Upload
nguyenlien
View
219
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
ANALISIS TERHADAP UPAYA MENCAPAI KESEHATAN
MENTAL DALAM KELUARGA MENURUT
Dr. KATINI KARTONO DAN dr. JENNY ANDARI
4.1. Konsep Kesehatan Mental Dalam Keluarga Dalam Pandangan Dr.
Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari
Pandangan Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari tentang
kesehatan mental dalam keluarga telah menambah wawasan bagi dunia
psikologi. Pada dasarnya semua orang menghendaki atau berkeinginan untuk
memperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup. Namun untuk mencapai
tujuan tersebut tidaklah mudah dan yang lebih tinggi lagi adalah tidak semua
orang dapat meraih kebahagiaan dalam kehidupan.
Memahami masalah kesehatan mental dalam keluarga secara luas
adalah penting dalam zaman modern ini walaupun kemajuan ilmu teknologi
dan industri dapat memberikan kemudahan dan kesenangan kepada manusia.
Akan tetapi semua itu belum dapat menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan
jiwa. Hal ini disebabkan karena kemajuan tersebut membawa kepada
perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang
sudah barang tentu mempengaruhi perilaku kehidupan jiwa. Sehingga
adaptasi masyarakat modern yang hiper kompleks itu menjadi tidak mudah,
dan bahkan menyebabkan kecemasan, konflik terbuka dan eksternal sifatnya
71
maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri banyak orang
mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum
atau, berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri dan mengganggu atau
merugikan orang lain.
Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang dianggap
sosiopatik itu merupakan fungsi struktural dan totalitas sistem sosial. Dengan
kata lain penyakit masyarakat merupakan produk sampingan atau
konsekuensi yang tidak diharapkan dari sistem sosial kultural zaman
sekarang lambat laun apabila tingkah laku menyimpang itu menjadi meluas
dalam masyarakat, maka berlangsunglah deviasi situasional yang komulatif
misalnya dalam bentuk kebudayaan korupsi, kriminalitas, deviasi seksual
dan lain-lain.
Tingkah laku atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadis,
tetapi selalu ada kelangsungan antara satu perbuatan dengan perbuatan
berikutnya.1
Memang benar apa yang di ungkapkan Dr. Kartini Kartono dan dr.
Jenny Andari bahwa pola tingkah laku, fikiran, dan sugesti ayah ibu dapat
mencetak pola yang hampir sama pada anggota keluarga lainnya dan sangat
besar sekali pengaruhnya dalam proses membentuk tingkah laku terutama
anak-anak. Misalnya, temperamen ayah yang agresif meledak-ledak, suka
marah, sewenang-wenang, serta kriminil, tidak hanya akan
mentransformasikan efek temperamennya saja, akan tetapi juga
1 Sarlito Wirawan , Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang Jakarta,1975, hlm.30
72
menimbulkan iklim yang mendemoralisir secara psikis di tengah-tengah
keluarga. Sekaligus juga merangsang kemunculan reaksi-rekasi emosional
yang implusif dan eksplosif pada anak-anak yang mengindikasikan
ketidaksehatan mental mereka. Keluarga penuh konflik keras, keluarga
radikal ekstrim, semua itu biasanya menjadi sumber yang subur bagi
munculnya delinkuensi remaja dan ketidaksehatan mental anak-anaknya.
Sumbangan keluarga pada perkembangan anak ditentukan oleh sifat
hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga. Tidak semua
anggota keluarga mempunyai pengaruh yang sama pada anak. Besarnya
pengaruh seorang anggota keluarga bergantung sebagian besar pada
hubungan emosional yang terdapat antara anak dan anggota keluarga itu,
walaupun pengaruh seorang ayah pada anak bisanya kurang dari pengaruh
ibu, terutama selama awal masa kanak-kanak.
Seorang ayah yang bersifat otokratis dapat menyebabkan
penyesuaian yang kurang baik seperti juga seorang ayah yang permisif yang
disiplinya tidak efektif. Pada dasarnya hubungan orang tua dan anak
bergantung pada sikap orang tua. Sikap orang tua tidak hanya mempunyai
pengaruh kuat pada hubungan didalam keluarga tetapi juga pada sikap dan
perilaku anak.
Kartini Kartono telah menyebutkan bahwa masyarakat modern yang
serba ricuh, cepat berubah, dipenuhi kekerasan dan lain-lain itu disamping
mendorong orang tua dan anak-anak muda menggunakan respon kriminal,
delinkuen juga banyak membuahkan tingkah laku yang neurotis, psikotis
73
dan psikopstis. Inilah tanda-tanda dari masyarakat yang tengah sakit. Dapat
dinyatakan pula bahwa tingkah laku delinkuen dan neurotis, psikopatis anak-
anak muda itu merupakan reaksi terhadap kondisi keluarga serba berantakan
dan terhadap kondisi sosial masyarakat lingkungan yang tengah sakit.
Maria Ethy berpendapat, ia melihat masyarakat sakit dilihat dari hasil
survei kesehatan mental rumah tangga di 11 kota oleh Jaringan Epidemologi
Psikiatri Indonesia tahun 1995. Survei menunjukan 185 dari 1000 penduduk
menunjukan gejala-gejala gangguan jiwa. Sedangkan survei Departemen
Kesehatan dengan sampel Modul Survei Sosial Ekonomi Nasional
menunjukan prevalensi gangguan jiwa 264/1000 anggota rumah tangga.2
Di kota-kota besar terdapat perbedaan distribusi ekonomis dan
ekologis dari orang-orang yang berasal dari kelas sosial yang berbeda.
Secara otomatis dalam masyarakat tersebut banyak terdapat kesenjangan
antara golongan kaya dengan golongan miskin. Tidak semua kelompok
sosial dalam situasi demikian mendapatkan kesempatan yang sama untuk
menapak jalan menuju kearah kekuasaan kekayaan dan keenakan hidup
sehari-hari. Besarnya ambisi material di tengah struktur keluarga, dan
kecilnya kesempatan untuk meraih sukses materiil ditengah masyarakat
memudahkan pemunculan kebiasaan hidup yang kriminil dan asusila.
Sebagai pakar psikologi sosial, Kartini kartono menyebutkan dua
jenis ekspresi penyimpangan perilaku berdasar teori penyakit jiwa. Pertama,
psikopat diartikan sebagai bentuk kekalutan mental yang diandai dengan
2 www.pikiranrakyat.com/cetak/0903/15/teropong-23k-Cached
74
tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi, orangnya tidak
pernah bisa bertanggung jawab secara moral dan selalu berkonflik dengan
norma sosial serta hukum, biasanya bersifat immoral. Ciri khas yang melekat
dalam sifat psikopat antara lain, amat fanatik dan egoistik, menentang norma
etis dan lingkungan, aneh dan sering kasar, kurang ajar, ganas dan buas
tanpa sebab jelas, serta bertindak kriminal. Kedua, defek moral sebagai
individu yang hidupnya dillinquent atau jahat, selalu melakukan kejahatan
durjana, asosial, antisosial, meskipun tidak terdapat gangguan intelektual.
Kelemahan dan kegagalannya terutama tidak memiliki kemampuan untuk
mengenal, memahami dan mengendalikan, dan mengatur laku yang salah
dan jahat sehingga sering melakukan kekerasan, penyerangan dan
kejahatan.3
Berkumpulnya macam-macam kebudayaan di kota-kota besar dan
dalam masyarakat modern sekarang ini menimbulkan banyak konflik
disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi dalam segala hal, maka usaha
penyesuaian diri dalam masyarakat yang serba kompleks itu menjadi
semakin sulit. Ditambah makin longsornya norma-norma susila dan sanksi-
sanksi sosial oleh bertemunya macam-macam budaya semua itu
memudahkan penerapan tingkah laku rasionalisasi. Dalam situasi semacam
itu Kartini Kartono berkata :
“Batas antara kejahatan dan usaha-usaha legal menjadi samar sekali.” Alasanya, “penjahat tidak tahu mana yang susila benar dan mana yang jahat-salah”.4
3 www.pikiranrakyat., 4 www.pikiranrakyat.,
75
Sedemikian parahkah kita dalam menyikapi keadaan? Menjawab
pertanyaan itu tentu tidak ada cara lain, kecuali saling introspeksi diri dan
lingkunganya. Dibarengi ikhtiar untuk menciptakan keluarga dan lingkungan
warga yang sehat serta menumbuhkan rasa keadilan yang objektif. Keluarga
dan lingkungan sekitar berperan membentuk perilaku menyimpang.
Pola hidup dan tingkah laku ayah-ibu atau salah seorang anggota
keluarga itu mudah menular kepada segenap anggota keluarga. Temperamen
orang tua, khususnya ayah yang agresif dan eksposif, mudah marah dan
sewenang-wenang, suka mabuk-mabukan dan kriminil, jelas memberikan
dampak yang mendemoralisir dalam lingkungan keluarganya dan bisa
merangsang emosi-emosi yang mirip sama pada pribadi anak-anaknya.
Kualitas rumah tangga dengan pola kehidupannya memberikan stempel-
pembentuk pada kepribadian anak-anak. Demikian pula semua jenis konflik
familial dan ketegangan/krisis keluarga pada umumnya mengakibatkan
bentuk ketidakimbangan dalam kehidupan psikis anak-anak, serta
memunculkan macam-macam gangguan mental.
Keluarga yang maladjusment yang tidak bisa menyesuaikan diri
terhadap tuntunan perubahan zaman itu menjadi persemaian subur bagi
timbulnya kekalutan jiwa pada anak-anak karena, keluarga tersebut tidak
mengembangkan pola ketenangan, harmonis, loyalitas, solidaritas keluarga
dan disiplin hidup yang baik, sebaliknya malahan menjadi kacau berantakan
sebab masing-masing orang mengikuti kemauan sendiri keluarga yang
demikian jelas mengacaukan perkembangan kepribadian anak.
76
Peneliti sepakat dengan pendapat tersebut karena sumbangan
keluarga pada perkembangan anak ditentukan oleh sifat hubungan antar anak
dengan berbagai anggota keluarga. Hubungan ini sebaliknya dipengaruhi
pola kehidupan keluarga, juga sikap dan perilaku berbagai anggota keluarga
terhadap anak dalam keluarganya tersebut.
Pada dasarnya hubungan orang tua anak tergantung pada sikap orang
tua, jika sikap orang tua menguntungkan, hubungan orang tua dan anak akan
jauh lebih baik ketimbang bila sikap orang tua tidak positif. Kita tidak bisa
menafikan bahwa pola kehidupan keluarga berbeda dari satu kelompok
sosial dengan yang lainya. Menurut Elizabeth B. Hurlock terdapat perbedaan
dalam mengatur rumah tangga, hubungan suami-isteri; dalam konsep peran
orang tua, anak dan keluarga; dalam nilai-nilai keluarga, dalam penyesuaian
sosial; dalam pendidikan anak, dan sikap disiplin, dan dalam sikap terhadap
kehidupan keluarga.5
Ada tiga gaya umum bagaimana orang tua menjalankan perananya
sebagai orang tua yaitu : otoriter, permisif dan otoritatif.6
Orang tua otoriter memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat
dan menuntut agar peraturan itu dipatuhi. Mereka yakin bahwa anak-anak
harus berada di tempat yang telah ditentukan dan tidak boleh menyuarakan
pendapatnya. Orang tua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang
didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal, tekanan
5 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid II, Anggota IKAPI, Jakarta, 2000,
hlm.9 6 Lawrence Shapiro, Mengajarkan Emottional Intellegence Pada Anak, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1999, hlm.27-28
77
mereka akan keteraturan, pengawasan membebani anak. Anak-anak yang
berasal dari keluarga yang menerapkan keotoriteran dan pengawasan ketat
tidak memperlihatkan pola yang berhasil. Mereka cenderung tidak bahagia,
dan sulit mempercayai orang lain kadar harga diri paling rendah dibanding
anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak selalu mengatur.
Sebagaimana yang di ungkapkan Kartini Kartono dan Jenny Andari
bahwa anak-anak muda yang delinkuen neurotik biasanya berasal dari
keluarga religius yang ketat dan fanatik, dalam mana penghayatan pribadi
mengenai ketidakberhargaan dan ketidakberdayaan personal (perasaan
inferior, minder) anak di perkuat oleh disiplin keras, dogma-dogma dan
fanatisme religius dari orang tua mereka. Disadari atau tidak tingkah laku,
kebiasaan, fanatisme dan kekerasan orang tuanya yang di terapkan kepada
anak-anak itu tidak adil, tidak manusiawi, dan munafik. Sebagai reaksi
terhadap perilaku orang tuanya anak-anak tadi mengembangkan tingkah laku
kriminil yang neurotik.
Sedangkan orang tua permisif berusaha menerima dan mendidik
sebaik mungkin tetapi cenderung sangat pasif ketika sampai kemasalah
penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Orang tua permisif
tidak begitu menuntut juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi
anaknya, karena yakin bahwa anak harusnya berkembang sendiri sesuai
dengan keecenderungan alamiahnya. Anak-anak yang dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang sedikit sekali atau tanpa mendapatkan supervisi
atau pengawasan dan latihan disiplin yang teratur, jelas tidak akan sanggup
78
menginternalisasikan dalam pribadi sendiri norma-norma hidup normal dan
susila. Sehingga untuk selama-lamanya anak-anak muda dan orang dewasa
macam itu tidak akan pernah mampu mengembangkan disiplin diri dan
pengendalian diri.
Orang tua otoritatif berbeda dengan, baik orang tua otoriter maupun
orang tua permisif. Orang tua otoritatif berusaha mengembangkan antara
batas-batas yang jelas dengan lingkungan mereka yang baik untuk tumbuh.
Mereka memberi bimbingan, tetapi tidak mengatur, memberi penjelasan
tentang yang mereka lakukan serta memperbolehkan anak-anak memberi
masukan dalam pengambilan keputusan penting.7
Kiranya tidak dapat disangkal lagi bahwa keluarga merupakan
lingkungan primer hampir setiap individu, sejak lahir sampai datangnya
masa ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri.
Lingkungan primer hubungan antara manusia yang paling intensif dan paling
awal terjadi dalam keluarga.
Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia lebih
dahulu harus mengenal lingkungan keluarganya, dan sebelum ia mengenal
norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat umum, pertama kali juga
harus menyerap norma-norma yang berlaku dalam keluarganya untuk
dijadikan bagian dari kepribadiannya. Tetapi dalam masyarakat yang
moderen, masalah penerusan nilai-nilai dalam keluarga menjadi lebih rumit.
Bermacam-macam norma dan nilai yang ada tidak terbendung lagi masuk
7Lawrence Shapiro, Ibid.,hlm. 28
79
kedalam masyarakat yang bentuknya masih tradisional hanya mengenai
sejumlah norma dan nilai yang terbatas.
Teknologi komuniksai menyebabkan masuknya norma dan nilai baru
dari luar, dan perkembangan dalam masyarakat sendiri pun menyebabkan
timbulnya norma dan nilai baru. Pada saat gilirannya norma dan nilai baru
ini masuk kedalam lingkungan keluarga sehingga terjadilah berbagai macam
sikap yang ditunjukan. Sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan
bereaksi individu terhadap suatu hal.8
Oleh karena itu, tradisi-tradisi kebiasaan hidup, sikap hidup cara
berfikir dan filsafat hidup keluarga itu sangat besar sekali pengaruhnya
dalam proses membentuk tingkah laku dan sikap anggota keluarga terutama
anak-anak. Salah satu peristiwa dramatik dalam masa kanak-kanak adalah
transformasi jahat, yakni perasaan bahwa orang hidup diantara musuh-
musuh. Kalau perasaan ini cukup kuat maka anak tidak mungkin
memberikan respon secara positif terhadap cumbuan kasih sayang dari orang
lain. Transformasi jahat merusakan hubungan-hubungan antar pribadi anak
dan menyebabkan anak mengisolasikan diri.9
Banyak gangguan psikis muncul, karena anak sejak usia yang amat
muda mendapatkan perlakuan yang tidak patut dalam situasi keluarganya.
Pada hakikatnya bukan maksud orang tua dengan sengaja menyajikan
lingkungan buruk namun, kondisi ekonomi, kultural atau sosial memaksa
rumah tangga menjadi berantakan, para anggota keluarga tercerai berai dan
8Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.58. 9 Calvin S. Hall dan Garder Lindzy, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), ed. Supraptikna,
Kanisius, Yogyakarta, 1193, hlm. 285
80
menjadi asusila, misalnya pola kriminal dan tindak susila dari salah seorang
anggota keluarga secara langsung atau tidak langsung mencetak pola yang
sama pada anak-anak juga teman-teman sebaya (anak-anak remaja) dengan
tingkah laku berandalan, dan perilaku tetangga yang kurang bertanggung
jawab, semua itu memberikan banyak iritasi pada pribadi anak, yang pasti
akan mengganggu perkembangan jiwanya.
Tidak berfungsinya keluarga sebagia lembaga psikososial
menyebabkan orang tua tidak sanggup mengintegrasikan anak dalam
keutuhan keluarganya. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang sedikit sekali atau tanpa mendapat supervisi pengawasan dan
latihan disiplin yang teratur tidak sanggup menginternalisasikan dalam
pribadi sendiri, norma-norma hidup normal dan susila. Bahkan banyak dari
mereka menjadi kebal nilai kesusilaan.
Suatu kenyataan yang mencemaskan belakangan ini ialah keberanian
remaja melakukan pelanggaran-pelanggaran susila, baik wanita maupun pria
bahkan diantara mereka, ada yang berpendapat bahwa hubungan antara
wanita dan pria, tidak perlu dibatasi dan tidak usah dikontrol orang tua.10
Mereka sengaja menyuarakan zaman modernisasi sehingga harus
bersaing dengan dunia barat. Sebenarnya mereka tidak sadar kalau
modernisasi dianggap dengan westernisasi maka, masyarakat kita telah
menerima banyak nilai kebudayaan barat yang sekuler.
10 Zakiyah Daradjat, Perawatan Jiwa untuk Anak-anak, Bulan Bintang, Jakarta, 1978,
hlm. 481
81
Perubahan prilaku bisa terjadi oleh pengaruh lingkungan. Manusia
tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan (man grows to
be what he is made to be by his environtment). Karena terbentuk oleh
lingkungan, maka dengan lingkungan yang baru ia akan berubah. Karena
manusia selalu berada dalam proses berubah (in a process of
changing)secara teoritis manusia selalu mungkin untuk berubah (sendiri)
atau di ubah (oleh orang lain, lingkungan). Hal inilah yang dipakai sebagai
dasar para konselor dan ahli psikoterapi untuk bersikap positif dan
optimistik bahwa sesuatu masih dan harus dapat dilakukan untuk melakukan
perubahan perilaku.
Keluarga yang bertanggung jawab terhadap perubahan anaknya akan
selalu mengikuti perkembangan tersebut dengan bersikap selektif terhadap
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Lebih dari itu, keluarga yang
bertanggung jawab harus dapat mangun karsa perkembangan anaknya.11
Dengan mengacu pendapat yang disampaikan Dr. Kartini Kartono
dan dr. Jenny Andari tentang kedehatan mental dalam keluarga dapat kita
pahami sekarang, bahwa faktor sosial paling utama yang memberikan
pengaruh predisposisional baik atau buruk ialah keluarga.
Peneliti sangat sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Dr. Kartini
Kartono dan dr. Jenny Andari untuk menanamkan dan mengembangkan jiwa
yang sehat dalam keluarga. Dalam pepatah disebutkan ”man sana in copore
11 Agus Suyanto, Psikologi Perkembangan, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hlm.274
82
sano” dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat badan yang sehat
yang menjadi penunjang utama mental yang sehat.
4.2. Peran Kesehatan Mental Dalam Keluarga Perspektif Bimbingan Dan
Konseling Keluarga Islam
Para ahli barat setuju bahwa terwujudnya pribadi yang sehat itu di
dukung oleh berbagai komponen. Misalnya, laightall menyampaikan tujuh
komponen yang fundamental yakni, faktor biologis, rasional, normatif dan
transaksional, disamping energi, emosi, dan kesenangan (pleasure). Ketujuh
komponen itu saling berkait dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh,
orang akan terganggu mentalnya apabila kebutuhan biologis tidak terpenuhi
(sakit) sedang emosi meninggi lalu menjadi berperilaku tidak rasional
sehingga menggangu hubungan transaksionalnya dengan masyarakat.12
Apabila kita tinjau lebih mendalam, teori kesehatan mental dari barat
itu bersifat sekuler yang menjadi pusat perhatiannya ialah manusia di dunia.
Mereka kebanyakan tidak memasukan hal-hal yang berhubungan dengan
faktor transenden ke dalam komponen kesehatan mental. Menurut konsep
barat kesehatan mental itu hanya berorientasi kepada empat hal yakni diri
sendiri, hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan alam serta
untuk masa kini.
Menurut Islam kesehatan mental harus di kaitkan dengan empat hal
yang lain yaitu; hubungan vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan
laku ibadah, dengan akhlak yang mulia, dan dengan kehidupan kelak
12 Sayekti Pujosuwarno, Bimbingan dan Konseling Keluarga, Menara Mas Offset, Yogyakarta, 1994, hlm. xiii.
83
diakhirat. Dengan kata lain konsep kesehatan mental Islam selalu
dihubungkan dengan akidah keimanan (tauhid) , perilaku ibadah (dalam arti
luas), budi pekerti yang luhur dan dengan kehidupan ukhrowi.
Keluarga sebagai lembaga sosial paling dasar dan alat kontrol bagi
perkembangan anak-anak sangat berperan penting dalam menumbuhkan jiwa
yang sehat. Apabila ayah dan ibu tidak mampu berfungsi sebagai pendidik
anak-anak akan terganggu kondisi kejiwaannya dan tidak higienis
mentalnya. Keluarga atau rumah tangga, oleh siapapun dibentuk, pada
dasarnya untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Keluarga
dibentuk untuk menyalurkan nafsu seksual karena tanpa tersalurkan orang
merasa bisa tidak bahagia. Pendidikan seks termasuk bagian dari pendidikan
akhlak karena itu tujuan dari pendidikan seks menurut syar’i atau Islam
harus sesuai.
Sebaiknya pendidikan psikis dimulai sejak bisa berfikir, seseorang
anak harus di didik untuk berani mengatakan yang hak, kesatria, merasa
mampu mencintai orang lain, dapat mengendalikan amarah, dan berhias diri
dengan semua keutamaan jiwa dan moral. Tujuan pendidikan ini tiada lain
untuk membentuk pribadi anak dan menyempurnakannya sehingga ia, bila
sudah mencapai usia dewasa, dapat mengemban segala kewajiban yang
diamanatkan kepadanya.13
Jika seorang anak sejak dilahirkan merupakan amanat di tangan para
pendidik, maka Islam menyuruh mereka dan sangat menekankan agar
13Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam Mengembangkan Kepribadian
Anak, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, hlm.109
84
mereka menanamkan pada anak-anak sejak mulai membuka kedua belah
matanya, dasar-dasar kesehatan jiwa yang dapat mencetaknya kelak menjadi
insan yang berpikiran matang, berpikir sehat, mempunyai pertimbangan dan
berkemampauan tinggi.
Peran orang tua untuk mencapai pada perkembangan anak dengan
kepribadian yang baik, maka orang tua hendaknya memberikan pendidikan
yang didasari oleh keimanan dan akhlakul karimah dan membuat situasi dan
kondisi di dalam keluarga yang nyaman dan tentram, serta memberikan
kasih sayang dan kedamaian batiniah. Hal ini akan dapat mendukung anak
mencapai pada kepribadian yang baik yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran
agama.
Peran orang tua yang besar telah didasarkan oleh hadits Nabi
Muhammad SAW:
����������� ������������������������������������������� �!�"�#�"$�#��#�%��&'���"(��������������)��������!*��&+��*
������,�-.��'��������/0��'�1����2�3��$��4+�56�����'+7
Artinya : “Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci sebagi Islam maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani ataupun Majusi” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah).14
John Look sebagai seorang tokoh aliran asosiasi berpendapat bahwa,
pada permulaannya jiwa anak itu adalah bersih semisal selembar kertas putih
14 A. Mustofa, 150 Hadits Pilihan Untuk Pembinaan Akhlak dan Iman, Al-Ikhlas,
Surabaya, 1985, hlm.165
85
yang belum di tulis yang kemudian sedikit demi sedikit terisi oleh
pengalaman pergaulan (teori tabularasa).15
Lalu yang menjadi pertanyaan, sampai dimanakah pembawaan atau
lingkungan itu bertanggung jawab pada suatu perkembangan tertentu ? Jika
demikian jawabnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
Tiap-tiap sifat dan ciri-ciri manusia dalam perkembanganya ada yang lebih ditentukan oleh lingkungan dan ada pula yang lebih ditentukan oleh pembawaanya.16
Rumah menjadi tempat berkumpul keluarga dan bernaung untuk
mencari ketenangan dan kedamaian maka di dalam keluarga harus
diciptakan suasana yang harmonis antar anggota keluarga. Dengan demikian
anggota keluarga akan betah tinggal di rumah apalagi untuk anak remaja
yang cenderung untuk tidak betah tinggal di rumah.
Menurut Ahmad Watik dan Abdul Salam dalam buku yang berjudul
“Etika, Islam, dan Kesehatan” menyebutkan ada dua faktor yang
mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga yaitu:
1. Faktor kecocokan
2. Sikap dan tindakan orang tua terhadap anak17
Menurut ajaran Islam keluarga mempunyai tiga tanggung jawab
yaitu; pertama, tujuan kepada Allah SWT. Karena keluarga dan fungsi-
fungsi itu merupakan pelaksanaan amanat Allah SWT, yaitu amanat ibadah
dan amanat Khalifah. Kedua, tanggung jawab kedalam keluarga itu sendiri
15 Singgih Dirga Gunarso, Pengantar Psikologi, Mutiara, Jakarta, 1983, hlm. 20 16 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan , Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 17 17 Ahmad Watik dan Abdul Salam, Etika, Islam dan Kesehatan, Rajawali, Jakarta, 1986,
hlm.296
86
terutama tanggung jawab orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga untuk
senantiasa membina dan mengembangkan kondisi kehidupan keluarga ke
taraf yang lebih baik. Ketiga, tujuan keluarga ialah bahwa keluarga sebagai
unit terkecil dan bagian dari masyarakat mewujudkan penampilan yang
positif terhadap keluarga lain dalam masyarakat bahkan terhadap bangsa dan
negaranya.
Keluarga adalah persekutuan hidup berdasarkan perkawinan yang sah
terdiri dari suami dan istri yang juga selaku orang tua dari anak-anak yang
dilahirkannya. Dalam pembinaan keluarga sejahtera prinsip-prinsip akhlak
perlu ditegakkan dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban moral yang
menjadi kemestian baginya. Kewajiban ini meliputi kewajiban suami
terhadap isterinya, kewajiban isteri terhadap suaminya, kewajiban orang tua
terhadap anaknya dan kewajiban anak terhadap orang tuanya. Jika semua
kewajiban moral sepanjang ajaran etika Islam ini dilaksanakan dengan baik,
sementara masing-masing pihak menerima haknya dengan sempurna,
menurut Burhanudin Salam disanalah akan terwujud keluarga yang bahagia
dan sejahtera.18
Baik suami ataupun isteri dalam kehidupan berkeluarga harus dapat
menerima dan memberikan kepercayaan kepada dan dari masing-masing
pihak. Keluarga yang tidak adanya rasa saling mempercayai satu dengan
yang lain, dapat dikatakan bahwa keluarga itu hidup di atas sekam dan api.
Menurut Bimo Walgito dalam buku “Bimbingan Dan Konseling
18 Burhanudin Salam, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, Rineke Cipta,
Jakarta, 1997. hlm.16-17
87
Perkawinan” menyebutkan, memberi dan menerima kepercayaan merupakan
hal yang sulit, akan tetapi bila tidak ada unsur kepercayaan dalam keluarga
maka yang ada hanyalah rasa curiga, rasa syakwasangka, yang semua itu
akan menimbulkan rasa tidak tentram dalam kehidupan berkeluarga.19
Oleh karena itu keluarga harus senantiasa menciptakan kasih sayang.
Kasih sayang merupakan kelembutan perasaan sayang terhadap orang lain
(antar anggota keluarga) merasa sependeritaan, mengasihi dan ikut serta
menghapus air mata kesedihan. Semua itulah yang mempersiapkan seorang
mukmin untuk menghindari penderitaan, menjauhi kejahatan, dan untuk
menjadi sumber kebaikan, kebajikan, dan kedamaian.20
Gambaran yang sekilas dapatlah diambil gambaran positif tentang
masyarakat yang mencerminkan ujudnya, yaitu pandangan hidup dalam
situasi yang aman, makmur, adil, dan jaya, dengan mendapat jaminan
yang penuh tanggung jawab. Islam dengan tata hukumnya yang komplit,
mengatur kehidupan segala bangsa telah membuktikan diri sebagai
pengantar hidup bagi manusia diseluruh punggung bumi. Telah (pernah
mencapai sukses yang gemilang dalam fakta sejarahnya yang tidak bisa
dipungkiri, yaitu tata hidup umat padang pasir yang langsung diantar oleh
pendiri utamanya sendiri, dengan motto ”Aku pembawa Akhlak yang
mulia”.21
19 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yayayasan Penerbitan Fak.
Psikologi UGM, Yogyakarta, 1984. hlm. 49 20Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam Pendidikan Sosial Anak,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, hlm. 11 21 Ashadi Falih dan Cahyo Yusuf, Akhlak membentuk pribadi muslim, Aneka Ilmu,
Semarang, 1973, hlm.83-84
88
Islam membentuk masyarakat, dimulainya orang per orang.
Diberikanya dasar aqidah-aqidah yang kuat dan mendalam, yaitu tauhid.
Benih yang pokok mengesakan Allah dan mengamalkan seluruh ajaran Islam
secara intensif sebagai ajaran Al-Ihsan. Kemudian dibentuklah keluarga.
Adanya keluarga ialah merupakan satu kesatuan kecil dalam lingkungan
masyarakat. Atau, adanya keluarga adalah merupakan batu sendi dan dasar
perkembangan, tempat manusia melakukan adanya tuntutan kelanjutan
jenisnya sebagai insting fitri manusiawi, yaitu harus adanya pertemuan
kedua jenis (pria dan wanita-muda dan mudi-positif dan negatif).
Tidak bisa disangkal lagi bahwa melangkahnya manusia keperbuatan
dosa dan tercela adalah disebabkan oleh ego dan nafsu yang bersarang di hati
atau (jiwa) dari sinilah timbul sombong, iri, dengki dan sebagainya. Itu
semuanya merupakan penghalang pencapaian hubungan dengan Allah, dan
itu hanya akan membawa kepada kegagalan dan kekecewaan. Biasanya
penderita yang tidak sehat mentalnya adalah individu yang tidak mampu atau
sengaja tidak mau memikul tanggung jawab kedewasaan.
Dalam beberapa ayat Al Qur’an, ayat 204, 205, 206 dalam surat Al
Baqarah, Allah menggambarkan keadaan jiwa manusia yang mengaku
mengenal Allah, tetapi sikap-sikapnya tidak sesuai dengan kehendaknya.
Dalam ayat-ayat tadi Allah menggambarkan keadaan manusia yang busuk,
yang ingin menjerumuskan diri sendiri dan orang lain kedalam kesengsaraan.
Apabila mereka di ajak kembali kejalan Allah, maka mereka menunjukan
keangkuhanya, sikap sombong, dan menentang ajakan kembali kejalan yang
89
benar. Itulah sedikit gambaran jiwa manusia yang tidak sehat, yang
dilukiskan oleh Allah. Kita dapat menyaksikan jiwa manusia seperti dalam
penampakan tingkah lakunya dulu, sekarang maupun nanti, dipermukaan
bumi. Oleh karena itu tugas utama para pekerja kesehatan mental dalam
menangani kasus-kasus ketidak sehatan mental ini ialah:
a) Menemukan dengan segera tanda-tanda keabnormalan yang menjadi
sinyal berbahaya bagi perkembangan pribadi
b) Mencegah perkembangannya, dan meniadakan konflik batin yang serius.
c) Membimbing penderita memasuki kembali realitas hidup nyata, dengan
jalan mengembangkan sikap realistis, keberanian dan bertanggung jawab
dan di bantu oleh obat-obatan.
Membantu individu memahami hakekat kehidupan berkeluarga dan
membantu memahami tujuan hidup berkeluarga adalah tujuan dari
bimbingan dan konseling keluarga Islam.
Bimbingan dan konseling keluarga Islam seperti halnya bimbingan
dan konseling Islam umumnya ditujukan pada upaya membantu individu
mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akherat sehingga ketentraman
keluarga yang didasari kasih dan sayang akan tercapai.
Upaya pemeliharaan kesehatan mental tidak akan terwujud tanpa
kerja sama orang tua, pendidik dan para konselor. Oleh karena itu
pembimbing atau konselor dalam bimbingan konseling agama islam harus
orang yang mempunyai keahlian profesional dibidang tersebut.
90
1. Konselor
Konselor adalah orang yang ahli. Konselor dalam proses
konseling mempunyai peranan yang sangat penting sehingga, konselor
harus memiliki wawasan luas tentang berbagai masalah di dalam kasus.
Konsep atau ide-ide tentang rincian setiap masalah serta kemungkinan
sebab-sebab dan akibat-akibatnya sedapat mungkin dikuasai oleh
konselor. 22
W.S Winkel menyebutkan adanya syarat bagi konselor yaitu,
mengenal diri sendiri, memahami orang lain dan mempunyai kemampuan
berkomunikasi.23
Hamdani Bakran menetapkan tiga aspek yang harus dimiliki
konselor yaitu, spiritualitas, moral serta aspek keilmuan.24 Dalam hal ini
adalah konselor yang yang benar-benar menjalankan agamanya dengan
baik khususnya konselor Islam (Muslim).
2. Konseli
Konseli adalah individu atau keluarga yang bermasalah dalah hal
ini adalah masalah yang sedang dihadapi oleh sebuah keluarga.
Oleh karena itu bimbingan dan konseling agama Islam merupakan
suatu aktivitas yang hidup dan mengharapkan akan lahirnya perubahan dan
22 Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Rieneke Cipta,
Jakarta, 1999, hlm.86. 23 W.S Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Grafindo, Jakarta,
1997, hlm 344 24 M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam, Fajar Pustaka Baru,
Yogyakarta, 2001, hlm. 299
91
perbaikan-perbaikan yang sangat didambakan oleh konselor dan klien sesuai
dengan fungsi dan tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islam, yaitu :
a. Remedia atau Rehabilitatif
Fungsi ini berfokus pada masalah penyesuaian diri,
menyembuhkan masalah psikologi, mengembalikan kesehatan mental
dan mengatasi gangguan emosional.25
Nana Sukmadinata memberikan acuan untuk pemeliharan
kesehatan mental. Upaya yang pertama adalah menciptakan lingkungan
sosial psikologis yang sehat dan wajar. Hal ini akan tercipta apabila
orang tua terlebih dahulu memiliki mental yang sehat. Dalam interaksi
antar orang dewasa, dan antar orang dewasa dengan anak akan
tertampilkan pribadi yang sehat dan matang. Dalam situasi ideal seperti
itu perkembangan mental anak yang sehat dapat terjamin. Upaya kedua,
ciptakan interaksi dengan anak, atau individu dengan dasar kasih sayang
dan penghargaan akan karya-karya dan martabat anak tersebut sebagai
individu. Ketiga, pemeliharaan kesehatan fisik. Dan yang keempat,
dalam pemeliharan adalah melakukan berbagai bentuk kegiatan belajar
penyaluran yang sehat dan sesuai dengan tahap pekembangan anak.26
Dengan demikian orang yang sehat mentalnya itu secara mudah
bisa melakukan adaptasi (penyesuaian diri), selalu aktif berpartisipasi,
bisa menerapkan diri dengan lancar pada setiap perubahan sosial, selalu
25 Ibid., hlm. 217. 26 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2003, hlm.150
92
sibuk melaksanakan realisasi diri, dan senantiasa dapat menikmati
kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.
Fungsi kehidupan kejiwaan dengan segala macam unsurnya
adalah penyesuaian diri manusia terhadap suasana lingkungan, sosial dan
ekonomi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
manusia, yang bisa tercapai melalui interaksi dengan lingkungan. Orang
yang sehat mental mampu menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang
dialami baik itu gangguan fisik maupun psikis.
Dalam kesehatan mental gangguan kejiwaan berarti kumpulan
dari keadaan yang tidak normal. Baik yang berhubungan dengan fisik
maupun psikis. Keabnormalan tersebut terjadi bukan disebabkan oleh
sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan, kendatipun gejalanya
kelihatan pada fisik akan tetapi banyak disebabkan oleh keadaan jiwa
dan jasmani yang terganggu. Abnormal adalah kelainan atau
penyimpangan dari keadaan biasa, baik menurut satistik maupun menurut
norma (berbeda dari norma atau rata-rata).27 Enrich Fromn, berbicara
abnormalitas dengan menempatkannya pada kontek kebaikan dan nilai.28
b. Fungsi Edukatif atau Pengembangan
Fungsi ini membantu meningkatkan kemampuan menghadapi
transisi dalam kehidupan.29
27 Kamarudin, Kamus Riset, Angkasa, Bandung, 1987, hlm. 1 28 Abraham H. Maslow, Motivasi dan Kepribadian II Teori Motivasi dengan Pendekatan
Hirearki Kebutuhan Manusia, Pustaka Binaman Presindo, 1994, hlm. 146 29 M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Op.Cit., hlm 217.
93
Perlu kita ketahui beberapa sifat lingkungan rumah yang baik
sehingga dapat membentuk sifat-sifat itu antara lain : kesediaan orang tua
menerima anak sebagai anggota dan pertengkaran tidak terjadi di
hadapan anak-anak. Dengan demikian menciptakan kondisi rumah yang
baik itu akan memberikan kedamaian dan kesejahteraan tiap anggota
keluarga terutama anak yang semakin memahami dan mengerti kondisi
keluarga. Setiap subyek keluarga harus mengerti tugas dan peranannya
yang sesuai dengan kedudukannya baik itu kedudukan sebagai istri,
suami dan anak.
c. Fungsi Perfentif
Fungsi ini membantu individu agar dapat berupaya aktif
melakukan pencegahan sebelum mengalami masalah kejiwaan karena
kurangnya perhatian. Upaya perfentif meliputi pengembangan program-
program yang dapat digunakan untuk mengantisipasi resiko hidup yang
tidak perlu terjadi.30 Fungsi utama konseling dalam Islam yang
hubungannya dengan kejiwaan tidak dapat terpisahkan dengan masalah
spiritual (keyakinan). Islam memberikan bimbingan kepada individu agar
dapat kembali kepada bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Islam tidak menganggap kesehatan mental semata-mata sebagai
tiadanya gejala-gejala penyakit, tetapi juga menekankan aspek-aspek
positif. Aspek-aspek positif itu antara lain:
30 Ibid., hlm. 218.
94
1. Program kesehatan mental tidak menganjurkan penekanan-penekanan
nafsu saja tetapi menekankan keseimbangan. Konsep ini di
ilustrasikan secara baik sekali dalam al-Quran dengan menggunakan
istilah sawa’al-sabil dan tawasut (tenang). Artinya tidak ada nafsu
yang lebih diperlukan dengan mengorbankan nafsu-nafsu yang lain.
Ini menghasilkan sebuah personalitas yang berfungsi penuh, suatu
personalitas yang mampu menghadapi problem personal dan sosial
secara memadai. Dengan itu manusia terbebaskan dari banyak situasi
yang menimbulkan krisis.
2. Salah satu sebab utama yang memilu adalah kondisi mental yang
buruk, perasaan kecewa dan putus asa karena iri hati dan cemburua.
Agar hal itu bisa dicegah manusia diajarkan supaya tidak
membandingkan dirinya dengan orang lain.
3. Islam mendorong nilai-nilai spiritual seperti ridha dan tawakal,
signifikan nilai-nilai ini dalam meningkatkan kesehatan mental
amatlah besar.
4. Beberapa emosi seperti amarah menjadi penyebab penyakit
psikodinamik. Kaum muslim diajak untuk mengendalikan emosi-
emosi mereka.
5. Setiap manusia berkewajiban menjaga hubungan baik dalam
menjalankan hak-hak dan kewajiban tertentu.31
31 Zafar Afaq Ansari, Al Qur'an Bicara Tentang Jiwa, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 73-74
95
Kenyataan akan adanya problem yang berkaitan dengan keluarga,
kerap kali tidak bisa diatasi sendiri. Untuk mewujudkan keluarga yang sehat
mental oleh yang terlibat dengan masalah tersebut, menunjukkan bahwa
diperlukannya bantuan konseling dari orang lain untuk turut serta
mengatasinya. Selain itu, kenyataan bahwa kehidupan keluarga selalu saja
ada problemnya.
Dahulu orang beranggapan teruatama orang barat yang sekuleristik,
materialistik, bahwa menghadapi kesukaran hidup semacam itu cukup
dengan badan sehat, mental sehat, dan rasio yang aktif dinamis. Tetapi
kenyataan berkata lain, setelah mereka sampai pada kondisi puncaknya,
ternyata mereka kehilangan sesuatu yang menjadikan kehidupan menjadi
hampa, mereka sadar bahwa budaya glamor yang gemerlap itu hanya
kenikmatan sesaat yang membawa problem semakin canggih. Disana angka
kejahatan, angka neurosis, bunuh diri, kecanduan narkotik dan penderita
AIDS terus meningkat. Mereka sebenarnya telah kehilangan satu faktor yang
sangat penting dalam hidupnya yakni faktor “sakinnah”.
Disinilah letak penting bimbingan dan konseling keluarga Islam,
yaitu layanan yang tidak hanya mengupayakan mental yang sehat dan hidup
yang sejahtera melainkan juga dapat menuntun kearah hidup yang sakinnah,
batin merasa tenang dan tentram karena selalu dekat dengan Tuhan. Faktor
sakinah yang disebabkan oleh rasa dekat dengan Tuhan inilah yang tidak kita
jumpai pada konsep bimbingan dan konseling model barat. Apabila umat
Islam dapat merumuskan kemudian menjabarkan faktor tersebut menjadi
96
terapi sakinah dengan baik dan tepat, hal ini merupakan sumbangan yang
amat besar bagi umat Islam.
Dalam pemeliharaan kesehatan mental berlaku pepatah lebih baik
mencegah daripada mengobati. Orang tua sedini mungkin melakukan
berbagai upaya pencegahan ketidak sehatan mental. Kesehatan mental yang
wajar adalah pada kesanggupan seseorang memperoleh kebiasaan yang
sesuai dan dinamis yang dapat menolongnya berinteraksi dengan orang
lain.32
Pada zaman yang sangat kacau ini, saat psikologi moderen telah
gagal memberikan garis pedoman untuk mencapai kedamaian jiwa,
pandangan Islam akan menjadi sebuah anugerah Tuhan.
32 Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Khusna, Jakarta, 1986.
hlm. 24