Upload
buidien
View
217
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengambilan Sampel Ascidian Didemnum molle
Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Maret 2013 di perairan
Kepulauan Seribu meliputi wilayah Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau
Semak Daun. Ketiga perairan tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh
berbeda dilihat dari parameter fisika dan kimia yang diukur (Lampiran 3)
sehingga tidak menyebabkan perbedaan kandungan metabolit sekunder. Karena
menurut Murniasih pada tahun 2005 lingkungan laut sangat mempengaruhi
keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan biotanya.
Ascidian Didemnum molle ditemukan pada kedalaman 2 meter hingga 10
meter, hidup pada substrat yang keras seperti karang massive dan tiang pancang
dermaga. Pada kedalaman 2 meter ukuran ascidian Didemnum molle yang
ditemukan berkisar 1 cm hingga 5 cm sedangkan pada kedalaman 10 meter
ukurannya berkisar antara 10 cm hingga 15 cm. Sehingga untuk pengambilan
sampel sebaiknya dilakukan pada kedalaman 10 meter.
Sampel yang diperoleh dari ketiga lokasi memiliki kisaran ukuran 5 cm
hingga 15 cm. Sampel dikumpulkan sebanyak 3,5 kg dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik. Ascidian Didemnum molle akan terus menerus mengeluarkan
lendir ketika dikeluarkan dari dalam air laut, hal ini merupakan bentuk pertahanan
diri dari ascidian Didemnum molle. Ascidian Didemnum molle segera dimasukkan
ke dalam coolbox berisi es batu untuk meminimalisir aktivitas mikroba yang akan
menyebabkan pembusukan sehingga sampel tetap segar hingga penanganan
selanjutnya.
Sampel dibuat ke dalam bentuk sediaan kering (simplisia), tujuannya
untuk mengurangi kadar air dan terjadinya pertumbuhan mikroba selama masa
penyimpanan sehingga sampel bisa bertahan dalam waktu yang lama. Ascidian
Didemnum molle yang sudah kering berbentuk tipis berwarna coklat (Gambar 16).
Serbuk dari Didemnum molle berwarna coklat dengan berat 247 gram.
35
Gambar 16. Bentuk dan Warna Ascidian Didemnum molle sebelum
dikeringkan (kiri) dan setelah dikeringkan (kanan)
4.2. Identifikasi Metabolit Sekunder Ascidian Didemnum molle
Identifikasi metabolit sekunder dengan metode uji fitokimia dilakukan
untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam suatu bahan
secara kualitatif. Dilakukan lima uji metabolit sekunder diantaranya uji alkaloid,
uji flavonoid, uji triterpenoid, uji steroid dan uji saponin. Hasilnya, ascidian
Didemnum molle positif mengandung alkaloid, steroid dan saponin (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Didemnum molle
Metabolit Sekunder Hasil Keterangan
Alkaloid Positif Endapan putih
Flavonoid Negatif Warna kuning
Triterpenoid Negatif Warna hijau kebiruan
Steroid Positif Warna hijau kebiruan
Saponin Positif Terbentuk busa
Dari Tabel 4, hasil positif alkaloid ditunjukkan dengan adanya endapan
putih pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer (HgCl2 + KI). Warna
larutan berubah dari bening menjadi keruh dan terbentuk endapan putih (Gambar
17a). Diperkirakan bahwa endapan putih tersebut merupakan kompleks kalium-
alkaloid. Alkaloid mengandung atom nitrogen dan bersifat basa sehingga untuk
mengekstraknya dibutuhkan penambahan asam sulfat. Atom nitrogen pada
36
alkaloid mempunyai pasangan elektron bebas dan akan bereaksi dengan ion logam
K+ dari pereaksi Mayer (McMurry 2004). Alkaloid pada umumnya berbentuk
kristal yang disebut dengan garam-garam alkaloid.
Pada uji alkaloid dengan pereaksi Wagner ditandai dengan terbentuknya
endapan cokelat muda hingga kekuningan (Gambar 17b). Perekasi Wagner terdiri
dari kalium iodida (KI) dan iodin (I2) sehingga ketika iodine bereaksi dengan I-
dari kalium iodide menghasilkan I3- yang berwarna cokelat. Pada uji Wagner, ion
logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada
alkaloid dan membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Gambar 17a. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Alkaloid
dengan Pereaksi Meyer
Gambar 17b. Ascian Didemnum molle Positif Mengandung Alkaloid dengan
Pereaksi Wagner
Hasil positif steroid ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna
menjadi hijau biru sesuai dengan pernyataan Harborne tahun 1987. Pereaksi
Lieberman Burchard asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi dan
menghasilkan warna hijau biru (Gambar 18). Reaksi yang terjadi antara steroid
37
dengan asam asetat anhidrat adalah reaksi asetilasi gugus –OH pada steroid yang
akan menghasilkan kompleks asetil steroid. Penambahan asam sulfat pekat
bertujuan untuk mendestruksi kompleks asetil steroid.
Gambar 18. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Steroid
Hasil positif saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa. Saponin
merupakan suatu glikosida dengan gugus hidroksil pada molekulnya. Saponin
mempunyai sifat seperti sabun ketika dilarutkan ke dalam air yaitu akan
membentuk busa. Gugus hidrofil dan hidrofob bertindak sebagai permukaan aktif
dalam pembentukan busa. Saponin bersifat polar dan dapat larut dalam air karena
adanya gugus hidrofil (OH) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul air. Busa yang dihasilkan diuji kestabilannya dengan penambahan HCl .
Hasilnya busa tetap stabil selama 10 menit ketika ditambahkan HCl (Gambar 19).
Hal ini menandakan bahwa di dalam ascidian Didemnum molle terkandung
senyawa saponin.
Gambar 19. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Saponin
38
Berdasarkan penelitian Arlyza pada tahun 2008 dan Aulia pada tahun
2011 tahun ditemukan kesamaan metabolit sekunder pada sampel ascidian
Didemnum molle yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu yaitu alkaloid.
Alkaloid merupakan salah satu senyawa yang khas dari ascidian. Kurang lebih
sebanyak 300 struktur senyawa alkaloid telah berhasil diisolasi (Menna 2011).
Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ascidian Didemnum molle
seperti saponin dan alkaloid masuk ke dalam golongan senyawa polar. Menurut
Arlyza tahun 2008 golongan senyawa polar yang diekstraksi dengan
menggunakan pelarut metanol memiliki kemampuan sebagai antibakteri.
4.3 Ekstraksi Ascidian Didemnum molle
Ekstraksi simplisia ascidian Didemnum molle dilakukan dengan metode
maserasi atau perendaman. Simplisia direndam dengan pelarut metanol. Metanol
merupakan pelarut organik yang mampu mengekstrak total senyawa metabolit
sekunder. Proses perendaman dilakukan selama 1x24 jam dengan perbandingan
antara sampel dan pelarut 1:5 dalam penelitian ini digunakan 247 gram serbuk
ascidian Didemnum molle. Untuk mengekstrak seluruh senyawa metabolit yang
terkandung dalam ascidian Didemnum molle dibutuhkan pengulangan perendaman
atau penggantian pelarut. Pada perendaman pertama, pelarut kemungkinan sudah
jenuh sehingga tidak mampu untuk mengekstrak senyawa metabolit sekunder
yang diharapkan. Pengulangan perendaman dihentikan ketika filtrat menunjukkan
warna asli pelarut metanol yaitu bening (Lampiran 4). Pada ascidian Didemnum
molle dibutuhkan pengulangan hingga 5 kali agar seluruh metabolit sekunder yang
ada dalam simplisia dapat terekstrak.
Warna pada pelarut menandakan adanya kandungan metabolit sekunder
pada simplisia. Hasil dari perendaman pertama diperoleh larutan atau filtrat
berwarna hijau tua yang sangat pekat kemudian pada perendaman berikutnya
warna filtrat berangsur-angsur berkurang kepekatannya hingga berwarna kuning
bening (Lampiran 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa metabolit
sekunder dalam simplisia sudah terekstrak dalam metanol. Warna hijau yang
didapat merupakan warna dari mikroalga yang bersimbiosis dalam jaringan
39
ascidian Didemnum molle yaitu Prochloron. Menurut Hirose pada tahun 2004
Prochloron merupakan alga hijau biru atau cyanophyta yang memiliki klorofil a
dan b.
Filtrat yang telah diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan alat
rotary vacuum evaporator hingga terbentuk esktrak padat. Suhu yang digunakan
untuk menguapkan pelarut metanol adalah 43C. Hal ini untuk menjaga senyawa
metabolit sekunder agar tidak rusak. Karena senyawa metabolit sekunder pada
umumnya dapat rusak dalam suhu tinggi.
Pada saat proses pemekatan ekstrak, filtrat akan berbuih atau berbusa
ketika keadaan vakum. Busa tersebut disebakan oleh saponin yang terkandung
didalamnya. Sesuai dengan pernyataan Harborne pada tahun 1987 bahwa dalam
memekatkan ekstrak yang mengandung saponin akan terjadi pembentukan busa
sehingga sangat sukar untuk memekatkan ekstrak yang mengandung saponin.
Ekstrak yang dihasilkan berbentuk pasta berwarna hijau pekat dan berbau agak
amis (Lampiran 4). Ekstrak yang terbentuk sebanyak 26,5 gram dengan rendemen
sebesar 10,37%. Ekstrak yang berbentuk pasta ini selanjutnya dilarutkan
menggunakan akuades untuk membuat konsentrasi yang akan digunakan pada uji
aktivitas antibakteri dengan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm,
10.000 ppm dan 100.000 ppm (Lampiran 5).
4.4 Uji In Vitro Zona Daya Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle
Uji in vitro ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap bakteri
Vibrio harveyi memperlihatkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas sebagai
antibakteri. Adanya aktivitas antibakteri tersebut ditunjukkan dengan
terbentuknya zona daya hambat disekitar paper disc (Lampiran 6). Ekstrak
ascidian Didemnum molle mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Vibrio harveyi.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata diameter zona hambat berkisar antara
8 – 11,3 mm. Mengacu pada Davis dan Stout (1971), aktivitas senyawa
antibakteri yang terkandung dalam Didemnum molle memiliki aktivitas yang
sedang hingga kuat karena berada pada kisaran diameter zona hambat sebesar 5-
40
10 mm dan 10 - 20 mm. Aktivitas antibakteri dari ekstrak Didemnum molle tidak
lebih besar dibandingkan dengan kontrol positifnya yaitu antibiotik kloramfenikol
sebesar 30 ppm. Hal tersebut dikarenakan kloramfenikol merupakan senyawa
murni.
Tabel 5. Diameter Zona Daya Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle
terhadap Bakteri Vibrio harveyi dalam Waktu Inkubasi 24 jam
Konsentrasi
(ppm)
Diameter Zona Hambat (mm) Rata-Rata
(mm) I II III
*Kontrol - 0 0 0 0
*Kontrol + 17,1 15,6 15,3 16
10 7,7 8,4 8,1 8,0
100 9,5 7,5 8,6 8,5
1000 10,1 10,1 13,1 11,1
10000 10,1 10,3 12,6 11,0
100000 10,8 11,8 11,4 11,3
*Keterangan : Ukuran paper disc 7 mm, (-) akuades, (+) kloramfenikol
Berdasarkan hasil pengamatan, ekstrak dari Didemnum molle diameter
zona daya hambat terbesar ditunjukan oleh konsentrasi 100.000 ppm yaitu
11,3 mm dan terendah adalah 10 ppm yaitu 8 mm. Sementara itu, tidak terdapat
perbedaan diameter zona hambat yang signifikan antara konsentrasi 1000 ppm,
10.000 ppm dan 100.000 ppm (Gambar 20).
Secara visual zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 10 ppm hingga
10.000 ppm tidak jernih atau masih terdapat beberapa koloni bakteri. Zona hambat
terlihat sangat jelas pada konsentrasi 100.000 ppm dimana tidak terlihat koloni
bakteri tumbuh di dalamnya (Lampiran 6). Pada perlakuan kontrol positif zona
hambat yang terbentuk sangat jernih. Zona hambat yang terlihat bersih disebut
dengan zona hambat radikal dimana sama sekali tidak terdapat adanya
pertumbuhan bakteri sedangkan zona hambat yang ditumbuhi bakteri disebut
dengan zona hambat iradikal karena pada daerah tersebut pertumbuhan bakteri
dihambat namun tidak sampai mati (Sulistyawati 2009).
41
Gambar 20. Grafik Rata-rata Diameter Zona Hambat Ekstrak Ascidian
Didemnum molle terhadap Bakteri Vibrio harveyi
Antibakteri dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik dan bakteriosidal.
Bakteriostatik yaitu kemampuan antibakteri dalam menghambat pertumbuhan
bakteri, tetapi tidak sampai membunuh bakteri. Bakterisidal yaitu antibakteri
memiliki kemapuan untuk membunuh bakteri (Brooks et al. 2005). Cara kerja
antibakteri secara umum yaitu menyebabkan kerusakan dinding sel, mengubah
permeabilitas sel, mengubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat
kerja enzim serta menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan
Chan 2005).
Aktivitas antibakteri dari Didemnum molle bersifat bakteriostatik karena
zona daya hambat yang terbentuk pada hampir seluruh perlakuan masih terlihat
adanya koloni bakteri yang tumbuh. Ekstrak yang dibuat dalam penelitian
merupakan ekstrak kasar dimana masih banyak terdapat beberapa komponen
kimia yang tidak dibutuhkan seperti lipid dan pigmen yang terekstrak oleh pelarut
metanol. Hal tersebut menurunkan kemurnian dari senyawa antibakteri.
Aktivitas antibakteri disebabkan oleh kandungan bahan alam yang ada di
dalam ekstrak. Hasil uji fitokimia, ascidian Didemnum molle mengandung
senyawa metabolit sekunder alkaloid, steroid dan saponin. Keberadaan metabolit
sekunder digunakan hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan
0
16
8 8,5
11,1 11 11,3
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18D
iam
eter
Zon
a H
ambat
(m
m)
Konsentrasi Ekstrak (ppm)
42
hidupnya, contoh : toksin, antibiotik, antijamur, antivirus, antibodi dan lainnya
(Sunarminingsih 2002). Sifat bioaktif yang paling banyak ditemukan pada
metabolit sekunder adalah antibiotik. Alkaloid dapat menghambat pertumbuhan
mikroba karena kemampuannya dalam menghambat sisntesis dinding sel dan
DNA. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas
membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis dan keluarnya
berbagai komponen penting dari dalam sel seperti protein, asam nukleat dan
nukleotida (Ganiswarna 1995).
Aktivitas senyawa antibakteri juga dipengaruhi oleh respon dari bakteri.
Respon setiap bakteri terhadap senyawa antibakteri berbeda-beda. Menurut
Morin et al. pada tahun 1982 dalam Trianto pada tahun 2004, bakteri Vibrio
merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai kandungan peptidoglikan yang
dapat menentukan bentuk sel serta memberikan kekakuan yang dibutuhkan untuk
melindungi sel dari perobekan osmotik. Sementara itu, dengan adanya senyawa
metabolit sekunder dalam ekstrak maka pembentukan dinding sel bakteri menjadi
terganggu. Akibatnya Vibrio tidak mampu mereplikasi diri dan tumbuh dalam
media agar.
4.5 Uji LC50 Ekstrak Didemnum molle terhadap Udang Windu
Salah satu ciri-ciri antibakteri yang baik menurut Pelczar dan Chan tahun
2005 adalah tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan. Maka, uji LC50
bertujuan untuk mengetahui batas toleransi udang windu terhadap ekstrak ascidian
Didemnum molle dan untuk melihat sejauh mana toksisitasnya. Salah satu faktor
yang mempengaruhi taraf toksisitas adalah besar konsentrasi dari bahan yang akan
diuji. Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak ascidian Didemnum
molle konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm, 10.000 ppm dan 100.000 ppm
menunjukkan potensi sebagai antibakteri. Pembuatan konsentrasi ekstrak yang
digunakan dalam uji LC50 disajikan dalam Lampiran 7.
Hasil pengamatan uji LC50 yang dilakukan selama 48 jam memberikan hasil
kelangsungan hidup dan mortalitas larva udang windu yang berbeda-beda
(Lampiran 8). Jumlah udang windu tiap perlakuan sebanyak 6 ekor. Pada
43
konsentrasi 10.000 ppm seluruh udang windu mati dengan lama perendaman 6
jam. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya bahan aktif yang bersifat toksik salah
satunya saponin yang bersifat racun bagi hewan berdarah dingin. Saponin ditandai
dengan terbentuknya busa ketika diberi aerasi (Gambar 21).
Pada konsentrasi 1.000 ppm mortalitas udang cukup tinggi yaitu sebanyak 4
ekor pada pengulangan pertama,pada pengulangan kedua seluruh udang windu
mati. Sementara itu, kelangsungan hidup larva udang windu yang tinggi terlihat
pada konsentrasi 10 ppm dan 100 ppm. Pada konsentrasi 10 ppm tidak ada udang
windu yang mati, pada konsentrasi 100 ppm hanya 1 udang yang mati yaitu pada
pengulangan kedua. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak ascidian
Didemnum molle, tingkat mortalitas udang pun semakin tinggi.
Gambar 21. Tingginya Kandungan Saponin yang Ditandai dengan
Terbentuknya Busa pada Konsentrasi 10.000 ppm
Hasil analisis uji LC50 dengan program EPA Probit 1.5 memberikan nilai
konsentrasi sebesar 387 ppm dengan konsentrasi ambang bawah sebesar 180,124
ppm dan konsentrasi ambang atas sebesar 810,578 ppm (Lampiran 9). Hal ini
menandakan bahwa dengan konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle sebesar
387 ppm dapat menyebabkan kematian larva udang windu sebanyak 50% dalam
waktu 48 jam. Untuk itu, konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle yang
aman digunakan untuk udang windu berada di bawah konsentrasi 387 ppm.
44
4.6. Hasil Uji In Vivo Udang Windu yang Terinfeksi Bakteri Vibrio harveyi
4.6.1. Hasil Pengamatan Gejala Klinis Udang Windu
Pengamatan gejala klinis pada uji in vivo dilakukan setelah penginfeksian
hingga pengobatan menggunakan ekstrak. Tujuannya untuk melihat pengaruh
ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap pengobatan udang windu.
Pengamatan yang dilakukan meliputi perubahan morfologi udang (pengamatan
warna tubuh, hepatopankreas, nekrosis) dan tingkah laku (pergerakan dan respon
terhadap pakan).
Gejala klinis udang windu terinfeksi bakteri Vibrio harveyi terlihat 1 jam
setelah perendaman dalam larutan bakteri kepadatan 106 CFU/mL. Gejala klinis
awal yang terlihat adalah udang terlihat stres dan gerakan renang tidak normal.
Gerakan udang melemah dan diam di dasar akuarium. Pada tubuh udang terjadi
perubahan warna tubuh dari berwarna putih menjadi kemerahan. Perubahan
hepatopankreas dari coklat kekuningan menjadi coklat kehitaman terlihat 24 jam
setelah diinfeksi (Gambar 22).
Gambar 22. Hepatopankreas Larva Udang yang Normal (a) dan
Hepatopankreas Larva Udang yang Terinfeksi (b)
Gejala klinis yang terlihat dalam uji in vivo sesuai dengan pernyataan
Maryani (2003) bahwa udang yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi menunjukan
perubahan morfologi dan tingkah laku. Perubahan yang terlihat diantaranya
gerakan renang tidak normal, udang diam di dasar, bentuk badan melengkung
45
melebihi normal, aktivitas makan menurun, ekor berwarna kemerahan dan
hepatopankreas berwarna cokelat kehitaman.
Setelah penginfeksian, gejala klinis yang terlihat pada tiap perlakuan
hampir sama. Namun terjadi perubahan gejala klinis ketika udang windu yang
terinfeksi diberi perlakuan perendaman ekstrak. Pengamatan gejala klinis udang
windu setelah diberi perlakuan perendaman ekstrak dilakukan selama 7 hari.
Pengamatan terhadap pergerakan udang disajikan dalam Tabel 6 dan respon
udang terhadap pakan disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 6. Pengamatan Pergerakan Larva Udang Windu pada Uji In Vivo
Ekstrak Ascidian Didemnum molle
Hari Ke-
Konsentrasi Ekstrak Ascidian Didemnum molle
A
Kontrol
B
96,75 ppm
C
193,50 ppm
D
290,25 ppm
E
387,00 ppm
1-2 + + + + +
3-5 + ++ ++ +++ ++
6-7 ++ ++ +++ +++ +++
Keterangan :
+ : abnormal
++ : diam di dasar
+++ : aktif berenang
Tabel 7. Pengamatan Respon Larva Udang Windu terhadap Pemberian
Pakan pada Uji In Vivo Ekstrak Ascidian Didemnum molle
Hari Ke-
Konsentrasi Ekstrak Ascidian Didemnum molle
A
Kontrol
B
96,75 ppm
C
193,50 ppm
D
290,25 ppm
E
387,00 ppm
1-2 + + + + +
3-5 + + ++ +++ ++
6-7 ++ ++ +++ +++ +++
Keterangan :
+ : tidak responsif
++ : kurang responsif
+++ : responsif
46
4.6.2. Hasil Pengamatan Mortalitas dan Tingkat Kelangsungan Larva
Udang Windu
Setelah gejala klinis terlihat, udang windu direndam dalam ekstrak sesuai
dengan perlakuan yaitu, perlakuan A (tanpa ekstrak), B 96,75 ppm (25% dari
LC50), C 193,5 % (50% dari LC50), D 290,25 ppm (75% dari LC50) dan E 387
ppm (100% dari LC50) selama 15 menit untuk dilakukan pengobatan. Udang yang
sudah diberi perlakuan dikembalikan ke dalam akuarium pemeliharaan kemudian
dilakukan pengamatan terhadap mortalitas dan tingkat kelangsungan hidup udang
windu selama 7 hari untuk melihat efektivitas dari pengobatan menggunakan
ekstrak ascidian Didemnum molle. Hasil pengamatan mortalitas dan tingkat
kelangsungan hidup disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Mortalitas Tingkat dan Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu
Setelah Pengobatan dengan Ekstrak Ascidian Didemnum molle
Perlakuan
Jumlah
Udang
Di
Awal
Mortalitas Udang Windu Hari Ke-
(ekor)
Jumlah
Udang
Di
Akhir
Kelangsungan
Hidup
(%)
Rata-
Rata
(%) 1 2 3 4 5 6 7
A1 30 12 10 2 1 0 0 0 5 16,7 21,7
A2 30 8 12 1 1 0 0 0 8 26,7
B1 30 6 15 2 2 0 0 0 5 16,7 33,4
B2 30 2 10 1 2 0 0 0 15 50
C1 30 3 9 2 0 0 0 0 16 53,3 41,7
C2 30 7 11 1 2 0 0 0 9 30
D1 30 2 7 3 1 0 0 0 17 56,7 51,7
D2 30 4 9 3 0 0 0 0 14 46,7
E1 30 4 3 6 3 0 0 0 14 46,7 35
E2 30 10 10 3 0 0 0 0 7 23,3
Pada Tabel 8, terlihat bahwa mortalitas larva udang windu pada seluruh
perlakuan mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4 dan pada hari ke-5 sudah
tidak terjadi mortalitas. Mortalitas tertinggi terjadi di hari ke-2 masa pengamatan
pada seluruh perlakuan. Perlakuan D (290,25 ppm) memberikan tingkat
kelangsungan hidup tertinggi, sedangkan perlakuan A (tanpa ekstrak) memberikan
tingkat kelangsungan hidup terendah.
47
Pada Tabel 8 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup larva udang
windu yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan larva udang windu tanpa
pemberian ekstrak (kontrol). Hal tersebut memperlihatkan bahwa antibakteri yang
terkandung dalam ekstrak ascidian Didemnum molle berperan dalam pengobatan
udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi walaupun berada pada
kategori sedang. Berdasarkan uji diameter zona daya hambat, ekstrak ascidian
Didemnum molle pada konsentrasi 100 ppm menghasilkan diameter 8,5 mm,
menurut Davis dan Stout (1971) aktivitas antibakteri dikategorikan sedang bila
diameter zona daya hambat yang terbentuk berada pada kisaran 5 - 10 mm.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle memberikan
tingkat kelangsungan hidup yang semakin tinggi sampai batas perlakuan D
(290,25 ppm). Diatas konsentrasi 290,25 ppm yaitu pada perlakuan E (387 ppm),
kelangsungan hidup larva udang windu mengalami penurunan (Gambar 23).
Terjadinya hal tersebut dikarenakan ekstrak pada konsentrasi 387 ppm justru
bersifat toksik bagi hewan uji. Sifat toksik pada ekstrak disebabkan kandungan
bahan aktif yang tinggi.
.
Gambar 23. Grafik Rata-Rata Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Windu
Setelah Pengobatan dengan Ekstrak Ascidian Didemnum molle
21,7
33,4
41,7
51,7
35
0
10
20
30
40
50
60
0 96,75 193,5 290,25 387
Tin
gkat
Kel
ang
sun
gan
Hid
up
(%
)
Perlakuan (ppm)
48
Pada perlakuan A (kontrol) atau tanpa perendaman ekstrak, tingkat
kelangsungan hidupnya sangat rendah yaitu sebesar 21,7%. Pergerakan udang
windu pada perlakuan kontrol cenderung pasif dengan gerakan renang yang tidak
normal. Hari ke-6 dan ke-7 masa pengamatan pada Tabel 6, udang mulai aktif
bergerak namun 70% udang masih diam didasar. Respon udang terhadap pakan
sangat rendah, terlihat dari banyaknya sisa pakan pada perlakuan A (Tabel 7).
Vibrio harveyi diketahui menyerang saluran pencernaan udang, hal inilah yang
menyebabkan respon udang terhadap pakan menjadi rendah. Akibatnya
metabolisme udang windu terganggu dan daya tahan tubuh udang menurun.
Morfologi udang yang terlihat pada perlakuan A (kontrol) adalah warna
tubuh terlihat merah pada pengamatan hari ke-1 hingga hari ke-4, warna tubuh
kembali normal di hari ke-5. Hepatopankreas udang terlihat berwarna coklat
kehitaman pasca penginfeksian, perubahan menuju normal terjadi di hari ke-6
yaitu berwarna coklat kekuningan. Selain itu, pada perlakuan kontrol terlihat
adaya nekrosis di ujung ekor udang (Gambar 24).
Gambar 24. Ekor Udang Normal (kiri) dan Nekrosis pada Ekor Udang
Windu (kanan)
Pada perlakuan kontrol udang windu masih mampu bertahan hidup
walaupun tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Udang windu kembali pada
keadaan normal di hari ke-6 masa pengamatan. Sejalan dengan pernyataan
Maftuch tahun 2009, udang yang terserang penyakit pada kenyataannya masih
49
mampu untuk bertahan hidup dan tumbuh normal. Udang windu secara alami
memiliki sistem pertahanan tubuh non spesifik yang dijalankan oleh hemosit,
namun sistem pertahanan tubuh udang perlu diaktifkan dengan imunostimulan
agar dapat melawan patogen. Selain itu, kekebalan tubuh udang windu dalam
stadia larva masih lemah. Hal tersebutlah yang menyebabkan proses pemulihan
pada udang cukup lama dan menyebabkan kematian yang tinggi pada larva.
Pemberian ekstrak ascidian Didemnum molle dapat memberikan tingkat
kelangsungan hidup yang tinggi bagi larva udang windu dan terjadi pemulihan
yang lebih cepat dibandingkan dengan tanpa pemberian ekstrak.
Perlakuan B (96,75 ppm) dan C (193,5 ppm) menunjukkan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A (tanpa ekstrak)
yaitu berturut-turut sebesar 33,4% dan 41,7% (Gambar 23). Rata-rata udang mulai
memperlihatkan perubahan gejala klinis menuju normal pada pengamatan hari
ke-6. Sebagian besar udang mulai aktif bergerak di kolom air dan terlihat
responsif terhadap pakan yang diberikan (Tabel 6). Udang pada perlakuan B
(96,75 ppm) dan C (193,5 ppm) menunjukan perubahan morfologi menuju normal
pada pengamatan hari ke-4 yaitu 75% warna tubuh udang windu dari kemerahan
menjadi putih. Hepatopankreas udang berangsur-angsur menjadi coklat
kekuningan.
Perubahan gejala klinis udang windu menuju normal pada perlakuan B dan
C lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol, namun mortalitasnya masih cukup
tinggi bila dibandingkan perlakuan D. Hal ini menandakan bahwa ekstrak ascidian
Didemnum molle pada konsentrasi 96,75 ppm dan 193,5 ppm berperan terhadap
pengobatan udang windu namun masih belum optimal. Pada ekstrak konsentrasi
96,75 ppm dan 193,5 ppm diduga kandungan bahan aktifnya masih rendah
sehingga kurang efektif untuk menghambat infeksi dari bakteri Vibrio harveyi
pada udang windu.
Perlakuan D (290,25 ppm) merupakan perlakuan yang menunjukkan hasil
terbaik. Pada perlakuan D udang windu memiliki tingkat kelangsungan hidup
tertinggi yaitu sebesar 51,7% (Gambar 23). Perubahan gejala klinis udang windu
menuju normal terlihat lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut
50
terlihat di hari pengamatan ke-3. Pergerakan udang windu terlihat aktif dan
responsif ketika diberi pakan. Pada hari ke-4, 85% udang aktif berenang di kolom
air.
Perubahan morfologi menuju kondisi normal sudah terlihat pada
pengamatan hari ke-3. Perubahan tersebut meliputi warna tubuh udang dari
kemerahan menjadi putih, hepatopankreas dari coklat kehitaman menjadi coklat
kekuningan. Selain itu, pada hari ke-3 mortalitas udang windu sangat rendah
dibandingkan perlakuan lainnya hanya 1 ekor yang mati (Tabel 8). Hal tersebut
menunjukan bahwa ekstrak ascidian Didemnum molle pada konsentrasi
290,25 ppm, relatif efektif dan aman digunakan untuk mengobati udang windu
yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.
Perlakuan E (387 ppm) menunjukan tingkat kelangsungan hidup lebih
rendah dibandingkan perlakuan C (193,5 ppm) dan D (290,25 ppm) yaitu sebesar
35%. Mortalitas udang windu cukup tinggi selama masa pengamatan hari ke-1
hingga hari ke-4, hampir sama dengan perlakuan A (kontrol). Namun gejala klinis
udang windu sudah hilang pada pengamatan hari ke-4, lebih cepat dibandingkan
udang pada perlakuan kontrol.
Pada perlakuan E (387 ppm) ekstrak dapat mengobati infeksi bakteri
Vibrio harveyi, namun pada konsentrasi tersebut diduga bahan aktif yang
terkandung terlalu tinggi sehingga bersifat toksik bagi udang windu. Konsentrasi
ekstrak yang tinggi mengakibatkan kandungan bahan aktif yang bersifat racun
juga tinggi, salah satunya adalah saponin. Saponin dalam ekstrak ditunjukkan
dengan terbentuknya busa pada konsentrasi 387 ppm dan menurut Harborne
(1987), adanya saponin dalam ekstrak ditunjukan dengan terbentuknya busa.
Kandungan saponin yang tinggi bersifat racun bagi hewan berdarah dingin. Selain
akibat infeksi bakteri Vibrio harveyi, tingginya mortalitas larva udang windu pada
perlakuan E juga disebabkan oleh konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle
yang tinggi.
Keefektivan ekstrak ascidian Didemnum molle dalam mengobati udang
windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi dipengaruhi oleh besarnya
konsentrasi ekstrak. Karena besarnya konsentrasi berhubungan dengan kuantitas
51
kandungan metabolit sekunder yang menjadi bahan aktif antibakteri dalam
ekstrak. Semakin rendah konsentrasi ekstrak menyebabkan proses pengobatan
kurang efektif, namun bila konsentrasi ekstrak terlalu tinggi, metabolit sekunder
yang terkandung bersifat toksik bagi biota uji.
Metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak ascidian Didemnum
molle berperan secara langsung terhadap bakteri Vibrio harvereyi. Menurut
Robinson tahun 1995 senyawa alkaloid dan saponin merupakan senyawa yang
berkhasiat sebagai antibakteri. Alkaloid diketahui keaktifan biologisnya yang
disebabkan gugus basa (nitrogen). Gugus basa bila mengalami kontak dengan
bakteri akan bereaksi dengan senyawa-senyawa asam amino yang menyusun
dinding sel dan DNA bakteri. Akibatnya terjadi perubahan komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk
sempurna. Kerusakan pada DNA bakteri mengakibatkan terganggunya
metabolisme bakteri.
Menurut Rheinheimer tahun 1985 dalam Hidayat tahun 2011 salah satu
akibat infeksi dari Vibrio harveyi yaitu rusaknya lapisan kutikula yang
mengandung kitin akibat enzim kitinase. Vibrio diketahui memiliki enzim
kitinase, lipase dan protease. Ekstrak ascidian Didemnum molle berperan dalam
mengganggu proses metabolisme pada bakteri. Bila metabolisme sel bakteri
terganggu maka dapat menghambat proses sintesis enzim. Akibatnya, bakteri
tidak dapat menginfeksi udang windu lebih lanjut.
Saponin dalam ekstrak dapat mengganggu stabilitas membran sel bakteri
sehingga membran sel bakteri rusak. Bila membran sel rusak, sel bakteri dapat
mengalami lisis (Ganiswarna 1995). Semakin banyak sel bakteri yang mengalami
lisis akan mengurangi kepadatan sel bakteri dalam tubuh udang. Akibatnya,
patogenitas bakteri berkurang.
Keberhasilan dari pemeliharaan udang windu selain bebas dari penyakit
ditentukan juga oleh keadaan lingkungannya. Keadaan lingkungan diusahakan
sesuai dengan habitat alami dari udang windu. Untuk itu dalam penelitian ini
dilakukan pengamatan dan kontrol terhadap kualitas air yang meliputi salinitas,
suhu, kandungan oksigen terlarut dan pH. Kondisi media pemeliharaan selama
52
penelitian berada dalam keadaan terkontrol. Pengukuran dilakukan pada awal,
tengah dan akhir percobaan. Data kualitas air yang meliputi suhu, salinitas,
kandungan oksigen terlarut (DO) dan tingkat keasaman (pH) dalam penelitian
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Parameter Kualitas Air Selama Uji In Vivo
Perlakuan
Parameter Fisik
Suhu (C) Salinitas
(0/00)
DO (mg/L) pH
I II III I II III I II III I II III
A1 27 26 29 32 34 34 6,4 6,9 7,0 6,5 7,1 7,6
A2 28 29 29 32 34 34 6,8 5,5 6,9 6,4 7,3 7,6
B1 26 26 27 32 32 31 8,9 6,5 7,6 6,5 7,1 7,5
B2 27 28 27 32 31 31 8,7 6,6 7,7 6,4 7,1 7,6
C1 27 27 27 32 30 33 7,7 6,8 7,5 6,5 7,2 7,6
C2 27 28 28 33 34 34 7,3 6,5 7,2 6,5 7,3 7,6
D1 26 26 26 32 31 31 7,8 6,8 7,8 6,3 7,2 7,6
D2 26 26 26 33 31 31 8,1 6,6 7,6 6,9 7,3 7,6
E1 26 26 26 33 31 31 7,9 5,9 7,8 6,8 7,3 7,5
E2 29 27 27 33 34 33 7,5 6,6 7,5 6,9 7,3 7,6
Kualitas air selama masa pengamatan yaitu dengan kisaran suhu
26 - 29C, salinitas 30 ppm – 34 ppm, oksigen terlarut (DO) 6,4 mg/L – 8,9 mg/L
dan pH 6,3 – 7,6. Menurut Amri 2003 untuk pertumbuhan yang optimum udang
windu memerlukan suhu 25 - 30C, DO 4 – 8 mg/L, salinitas 15 0/00 – 30
0/00 dan
pH 6-9. Bila dibandingkan, parameter kualitas air selama masa penelitian masih
berada dalam keadaan terkontrol dan masih memenuhi persyaratan optimum
untuk budidaya udang windu. Dengan demikian, parameter kualitas air pada saat
penelitian secara umum tidak berpengaruh terhadap kematian udang windu
sehingga kematian udang windu disebabkan oleh faktor perlakuan saja.