Upload
nguyendat
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Struktur dan Komposisi Tegakan
5.1.1 Struktur Tegakan
Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horisontal. Secara
vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh
besarnya energi cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi
pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut. Struktur tegakan dapat
dilihat berdasarkan tingkat kerapatan sehingga akan menggambarkan kondisi
suatu tegakan hutan. Struktur tegakan pada hutan primer dan hutan bekas
tebangan (LOA) TPTII umur satu dan dua tahun berdasarkan tingkat kerapatan
pada tiap tingkat pertumbuhan vegetasi dapat dilihat pada Gambar 3, 4 dan 5 di
bawah ini.
Gambar 3 Struktur tegakan pada kondisi hutan primer
Gambar 4 Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan 1 tahun
300
250
200
150
100
50
0
20–29 30–39 40–49 50–60 >60
Kelas diameter (cm)
0–15
15–25
25–45
300
250
200
150
100
50
0 20–29 30–39 40–49 50–60 >60
Kelas diameter (cm)
0–15
15–25
25–45
20
Gambar 5 Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan 2 tahun
Dari hasil penelitian Kirana (2008) yang dilakukan di hutan primer dan
bekas tebangan menunjukkan bahwa struktur tegakan pada hutan bekas tebangan
kerapatan semai dan pancang lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan tiang
dan pohon. Pada histogram yang ditunjukkan pada Gambar 3, 4, dan 5, dapat
dilihat bahwa perbandingan jumlah pohon per hektar antara hutan primer dengan
LOA TPTII 1 (satu) tahun jauh berbeda. Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan
sebelumnya sudah pasti akan mengakibatkan penurunan kerapatan hampir pada
semua kelas diameter di berbagai kelerengan. Akan tetapi perbandingan antara
LOA TPTII 1 (satu) dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun hampir sama. Selang waktu
satu tahun belum dapat merubah struktur tegakan pada hutan bekas tebangan.
Menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawan (2000) jumlah pohon per
hektar yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong cukup karena
jumlahnya > 25 batang/hektar pada masing-masing kelerengannya. Berdasarkan
kriteria tersebut, jumlah pohon yang terdapat pada LOA TPTII 2 (dua) tahun
adalah lebih dari 25 batang/ha. Dapat dikatakan areal penelitian ini masih
tergolong hutan alam produksi yang masih produktif.
Struktur tegakan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 1 (satu) tahun
dan 2 (dua) tahun menunjukkan jumlah pohon yang semakin berkurang dari kelas
diameter kecil ke kelas diameter besar, sehingga kurva yang dihasilkan
menyerupai “J” terbalik. Secara umum, struktur tegakan pada plot pengamatan
menunjukkan karekteristik yang demikian, sehingga dapat dikatakan kondisi
kedua hutan tersebut masih normal.
300
250
200
150
100
50
0 20–29 30–39 40–49 50–60 >60
Kelas diameter (cm)
0–15
15–25
25–45
21
5.1.2 Komposisi Jenis
Komposisi jenis adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk
mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang
terganggu. Apabila komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan bahwa
komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di LOA TPTII umur dua
dan tiga tahun PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah diperoleh komposisi jenis
yang berbeda-beda pada setiap tingkat pertumbuhannya, yaitu semai, pancang,
tiang, dan pohon. Pengambilan data analisis vegetasi dilakukan pada kelerengan
yang berbeda, yaitu datar (0–15%), sedang (15–25%), dan curam (>25%).
Komposisi jenis pada tingkat pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah jenis yang ditemukan pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun
dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan
Kondisi Hutan Kelerengan
(%)
Jumlah Jenis
Semai Pancang Tiang Pohon
*LOA TPTII 1 tahun
0–15 59,0 56,0 56,0 56,0
15–25 34,0 36,0 42,0 44,0
25–45 57,0 61,0 60,0 62,0
Rata-rata
50,0 51,0 52,6 54,0
LOA TPTII 2 tahun
0–15 53,0 52,0 56,0 56,0
15–25 31,0 32,0 42,0 44,0
25–45 55,0 60,0 60,0 62,0
Rata-rata
46,3 48,0 52,6 54,0
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana
2008
Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tingkat
semai dan pancang mengalami penurunan pada LOA TPTII 2 tahun. Hal ini
disebabkan karena penutupan tajuk yang bertambah rapat yang mengakibatkan
berkurangnya cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan. Sedangkan komposisi
jenis pada tingkat tiang dan pohon tidak terjadi perubahan sama sekali terhadap
LOA TPTII 1 tahun. Hal ini terjadi karena pada selang waktu satu tahun tidak
terjadi penambahan jenis pada lokasi penelitian.
Pada LOA TPTII 1 tahun, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai
ditemukan pada kelerengan datar yaitu sekitar 59 jenis per hektar, untuk tingkat
pancang pada kelas kelerengan curam yaitu 61 jenis per hektar, untuk tingkat
tiang terdapat pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar dan untuk
22
tingkat pohon jumlah jenis terbesar terdapat pada kelas lereng curam yaitu 62
jenis per hektar.
Pada LOA TPTII 2 tahun, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai
ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 55 jenis per hektar, untuk tingkat
pancang pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar, untuk tingkat
tiang terdapat pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar dan untuk
tingkat pohon jumlah jenis terbesar terdapat pada kelas lereng curam yaitu 62
jenis per hektar.
5.1.3 Indeks Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk
membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan
biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas.
Dalam menentukan tingkat keanekaragaman yang terdapat di areal
pengamatan digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Shannon Index
of General Diversity). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) merupakan
parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mengetahui
keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu komunitas hutan. Dari hasil
penelitian pada LOA 2 tahun, nilai indeks keanekaragaman jenis dapat pada tiap-
tiap tingkat pertumbuhan dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Indeks keanekaragaman jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan
LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan
Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi
Semai Pancang Tiang Pohon
*LOA TPTII 1 tahun
0–15 3,43 3,47 3,39 3,53
15–25 2,51 2,79 3,12 3,42
25–45 3,56 3,69 3,56 3,75
Rata-rata
3,16 3,32 3,36 3,56
LOA TPTII 2 tahun
0–15 3,37 3,41 3,39 3,53
15–25 2,49 2,75 3,12 3,42
25–45 3,74 3,67 3,55 3,75
Rata-rata
3,20 3,28 3,56 3,75
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana
2008
Berdasarkan hasil perhitungan keanekaragaman jenis yang dilakukan di
LOA TPTII umur dua dan tiga tahun PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
23
diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap tingkat pertumbuhannya, yaitu
semai, pancang, tiang, dan pohon. Menurut Magurran (1988) besaran H’ dengan
nilai < 1,5 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong rendah. Sedangkan
jika nilai H’ = 1,5–3,5 maka tingkat keanekaragamannya tergolong sedang.
Apabila besaran H’ memiliki nilai > 3,5, maka tingkat keanekaragamannya
dianggap tinggi.
Berdasarkan Tabel 6, nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) untuk tingkat
semai dan pancang mengalami penurunan pada LOA TPTII 2 tahun. Nilai indeks
keanekaragaman jenis (H’) untuk tingkat semai pada tiap-tiap kelerengan yang
terdapat LOA TPTII 2 tahun berkisar antara 2,62–2,85, Untuk tingkat pancang
nilai H’ berkisar antara 2,94–3,06, Nilai H’ untuk tingkat tiang berkisar antara
3,10–3,27 dan untuk tingkat pohon nilai H’ berkisar antara 3,17–3,37.
Berdasarkan kriteria di atas keanekaragaman jenis pada hutan primer tergolong
sedang. Sedangkan keanekaragaman jenis di LOA 1 tahun dan LOA 2 tahun pada
tingkat kelerengan datar dan sedang tergolong sedang karena nilai H’ berkisar
antara 1,5–3,5. Sedangkan pada kelas lereng curam keanekaragaman jenisnya
tergolong tinggi karena nilai H’ > dari 3,5.
Soerianegara (1996) mengemukakan bahwa sering dinyatakan tentang
menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada
ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah.
Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat dikatakan
bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan tinggi.
5.1.4 Indeks Kekayaan Jenis
Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman
suatu komunitas adalah kekayaan jenis. Indeks kekayaan jenis adalah indeks yang
menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas dan besarnya indeks kekayaan ini
dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang ada
pada areal tersebut.
Magurran (1988) menyatakan bahwa nilai R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan
jenis yang tergolong rendah. Sedangkan nilai R1 = 3,5–5,0 menunjukkan
kekayaan jenis yang tergolong sedang. Apabila diperoleh nilai R1 > 5,0 maka
kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi.
24
Dalam penelitian ini untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal
pengamatan digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R1). Dari hasil penelitian
pada LOA dua tahun, nilai indeks kekayaan jenis dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Indeks kekayaan jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA
TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan
Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi
Semai Pancang Tiang Pohon
*LOA TPTII 1 tahun
0–15 9,38 9,17 9,49 9,75
15–25 5,22 5,64 7,38 7,62
25–45 8,77 9,81 9,88 10,73
Rata-rata
7,79 8.20 8,92 9,36
LOA TPTII 2 tahun
0–15 9,13 8,93 9,49 9,75
15–25 5,08 5,48 7,38 7,62
25–45 8,59 9,54 9,88 10,73
Rata-rata
7,60 7,98 8,92 9,36
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana
2008
Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam Tabel 7, dapat diketahui
bahwa nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada kondisi LOA TPTII 1 tahun
pada semua kelas lereng nilai indeksnya berada di atas 5,00 dimana kekayaan
jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi.
Begitu juga pada LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dari Tabel 7 dapat terlihat
bahwa pada LOA TPTII 2 (dua) bahwa kekayaan jenis dalam komunitas tersebut
tergolong tinggi karena nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada semua kelas
lereng berada di atas 5,00 dan relatif sama terhadap LOA TPTII 1 tahun.
5.1.5 Indeks Kemerataan Jenis
Kemerataan jenis merupakan parameter lainnya yang juga mempengaruhi
tingkat keanekaragaman jenis suatu komunitas. Nilainya dapat diperoleh dengan
menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah indeks yang
menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal pengamatan. Apabila nilai
indeks semakin besar maka dapat dikatakan bahwa komposisi jenis semakin
merata (tidak didominasi oleh satu jenis saja).
Menurut Magurran (1988), besaran nilai E < 0,3 menunjukkan kemerataan
jenis rendah. Apabila nilai E berkisar antara 0,3 sampai dengan 0,6 maka
kemerataan jenis tergolong rendah. Sedangkan jika nilai E > 0,6 maka kemerataan
25
jenis dalam komunitas tersebut dapat dikatakan tinggi. Dari hasil penelitian pada
LOA dua tahun, nilai indeks kemerataan jenis pada tiap-tiap tingkat pertumbuhan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 8 Indeks kemerataan jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan
LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan
Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi
Semai Pancang Tiang Pohon
*LOA TPTII 1 tahun
0–15 0,83 0,86 0,84 0,88
15–25 0,71 0,78 0,84 0,90
25–45 0,88 0,90 0,87 0,91
Rata-rata
0,80 0,84 0,85 0,89
LOA TPTII 2 tahun
0–15 0,82 0,85 0,84 0,88
15–25 0,71 0,77 0,84 0,90
25–45 0,92 0,89 0,87 0,91
Rata-rata
0,82 0,84 0,85 0,89
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana
2008
Dari Tabel 8 dapat terlihat bahwa indeks kemerataan jenis (E) baik pada
LOA TPTII 1 (satu) tahun, maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai
diatas 0,60. Indeks kemerataan tertinggi pada LOA TPTII 1 (satu) tahun terdapat
pada tingkat vegetasi pohon di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,91.
Namun pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi penurunan nilai indeks kemerataan
untuk tingkat semai dan pancang di tiap-tiap kelerengan. Tingginya nilai indeks
kemerataan jenis ini mengindikasikan bahwa komposisi jenis pada LOA TPTII 1
(satu) tahun dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tersebar merata. Artinya, pada kedua
kondisi hutan ini tidak hanya di dominasi oleh satu jenis, namun tersebar pada
banyak jenis.
5.1.6 Indeks Kesamaan Komunitas
Untuk mengetahui tingkat kesamaan suatu komunitas dapat dicari dengan
menghitung nilai Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity). Indeks
Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi
jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat
pertumbuhan. Besarnya nilai indeks kesamaan dapat dilihat pada Tabel 9.
26
Tabel 9 Indeks kesamaan komunitas (IS) antara hutan primer, LOA TPTII 1
(satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun
Kelerengan
(%) Komunitas Hutan
Tingkatan Vegetasi
Semai Pancang Tiang Pohon
0–15
Primer vs TPTII 1 Tahun 34,46 33,55 52,90 41,44
Primer vs TPTII 2 Tahun 34,97 33,90 52,90 41,48
TPTII 1 Tahun vs 2 Tahun 98,00 98,34 99,93 99,82
15–25
Primer vs TPTII 1 Tahun 35,07 42,73 53,87 35,54
Primer vs TPTII 2 Tahun 35,20 42,97 55,30 36,15
TPTII 1 Tahun vs 2 Tahun 99,17 98,76 97,42 98,32
25–45
Primer vs TPTII 1 Tahun 40,58 46,72 57,49 49,85
Primer vs TPTII 2 Tahun 41,65 46,90 58,03 49,96
TPTII 1 Tahun vs 2 Tahun 93,15 99,13 86,93 99,58
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif
Komunitas yang dibandingkan pada penelitian ini adalah hutan primer, LOA
TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Ketiga komunitas ini
dibandingkan berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengannya.
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai kesamaan komunitas pada kondisi hutan
primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai
yang bervariasi pada tiap tingkatan vegetasi dan kelerengannya. Pada komunitas
pertama yang dibandingkan, yaitu hutan primer dengan LOA TPTII 1 (satu)
tahun, dapat dilihat bahwa nilai indeks kesamaan (IS) tertinggi terdapat pada
tingkat tiang di kelerengan curam dengan nilai IS sebesar 57,49%. Sedangkan
nilai IS terendah terdapat pada tingkat pancang di kelerengan datar dengan nilai IS
sebesar 33,55%.
Pada komunitas kedua yang dibandingkan, yaitu hutan primer dengan LOA
TPTII 2 (dua) tahun, dapat dilihat perbedaan nilai IS yang ditunjukkan. Jika
dibandingkan dengan komunitas pertama, pada komunitas kedua ini terjadi
peningkatan nilai IS. Nilai IS tertinggi yang terdapat di komunitas kedua ini
adalah sebesar 49,96% yang dapat ditemukan pada tingkat tiang di kelerengan
curam. Sedangkan nilai IS terendah ditemukan pada tingkat pancang di
kelerengan datar dengan nilai sebesar 33,9%.
Sedangkan untuk komunitas ketiga yang dibandingkan, yaitu LOA TPTII 1
(satu) tahun dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun, dapat dilihat nilai IS tergolong
tinggi karena dua komunitas ini hanya berbeda satu tahun. Nilai IS tertinggi yang
terdapat di komunitas ketiga ini adalah sebesar 99,93% yang dapat ditemukan
27
pada tingkat tiang di kelerengan datar. Sedangkan nilai IS terendah terdapat pada
tingkat pancang di kelerengan curam dengan nilai hanya sebesar 86,93%.
Nilai Indeks Kesamaan (IS) berkisar antara 0–100%. Nilai 0% menunjukkan
bahwa tidak ada kesamaan antar jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang
dibandingkan. Sedangkan nilai 100% menunjukkan bahwa dua komunitas yang
dibandingkan adalah sama. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dua
komunitas dianggap sama apabila nilai IS-nya mendekati 100%.
5.2 Riap Tanaman Shorea parvifolia pada Jalur Tanam
Produktivitas tanaman dapat diukur dari beberapa parameter, salah satunya
adalah riap tinggi dan diameter suatu tanaman. Dalam kegiatan penelitian ini,
dilakukan pengambilan data riap tinggi dan diameter serta rata-rata tinggi dan
diameter tanaman Shorea parvifolia di jalur tanam pada LOA TPTII dengan umur
dua tahun yang kemudian dibandingkan dengan umur satu tahun.
5.2.1 Perbandingan Rata-rata Diameter dan Tinggi Shorea parvifolia
Rata-rata diameter dan tinggi S. parvifolia pada jalur tanam LOA TPTII
dengan umur dua dan tiga tahun dengan LOA TPTII satu dan dua tahun akan
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea
parvifolia di jalur tanam LOA TPTII
LOA TPTII Kelerengan D (cm) T (cm)
*LOA 1 tahun Datar (0-15%) 1,80 209,40
Sedang (15-25%) 1,83 230,69
Curam (>25%) 1,59 181,55
LOA 2 tahun Datar (0-15%) 3,47 377,00
Sedang (15-25%) 3,33 389,42
Curam (>25%) 3,20 356,87
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana
2008
Dari Tabel 10 didapat rata-rata diameter yang terbesar pada LOA TPTII
umur dua tahun adalah pada kelerengan datar, yaitu sebesar 3,47 cm dan untuk
tinggi pada kelerengan sedang yaitu 389,42 cm. Berikut adalah histogram yang
menunjukkan perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman S. parvifolia
28
pada tahun pertama dengan tahun kedua. Histogram tersebut ditunjukkan pada
Gambar 6 dan 7.
Gambar 6 Perbandingan rata-rata tinggi tanaman Shorea parvifolia
Gambar 7 Perbandingan rata-rata diameter tanaman Shorea parvifolia
Dari Gambar 6 dan 7 dapat dilihat adanya perbedaan rata-rata tinggi dan
diameter pada tiap-tiap kelas kelereng. Data di atas memnunjukkan bahwa pada
kelerengan curam rata-rata tinggi dan diameter lebih rendah di bandingkan dengan
kelerengan datar dan sedang karena pada kelerengan curam ketebalan tanah
dangkal yang dapat mempengaruhi perakaran tanaman. Kondisi jalur tanam LOA
TPTII dapat dilihat pada Gambar 8.
Datar (0–15%) Sedang (15–25%) Curam (>25%)
Topografi
1 Tahun
2 Tahun
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
Datar (0–15%) Sedang (15–25%) Curam (>25%)
Topografi
1 Tahun
2 Tahun
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
29
Gambar 8 Kondisi jalur tanam LOA TPTII
5.2.2 Riap Rata-Rata Tinggi dan Diameter
Dari nilai rata-rata diameter dan tinggi dapat diketahui riap rata-rata
diameter dan tinggi. Pada penelitian ini menggunakan data dari hasil penelitian
tahun 2008 dan hasil penelitian tahun 2009. Berikut data riap diameter dan tinggi
yang ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11 Riap LOA TPTII 1 dengan LOA TPTII 2
LOA TPTII Kelerengan Riap Diameter (cm) Riap Tinggi (cm)
LOA 2 Tahun Datar (0–15%) 1,67 167,60
Sedang (15–25%) 1,50 158,73
Curam (>25%) 1,61 175,32
LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif
Nilai riap diameter tertinggi pada LOA TPTII umur dua tahun terdapat pada
kelerengan datar yaitu sebesar 1,67 cm. Sedangkan untuk nilai riap tinggi yang
mempunyai nilai terbesar terdapat pada kelerengan curam dengan nilai riap
sebesar 175,32 cm. Hal ini terjadi karena kondisi lokasi penelitian yang berbukit-
bukit dan perbedaan penutupan tajuk di areal pengamatan. Berikut adalah Gambar
9 yang menunjukkan histogram riap tinggi dan diameter tanaman S. parvifolia.
30
Gambar 9 Riap diameter tanaman Shorea parvifolia
Gambar 10 Riap tinggi tanaman Shorea parvifolia
Pertumbuhan tanaman akan terpengaruh oleh kondisi lingkungannya.
Kelerengan merupakan salah satu faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Tanaman memiliki peranan dalam pengamanan lereng.
Sistem perakaran dari suatu tanaman sangat berkaitan dengan kelerengan.
31
5.2.3 Analisis Hubungan Antara Riap Tanaman Shorea parvifolia Pada
Jalur Tanam dengan Kelerengan Lahan
Hasil analisis rancangan percobaan dilakukan dengan menggunakan
Statistical Analysis Software (SAS) untuk mengetahui pengaruh kelerengan
terhadap diameter dan tinggi tanaman Shorea parvifolia di jalur tanam pada LOA
TPTII dua tahun.
Dari hasil sidik ragam didapatkan bahwa kelerengan berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan diameter dan tinggi pada LOA TPTII dua tahun tahun. Hal
ini terjadi karena nilai probability untuk diameter dan tinggi Shorea parvifolia
pada LOA TPTII dua tahun lebih kecil dari 0,05 (dapat dilihat pada lampiran 2
dan 3). Karena jika nilai Probability (P) < 0,05 maka kelerengan mempunyai
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi maupun diameter tanaman.
Sebaliknya jika nilai P > 0,05 berarti kelerengan tidak berpengaruh terhadap
diameter dan tinggi tanaman. Dari semua hasil sidik ragam antara kelerengan
dengan tinggi dan diameter berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut
(Duncan) untuk mengetahui kelerengan yang berpengaruh. Hasil uji lanjut
(Duncan) hubungan antara pertumbuhan diameter LOA satu dan dua tahun
dengan tingkat kelerengan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Hasil uji lanjut (Duncan) hubungan pertumbuhan diameter dengan
tingkat kelerengan
Nilai rata-rata dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pengelompokan Duncan Nilai rata-rata N Perlakuan
A 1.62467 600 Datar
B 1.50867 600 Curam
B
B 1.48133 600 Sedang
Dari Tabel 12 dapat dilihat hasil uji lanjut kelerengan terhadap pertumbuhan
diameter LOA TPTII satu dan dua tahun, diketahui bahwa pertumbuhan diameter
pada kelerengan datar lebih baik dibandingkan dengan kelerengan sedang dan
curam. Untuk hasil uji lanjut (Duncan) hubungan antara pertumbuhan tinggi LOA
satu dan dua tahun dengan tingkat kelerengan dapat dilihat pada Tabel 14.
32
Tabel 13 Hasil uji lanjut (Duncan) hubungan pertumbuhan tinggi dengan tingkat
kelerengan
Nilai rata-rata dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pengelompokan Duncan Nilai rata-rata N Perlakuan
A 168.902 600 Curam
B 160.717 600 Sedang
B
B 159.990 600 Datar
Pada Tabel 13 dapat dilihat hasil uji lanjut kelerengan terhadap pertumbuhan
tinggi LOA TPTII satu dua tahun, diketahui bahwa pertumbuhan tinggi pada
kelerengan curam lebih baik dibandingkan dengan kelerengan datar dan sedang.
5.3 Analisis Tanah
Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan
tegakan hutan, yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat, dan topografi, dimana
secara umum sangat sulit untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan
pada kegiatan budidaya tanaman yaitu pendekatan kepada kesesuaian lahan.
Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman dapat dilakukan melalui perbaikan
kesuburan tanah.
Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran
pohon dan perkembangannya. Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan
tanah yang subur bagi berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan
sebagai kesuburan kimiawi dan fisika, yang memungkinkan pohon tumbuh
dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya. Kesuburan tanah merupakan
kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan
peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman. Berikut ini
dipaparkan mengenai sifat fisis dan kimia tanah pada areal penelitian.
5.3.1 Sifat Fisika Tanah
Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan
air, aerasi, drainase, dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi
buruk. Dalam kondisi demikian pengambilan oksigen dan pembuangan
karbondioksida tidak berjalan dengan baik. Keadaan sifat fisika tanah sangat
33
mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan tekstur dan struktur
tanah.
Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari butir-butir tanah.
Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu
sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-
lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan
yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, struktur tanah di
seluruh areal plot penelitian termasuk dalam struktur butiran kelas halus sampai
sedang. Struktur tanah yang baik mempunyai tata udara yang baik, unsur-unsur
hara lebih mudah tersedia dan lebih mudah diolah. Hasil pengukuran sifat fisik
tanah dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil Pengukuran sifat fisik tanah
Kondisi Hutan Kedalaman Struktur Kadar Air (%) Warna Tekstur
TPTII 1 tahun 20cm Butiran 32,94
5 yr, 6/8 Reddish
Yellow Liat
TPTII 2 tahun 20cm Butiran 46,73
5 yr, 6/8 Reddish
Yellow Liat
Berdasarkan hasil pengukuran sifat fisik tanah di areal penelitian diketahui
bahwa struktur tanah baik di LOA TPTII 1 tahun maupun LOA TPTII 2 tahun
berstruktur butiran. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa adanya peningkatan
kadar air pada TPTII 2 tahun sebesar 13,79% pada kedalaman 20. Hal ini dapat
dikatakan bahwa daya serap tanah sudah berangsur-angsur membaik.
Warna tanah adalah petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Biasanya warna
tanah yang gelap disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik. Semakin
gelap warna tanah, semakin tinggi kandungan bahan organiknya. Warna tanah di
lapisan bawah yang kandungan bahan organiknya rendah lebih banyak
dipengaruhi oleh jumlah kandungan dan bentuk senyawa besi (Fe). Di daerah
yang mempunyai sistem drainase buruk, warna tanahnya abu-abu karena ion besi
yang terdapat di dalam tanah berbentuk Fe2+
. Warna tanah yang terdapat di areal
penelitian adalah reddish yellow, warna tanah tersebut tidak terlalu gelap,
cenderung mendekati kekuningan. Hal tersebut berarti kandungan bahan organik
pada area penelitian cenderung rendah.
34
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena
terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu, dan liat yang
terkandung pada tanah. Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap
keadaan sifat-sifat tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas, porositas,
dan lain-lain. Hasil pengolahan sifat fisik tanah didapatkan bahwa tanah pada
areal penelitian bertektur liat. Tanah bertekstur liat lebih sulit diolah dibandingkan
dengan tanah bertekstur pasir, namun tanah bertektur liat memiliki kemampuan
menyimpan air yang tinggi sehingga tanahnya tidak cepat kering.