19
34 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan Sampel Ascidian Didemnum molle Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Maret 2013 di perairan Kepulauan Seribu meliputi wilayah Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Semak Daun. Ketiga perairan tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dilihat dari parameter fisika dan kimia yang diukur (Lampiran 3) sehingga tidak menyebabkan perbedaan kandungan metabolit sekunder. Karena menurut Murniasih pada tahun 2005 lingkungan laut sangat mempengaruhi keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan biotanya. Ascidian Didemnum molle ditemukan pada kedalaman 2 meter hingga 10 meter, hidup pada substrat yang keras seperti karang massive dan tiang pancang dermaga. Pada kedalaman 2 meter ukuran ascidian Didemnum molle yang ditemukan berkisar 1 cm hingga 5 cm sedangkan pada kedalaman 10 meter ukurannya berkisar antara 10 cm hingga 15 cm. Sehingga untuk pengambilan sampel sebaiknya dilakukan pada kedalaman 10 meter. Sampel yang diperoleh dari ketiga lokasi memiliki kisaran ukuran 5 cm hingga 15 cm. Sampel dikumpulkan sebanyak 3,5 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Ascidian Didemnum molle akan terus menerus mengeluarkan lendir ketika dikeluarkan dari dalam air laut, hal ini merupakan bentuk pertahanan diri dari ascidian Didemnum molle. Ascidian Didemnum molle segera dimasukkan ke dalam coolbox berisi es batu untuk meminimalisir aktivitas mikroba yang akan menyebabkan pembusukan sehingga sampel tetap segar hingga penanganan selanjutnya. Sampel dibuat ke dalam bentuk sediaan kering (simplisia), tujuannya untuk mengurangi kadar air dan terjadinya pertumbuhan mikroba selama masa penyimpanan sehingga sampel bisa bertahan dalam waktu yang lama. Ascidian Didemnum molle yang sudah kering berbentuk tipis berwarna coklat (Gambar 16). Serbuk dari Didemnum molle berwarna coklat dengan berat 247 gram.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090036_4_1709.pdf · Lieberman Burchard asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi

  • Upload
    buidien

  • View
    217

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengambilan Sampel Ascidian Didemnum molle

Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Maret 2013 di perairan

Kepulauan Seribu meliputi wilayah Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau

Semak Daun. Ketiga perairan tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh

berbeda dilihat dari parameter fisika dan kimia yang diukur (Lampiran 3)

sehingga tidak menyebabkan perbedaan kandungan metabolit sekunder. Karena

menurut Murniasih pada tahun 2005 lingkungan laut sangat mempengaruhi

keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan biotanya.

Ascidian Didemnum molle ditemukan pada kedalaman 2 meter hingga 10

meter, hidup pada substrat yang keras seperti karang massive dan tiang pancang

dermaga. Pada kedalaman 2 meter ukuran ascidian Didemnum molle yang

ditemukan berkisar 1 cm hingga 5 cm sedangkan pada kedalaman 10 meter

ukurannya berkisar antara 10 cm hingga 15 cm. Sehingga untuk pengambilan

sampel sebaiknya dilakukan pada kedalaman 10 meter.

Sampel yang diperoleh dari ketiga lokasi memiliki kisaran ukuran 5 cm

hingga 15 cm. Sampel dikumpulkan sebanyak 3,5 kg dan dimasukkan ke dalam

kantong plastik. Ascidian Didemnum molle akan terus menerus mengeluarkan

lendir ketika dikeluarkan dari dalam air laut, hal ini merupakan bentuk pertahanan

diri dari ascidian Didemnum molle. Ascidian Didemnum molle segera dimasukkan

ke dalam coolbox berisi es batu untuk meminimalisir aktivitas mikroba yang akan

menyebabkan pembusukan sehingga sampel tetap segar hingga penanganan

selanjutnya.

Sampel dibuat ke dalam bentuk sediaan kering (simplisia), tujuannya

untuk mengurangi kadar air dan terjadinya pertumbuhan mikroba selama masa

penyimpanan sehingga sampel bisa bertahan dalam waktu yang lama. Ascidian

Didemnum molle yang sudah kering berbentuk tipis berwarna coklat (Gambar 16).

Serbuk dari Didemnum molle berwarna coklat dengan berat 247 gram.

35

Gambar 16. Bentuk dan Warna Ascidian Didemnum molle sebelum

dikeringkan (kiri) dan setelah dikeringkan (kanan)

4.2. Identifikasi Metabolit Sekunder Ascidian Didemnum molle

Identifikasi metabolit sekunder dengan metode uji fitokimia dilakukan

untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam suatu bahan

secara kualitatif. Dilakukan lima uji metabolit sekunder diantaranya uji alkaloid,

uji flavonoid, uji triterpenoid, uji steroid dan uji saponin. Hasilnya, ascidian

Didemnum molle positif mengandung alkaloid, steroid dan saponin (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Didemnum molle

Metabolit Sekunder Hasil Keterangan

Alkaloid Positif Endapan putih

Flavonoid Negatif Warna kuning

Triterpenoid Negatif Warna hijau kebiruan

Steroid Positif Warna hijau kebiruan

Saponin Positif Terbentuk busa

Dari Tabel 4, hasil positif alkaloid ditunjukkan dengan adanya endapan

putih pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer (HgCl2 + KI). Warna

larutan berubah dari bening menjadi keruh dan terbentuk endapan putih (Gambar

17a). Diperkirakan bahwa endapan putih tersebut merupakan kompleks kalium-

alkaloid. Alkaloid mengandung atom nitrogen dan bersifat basa sehingga untuk

mengekstraknya dibutuhkan penambahan asam sulfat. Atom nitrogen pada

36

alkaloid mempunyai pasangan elektron bebas dan akan bereaksi dengan ion logam

K+ dari pereaksi Mayer (McMurry 2004). Alkaloid pada umumnya berbentuk

kristal yang disebut dengan garam-garam alkaloid.

Pada uji alkaloid dengan pereaksi Wagner ditandai dengan terbentuknya

endapan cokelat muda hingga kekuningan (Gambar 17b). Perekasi Wagner terdiri

dari kalium iodida (KI) dan iodin (I2) sehingga ketika iodine bereaksi dengan I-

dari kalium iodide menghasilkan I3- yang berwarna cokelat. Pada uji Wagner, ion

logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada

alkaloid dan membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.

Gambar 17a. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Alkaloid

dengan Pereaksi Meyer

Gambar 17b. Ascian Didemnum molle Positif Mengandung Alkaloid dengan

Pereaksi Wagner

Hasil positif steroid ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna

menjadi hijau biru sesuai dengan pernyataan Harborne tahun 1987. Pereaksi

Lieberman Burchard asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi dan

menghasilkan warna hijau biru (Gambar 18). Reaksi yang terjadi antara steroid

37

dengan asam asetat anhidrat adalah reaksi asetilasi gugus –OH pada steroid yang

akan menghasilkan kompleks asetil steroid. Penambahan asam sulfat pekat

bertujuan untuk mendestruksi kompleks asetil steroid.

Gambar 18. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Steroid

Hasil positif saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa. Saponin

merupakan suatu glikosida dengan gugus hidroksil pada molekulnya. Saponin

mempunyai sifat seperti sabun ketika dilarutkan ke dalam air yaitu akan

membentuk busa. Gugus hidrofil dan hidrofob bertindak sebagai permukaan aktif

dalam pembentukan busa. Saponin bersifat polar dan dapat larut dalam air karena

adanya gugus hidrofil (OH) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan

molekul air. Busa yang dihasilkan diuji kestabilannya dengan penambahan HCl .

Hasilnya busa tetap stabil selama 10 menit ketika ditambahkan HCl (Gambar 19).

Hal ini menandakan bahwa di dalam ascidian Didemnum molle terkandung

senyawa saponin.

Gambar 19. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Saponin

38

Berdasarkan penelitian Arlyza pada tahun 2008 dan Aulia pada tahun

2011 tahun ditemukan kesamaan metabolit sekunder pada sampel ascidian

Didemnum molle yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu yaitu alkaloid.

Alkaloid merupakan salah satu senyawa yang khas dari ascidian. Kurang lebih

sebanyak 300 struktur senyawa alkaloid telah berhasil diisolasi (Menna 2011).

Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ascidian Didemnum molle

seperti saponin dan alkaloid masuk ke dalam golongan senyawa polar. Menurut

Arlyza tahun 2008 golongan senyawa polar yang diekstraksi dengan

menggunakan pelarut metanol memiliki kemampuan sebagai antibakteri.

4.3 Ekstraksi Ascidian Didemnum molle

Ekstraksi simplisia ascidian Didemnum molle dilakukan dengan metode

maserasi atau perendaman. Simplisia direndam dengan pelarut metanol. Metanol

merupakan pelarut organik yang mampu mengekstrak total senyawa metabolit

sekunder. Proses perendaman dilakukan selama 1x24 jam dengan perbandingan

antara sampel dan pelarut 1:5 dalam penelitian ini digunakan 247 gram serbuk

ascidian Didemnum molle. Untuk mengekstrak seluruh senyawa metabolit yang

terkandung dalam ascidian Didemnum molle dibutuhkan pengulangan perendaman

atau penggantian pelarut. Pada perendaman pertama, pelarut kemungkinan sudah

jenuh sehingga tidak mampu untuk mengekstrak senyawa metabolit sekunder

yang diharapkan. Pengulangan perendaman dihentikan ketika filtrat menunjukkan

warna asli pelarut metanol yaitu bening (Lampiran 4). Pada ascidian Didemnum

molle dibutuhkan pengulangan hingga 5 kali agar seluruh metabolit sekunder yang

ada dalam simplisia dapat terekstrak.

Warna pada pelarut menandakan adanya kandungan metabolit sekunder

pada simplisia. Hasil dari perendaman pertama diperoleh larutan atau filtrat

berwarna hijau tua yang sangat pekat kemudian pada perendaman berikutnya

warna filtrat berangsur-angsur berkurang kepekatannya hingga berwarna kuning

bening (Lampiran 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa metabolit

sekunder dalam simplisia sudah terekstrak dalam metanol. Warna hijau yang

didapat merupakan warna dari mikroalga yang bersimbiosis dalam jaringan

39

ascidian Didemnum molle yaitu Prochloron. Menurut Hirose pada tahun 2004

Prochloron merupakan alga hijau biru atau cyanophyta yang memiliki klorofil a

dan b.

Filtrat yang telah diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan alat

rotary vacuum evaporator hingga terbentuk esktrak padat. Suhu yang digunakan

untuk menguapkan pelarut metanol adalah 43C. Hal ini untuk menjaga senyawa

metabolit sekunder agar tidak rusak. Karena senyawa metabolit sekunder pada

umumnya dapat rusak dalam suhu tinggi.

Pada saat proses pemekatan ekstrak, filtrat akan berbuih atau berbusa

ketika keadaan vakum. Busa tersebut disebakan oleh saponin yang terkandung

didalamnya. Sesuai dengan pernyataan Harborne pada tahun 1987 bahwa dalam

memekatkan ekstrak yang mengandung saponin akan terjadi pembentukan busa

sehingga sangat sukar untuk memekatkan ekstrak yang mengandung saponin.

Ekstrak yang dihasilkan berbentuk pasta berwarna hijau pekat dan berbau agak

amis (Lampiran 4). Ekstrak yang terbentuk sebanyak 26,5 gram dengan rendemen

sebesar 10,37%. Ekstrak yang berbentuk pasta ini selanjutnya dilarutkan

menggunakan akuades untuk membuat konsentrasi yang akan digunakan pada uji

aktivitas antibakteri dengan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm,

10.000 ppm dan 100.000 ppm (Lampiran 5).

4.4 Uji In Vitro Zona Daya Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle

Uji in vitro ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap bakteri

Vibrio harveyi memperlihatkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas sebagai

antibakteri. Adanya aktivitas antibakteri tersebut ditunjukkan dengan

terbentuknya zona daya hambat disekitar paper disc (Lampiran 6). Ekstrak

ascidian Didemnum molle mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Vibrio harveyi.

Pada Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata diameter zona hambat berkisar antara

8 – 11,3 mm. Mengacu pada Davis dan Stout (1971), aktivitas senyawa

antibakteri yang terkandung dalam Didemnum molle memiliki aktivitas yang

sedang hingga kuat karena berada pada kisaran diameter zona hambat sebesar 5-

40

10 mm dan 10 - 20 mm. Aktivitas antibakteri dari ekstrak Didemnum molle tidak

lebih besar dibandingkan dengan kontrol positifnya yaitu antibiotik kloramfenikol

sebesar 30 ppm. Hal tersebut dikarenakan kloramfenikol merupakan senyawa

murni.

Tabel 5. Diameter Zona Daya Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle

terhadap Bakteri Vibrio harveyi dalam Waktu Inkubasi 24 jam

Konsentrasi

(ppm)

Diameter Zona Hambat (mm) Rata-Rata

(mm) I II III

*Kontrol - 0 0 0 0

*Kontrol + 17,1 15,6 15,3 16

10 7,7 8,4 8,1 8,0

100 9,5 7,5 8,6 8,5

1000 10,1 10,1 13,1 11,1

10000 10,1 10,3 12,6 11,0

100000 10,8 11,8 11,4 11,3

*Keterangan : Ukuran paper disc 7 mm, (-) akuades, (+) kloramfenikol

Berdasarkan hasil pengamatan, ekstrak dari Didemnum molle diameter

zona daya hambat terbesar ditunjukan oleh konsentrasi 100.000 ppm yaitu

11,3 mm dan terendah adalah 10 ppm yaitu 8 mm. Sementara itu, tidak terdapat

perbedaan diameter zona hambat yang signifikan antara konsentrasi 1000 ppm,

10.000 ppm dan 100.000 ppm (Gambar 20).

Secara visual zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 10 ppm hingga

10.000 ppm tidak jernih atau masih terdapat beberapa koloni bakteri. Zona hambat

terlihat sangat jelas pada konsentrasi 100.000 ppm dimana tidak terlihat koloni

bakteri tumbuh di dalamnya (Lampiran 6). Pada perlakuan kontrol positif zona

hambat yang terbentuk sangat jernih. Zona hambat yang terlihat bersih disebut

dengan zona hambat radikal dimana sama sekali tidak terdapat adanya

pertumbuhan bakteri sedangkan zona hambat yang ditumbuhi bakteri disebut

dengan zona hambat iradikal karena pada daerah tersebut pertumbuhan bakteri

dihambat namun tidak sampai mati (Sulistyawati 2009).

41

Gambar 20. Grafik Rata-rata Diameter Zona Hambat Ekstrak Ascidian

Didemnum molle terhadap Bakteri Vibrio harveyi

Antibakteri dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik dan bakteriosidal.

Bakteriostatik yaitu kemampuan antibakteri dalam menghambat pertumbuhan

bakteri, tetapi tidak sampai membunuh bakteri. Bakterisidal yaitu antibakteri

memiliki kemapuan untuk membunuh bakteri (Brooks et al. 2005). Cara kerja

antibakteri secara umum yaitu menyebabkan kerusakan dinding sel, mengubah

permeabilitas sel, mengubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat

kerja enzim serta menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan

Chan 2005).

Aktivitas antibakteri dari Didemnum molle bersifat bakteriostatik karena

zona daya hambat yang terbentuk pada hampir seluruh perlakuan masih terlihat

adanya koloni bakteri yang tumbuh. Ekstrak yang dibuat dalam penelitian

merupakan ekstrak kasar dimana masih banyak terdapat beberapa komponen

kimia yang tidak dibutuhkan seperti lipid dan pigmen yang terekstrak oleh pelarut

metanol. Hal tersebut menurunkan kemurnian dari senyawa antibakteri.

Aktivitas antibakteri disebabkan oleh kandungan bahan alam yang ada di

dalam ekstrak. Hasil uji fitokimia, ascidian Didemnum molle mengandung

senyawa metabolit sekunder alkaloid, steroid dan saponin. Keberadaan metabolit

sekunder digunakan hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan

0

16

8 8,5

11,1 11 11,3

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18D

iam

eter

Zon

a H

ambat

(m

m)

Konsentrasi Ekstrak (ppm)

42

hidupnya, contoh : toksin, antibiotik, antijamur, antivirus, antibodi dan lainnya

(Sunarminingsih 2002). Sifat bioaktif yang paling banyak ditemukan pada

metabolit sekunder adalah antibiotik. Alkaloid dapat menghambat pertumbuhan

mikroba karena kemampuannya dalam menghambat sisntesis dinding sel dan

DNA. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas

membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis dan keluarnya

berbagai komponen penting dari dalam sel seperti protein, asam nukleat dan

nukleotida (Ganiswarna 1995).

Aktivitas senyawa antibakteri juga dipengaruhi oleh respon dari bakteri.

Respon setiap bakteri terhadap senyawa antibakteri berbeda-beda. Menurut

Morin et al. pada tahun 1982 dalam Trianto pada tahun 2004, bakteri Vibrio

merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai kandungan peptidoglikan yang

dapat menentukan bentuk sel serta memberikan kekakuan yang dibutuhkan untuk

melindungi sel dari perobekan osmotik. Sementara itu, dengan adanya senyawa

metabolit sekunder dalam ekstrak maka pembentukan dinding sel bakteri menjadi

terganggu. Akibatnya Vibrio tidak mampu mereplikasi diri dan tumbuh dalam

media agar.

4.5 Uji LC50 Ekstrak Didemnum molle terhadap Udang Windu

Salah satu ciri-ciri antibakteri yang baik menurut Pelczar dan Chan tahun

2005 adalah tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan. Maka, uji LC50

bertujuan untuk mengetahui batas toleransi udang windu terhadap ekstrak ascidian

Didemnum molle dan untuk melihat sejauh mana toksisitasnya. Salah satu faktor

yang mempengaruhi taraf toksisitas adalah besar konsentrasi dari bahan yang akan

diuji. Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak ascidian Didemnum

molle konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm, 10.000 ppm dan 100.000 ppm

menunjukkan potensi sebagai antibakteri. Pembuatan konsentrasi ekstrak yang

digunakan dalam uji LC50 disajikan dalam Lampiran 7.

Hasil pengamatan uji LC50 yang dilakukan selama 48 jam memberikan hasil

kelangsungan hidup dan mortalitas larva udang windu yang berbeda-beda

(Lampiran 8). Jumlah udang windu tiap perlakuan sebanyak 6 ekor. Pada

43

konsentrasi 10.000 ppm seluruh udang windu mati dengan lama perendaman 6

jam. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya bahan aktif yang bersifat toksik salah

satunya saponin yang bersifat racun bagi hewan berdarah dingin. Saponin ditandai

dengan terbentuknya busa ketika diberi aerasi (Gambar 21).

Pada konsentrasi 1.000 ppm mortalitas udang cukup tinggi yaitu sebanyak 4

ekor pada pengulangan pertama,pada pengulangan kedua seluruh udang windu

mati. Sementara itu, kelangsungan hidup larva udang windu yang tinggi terlihat

pada konsentrasi 10 ppm dan 100 ppm. Pada konsentrasi 10 ppm tidak ada udang

windu yang mati, pada konsentrasi 100 ppm hanya 1 udang yang mati yaitu pada

pengulangan kedua. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak ascidian

Didemnum molle, tingkat mortalitas udang pun semakin tinggi.

Gambar 21. Tingginya Kandungan Saponin yang Ditandai dengan

Terbentuknya Busa pada Konsentrasi 10.000 ppm

Hasil analisis uji LC50 dengan program EPA Probit 1.5 memberikan nilai

konsentrasi sebesar 387 ppm dengan konsentrasi ambang bawah sebesar 180,124

ppm dan konsentrasi ambang atas sebesar 810,578 ppm (Lampiran 9). Hal ini

menandakan bahwa dengan konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle sebesar

387 ppm dapat menyebabkan kematian larva udang windu sebanyak 50% dalam

waktu 48 jam. Untuk itu, konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle yang

aman digunakan untuk udang windu berada di bawah konsentrasi 387 ppm.

44

4.6. Hasil Uji In Vivo Udang Windu yang Terinfeksi Bakteri Vibrio harveyi

4.6.1. Hasil Pengamatan Gejala Klinis Udang Windu

Pengamatan gejala klinis pada uji in vivo dilakukan setelah penginfeksian

hingga pengobatan menggunakan ekstrak. Tujuannya untuk melihat pengaruh

ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap pengobatan udang windu.

Pengamatan yang dilakukan meliputi perubahan morfologi udang (pengamatan

warna tubuh, hepatopankreas, nekrosis) dan tingkah laku (pergerakan dan respon

terhadap pakan).

Gejala klinis udang windu terinfeksi bakteri Vibrio harveyi terlihat 1 jam

setelah perendaman dalam larutan bakteri kepadatan 106 CFU/mL. Gejala klinis

awal yang terlihat adalah udang terlihat stres dan gerakan renang tidak normal.

Gerakan udang melemah dan diam di dasar akuarium. Pada tubuh udang terjadi

perubahan warna tubuh dari berwarna putih menjadi kemerahan. Perubahan

hepatopankreas dari coklat kekuningan menjadi coklat kehitaman terlihat 24 jam

setelah diinfeksi (Gambar 22).

Gambar 22. Hepatopankreas Larva Udang yang Normal (a) dan

Hepatopankreas Larva Udang yang Terinfeksi (b)

Gejala klinis yang terlihat dalam uji in vivo sesuai dengan pernyataan

Maryani (2003) bahwa udang yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi menunjukan

perubahan morfologi dan tingkah laku. Perubahan yang terlihat diantaranya

gerakan renang tidak normal, udang diam di dasar, bentuk badan melengkung

45

melebihi normal, aktivitas makan menurun, ekor berwarna kemerahan dan

hepatopankreas berwarna cokelat kehitaman.

Setelah penginfeksian, gejala klinis yang terlihat pada tiap perlakuan

hampir sama. Namun terjadi perubahan gejala klinis ketika udang windu yang

terinfeksi diberi perlakuan perendaman ekstrak. Pengamatan gejala klinis udang

windu setelah diberi perlakuan perendaman ekstrak dilakukan selama 7 hari.

Pengamatan terhadap pergerakan udang disajikan dalam Tabel 6 dan respon

udang terhadap pakan disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 6. Pengamatan Pergerakan Larva Udang Windu pada Uji In Vivo

Ekstrak Ascidian Didemnum molle

Hari Ke-

Konsentrasi Ekstrak Ascidian Didemnum molle

A

Kontrol

B

96,75 ppm

C

193,50 ppm

D

290,25 ppm

E

387,00 ppm

1-2 + + + + +

3-5 + ++ ++ +++ ++

6-7 ++ ++ +++ +++ +++

Keterangan :

+ : abnormal

++ : diam di dasar

+++ : aktif berenang

Tabel 7. Pengamatan Respon Larva Udang Windu terhadap Pemberian

Pakan pada Uji In Vivo Ekstrak Ascidian Didemnum molle

Hari Ke-

Konsentrasi Ekstrak Ascidian Didemnum molle

A

Kontrol

B

96,75 ppm

C

193,50 ppm

D

290,25 ppm

E

387,00 ppm

1-2 + + + + +

3-5 + + ++ +++ ++

6-7 ++ ++ +++ +++ +++

Keterangan :

+ : tidak responsif

++ : kurang responsif

+++ : responsif

46

4.6.2. Hasil Pengamatan Mortalitas dan Tingkat Kelangsungan Larva

Udang Windu

Setelah gejala klinis terlihat, udang windu direndam dalam ekstrak sesuai

dengan perlakuan yaitu, perlakuan A (tanpa ekstrak), B 96,75 ppm (25% dari

LC50), C 193,5 % (50% dari LC50), D 290,25 ppm (75% dari LC50) dan E 387

ppm (100% dari LC50) selama 15 menit untuk dilakukan pengobatan. Udang yang

sudah diberi perlakuan dikembalikan ke dalam akuarium pemeliharaan kemudian

dilakukan pengamatan terhadap mortalitas dan tingkat kelangsungan hidup udang

windu selama 7 hari untuk melihat efektivitas dari pengobatan menggunakan

ekstrak ascidian Didemnum molle. Hasil pengamatan mortalitas dan tingkat

kelangsungan hidup disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Mortalitas Tingkat dan Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu

Setelah Pengobatan dengan Ekstrak Ascidian Didemnum molle

Perlakuan

Jumlah

Udang

Di

Awal

Mortalitas Udang Windu Hari Ke-

(ekor)

Jumlah

Udang

Di

Akhir

Kelangsungan

Hidup

(%)

Rata-

Rata

(%) 1 2 3 4 5 6 7

A1 30 12 10 2 1 0 0 0 5 16,7 21,7

A2 30 8 12 1 1 0 0 0 8 26,7

B1 30 6 15 2 2 0 0 0 5 16,7 33,4

B2 30 2 10 1 2 0 0 0 15 50

C1 30 3 9 2 0 0 0 0 16 53,3 41,7

C2 30 7 11 1 2 0 0 0 9 30

D1 30 2 7 3 1 0 0 0 17 56,7 51,7

D2 30 4 9 3 0 0 0 0 14 46,7

E1 30 4 3 6 3 0 0 0 14 46,7 35

E2 30 10 10 3 0 0 0 0 7 23,3

Pada Tabel 8, terlihat bahwa mortalitas larva udang windu pada seluruh

perlakuan mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4 dan pada hari ke-5 sudah

tidak terjadi mortalitas. Mortalitas tertinggi terjadi di hari ke-2 masa pengamatan

pada seluruh perlakuan. Perlakuan D (290,25 ppm) memberikan tingkat

kelangsungan hidup tertinggi, sedangkan perlakuan A (tanpa ekstrak) memberikan

tingkat kelangsungan hidup terendah.

47

Pada Tabel 8 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup larva udang

windu yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan larva udang windu tanpa

pemberian ekstrak (kontrol). Hal tersebut memperlihatkan bahwa antibakteri yang

terkandung dalam ekstrak ascidian Didemnum molle berperan dalam pengobatan

udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi walaupun berada pada

kategori sedang. Berdasarkan uji diameter zona daya hambat, ekstrak ascidian

Didemnum molle pada konsentrasi 100 ppm menghasilkan diameter 8,5 mm,

menurut Davis dan Stout (1971) aktivitas antibakteri dikategorikan sedang bila

diameter zona daya hambat yang terbentuk berada pada kisaran 5 - 10 mm.

Semakin tinggi konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle memberikan

tingkat kelangsungan hidup yang semakin tinggi sampai batas perlakuan D

(290,25 ppm). Diatas konsentrasi 290,25 ppm yaitu pada perlakuan E (387 ppm),

kelangsungan hidup larva udang windu mengalami penurunan (Gambar 23).

Terjadinya hal tersebut dikarenakan ekstrak pada konsentrasi 387 ppm justru

bersifat toksik bagi hewan uji. Sifat toksik pada ekstrak disebabkan kandungan

bahan aktif yang tinggi.

.

Gambar 23. Grafik Rata-Rata Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Windu

Setelah Pengobatan dengan Ekstrak Ascidian Didemnum molle

21,7

33,4

41,7

51,7

35

0

10

20

30

40

50

60

0 96,75 193,5 290,25 387

Tin

gkat

Kel

ang

sun

gan

Hid

up

(%

)

Perlakuan (ppm)

48

Pada perlakuan A (kontrol) atau tanpa perendaman ekstrak, tingkat

kelangsungan hidupnya sangat rendah yaitu sebesar 21,7%. Pergerakan udang

windu pada perlakuan kontrol cenderung pasif dengan gerakan renang yang tidak

normal. Hari ke-6 dan ke-7 masa pengamatan pada Tabel 6, udang mulai aktif

bergerak namun 70% udang masih diam didasar. Respon udang terhadap pakan

sangat rendah, terlihat dari banyaknya sisa pakan pada perlakuan A (Tabel 7).

Vibrio harveyi diketahui menyerang saluran pencernaan udang, hal inilah yang

menyebabkan respon udang terhadap pakan menjadi rendah. Akibatnya

metabolisme udang windu terganggu dan daya tahan tubuh udang menurun.

Morfologi udang yang terlihat pada perlakuan A (kontrol) adalah warna

tubuh terlihat merah pada pengamatan hari ke-1 hingga hari ke-4, warna tubuh

kembali normal di hari ke-5. Hepatopankreas udang terlihat berwarna coklat

kehitaman pasca penginfeksian, perubahan menuju normal terjadi di hari ke-6

yaitu berwarna coklat kekuningan. Selain itu, pada perlakuan kontrol terlihat

adaya nekrosis di ujung ekor udang (Gambar 24).

Gambar 24. Ekor Udang Normal (kiri) dan Nekrosis pada Ekor Udang

Windu (kanan)

Pada perlakuan kontrol udang windu masih mampu bertahan hidup

walaupun tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Udang windu kembali pada

keadaan normal di hari ke-6 masa pengamatan. Sejalan dengan pernyataan

Maftuch tahun 2009, udang yang terserang penyakit pada kenyataannya masih

49

mampu untuk bertahan hidup dan tumbuh normal. Udang windu secara alami

memiliki sistem pertahanan tubuh non spesifik yang dijalankan oleh hemosit,

namun sistem pertahanan tubuh udang perlu diaktifkan dengan imunostimulan

agar dapat melawan patogen. Selain itu, kekebalan tubuh udang windu dalam

stadia larva masih lemah. Hal tersebutlah yang menyebabkan proses pemulihan

pada udang cukup lama dan menyebabkan kematian yang tinggi pada larva.

Pemberian ekstrak ascidian Didemnum molle dapat memberikan tingkat

kelangsungan hidup yang tinggi bagi larva udang windu dan terjadi pemulihan

yang lebih cepat dibandingkan dengan tanpa pemberian ekstrak.

Perlakuan B (96,75 ppm) dan C (193,5 ppm) menunjukkan tingkat

kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A (tanpa ekstrak)

yaitu berturut-turut sebesar 33,4% dan 41,7% (Gambar 23). Rata-rata udang mulai

memperlihatkan perubahan gejala klinis menuju normal pada pengamatan hari

ke-6. Sebagian besar udang mulai aktif bergerak di kolom air dan terlihat

responsif terhadap pakan yang diberikan (Tabel 6). Udang pada perlakuan B

(96,75 ppm) dan C (193,5 ppm) menunjukan perubahan morfologi menuju normal

pada pengamatan hari ke-4 yaitu 75% warna tubuh udang windu dari kemerahan

menjadi putih. Hepatopankreas udang berangsur-angsur menjadi coklat

kekuningan.

Perubahan gejala klinis udang windu menuju normal pada perlakuan B dan

C lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol, namun mortalitasnya masih cukup

tinggi bila dibandingkan perlakuan D. Hal ini menandakan bahwa ekstrak ascidian

Didemnum molle pada konsentrasi 96,75 ppm dan 193,5 ppm berperan terhadap

pengobatan udang windu namun masih belum optimal. Pada ekstrak konsentrasi

96,75 ppm dan 193,5 ppm diduga kandungan bahan aktifnya masih rendah

sehingga kurang efektif untuk menghambat infeksi dari bakteri Vibrio harveyi

pada udang windu.

Perlakuan D (290,25 ppm) merupakan perlakuan yang menunjukkan hasil

terbaik. Pada perlakuan D udang windu memiliki tingkat kelangsungan hidup

tertinggi yaitu sebesar 51,7% (Gambar 23). Perubahan gejala klinis udang windu

menuju normal terlihat lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut

50

terlihat di hari pengamatan ke-3. Pergerakan udang windu terlihat aktif dan

responsif ketika diberi pakan. Pada hari ke-4, 85% udang aktif berenang di kolom

air.

Perubahan morfologi menuju kondisi normal sudah terlihat pada

pengamatan hari ke-3. Perubahan tersebut meliputi warna tubuh udang dari

kemerahan menjadi putih, hepatopankreas dari coklat kehitaman menjadi coklat

kekuningan. Selain itu, pada hari ke-3 mortalitas udang windu sangat rendah

dibandingkan perlakuan lainnya hanya 1 ekor yang mati (Tabel 8). Hal tersebut

menunjukan bahwa ekstrak ascidian Didemnum molle pada konsentrasi

290,25 ppm, relatif efektif dan aman digunakan untuk mengobati udang windu

yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.

Perlakuan E (387 ppm) menunjukan tingkat kelangsungan hidup lebih

rendah dibandingkan perlakuan C (193,5 ppm) dan D (290,25 ppm) yaitu sebesar

35%. Mortalitas udang windu cukup tinggi selama masa pengamatan hari ke-1

hingga hari ke-4, hampir sama dengan perlakuan A (kontrol). Namun gejala klinis

udang windu sudah hilang pada pengamatan hari ke-4, lebih cepat dibandingkan

udang pada perlakuan kontrol.

Pada perlakuan E (387 ppm) ekstrak dapat mengobati infeksi bakteri

Vibrio harveyi, namun pada konsentrasi tersebut diduga bahan aktif yang

terkandung terlalu tinggi sehingga bersifat toksik bagi udang windu. Konsentrasi

ekstrak yang tinggi mengakibatkan kandungan bahan aktif yang bersifat racun

juga tinggi, salah satunya adalah saponin. Saponin dalam ekstrak ditunjukkan

dengan terbentuknya busa pada konsentrasi 387 ppm dan menurut Harborne

(1987), adanya saponin dalam ekstrak ditunjukan dengan terbentuknya busa.

Kandungan saponin yang tinggi bersifat racun bagi hewan berdarah dingin. Selain

akibat infeksi bakteri Vibrio harveyi, tingginya mortalitas larva udang windu pada

perlakuan E juga disebabkan oleh konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle

yang tinggi.

Keefektivan ekstrak ascidian Didemnum molle dalam mengobati udang

windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi dipengaruhi oleh besarnya

konsentrasi ekstrak. Karena besarnya konsentrasi berhubungan dengan kuantitas

51

kandungan metabolit sekunder yang menjadi bahan aktif antibakteri dalam

ekstrak. Semakin rendah konsentrasi ekstrak menyebabkan proses pengobatan

kurang efektif, namun bila konsentrasi ekstrak terlalu tinggi, metabolit sekunder

yang terkandung bersifat toksik bagi biota uji.

Metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak ascidian Didemnum

molle berperan secara langsung terhadap bakteri Vibrio harvereyi. Menurut

Robinson tahun 1995 senyawa alkaloid dan saponin merupakan senyawa yang

berkhasiat sebagai antibakteri. Alkaloid diketahui keaktifan biologisnya yang

disebabkan gugus basa (nitrogen). Gugus basa bila mengalami kontak dengan

bakteri akan bereaksi dengan senyawa-senyawa asam amino yang menyusun

dinding sel dan DNA bakteri. Akibatnya terjadi perubahan komponen penyusun

peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk

sempurna. Kerusakan pada DNA bakteri mengakibatkan terganggunya

metabolisme bakteri.

Menurut Rheinheimer tahun 1985 dalam Hidayat tahun 2011 salah satu

akibat infeksi dari Vibrio harveyi yaitu rusaknya lapisan kutikula yang

mengandung kitin akibat enzim kitinase. Vibrio diketahui memiliki enzim

kitinase, lipase dan protease. Ekstrak ascidian Didemnum molle berperan dalam

mengganggu proses metabolisme pada bakteri. Bila metabolisme sel bakteri

terganggu maka dapat menghambat proses sintesis enzim. Akibatnya, bakteri

tidak dapat menginfeksi udang windu lebih lanjut.

Saponin dalam ekstrak dapat mengganggu stabilitas membran sel bakteri

sehingga membran sel bakteri rusak. Bila membran sel rusak, sel bakteri dapat

mengalami lisis (Ganiswarna 1995). Semakin banyak sel bakteri yang mengalami

lisis akan mengurangi kepadatan sel bakteri dalam tubuh udang. Akibatnya,

patogenitas bakteri berkurang.

Keberhasilan dari pemeliharaan udang windu selain bebas dari penyakit

ditentukan juga oleh keadaan lingkungannya. Keadaan lingkungan diusahakan

sesuai dengan habitat alami dari udang windu. Untuk itu dalam penelitian ini

dilakukan pengamatan dan kontrol terhadap kualitas air yang meliputi salinitas,

suhu, kandungan oksigen terlarut dan pH. Kondisi media pemeliharaan selama

52

penelitian berada dalam keadaan terkontrol. Pengukuran dilakukan pada awal,

tengah dan akhir percobaan. Data kualitas air yang meliputi suhu, salinitas,

kandungan oksigen terlarut (DO) dan tingkat keasaman (pH) dalam penelitian

disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Parameter Kualitas Air Selama Uji In Vivo

Perlakuan

Parameter Fisik

Suhu (C) Salinitas

(0/00)

DO (mg/L) pH

I II III I II III I II III I II III

A1 27 26 29 32 34 34 6,4 6,9 7,0 6,5 7,1 7,6

A2 28 29 29 32 34 34 6,8 5,5 6,9 6,4 7,3 7,6

B1 26 26 27 32 32 31 8,9 6,5 7,6 6,5 7,1 7,5

B2 27 28 27 32 31 31 8,7 6,6 7,7 6,4 7,1 7,6

C1 27 27 27 32 30 33 7,7 6,8 7,5 6,5 7,2 7,6

C2 27 28 28 33 34 34 7,3 6,5 7,2 6,5 7,3 7,6

D1 26 26 26 32 31 31 7,8 6,8 7,8 6,3 7,2 7,6

D2 26 26 26 33 31 31 8,1 6,6 7,6 6,9 7,3 7,6

E1 26 26 26 33 31 31 7,9 5,9 7,8 6,8 7,3 7,5

E2 29 27 27 33 34 33 7,5 6,6 7,5 6,9 7,3 7,6

Kualitas air selama masa pengamatan yaitu dengan kisaran suhu

26 - 29C, salinitas 30 ppm – 34 ppm, oksigen terlarut (DO) 6,4 mg/L – 8,9 mg/L

dan pH 6,3 – 7,6. Menurut Amri 2003 untuk pertumbuhan yang optimum udang

windu memerlukan suhu 25 - 30C, DO 4 – 8 mg/L, salinitas 15 0/00 – 30

0/00 dan

pH 6-9. Bila dibandingkan, parameter kualitas air selama masa penelitian masih

berada dalam keadaan terkontrol dan masih memenuhi persyaratan optimum

untuk budidaya udang windu. Dengan demikian, parameter kualitas air pada saat

penelitian secara umum tidak berpengaruh terhadap kematian udang windu

sehingga kematian udang windu disebabkan oleh faktor perlakuan saja.