Upload
doantuong
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaturan hukum Penyelenggaraan Transparansi Pemerintahan di Kota
Gorontalo menurut Perda No. 3 Tahun 2002
Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2002 dikaji dan dibentuk karena adanya
berbagai tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan Pemerintah yang sifatnya terbuka
utamanya dalam bidang Pembangunan di Kota Gorontalo, sehingga Pemerintah
membentuk aturan yang mengatur tentang Transparansi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Mewujudkan hal itu, atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Gorontalo yang saat itu diketuai Bapak Hj. Adhan Dambea, saat ini
menjabatsebagai Walikota Gorontalo mengajukan Peraturan Daerah tentang
Transparansi yang secara teknis mengatur dan mendesain beberapa aspek yang wajib
disampaikan Pemerintah Kota Gorontalo.
Secara garis besar aspek maupun pengaturan hukum tentang penyelenggaraan
pemerintahan Kota Gorontalo yang tercantum dalam Perda Transparansi meliputi;
1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi)
mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota.
2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan
pembahasan dan penetapan.
3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo.
44
4. Informasi proses pengawasan mencakup obyek yang diawasi sampai hasil-hasil
audit.
5. Proses perjanjian dan kontrak kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing
badan publik.
Perda Transparansi itu sendiri terdiri dari 11 BAB, 40 pasal meliputi :
- Bab I berisi Ketentuan Umum yang terdiri dari 1 pasal dan 18 ayat.
- Bab II berisi Kewajiban dan Hak yang terdiri dari 9 pasal. Pasal 2 mengatur
tentang Kewajiban yang meliputi Informasi, Prosedur, dan Pengambilan
Kebijakan. Pasal 3 dan Pasal 4 berisi Informasi Yang Wajib Diumumkan Secara
Aktif. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 berisi tentang Informasi Yang Wajib Tersedia
Setiap Saat. Pasal 8 yang berisi tentang Informasi Yang Wajib Diumumkan
Secepatnya. Pasal 9 yang berisi tentang Prosedur. Pasal 10 yang berisi tentang
Proses Pengambilan Kebijakan.
- Bab III berisi Hak Masyarakat Terhadap Badan Publik Informasi yang terdiri dari
3 pasal. Pasal 11 dan Pasal 12 yang berisi tentang Prosedur, dan Pasal 13 yang
berisi tentang Pengambilan Kebijakan.
- Bab IV berisi Informasi Yang Dikecualikan yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 14
dan terdiri dari 4 ayat.
- Bab V berisi Komisi Transparansi yang terdiri dari 6 pasal. Pasal 15. Pasal 16
yang berisi tentang Kedudukan. Pasal 17 yang berisi Tentang Susunan. Pasal 18,
Pasal 19 dan Pasal 20 yang berisi tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Komisi Transparansi.
45
- Bab VI berisi Tugas, Fungsi Dan Wewenang Komisi Transparansi yang terdiri dari
7 pasal. Pasal 21. Pasal 22 yang berisi tentang Tugas. Pasal 23 yang berisi tentang
Fungsi. Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 yang berisi tentang wewenang. Pasal 27
yang berisi tentang Mekanisme Pengaduan Kepada Komisi Transparansi.
- Bab VII berisi Keberatan yang terdiri dari 3 Pasal. Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30.
- Bab VIII berisi Anggaran Dan Biaya yang di terangkan pada Pasal 31 dan Pasal
32.
- Bab IX berisi Sanksi Pidana yang terdiri dari 6 pasal. Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38.
- Bab X berisi Ketentuan Peralihan yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 39.
- Bab XI berisi Ketentuan Penutup yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 40.
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 ditetapkan Walikota Gorontalo Medi
Botutihe tanggal 13 Maret 2002. Diberlakukan di Gorontalo pada tanggal 27 Maret
2002 dan diundangkan Sekretaris Daerah Kota Gorontalo Abdul Wahab Thalib dalam
Lembaran Daerah Kota Gorontalo tahun 2002 Nomor 03 seri E.
Berkaitan dengan hal di atas, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota
Gorontalo Adhi Mo’o SH mengatakan, bahwa lahirnya Perda Transparansi ini jauh
sebelum adanya UU yang mengatur hal serupa, (UU No. 14 Tahun 2008) tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Menurut Kabag Hukum bahwa Perda Transparansi
dalam pembahasannya telah melalui kajian beberapa unsur antara lain Kepolisian,
Kejaksaan, Pemerintah Kota dan Unsur DPRD Kota Gorontalo yang menjadi bukti
adanya komitmen Pemkot Gorontalo dalam hal memberikan pelayanan kepada
46
masyarakat khususnya dibidang informasi pembangunan daerah, meski disayangkan
belum mengikutsertakan peran akademisi atau Perguruan Tinggi dalam
penyusunannya. Terlebih menurut Adhi, hadirnya Komisi Transparansi yang
dibentuk oleh DPRD sebagai bukti keseriusan dan komitmen dalam memberikan
perlindungan dan jaminan perolehan informasi oleh masyarakat1.
Pada dasarnya apa yang sudah diatur dalam perda transparansi ini menurut
Adhi, belum sepenuhnya terlaksana maksimal. Faktor penghambatnya adalah
minimnya pengetahuan masyarakat adanya suatu lembaga independent yang disebut
dengan Komisi Transparansi serta peran komisi ini dalam proses pembangunan
berkelanjutan. Terlebih, komisi transparansi yang didirikan sejak tahun 2003 yang
pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan
berfungsi melakukan penyelesaian sengketa dalam bentuk mediasi dan sebagainya
yang diatur dalam keputusan Walikota tersebut belum sepenuhnya bekerja sesuai
dengan tufoksinya.
Disamping itu, mengingat salah satu aspek transparansi adalah komunikasi
publik yang dilakukan oleh pemerintah, maka sewajarnya kantor pemerintahan harus
mempublikasikan informasi yang berhubungan dengan rakyat mengenai struktur,
fungsi dan operasi serta kinerja yang dihasilkan oleh organisasi tertentu. Selain itu,
prosedur internal yang digunakan kantor atau lembaga pemerintah dalam melakukan
1Wawancara, tanggal 15 Juni 2012
47
pelayanan harus disusun secara baik guna memenuhi hak masyarakat terhadap
informasi.
Pernyataan Kabag Hukum Kota Gorontalo dipertegas oleh Ketua Komisi
Transparansi Abd. Hais Isa, S.Ag melalui Sekertarisnya Drs. Ridwan S. Saleh, bahwa
lembaga independent yang saat ini berkedudukan di Kota Gorontalo, memiliki lima
(5) personil serta dua (2) orang staf sebagai pengelola administrasi dan keuangan
kurang berjalan efektif, salah satu faktor penghambat adalah pemahaman masyarakat
tentang tugas dan fungsi komisi ini belum begitu maksimal disebabkan kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat, serta ketidak jelasan wewenang dan dukungan yang
diberikan pemerintah baik dari segi anggaran maupun petunjuk teknis. Ridwan
mengakui bahwa semua itu dapat dilihat dari kurang efektifnya komisi transparansi
saat ini dalam menjalankan tugasnya sesuai amanat perda, seperti terbatasnya
kewenangan yang diberikan dalam menjalankan tugas yang ditetapkan dalam
keputusan walikota. Misalnya, komisi transparansi tidak diperkenankan untuk
melakukan sidang komisi dalam memutuskan perkara atau menyelesaikan sengketa
transparansi seperti yang tercantum dalam UU KIP. Selain itu pula, tidak adanya
kejelasan penganggaran untuk komisi ini yang menyebabkan terhambatnya aktivitas
pelaksanaan sosialisasi dan tugas operasional lainnya.
Harus diingat pula bahwa perda merupakan produk politis, sehingga kadang
kala kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi
perda,dan hal itu harus diberi perhatian seriusagar tidak menimbulkan gejolak dalam
masyarakat. Seperti halnya terjadi dalam Perda Transparansi di Kota Gorontalo yang
48
menurut pengurus komisi transparansi (Ridwan Saleh)2 penegasan dan
pemberlakuannya bersifat setengah-setengah, dalam arti belum adanya ketegasan dari
pihak pemerintah untuk melegitimasi sepenuhnya apa yang menjadi peran komisi
transparansi termasuk penyesuaian aturan ini ke dalam peraturan lebih tinggi yang
telah ada sekarang (UU KIP), sekaligus menjadi pedoman bagi aturan di bawahnya
untuk menghindari adanya vorg norm (kekaburan norma) dalam pemberlakuannya.
Perda merupakan produk politis yang kadang kala kebijakan daerah pun bisa di
politisasi dan terkadang tidak sesuai lagi dengan isi dan cita hukum. Ridwan
mencotohkan, di dalam Perda terdapat ketetapan bahwa semua Badan Publik wajib
menyediakan informasi yang disampaikan langsung kepada Komisi Transparasi
untuk selanjutnya dilaporkan ke pemerintah daerah dalam rangka perbaikan dan
pengembangan kedepan. Akan tetapi, ketika badan publik bersangkutan memberikan
informasi tentang penurunan prestasi dalam unit kerjanya, hal itu justru berdampak
buruk bagi badan publik itu sendiri. Bahkan tak jarang menurut Ridwan, pimpinan
badan publik kena imbas berupa peneguran maupun pemecatan. Hal ini menjadi
sebuah situasi menyulitkan dan terkesan dipaksakan, begitu pula dialami komisi
transparansi yang seakan dianaktirikan.
Dikatakan Ridwan, bukan tanpa alasan hal ini dikemukakan mengingat
kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah daerah baik materil maupun moril.
Sehingga tak mengherankan jika saat ini pengurus komisi transparansi berkeinginan
2wawancara
49
untuk melebur dan bergabung ke dalam Komisi Informasi yang lebih jelas
pengakuannya, yakni pembentukannya melalui UU KIP dan didukung oleh Standar
Operasional Prosuder (SOP) serta aturan mempunyai kedudukan lebih tinggi
dibanding peraturan daerah yang sifatnya lemah.
Menurut Ridwan, keinginan para anggota komisi transparansi agar dilakukan
revitalisasi organisasi akan disampaikan langsung kepada Walikota Gorontalo,
selanjutnya disarankan pula agar Perda melakukan penyesuaian terhadap peraturan
perundang-undangan lebih tinggi yaitu UU Kerebukaan Informasi Publik No. 14
Tahun 2008.
Menganalisis masalah perda, peneliti membahasnya dalam beberapa aspek
diantaranya, Perda ditinjau dari landasan Asas Pembentukan, Kesesuaian Norma dan
Hierarki Perundang-undangan serta ketidaksesuian Perda dengan UU KIP.
1. Landasan dan Asas Pembentukan Perda
Pada dasarnya Penerbitan suatu peraturan perundang-undangan di negara
Indonesia hingga kini masih terus berlangsung karena dinilai merupakan sebuah
kebutuhan, terutama dalam menjamin kehidupan masyarakat yang adil dan
terwujudnya hak serta kewajiban yang dilindungi. Namun demikian ada hal yang
patut diperhatikan dan kadang kala menjadi faktor penghambat implementasi aturan
tersebut, antara lain tidak adanya partisipasi masyarakat untuk mengisi ruang aspirasi
dan melakukan apresiasi terhadap substansi peraturan perundangan-undangan yang
sedang disusun.
50
Sistem partisipatoris dimaksud dibutuhkan dalam negara demokratis karena
sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham mengenai kebutuhannya. Bermula
dari pemerintahan modern yang saat ini cenderung semakin luas dan kompleks,
negara dalam hal ini pemerintah semestinya lebih membina hubungan yang baik
masyarakat dalam rangka penguatan partisipasi publik.
Partisipasi warga negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembangunan, dimana hal ini memberikan pula kemungkinanan kepada seluruh
lapisan masyarakat dalam memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut
atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan tersebut.
Selain masyarakat secara umum, pihak lain seperti akademisi turut berperan
penting dalam memberikan pendapat demi terwujudnya kesempurnaan aturan,
termasuk pakar bahasa dapat dimintai masukan dalam tahapan penyusunannya yang
kesemua itu dituangkan ke dalam Naskah Akademik.
Berkaitan dengan hal di atas, perda sepatutnya memuat Naskah Akademik
(NA) sebagai penjabaran landasan dan pembentukannya, mengingat hal ini telah
diatur dalam ketentuan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam UU No.
12 Tahun 2011 pasal 19 dan 48, yakni pengajuan rancangan peraturan disertai dengan
NA. Akan tetapi, hal ini belum direalisasikan dalam pembentukan perda transparansi.
Salah satu bagian terpenting lainnya dalam pembentukan Perundang-undangan
termasuk perda transparansi adalah landasan filosofis terkait nilai yang berkembang
dalam masyarakat dan sosiologis adalah harapan masyarakat dimana menjadi bagian
terpenting dalam memberikan pandangannya sebelum dilakukan penerapan sebuah
51
aturanyang diinginkan dan dicita-citakan masyarakat sebagai objek pelaksanaan
aturan dimaksud.
Hal lain yang patut diperhatikan dalam penerbitan suatu aturan adalah
terpenuhinya asas hukum antara lain keterbukaan, artinya bahwa dalam setiap
pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Jika dikaitkan dengan indikator transparansi sebagai mekanisme yang
menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua proses-proses pelayanan publik,
sepatutnya dilakukan pemerintah sejak awal. Tujuannya adalah menjamin kondisi
yang sehat, menciptakan komunikasi dan manajemen pemerintahan dalam upaya
meningkatkan kinerja optimal pemerintah melalui bentuk keputusan dan kebijakan
mengikat masyarakat umum demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Indikator lainnya adalah, transparansi sebagai mekanisme yang memfasilitasi
pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan, maupun proses-proses
di dalam sektor publik sangat dibutuhkan dalam memperkuat sistem demokrasi
sebagai upaya mendukung pluralisme dan kebersamaan antara masyarakat dan
pemerintah, terutama meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan publik yang
diberikan stakeholder.
Mengkaji asas lain dalam pembentukan peraturan yang juga telah dicantumkan
dalam kajian pustaka peneliti, yakni kejelasan tujuan yang berarti bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan pasti yang
hendak dicapai serta asas dapat dilaksanakan harus dimiliki oleh sebuah aturan.
52
Maksud dari asas ini adalah, bahwa setiap regulasi yang diterbitkan pejabat
berwenang sebaiknya memperhatikan efektifitas pemberlakuannya di lapangan atau
dengan kata lain bisa diterima dengan baik masyarakat, selain itu juga dengan
mempertimbangkan terlebih dahulu landasan pembentukannya baik filosofis, yuridis
maupun sosiologis. Hal inilah yang belum diimplementasikan sepenuhnya dalam
penyusunan perda transparansi.
Berdasarkan wawancara peneliti, perda yang dibentuk bersama tim legislatif
dan eksekutif serta melibatkan juga unsur yudikatif ini, tidak mengikutsertakan pihak
akademisi yang dibuktikan dengan tidak dibuatkannya Naskah Akademik (NA),
seperti yang diamanatkan UU.Naskah akademik sendiri yang jika diartikan dalam UU
adalah sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat. Hal ini pula membuktikan betapa peran NA dalam Peraturan Perundang-
undangan menjadi media dalam menampung dan menghimpun aspirasi serta
kepentingan masyarakat yang kemudian diterjemahkan melalui pasal dalam
Peraturan, demi tercapainya asas dan tujuan hukum itu sendiri.
Perda tranparansi saat ini jika dikaitkan dengan asas pembentukannya, peneliti
menilai masih sangat jauh dan lemah dari apa yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-udangan. Seperti asas yang memuat bahwa setiap pembentukan peraturan
53
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. Contoh, perda transparansi
seyogianya menjadikan UU KIP No. 14 Tahun 2008 sebagai salah satu landasan
yuridisnya, mengingat materi muatan yang ada dalam aturan ini secara menyeluruh
mengatur hal serupa seperti terdapat dalam Perda yang merupakan aturan dengan
tingkatan lebih rendah.
Memperjelas hal di atas, peneliti menguraikan fakta mengenai keberadaan
kedua aturan yang tercantum dalam tabel di bawah ini :
Tabel Persamaan materi muatan dalam UU No. 14 Tahun 2008 dan Perda
No UU KIP PERDA
1 Pasal 10
(1) Badan Publik wajib
mengumumkan secara serta-
merta suatu informasi yang
dapat mengancam hajat hidup
orang banyak dan ketertiban
umum.
(2) Kewajiban menyebarluaskan
Informasi Publik
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan dengan
cara yang mudah dijangkau
oleh masyarakat dan dalam
bahasa yang mudah
dipahami.
Pasal 8
1) Badan publik wajib
mengumumkan secara serta merta
tanpa penundaan suatu informasi
yang dapat mengancam hajat hidup
orang banyak.
2) Kewajiban menyebarluaskan
informasi sebagaimarma dimaksud
pada ayat (1), dilakukan dengan
bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat dan dengan cara-cara
yang dapat menjamin masyarakat
luas menjangkaunya dan
mendapatkannya secara merata.
2 BAB V
INFORMASI YANG
BAB IV
INFORMASI YANG
DIKECUALIKAN
54
DIKECUALIKAN
Pasal 17
Setiap Badan Publik wajib
membuka akses bagi setiap
Pemohon Informasi Publik untuk
mendapatkan Informasi Publik,
kecuali:
a. Informasi Publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada
Pemohon Informasi Publik
dapat menghambat proses
penegakan hukum, yaitu
informasi yang dapat:
1. menghambat proses penyelidikan
dan penyidikan suatu tindak pidana;
2. mengungkapkan identitas
informan, pelapor, saksi, dan/atau
korban yang mengetahui adanya
tindak pidana;
3.mengungkapkan data intelijen
kriminal dan rencana rencana yang
berhubungan dengan pencegahan
dan penanganan segala bentuk
kejahatan transnasional;
4.membahayakan keselamatan dan
kehidupan penegak hukum dan/atau
keluarganya; dan/atau
5.membahayakan keamanan
peralatan, sarana, dan/atau
prasarana penegak hukum.
b. Informasi Publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada
Pemohon Informasi Publik
dapat mengganggu
kepentingan perlindungan hak
atas kekayaan intelektual dan
Pasal 14
Setiap badan publik wajib membuka
akses bagi setiap orang untuk
mendapatkan informasi publik,
kecuali :
1) lnformasi publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada orang
dapat menghambat proses
penegakan hukum, yaitu informasi
publik yang apabila dibuka dapat :
a. Mengungkapkan identitas
informasi, pelapor, pengadu, saksi,
dan / atau korban yang mengetahui
adanya kejahatan, atau ;
b. Mengungkapkan data intelejen
kriminal dan rencana-rencana yang
berhubungan dengan pencegahan
dan penanganan kegiatan kriminal
dan terorisme, atau ;
c. Membahayakan keselamatan dan
kehidupan petugas penegak hukum
dan / atau keluarganya, atau :
d. Membahayakan keamanan
peralatan, sarana /prasarana
penegakan hukum.
2) Informasi publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada orang
dapat mengganggu kepentingan
perlindungan hak atas kekayaan
intelektual dan perlindangan dari
persaingan usaha tidak sehat.
3) Informasi yang apabila dibuka
dan diberikan kepada orang
55
perlindungan dari persaingan
usaha tidak sehat;
c. Informasi Publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada
Pemohon Informasi Publik
dapat membahayakan
pertahanan dan keamanan
negara, yaitu:
1. informasi tentang strategi,
intelijen, operasi, taktik dan
teknik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem
pertahanan dan keamanan
negara, meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan dan
pengakhiran atau evaluasi dalam
kaitan dengan ancaman dari
dalam dan luar negeri;
2. dokumen yang memuat tentang
strategi, intelijen, operasi, teknik
dan taktik yang berkaitan
dengan penyelenggaraan sistem
pertahanan dan keamanan
negara yang meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan dan
pengakhiran atau evaluasi;
3. jumlah, komposisi, disposisi,
atau dislokasi kekuatan dan
kemampuan dalam
penyelenggaraan sistem
pertahanan dan keamanan
negara serta rencana
pengembangannya;
4. gambar dan data tentang situasi
dan keadaan pangkalan dan/atau
instalasi militer;
h. Informasi Publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada
Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkap rahasia
merugikan strategi pertahanan dan
keamanan nasional yaitu :
a. Informasi tentang intelejen taktik,
strategi pertahanan dan keamanan
negara dalam kaitan dengan
ancaman dari dalam dan luar negeri.
b. Dokumen yang memuat rencana
strategi pelaksanaan peperangan.
c. Data perkiraan kemampuan
militer negara lain.
d. Jumlah dan komposisi satuan
tempur dan rencana
pengembangannya.
e. Keadaan pangkalan tempur.
4) Informasi publik yang apabila
dibuka dan diberikan kepada orang
dapat melanggar kerahasiaan
pribadi yaitu informasi yang dapat :
a. Mengungkapkan riwayat, kondisi
dan perawatan kesehatan fisik,
psikiatrik, psikologi seseorang.
b. Mengungkapkan kondisi
keuangan, aset pendapatan, rekening
bank seseorang kecuali yang sudah
diumumkan dalam lembaran negara.
c. Mengungkapkan tentang hasil-
hasil evaluasi sehubungan dengan
kapabililas, intelektualitas, atau
rekomendasi kemampuan seseorang.
56
pribadi, yaitu:
1. riwayat dan kondisi anggota
keluarga;
2. riwayat, kondisi dan
perawatan, pengobatan
kesehatan fisik, dan psikis
seseorang;
3. kondisi keuangan, aset,
pendapatan, dan rekening bank
seseorang;
4. hasilhasil evaluasi sehubungan
dengan kapabilitas,
intelektualitas, dan rekomendasi
kemampuan seseorang; dan/atau
catatan yang menyangkut pribadi
seseorang yang berkaitan dengan
kegiatan satuan pendidikan.
Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi
Data yang terlihat diatas (Tabel) menunjukkan, bahwa adanya kemiripan kata
maupun kalimatdalam Peraturan Daerah dengan UU KIP, dimana seharusnya perda
merupakan penjabaran dari materi/substansi Undang-undang atau aturan yang lebih
diatasnya. Hal ini tentu bisa mengundang pertanyaan, mengingat hasil observasi dan
wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap Pemerintah dan DPRD Kota
Gorontalo, bahwa proses keberadaan UU KIP antara lain didorong oleh adanya suatu
regulasi daerah yang pada saat itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang mengatur
tentang keterbukaan dan diistilahkan dengan “Transparansi” di Kota Gorontalo. Akan
tetapi apapun yang menjadi alasan dalam proses penerbitan UU KIP, hal ini
57
sepatutnya menjadi suatu bahan referensi daerah dalam melaksanakan perbaikan dan
penyusunan perda transparansi.
Terlihat pada kolom satu Perda adalah; (1). Badan publik wajib
mengumumkan secara serta merta tanpa penundaan suatu informasi yang dapat
mengancam hajat hidup orang banyak. (2) Kewajiban menyebarluaskan informasi
sebagaimarma dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan bahasa yang mudah
dipahami oleh masyarakat dan dengan cara-cara yang dapat menjamin masyarakat
luas menjangkaunya dan mendapatkannya secara merata. Kalimat ini hampir tidak
memiliki perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan antara keduanya, yakni pada
Pasal 10 UU KIP.
Contoh lain yang terlihat jelas adalah pada BAB IV Peraturan Daerah dan BAB
V UU KIP yang menyatakan hal serupa dengan kalimat yang sama, dapat
mengundang persepsi lain pembaca, bahwa kedua aturan ini dibuat dan disusun
menggunakan rancangan yang sama atau berasal dari 1 (satu) sumber, meskipun
keduanya berbeda waktu pengundangannya. Meski demikian peneliti tidak akan
berspekulasi bahwa kedua aturan di atas disusun melalui suatu konsep kajian yang
sama, walaupun dari hasil wawancara yang diperoleh peneliti melalui pemerintah
kota dalam hal ini kepala bagian hukum, mengaku bahwa jika UU KIP ini lahir atas
dasar “Kejar Tayang”.
Menyikapi pernyataan di atas, agar menghindari adanya perbedaan dan
ketidakharmonisan aturan, sebaiknya peraturan daerah dibuat dan disusun dengan
memadukan antara substansi yang diatur dalam UU dan disesuaikan dengan kondisi
58
wilayah/daerah yang lebih dipersempit ruang lingkupnya sehingga mencapai suatu
hasil yang optimal dalam pencapaian sasaran/tujuan. Contoh : pada BAB IV (Perda)
“Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang merugikan strategi
pertahanan dan keamanan nasional yaitu;
a. Informasi tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam
kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri.
b. Dokumen yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan.
c. Data perkiraan kemampuan militer negara lain.
d. Jumlah dan komposisi satuan tempur dan rencana pengembangannya.
e. Keadaan pangkalan tempur.
Menurut peneliti, penekanan kalimat diatas sebaiknya lebih diperkecil dalam
lingkup suatu daerah, mengingat hal itu telah diatur dan dijelaskan melalui Peraturan
yang lebih berwenang yakni Undang-undang KIP. Misalnya pada point (a)
“keamanan Negara” diganti menjadi “keamanan Daerah”. Selain Itu, Informasi
tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam kaitan
dengan ancaman dari dalam dan luar negeri telah diatur oleh negara dalam hal ini
Pemerintah Pusat karena menyangkut masalah nasional, yang pada dasarnya
mengenai ketentuan itu masih dalam pengaturan dan kewenangan pemerintah pusat
yang belum diserahkan ke daerah melalui UU Otonomi Daerah, seperti juga telah
dicantumkan sebelumnya dalam Bab Tinjauan Pustaka.
59
Melalui uraian singkat di atas, cukup menjadi alasan bahwa sebaiknya UU
Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, menjadi bagian dari landasan
yuridis perda transparansi sebagai acuan yang lebih tinggi.
2. Kesesuaian Norma
Kejelasan rumusan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunannya, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaan atau bahkan
bertentangan dengan peraturan di atasnya.Berkenaan dengan hal tersebut, selain
fungsi naskah akademik sangat diharapkan menjadi kekuatan dalam penyusunan
aturan berupa pemberian pendapat kalangan akademisi, akan tetapi saran dan
masukan pakar bahasa menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam pencapaian
kesempurnaan aturan.
Menelaah perda transparansi, peneliti membedakan aturan tersebut dengan UU
KIP yang akan melihat kesesuian maupun pertentangan norma yang ada serta
membahasnya melalui kajian, baik berupa hukum maupun kajian sosial, dalam
bentuk tabel berikut penjelasan di bawahnya.
Tabel Perbedaan UU No. 14 Tahun 2008 dengan Perda No. 3 Tahun 2002
No UU KIP Perda
60
1 BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(Ayat 12 UU) Pemohon
Informasi Publik adalah
warga negara dan/atau
badan hukum Indonesia
yang mengajukan
permintaan informasi
publik sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Ayat (18) Pemohon adalah setiap
warga negara atau subyek hukum yang
cakap dalam melakukan perbuatan
hukum yang meminta informasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Daerah ini.
2 Asas dan Tujuan dimuat secara
jelas yang tertuang dalam BAB II
Tidak dimuat secara jelas mengenai
Tujuan Pembentukan Peraturan
Daerah
3 BAB III
Hak Dan Kewajiban Pemohon
Dan Pengguna Informasi
Publik Serta Hak Dan Kewajiban
Badan Publik
Bagian Kesatu
Hak Pemohon Informasi Publik
Pasal 4
(3) Setiap Pemohon Informasi
Publik berhak mengajukan
permintaan Informasi Publik
disertai alasan permintaan
tersebut.
BAB III
Hak Masyarakat Terhadap Badan
Publik Informasi
Pasal 12
1) Permintaan informasi dan warga
kota tidak perlu untuk
mencantumkan kepentingan
memperolehinformasi tersebut.
4 Bagian Ketiga
Informasi yang Wajib tersedia
Setiap Saat
Pasal 11
(1) Badan Publik wajib
menyediakan Informasi
Publik setiap saat yang
Pasal 5
Informasi yang wajib tersedia
setiap saat
1) Badan publik wajib rnenyediakan
informasi publik setiap saat yang
61
meliputi:
a. daftar seluruh Informasi Publik
yang berada di bawah
penguasaannya, tidak termasuk
informasi yang dikecualikan;
antara lain meliputi :
a. daftar dari seluruh informasi publik
yang berada dibawah penguasaannya
termasuk informasi
yang berada dalam kategori
pengecualian.
5 Dalam Pasal 14 memuat tentang
Informasi Publik yang wajib
disediakan oleh Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah dan/atau badan usaha
lainnya yang dimiliki oleh negara
dalam UndangUndang
Belum mencantumkan materi yang
ada dalam Pasal 14 UU KIP sebagai
penjabaran substansi/materi Perda
6 BAB VII
KOMISI INFORMASI
Bagian Kedelapan
Pengangkatan dan
Pemberhentian
Pasal 30
(Point h) pengangkatan
anggota komisi informasi
berusia paling rendah 35
(tiga puluh lima) tahun
BAB V
KOMISI TRANSPARANSI
Pasal 18
Pengangkatan dan Pemberhentian
Untuk dapat diangkat sebagai anggota
Komisi Transparansi, seorang calon
harus memenuhi syarat seperti dalam
ayat ( 1) Warga Negara Indonesia
berusia minimal 27 tahun dan
maksimal 60 tahun
Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi
Pertama, berdasarkan uraian tabel pada kolom satu,menunjukkan bahwa
peraturan daerah menekankan kepada Pemohon informasi adalah bagi mereka subyek
hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Sementara itu, dalam UU
62
KIP tidak membatasi bagi pemohon informasi dengan kriteria demikian. Artinya
adalah, dalam perundang-undangan ini (KIP) tidak mengatur bahwa pemberian
informasi hanya bagi mereka yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum, yang
jika diberi makna arti “cakap” disini adalah bagi mereka yang dianggap telah dewasa
dan mampu bertanggung jawab dalam hukum.
Hal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan Asas dan Tujuan UU KIP
yang notabene memiliki kekuatan hukum lebih tinggi, yakni pada Bab II Pasal 2 ayat
1 “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap “Pengguna
Informasi Publik” yang memang dalam pengertiannya tidak dijelaskan lebih detail
mengenai syarat/ketentuan pengguna informasi dimaksud. Terlebih lagi dalam Bab
yang sama pasal 3 UU KIP berisi tujuan Undang-undang adalah untuk mengetahui
alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak serta
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Membahas pasal ini, peneliti ingin mengungkapkan bahwa keadaan seperti itu
seakan membatasi hak masyarakat terutama yang dianggap dan berada dalam
kategori tidak cakap. Contoh ilustrasi kecil adalah (jika seorang pelajar yang
dikategorikan belum dewasa dan belum mampu bertanggung jawab, menginginkan
sebuah penjelasan atau informasi tentang keputusan yang akan diambil sekolahnya
dalam hal peningkatan kualitas yang diukur melalui kebijakan kepala sekolah, baik
terkait strategi pengembangan kurikulum maupun cara peningkatan mutu lainnya,
namun karena diberi batasan bahwa anak itu dianggap belum dewasa dan tidak layak
diberi penjelasan (tidak cakap) sehingga anak didik tersebut tidak diberikan
63
pemahaman dalam bentuk informasi, padahal yang bersangkutan telah dijamin dan
dilindungi oleh UU yakni diperbolehkan dalam kerangka mencerdaskan kehidupan
bangsa). Menurut peneliti, sesuai alasan diatas, seyogianya Pasal 1 Perda tidak
mencantumkan kata “cakap” sebab bisa bertetangan dengan Tujuan dari UU KIP
yang pada dasarnya memang tidak membatasi hal demikian.
Kedua, perda tidak memuat secara khusus tentang Asas dan Tujuan seperti
dalam UU KIP, yang menurut peneliti perlu dicantumkan terutama tujuan yang ingin
dicapai dalam sebuah peraturan. Ini menghindari agar tidak terjadi seperti masalah
pada kolom satu (1). Jika saja dalam materi Perda mencantumkan tujuan dan sasaran
yang hendak dicapai, maka tidak terjadi pembatasan hak dan kewajiban masyarakat
terutama dalam hal perolehan informasi, dan tidak melahirkan pula pertentangan
pasal di dalam aturan. Sekilas mengkaji tujuan atau sasaran yang hendak dicapai
sebuah aturan menjadi sangat urgen utamanya menghindari kekaburan norma dimana
dalam peraturan daerah tidak dicantumkan secara pasti dan jelas apa yang dicita-
citakan (cita hukum).
Ketiga, terdapat perbedaan antara Pasal 12 dalam Perda terhadap Pasal 4 UU
KIP. Permintaan informasi dalam Peraturan Daerah tidak perlu mencantumkan
kepentingan memperoleh informasi, sementara UU mengatur hal demikian yaitu;
memerintahkan agar permintaan tersebut disertai dengan alasan yang jelas untuk
memastikan kepentingan penggunaannya.
Melihat persoalan ini, peneliti menyarankan agar perda yang memiliki kekuatan
hukum lebih rendah mengikuti UU demi terwujudnya kesesuaian antar keduanya
64
selain juga tidak terjadi pertentangan norma, khususnya jika hal itu bisa berdampak
kerugian bagi masyarakat, badan publik dan negara.
Keempat, terdapat pertentangan antara pasal 5 ayat 1 bagian (a) Perda
Transparansi dengan Pasal 11 ayat 1 (a) UU KIP, (kolom 4).
UU KIP memberikan penekanan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan
informasi berupa daftar seluruh informasi publik yang ada di bawah penguasaannya
dan tidak termasuk informasi yang yang dikecualikan, sementara Perda menegaskan
bahwa informasi tersebut termasuk yang berada dalam kategori pengecualian. Bagian
ini terdapat suatu pertentangan yang apabila dikaji melalui persoalan hukum, maka
Perda jelas menyalahi aturan perudang-undangan yang lebih di atasnya termasuk bila
dikaji dari sisi ekonomi sosial pernyataan yang ada dalam peraturan daerah bisa
berdampak pada kerugian pihak-pihak terkait seperti kelompok badan publik yang
mengelola masalah keuangan (perbankan), terlebih kerahasiaan kepentingan negara
dan masyarakat.
Melihat kenyataan diatas, dapat dinilai tidak adanya persepsi antara perda
dengan peraturan di atasnya sehingga disarankan agar peraturan daerah No. 3 Tahun
2002 menyesuaikan perundang-undangan lebih tinggi, dengan tujuanmelahirkan
kerangka dan konsep hukum menjadi satu kebulatan utuh.
Lima, pasal 14 UU KIP memuat tentang Informasi Publik yang wajib
disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau
badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara berupa; a). nama dan tempat
kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian,
65
dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; b). nama lengkap
pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris perseroan; c).
laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung
jawab sosial perusahaan yang telah diaudit.
Perda sendiri dalam muatannya belum mencantumkan materi yang ada dalam
pasal Undang-undang tersebut, sehingga peneliti menyarankan perlu ditinjau kembali
agar bisa dituangkan dalam Perda, bertujuan untuk mewujudkan kejelasan tentang
sistem peraturan yang ditetapkan dan memberi kemudahan dalam pemberian layanan
informasi yang dilakukan badan publik termasuk kepuasan masyarakat sebagai
pengguna layanan informasi dimaksud.
Keenam, perbedaan ketentuan antara Bab VII UU KIP dengan Bab V Perda,
khususnya pada pengangkatan Anggota Komisi yang dibentuk berdasarkan perintah
aturan. Dalam UU KIP yang memiliki kedudukan lebih tinggi mempersyaratkan batas
maksimal Usia pengangkatan anggota komisi transparansi adalah 27 tahun,
sedangkan Perda menetapkan batas usia paling rendah 35 tahun.
Peneliti menilai hal itu perlu dilakukan penyesuaian kembali oleh peraturan
dibawahnya. Penetapan batas umur yang diberikan oleh UU yakni minimal 35 tahun
tentu telah melalui sebuah pembahasan dan pengkajian oleh pemerintah pusat,
mengingat kematangan usia pun bisa mempengaruhi cara memimpin seseorang
terutama dalam pengambilan keputusan.
3. Perda Dikaji dalam Hierarki Perundang-undangan
66
Tidak adanya konsistensi suatu peraturan perundang-undangan yang dimulai
dari perancangan, pembahasan dan perumusan sampai ke tahap penetapan tentu bisa
mengakibatkan tumpang tindih aturan satu dengan lainnya.Hal demikian bisa terjadi
karena pembentukannya yang kurang memperhatikan kesesuaian antara aturan yang
lebih rendah dengan ketetapan lebih tinggiyang dikeluarkan pemerintah. Selain tidak
didahului suatu kajian ilmiah dalam bentuk naskah akademik akan tetapi kurangnya
koordinasi yang menyebabkan tidak sinkronnya suatu aturan, padahal jika dilihat dan
dikaji kedua aturan tersebut justru mengatur persoalan serupa.
Terlebih jika aturan yang dibuat tidak memperhatikan prosedur akan
menciptakan suatu kejanggalan dan secara mekanismenyaperlu diatur dan
disesuaikan untuk mencapai keselarasan, terutama menjaga keseimbangan aturan
yang diharapkan menghasilkan sebuah produk hukum yang menunjukkan adanya
harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Tercantum dalam kajian pustaka peneliti yaitu asas tingkatan hirarki, dimana
peraturan lebih tinggi kedudukannya memiliki kekuatan hukum yang tinggi pula dan
Undang-undang baru menyampingkan UU yang lama. Akan tetapi, hal ini
bertentangan dengan apa yang berlaku dalam perda transparansi.
Jika ditinjau dari asas (hirarki), seharusnya perda menyesuaikan dengan UU
KIP yang diterbitkan belakangan, baik penyesuaian norma, substansi dan
nomenklatur. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan adanya penegasan mengenai
teknik penyusunan suatu peraturan perundang-undangan yang saat ini jelas tertuang
dalam UU No.12 tahun 2011 (Bab II “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
67
undangan” Pasal 5 bagian c, yang isinya berupa kesesuaian antara jenis, hierarki dan
materi muatan serta pada bagian f yang mengatur kejelasan rumusan).
Perda Transparansi yang diterbitkan sejak tahun 2002 sampai dengan saat ini
masih diberlakukan pemerintah Kota Gorontalo, jika dilihat dari asas hirarki pada UU
No. 12 Tahun 2011 memiliki kedudukan paling rendah dibanding peraturan
perundangan lainnya. Selain itu, adanya asas seperti yang diutarakan Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terhadap perundang-undangan yang antara lain
Undang-undang di buat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula, memperjelas bahwa keberadaan UU KIP jelas memberi pengaruh dan
dampak terhadap pemberlakuan perda transparansi yang pada dasarnya memang
terdapat pertentangan norma seperti yang telah dijelaskan peneliti terlebih dahulu.
Asas lain menyebutkan bahwa Undang-undang yang berlaku belakangan
membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex
priori), dan undang-undang tidak dapat diganggu gugat serta sebagai sarana untuk
semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi
masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan/pelestarian (asas welvaarstaat).
Pernyataan ini menjadi hal yang patut diperhatikan pemerintah kota gorontalo
kaitannya dengan kesesuaian aturan dalam perda transparansi terhadap aturan yang
diterbitkan dengan kedudukan lebih tinggi dan memuat materi baru yang tidak
terdapat dalam perda.
Dengan demikian, pemerintah kota gorontalo seharusnya melakukan
pembenahan isi maupun substansi yang diatur perda melalui penekanan yang ada
68
dalam UU Keterbukaan Informasi Publik dengan cara merevitalisasi nomenklatur saat
ini.
Keberadaan perda tranparansi dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, penulis menilai bahwa keadaan ini menggambarkan
tidak lagi dalam satu kesatuan sistem hukum nasional atau sistem perundang-
undangan seperti yang telah dijabarkan diatas (UU No. 12 tahun 2011).
Pembentukan peraturan daerah pun selain didasarkan pada Pancasila yang
menjadi sumber segala hukum dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan, juga tertuang
dalam Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 meliputi beberapa asas, diantaranya
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, artinya bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Selain itu, dijelaskan pula dalam UU No.32 Tahun 2004 bahwa hal-hal yang
dapat membatalkan perda adalah, apabila bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan yang lebih tinggi serta telah habis masa berlaku yang ditentukan dalam
peraturan tersebut. Perda transparansi pada dasarnya memang telah dibuat dan
disusun oleh pejabat berwenang, sehingga secara hukum tidak berlaku bahwa perda
batal demi hukum, akan tetapi dapat dibatalkan dengan memperhatikan keputusan
pejabat yang lebih diatasnya dalam hal ini pemerintah sebagai pembuat UU KIP.
69
4. 2 Ketidaksesuaian Perda Transparansi No. 3 Tahun 2002 dengan UU
Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 dan Perundang-undangan
lainnya
Peraturan daerah menjadi salah satu bagian dari sistem hukum yang diakui
keberadaannya apabila mengikuti ketentuan sebagaimana telah dijelaskan peneliti
sebelumnya dan memiliki kekuatan hukum mengikat selagi dilakukan berdasarkan
perintah aturan yang lebih tinggi.
Membahas Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002, peneliti melakukan kajian
perbandingan melalui UU No. 14 Tahun 2008 dan mengelaborasinya dengan
peraturan lain terkait sistematika perumusan perundang-undangan.Sebelumnya telah
dikemukakan pula keberadaan UU KIP yang mengatur hal sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam perda, sehingga peneliti akan melihat ketidaksesuaian antara
peraturan daerah untuk selanjutnya dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
peraturan yang telah ada.
Tabel ketidaksesuaian Perda No. 3 Tahun 2002 dengan
UU No. 14 Tahun 2008 (KIP)
No UU KIP Perda
1 Penyelesaian Sengketa dimuat
dalam BAB VIII (Pasal 37
sampai dengan Pasal 39)
Perda tidak mencantumkan tata cara
penyelesaian sengketa yang berkaitan
dengan transparansi (Pasal 21)
2 Memuat cara-cara penyelesaian
Sengketa :
Memuat cara penyelesaian
sengketa melalui Ajudikasi non
litigasi (Pasal 42)
Tidak memuat cara penyelesaian
sengketa (Ajudikasi) sebagaimana
ketentuan dalam Perda
70
3 Memuat Sidang Komisi dalam
BAB VIII
Pasal 42 dan 43
Tidak memuat Sidang Komisi dalam
penyelesaian sengketa
4
Penting untuk memuat
UU KIP sebagai
Landasan Yuridis
UU Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan Tidak Terlalu
Signifikan Dimasukkan Dalam
Landasan Yuridis Perda No. 3
tahun 2002
Landasan Yuridis mengenai UU
Peradilan Tata Usaha Negara,
mengingat hal itu tidak dibahas
dalam BAB mapun Pasal
Peraturan Daerah
Perlu dikaji
penerapan/pelaksanaan Landasan
Yuridis pada point 18 yang
memuat Keputusan Presiden No
44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan dan bentuk rancangan
undang-undang
5 BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
Badan Publik yang dengan
sengaja tidak menyediakan,
tidak memberikan, dan/atau
tidak menerbitkan Informasi
Publik berupa Informasi Publik
secara berkala, Informasi Publik
yang wajib diumumkan secara
sertamerta, Informasi Publik
yang wajib tersedia setiap saat,
dan/atau Informasi Publik yang
harus diberikan atas dasar
permintaan sesuai dengan
UndangUndang ini, dan
mengakibatkan kerugian bagi
orang lain dikenakan pidana
BAB IX
SANKSI PIDANA
Pasal 33
1) Setiap orang yang dengan sengaja
tidak memenuhi atau melaksanakan
putusan yang telahdiberikan komisi
ransparansi, diancam dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan
danserendah-rendahnya 3 (tiga) bulan
serta denda setinggi-tingginya Rp.
100.000.000 (seratus jutarupiah) dan
serendah-rendahnya Rp. 50.000.000
(lima puluh juta rupiah).
71
kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi
Berdasarkan tabel di atas, peneliti membahas setiap kolom melalui uraian di
bawah ini :
Pertama, penyelesaian sengketa dalam UU KIP dituangkan dalam Bab VII,
yakni diserahkan kepada Komisi Informasi (pasal 37 sampai pasal 39).
Pasal 37 ayat (1) “Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan
kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi
Informasi kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak
memuaskan Pemohon Informasi Publik”.
Pasal 38 ayat (2) Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.
Dalam peraturan daerah, tugas komisi transparansi tertuang pada pasal 21 yakni
“Lembaga yang bersifat independen dan mempunyai tugas berfungsi serta
berwewenang menyelesaikan sengketa masalah yang berkaitan dengan transparansi”.
Akan tetapi, tidak dicantumkan cara penyelesaian sengketa seperti pada UU KIP,
terlebih mengatur soal batas waktu maksimal penyelesaian, karena yang diatur hanya
sebatas waktu pengajuan keberatan selama 30 hari dan tambahan waktu 14 hari bagi
72
badan publik dalam memberikan jawaban.Hal ini tidak memberikan kepastian dan
membingungkan masyarakat berkaitan dengan pemberian keputusan komisi
transparansi sehingga menunjukkan ketidak sinkronisasinya Perda dengan UU KIP.
Persoalan yang juga muncul dalam perda adalah, selain tidak dijelaskan
langkah selanjutnya yang akan ditempuh apabila keberatan pemohon tidak dipenuhi,
juga tidak dicantumkan pula proses yang ditempuh komisi transparansi apabila hal ini
tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, padahal erat kaitannya dengan tugas dan
wewenang komisi transparansi.
Kedua,Pasal 42 UU KIP mencantumkan tentang Penyelesaian Sengketa melalui
Ajudikasi yakni proses penyelesaian sengketa infomasi publik antara para pihak yang
diputus oleh komisi informasi.
Mengingat pasal 21 perda yang berbunyi,“komisi transparansi adalah lembaga
yang bersifat independen yang mempunyai tugas berfungsi dan berwewenang
menyelesaikan sengketa masalah yang berkaitan dengan transparansi, seharusnya
diberi penekanan dalam perda cara penyelesaian sengketa (seperti pada masalah
kolom 2), yakni dengan memasukan ajudikasi non litigasi (upaya yang ditempuh
apabila mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para
pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik
diri dari perundingan). Peneliti menilai Ajudikasi perlu dicantumkan dalam peraturan
daerah mengingat hal itu menjadi bagian dan fungsi komisi transparansi yang dapat
dilihat pada pasal 24 dan 25 perda, yakni (berhak untuk memutuskan hal berkaitan
dengan sengketa terutama permintaan informasi).
73
Ketiga, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik pula menekankan
penyelesaian perkara dengan cara menyelenggarakan sidang komisi yang tertuang
dalam pasal 42 dan pasal 43 (KIP).
Pasal 43 ayat (1);
Sidang Komisi Informasi yang memeriksa dan memutus perkara paling sedikit
3 (tiga) orang anggota komisi atau lebih dan harus berjumlah gasal.
Pasal 43 ayat (2);
Sidang Komisi Informasi bersifat terbuka untuk umum.
Menurut wawancara dan hasil observasi peneliti di komisi transparansi, hal
tersebut tidak dicantumkan secara tertulis pada Bab atau Pasal Perda, yakni
pelaksanaan teknis tugas komisi transparansi, termasuk keputusan walikota sebagai
penjelasan pasal 26 Perda yang menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut komisi
transparansi diatur dengan keputusan walikota. Melihat kurang adanya kejelasan
mengenai hal tersebut, peneliti berpendapat hendakya peraturan daerah mengatur cara
penyelesaian sengketa melalui sidang komisi yang dicantumkan melalui pasal atau
penjelasan termasuk dalam keputusan walikota, yang memberi kekuatan terhadap
legitimasi komisi transparansi sebagai lembaga independent.
Keempat, terkait tabel dalam kolom 4, peneliti membahasnya melalui point a, b
dan c dibawah ini :
a. Perlu dikaji kembali landasan yuridis dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002
dengan meninjau UU Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan. Peneliti menilai, jika
dilihat dari efektivitas dan pemanfaatannya tidak begitu maksimal di dalam Perda.
74
Hal ini disebabkan kurangnya respon dan penjelasan rinci mengenai keberadaan
aturan ini dalam pasal perda, mengingat juga UU Perbankan mengatur masalah yang
sifatnya khusus. Keberadaan UU tentang Perbankan juga menjadi salah satu bagian
dari badan publik, akantetapi hal ini melahirkan sebuah pertanyaanmengapa perda
hanya mencantumkan regulasi tersebut, sementara ada badan publik lainnya yang
juga mempunyai payung hukum berupa UU.
b. Ketentuan Landasan Yuridis tentang UU Peradilan Tata Usaha Negara menurut
peneliti kurang efektif, mengingat hal tersebut tidak dibahas dalam Bab mapun Pasal
Peraturan Daerah. Peneliti mengkaji bahwa dalam Perda seharusnya dicantumkan
pula keberadaan atau kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, apakah sebagai badan
publik atau menjadi salah satu bagian dalam proses penyelesaian masalah tentang
transparansi dalam pemberian informasi Publik.
Penggunaan suatu aturan yang ditetapkan dalam landasan yuridis seperti
PTUN, sebaiknya menjadi faktor pendukung dan pemberi kejelasan rumusan materi
yang diatur, namun peneliti tidak melihatada penekanan tentang hal tersebut dalam
perda transparansi. Disarankan, perda memperjelas fungsi penggunaan suatu regulasi
yang lebih tinggi kedudukannya, apakah merupakan media penyelesaian sengketa
ataupun memperkuat keberadaan peraturan di bawahnya.
c. Penetapan landasan yuridis pada point 18 peraturan daerah, memuat Keputusan
Presiden No 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan dan bentuk rancangan undang-undang. Peneliti menilai hal itu belum
sepenuhnya diimplementasikan dalam peraturan daerah, terutama penerapan point 26
75
dalam Kepres yang menekankan, apabila jumlah peraturan perundang-undangan yang
dijadikan dasar hukum lebih dari satu, maka urutan dicantumkan berdasarkan tata
urutan hirarki peraturan perundang-undangan yang diurutkan secara kronologis
berdasarkan saat pengeluarannya. Artinya adalah, dengan melihat waktu
pemberlakukanaturan terdahuluyang dikeluarkan oleh pihak berwenang. Pada
peraturan daerah masih terdapat kekeliruan penerapan pasal dalam Kepres No 44
Tahun 1999, dan bisa menjadi alasan agar peraturan daerah No. 3 Tahun 2002 ini
diperbarui penulisannya mengikuti tatacara yang ada.
Kekurangan penulisan dalam perda dimaksud, dapat dilihatpada konsideran
“Mengingat” point 12 dan 13. Melihat ketentuan yang ada dalam Kepres, penulis
menyarankan agar point diatas (13) tentang UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang
diundangkan melalui (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
166) diurutkan terlebih dahulu sebelum UU No. 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Propinsi Gorontalo yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2000 nomor 258, Tambahan Lembaran Negara nomor 4060 pada point (12).
Kelima, pemberlakuan sanksi dalam perda bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal serupa, seperti terdapat dalam UU
Keterbukaan Informasi Publik. Sebagaimana diatur UU KIP, pemberian sanksi
berupa denda paling banyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) jelas bertentangan
dengan penetapan dalam peraturan daerah yang memberlakukan serendah-rendahnya
Rp.50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah).
76
Lebih jelas peneliti menguraikan keberadaan Bab IX tentang Sanksi Pidana
dalam perda transparansi. Pada pasal 33 ayat 1 menyebutkan “Setiap orang yang
dengan sengaja tidak memenuhi atau melaksanakan putusan yang telah diberikan
komisi transparansi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
dan serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan serta denda setinggi-tingginya Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah) dan serendah-rendahnya Rp 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah) dan atau tidak merampas barang untuk daerah kecuali ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan peraturan daerah mengenai pemberlakuan sanksi tersebut di atas
selain bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, juga bertentangan
pula dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yakni pasal 143.
Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa :
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.
Peraturan daerah menetapkan sanksi berupa denda paling rendah Rp
50.000.000, menjadi sesuatu hal yang dinilai sangat berlebihan dan cenderung bisa
membebani masyarakat maupun badan publik. Menyikapi persoalan itu, menurut
77
peneliti sepatutnya pemerintah daerah khususnya kota gorontalo, agar dalam
pembuatan regulasi hendaknya memperhatikan pula kepentingan dan kenyamanan
masyarakat serta mempertimbangkan kondisi wilayah dengan memberikan
kemudahan penyelenggaraan pemerintahan, baik melalui kebijakan pemerintah
maupun dalam bentuk regulasi.
Uraian diatas telah membahas beberapa pokok kekurangan yang ada dalam
peraturan daerah yang ditetapkan 10 (sepuluh) tahun silam, padahal kenyataan selama
ini Negara Indonesia menyebut diri sebagai negara hukum mempunyai makna bahwa
segala ruang lingkup kehidupan dalam sosial masyarakat, negara dan bangsa
termasuk pemerintahan berdasarkan atas aturan sesuai dengan sistem hukum
nasional.
Peraturan Daerah merupakan bagian dari Peraturan Perundang-undangan di
tingkat daerah, sehingga letaknya yang sangat strategis dan bersentuhan langsung
dengan kehidupan masyarakat akan sangat menuntut kesempurnaan baik dalam
prosedur pembentukan, muatan dan pelaksanaannya.
Setelah melihat dan mengkaji Perda No. 3 Tahun 2002, peneliti mencoba
memberikan gambaran keberadaannya dan menemukan beberapa kekurangan serta
ketidaksesuaian (inkonsistensi) dengan peraturan yang lainnya.
1. Cakupan perluasan materi/substansi yang ada dalam UU Keterbukaan Informasi
Publikbelum sepenuhnya dituangkan dalam Peraturan Daerah.
2. Perda tidak mencantumkan materi baru yang dianggap menjadi kebutuhan dalam
perumusan Perundang-undangan yang dituang dalam Naskah Akademik.
78
3. Perda belum mencantumkan landasan yuridis dengan melihat keberadaan UU
lebih diatasnya dan mengatur pokok-pokok serupa, yakni UU Keterbukaan
Informasi Publik sebagai dasar hukum maupun pijakan di dalam membentuk Perda
Transparansi.
4. Teknik penyusunan dasar hukum (landasan yuridis) perda belum sesuai dengan
kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti tertuang
dalam Keputusan Presiden.
Upaya merevitalisasi sistem hukum perda dimaksud, peneliti menawarkan
beberapa solusi yang barangkali bisa dijadikan bahan pertimbangan dan masukan
demitercapainya prosedur terutama sistem hukum nasional dan bisa menutupi
kelemahan-kelemahan yang adadalamperda.
1. Peraturan daerah hendaknya segera menyesuaikan dengan sistem peraturan
perundang-undangan Nasionalyang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2011.
2. Mencantumkan UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai Landasan Yuridis
Perdayang merupakan produk hukum nasional dan dibuat pemerintah yang
berkedudukan lebih tinggi.
3. Memperhatikan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan bentuk
rancangan undang-undang yang diatur pada Keputusan Presiden No 44. Tahun
1999, terutama kaitannya dengan pencantuman kedudukan dasar hukum.
4. Meninjau kembali landasan yuridis terutamakeberadaan UU KIP.
5. Perlu ditinjau kembali Bab/Pasalperaturan daerah yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan isi maupun perintah UU yang lebih tinggi.