tailed)

penerimaan siswa 0,514>0,05 Maka kedua variabel distribusi

normal dan memenuhi syarat analisis dengan t-test.

4.5 Analisis Perbedaan Mean Variabel Penelitian

4.5.1 Perbedaan Penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus

Oleh Guru dan Siswa.

Tabel 4.11

Group Statistics

Penerimaan N Mean

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

VAR00

001

1 19 3.53 .772 .177

2 5 3.20 1.095 .490

Berdasarkan tabel 4.12 di atas terlihat bahwa rata-rata

(mean) penerimaan guru (3.53) terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus lebih besar dibandingkan dengan rata-rata (mean)

penerimaan siswa (3.20) terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus dengan selisih mean sebesar 0.33 Dengan kesimpulan

tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara siswa

dan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP

Kristen 1 P. P. Aru – Maluku.

Page 8: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

62

4.6.2.Analisis Perbedaan Penerimaan Guru dan Siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Tabel 4.12

AnalisisPenerimaan Guru dan Siswa Terhadap

Anak Berkebutuhan Khusus

Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T Df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference

Std.

Error

Difference

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Equal variances

assumed 2.760 .111 .773 22 .448 .326 .422 -.550 1.202

Equal variances not assumed

.626 5.096 .558 .326 .521 -1.005 1.658

Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui hasil Fhitung levene

test sebesar 2,760 dengan signifikansi 0,111 lebih besar dari

0,05 maka Ho di terima atau kedua populasi memiliki varian

yang sama. dengan kata lain kedua variabel homogen. Hasil

uji beda independent sample t-tes terlihat bahwa thitung di

bagian equal variance assumed adalah 0,773 dengan

signifikansi (2-tailed) sebesar 0,448. Karena P>0,05 maka

dapat disimpulkan tidak ada perbedaan penerimaan yang

Page 9: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

63

signifikan antara guru dengan siswa terhadap anak

berkebutuhan khusus.

4.6 Uji Hipotesis

Penelitian ini berkepentingan menguji rumusan

hipotesis yaitu: Adakah perbedaan penerimaan terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa di SMP Kristen

1 Pulau-pulau Aru – Maluku.

Hipotesis yang diajukan Ada Perbedaan Penerimaan

yang Signifikan Guru dan siswa terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru

Maluku. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada

perbedaan penerimaan yang signifikan Guru dan Siswa

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-

pulau Aru Maluku, sehingga hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini ditolak.

4.7 Pembahasan Hasil Penelitian.

Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus

antara guru dan siswa dari hasil penelitian dipengaruhi faktor

refleksi penerimaan FEAR. Pendekatan refleksi FEAR

bertujuan menguji interpretasi bahasa dalam lingkungan

sosial. Refleksi FEAR dipahami sebagai faktor kunci penerapan

penerimaan dalam lingkungan sosial (Hayes, 2003). Ciri dan

ungkapan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus di SMP

Kristen 1 P. P. Aru - Maluku oleh guru maupun siswa

teridentifikasi melalui bahasa dan perilaku yang terjabar

dalam empat dimensi yakni: peleburan (Fusion), evaluasi

Page 10: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

64

(Evaluation), menghindar (Avoidance) dan memberi alasan

(Giving Reason).

Peleburan menjadi faktor penting seseorang mengalami

proses penerimaan diri dan sosial secara positif. Penerimaan

positif bagi Anak Berkebutuhan Khusus dianalisis dengan

cara: pertama, membedah peleburan kognitif dan perasaan

guru melalui simbol kata dan perilaku ketika berinteraksi

dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Kedua, membedakan

peleburan kognitif dan perasaan siswa melalui pikiran dan

perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan

Khusus.

Berdasarkan hasil analisis proses peleburan

teridentifikasi melalui karakteristik guru dan siswa lewat

kategori jenis kelamin dan usia. Hasil analisis dari kategori

jenis kelamin ditemukan bahwa penerimaan Anak

Berkebutuhan Khusus lebih besar dari responden berjenis

kelamin perempuan di kalangan guru (75,56 %) dan siswa

(63,95%) dibandingkan responden berjenis kelamin laki-laki

hanya untuk guru sekitar 24,44% dan siswa sekitar 36,05%.

Alasannya, terkait aspek keintiman relasi, perempuan

memiliki kualitas keintiman lebih kuat dibandingkan laki-laki.

Perempuan cenderung didominasi perasaan dibandingkan

pikiran sehingga mudah melebur dan berinteraksi secara

sosial, sebaliknya laki-laki mengutamakan logika/ pikiran

dibandingkan perasaan sehingga sulit membangun keintiman

relasi.

Page 11: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

65

Prinsip evaluasi juga termasuk faktor penting yang

menentukan proses penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus.

Fokus evaluasi merujuk pada kesiapan Anak Berkebutuhan

Khusus di sekolah, keluarga dan lingkungan sosial untuk

menerima pengalaman diskriminatif sebagaimana adanya dan

berani mengevaluasi pengalaman pahit tersebut. Berdasarkan

hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku sebagai

ruang sosial Anak Berkebutuhan Khusus, ditemukan fakta

bahwa penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus sebagian besar berada pada kategori sangat tinggi

sekitar 37,78%, sementara penerimaan siswa di kategori

sedang sebanyak 50,21%. Intinya, penerimaan guru terhadap

Anak Berkebutuhan Khusus dinilai baik.

Penulis menemukan adanya relasi mutualistis–simbiosis

antara Anak Berkebutuhan Khusus dengan guru. Pada satu

sisi, Anak Berkebutuhan Khusus mampu menerima

pengalaman diskriminasi oleh guru dan mengevaluasinya

secara positif demi pengembangan diri. Sebaliknya, pada sisi

lain guru sebagai stakeholder di lembaga pendidikan mampu

mengevaluasi praktek diskriminasi Anak Berkebutuhan

Khusus dan menghadirkan iklim penerimaan positif di

sekolah. Relasi mutualistis – simbiosis memungkinkan

terciptanya iklim interaksi sosial positif dan konstruktif

sehingga tercapai kualitas pendidikan yang baik.

Pada domain penelitian di kalangan siswa, ditemukan

fakta berbeda bahwa sebagian besar penerimaan terhadap

Anak Berkebutuhan Khusus berada pada kategori sedang

Page 12: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

66

sekitar 50,21% di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan

Khusus memiliki tingkat inisiatif yang sedang untuk

berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Proses interaksi ini

menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus memiliki

kemampuan sedang atau biasa untuk mengevaluasi dan

menerima pengalaman diskriminatif ketika berinteraksi

dengan teman-teman sebaya. Tingkat evaluasi dan

penerimaan pengalaman diskriminatif sedang dari Anak

Berkebutuhan Khusus mempengaruhi persepsi diri mereka.

Alasannya, interaksi dan penerimaan mempengaruhi

bangunan persepsi diri seseorang termasuk kesediaan

mengevaluasi dan menerima pengalaman diskriminatif.

Faktor lain yang menentukan penerimaan Anak

Berkebutuhan Khusus adalah sikap menghindar dan memberi

alasan. Kedua sikap ini memiliki hubungan kausal dengan

faktor evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif.

Kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman

diskriminatif Anak Berkebutuhan Khusus terukur dengan

sikap menghindar dan memberi alasan. Artinya, sikap

menghindar dan memberi alasan adalah ciri orang yang

memiliki kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman

diskriminatif rendah. Selain itu, sikap menghindar dan

memberi alasan berhubungan satu dengan lainnya. Salah satu

ciri sikap menghindar adalah kebiasaan memberi alasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap menghindar

dan memberi alasan Anak Berkebutuhan Khusus berbeda

Page 13: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

67

ketika berinteraksi dengan guru dan siswa. Dalam relasi yang

positif dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus tidak

terdorong untuk menghindar, mengelak bahkan berkamuflase.

Anak Berkebutuhan Khusus justru lebih jujur dan tulus

mengekspresikan diri di hadapan guru. Sebaliknya, dalam

relasi sosial dengan teman-teman sebaya, Anak Berkebutuhan

Khusus tidak mengekspresikan diri secara utuh. Sikap

menghindar ditampilkan dengan kadar sedang. Intinya, Anak

Berkebutuhan Khusus dipahami tidak mampu mengeksplorasi

dan mengekspresikan diri secara optimal. Menurut penulis,

secara psikologis Anak Berkebutuhan Khusus mengalami

dilema berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Pada satu

sisi, takut dan agak curiga terhadap teman-temannya

sehingga cenderung menghindar, mengelak dan berkamuflase.

Pada sisi lain, Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan

ruang persahabatan dengan teman sebayanya untuk bebas

mengekspresikan diri.

Sikap dilematis, Anak Berkebutuhan Khusus perlu

dikelola secara baik untuk membentuk kepribadian sehat

secara fisik maupun psikis. Sikap menghindar dan memberi

alasan adalah ekspresi dan kompensasi masalah perilaku

psikososial yang menghambat sikap penerimaan Anak

Berkebutuhan Khusus secara personal maupun sosial. Guru

dan siswa mesti membangun relasi jujur dan tulus dengan

Anak Berkebutuhan Khusus. Kebiasan berkamuflase dengan

memberi alasan sebaiknya diubah dengan sikap jujur untuk

Page 14: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

68

mengakui Anak Berkebutuhan Khusus sebagai bagian dari

dirinya.

Berdasarkan perbandingan kedua kelompok penerimaan

di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan fakta bahwa

tidak ada perbedaan penerimaan signifikan Anak

Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa. Terbukti, hasil

perhitungan uji beda rata-rata (mean) penerimaan guru (3.53)

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan rata-rata (mean)

penerimaan siswa (3,20) terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus dengan selisih mean sebesar 0,33. dan signifikansi

0.111>0.05.

4.7.1 Penerimaan Guru Terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus

Secara analitis, penulis perlu mengulas tentang sikap

maupun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan guru

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Ada beragam

pemahaman guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

Penerimaan guru terhadap Anak berkebutuhan Khusus

terbangun dalam tiga pilihan yakni: pertama, penilaian negatif

yang cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua,

penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan

Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi

menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Sikap guru

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus menggambarkan

penilaian dan komitmen guru dalam mengembangkan mutu

pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bersamaan dengan

itu, sikap guru juga menunjukkan sejauh mana tanggung-

Page 15: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

69

jawab dan penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus di sekolah.

Sikap positif guru diwujudkan dengan memberi

kesempatan yang lebih besar bagi Anak Berkebutuhan

Khusus belajar bersama teman sebayanya sehingga

menikmati kenyamanan pendidikan yang maksimal (Olson,

2003). Sikap guru yang negatif menggambarkan harapannya

rendah bagi Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah (Elliot,

2008). Dalam konteks SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku

ditemukan penerimaan bersifat positif guru terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus. Ini menunjukkan bahwa guru di SMP

Kristen 1 P. P. Aru – Maluku memberi kesempatan dan

kenyamanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus

menikmati kualitas pendidikan yang baik.

Menurut Avramidis dan Norwich (2002), ada beberapa

faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus, yakni:

a. Pemahaman guru terhadap siswa.

Konsep guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

tergantung pada jenis hambatan siswa, tingkat

keparahan hambatan siswa dan kebutuhan siswa akan

pendidikan (Clough dan Lindsay, 1991 dalam

Avramiddis dan Norwich, 2002). Persepsi guru mengenai

jenis hambatan siswa berdasar tiga hal yakni: hambatan

fisik dan sensori, kognitif dan perilaku emosional siswa.

Guru menilai siswa dengan problem belajar ringan

dipandang lebih positif dibandingkan dengan siswa

Page 16: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

70

dengan problem belajar berat (Sharma dkk, 2008;

Hasting & Oakford, 2003). Guru kadang bersikap

pesimis jika Anak Berkebutuhan Khusus mendapat

pelayanan pendidikan di sekolah reguler, karena

dianggap tepat dilayani di SLB. Kompensasinya,

terkadang guru mengekspresikan penolakan terhadap

Anak Bekebutuhan Khusus lewat kata dan perbuatan.

Terungkap sterotipe yang melemahkan semangat belajar

Anak Berkebutuhan Khusus. Hasil penelitian di SMP

Kristen I P. P. Aru – Maluku menunjukkan penerimaan

positif guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

Artinya, guru di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku tidak

pesimis terhadap hambatan siswa. Sebaliknya, guru

pro-aktif memberi pelayanan pendidikan secara baik

dan nyaman bagi kecerdasan Anak Berkebutuhan

Khusus.

b. Gender.

Faktor ini terkait kategorisasi tenaga guru sesuai gender

yang mempengaruhi penerimaan terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus. Beberapa peneliti menemukaan

bahwa guru perempuan memiliki toleransi lebih tinggi

dibandingkn guru laki-laki dalam proses interaksi

dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Aksamit, Morris

and Leunberger, 1987; Thomas, 1985). Ditemukan

kecenderungan bahwa guru perempuan menunjukkan

sikap positif terhadap Anak yang memiliki masalah

perilaku dibandingkan guru laki-laki. Terbukti dari hasil

Page 17: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

71

penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku bahwa

bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar

responden guru menerima secara positif Anak

Berkebutuhan Khusus berjenis kelamin perempuan

sebanyak 75,56 % bagi guru dibandingkan responden

laki-laki sekitar 24,44%.

c. Usia dan Pengalaman Mengajar.

Guru yang lebih muda dengan pengalaman mengajar

sedikit memiliki tingkat penerimaan yang tinggi

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (Clough and

Linsay, 1991 dalam Avramidis and Norwich, 2002).

Harvey (1985 dalam Avramidis and Norwich, 2002)

menemukan ada keengganan guru yang telah

berpengalaman untuk menerima dan melayani Anak

Berkebutuhan Khusus. Alasannya, guru berpengalaman

mencintai kemapanan dan kurang berminat mengikuti

pelatihan sehingga sulit mengalami transformasi

pemikiran dan sikap. Kondisi berbeda dengan guru lebih

muda yang tertarik mengikuti berbagai pelatihan dan

bersedia menerapkan program integrasi kepada Anak

Berkebutuhan Khusus. Tingkat penerimaan guru lebih

muda lebih tinggi kepada Anak Berkebutuhan Khusus

dibanding guru berpengalaman. Hal ini menjadi alasan,

guru baru lebih memiliki sikap dan penerimaan positif

terhadap program integrasi Anak Berkebutuhan

Khusus. Terbukti dari hasil penelitian di SMP Kristen 1

P. P. Aru – Maluku, bahwa sesuai usia, masa dan

Page 18: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

72

golongan kerja, sebagian besar responden guru berusia

muda sekitar 36 – 40 tahun (25%) dengan pangkat

golongan III/a – III/b (53,33%) dan masa kerja 1 - 5

tahun (77,78%) memiliki penerimaan tinggi terhadap

Anak Berkebutuhan Khusus.

4.7.2 Penerimaan Siswa Normal Terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus.

Sikap penerimaan siswa normal terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus juga sejalan dengan guru terpola

dalam tiga pilihan, yakni: pertama, penilaian negatif yang

cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua,

penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan

Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi

menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Berdasarkan hasil

penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan

tingkat penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus pada kategori sedang, sekitar 50,21%. Artinya, sikap

penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus tidak

terlalu tinggi maupun rendah.

Penulis memakai hasil penelitian sebelumnya dari

Marloes Koster (2010) berjudul “Social Participation of

Students with Special Needs in Regular Primary Education in

the Netherlends” untuk menjelaskan sikap penerimaan siswa

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut Marloes

Koster (2010), ada empat tema utama untuk mengukur

tingkat partisipasi sosial Anak Berkebutuhan Khusus, yakni:

a. Persepsi Diri Siswa

Page 19: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

73

Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus

antara guru dan siswa normal menunjukkan fakta

tentang persepsi diri Anak Berkebutuhan. Anak

Berkebetuhan Khusus terindikasi memiliki perspesi diri

berbeda di hadapan guru dan siswa normal. Dalam

relasi dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus

memiliki tingkat persepsi diri baik dan positif.

Sebaliknya dengan siswa normal, Anak Berkebutuhan

Khusus dinilai memiliki tingkat persepsi diri

dikategorikan sedang atau biasa saja. Persepsi diri Anak

Berkebutuhan Khusus akan semakin baik dan positif

jika ruang interaksi dan penerimaan terbangun baik.

Sebaliknya, persepsi diri menjadi lemah ketika

terbangun relasi yang buruk.

b. Penerimaan oleh Teman-teman Sekelas

Tingkat penerimaan yang sedang terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus menunjukkan bahwa relasi

pertemanan Anak Berkebutuhan Khusus dengan teman-

teman sebaya belum sepenuhnya terbangun baik.

Kategori sedang menunjukkan Anak Berkebutuhan

Khusus belum secara utuh diterima oleh teman-teman

sebayanya. Sikap ini dilatari beberapa faktor, yakni:

pertama, tingkat pendidikan siswa rendah sehingga

belum terdorong secara baik untuk menerima teman

sebayanya dengan kelemahan, dan kedua, tingkat

kematangan mental dan psikologis lemah sehingga

Page 20: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

74

terkesan labil dalam menentukan sikap positif bagi

teman sebayanya.

c. Persahabatan.

Tingkat penerimaan yang sedang mempengaruhi relasi

persahabatan Anak Berkebutuhan Khusus dengan

teman-teman sebayanya. Anak Berkebutuhan Khusus

masih tersudutkan dalam ambiguitas peran. Pada satu

sisi diposisikan peran isolasi, tetapi pada sisi lain

terdorong memainkan peran partisipatif. Ketegangan

peran isolasi dan peran partisipatif dipengaruhi oleh

cara pandang dan sikap yang belum menerima Anak

Berkebutuhan Khusus secara utuh.

d. Kontak/ interaksi.

Anak Berkebutuhan Khusus diterima pada tingkat

sedang oleh siswa dilatari karena kurang adanya

inisiatif untuk membangun relasi dengan siswa normal

dan ketidaksiapan mental untuk menerima pengalaman

diskriminasi. Kedua belah pihak, Anak Berkebutuhan

Khusus dan siswa normal belum memiliki kemampuan

mental psikologis dan pemahaman yang baik untuk

menerima dan mengevaluasi pengalaman diskriminasi

sebagai realitas yang lumrah dan manusiawi. Realitas

ini mempengaruhi komitmen untuk membangun ruang

interaksi sosial yang sehat dan positif demi

pengembangan mutu hidup.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sherly

(2012) yang menyatakan perbedaan penerimaan ditentukan

Page 21: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

75

oleh jenjang pendidikan dan tidak ditentukan oleh usia.

Menurut Sherly (2012), perbedaan penerimaan Anak

Berkebutuhan Khusus tergantung perbedaan jenjang

pendidikan. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki

penerimaan lebih besar terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

dibanding ibu dengan berpendidikan rendah. Terbukti, dalam

penelitian Sherly (2012) di SLB Semarang, ibu yang

berpendidikan rendah memiliki nilai rata-rata sebesar 83,53

yang dikategorikan sedang (66,84) dengan standar deviasi

10,63. Penerimaan berdasarkan jenjang pendidikan terjabar,

pendidikan rendah 21 orang, jenjang pendidikan sedang 24

orang dan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 25 orang.

Sebaliknya penelitian ini menemukan fakta guru dengan

pendidikan tinggi dan siswa berpendidikan rendah tidak

memiliki perbedaan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus. Terbukti dari hasil perhitungan uji beda rata-rata

antara dua kelompok penerimaan terhadap Anak

Berkebutuhan Khusus diperoleh hasil thitung sebesar 0,773

untuk kelompok guru dan kelompok siswa sebesar 0,626

dengan signifikansi 0.111 > 0.05.

Namun demikian penelitian sama dengan penelitian

Sherly (2012) yang menyatakan perbedaan penerimaan tidak

ditentukan oleh usia. Hasil penelitian ini berdasarkan kategori

usia menunjukkan bahwa sebagian besar responden guru

berusia 36 - 40 tahun dengan prosentase (25%). Sedangkan

paling sedikit responden berusia 51 - 55 tahun dengan

prosentase (2%). Responden guru terbukti memiliki kategori

Page 22: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

76

penerimaan tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

Penulis menilai guru di usia 36 - 40 tahun termasuk kategori

usia produktif dan pola pikirnya terbuka terhadap perubahan

sehingga mampu menerima Anak Berkebutuhan Khusus

secara positif dan transformatif. Sebaliknya, pada usia 51 - 55

tahun termasuk kategori usia matang yang terjebak dalam

kemapanan sehingga sulit berinteraksi dan melebur secara

supel. Secara kejiwaan, guru pada usia ini sulit berinteraksi

dan melebur dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg,

1995).

Pada kelompok siswa, penulis menemukan fakta

berbeda bahwa sebagian besar responden siswa berusia 13

tahun (32,62%) dibandingkan usia 16 tahun berjumlah sedikit

sekitar 1,29%. Dalam perspektif psikologi perkembangan, usia

13 tahun adalah masa atau etape seorang anak

membutuhkan relasi sosial tinggi dengan teman-teman

sebayanya. Nilai hidup anak ditentukan dengan relasi sosial

disekitarnya, karena itu wajar jika anak pada usia 13 tahun

jauh lebih terbuka dan supel untuk melebur sekaligus

menerima keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus. Kondisi

berbeda dengan usia 16 tahun yang memasuki usia dewasa

dan cenderung individualis sehingga sulit melebur dan

menerima Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg, 1995).

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tidak

ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara guru dan

siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Penerimaan

siswa dan guru dilatari oleh tingkat pendidikan, usia, jenis

Page 23: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

77

kelamin maupun kematangan mental psikologis. Anak

Berkebutuhan Khusus membutuhkan penerimaan utuh,

penerimaan diri maupun sosial baik di lingkungan keluarga,

sekolah maupun masyarakat. Relasi dan penerimaan yang

jujur, tulus maupun positif akan membangun mutu

kepribadian yang baik bagi Anak Berkebutuhan Khusus.

Relasi negatif mesti ditransformasi menjadi relasi positif agar

Anak Berkebutuhan Khusus bertumbuh dan berkembang

secara baik. Guru dan siswa mesti memperkecil peran isolasi

Anak Berkebutuhan Khusus dan memberi peran partisipatif

agar Anak Berkebutuhan Khusus mampu mengekspresikan

diri secara baik.

Page 24: BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15375/4/T2_942011071_BAB IV.pdfMasa Kerja Golongan sejak pengangkatan . Masa Kerja

78