15
41 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Awal terjadinya konflik antar Etnis Sumba dan Etnis Maluku Etnis Sumba dan Etnis Maluku adalah dua etnis yang sering sekali berkonflik. Konflik antara kedua etnis ini sudah terjadi sejak lama, tidak tahu tahun pastinya konflik antara kedua etnis ini terjadi, tetapi menurut informasi yang didapat dari informan, sejak dulu konflik antar etnis sudah sering terjadi di UKSW, dan etnis Sumba dan Etnis Maluku juga merupakan etnis yang sering berkonflik. “Awal terjadinya konflik antara kami dan Etnis Maluku dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik saja sehingga ada salah pahaman antara kami orang Sumba dan mereka” 1 “Selama ini konflik yang terjadi antara kami Etnis Maluku dan Etnis Sumba dari satu orang dulu, kemudian nanti dari satu orang itu yang akan membuat menjadi bertambah besar sampai ke kelompok etinis” 2 Perbedaan karakter antara kedua Etnis juga menjadi penyebab terjadinya konflik, hal ini didukung kuat oleh pernyataan dari kedua Etnis . “Kami itu wataknya keras, ego kami orang Sumba juga tinggi dan juga temperamental, karakter kita seperti itu yang membuat kita juga menjadi gampang sekali terpancing emosi, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dengan sesama kami maupun etnis Maluku” 3 “Hampir semua dari kami orang Maluku itu emosinya tinggi, jadi gampang untuk ‘naik darah’ dan potensi terjadi konflik juga besar, apalagi kalau Etnis Sumba salah paham dengan cara berkomunikasi kami yang seperti ini’ 4 Kebiasaan kedua etnis ini dalam mengkonsumsi minuman keras juga sebagai pemicu dari terjadinya konflik. “Orang Sumba sudah punya kebiasaan minum minuman keras sudah dari sebelum merantau ke Salatiga, jadi jangan salah kalau lihat orang Sumba ada konflik karena mabuk pasti sudah bakuhantam5 “Ada juga anak Maluku yang dulunya tidak pernah minum minuman keras tapi karena pergaulan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal (kos/kontrakan) lama-kelamaan menjadi terpengaruh yang pertama coba-coba menjadi ketagihan minum miras, kalau sudah mabuk berat pasti bikin onar” 6 1 Transkrip wawancara dengan D, tanggal 20 Maret 2015 2 Transkrip Wawancara dengan G, tanggal 14 April 2015 3 Transkrip wawancara dengan C, tanggal 20 Maret 2015 4 Transkrip wawancara dengan F, tanggal 14 April 2015 5 Transkrip Wawancara dengan D, tanggal 20 Maret 2015 6 Transkrip wawancara dengan F, tanggal 14 April 2015

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Awal …€¦ · rasa kepedulian atau solidaritas yang sangat tinggi. “ Di Maluku ada istilah “ Maluku satu darah, Ale rasa beta rasa”

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

41

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Awal terjadinya konflik antar Etnis Sumba dan Etnis Maluku

Etnis Sumba dan Etnis Maluku adalah dua etnis yang sering sekali berkonflik.

Konflik antara kedua etnis ini sudah terjadi sejak lama, tidak tahu tahun pastinya konflik

antara kedua etnis ini terjadi, tetapi menurut informasi yang didapat dari informan, sejak

dulu konflik antar etnis sudah sering terjadi di UKSW, dan etnis Sumba dan Etnis Maluku

juga merupakan etnis yang sering berkonflik.

“Awal terjadinya konflik antara kami dan Etnis Maluku dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik saja sehingga ada salah pahaman antara kami orang Sumba dan mereka”1

“Selama ini konflik yang terjadi antara kami Etnis Maluku dan Etnis Sumba dari satu orang dulu, kemudian nanti dari satu orang itu yang akan membuat menjadi bertambah besar sampai ke kelompok etinis”2

Perbedaan karakter antara kedua Etnis juga menjadi penyebab terjadinya konflik, hal ini

didukung kuat oleh pernyataan dari kedua Etnis .

“Kami itu wataknya keras, ego kami orang Sumba juga tinggi dan juga temperamental, karakter kita seperti itu yang membuat kita juga menjadi gampang sekali terpancing emosi, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dengan sesama kami maupun etnis Maluku”3

“Hampir semua dari kami orang Maluku itu emosinya tinggi, jadi gampang untuk ‘naik darah’ dan potensi terjadi konflik juga besar, apalagi kalau Etnis Sumba salah paham dengan cara berkomunikasi kami yang seperti ini’4

Kebiasaan kedua etnis ini dalam mengkonsumsi minuman keras juga sebagai pemicu

dari terjadinya konflik.

“Orang Sumba sudah punya kebiasaan minum minuman keras sudah dari sebelum merantau ke Salatiga, jadi jangan salah kalau lihat orang Sumba ada konflik karena mabuk pasti sudah

bakuhantam”5

“Ada juga anak Maluku yang dulunya tidak pernah minum minuman keras tapi karena pergaulan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal (kos/kontrakan) lama-kelamaan menjadi terpengaruh yang pertama coba-coba menjadi ketagihan minum miras, kalau sudah mabuk berat pasti bikin onar”6

1 Transkrip wawancara dengan D, tanggal 20 Maret 2015 2 Transkrip Wawancara dengan G, tanggal 14 April 2015 3 Transkrip wawancara dengan C, tanggal 20 Maret 2015 4 Transkrip wawancara dengan F, tanggal 14 April 2015 5 Transkrip Wawancara dengan D, tanggal 20 Maret 2015 6 Transkrip wawancara dengan F, tanggal 14 April 2015

42

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, orang Sumba dan Orang Maluku sama-

sama memiliki watak yang keras dan cepat ‘naik darah’ atau emosi yag sangat tinggi. Ketika

terjadi kesalah pahaman diantara mereka, dengan otomatis bakuhantam bisa terjadi, apalagi

kebiasaan mereka dalam minum minuman keras juga sebagai penyebab konflik bisa terjadi.

Bagi Etnis Sumba jika terjadi konflik diantara mereka dengan Maluku, mereka tidak akan

segan untuk beradu kontak fisik dengan lawan.

“Kami sebagai Etnis Sumba kami punya prinsip “pukulan diganti pukulan, luka diganti dengan luka”, kalau ada teman kami yang diserang dan dipukul kami harus membalas karena sudah diperlakkan tidak baik”7

Berbeda dengan orang Maluku yang memiliki kebiasaan mengatakan atau menilai sesuatu

secara spontan juga mengundang terjadi konflik dengan Etnis Sumba.

“Apa yang kami lihat, apa yang kami rasakan, itu yang kami katakan secara langsung, jadi kadang membuat orang Sumba merasa tidak nyaman dan marah dari penilaian yang kami berikan8

Ada kesamaan dari orang Maluku dan Sumba yang tidak tidak jauh berbeda yang memiliki

rasa kepedulian atau solidaritas yang sangat tinggi.

“ Di Maluku ada istilah “ Maluku satu darah, Ale rasa beta rasa” kita sama-sama orang

Maluku, apa yang lain rasakan, kita juga rasakan, ada yang susah kita harus bantu, ada yang

dipukul kita juga harus tolong9”

Komunikasi antarbudaya sendiri terjadi pada pelaku komunikasi yang memiliki latarbelakang

budaya yang berbeda yang sama-sama berusaha untuk menyampaikan suatu makna pesan

agar dapat dimengerti dan dipahami bersama. Ketika komunikasi antarbudaya terjadi antara

Etnis Sumba dan Etnis Maluku, penyampaian yang dilakukan oleh keduanya sesuai dengan

budaya mereka. Orang Sumba dengan budaya mereka yang memiliki gaya bahasa,intonasi

berbicara harus bisa membangun komunikasi dengan orang Maluku yang memilik gaya

bahasa, intonasi berbicara yang berbeda pula dengan orang Sumba, sehingga bagaimana

caranya agar keduanya, dapat mengerti dan memahami proses komunikasi yang berlangsung.

Kasus konflik yang digunakan dalam pembahasan ini adalah konflik antar Etnis

Sumba dan Etnis Maluku, dimana Etnis Maluku sebgai korban penggroyokan yang dilakukan

oleh Etnis Sumba.10

7 Transkrip Wawancara dengan B, tanggal 20 Maret 2015 8 Transkrip Wawancara dengan F, tanggal 14 April 2015 9 Transkrip wawancara dengan F, tanggal 14 April 2015

43

Titik awal terjadinya konflik antara kedua etnis ini adalah interaksi simbolik yang

gagal dan menghambat komunikasi antarbudaya yang berlangsung antara Etnis Sumba dan

Etnis Maluku.

“Anak Maluku yang duluan menantang kami anak Sumba, itu terlihat dari tatapan matanya”11

“Mereka datang bergerombol ada 4 orang Sumba, datang langsung pukul saja tanpa basa-basi”12

“Saya tanya dulu ke korban “kau pernah pukul anak Sumba sampai hancur?” langsung saya cekik”13

Komunikasi sendiri merupakan suatu proses di mana seorang menyampaikan

pesannya, baik dengan lambang, bahasa maupun dengan isyarat, gambar, gaya, sehingga

dapat dimengerti oleh pelaku komunikasi. Terhambatnya proses komunikasi disebabkan oleh

tiga hal pokok unsur utama komunikasi yaitu komunikator, isi pesan, dan juga komunikan14.

Komunikator sebagai (encoder) artinya dia harus benar-benar mengerti,paham, akan

pesan yang ingin dia sampaikan kepada komunikan, sehingga komunikan pun merasa yakin

dan paham akan pesan yang disampaikan oleh komunikator. Etnis Sumba dan Etnis Maluku

pada saat berperan sebagai komunikator, mereka harus benar berusaha menafsirkan pesan

sebelum disampaikan, artinya pesan yang ingin disampaikan bener-benar

dipahami,dimengerti oleh mereka terlebih dahulu. Kemudian isi pesan juga merupakan salah

satu unsur yang menghambat terjadinya komunikasi. Komunikasi yang berlangsung antara

Etnis Sumba dan Etnis Maluku terhambat ketika isi pesan yang disampaikan berisi kata-kata

baik itu verbal maupun nonverbal, yang susah untuk dicerna atau diartikan oleh komunikan.

Ketika komunikator awalnya sudah tidak mengerti dengan apa yang ingin dia sampaikan

kepada komunikan, isi pesan yang disampaikan pun juga akan susah disampaikan kepada

komunikan. Sehingga komunikan pun akan mengalami gangguan dalam mengartikan pesan

yang disampaikan oleh komunikan. Etnis Sumba dan Etnis Maluku berperan sebagai

komunikan (decoder) tidak berusaha untuk mengartikan, memahami pesan yang disampaikan

oleh komunikator maka menghambat mereka dalam proses komunikasi efektif

10 Berkas Perkara, Nomor: BP//III/2013/RESKRIM 11

Berita Acara, Laporan Polisi No.Pol:LP/B/116/II/2013/JTG/Res SLTG, 28 Febuari 2013 12 Berita Acara, Laporan Polisi No.Pol:LP/B/116/II/2013/JTG/Res SLTG, 28 Febuari 2013 13

Berita Acara, Laporan Polisi No.Pol:LP/B/116/II/2013/JTG/Res SLTG, 28 Febuari 2013 14 Barna Dan Ruben dalam Devito (1997) Komunikasi Antarmanusia. Hlm, 488-491

44

Kondisi lain yang menghambat dan mempengaruhi proses komunikasi yang terjadi

antara Etnis Sumba dan Etnis Sumba pun bisa dikategorikan sebagai berikut15 :

1) Gangguan (noise): Bisa disebabkan oleh penggunaan bahasa baik itu perbedaan

arti kata,penggunaan istilah tertentu, dan juga komunikasi nonverbal. Kedua Etnis

menggunakan bahasa, dialek mereka masing-masing dalam berkomunikasi

sehingga susah untuk mengartikan pesan. Selain itu juga disebabkan oleh

kegaduhan, Etnis Sumba dan Etnis Maluku yang suka bergerombol secara

otomatis akan membuat kebisingan dan dapat memicu terhambatnya komunikasi

yang berlangsung.

2) Kepentingan : Etnis Sumba dan Etnis Maluku memiliki kepentingan yang

berbeda, pada saat memiliki kepentingan yang sama mereka akan selektif dalam

menanggapi suatu pesan yag disampaikan. Dan terjadi sebaliknya kedua etnis ini

akan sama-sama tidak memperdulikan satu dengan yang lain.

3) Sikap dalam berkomunikasi : Etnis Sumba dan Etnis Maluku tidak memiliki sikap

yang baik ketika proses komunikasi berlangsung. Sama-sama emosional dalam

bertindak, tidak menjadi pendengar yang baik, dan juga main hakim sendiri.

4) Perbedaan latarbelakang : Etnis Sumba dan Etnis Maluku memiliki karakter

individu yang berbeda, sehingga dalam melakukan proses komunikasi dibutuhkan

pengertian antara kedua etnis tersebut.

5) Prasangka : Salah satu hambatan berat dalam kegiatan komunikasi. Etnis Sumba

berprasangka negatif terhadap Etnis Maluku, dengan mengatakan bahwa cara

pandang mata Etnis Maluku pada saat menatap Etnis Sumba sebagai bentuk

menantang Etnis Sumba untuk berkelahi

Jika dikaitkan dengan Teori Interaksionisme menurut George Herbet Mead,

berpandangan bahwa manusia adalah individu yang berpikir, berperasaan, memberikan

pengertian pada setiap keadaan, yang melahirkan reaksi dan interpretasi kepada setiap

rangsangan yang dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan melalui interpretasi simbol-simbol

atau komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak, bahasa, rasa simpati, empati, dan

15 Onong Uchjana dalam Mulyana (2010) . Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial,. PT Remaja Rosdakarya: Bandung, Hal 25

45

melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukan reaksi atau respon terhadap

rangsangan-rangsangan yang datang kepada dirinya16.

Ketika komunikasi antarbudaya yang baik berlangsung antara Etnis Sumba dan Etnis

Maluku, mereka akan sama-sama untuk memberikan pengertian yang baik, mempunyai

perasaan yang sama, saling memberikan pemenuhan harapan antara satu dengan yang lain

sehingga menciptakan tingkah laku atau rangsangan yang baik juga bagi mereka, yang bisa

membangun rasa simpati, empati, sehingga interkasi simbolik yang terjalin juga berjalan

dengan baik. Tetapi ketika interaksi simbolik yang berlangsung terhambat atau tidak berjalan

semana mestinya, maka kedua etnis ini sama-sama tidak memberikan pengertian,perasaan

yang sama. Dalam diri mereka sudah tidak ada lagi rasa simpati, empati, bahkan gerak

tubuh,dan bahasa yang digunakan itu bisa membuat mereka semakin membenci satu dengan

yang lain. Ketika Etnis Sumba dinilai oleh Etnis Maluku sebagai orang yang primitif, kasar,

tidak bisa menghargai orang, dalam diri Etnis Sumba mereka harus menggunakan pandangan

Etnis Maluku sebagai pengontrol dalam diri mereka agar dalam mereka bertindak mereka

lebih bisa memikirkan bagaimana cara bertindak yang baik dalam melakukan proses

komunikasi atau interaksi . Begitpula dengan Etnis Maluku, dari pandangan atau penilaian

Etnis Sumba, Etnis Maluku itu orangnya sombong, banyak gaya, sok, dll. Dalam diri Etnis

Maluku juga harus bisa menggunakan pandangan Etnis Sumba sebagai pengontrol dalam diri

mereka, supaya dalam bertindak mereka juga bisa berpikir sebelum bertindak.

Dalam melakukan suatu interaksi, maka gerak, bahasa, dan rasa simpati sangat

menentukan, apalagi berinteraksi dalam masyarakat yang berbeda etnis/suku dan

kebudayaan. Modal utama dalam melakukan interaksi dalam masyarakat multietnik

adalah saling memahami kebiasaan ataupun kebudayaan dari orang lain, sehingga

kesalah-pahaman yang nantinya akan menimbulkan konflik dapat diatasi.

5.2. Jalannya Konflik antar Etnis Sumba dan Etnis Maluku

Konflik yang berlangsung antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku ini, terjadi tepatnya

di daerah sekitaran belakang kampus UKSW, di mana itu merupakan tempat pemukiman

mahasiswa atau kos-kosan dan juga kontrakan.

16 Herbert Blumer dan George Herbert Mead dalam Agus Salim (2008). Pengantar Sosiologi Mikro,Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hlm, 11

46

Pada bulan 27 febuari 2013 sekitar pukul 23:00 WIB, konflik terjadi atara Etnis

Sumba dan Etnis Maluku. Konflik ini terjadi di Wawung Burjo yang terletak di Kp.

Sumopuro Kec. Sidorejo Kota Salatiga. Salah satu anggota Etnis Maluku menjadi korban

penganiayaan oleh empat orang anggota Etnis Sumba, pelaku dan korban merupakan

mahasiswa UKSW. Saat itu korban baru saja selesai makan dan masih duduk di Burjo,

kemudian ia didatangi oleh empat orang Sumba, kemudian tanpa basa-basi salah satu anggota

etnis Sumba ini lagsung memukul kepala orang Maluku ini sebanyak 1 (satu) kali.

Ketika korban berdiri dari dari tempat duduk, kemudian keempat pelaku dari etnis

Sumba ini langsung menyerang korban dengan tangan kosong. Kemudian korban melakukan

perlawanan untuk membela diri dengan cara menangkis dan mendorong para pelaku untuk

keluar dari dalam warung tersebut. Pada saat korban berada di depan warung , tiba-tiba para

pelaku mengambil batu dari tempat kejadian, yang langsung dipukulkan pada bagian

punggung, rusuk, dan tangan kiri korban. Berlangsungnya kejadian ini berdasarkan

pernyataan atau cerita dari korban yang merupakan salah satu anggota Etnis Maluku yang

bernama Frangky A Masipupu. Korban juga mengatakan bahwa sebelum terjadinya

penggoroyokan oleh empat orang anggota Etnis Sumba, korban tidak memiliki masalah

dengan para pelaku.17

Menurut cerita salah satu pelaku yang berasal dari Etnis Sumba yang bernama Ari

Lawa, yang diceritakan oleh korban tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Pelaku bercerita

bahwa maksud dan tujuan mereka datang ke Burjo untuk makan. Setelah sampai mereka

memesan makanan kepada pemilik warung Burjo, kemudian pelaku bertanya kepada korban

yang saat itu sedang duduk disamping pelaku . “ kau pernah pukul anak sumba sampai

hancur ?”. Sebelum korban belum sempat menjawab, pelaku langsung mencekik lehernya

dan ditarik keluar warung. Namun belum sampai diluar warung, pelaku terjatuh karena

dipukuli oleh korban sampai terjatuh, dan korban pun lari keluar dari warung. Setelah sampai

di jalan atau samping warung Burjo pelaku dan korban saling kejar mengejar dan saling

bakuhantam. Selain itu menurut pelaku setelah iya mencekik korban, ia tidak memukul

bagian kepala korban, karena posisi badan pelaku tidak seimbang, sehingga pelaku terjatuh

kebelakang namun pelaku masih sempat memegang tangan korban.18

17 Berita Acara Saksi Korban, Laporan Polisi No.Pol: LP/B/116/2013/JTG/Res Sltg, tanggal 28 Febuari 2013. 18 Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Laporan Polisi. No. Pol: LP/B/116/2013/JTG/Res Sltg, tanggal 28 febuari 2013.

47

Fridolin U Manna Masarani salah satu pelaku penggroyokan yang berasal dari Etnis

Sumba bercerita bahwa, maksud dan tujuan penggroyokan adalah untuk membalas dendam

kepada korban, karena sebelumnya korban pernah melakukan pemukulan kepada salah satu

anggota Etnis Sumba yang merupakan pelaku juga yang bernama Ari Lawa. Sehingga pelaku

Ari Lawa menyimpan dendam kepada korban Frangky Masipupu. Ketika sampai di warung

Burjo korban sangat terkejut melihat kedatangan para pelaku, kemudian pelaku Ari Lawa

langsung menghantam korban.19

Kronologis konflik yang berlangsung antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku,

berdasarkan cerita pelaku lainnya yang bernama Dickcene Adi Mesa, ia mengatakan bahwa

pada saat mereka sampai di warung Burjo, pelaku Ari Lawa dan korban Frangky duduk

bersebelahan. Mereka sedang mengobrol, namun tiba-tiba korban menantang pelaku Ari,

karena ditantang pelaku Ari mangajak korban untuk keluar dengan cara merangkul korban

dan dipaksa keluar. Pada saat mereka berdiri korban terlebih dahulu memukul pelaku Ari

sehingga terjatuh.20

Komunikasi antarbudaya itu bisa menyenangkan, membawa suasana

damai,mengurangi kekeliruan informasi, dan meredakan ketegangan. Komunikasi yang

efektif hanya akan terjadi manakalah dua pihak memberikan makna yang yang sama atas

pesan yang mereka tukarkan. Sebaliknya, komunikasi yang kacau membawa perbedaan

pendapat, perbedaan pandangan, yang mengakibatkan pertikaian dan perkelahian ketika dua

pihak memberikan makna yang berbeda atas pesan yang disampaikan.

Dari penjelasan ini bisa digambarkan bahwa ada perbedaan budaya antara pelaku

komunikasi atas konsep ‘tujuan’ petemuan,’cara membuka’ pertemuan, ‘penggunaan bahasa’

dalam pertemuan, dan bagaimanakah seharusnya ‘menutup pertemuan’ 21. Semakin berbeda

budaya pelaku komunikasi, maka semakin besar peluang bias atas makna budaya

antrabudaya, sebaliknya semakin kecil bahkan kalau tidak ada perbedaan antarbudaya maka

semakin kecil atau bahkan tidak ada bias makna di antara mereka.

Berdasarkan kerangka pikir yang telah dibuat sesuai dengan teori yang digunakan,

yaitu Teori Interaksionisme Simbolik oleh George Herbet Mead. Inti dari teori ini

19 Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Laporan Polisi. No.Pol: LP/B/116/II/2013/JTG/Res Sltg, tanggal 28 Febuari 2013 20 Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Laporan Polisi. No.Pol: LP/B/116/II/2013/JTG/Res Sltg, tanggal 28 Febuari 2013 21 Liliweri, Hal: 46

48

menjelaskan bahwa, setiap manusia/orang berkemampuan mengartikan sebuah makna atau

pesan, dalam suatu tindakan interaksi. Selain itu pula mereka memiliki pikiran, perasaan,

dan pengertian dalam setiap keadaan, serta menciptakan suatu reaaksi dan interprestasi

kepada setiap rangsangan yang dihadapi. Dalam komunikasi yang berlangsung antara Etnis

Sumba dan Etnis Maluku, mereka sama-sama mengartikan simbol-simbol yang dibangun

oleh kedua etnis tersebut dalam melakukan interaksi. Etnis Sumba mengartikan simbol-

simbol yang diberikan oleh Etnis Maluku, dan kemudian Etnis Maluku juga mengartikan

simbol-simbol yang diberikan oleh Etnis Sumba. Namun kenyataannya mereka sama-sama

tidak mengartikan simbol-simbol itu dengan baik, sehingga muncul kesalahpahaman yang

berujung pada konflik.

Inti konsep dari pemikiran Teori ini yaitu yang pertama, pikiran (mind) sebagai

kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Artinya

dalam melakukan interaksi atau komunikasi, Etnis Sumba dan Etnis Maluku harus sama-

sama mengembangkan pemikiran mereka dalam berkomunikasi. Mereka tidak bisa

melakukan komunikasi atau interaksi apabila mereka belum memahami bahasa dengan baik.

Dengan bahasa kedua etnis dapat mengembangkan pikiran mereka , agar bisa memutuskan

bagaimana mereka bertindak dalam menanggapai, merespon komunikasi yang selanjutnya.

Etnis Sumba memiliki pemikiran atau penilain tersendiri mengenai Etnis Maluku,

begitu pula dengan Etnis Maluku yang memiliki pemikiran atau penilaian tersendiri

mengenai Etnis Sumba. Sehingga dalam melakukan komunikasi atau interaksi mereka sudah

mengerti bagaimana harus memposisikan diri, agar dalam berkomunikasi dengan orang yang

berbeda latarbelakan tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada konflik.

Dikaitkan dengan kasus konflik antara etnis ini, dikaji menggunakan Teori Interaksi

Simbolik, konsep pikiran (mind) tidak berjalan dengan baik. Dalam konsep ini Etnis Sumba

maupun Etnis Maluku terlebih dahulu sudah memiliki pikiran bagaimana mereka akan

melakukan hubungan komunikasi, apakah apa yang mereka pikirkan natinya bisa diterima

atau dimaknai sama seperti yang mereka inginkan. Sesuai dengan data kasus yang ada Etnis

Sumba memaknai gaya melihat Etnis Maluku seperti orang menantang, jika benar tatapan

dari Etnis Maluku itu menantang maka interaksi simbolik dalam komunikasi yang terjadi

antara kedua Etnis dinyatakan gagal dan tidak berjalan dengan baik.

Mead dalam konsep teori yang kedua yaitu diri (self) sebagai kemampuan untuk

merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari

49

sebuah jenis pengambilan peran yang khusus atau kemampuan kita untuk melihat diri kita

sendiri dalam pantulan dan pandangan orang lain. Ketika Etnis Sumba melakukan

komunikasi atau interaksi dengan Etnis Maluku begitu pula sebaliknya, mereka akan sama

merefleksikan diri mereka. Etnis Sumba akan berusaha agar bisa melihat diri mereka

berdasarkan penilaian-penilain orang terhadap mereka. Dalam konsep ini ditekankan pada

bagaimana melihat diri dari pandangan orang lain. Tetapi berdasarkan wawancara yang

dilakukan kepada salah satu anggota Etnis Sumba/ orang Sumba, menggangap mereka tidak

peduli dengan orang menilai mereka seperti apa , entah itu baik ataupun buruk yang ada

dalam diri mereka. Sehingga tidak perlu untuk menilai diri mereka sendiri berdasarkan orang

yang menilai, melainkan mereka akan menilai atau merefleksikan berdasarkan kesadaran diri.

Berbeda dengan Etnis Maluku orang menilai mereka sebagai salah satu cara untuk

merefleksikan diri mereka untuk menjadi lebih baik. Ketika orang menilai mereka,maka

secara tidak langsung mereka akan memikirkannya. Walaupun tidak langsung direfleksikan

tetapi melalui proses panjang. Di lain sisi juga, tidak semua orang Maluku bisa merefleksikan

diri mereka berdasarkan orang yang menilai. Ada yang bisa menerima dengan baik

pandangan orang adapula yang tidak bisa. Sehingga hal seperti itu akan menghambat mereka

ketika dalam melakukan suatu interaksi atau komunikasi.

Konsep yang ketiga dari teori ini adalah masyarakat (society), sebagai jejaring

hubungan sosial yang diciptakan manusia. Dari ketiga konsep ini, adanya saling

keterhubungan antara satu dengan yang lain. Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya

sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan diri (self)

menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead

menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi

orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan

orang itu22. Ada dua bagian penting masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri, yaitu

diantaranya adalah orang lain secara khusus dan orang lain secara umum. Secara khusus

meliputi keluarga dan teman yang memang mempunyai hubungan dengan kita, sedangkan

secara umum adalah orang-orang yang berada di sekitar kita,yang tidak memiliki hubungan

batin tetapi memberikan, menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang

dimiliki. Sehingga seseorang bertindak itu berdasarkan lingkungan yang ada disekitarnya.

Etnis Sumba dan Etnis Maluku selalu bertindak dengan cara beradu kekuatan fisik karena

22 Mulyana Hal : 45

50

lingkungan mereka adalah orang-orang yang juga menggunakan kekuatan fisik sebagai cara

untuk menyelesaikan masalah.

Dalam teori ini juga, manusia atau individu memiliki kemampuan kebebasan dalam

mengartikan suatu makna dan juga memiliki pikiran, perasaan dalam suatu keadaan tertentu.

Komunikasi berlangsung antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku, kedua etnis memiliki

kebebasan dalam memaknai makna. Tetapi sebelum mereka memaknai makna suatu pesan

simbol, hal pertama yang harus dilakukan adalah harus memikirkan terlebih dahulu, makna

yang tepat dan sesuai. Makna yang diartikan juga apakah bisa diterima atau tidak oleh yang

lain. Dalam kasus ini Etnis Sumba menggangap Etnis Maluku memberikan simbol menatap

dan diartikan oleh Etnis Sumba sebagai cara yang dilakukan untuk mengajak berantem atau

mengadu kekuatan, karena tatapan yang diberikan oleh Etnis Maluku adalah tatapan orang

yang penuh emosi. Berbeda dengan Etnis Sumba, Etnis Maluku menggangap kedatangan

Etnis Sumba di Warung Burjo dengan bergerombol sebagai salah satu cara untuk mengroyok

Etnis Maluku.

5.3. Akhir dari Konflik Antar Etnis Sumba dan Etnis Maluku

Konflik yang terjadi tidak selamanya akan berlangsung terus menerus, tetapi konflik

pun dapat berakhir. Suatu konflik dapat berakhir apabila adanya keinginan yang baik oleh

kedua belah pihak yang bersengketa atau berkonflik. Ketika kedua belah pihak sudah mau

membuka diri mereka dan mau menerima segala masukan, pendapat, yang bersifat baik maka

konflik pun akan diselesaikan dengan baik pula, tanpa harus merugikan salah satu pihak.

Konflik yang terjadi antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku dulunya memang tidak

diselesaikan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari konflik yang terjadi karena balas dendam

akan permasalahan yang lalu yang dilakukan oleh Etnis Sumba terhadap Etnis Maluku.

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya

suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang

berkonflik untuk menyelesaikan konflik. Akhir dari kasus konflik antar Etnis Sumba dan

Etnis Maluku terjadi ketika kedua Etnis mulai menimbulkan kegaduhan, ketidak nyamanan

yang menggangu orang lain. Dalam kasus ini kedua etnis bukan saja menggangu pelanggan

Warung Burjo saja melainkan menggangu dan mencemaskan warga sekitar yang bertempat

tinggal dekat tempat kejadian23.

23 Berkas Perkara, NOMOR:BP/II/2013/RESKRIM

51

Konflik antar Etnis Sumba dan Etnis Maluku yang terjadi ini, dapat berakhir pada

waktu itu ketika korban Frangky Masipupu berteriak “tolong” meminta bantuan kepada

warga sekitar. Sehingga selang beberapa menit kemudian Bpk. Tono Sartono yang kebetulan

tinggal di Warung Burjo dan Bpk. Edi selaku Ketua RT setempat beserta warga sekitar

datang untuk membantu melerai pertikaian, pertengkaran yang terjadi antara Etnis Sumba dan

Etnis Maluku. Ketika kedua Etnis ini dilerai oleh warga sekitar yang berada ditempat

kejadian, para pelaku pun masih masih ngotot untuk melakukan penganiayaan terhadap

korban Frangky Masipupu. Setelah dilerai oleh warga sekitar, pelaku masuk ke dalam

Warung kemudian oleh salah satu pelaku mereka diajak pulang24. Keesokan harinya korban

Frangky Masipupu melaporkan peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh Etnis Maluku ke

Polres Salatiga untuk pengusutan lebih lanjut.

Konflik yang terjadi antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku ini pun berakhir di pihak

yang berwajib. Korban dari Etnis Maluku melaporkan pelaku penganiayaan yang dilakukan

oleh Etnis Sumba dengan pengaduan terjadinya peristiwa penganiayaan yang dilakukan

secara bersama-sama di muka umum, yang terjadi pada hari Rabu 27 Febuari 2013 sekira

pukul 23:00 WIB, di Warung Burjo yang terletak di Kp. Sumopuro Kel. Salatiga Kec.

Sidorejo Kota Salatiga. Yang diduga keras dilakukan oleh tersangka ; Ari Lawa, Cornelis

Patola, Fridoli Umbu Manna Masarani, Tony Mone Rambadeta, dan Dickcene Adi Maesa

Molake 25. Dan juga korban melakukan Visum untuk memperjelas akibat apa saja yang

dialami oleh korban.

Dalam penyelesaian konflik antar Etnis Sumba dan Etnis Maluku ini, pihak Reskrim

melakukan penyelidikan kepada korban, pelaku dan juga saksi-saksi, guna mendapat titik

terang permasalahan yang terjadi antara kedua etnis yang bertikai. Pelaku, korban dan juga

saksi dimintai keterangannya berkisar tentang motif dari penyerangan yang dilakukan,akibat

atau kerugian apa yang dialami setelah terjadinya penyerangan,dll. Selain itu juga pihak

Reskrim juga mendatangkan pihak-pihak yang dianggap senior atau yang di”tuakan” dalam

kedua etnis ini, agar dapat membantu menyelesaikan dan mengakhiri konflik yang terjadi.

Proses komunikasi yang berlangsung dalam penyelesaian konflik antar Etnis Sumba

dan Etnis Maluku dilakukan secara primer, artinya komunikasi yang dilakukan secara tatap

muka, langsung antar seseorang kepada orang lain guna menyampaikan pikiran maupun

perasaan. Alo Liliweri menjelaskan proses komunikasi primer dilakukan tanpa menggunakan

24 Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Budi Ariyanto, Laporan Polisi No.Pol: LP/ B/ 116/ II/ 201/ JTG/ Res Sltg, tanggal 28 Febuari 2013 25 Berkas Perkara ,Nomor: BP// III/ 2013 RESKRIM

52

alat, yaitu secara langsung dengan menggunakan bahasa, gerakan yang diberikan arti khusus,

aba-aba dan sebagainya26. Selain itu juga proses komunikasi yang berlangsung untuk

mencapai perdamain antara kedua Etnis ini juga menggunakan proses komunikasi secara

sekunder, artinya proses penyampaian pesan yang berlangsung menggunakan alat atau sarana

sebagai perantara.

Etnis Sumba dan Etnis Maluku yang berkonflik dipertemukan guna menyelesaikan

semua permasalahan yang terjadi secara langsung di Reskim Polres Salatiga. Kedua Etnis

yang berkonflik ini baik pelaku maupun korban, berusaha untuk mematuhi segala aturan-

aturan yang ada , mereka secara langsung melakukan proses komunikasi dengan pihak yang

berwajib dengan memberikan pernyataan-pernyataan mereka, menggenai konflik yang terjadi

sesuai dengan yang mereka alami 27.

Dalam proses komunikasi yang berlangsung, Etnis Sumba meminta kepada kepada

Etnis Maluku, agar permasalahan ini diselesaiakan secara musyawarah dan kekeluargaan

yang dihadiri oleh orang-orang yang “dituakan” dan juga pengurus organisasi dari masing-

masing Etnis. Komunikasi yang berlangsungpun antara kedua Etnis ini membuat korban

Frangky Masipupu memberikan respon (feedback) yang baik dari proses komunikasi yang

berlangsung. Korban mengambil tindakan, dengan membuat surat permohonan kepada

Kapolres Salatiga, untuk mencabut laporannya dalam kasus penganiayaan secara bersama-

sama yang dilakukan oleh Etnis Sumba28.

Permohonan yang diajukan oleh Etnis Maluku juga mendapatkan feedback baik dari

Kapolres Salatiga. Dari proses yang berlangsung, kedua etnis membuat surat pernyataan

perdamaian dengan banyak pertimbangan-pertimbangan, diantaranya pertimbangan dari Etnis

Maluku selaku korban, akan mencabut laporan karena permasalahan yang terjadi sudah

diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan, para pelaku dari Etnis Sumba telah

menyadari kesalahannya dan telah memohon maaf kepada korban Etnis Maluku, pelaku pun

berjanji untuk tidak akan mengulangi perbuataannya lagi, dan juga mereka harus mengganti

rugi biaya pengobatan korban sebesar Rp 5.000.000.- yang diansur sebanyak 3 kali dalam

jangka waktu 3 bulan, dan yang terakhir Etnis Sumba tidak lagi melakukan penuntutan secara

pidana maupun perdata29.

Dalam proses perdamaian antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku, pihak Etnis Maluku

memberikan respon akan permohonan penangguhan penahanan. Etnis Sumba berjanji, jika 26 Liliweri dalam Sutaryo (1994:11) 27

Berkas Perkara ,Nomor: BP// III/ 2013 RESKRIM 28

Berkas Perkara ,Nomor: BP// III/ 2013 RESKRIM 29 Berkas Perkara ,Nomor: BP// III/ 2013 RESKRIM

53

mereka tidak ditahan mereka sanggup melaksanakan apel pagi tiap senin dan kamis, sanggup

menghadap kepada penyidik sewaktu-waktu untuk kepentingan proses penyidikan, sanggup

untuk tidak mengulangi perbuatan mereka, dan sanggup untuk tidak melarikan diri dan

menghilangkan atau merusak barang bukti. Dan pada akhirnya proses perdamaian yang

berlangsung antara Etnis Sumba dan Etnis Maluku menggunakan cara kekeluargaan dan

musyawarah dengan catatan kedua Etnis tidak boleh menggulangi hal yang sama30.

30 Berkas Perkara ,Nomor: BP// III/ 2013 RESKRIM

54

Konflik

yang terjadi

Etnis Sumba VS

Etnis Maluku

Penyebab Kondisi yang menghambat

komunikasi

Proses komunikasi

untuk mencapai hasil

perdamaian

Pengoroyokan

oleh Etnis Sumba

kepada Etnis Maluku

di Warung Burjo

Sumopuro Salatiga,

27 februari 2013

Dendam

masalah

lalu

1) Gangguan (noise):

Disebabkan oleh penggunaan

bahasa baik itu perbedaan arti

kata, penggunaan istilah tertentu,

dan juga komunikasi nonverbal.

Kedua Etnis menggunakan

bahasa, dialek mereka masing-

masing dalam berkomunikasi

sehingga susah untuk

mengartikan pesan. Selain itu

juga disebabkan oleh kegaduhan,

Etnis Sumba dan Etnis Maluku

yang suka bergerombol, secara

otomatis akan membuat

kebisingan dan dapat memicu

terhambatnya komunikasi yang

berlangsung.

2) Kepentingan :

Etnis Sumba dan Etnis Maluku

memiliki kepentingan yang

berbeda, pada saat memiliki

kepentingan yang sama mereka

akan selektif dalam menanggapi

suatu pesan yang disampaikan.

Dan jika terjadi sebaliknya

kedua etnis ini akan sama-sama

tidak memperdulikan satu

dengan yang lain.

3) Sikap dalam berkomunikasi :

Etnis Sumba dan Etnis

1) Secara Primer

komunikas yang

dilakukan secara

tatap muka, atau

secara langsung baik

itu antara Etnis

Sumba dan Etnis

Maluku yang

berkonflik, maupun

dengan pihak yang

berwajib. Dalam

kasus ini kedua etnis

menggunakan cara

kekeluargaan dan

musyawarah untuk

berdamai.

2) Secara Sekunder

penyampaian pesan

yang berlangsung

menggunakan alat

atau sarana sebagai

perantara. Etnis

Maluku

menggunakan

perantara surat

permohonan

penangguhan

penahan kepada

Kepala Polres

Salatiga agar tidak

55

5.3.1. Summary

Maluku tidak memiliki sikap

yang baik ketika proses

komunikasi berlangsung.

Sama-sama emosional dalam

bertindak, tidak menjadi

pendengar yang baik, dan

juga main hakim sendiri.

4) Perbedaan latar belakang :

Etnis Sumba dan Etnis

Maluku memiliki karakter

individu yang berbeda,

sehingga dalam melakukan

proses komunikas

dibutuhkan pengertian antara

kedua etnis tersebut, agar

bisa memahami satu dengan

yang lain.

5) Prasangka :

salah satu hambatan berat

dalam kegiatan komunikasi.

Etnis Sumba berprasangka

negatif terhadap Etnis

Maluku, dengan mengatakan

bahwa cara pandang mata

Etnis Maluku pada saat

menatap Etnis Sumba

sebagai bentuk menantang

Etnis Sumba untuk

berkelahi.

menahan pelaku dari

Etnis Sumba dengan

syarat dan ketentuan

. Begitu pula dengan

Etnis Sumba,

mereka

menggunakan surat

permohonan agar

tidak ditahan dengan

berbagai syarat dan

ketentuan yang

berlaku.

Selain itu juga kedua

etnis membuat surat

peryantaan yang

menyatakan bahwa

mereka tidak akan

mengulangi

perbuatan yang

sama dikemudian

hari, yag disaksikan

oleh perwakilan dari

masing-masing

Etnis.