14
75 BAB IV ANALISIS SPIRIT ATURAN MEMAKAI EMAS DAN SUTERA DALAM HADIS A. Istilah Emas dan Sutera dalam Hadis 1. Istilah Emas dalam Hadis Secara etimologi, emas adalah logam yang mahal harganya, warnanya kuning, biasa dibuat perhiasan, uang, dan sebagai harta duniawi (Suharso & Retnoningsih, 2005:133). Dalam bahasa Arab ditunjukkan dengan kata żahab yang artinya indah, elok atau berharga (al-Qazwini, 1979: 362). Dalam lisanul ‘Arab, żahab artinya biji emas, ukuran timbangan yang sudah dikenal bagi penduduk Yaman (Manur, t.t.: 1523). Kata żahab berasal dari akar kata żahaba yang asalnya memiliki arti berharga dan berpindah (al-Qazwini, 1979: 824), berjalan, pergi atau melewati (Manur, t.t.: 1523). Hal itu memiliki keterkaitan dengan makna yang ditunjukkan dari kata żahaba. Pergi merupakan aktifitas yang berkaitan dengan sesuatu berharga yaitu waktu. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari waktu tertentu ke waktu berikutnya. Begitu juga dengan emas yang merupakan barang berharga dan mengalami perpindahan atau perubahan. Istilah tersebut juga disebut dalam hadis yang menjelaskan tentang emas. Dalam beberapa hadis tentang pemakaian emas dan sutera, emas digambarkan sebagai perhiasan dengan beberapa istilah yang digunakan antara lain khatam, âniyah, muzarrar. Khatam secara bahasa artinya perhiasan yang melingkar, tutup (Manur, t.t.: 989), cincin (Ali & Muhdlor, 1996: 814). Adapun âniyah merupakan wadah atau bejana (Ali & Muhdlor, 1996: 268), dan muzarrar pada dasarnya berasal dari zirrun artinya kancing atau mantel (Ali & Muhdlor, 1996: 1011).

BAB IV ANALISIS SPIRIT ATURAN MEMAKAI EMAS DAN …eprints.walisongo.ac.id/7509/5/1251120174_bab4.pdf · mutiara, dan pakaian mereka ... Sutera secara etimologi adalah bahan halus

  • Upload
    doanbao

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

75

BAB IV

ANALISIS SPIRIT ATURAN MEMAKAI EMAS DAN SUTERA

DALAM HADIS

A. Istilah Emas dan Sutera dalam Hadis

1. Istilah Emas dalam Hadis

Secara etimologi, emas adalah logam yang mahal harganya, warnanya kuning,

biasa dibuat perhiasan, uang, dan sebagai harta duniawi (Suharso & Retnoningsih,

2005:133). Dalam bahasa Arab ditunjukkan dengan kata żahab yang artinya indah,

elok atau berharga (al-Qazwini, 1979: 362). Dalam lisanul ‘Arab, żahab artinya biji

emas, ukuran timbangan yang sudah dikenal bagi penduduk Yaman (Manẓur, t.t.:

1523).

Kata żahab berasal dari akar kata żahaba yang asalnya memiliki arti berharga

dan berpindah (al-Qazwini, 1979: 824), berjalan, pergi atau melewati (Manẓur, t.t.:

1523). Hal itu memiliki keterkaitan dengan makna yang ditunjukkan dari kata żahaba.

Pergi merupakan aktifitas yang berkaitan dengan sesuatu berharga yaitu waktu.

Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari waktu tertentu ke waktu

berikutnya. Begitu juga dengan emas yang merupakan barang berharga dan

mengalami perpindahan atau perubahan. Istilah tersebut juga disebut dalam hadis

yang menjelaskan tentang emas.

Dalam beberapa hadis tentang pemakaian emas dan sutera, emas digambarkan

sebagai perhiasan dengan beberapa istilah yang digunakan antara lain khatam, âniyah,

muzarrar. Khatam secara bahasa artinya perhiasan yang melingkar, tutup (Manẓur,

t.t.: 989), cincin (Ali & Muhdlor, 1996: 814). Adapun âniyah merupakan wadah atau

bejana (Ali & Muhdlor, 1996: 268), dan muzarrar pada dasarnya berasal dari zirrun

artinya kancing atau mantel (Ali & Muhdlor, 1996: 1011).

76

Hiasan yang berbahan emas tersebut menjadi sesuatu yang berharga, baik

dengan bahan emas murni maupun kadar campuran yang rendah. Emas sebagai

perhiasan juga disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak enam kali. Dua ayat

menunjukkan emas sebagai perhiasan di dunia, sebagaimana ayat-ayat berikut:

انفضخ ت انز طشح ي م بطش ان انم انج انغبء اد ي نهبط حت انش م ص انخ

انحشس عبو انؤ يخ غ آةان ان حغ ذ ع انه ب (45)آل عشا: رنك يزبع انحبح انذ

“Dijadikan terasa indah dalam padangan manusia cinta terhadap apa yang

diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang

bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan

sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat

kembali yang baik” (Kemenag, 2013: 51).

أي ؤكه ن جب انش انؤحجبس كثشا ي آيا إ ب انز ب أ ع صذ ال انبط ثبنجبطم

ى ثعزا فجشش ب ف عجم انه فم نب انفضخ ت انز كض انز )انزثخ: ة أنىعجم انه

45)

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang

alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan

yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan

orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di

jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka

akan mendapat) azab yang pedih” (Kemenag, 2013: 192).

Selanjutnya empat ayat lainnya menggambarkan emas sebagai perhiasan

penghuni surga, sebagaiman ayat-ayat berikut:

هجغ ت ر س ي أعب ب ي ف بس حه ى انؤ رحز ردش ي ى خبد عذ بثب أنئك ن

حغذ يشرفمبخ اة ب عه انؤسائك عى انث ف إعزجشق يزكئ ذط ع (44)انكف: ضشا ي

“Mereka itulah yang memperoleh surga „Adn, yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai; (dalam surga itu) mereka diberi hiasan gelang emas dan mereka

memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka

duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. (Itulah) sebaik-baik

pahala, dan tempat istirahat yang indah“(Kemenag, 2013: 297).

77

ذخم ان انه س إ أعب ب ي ف بس حه ب انؤ رحز ها انصبنحبد خبد ردش ي ع آيا ز

ب حشش ى ف نجبع نؤنؤا ت ر (34)انحح: ي

“Sungguh, Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan

mengerjakan kebajikan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai. Di sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan

mutiara, dan pakaian mereka dari sutera” (Kemenag, 2013: 334).

س ي أعب ب ي ف ب حه ذخه ب خبد عذ ى ف نجبع نؤنؤا ت (44)فبطش: حشش ر

“(Mereka akan mendapat) surga „Adn, mereka masuk ke dalamnya, di

dalamnya mereka diberi gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian

mereka di dalamnya adalah sutera” (Kemenag, 2013: 438).

زى ف أ رهز انؤع فظ انؤ ب يب رشز ف اة أك ت ر ى ثصحبف ي طبف عه ب خبنذ

(14)انضخشف:

“Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di

dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap

(dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya” (Kemenag, 2013: 494).

Bila dilihat dari redaksi ayat tersebut ternyata ada perbedaan kata yang

digunakan. Ketika menerangkan emas sebagai perhiasan dunia, kata yang digunakan

dalam bentuk ma‟rifat dengan diawali al yang mengandung arti khusus. Sedangkan

ayat yang menunjukkan emas sebagai perhiasan surga, digunakan kata dalam bentuk

nakirah atau umum yaitu żahab tanpa al. Hal tersebut menggambarkan emas di dunia

tidak dapat disamakan dengan emas di surga.

2. Istilah Sutera dalam Hadis

Sutera secara etimologi adalah bahan halus yang ditenun dari benang halus

dan lembut dari kepompong ulat sutera (Suharso & Retnoningsih, 2005: 509). Bahan

tersebut kemudian digunakan manusia sebagai pakaian, selendang maupun hiasan.

Dalam bahasa Arab seringnya sutera dirujuk pada kata ḥarir, tetapi dalam hadis ada

beberapa istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan makna sutera.

78

Pertama, istilah ḥarir yang artinya jenis pakaian yang halus dan mengandung

sutera (Umar, 2008: 470). Pada dasarnya kata ḥarir berasal dari akar kata ḥarra yang

artinya hangat dan mulia (al-Qazwini, 1979: 468). Dari akar kata tersebut muncul kata

sifat ḥarrun yang artinya hangat atau panas. Hal itu sesuai dengan sifat sutera yang

bisa menghangatkan tubuh pemakainya, serta menjadi simbol pakaian mulia dan

berharga.

Kedua, istilah dibâj yang artinya pakaian yang ditenun dengan ikatan atau

benang dari sutera (Paulus, 2002: 205). Akar kata dari dibâj adalah dabaja, yang

artinya menghias, melukis, dan memperindah. Istilah tersebut pada awalnya

merupakan bahasa Persia yang kemudian terserap menjadi bahasa Arab (Manẓur, t.t.:

1316). Dari makna dasarnya tersebut memiliki keterkaitan akan ciri dari dibâj yang

dapat memperindah dan menghias tubuh maupun hiasan lainnya.

Ketiga, istilah qasiy yaitu sejenis pakaian yang di buat di Mesir dengan

berbahan sutera (Hajar, t.t.: 897). Qasiy berasal dari kata qasa yang artinya keras,

jelek atau palsu. Kata tersebut juga memiliki arti uang dirham palsu (Manẓur, t.t.:

3633). Dari beberapa makna dasar tersebut menunjukkan bahwa qasiy merupakan

pakaian dengan bahan sutera yang kualitasnya rendah atau sejenis imitasi.

Keempat, istilah sundus menurut para mufassir artinya sutera yang halus atau

lembut. Para ahli bahasa sepakat bahwa kata tersebut merupakan bahasa serapan yang

sudah menjadi bahasa Arab (Manẓur, t.t.: 2117). Sehingga dalam beberapa literatur

kamus Arab tidak ditemukan akar kata dari sundus.

Kelima, istilah istabraq sutera yang tebal dan bagus. Istilah tersebut pada

dasarnya merupakan kata serapan dari Persia. Menurut sebagian ahli bahasa, istilah

istabraq berasal dari akar kata baraqa dan huruf hamzah, sin, tâ` merupakan huruf

79

tambahan (Manẓur, t.t.: 77). Secara bahasa baraqa artinya bersinar atau berkilau (Ali &

Muhdlor, 1996: 317).

Keenam, istilah siyara` adalah pakaian yang bercampur atau bercorak garis

paduan sutera, jenis pakaian ini berasal dari Yaman. Selain itu istilah siyara` juga

terkadang berarti emas atau perhiasan (Manẓur, t.t.: 2170). Istilah siyara` berasal dari

akar kata yang terdiri dari huruf sin, yâ`, râ` yang mengandung arti berjalan, keluar

atau melewati (Ali & Muhdlor, 1996: 1104). Makna tersebut berkaitan dengan ciri

siyara` yang dikenal bercorak garis, maksudnya corak garis dapat diibaratkan keluar

atau melewati kain polos dengan proses yang panjang dan membutuhkan waktu.

Dari beberapa istilah tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan istilah untuk

menggambarkan pakaian sutera berhubungan dengan tingkatan kualitas. Dari pakaian

yang berbahan sutera halus, tebal, hingga imitasi. Dari keenam istilah tersebut, ada

tiga istilah yang terdapat dalam al-Qurân yaitu sundus, istabraq, dan ḥarir. Semua

istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan hiasan dan pakaian para penghuni

surga. Tidak ada satu pun ayat yang membahas sutera di dunia. Hal itu menunjukkan

bahwa pakaian sutera yang dijanjikan Allah sebagai balasan ahli surga tidak bisa

disamakan dengan sutera di dunia.

Seiring dengan perkembangan teknologi, istilah dan jenis emas maupun sutera

terus mengalami perubahan. Untuk itu dalam menganalisis perubahan budaya

kontemporer dengan beberapa aturan pemakaian emas dan sutera dalam hadis, perlu

merujuk pada kaidah yang dijelaskan oleh Abdurrahman as-Sa‟di. Menurutnya untuk

menghadapi suatu perubahan dan perbedaan budaya umat Islam perlu melihat dari

tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah waktu, ‘urf (budaya atau adat), dan rawatib

(As-Sa‟di, t.t.: 345). Dengan perubahan waktu, suatu benda atau nilai barang akan

terus berubah dan mengalami perkembangan. Maka dalam menentukan sikap, perlu

80

kondisional dan kontekstual. Tidak selamanya suatu yang dilarang atau tidak wajar

pada masa lampau terus berlaku pada masa kontemporer. Oleh karena bila dalam

menentukan suatu keputusan dalam menyikapi perubahan dengan melihat tiga aspek

tersebut, hasilnya akan lebih luwes dan bijak. Islam tampak adaptif, bukan agama

yang kaku dan keras.

B. Spirit Aturan Memakai Emas dan Sutera

Berdasarkan beberapa data hadis yang membahas tentang pemakaian emas

dan sutera, spirit atau semangat dari adanya aturan memakai emas dan sutera dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

1. Penegasan Identitas Muslim

Identitas secara bahasa adalah suatu tanda pengenal (Partanto & al-Barry,

2001: 238), ciri-ciri atau keadaan khusus (Suharso & Retnoningsih, 2005: 173).

Secara istilah identitas merupakan sesuatu yang menggambarkan eksistensi sekaligus

hal yang membedakan dengan yang lain. Eksistensi tersebut ada yang bersifat

material dan ada juga yang immaterial (ruhani). Hal yang bersifat immaterial seperti

sikap, cara pandang, dan lainnya. Sedangan hal yang bersifat material antara lain

tergambar dalam apa yang pakai atau digunakan seseorang, seperti perhiasan dan

pakaian.

Pakaian berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dengan

lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang. Emas dan sutera

pada masa Nabi merupakan pakaian kebanggaan bagi orang Romawi, dimana mereka

termasuk orang musyrik yang menentang Islam. Sehingga masa itu Nabi melarang

penggunaan tersebut karena usaha Nabi menegaskan identitas orang Islam, agar tidak

terjadi tasyabbuh dengan kaum musyrik.

81

Tasyabbuh secara bahasa artinya kesamaan, keserupaan, atau keidentikan diri

(Ali, 2003: 483). Kesamaan berarti tidak ada yang beda, memiliki sifat, karakter serta

ciri khas yang sama. Untuk itu keidentikan atau ciri khas seseorang maupun suatu

kelompok dapat dilihat dari identitas masing-masing. Bila emas dan sutera menjadi

simbol atau identitas pakaian kafir di dunia, sebaliknya hal itu menjadi identitas

muslim di akhirat, Sebagaimana hadis:

ذا، مل: عذ يدب ، لبل: ع ب أث عه ف ث ب ع ى، حذ ب أث ع حذ ث حذ عجذ انشح

س ضع انمذذ ف ذ ب ، فه يدع فخ، فبعزغم فغمب ذ حز ى كبا ع ه: أ لبل: أث ن ، ث يب

م ، كؤ ال يشر ش يشح غ ز ال أ ن صه اهلل عه عذ انج نك ع زا، ل: نى أفعم

ال رؤكها ف "عهى مل: انفضخ، ت خ انز ال رششثا ف آ ال انذجبج، ال رهجغا انحشش

ى ف انذ ب ن ب، فئ ب ف اخشحصحبف ن ,Bukhari) :1417 (570"ب

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu‟aim, telah menceritakan kepada

kami Saif bin Abi Sulaiman, ia berkata: aku mendengar Mujahid, ia berkata:

telah menceritakan kepadaku „Abdur Rahman bin Abi Laila: sesungguhnya

mereka berada disamping Hudzaifah, maka mereka meminta minum lalu

seorang Majusi memberikan minum, tatakala Majusi meletakkan gelas

ditangannya lalu dia menjatuhkannya, dan ia berkata: andai aku tidak

mencegahnya tidak hanya satu kali dan dua kali, seakan dia berkata : saya

tidak melakukan ini, namun sesungguhnya aku mendengar nabi bersabda:

“janganlah kalian semua memakai sutera dan juga sutera yang halus, dan

janganlah kalian semua minum dalam tempat yang terbuat dari emas dan

perak, dan janganlah kalian semua makan dalam piring yang terbuat dari emas

dan perak, karena itu bagi mereka di dunia dan bagi kita di akhirat. Beberapa hadis yang membahas hal itu menggunakan redaksi akhirah yang

diartikan surga. Dalam bahasa Arab, akhirah artinya akhirat, terahir. Surga

merupakan simbol, tujuan dan tempat akhir dari umat Islam. Dimana di sana

digambarkan sebagai suatu tempat paling indah dengan segala fasilitas mewah. Hal

itu banyak digambarkan dalam al-Qur‟an sebagaimana ayat:

ب خبد ع ى ف نجبع نؤنؤا ت ر س ي أعب ب ي ف ب حه ذخه (44)فبطش: حششذ

82

“(Mereka akan mendapat) surga „Adn, mereka masuk ke dalamnya, di

dalamnya mereka diberi gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian

mereka di dalamnya adalah sutera” (Kemenag, 2013: 438).

Karena pentingnya identitas, Nabi juga membentuk identitas umat yang

berhubungan dengan persoalan immaterial. Seperti adzan sebagai cara untuk

mengundang kaum muslimin melaksanakan sholat. Hal itu dijelaskan dalam riwayat:

اث ح، أخجش بفع، أ خش ع، لبنب: أخجشب اث ثكش ان اث ب عجذ انشصاق، حذ ش، كب ع

ب بد ث ظ ن انصهبح، زح ، ف ع ذخ دز لذيا ان ح غه ان أحذ، مل: كب

ى: ارخزا بلعب يثم بلط انصبس، يب ف رنك، فمبل ثعض ا ى: ثم لشب فزكه لبل ثعض

صه بد ثبنصهبح؟ فمبل سعل انه سخهب نب رجعث ش: " أ د، فمبل ع ان يثم لش اهلل عه

بد ثبنصهبح (Bukhari, 1422: 426) " عهى: ب ثهبل، لى ف

“Abdurrazaq dan Ibn Bakr menceritakan kepada kami sebuah makna, mereka

mengatakan: Ibnu Juraij menceritakan kepada kami bahwa Nafi‟ menceritakan

kepada saya bahwa sesungguhnya Ibnu Umar berkata: pada awalnya ketika

kaum muslimin tiba di Madinah, maka mereka berkumpul dan tibalah waktu

salat akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyeru mereka. Pada suatu hari

mereka bermusyawarah tentang hal itu. Sebagian mereka berkata: gunakan

lonceng seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Kata sebagian yang

lain: sebaiknya gunakan terompet seperti terompet yang digunakan orang

Yahudi. Umar berkata: sebaiknya ada seorang dari kalian yang menyeru salat.

Maka Rasulullah bersabda: hai Bilal, bangkitlah dan serulah salat”.

Selain persoalan pembedaan identitas dengan umat lain, identitas intern umat

Islam juga diatur oleh Nabi. Diantaranya dalam Nabi Saw yang menegaskan pakaian

atau perhiasan laki-laki dan perempuan perlu disesuaikan, seperti dalam hadis:

ث ذ ث ب يح حذ عجبط سض اث عكشيخ، ع لزبدح، ع ب شعجخ، ع ذس، حذ ب غ شبس، حذ

انشخبل ثبنغبء ي زشج عهى ان صه اهلل عه سعل انه ب لبل: نع ع بدانه زشج ان ،

انغبء ثبنشخبل (Bukhari, 1422: 159) ي

“Muhammad bin Basyar menceitakan kepada kami, Ghundar menceritakan

kepada kami dari Qatadah dari „Ikrimah dari Ibn Abbas semoga Allah

83

meridloinya, dia berkata: Rasulullah melaknat lelaki yang memakai

pakaian (menyerupai) perempuan dan perempuan yang memakai pakaian

(menyerupai laki-laki.

2. Menghindari Kesombongan

Sombong secara bahasa artinya menghargai diri secara berlebihan atau

congkak (Suharso & Retroningsih, 2005: 497). Dalam bahasa Arab disebut takabbur

atau „ujub. Takabbur adalah sifat merasa lebih unggul atau lebih mulia dibandingkan

dengan yang lain. Sedangkan „ujub adalah bangga terhadap diri sendiri. Sehingga

orang yang ujub tidak akan menyakiti pihak lain, dia hanya sebatas membanggakan

diri secara belebihan namun tidak disertai sikap merendahkan atau menghina orang

lain. Dari makna tersebut menunjukkan sombong atau takabbur berdampak pada

pihak lain. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi berikut:

انشخم بل، انكجش إ م حت اند خ انه : إ ل انه حغب لبل سع عه ث ك حت أ

ط انبط غ (Muslim, t.t.: 164) ثطش انحك

“Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (apakah

termasuk keangkuhan?)” Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah indah,

senang kepada keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan

menghina orang lain”.

Dalam hadis tersebut menggambarkan pesan Nabi secara umum, bahwa

memperhatikan keindahan merupakan fitrah manusia. Berhias, berpakaian indah dan

tampil bersih dalam kehidupan sehari-hari perlu diperhatikan. Tetapi dalam

memenuhinya perlu kontrol dalam batas kewajaran, tidak pada kesombongan dan

berlebihan. Untuk itu Nabi memberikan aturan dalam penggunan perhiasan bagi umat

Islam. Sebagaimana riwayat Imam al-Nawawi yang menceritakan Nabi melarang para

sahabat menggunakan perhiasan emas dan sutera karena melihat sikap kesombongan

yang tampak dari pemakainya (Hajar, t.t.: 214).

84

Ancaman serta dampak dari kesombongan atau takabbur juga dijelaskan

dalam al-Qur‟an sebagaimana berikut:

زكجش ان ب فهجئظ يث ف ى خبنذ اة خ (32)انحم: فبدخها أث

“Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya.

Pasti itu seburuk-buruk tempat orang yang menyombongkan diri” (an-

Nahl: 29).

3. Anjuran Peduli Sosial dan Hidup Sederhana

Persoalan emas dan sutera tidak hanya terkait dengan urusan individu. Tetapi

hal itu juga memiliki korelasi dengan masalah sosial. Nabi sebagai pemimpin umat

yang menguasai beberapa wilayah, tidaklah sulit dalam mendapatkan harta atau

kemewahan. Sebagaimana dalam riwayat bahwa beliau pernah mendapatkan harta

ribuan dinar, semua itu tidak begitu saja dinikmati sendiri. Nabi justru membagikan

harta tersebut kepada orang miskin, sahabat dan orang yang berhak menerimanya

hingga tersisa hanya beberapa dirham dan diberikan kepada isteri-isteri beliau (al-

Ghazali, 1994: 111).

Sikap Nabi tersebut menunjukkan memperhatikan kepedulian sosial lebih

penting daripada mengejar kesenangan, prestige dan kehormatan. Dalam keseharian

dan bersikap di tengah masyarakat, beliau selalu memberi contoh keteladanan. Dalam

cara berpakaian, beliau selalu mengenakan pakaian yang ada. Kebanyakan yang ia

pakai adalah syamalah atau sejenis mantel, kemeja kasar dan burdah atau semacam

gamis. Beliau membagikan pakaian dari sutera yang bersulam emas kepada para

sahabat yang hadir dan menagguhkannya bagi yang tidak ada (al-Ghazali, 1994: 111).

Semua itu menunjukkan semangat Nabi untuk mengajarkan kesederhanaan hidup di

dunia.

Sederhana secara bahasa adalah sedang, bersahaja, tidak berlebih-lebihan

(Partanto & al-Barry, 2001: 696). Dalam bahasa Arab sederhana ditunjukkan dengan

85

kata basiṭ atau tawassuṭ, secara bahasa artinya tengah-tengah atau tidak berlebihan

(Manẓur, t.t.: 2189). Kesederhanaan hidup tampak dalam hidup Nabi. Memberi makan

hewan-hewan peliharaan, mengikat unta, membersihkan rumah, memperbaiki sandal,

bahkan menjahit baju beliau lakukan. Dalam kesederhaaan tersebut tampak sikap

tawaḍu’ yang diajarkan Nabi. Tawaḍu’ adalah sikap rendah hati tetapi tidak sampai

merendahkan kehormatan diri serta tidak pula memberi peluang orang lain untuk

melecehkan harga diri.

4. Mengangkat Derajat Perempuan

Emas dan sutera dibolehkan bagi perempuan dengan teks yang jelas

menggunakan kata uḥilla, yang artinya dihalalkan. Sedangkan bagi laki-laki

ditegaskan pelarangannya dengan kata ḥurrima atau diharamkan. Kebolehan bagi

perempuan di tengah pelarangan bagi laki-laki tersebut bukan sesuatu yang muncul

tanpa alasan. Hal itu sesuai dengan fitrah perempuan yang juga digambarkan sebagai

bagian dari perhiasan dunia. Sebagaimana ayat berikut:

انفضخ ت انز طشح ي م بطش ان انم انج انغبء اد ي نهبط حت انش م انخ ص

آة ان حغ ذ ع انه ب انحشس رنك يزبع انحبح انذ عبو انؤ يخ غ (45)آل عشا: ان

“Dijadikan terasa indah dalam padangan manusia cinta terhadap apa yang

diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang

bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan

sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat

kembali yang baik” (Kemenag, 2013: 51).

Selanjutnya bila diruntut pada sejarah, pada masa Jahiliyyah budaya patriarki

begitu kuat di tengah masyarakat Arab. Laki-laki merupakan simbol kehormatan dan

kekuasaan. Kebanggaan pada anak laki-laki, garis ayah, dan fanatisme pada syarat

kepala suku harus laki-laki. Sedangkan perempuan memiliki ruang gerak yang sempit.

Bahkan suatu kelahiran perempuan dianggap membawa keburukan. Hal itu

menunjukkan begitu rendahnya derajat perempuan dibanding laki-laki. Maka melalui

86

dibolehkannya emas dan sutera tersebut dapat dipahami sebagai langkah awal Nabi

mengangkat derajat perempuan.

C. Relevansi pada Masa Kontemporer

1. Fenomena Pemakaian Emas dan Sutera pada Masa Kontemporer

Seiring dengan perkembangan teknologi dan industri, produksi emas maupun

sutera mengalami perkembangan. Emas yang awalnya digunakan masyarakat sebagai

perhiasan dan identik dengan warna kekuningan. Kini banyak produksi emas

dimodifikasi berwarna putih. Perhiasan tersebut berupa kalung, gelang, anting-anting,

cincin maupun hiasan rambut. Selain itu emas juga digunakan sebagai hiasan kawat

gigi (behel), produk kosmetik, seperti bedak, masker, dan produk perawatan tubuh

lainnya (http//wolipop.detik.com). Hal itu menjadi trend karena butiran serbuk emas

dipercaya mengandung zat anti aging, menghaluskan dan menjadikan kulit bercahaya.

Selain sebagai hiasan, pakaian, dan kosmetik, emas juga digunakan sebagai

susuk. Kini banyak masyarakat dari kalangan artis, pejabat, maupun rakyat yang

menggunakan susuk emas. Dengan alasan emas mengadung energi tinggi dan

memiliki banyak khasiat, antara lain membangkitkan aura dan pesona dari dalam diri

seseorang (http//mbahmijan.com). Praktek pasang susuk menjadi trend, bahkan

banyak diminati masyarakat karena terobsesi dengan kegunaannya, antara lain sebagai

daya pikat, penglaris, dan lain sebagainya.

Bagi para pemilik modal, emas menjadi produk investasi menguntungkan.

Emas batangan atau koin dinar merupakan produk berbahan emas yang diproduksi

oleh perusahaan tambang. Produk emas tersebut juga memiliki sertifikat yang diakui

secara Internasional. Investasi ini banyak diminati investor karena karakater emas

yang cenderung selalu mengalami peningkatan nilai dalam jangka waktu yang

87

panjang (www.antam.com). Meskipun terkadang harga emas mengalami fluktuasi,

namun tetap memiliki nilai harga yang tinggi.

Adapun sutera, kini banyak industri sutera dengan berbagai pilihan. Produk

tekstil atau kain bahan pakaian, pakaian siap pakai, atau selendang. Dari produk

berlabel sutera murni, sutera doby, maupun semi sutera. Perbedaan produk tersebut

ditentukan dari kualitas benang serta kadar suteranya. Semakin tinggi kualitas

bahannya, harga akan semakin mahal. Begitu pula sebaliknya, harga produk paling

murah akan dapat kualitas yang rendah. Selain digunakan sebagai bahan pakaian,

sutera juga dijadikan bahan hiasan dinding. Seperti hiasan kaligrafi, lukisan, maupun

sulam dengan beragam bentuk gambar.

Banyaknya produksi seiring dengan banyaknya konsumen, selain mengikuti

trend, mode dan mempengaruhi prestise di tengah masyarakat. Emas dan sutera

menjadi bagian yang seakan wajib ada dalam dalam rangkaian adat pernikahan, dari

budaya tukar cincin emas, lamaran atau seserahan yang berisi kain sarimbit sutera,

perhiasan emas, maupun lainnya. Budaya tukar cincin merupakan adat dimana kedua

mempelai saling bertukar cincin, sehingga baik pihak perempuan maupun laki-laki

akan memakai cincin emas tersebut. Begitu juga sarimbit sutera dengan varian motif

dan tingkatan bahannya, produk ini didesain untuk pasangan laki-laki dan perempuan

dengan trend agar tampil serasi dan elegan.

Fenomena perkembangan industri mempengaruhi minat konsumsi masyarakat.

Budaya tukar cincin emas dan seserahan berbahan sutera menjadi suatu adat yang

harus dipenuhi. Perubahan trend dan mode menjadi daya tarik yang terus diikuti

masyarakat. Emas dan sutera menjadi simbol kebahagiaan, kesejahteraan dan

keanggunan. Pengeluaran biaya mahal untuk mendapatkan hal tersebut menjadi suatu

kewajaran. Fenomena masyarakat tersebut tampak menjadi masyarakat konsumsi.

88

2. Relevansi Spirit Hadis pada Masa Kontemporer

Dari beberapa spirit adanya aturan Nabi dalam pemakaian emas dan sutera

dapat dikelompokkan menjadi empat. Pertama, penegasan identitas Muslim. Kedua,

menghindari kesombongan. Ketiga, anjuran peduli sosial dan hidup sederhana.

Keempat, mengangkat derajat perempuan.

Dari semua hal tersebut secara umum semangat Nabi memberikan aturan

dalam pemakaian emas dan sutera mengandung tujuan sosial dan pendidikan moral

bagi manusia. Agar umat Islam terhindar dari gaya hedonisme. Hedonisme

merupakan gaya hidup dimana yang dijunjung adalah nilai kesenangan, keagungan,

kebanggan dan hidup berlebihan (Bond, 1983: 102-103). Kondisi tersebut

dikhawatirkan akan timbul kebiasaan hidup secara berlebihan dan muncul

kesombongan. Seorang muslim diharapkan menggunakan pakaian ruhani dan jasmani

yang menggambarkan identitasnya. Meskipun demikian Nabi tidak sepenuhnya

mengatur dan menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat bisa

saja menemukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun aturan yang ditekankan

selama gaya hidup tersebut tidak berlebihan dan merugikan siapa pun.