24

SOLIDARITAS Edisi 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Majalah SOLIDARITAS edisi 2 tahun 2010

Citation preview

Page 1: SOLIDARITAS Edisi 2
Page 2: SOLIDARITAS Edisi 2

� | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Dari Redaksi

Daftar Isi

Redaksi

Diterbitkan oleh:Yayasan Manikaya Kauci

SUSUNAN REDAKSIPelindung

Tuhan Yang Maha EsaPenanggungjawab

Gunadjar,SHPemimpin RedaksiNyoman Mardika ,SS

RedakturSaichu Anwar, SS

Tim LiputanCikal Socialista

Rahsa natah ring Bali DwipaKomang Arya Ganaris

EditorJatmiko Wiwoho

PerwajahanHeru Gutomo

AlamatJl. Noja Gg XXXVII No. 16

Denpasar Timur 80�37Telp/fax : 0361-�49630

[email protected]

websitewww.manikayakauci.org

Good GovernanceWajib Diwujudkan

Good governance adalah sebuah produk dari perubahan politik paskarefor-masi 1998. Sistem politik yang semakin terbuka, menciptakan ruang bagi publik untuk melakukan kontrol pada penyelenggaraan negara, terutama

pemerintah. Negara memang lebih banyak mengetahui seluk-beluk pemerintahan dan berwenang menentukan kebijakan negara, tetapi dalam penyelenggaraan negara, dia tidak dapat bertindak semaunya. Bagaimanapun kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga check and balance sangat diperlukan.

Sistem penyelenggaraan negara yang baik, salah satunya adalah dengan mewujudkan good governance, yang merupakan harapan bagi setiap warga ma-syarakat. Sistem politik yang demokratis mensyaratkan kemutlakan good gover-nance, agar sistem pemerintahan bisa berjalan secara efektif, efisien, transparan, dan juga berkeadilan. Bagian dari pelaksanaan good governance adalah bagaima-na peme-rintah mampu melayani kebutuhan dasar dari masyarakat secara baik, apakah itu adalah menyangkut kebutuhan pelayanan administrasi, maupun dalam bentuk program yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Dalam melaksanakan good governance, profesionalisme aparatur negara mut-lak dibutuhkan. Sistem birokrasi pun wajib didorong dalam rangka pembenahan di berbagai sektor pemerintahan. Sudah tentu juga harus mempersiapkan sumber daya manusia yang memadai serta ditunjang oleh teknologi yang lebih modern dan tepat guna, sehingga kinerja pemerintahan menjadi lebih produktif dan efisien.

Semangat yang tersirat dalam good governance juga mengingatkan setiap warga negara bahwa pejabat pemerintah bukanlah tuan atau majikan atas ma-syarakat, melainkan adalah pelaksana tugas pemerintahan yang sesuai mandat yang diberikan rakyat. Budaya feodalistis dalam sistem pemerintahan yang selama bertahun-tahun kita rasakan, hanya akan menghambat terwujudnya tujuan-tujuan mulia good go-vernance di Republik ini.

PROGRAMTraining Kelompok Kerja COP 3Pelayanan Publik oleh Polri 4Perjuangan HAM dalam Proses Politik 5Ancaman Rabiesterhadap Keselamatan Manusia 7Gede Arya Bhakti: "Saya merasakan pengalaman berbeda..." 8Advokasi Program tingkat Kabupaten 17

LAPORAN UTAMAGood and Clean GovernmentManifestasi Keadilan Sosial 10Meski Diawasi KetatTetap Rawan Kebocoran 12Sistem Tender Satu Pintu;Diakui Berpotensi Korupsi,Perbaiki Kualitas Lelang 14

OPINIMewujudkan Tata Kelola Pemerintahanyang Baik (Good Governance) 16

SOSOKI Komang Adhiartha 18

SOSIAL BUDAYABakat dan Menulis Sastra 19Solidaritas & solidaritas 20

LAYANAN PUBLIKPenyandang Cacat Belum Jadi Prioritas 21

KONSULTASI KESEHATANDikontrol Makhluk Halus 22

Page 3: SOLIDARITAS Edisi 2

| 3SOLIDARITAS | Volume II/2010

Secara kelembagaan pemisahan Pol-ri dari TNI pada tahun 1999,me-lalui Instruksi Presiden No.2 ta-

hun 1999 merupakan dantum point (titik awal) dimulainya Reformasi di tubuh Polri. Keputusan ini kemudian disusul dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No.VI tahun 2000 ten-tang pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No.VII tahun 2000 tentang peran Polri dan TNI. Ada harapan cukup besar, dengan pemisahan struktur organisasi ini. Aparat kepolisian tidak lagi tampil deng-an watak militeristik dan bekerja secara profesional serta mencerminkan watak sipil sesuai prinsip demokrasi, mem-bangun perpolisian yang bersandar pada norma keterbukaan (transparancy) dan dapat dipertanggung-jawabkan (accoun-tability). Ini artinya Polri adalah bagian dari masyarakat, berintegrasi dan memi-liki hak yang sama sebagai warga negara. Polri adalah mitra sejajar masyarakat da-lam melawan tindak kriminal dan tindak diskriminatif terhadap kelompok tertentu yang ada di institusinya ataupun yang ada di masyarakat. Adalah suatu keharusan bagi aparat kepolisian agar dapat mem-

pertanggungjawabkan tindakannya dan meminimalkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hal ini-lah yang acapkali menjadi pokok pembahasan reformasi di sektor kemanan khususnya pada institusi kepolisian.

Berbicara tentang reformasi di sektor keamanan tentunya tidak bisa dilakukan secara sendiri oleh institusi Polri, melainkan perlu secara bersama, terutama dari ma-syarakat, melalui Organisasi Ma-syarakat Sipilnya (OMS). Dalam masyarakat muncul tuntutan moral untuk melakukan pengembangan kapasitas kelompok-kelompok masyarakat agar mampu melaku-kan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan. Kuatnya OMS Sipil adalah instrumen kunci un-tuk memastikan pengawasan sek-tor keamanan yang efektif. Keter-libatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Aktivitas seperti memonitor kinerja, ke-bijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah akan membe-rikan masukan pada proses ini. Oleh kare-na itu OMS harus memiliki kemampuan dan perangkat kerja untuk terlibat secara aktif, efektif dalam isu-isu reformasi di sektor keamanan.

Atas dasar itulah Yayasan Manikaya Kauci memandang penting untuk melaku-kan pelatihan kepada anggota masyarakat yang memang sehari-harinya berkutat di berbagai organisasi baik formal dan non formal di tingkat desa. Pelatihan Kelom-pok Kerja Community Oriented Policing (COP),yang mengambil tema Penguatan Masyarakat Sipil untuk melakukan Penga-wasan Sektor Keamanan, diselenggarakan

Penguatan Masyarakat Sipiluntuk Pengawasan Sektor Keamanan

Program

Training Kelompok Kerja Community Oriented Policing (COP)

Bersambung ke halaman 4

Salah satu peserta perempuan dalam training sedang melakukan presentasi hasil diskusi

dok. YMK

dok. YMKTim YMK fasilitasi diskusi dalam pelatihan COP

Page 4: SOLIDARITAS Edisi 2

4 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Gelombang Reformasi 1998 dua belas tahun yang lalu, membawa dampak cukup besar, walaupun

belum dikatakan berhasil, terutama di tubuh institusi Kepolisian Republik In-donesia (Polri), yakni adanya keinginan untuk merubah paradigma militeristik menjadi polisi yang sipil dan profesio-nal. Sebagai lembaga yang fokus pada percepatan konsolidasi demokrasi di Indonesia, Yayasan Manikaya Kauci (YMK) menganggap penting memper-cepat proses reformasi kultural di tubuh

Polri, karena institusi ini bagian dari alat negara. Salah satunya dengan melaksa-nakan Program Perpolisian Masyarakat yang biasa disebut Community Policing. Harapannya adalah kelak Polri dalam se-tiap implementasinya lebih berorientasi pada pendekatan pelayanan, menghormati HAM, dan membangun kemitraan yang sejajar dengan masyarakat.

Untuk melihat sejauh mana Polri su-dah melaksanakan tugas pokoknya se-suai amanat UU No. 2 tahun 2002, YMK

Pelayanan Publik oleh Polri

di Hotel NIKKI Denpasar pada tanggal 22-24 Juni 2010 atas dukungan The Asia Foundation (TAF). Pelatihan diikuti tiga puluh orang perwakilan masyarakat dari dua kabupaten: Jembrana dan Buleleng, serta satu kota di empat kecamatan yak-ni, Kecamatan Pekutatan, Jembrana, Te-jakula, dan Denpasar Selatan.

Manajer Program, Gunadjar, S.H., menyampaikan bahwa materi yang disampaikan dalam pelatihan untuk pe-ningkatan kapasitas anggota masyarakat seperti, pengetahuan tentang reformasi keamanan, manajemen konflik, analisa sosial dan advokasi. Harapan ke depan dengan kemampuan yang didapatkan dalam proses pelatihan masyarakat akan mampu berpartisipasi aktif untuk mela-kukan pengawasan di sektor keamanan.

Dari pengamatan SOLIDARITAS,

melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) di dua kabupaten yakni Jem-brana dan Buleleng dengan jumlah to-tal enam kali diskusi. FGD pertama di Kabupaten Jembrana melibatkan target group dari petugas bhayangkara pembi-na kamtibmas (bhabinkamtibmas) dan aparatur desa. Sedangkan FGD kedua dilaksanakan di Buleleng, melibatkan kelompok pengusaha, perlindungan ma-syarakat (linmas), pemuda dan kelom-pok perempuan.

Dari hasil FGD, secara umum wa-laupun ada perbaikan dibandingkan ketika masih bergabung dengan ABRI, tetapi masih saja Polri harus lebih serius melaksanakan perubahan kultural di tu-buh institusinya. Hal ini terlihat dengan masih adanya apresiasi negatif dari ma-syarakat terhadap personel polisi yang bertugas di lapangan, kualitas sumber daya manusia masih menjadi soroton utama, belum lagi sarana dan prasana yang sangat minim. Hal ini tentu saja menjadi faktor penghambat dalam men-jalankan pelayanan publik oleh Polri terkait tugas dan fungsi pokoknya. Wa-jar kemudian apabila Polri masih diang-gap kurang serius dalam melakukan perubahan paradigma, budaya kerja, dan kurang maksimalnya dalam pelak-sanaan tugas sebagai pelayan masyara-kat. (rahsa)

pelatihan dengan yang menggunakan metode pembelajaran orang dewasa ini, membuat seluruh peserta cukup antusias mengikuti proses pelatihan selama tiga hari tersebut. Wahidah, seorang ibu dari Desa Medewi Kecamatan Pekutatan, Jembrana mengatakan, “Saya sangat se-nang bisa mengikuti pelatihan ini, apa-lagi ini baru pertama kali saya ikuti. Ba-nyak pengetahuan yang saya dapatkan. Saya berharap program yang dijalankan Manikaya Kauci bisa berkelanjutan, dan saya sebagai anggota masyarakat bisa dilibatkan” katanya. Hal senada juga disampaikan oleh Maria Ulfa perwakilan dari Desa Pulukan.

(rahsa)

dari halaman 3

Program

Foto bersama peserta Training COP dok. YMK

dok. YMK

Diskusi kelompok peserta pelatihan COP membahas pelayanan publik oleh POLRI

Page 5: SOLIDARITAS Edisi 2

| �SOLIDARITAS | Volume II/2010

Sudah 12 tahun reformasi bergu-lir, masa transisi ternyata tetap saja tidak mengantarkan penunta-

san kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Nampaknya jalan di tempat, tanpa ada kejelasan. Kedatangan Usman Hamid (Kontras) ke Bali disam-but oleh beberapa aktivis di Bali untuk mendiskusikan permasalahan ini. Usman Hamid selama ini telah dikenal bergelut dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Yayasan Manikaya Kauci menganggap cukup penting mendiskusi-kan hal ini, dan sebuah diskusi informal yang kemudian digelar pada tanggal 4 Juni 2010 bertema “Proses Politik dalam Perjuangan HAM”, berupaya untuk men-getahui akar-akar permasalahan dan me-nentukan langkah ke depan.

Dalam kesempatan tersebut Usman memaparkan, berdasarkan teori politik emansipasi sosial terbagi dalam dua sisi yakni practise of liberation dan practise of freedom. Dua belas tahun yang lalu gerakan sosial masuk pada fase practise of liberation yang orang bekerja, bertin-dak, berbuat dan berkata dalam konteks pembebasan untuk membebaskan diri dari belenggu hegemoni atau represi yang per-nah ada, dan dalam konteks itu berhasil. Dampaknya, saat ini orang dengan mudah dan terbuka mengetahui akar-akar perso-alan, mulai dari persoalan politik, sosial ekonomi, dan keadilan sosial. Kemam-puan melihat segala sesuatu semakin me-ningkat. Tapi seiring dengan itu sebenar-nya gerakan pro perubahan terjebak ke dalam rutunitas demokrasi. Belakangan muncul kegelisahan, kejenuhan, dan lelah bergulat dalam dinamika karena mungkin tidak lagi berdimensi membebaskan dan mencerahkan.

Usman mencontohkan, para mantan aktivis kini banyak yang menjadi pe-ngusaha atau aktivis partai. Menurutnya, kalau diletakkan sebagai kerangka stra-tegi kolektif hal ini justru bernilai posi-tif. Persoalan seringkali muncul akibat kesalahan intrepretasi gerak personal, misalnya si A mencalonkan diri jadi ca-lon legislator (caleg) dari partai B karena

kedekatan dengan pengurus partai itu, dan tidak meng-komunikasikannya kepada kawan-kawan seperjuangan. Komunikasi antar aktivis, menurutnya cukup penting, sehingga di mana pun posisi politik kawan seperjuangan berada, mereka tetap menja-di bagian dari suatu gerakan dan memberi sumbangsih dari dalam sistem. Di lain pihak, sebagian orang per-caya bahwa mengubah tidak mungkin dari luar, men-gubah harus masuk dalam sebuah sistem, tapi mengu-bah sendirian jelas itu tidak mungkin.

Saat ditanya tentang si-tuasi kawan-kawan gerakan pro perubahan, lebih lanjut Usman menjelaskan, se-cara umum suasana batin kawan-kawan gerakan banyak yang terjebak pada pola practise of freedom, yaitu tingkat kesada-ran untuk berbuat tinggi, tapi tidak teror-ganisasi dengan baik, sehingga dalam la-pangan perjuangan -misalnya HAM atau lingkungan- akhirnya mandeg.

Usman mengatakan, “Sekarang kami lagi coba untuk bernegoisasi atau mem-buka dialog dengan pemerintah dalam hal ini Menkopolkan, Menkum HAM, dan juga memanfaatkan kawan-kawan yang sudah menjadi staf presiden. Mulai dari Denny Indrayana (Staf Ahli Presiden Bidang Hukum) sampai Andi Arief (Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana.), kita manfaatkan ruang-ruang kecil itu untuk memperjuangkan nasib si korban, keluarga orang-orang hi-lang dan kawan-kawan yang sampai saat ini masih menghilang dan dalam ketidak-pastian. Hasilnya, DPR merekomendasi-kan sebuah mekanisme pengadilan agar bisa kemudian mencari orang yang hilang dan bisa diketahui mati atau hidup. Kedua adalah rehabilitasi, ketiga kompensasi bagi korban dan keempat reparasi kon-

sensi.” Lanjutnya, “Perkembangannya sih postif, SBY waktu itu mau mengelu-arkan Keppres pengadilan, persis seperti kasus Timor-Timor dan Tanjung Priok, sehingga Jaksa Agung tidak lagi punya alasan untuk mendiamkan berkas Kasus Trisakti, Semanggi, Penculikan Aktivis 1998, dsb.”

“Tapi kelihatannya situasi politik dalam kasus Century tidak memungkin-kan, dalam konteks itu SBY bersama Partai Demokratnya perlu berkoalisi, perlu PDIP, perlu Golkar, bahkan perlu Gerindra,” imbuhnya. “Sampai pada kal-kulasi politik yang seperti itu maka tidak mungkin Keppres pengadilan HAM un-tuk penculikan bisa keluar, karena pasti akan berurusan dengan Prabowo (mantan Danjen Koppasus TNI), Keppres tentang Kasus Trisakti dan Semanggi akan beru-rusan dengan Wiranto (mantan Panglima ABRI) dan sebagainya. Sehingga situasi demikian akan melemahkan perjuangan HAM atau pentingnya pengadilan kasus HAM yang menjadi hak si korban”.

Perjuangan HAMdalam Proses Politik

Bersambung ke halaman 6

Program

Usman Hamid dok. YMK

Page 6: SOLIDARITAS Edisi 2

6 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

“Belakangan SBY lewat menteri me-ngeluarkan gagasan memberikan perhati-an ekonomi pada korban. Melalui mente-ri, SBY sempat mengeluarkan pernyataan akan mempersiapkan lowongan kerja un-tuk korban di dua ratus posisi. “Sekilas sebenarnya bagus-bagus saja, karena kor-ban tahanan-tahanan politik dulu ‘kan ti-dak diakui hak politiknya, hak perdatanya hilang.” “Dulu mungkin pegawai negeri, tentara, polisi, guru, kemudian tiba-tiba dipecat gara-gara mereka dipenjara ditu-duh komunis.” Nah sampai disitu mau di-manfaatin atau tidak ini.

“Kita bisa mengambil satu sikap trade-off yaitu menukar keadilan hukum dengan bantuan ekonomi, menukar sesuatu yang transformatif menjadi sesuatu yang kari-katif. Sesuatu yang seharusnya merubah relasi kuasa antara korban, masyarakat dan negara menjadi sesuatu yang bersifat amal,” ucap Usman.

“Korban tetap ditempatkan di bawah, tidak diakui mempunyai hak yang sama dalam politik, karena pemerintah me -nganggap dirinya berkuasa dan mem-punyai duit. Atau bisa juga kemudian

korban menerima bantuan tersebut, tapi secara implisit, harus ada pengakuan. Sekali nama korban masuk dalam daftar resmi negara untuk memulai satu konsep resparasi atau kompensasi. Maka di sana sebenarnya status perjuangan menjadi lebih kuat. Karena dengan adanya penga-kuan pada si A, B, C harusnya yang dulu benar disalahkan dan yang salah dibenar-kan. Masalahnya, apakah penguasa atau kekuasaan mau memberikan pengakuan seperti itu?“ Ujar Usman

“Dalam konteks orang hilang Inter-national Committee of the Red Cross (ICRC) telah menyusun hirarki hak di Timor Leste yaitu hak orang-orang hi-lang. Pertama, tentu hak mencari kejela-san, di mana kepastian mayatnya, dimana kuburannya. Kedua, hak memakamkan dengan layak dan yang ketiga baru ban-tuan ekonomi. Tapi faktanya pemenuhan hak yang ketiga ini yang berjumlah 60% dari seluruh korban di Timor Leste, se-makin tahun semakin menurun drastis. Mungkin sebagian dari mereka dahulu-nya kelas sosial menengah, tertidik, dan secara politik sadar, lalu tiba-tiba akibat peristiwa politik 1965, Tanjung Priok, peristiwa Talang Sari, peristiwa 1998, ke-mudian kelas sosialnya menurun.” Usman menggambarkan,”Ambil saja misalnya seorang Wiji Tukul (seniman yang hilang karena pandangannya politiknya yang

berseberangan dengan penguasa Orde Baru), seandainya sekarang dia masih hidup tentu akan menjadi sastrawan besar, tapi faktanya sekarang Sipon (istrinya) untuk ngurus kredit laptop buat Fajar dan Nganti Wani (anak) saja sangat susah.” “Atau orang-orang kor-ban peristiwa 1965 yang dulu memiliki rumah di Menteng (Jakarta), ka-rena peristiwa tersebut mereka dituduh PKI/ko-munis, lalu rumahnya diambilalih dan sekarang hidup terlantar. Jadi per-tanyaannya dimana kita meletakkan keadilan atau mengapa menjadi dilema atau tereduksi oleh posisi tawar yang kuat negara”, jelas Usman.

Mengakhiri diskusi, Usman Hamid mengatakan mungkin karena kita tidak cukup solid, tidak punya bargain yang besar, kita sekarang masuk dalam practi-se of fredoom itu. Menurutnya di situ lah kelemahan paling pokok berada, yang ke-mudian menghancurkan nilai-nilai HAM yang seharusnya dijunjung tinggi. Hal ini akan menjadi tantangan kita bersama.

“Kalau mau agak ilmiah sedikit, pe-nelitian Demos berdasarkan wawancara dengan banyak aktivis (gerakan buruh, gerakan perempuan, HAM, dsb.) di In-donesia, menyimpulkan bahwa umum-nya mereka setuju untuk go politics atau masuk ke dalam politik. Maksudnya tidak mungkin kita mengubah dari luar (sistem) dan bergabung dengan partai. Tapi tentu saja dengan catatan, kita tidak masuk sendirian atau hanya kenal secara priba-di dengan pimpinan partai. Paling tidak langkah tersebut dibicarakan di organisa-sinya, sehingga dukungan menjadi sema-kin kuat. Intinya, ada konsolidasi yang le-bih reflektif, sehingga kita terhindar dari “jebakan” rutinitas organisasi an sich”.

(rahsa)

dari halaman 5

Program

dok. YMK1,� jam Usman Hamid bercengkerama di Yayasan Manikaya Kauci

Page 7: SOLIDARITAS Edisi 2

| 7SOLIDARITAS | Volume II/2010

Beberapa bulan terakhir penyakit rabies (gigitan anjing gila) me-wabah di Pulau Bali, di sebagian

besar kota/kabupaten seperti di Badung, Denpasar, Tabanan, Bangli, dan Buleleng. Sudah banyak korban meninggal dunia akibat gigitan anjing. Sebagai salah satu bentuk perhatian dan kepedulian terha-dap keselamatan masyarakat terkait rasa aman, Community Policing Information Center (CPIC), Radio Komunitas Widya Pesona, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng menggelar talk show, dengan mengambil tema “Ancaman Rabies Ter-hadap Keselamatan Manusia”. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 28 Mei 2010 atas kerjasama Yayasan Manikaya Kauci (YMK) dan dukungan dari The Asia Foundation (TAF). Hadir sebagai narasumber drh. Gde Suarsadana seo-rang veteriner yang sehari-hari bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, dengan host Bung Arya Bakti memandu jalannya talkshow.

Pada kesempatan itu, Suarsadana menjelaskan, adalah kewajiban pemerin-tah, baik daerah dan propinsi untuk sege-ra menghentikan wabah rabies ini, karena memang penyakit ini sangat berbahaya. Di satu sisi masyarakat juga harus dibe-rikan informasi terkait dengan penyakit, pencegahan, dan pengananannya? Secara teori penyakit rabies adalah penyakit me-nular yang disebabkan oleh virus rabies, virus ini dapat menyerang hewan berda-rah panas. Jadi hewan yang bisa terserang adalah anjing, kucing, kera, ternak sapi, babi juga mungkin terserang, dan pe-nyakit ini bisa menyerang dari hewan ke manusia. Mengingat tingkat bahaya jika penyakit sudah menginfeksi tubuh manu-sia, makanya pencegahan adalah tindakan terbaik yang bisa dilakukan.

Ketika ditanya tentang tanggung jawab pemerintah, khususnya di Kecamatan Te-jakula, Kabupaten Buleleng, terkait tinda-kan pencegahan, Suarsadana mengatakan, di Buleleng khususnya di Tejakaula virus

rabies ini sudah menyebar ke enam desa yakni Desa Penuktu-kan, Sambiren-teng, Bondalem, Tejakula dan Les. Pemerintah Provinsi Bali sendiri dalam upaya menang-gulangi peny-akit rabies ini telah menge-lu-arkan Perda No. 15 tahun 2009, tentang Pembe-rantasan Rabies, secara umum telah diatur bahwa ma-sya-rakat tidak bo-leh memelihara anjing dengan cara dilepas un-tuk membatasi t e r jangki tnya anjing peliha-raan, anjing ber-pemilik harus dikandangkan atau diikat. Seandainya membawa anjing jalan-jalan, mulut anjing harus ditutup. Selain itu an-jing tersebut harus diregistrasi dan divak-sinasi. Tentunya bagi warga masyarakat yang melanggar perda ini akan dikenakan sanksi, misalnya ancaman hukuman sam-pai 6 bulan kurungan.”

Lebih lanjut Suarsadana memaparkan, dalam upaya pencegahan penyakit ini, pe-merintah kabupaten mempunyai prosedur tetap. Pertama, sosialisasi, baik berupa penyuluhan, pemutaran film, pertemuan warga di desa, atau lewat media kesenian tradisional. Kedua, vaksinasi atau pembe-rian kekebalan kepada anjing yang belum terinveksi. Ketiga adalah eliminasi yaitu upaya pengurangan populasi pada hewan-hewan yang telah terinveksi virus. Dan, keempat adalah penelusuran yaitu mela-

Ancaman Rabies Terhadap Keselamatan Manusia

cak informasi keberadaan sumber penya-kit hingga kasus rabies tidak ditemukan lagi di masyarakat. “Memang kita masih punya keterbatasan sumber daya, khusus-nya di Tejakula sampai saat ini kita sudah melakukan vaksinasi pada kurang lebih 1600 ekor anjing, dan ini akan kita ulang lagi. di sepuluh desa di Kecamatan Teja-kula.

“Kami akui tidak bisa melakukan vaksinasi 100%, tapi paling tidak dengan usaha yang maksimal untuk menekan ba-haya virus rabies ini, akan bisa mening-katkan rasa aman masyarakat, dan me-ngurangi kecemasan yang saat ini dirasa-kan,” Suarsadana menambahkan.

(rahsa)

Talk Show Radio Komunitas Widya Pesona

Program

dok. YMK

Page 8: SOLIDARITAS Edisi 2

8 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Gede Arya Bakthi, Fasilitator Program COP

”Saya merasakanpengalaman berbeda...”

Program

Bagaimana proses penanganan permasalahan di Desa Les, Bule-leng setelah mengikuti Program

Community Oriented Policing (COP)?

Pendampingan Yayasan Manikaya Kauci (YMK) di desa kami berlangsung sejak tahun 2004 hingga 2006, namun sete-lah tahun 2007 kami tidak lagi didam- pingi oleh YMK, tetapi di Desa Les masih tetap melanjutkan Program COP sampai sekarang., khususnya dalam penanganan permasalahan atau kasus-kasus sengketa di desa.

Pada bulan April tahun 2010, sebuah kasus di desa Les telah berhasil kita se-lesaikan secara kekeluargaan yaitu kasus penganiayaan, setelah kita gali sumber dan akar permasalahannya ternyata be-rawal dari kecemburuan seorang suami pada pihak ketiga hingga berujung pada peristiwa penganiayaan. Kemudian untuk memecahkan kasus tersebut, kami telah memanggil kedua belah pihak dengan menghadirkan perwakilan Forum Kemi-traan Pemolisian Masyarakat (FKPM).

Terbentuknya FKPM diawali dengan ber-dirinya Forum Komunikasi Kamtibmas (FKK). Kemudian dengan adanya Pro-gram Polmas kita kaitkan program FKPM dengan program tersebut. Sebelumnya, kami juga pernah mengikuti pelatihan hu-kum-hukum dasar yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Dengan demikian, pengetahuan kami dalam penyelesaian atau penanga-nan sebuah kasus menjadi lebih banyak.

Seperti pada kasus penganiayaan warga, kami berkoordinasi dengan kepala desa, didampingi petugas bhabinkamtibmas, I Gusti Ketut Nuada (perwakilan adat) kita berembuk bersama untuk menyelesaikan permasalahan.

Di sini kemudian muncul dua cara peme-

cahan masalah yaitu; pertama, kami selesai-kan secara kedinasan. Kedua, kami putuskan berdasarkan awig-awig adat Desa Les. Karena apapun yang terjadi di lingkungan, baik lingkungan dinas maupun adat, menjadi tanggung jawab ber-sama. Sebagai bukti konkret dari kese-pakatan pihak-pihak yang bertikai, bahwa mereka tidak akan mengulangi di kemu-dian hari. Maka ke-sepakatan dituangkan dalam bentuk surat pernyataan. Tetapi, kalau kesepakatan itu dilanggar, kami dari FKPM tidak segan-segan melanjutkan ke jalur hukum.

Sebelum dibahas pada tingkat desa, siapa yang datang melapor ke kantor ke-pala desa apakah dari masyarakat atau kor-ban sendiri yang melapor?

Ya, itu menarik. Yang pertama melapor ke FKPM adalah dari pihak korban, ke-mudian FKPM memberikan penanga-nan dengan langsung memanggil korban dan pelaku penganiayaan. Setelah kita gali permasalahannya lebih lanjut, ternya-ta mereka sama-sama jadi korban (sekali-gus pelaku), sehingga proses penyelesai-an dan resolusi konfliknya membutuhkan waktu cukup lama sebelum muncul sebu-ah kesepakatan, yang nantinya akan di-tuangkan dalam bentuk surat pernyataan bersama.

Apa respon masyarakat terhadap pena-ngangan model FKPM tersebut?

Awalnya memang masyarakat bertanya-tanya, mengapa tidak langsung dibawa ke jalur hukum padahal telah memenuhi unsur pidana terutama dari segi korban. Selanjutnya kami jelaskan bahwa pro-ses demikian itu akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, selain juga menyita waktu aktifitas lain di desa. Model penyelesaian win-win solution de-ngan jalan memediasi para pihak, ternyata membuat kedua belah pihak merasa tidak dirugikan secara psikologis, tidak ada

Gede Arya Bakthi dok. YMK

Page 9: SOLIDARITAS Edisi 2

| 9SOLIDARITAS | Volume II/2010

Setelah memperolehprogram dan pelatihan dari

YMK pada tahun �00�,lewat rembuk atau sangkep desa kami di Desa Les telah melakukan revisi awig-awig adat, terutama pada hal-hal yang belum tertuang, kita buatkan pererarem atauaturan tambahan yang

sesuai dengan kebutuhan warga di Desa Les.

Program

yang merasa ditekan, dan justru melahir-kan rasa pengertian, serta kesepakatan un-tuk mencegah perselisihan lebih lanjut di kemudian hari akibat dari ketidakpuasan.

Apakah surat pernyaan yang ditanda-tangani kedua belah pihak dilaporkan ke ke Kapolsek setempat oleh bhabin-kamtibmas?

Oh ya, tentu saja dilaporkan. Bhabinkam-tibmas juga membuat laporan bulanan se-laku bagian dari Program Polmas di ting-kat desa.

Apakah dari pihak kepolisian ada so-sialisasi tentang Polmas dan datang ke desa-desa?

Selama ini sangat minim sosialisasi dari pihak kepolisian apalagi ber-kaitan dengan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) atau tindak kekerasan. Namun sebaliknya, kami justru mengambil inisiatif untuk me-lakukan sosialisasi ke masyarakat. Seperti yang telah kami buat dalam bentuk spot/jinggle iklan dan talk show di radio dengan topik seputar persoalan-persoalan kamtibmas dan solusinya lewat Program Polmas.

Apakah dalam awig-awig adat telah mengatur tentang tindak pe-nganiayaan. Bisa diceritakan sejak kapan dan bagaimana proses pe-nanganannya?

Saya tidak tahu persis apakah me-mang telah ada sejak dulu atau baru belakangan. Tetapi yang jelas, sete-lah memperoleh program dan pelati-han dari YMK pada tahun 2005, le-wat rembuk atau sangkep desa kami di Desa Les telah melakukan revisi awig-awig adat, terutama pada hal-hal yang belum tertuang, kita buatkan pere-rarem atau aturan tambahan yang sesuai dengan kebutuhan warga di Desa Les.

Sementara itu, proses penyelesaian di bi-dang adat memang sedikit berat. Artinya, terdapat ketentuan-ketentuan dan resiko yang harus ditanggung oleh para pihak yang berselisih. Misalnya, akibat suatu perkelahian warga, menyebabkan “darah menetes” di wilayah adat tersebut, maka wilayah tersebut harus disucikan kembali

dengan upacara labuh getuh yang tentu saja biayanya tidak sedikit. Tetapi kalau penganiayaan seperti yang terjadi waktu lalu, ternyata tidak ada “darah keluar” dan mengotori pekarangan atau wilayah adat, maka tidak perlu mengadakan upacara la-buh getuh.

Untuk Program COP atau Polmas ini, sampai sekarang masih berlanjut walau-pun secara formal program dengan YMK sudah selesai, tetapi kami di Desa Les masih menjalankan kegiatan-kegiatan FKPM seperti melakukan pencatatan ka-sus kamtibmas oleh FKPM dan program sosialisasi melalui radio komunitas yang kami kelola.

Kalau dari perangkat desa dinas dan adat atau dari desa tetangga apakah ada yang memberikan apresiasi terhadap Program COP ini?

Sebenarnya ada, seperti dari Desa Penuk-tukan, yang secara adat masih menjadi satu bagian dengan Desa Les. Warga di Desa Penuktukan sering mendengar Pro-gram COP lewat siaran radio. Kemudian, kami tindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan dan rembugan tentang apa itu FKPM dan bagaimana cara membentuk-

nya di tingkat desa, dan seterusnya.

Setelah terbentuknya FKPM di Desa Les apakah tanggung jawab dalam hal kamtibmas, khususnya kepala desa, menjadi lebih ringan?

Ya, memang seperti itu. Sebelum ter-bentuknya FKPM di Desa Les, menjabat sebagai kepala desa terasa amat berat dengan begitu banyaknya beban tugas di desa. Selain tugas-tugas rutin, di luar tu-gas rutin pun seorang kepala desa harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat ketika dibutuhkan, mulai soal perkelahi-an, anak dilarikan orang, pencurian, dll. Semenjak ada FKPM beban tugas kepala

desa sedikit demi sedikit dalam bi-dang kamtibmas dapat diselesaikan lewat mediasi. Sehingga kepala desa bisa lebih konsentrasi pada program pembangunan di desa.

Bisa diceritakan pengalaman Anda mengikuti program pelatihan yang dilakukan oleh Yayasan Manikaya Kauci?

Pelatihan yang paling berkesan dan menarik adalah pelatihan penanga-nan permasalahan sosial. Menga-pa? karena dalam pelatihan tersebut kami memperoleh materi tentang pemetaan sosial. Materi pelatihan ini sampai sekarang tetap kami pakai se-bagai perangkat bedah persoalan di masyarakat, sehingga proses pena-nganan dan pengambilan keputusan menjadi lebih baik.

Secara pribadi, saya merasakan pe-ngalaman berbeda selama mengikuti program yang diselenggarakan oleh Yayasan Manikaya Kauci maupun lembaga lain di Bali. Misalnya, ke-

terlibatan saya di Kelompok Kerja (pok-ja) Program COP, saya mendapat penga-laman untuk berbagi pengalaman dengan teman-teman di kabupaten lain. Demikian juga, ketika saya ditunjuk oleh Yayasan Manikaya Kauci sebagai salah satu nara-sumber dalam evaluasi program di Jem-brana dan Denpasar, dan narasumber da-lam Program Studi Banding LBH- Bali di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. (agapar)

Page 10: SOLIDARITAS Edisi 2

10 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Kendati begitu, tiap daerah, tentu memiliki kendala berbeda untuk menerapkan hal tersebut. tentu

saja, kendala itu menjadi tak berarti, keti-ka pemangku kebijakan mau menjalankan agenda tersebut. “Maka ini tergantung dari stake holder-nya. Apakah memiliki keseriusan atau tidak untuk melaksanakan hal itu,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dijelaskan, dalam pelaksanaannya, good governance tenyata masih tumpang tindih dan tak selalu berjalan mulus. Ma-sih saja ada ketidakberesan yang secara teoritis biasa disebut bad governance. Untuk itu, dalam melihat lebih rinci prak-tik good governance, maka perlu diper-hatikan beberapa hal. Di antaranya, kata

Suacana, karakteristik seperti pemberian ruang kepada pihak non pemerintah un-tuk mengakses, menilai agar pemerintah dapat berkerjasama dan pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN.

“Bagaimana cara mengukurnya, tentu dapat terlihat dengan ILC sebagai indika-tornya. Sebab, dengan penerapan IT, se-mestinya bisa mengurangi birokrasi yang gemuk, sehingga efisiensi regulasi dapat mengurangi pengangguran,” urainya.

Adakah yang perlu dirombak untuk menciptakan hal tersebut? Ditanya begitu, Suacana mengatakan, harus diseimbang-kan dan berkesinambungan, penyelarasan antara satu pihak dengan lainnya harus

Good and Clean Governance

Manifestasi Keadilan Sosialada kesepakatan keseimbangan dalam pencapaian good governance. “Terutama soal perubahan mindset. Ini yang sulit dilakukan. Efisiensi birokrasi juga perlu dilakukan,” pungkasnya.

Menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, harus memiliki tolok ukur. Lalu, bagaimana jika dikaitkan dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Bali, yang diberlakukan satu pintu. Apakah sudah sesuai dengan kon-sep good and clean governance?

Dalam pratik pengadaan barang dan jasa, ternyata konsep good and clean go-vernance masih agak sulit untuk diterap-kan. Sebagaimana dituturkan oleh Made Pande Karyawan, seorang yang bergerak di bidang pengadaan barang dan jasa, di-katakan, transparansi dan efisiensi masih sulit dilaksanakan. Dalam praktik, ka-tanya, sangat jauh dari ketentuan lelang sebagaimana diatur dalam Perpres No.67 tahun 2005 tentang Kerjasama Peme-rintah dengan Badan Usaha Swasta atau Public Private Partnership (PPP) dalam

Penyediaan Infrastruktur. “Dari situ saya baru tahu perbedaan antara be-kerjasama dengan pihak hotel dan pemerintah. Saya sendiri punya dua ijin kualifikasi IT dan pengadaan kecil untuk hotel,” bebernya.

Efisiensi dan transparansi, kata dia, terkendala oleh karena belum terkoneksinya sistem IT ke seluruh kabupaten/kota se-Bali. Atas dasar itu, maka, tak dimungkiri bad go-vernance masih terjadi di lapangan. Terutama, kata dia, soal pengawa-san terhadap perusahaan yang ikut dalam proses tender. Dikatakan, pe-rusahaan, ketika mengikuti tender, tak melulu memiliki modal besar. Dari pengalamannya, banyak perus-ahaan yang meminjam uang terlebih dahulu di bank untuk mengikuti pro-ses tender. Selain itu, pungutan uang di lapangan mulai dari pendaftaran

Konsep good governance, dikatakan dosen Fisipol Universitas War-madewa, Dr. Wayan Gede Suacana, bisa diterapkan tidak hanya di sektor pemerintahan, tetapi juga dalam sektor swasta. Konsep yang

sangat dekat dengan good governance, papar Suacana, adalah clean governance. Konsep ini, katanya, mendekatkan civil society dengan perwujudan keadilan sosial, setidaknya dalam tiga hal yaitu: pelaya-

nan, pembangunan dan pemberdayaan.

Diskusi pembahasan procurement di Yayasan Manikaya Kauci dok. YMK

Laporan

Page 11: SOLIDARITAS Edisi 2

| 11SOLIDARITAS | Volume II/2010

hingga proses memangkan tender, sarat dengan biaya atau uang. “Itu yang luput dari pemantauan dalam hal transparansi. Pengalaman saya, yang lumayan baik itu adalah Kabupaten Jembrana, yang sudah menerapkan sistem IT sehingga irit bia-ya dan publik mengetahui secara jelas. Di sana, saya tak dimintai uang sama sekali” ucapnya.

Dengan terjadinya pe-rubahan sistem tender satu pintu, tentu saja ada yang merasa dirugikan atas berlakunya aturan baru tersebut. Namun begitu, tak berarti untuk mereka yang memang mengingin-kan proses tender berjalan transparan dan sesuai de-ngan aturan. Menurut Kar-yawan, ada juga rekan-re-kannya, yang muda-muda, dengan semangat menyam-but aturan baru tersebut. Bahkan, mereka tak takut untuk melaporkan kepada lembaga yang konsen ter-hadap korupsi.

Dikatakan Kar-yawan, untuk peme-nang tender, sistem match point diang-gap sebagai ruang untuk ‘bermain’ di-banding dengan sis-tem gugur pada saat evaluasi. Pasalnya, dalam sistem gugur dilakukan secara terbuka dengan di-saksikan dua orang saksi. Untuk e-go-vernment saat ini, mulai berjalan baik, oleh karena terja-dinya pemotongan biaya yang cukup lumayan dari sistem terdahulu. Namun, untuk Pemprov Bali, meski sudah diumumkan meng-gunakan sistem e-government, namun dalam pelaksanaan-nya masih menggu-nakan sistem yang lama.

Pasalnya, dalam sistem lama ini, ada juga yang merangkap sebagai ‘pemain dan penasehat. Sehingga dia bisa saja ‘memainkan’ sesuka hatinya untuk me-menangkan suatu perusahaan. “Kalau mau memperbaiki hal ini, maka harus didorong

perbaikan sistem seperti penggunaan e-governance misalnya,” kata Karyawan.

Atas praktik tersebut, Suacana menga-takan, tranparansi belum diterapkan betul dalam pelaksanaan tender pengadaan ba-rang dan jasa. Praktik tersebut, saat ini, masih menggunakan sistem lama yang ru-wet, sehingga memungkinkan terjadinya praktik kotor. Sementara itu, dibentuknya Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah sesungguhnya untuk memotong rantai birokrasi yang panjang. Akan tetapi kemudian, jelas Suacana, lama kelamaan fungsi ULP pun bergeser.

Selain itu, yang terpenting juga ada-lah keharusan adanya kejelasan kontrak “citizen charter.” Jika mengambil contoh di Yogyakarta, untuk membuat bangu-nan saja, harus ada kejelasan secara rinci tentang berapa waktu yang diperlukan, berapa biaya dan apa sanksinya jika ti-dak sesuai dengan kualifikasi. Pun halnya dengan terjadinya kesalahan oleh aparat. Sehingga tak memiliki peluang untuk mengaburkan segala hal soal pengadaan barang dan jasa, mulai dari awal hingga akhir. Terakhir tentu masalah integritas dan masalah pengawasan. Ini yang belum sampai ke masyarakat atau partisipasi masyarakat untuk mengetahui integritas ini masih kurang. Nilai-nilai lokal, harus-nya masuk ke pakta integritas,” harapnya. (cikal)

DR. Wayan Gede Suacana, M.Si

Tampilan website e-procurement Pemprov Bali

dok. YMK

rep. int

Utama

Page 12: SOLIDARITAS Edisi 2

1� | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Meski Diawasi Ketat,Tetap Rawan Kebocoran

Meski proses tender pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali diawasi secara ketat oleh DPRD

Bali, Inspektorat Pengawas Daerah (Irwasda) Bali, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Bali, nampaknya, tetap

rawan kebocoran. Pasalnya, pemenang tender, tetap ditentukan oleh pengguna barang dan jasa, dalam hal ini adalah Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD). Sehingga, pada titik ini, kemungkinan terjadinya praktik gratifikasi,yang masuk dalam kategori korupsi,

terbuka lebar.

Kendati begitu, Kepala Irwasda Bali, I Made Jendra, mengatakan, pe-laksanaan tender di lingkup Pem-

prov Bali, diawasi ketat instansinya. Setiap tahapan pengadaan barang dan jasa, jelas Jendra, menjadi fokus perhatian Irwasda, temasuk kesesuaian aplikasi tender terse-but. “Mulai tahapan lelang hingga bagai-mana aplikasinya di lapangan, itu yang kita perhatikan. Kalau prosesnya sudah benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai kami akan lakukan koreksi,” jelas Jendra kepada Solidaritas pekan lalu.

Lalu, bagaimana bila spesifikasi tender itu tidak sesuai dengan kebutuhan? Ditanya begitu, Jendra menjelaskan, kalau hal terse-but terjadi, maka itu kembali kepada peng-guna dan penyedia jasa. Menurutnya, keti-daksesuaian itu akan kembali pada kontrak penyedia dan pengguna jasa dalam pelak-sanaan tender. Dalam kontrak, jelasnya, tertuang hak dan kewajiban masing-masing pihak secara detail. Inspektorat juga akan melakukan pengawasan jika ada keluhan ketidaksesuaian spesifikasi, sebagaimana dimaksud. “Kita juga akan cek itu. Apakah sudah sesuai dengan spek dan RAB,” be-bernya.

Jendra menjelaskan, dalam tender satu Pengumuman pemenang lelang tender di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemprov Bali

Papan proyek peningkatan mutu jalan di Denpasar dok. YMK

dok. YMK

Laporan

Page 13: SOLIDARITAS Edisi 2

| 13SOLIDARITAS | Volume II/2010

pintu yang belum lama diberlakukan ini, tak hanya instansi terkait yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Masyarakat, kata dia, juga diberikan ruang untuk melakukan kontrol terhadap sistem yang diberlakukan satu pintu ini. Menurut-nya, sejak proses awal hingga akhir, masya-rakat tetap diberikan ruang kontrol. Sebab, katanya, pada tahap awal, rencana lelang akan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat melalui media massa lokal dan nasional, tergantung dari besaran nilai ten-der. Selanjutnya, jika di tengah proses ma-syarakat juga ingin mengajukan keberatan, maka dia memiliki ruang sanggahan, yang memang diberikan untuk menjamin proses lelang tetap transparan.

“Tapi lihat dulu, ketidakpuasannya soal apa. Biasanya, yang tidak puas itu yang ikut di dalam tender. Nah, mekanismenya itu bisa melalui sanggahan. Itu tetap akan ditampung, dan merupakan ruang dalam tender untuk menyatakan keberatan dari publik,” ujarnya.

Sementara itu, anggota DPRD Bali, Ni Made Sumiati, S.H., saat dimintai ko-mentarnya, mengatakan, tak memperso-alkan pelaksanaan tender satu pintu. Asal, kata dia, proses dan mekanismenya sesuai, mengacu pada aturan yang ada. “Tak jadi masalah, itu namanya sistem. Kami sendiri (legislatif) tak mempermasalahkan hal itu,” katanya.

Meski begitu, srikandi dewan asal Ka-rangasem ini tak membantah jika pelaksa-naan lelang rawan kebocoran. Jika terjadi kebocoran, tentu saja tak bisa memukul rata siapa yang bertanggungjawab dalam hal itu. Menurutnya, hal tersebut berpulang kembali kepada individu yang terlibat da-lam proses lelang. Apalagi jika diambil ke-simpulan kalau tender satu pintu itu buruk. “Kalaupun terjadi kebocoran, itu berpulang kepada individu. Tak bisa memukul rata bahwa sistem ini bobrok, dan pucuk pimpi-nan yang harus bertanggung jawab,” tegas dia.

Kontrol dewan sendiri, tutur Sumiati, di-lakukan dengan sangat ketat. Terkait kontrol anggaran, sudah ada badan penganggaran (banggar). Setiap anggota DPRD Bali juga memiliki kewenangan pengawasan secara individual, di luar dari kelembagaan. Jika ada temuan kebocoran atau praktik KKN,

misalnya, maka DPRD Bali akan melaku-kan kajian terhadap hal itu. Tentu saja, hasil kajian tersebut akan dijadikan acuan untuk menyikapinya. “Bagi kami, tender satu pin-tu menghindari praktik KKN. Dan, kami percaya itu dapat memutus mata rantai KKN, seperti gratifikasi misalnya. Sepan-jang sistem itu berlangsung sesuai dengan ketentuan, tak jadi masalah. Selama ini juga dewan tak menemukan adanya penyimpa-ngan dalam pengadaan barang satu pintu,” imbuhnya.

Di tempat terpisah, Kepala BPK per-wakilan Bali, I Gede Kastawa, S.E., M. M., beberapa waktu lalu, menyata-kan sistem pelaksanaan tender pengadaan barang dan jasa satu pintu ini, sarat dengan kemung-kinan terjadinya praktik KKN. Kendati begitu, Kastawa tak mau buru-buru menyatakan jika tender satu pintu tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ditemui di ruang kerjanya, Kastawa tak banyak memberi-kan keterangan. Kastawa men-gatakan, kalau sistem tender satu pintu, juga menjadi fokus kajian lembaganya. “Ya jelas dong. Segala sesuatu yang ber-hubungan dengan keuangan di lingkungan Pemprov Bali pasti akan kita awasi dan audit,” te-gas Kastawa. (cikal) Ni Made Sumiati, S.H.

Menunggu ketegasan para pengawas lelang tender dok. YMK

dok. YMK

Utama

Page 14: SOLIDARITAS Edisi 2

14 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Diakui Berpotensi Korupsi, Perbaiki Kualitas Lelang

Tender satu pintu, diterapkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov)

Bali, dalam kerangka memperbaiki kualitas pengadaan barang dan jasa

di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SPKD) di Pemprov Bali.

Gagasan itu dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan

pengadaan barang, dengan menghindari sistem kepanitiaan yang panjang

dan tidak kredibel, yang berpotensi menjadi lahan praktik korupsi. Selain

itu, kepanitiaan satu pintu diharapkan nantinya mampu memberikan asas keadilan kepada masyarakat, agar

pemenang tender tak melulu jatuh ke tangan satu perusahaan saja.

Namun begitu, benarkah pengadaan barang satu pintu sesuai semangat awal atau jangan-jangan, pengadaan barang

dan jasa yang terpusat di bawah kendali Pemprov Bali malah makin menyuburkan

praktik korupsi. Berikut penelusuran Solidaritas.

Sistem Tender Satu Pintu

Kabag Humas pada BiroHumas dan Protokol Pemprov Bali, I Ketut Teneng, mengatakan, se-

jak awal program ini digagas, Pemprov Bali berharap agar program ini diketahui secara luas oleh masyarakat. Caranya, kata dia, dengan memanfaatkan fasilitas teknologi seperti internet. Melalui inter-net, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan Pemprov Bali disosialisasikan termasuk di dalamnya pengadaan barang dan jasa. “Ini penting, karena memang dalam konteks akuntabilitas, kami ingin semua masyarakat mengetahuinya dan dapat mengakses. Dengan begitu, segala kegiatan pemprov akan bermakna kegia-tan masyarakat juga, karena merasa sudah memiliki kegiatan tersebut,” ujarnya.

Dalam pengadaan barang dan jasa, kata Teneng, tentu saja yang diutamakan adalah bersaing secara sehat, sportif dan menjaga mutu dari output suatu proyek

yang digarap. Jika mengacu pada DPA, maka pengadaan barang dan jasa dengan besar anggaran di atas Rp100 juta, harus melalui proses tender. Teknisnya, jelas Teneng, SKPD yang membutuhkan ba-rang atau jasa mengirimkan surat kepada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah. Dalam isi surat, SKPD tersebut menjelaskan secara rinci jenis barang atau jasa yang hendak diadakan. “Begitu prosesnya. Mengirim surat, pe-ngadaan barangnya apa dan speknya apa, itu harus disampaikan. ULP selanjutnya membuka lelang untuk keperluan dimak-sud,” paparnya.

Meski saat ini sistem tender penga-daan barang dan jasa terpusat menjadi

satu pintu, Teneng menjamin tak ada upa-ya “main mata” antara perusahaan dengan Pemprov Bali. Apa jaminannnya? Menu-rutnya, segala kualifikasi pemenang akan diumumkan secara terbuka di masyarakat. Pada titik itu, publik juga mempunyai ke-sempatan untuk melakukan konstrol seca-ra penuh. Teneng juga menjamin, tak ada pejabat yang terlibat dalam proses tender tersebut. terlebih jika seorang pejabat ikut tender melalui perusahaannya. “Aturan-nya jelas, PNS tak boleh jadi pengusaha. Kalau memang ada yang begitu dan keta-huan, pasti ada sanksi yang tegas kepada orang itu. Itu tindakan yang tidak bisa di-maafkan,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala ULP Pemprov

Laporan

Page 15: SOLIDARITAS Edisi 2

| 1�SOLIDARITAS | Volume II/2010

Bali, Jayadi Jaya, saat ditemui di ruang kerjanya, mengatakan, meski proses ten-der di lingkup Pemprov Bali satu pintu, tapi dipastikan hal itu akan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain diumumkan melalui media online, pe-ngadaan barang dan jasa juga diumumkan melalui media massa lokal dan nasional. Dikatakan, pengumuman yang disampai-kan baik melalui internet atau pun media cetak, pasti akan memuat hal-hal detail seperti segala persyaratan yang dibutuh-kan, siapa saja yang berhak mengikuti proses lelang, dan jenis kualifikasi yang dibutuhkan. “kalau barang dan konstruk-si, kita akan umumkan melalui Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Nah, mulai dari pengumuman awal sam-pai dengan usul penetapan pemenang, itu kewenangan ULP. Selebihnya, mulai dari kontrak hingga pelaksanaan proyek, itu wilayah SKPD.

Bagaimana untuk menghindari tum-pang tindih pengadaan barang dari selu-ruh SKPD? Menurut Jayadi, ULP memi-liki jadwal pelelangan. “Kalau dikatakan tumpangtindih, ya begitu realitasnya. Tapi kita punya jadwal sehingga tak mengacau antara SKPD satu dengan lainnya,” be-bernya.

Sementara itu, mengenai siapa saja berhak mengikuti proses lelang, Jayadi mengatakan, siapapun berhak mengiku-

ti proses tersebut, asal persyaratan yang dibe-bankan terpenuhi. Per-syaratan itu, di antaranya sesuai dengan kualifikasi tender, bidang usaha se-suai dengan kebutuhan, NPWP, dan banyak per-syaratan lainnya. Setelah persyaratan administrasi itu terpenuhi, maka yang bersangkutan boleh men-gikuti proses lelang. Se-telah lelang dilaksanakan, Jayadi mengaku tak tahu-menahu soal kriteria bagi pemenang. Pasalnya, ULP hanya menjalankan renca-na lelang, dan mengusul-kan beberapa perusahaan kepada SKPD saja. Selan-jutnya, pemenang akan di-tentukan oleh SKPD yang membutuhkan pengadaan barang dan jasa. “Berdasar Ke-pres No. 80 tahun 2003. Setelah lulus eva-luasi, maka ULP hanya menentukan calon pemenang saja, berdasar kualifikasi. Kita hanya ajukan calon saja,” urainya.

Jayadi mengatakan, untuk proses eva-luasi ada dua macam sifatnya, gugur dan match point. Jika pada proses evaluasi ad-ministrasi satu perusahaan tak memenuhi persyaratan, maka dengan sendirinya gu-gur. Kendati begitu, Jayadi tak mau mem-

buka soal kriteria penilaian dan bagaimana hasil evaluasi yang di-lakukan. “Itu kerahasiaan proses. Keppres yang menjamin tak boleh dipublikasikan. Yang boleh mem-buka itu adalah lembaga peme-riksa, jika pun ada pemeriksaan,” kelit dia.

Jika satu perusahaan pernah memenangkan lelang proyek dan buruk pada pengerjaannya, maka dia tak akan diikutkan kembali jika sudah di-blacklist. Blacklist sendiri diajukan oleh si penggu-na jasa dan barang yang merasa tak puas dengan pengerjaan sua-tu perusahaan, diajukan kepada ULP. Masa berlaku black list se-lama dua tahun. Black list sendiri, dijelaskan Jayadi, ada berbagai macam. Tak melulu dua tahun, tapi bisa saja dalam kurun waktu

tertentu dengan jenis pengadaan proyek pada satu kasus saja. “Tetapi bagi pihak lain itu menjadi referensi,” jelasnya.

Bagaimana dengan gratifikasi? Di-tanya begitu, Jayadi mengklarifikasi jika sering terjadi praktik yang masuk dalam kualifikasi korupsi itu. Menurutnya, gra-tifikasi dalam pengadaan barang dan jasa berpotensi terjadi. Kendati begitu, gratifi-kasi itu, katanya, masing-masing kejadian dan bentuknya. Sementara di ULP sendiri, pihaknya menjamin tak ada yang meneri-ma gratifikasi. Dikatakan begitu, katanya, karena ULP ini adalah lembaga yang ti-dak bergerak dan disoroti oleh berbagai lembaga berkepentingan. “Kita jamin tak ada gratifikasi di sini. ULP ini barang mati,” katanya.

Meski begitu, pengadaan barang satu pintu, lanjut Jayadi, secara normatif jelas dapa menghindari hingga menghilangkan praktik KKN. Mengenai kebocoran ang-garan, Jayadi mengaku jika dilihat dari misi dibentuknya badan pengadaan ba-rang satu pintu adalah untuk menghindari potensi terjadinya praktik haram tersebut. “Dan, selama ini berjalan baik. Sangat bisa dijamin tak ada kebocoran anggaran. Kontrolnya jelas tepusat, karena satu pin-tu. Bandingkan, lebih fokus mengontrol empat puluh SKPD dalam sistem lama atau fokus hanya satu dalam sistem yang baru ini. saya pikir lebih efektif yang satu difokuskan. Tak akan ada kebocoran,” imbuhnya. (cikal)

I Ketut Teneng

Jayadi Jaya

dok. YMK

dok. YMK

Utama

Page 16: SOLIDARITAS Edisi 2

16 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Proses dinamika politik yang sedang berlangsung pascareformasi 1998 lalu membangkitkan tantangan

pada seluruh sistem penyelenggaraan pe-merintahan. Dalam menghadapi derasnya arus dinamika politik tersebut. Pemerin-tah diharuskan dapat mentransformasi-kan semangat demokratisasi dan egalita-rian, yang menempatkan rakyat—seperti logika awal demokrasi, sebagai peme-gang kedaulatan tertinggi, agar terwujud tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dari sudut pandang ilmu politik, pembentukan good governance adalah tujuan akhir gerakan reformasi dan demokratisasi.

Beberapa KarakteristikPenyelenggaraan good governance

merupakan salah satu syarat bagi tercip-tanya sistem pelayanan, yang disatu sisi mampu merespons perkembangan ekster-nal yang terjadi, dan di sisi lain mampu mengakomodasi tuntutan internal. Ada beberapa karakteristik good governance yang semestinya menjadi acuan dalam mengarahkan kebijakan dalam sistem pe-merintahan. Pertama, adanya penegak-kan dan supremasi hukum, transparan-si, dan profesionalisme. Penyelenggara negara juga harus memiliki kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas. Kedua, penghormatan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat di satu pihak, dan demokrasi di pihak lainnya. Kekuasaan negara ditransformasikan dari kekuasaan “atas rakyat” menuju kekuasaan “untuk rakyat”. Ketiga, dapat meningkatkan keberdayaan dan mengutamakan pela-yanan prima kepada masyarakat tanpa

diskriminasi, dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta. Keempat, mampu mengakomodasi kontrol sosial masyarakat dengan tetap mengembang-kan semangat kemitraan, otonomi dan dinamika politik. Kelima, meningkatnya partisipasi, otoaktivitas, dan desentralisa-si, dan keenam, berkembangnya sistem checks and balances.

Dengan demikian, good governance, merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelengga-raan pemerintahan negara yang efisien dan efektif dengan menjadi sinergi yang konstruktif diantara pemerintah (govern-ment), sektor swasta (private sector), dan masyarakat sipil (civil society). Nega-ra dan pemerintah berfungsi mencipta-kan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta mendorong ter-ciptanya lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, sedangkan masyarakat sen-diri mewadahi interaksi sosial politik dan perpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

Prinsip-prinsip demokrasi yang me-lekat pada good governance meletakkan urgensi untuk menempatkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa. Kemudian, tidak adanya rasa takut untuk memasuki suatu perkumpulan atau berse-rikat sesuai dengan kebutuhan hati nurani, dan akhirnya dihargainya perbedaan pen-dapat. Di samping itu, good governance juga menghendaki adanya upaya revita-lisasi birokrasi dalam rangka meningkat-kan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan pendekatan parti-

sipatoris untuk menggantikan pendekatan kekuasaan, pendelegasian tugas dan ke-wenangan kepada masyarakat atas hal-hal yang dapat mereka kerjakan sendiri, serta yang tidak kalah pentingnya adalah pe-ningkatan kualitas sumber daya manusia di kalangan aparat birokrasi sendiri.

Peluang Good GovernanceBerbagai patologi birokrasi yang ma-

sih tampak hingga kini tidak menutup peluang bagi upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean govern-ment) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Untuk itu struk-tur birokasi hendaknya tetap bisa menja-min tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Di samping itu juga ter-penuhi tiga hal yang hingga saat ini sangat didambakan oleh masyarakat luas yaitu:

Pertama, pelayanan civil service seca-ra berlanjut demi kelancaran administrasi pemerintah dan harus terbebas dari pen-garuh politik (adanya pergantian pemerin-tahan hasil pilkada langsung), PNS harus independen dan hanya loyal kepada ke-pentingan negara. Kedua, perlindungan, melalui perwujudan dan su-premasi hu-kum (kepastian dan penegakan hukum), sehingga masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari da-lam berbangsa dan bernegara. Ketiga, memberdayakan masyarakat. Pemerintah secara langsung mendorong (memfasili-tasi) masyarakat dalam berbagai kegiatan demi kepentingan masyarakat dengan pemberian pelayanan dan perlindungan

Upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan tuntutan utama reformasi. Namum berbagai langkah yang dilakukan baik oleh DPR, pemerintah maupun lembaga tinggi negara lainnya akhir-akhir ini justru lebih mengarah kepada praktik Bad Governance dengan semakin pudarnya integritas di kalangan pejabat publik yang disertai keterlibatan mereka dalam berbagai kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Mewujudkan Tata KelolaPemerintahan yang Baik

(Good Governance)

DR. Wayan Gede Suacana, M.Si

ini

Page 17: SOLIDARITAS Edisi 2

| 17SOLIDARITAS | Volume II/2010

serta jaminan hukum yang konsisten dan tegas.

Guna menjamin terwujudnya hal itu maka perlu dilakukan "check and ba-lance" dari masing-masing fungsi ke-lembagaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing lembaga harus memiliki fungsi yang jelas dan lebih in-dependen, seluruh proses harus dilaksa-nakan secara "transparan" untuk diketa-hui publik guna kepentingan pengawasan melalui social control.

Peluang terbuka ke arah perwujudan

good governance terjadi apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan par-tikularisme dalam sistem administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalan-kan fungsinya sebagai “public servant”. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat apa-pun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair harus dila-kukan agar setiap orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan pelu-ang untuk dinilai kelayakannya melaksa-nakan proyek itu. Dengan begitu kesem-patan munculnya praktek KKN dan mark up yang selama ini terjadi dalam pelaksa-

naan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan.

Akhirnya good governance akan bisa terwujud apabila birokrasi bisa lebih adaptif terhadap perubahan dan dinamika masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berpihak pada kedaulatan rakyat se-hingga lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara profesional, proporsio-nal dan efisien.

* Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa

Sebagai tindak lanjut dari pelak-sanaan Program Pemolisian Ma-syarakat (Polmas)/Community

Oriented Policing (COP), yang digagas pada seminar dan lokakarya pada tang-gal 27 April 2010, tim Manikaya Kauci melakukan proses advokasi pada tingkat kabupaten. Tujuan dari advokasi tingkat kabupaten ini tidak lain untuk mensosi-alisasikan hasil acara seminar dan loka-kakarya. Ada harapan yang cukup tinggi

agar pemerintah kabupaten terlibat aktif dan bisa mendukung program yang akan dijalankan karena mau tidak mau institusi pemerintah juga bertanggung jawab ter-hadap rasa aman masyarakatnya.

Pada tanggal 18 Mei 2010, tim Pro-gram Polmas dipimpin oleh Gunadjar, Direktur Yayasan Manikaya Kauci selaku penanggung jawab program bersama Ne-ngah Sukardika selaku Program Officer,

m e l a k u k a n audiensi ke P e m e r i n t a h K a b u p a t e n Jembrana dan Buleleng serta ke Kepolisian Resort (Pol-res) Jembrana dan Buleleng. Di Kabupaten Buleleng, Tim Polmas Ma-nikaya Kauci bertemu dite-rima langsung oleh Kepala Kantor Kesa-

Advokasi Programtingkat Kabupaten

tuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Polinmas) Ne-ngah Widiana Santosa, serta sekretaris Dewa Putu Susrama. Dari hasil pertemu-an tersebut diketahui bahwa pihak pe-merintah sangat setuju dengan program yang telah dan akan dijalankan Yayasan Manikaya Kauci, khususnya terhadap keberadaan Forum Komunikasi Pemo-lisian Masyarakat (FKPM) yang dinilai berhasil membantu program-program kepolisian. Widiana berharap kegiatan sosialisasi dilaksanakan lebih intens se-hingga lebih banyak masyarakat Kabu-paten Buleleng mengetahuinya.

Pada hari berikutnya, 19 Mei 2010, di Kabupaten Jembrana Tim Polmas Yayasan Manikaya Kauci diterima oleh Sekretaris Kesbang Polinmas Kabupaten Jembrana I Wayan Widnyana mewakili pemeritah. Tidak banyak berbeda dengan hasil pertemuan di Kabupaten Buleleng, Kesbang Polinmas Kabupaten Jembra-na merespon positif bersedia memberi dukungan dan berpartisipasi dalam pro-gram. Melalui program yang akan di-jalankan, Widnyana berharap nantinya terjalinnya koordinasi yang cukup bagus antara pihak kepolisian, pemda dan ma-syarakat dalam menciptakan kamtibmas yang kondusif.

(rahsa)

ini

Program

dok. YMK

Page 18: SOLIDARITAS Edisi 2

18 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Sosok

Sanggar Anak Tangguh adalah sa-lah satu tawaran alternatif dalam meng-antisipasi kesenjangan di

sektor pendidikan. Kesenjangan pendidi-kan antara masyarakat kaya yang tinggal di perkotaan dan masyarakat miskin yang tinggal dipedesaan. Sanggar Anak Tang-guh memproklamirkan diri sebagai sanggar yang mengusung pendidikan alternatif dan holistik

Adalah Komang Adi, salah satu satu peng-gagas sekaligus pendiri Sanggar Anak tang-guh. Pemuda desa yang lahir pada tanggal 24 Desember 1974 di Desa Guwang, Suka-wati, Kabupaten Gianyar, dimana Sanggar anak Tangguh berada. Ia menyelesaikan pendidikannya di ITN Bandung jurusan product design. Selain aktif mengurus sanggar, ia juga aktif di Mitra Bali, sebuah NGO yang yang peduli dalam pengemba-ngan konsep perdagangan yang berkeadi-lan, didasarkan pada asas tranparansi (fair trade).

Pendidikan alternatif di Sanggar Anak Tangguh, menurut Komang Adi, dapat diamati dari proses pembangunan yang digagas oleh warga lokal dengan bergo-tong-royong. Orang tua para anak di seki-tar sanggar pun memiliki peran dalam pe-ngembangan Sanggar.

Orang tua atau wali anak-anak, dilibatkan dan bergotong-royong dan berkontribusi: pikiran, tenaga, waktu sesuai potensinya, dalam menghidupkan sanggar. Partisipasi

orang tua diwujudkan dalam langkah nyata seperti: mereka berkontribusi menyumbang air, listrik, ada yang berkontribusi dalam penjemputan relawan. Termasuk mengajar di sanggar. Pemilik nama lengkap I Komang Adiartha ini menuturkan, partisipasi orang tua diharapkan sesuai kemampuan dan ke-sanggupannya. Dalam acara rapat para wali siswa, tuturnya, salah satu orang tua pernah me-ngatakan, “sanggar ini akan tetap hidup jika semangat gortong royong masih hidup, dan sanggar ini akan mati, jika semangat gotong royong itu telah mati”.

Dalam melakukan aktivitas belajar, Sang-gar Anak Tangguh menggunakan lingkung-an sekitar sebagai ruang belajar anak-anak. Seperti sawah (subak Kulidan), Sungai Wos dan ekosistemnya, dan Lingkungan pan-tai Ketewel sebagai sarana bermain dan belajar. Visi Sang-gar Anak Tangguh menjadikan semua tempat adalah seko-lah, semua buku ada-lah ilmu dan semua orang adalah guru.

Dalam mengimple-mentasikan visi ter-sebut. Anak-anak memakai potensi alam dan lingkungan sebagai sarana bela-jar. Seperti jika me-reka menggambar,

mereka langsung ke sawah menggambar pohon bayam atau cabe. Anak-anak juga dapat menggambar pemanda-ngan pantai dan mempresenta-sikanya dalam bahasa Inggris. Anak-anak mengungkapkan istilah seperti blue montain, coconut tree, dll, sesuai den-gan gambarnya. Untuk meng-hindari kejenuhan dan menum-buhkan rasa senang belajar dari dalam diri si anak, progaram dibuat beragam. Program tidak hanya belajar di Sanggar, teta-pi sekali-sekali anak-anak juga diajak susur su-ngai. Tujuan acara susur sungai adalah un-tuk tidak hanya membuat anak menjadi cerdas tetapi juga se-hat dan tangguh.

Salah satu program unggulan sanggar ada-lah mengenalkan pentingnya keorganisasi-an dan berorganisasi. Banyak kalangan yang mengangap berorganisasi bukanlah pembelajaran. Karena banyak hal yang da-pat dipelajari dalam praktek berorganisasi yang tidak dapat dipelajari dalam pendidi-kan yang hanya menekankan ilmu penge-tahuan saja. Dalam setiap kegiatan yang diadakan, anak-anak selalu dilibatkan da-lam kepanitiaan. Bahkan ketua panitianya haruslah anak-anak. Sebagai contoh da-lam salah satu event “Tri Hita Karana In Action” panitia intinya adalah anak-anak SMP dan seksi-seksinya adalah anak anak dari kelas lima SD ke atas, sedangkan fa-silitatornya hanyalah sebagai pendamping. (RAHSA)

SanggarPendidikanAlternatifTampak keceriaan anak-anak di Sanggar Anak Tangguh. Tawa dan canda mereka mewarnai pagi yang cerah di hari Minggu. Yah, hari itu anak-anak sedang mengi-kuti beberapa aktivitas di sebuah sanggar di pinggir sawah yang sejuk dan asri. Ada yang belajar menari, latihan drama, dan meng-gambar.

Sanggar Anak Tangguh

I Komang Adiartha

Anak-anak di Sanggar Anak Tangguhdok. YMK

dok. YMK

Page 19: SOLIDARITAS Edisi 2

| 19SOLIDARITAS | Volume II/2010

Sosial Budaya

Hujan rintik tak menyurutkan lang-kah enam puluh mahasiswa Uni-versitas Diponegoro datang di

bilangan Kesiman, Denpasar menghadiri sebuah acara yang digagas oleh Yayasan Manikaya Kauci (YMK), bekerjasama dengan kelompok seniman “Ceritanya Komunitas” Denpasar dan mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dalam kegiatan studi. Sesampainya di balai banjar yang tampak tenang, telah menunggu beberapa seni-man Bali seperti Wayan “Jengky” Sunarta (penyair Bali), Joan Valentina, Moch Sa-tria Welang, dan beberapa aktivis YMK.

Suasana hangat dan penuh keakraban meliputi acara yang dibuka pukul 19.OO wita oleh Moch Satrio Welang sebagai pemandu acara. Topik pembicaraan dia-wali dengan lemparan gagasan akan pen-

tingnya sebuah komunitas sebagai ruang ekspresi dan penciptaan sebuah karya. Sebuah pertanyaan yang cukup menge-litik dilontarkan oleh seorang mahasiwa Undip. “Dengan kondisi jaman seperti ini, bagaimana sastrawan dapat meraih kehidupan yang lebih layak, karena pada kenyataannya banyak sekali satrawan hi-dup tidak layak?”

Jengky yang lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana itu, menanggapi dengan arif pertanyaan tersebut. “Tidak selamanya sastrawan hidup miskin, pa-ling tidak kaya akan karya dan kawan.

Bakatdan

MenulisSastra

Menghadapi berbagai kebutuhan hidup (baca: tuntutan ekonomi) seperti saat ini, adalah suatu kewajaran kalau sastrawan dapat melahirkan karya yang menghasil-kan materi atau uang untuk mencukupi kebutuhan hidup”, menuturkan.

Senada dengan apa yang disampaikan Jengki, Gayatri (mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitas Udayana) menimpali, “Orang yang bergelut di dunia kesusas-traan bukan berarti tidak mempunyai pe-luang, seperti banyak mereka yang kemu-dian masuk ke industri film dan sinetron. Nyatanya beberapa bahasa periklanan terikini, misalnya, dilahirkan dan dike-mas secara apik oleh para sastrawan atau mereka yang berkecimpung di dunia ke-senian. Jadi ada pemahaman untuk tidak kesusastraan an sich”.

Malam semakin semarak, di tengah–tengah acara, para seniman dan satrawan yang hadir menampilkan beberapa perfor-ma dan pembacaan puisi. Seperti Muda Wijaya, Joan Valentine, Wayan “Jengky” Sunarta, Prakiyul, mahasiswa-mahasiswa Undip, dan tak ketinggalan dosen pen-damping mereka.

Acara ditutup dengan penyerahan tan-da mata: majalah SOLIDARITAS dan antologi puisi “Keranda Emas” dari ko-munitas penyair Bali dan YMK kepada perwakilan rombongan Fakultas Sastra Undip. (rahsa)

Diskusi Undip-YMK

(Ki-ka) Moch S Welang, Wayan Sunarta, Gunadjar

Suasana diskusi Mahasiswa Fak. Sastra Universitas Diponegoro dengan sastrawan Bali di Bale Banjar Yayasan Maikaya Kauci

dok. YMK

dok. YMK

Page 20: SOLIDARITAS Edisi 2

�0 | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Sosial Budaya

Apakah kehendak itu?Kehendak adalah satu kekuatan

(shakti) yang menyebabkan apa yang se-belumnya tidak ada diusahakan menjadi ada. Kehendak itu bisa ada pada seman-gat orang-orang, bisa pula ada pada apa yang mereka sebut Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dapat dipahami, menga-pa mereka tidak melupakan Tuhan Yang Maha Esa di dalam susunan redaksi.

Bagaimana kalau kehendak itu hi-lang?

Seumpamanya kelak Solidaritas hi-lang dari peredaran karena satu dan lain sebab, misalnya karena tidak ada dana, pembaca akan bertanya-tanya apakah barangkali Tuhan tidak lagi menghenda-ki ada Solidaritas?

Bukan kebetulan Solidaritas menye-but Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pe-lindung. Dalam wacana solidaritas ke-manusiaan pun (solidaritas dengan “s” kecil) Tuhan sering disebut-sebut oleh masyarakat beragama sebagai sebab dari mana nilai solidaritas itu berasal, dan ke mana nilai solidaritas itu kembali.

Maka oleh sebab itu, jika sekarang perilaku-solidaritas dan produk-solida-ritas dirasakan mulai hilang dalam hu-bungan kemanusiaan, maka itu juga dipahami memang kehendakNya. Tuhan mengadakan, Tuhan memelihara, dan Tuhan melebur. Sehingga orang atau ke-lompok orang yang menggali nilai soli-

daritas kemanusiaan dan mengkampany-ekannya, mereka patut diduga provoka-tor yang menghambat proses peleburan (pralina) solidaritas itu sendiri.

Mengapa mereka menghambat?Barangkali mereka tidak percaya,

bahwa peleburan solidaritas model lama oleh Tuhan Yang Maha Esa justru bertu-juan agar segera bisa diciptakan model solidaritas yang baru oleh Tuhan Yang Maha Esa juga. Sabar, tabah, tawakal, ikhlas, adalah kata-kata kunci yang diti-tipkan oleh pikiran agamais untuk meng-hadapi cobaan. Dinasehatkan oleh guru-guru agama agar manusia jangan larut dalam kesedihan ketika kehilangan harta berharga seperti solidaritas itu.

Begitukah?Dengan cara berpikir seperti itu,

permasalahan melemahnya solidaritas kemanusiaan menjadi seakan “terpecah-kan” dengan sendirinya, tanpa perlu su-sah payah memecahkannya. Cara agama umumnya dipraktekkan seperti itu. Hati yang sedih karena hilangnya solidaritas diobati hingga pulih. Bila hati sudah waras, jiwa kembali wal’afiat, panda-ngan menjadi fresh, maka berubahlah “realita” yang nampak. Dalam bahasa pewayangan, neraka pun seketika beru-bah menjadi surga di mata wayang yang tinggi ilmu kebatinannya.

So what?Begitulah barangkali akan jadinya,

bila buru-buru melibatkan Tuhan Yang Maha Esa untuk urusan manusia dengan manusia. Pikiran dan pandangan menja-di ambigu. Ada kavling solidaritas yang digarap oleh manusia, dan ada kavling yang diperuntukkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.

Bukankah sejatinya urusan solidari-tas itu masih bisa ditangani oleh manu-sia secara bersama-sama dengan sesama manusia, dengan cara bergotong-royong, kalau berat sama dipikul kalau ringan sama dijinjing, harapan sama dikejar penjahat kemanusiaan sama-sama diha-jar.

Masalah solidaritas adalah urusan manusia dengan manusia. Urusan ma-nusia dengan para Bhuta dan para Kala tidak dinamai solidaritas. Urusan pri-badi manusia dengan Tuhannya juga tidak disebut solidaritas. Dalam wacana solidaritas, manusia adalah pusatnya. Manusialah yang secara bersama-sama melindungi nilai, perilaku, dan produk solidaritas kemanusiaan itu. Manusia punya kekuatan kehendak, kekuatan pengetahuan, dan kekuatan kerja yang luar biasa. Dengan potensi itu, manusia bukan hanya pelindung solidaritas ke-manusiaan. Manusia bahkan juga pelin-dung Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jadi, Siapa sesungguhnya melindu-ngi siapa?

Pasti bukan kebetulan bila majalah

Solidaritas solidaritasApakah Solidaritas itu?Solidaritas (dengan “S” kapital) adalah nama sebuah majalah terbitan Yayasan Manikaya Kauci, yang menyebut Tuhan Yang Maha Esa dalam susunan redaksinya sebagai Pelindung.

Mengapa ada Solidaritas?Solidaritas itu ada karena diadakan: dari tidak ada menjadi ada. Dalam bahasa penganut Tuhan Yang Maha Esa, Solidaritas itu ada bukan hanya karena kehendak orang-orang, tapi di atas semua itu Solidaritas ada atas kehendakNya. [ibm. dharma palguna]

Page 21: SOLIDARITAS Edisi 2

| �1SOLIDARITAS | Volume II/2010

Setahun yang lalu, di bulan Juli 2009, Forum Peduli Gumi Bali dan Alase Bali menggelar acara dialog pub-

lik, untuk menyikapi rencana disahkannya Ranperda RTRW Propinsi Bali. Dialog tersebut diikuti sejumlah komponen ma-syarakat, seperti perwakilan nelayan, peta-ni, pelajar, mahasiswa, penyandang cacat, perwakilan desa pakraman, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Fo-rum ini meminta kepada DPRD Bali untuk memastikan perda tersebut memenuhi un-sur berkeadilan.

Sedikit mengingat kebelakang, salah satu rekomendasi dalam pertemuan terse-but agar RTRW yang nantinya disahkan akan memperhatikan akses sosial bagi kaum difabel. Selama ini difabel, tidak da-pat menikmati haknya atas ruang karena ruang ditata dengan pola yang tidak ramah bagai mereka. Untuk itu satu kewajiban bagi tiap-tiap kabupaten/ kota di Propinsi Bali untuk mengakomodasinya dan menu-angkannya ke dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Perda RTRW yang nantinya disusun harus memberikan sarana bagi difabel untuk menikmati ruang, misal-nya penyediaan jalur, dan gedung pemerin-tah harus memberikan akses kepada difabel sehingga mereka juga bisa menikmati pela-yanan publik.

Faktanya penyandang cacat di Kota Denpasar, sepertinya harus memperjuang-kan haknya untuk mendapat fasilitas me-madai di pusat kota Provinsi Bali ini. pasal-nya, pembahasan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar, yang sedang dalam tahap pembahasan di DPRD Kota Denpasar, be-lum mendapat prioritas. Terbukti, dengan belum diadopsinya RTRW Provinsi yang seharusnya menjadi acuan bagi Kota Den-pasar dalam menyusun Perda RTRW-nya.

Anggota Fraksi Golkar DPRD Ko-

ta Denpasar, I Wayan Mariyana Wandhira, ST, saat ditemui di ruang kerjanya menga-kui jika klausul khusus penyandang cacat, hingga Rancangan Perda RTRW Kota Denpasar dibahas, belum diatur khusus.

Penyandang Cacat Belum Jadi Prioritas

Namun, ia berdalih pihaknya akan mema-sukkan klausul khusus terkait penyandang cacat di Kota Denpasar. “Kita sangat me-merhatikan hal tersebut. mereka juga war-ga Kota Denpasar,” ujarnya.

Dikatakan, Fraksi Golkar sendiri, akan

memasukkan klausul khusus tentang pe-nyandang cacat saat pembahasan fasilitas publik dilakukan. Wandhira mengatakan, Denpasar sudah selaiknya mengadopsi standar khusus tentang penyandang cacat seperti halnya di luar negeri. Pasalnya, pe-nyandang cacat di Kota Denpasar sangat banyak jumlahnya, meski dia mengaku tak mengetahui secara persis berapa jum-lahnya.

Fasilitas ruang publik, jelas dia, ter-

masuk di dalamnya adalah fasilitas untuk para penyandang cacat. “Misalnya trotoar harus menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Saya kira sudah saatnya Denpa-sar menyiapkan hal itu. Kita bisa sisipkan agenda itu ketika ruang publik dibahas nanti,” katanya.

Wandhira sendiri mengaku meminta

perhatian dari Pemerintah Kota Denpasar untuk memerhatikan penyandang cacat. Fraksi Golkar, jelas dia, mendorong agar dalam Perda RTRW Kota Denpasar ada klausul khusus yang mengatur hal terse-but. “Ini kita harus perhatikan betul. Hak dan perhatian dari Pemerintah Kota Den-pasar terhadap mereka harus didorong,’ kata dia.

Menurutnya, pembahasan Perda

RTRW Kota Denpasar ini adalah ruang untuk mendorong hal tersebut. Hanya saja, Wandhira mengaku, realisasi hal itu tetap dengan mengedepankan skala prioritas. Dikatakan, Kota Denpasar, semestinya sudah menyiapkan akses bagi mereka. Hanya, percontohan harus dilakukan da-lam kerangka perbaikan nantinya. “Harus ada skala prioritas. Di mana lokasi yang harus kita penuhi dulu. Misalnya di lokasi tertentu, itu akan dijadikan proyek percon-tohan,” imbuhnya. (rahsa)

Ranperda RTRW Kota Denpasar

Layanan Publik

berbasis kemanusiaan Solidaritas ini menempatkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelindung. Pasti juga bukan kebetulan bila banyak majalah agama berbasis ketuhanan justru menempatkan manusia (biasa) sebagai pelindung.

Memang kita diajarkan bahwa tidak ada yang namanya kebetulan di du-nia ini. Tapi kita akhirnya dibuat tahu, bahwa hampir di setiap bahasa ada kata kebetulan. Maka wajar bila orang lantas bertanya-tanya: apakah yang ada hanya kata, sedangkan isi yang direpresenta-sikan oleh kata itu bisa ada bisa tidak ada?

Dengan kata lain pertanyaan itu ber-bunyi, apakah sekarang solidaritas itu hanya kata? Orang boleh bertengkar, atau bahkan berperang, untuk sebuah kata. Dari pertengkaran dan peperangan itu akhirnya mudah sekali memunculkan “solidaritas” di permukaan. Apalagi ke-tika ditemukan apa yang disebut musuh bersama: terutama musuh kebiadaban sosial.

Selebar apakah solidaritas itu seka-rang?

Lebar majalah Solidaritas dapat diukur. Tebalnya dapat dihitung sesuai jumlah halamannya. Bagaimana dengan nilai dan perilaku solidaritas manusia?

Keluasan dan kedalaman nilai soli-daritas kemanusiaan yang dicita-citakan majalah Solidaritas, akan mudah dipaha-mi oleh pikiran yang menganut “agama kemanusiaan”. Dalam agama ini, ke-tuhanan berubah menjadi “rasa” yang sangat dalam, ditemukan di dalam diri penganutnya.

Bila itu kelak terjadi (atas kehendak-Nya), maka Yayasan Manikaya Kauci tidak perlu lagi menerbitkan majalah So-lidaritas. Karena jagat manusia ini akan berubah menjadi “majalah Solidaritas” yang tak habis dibaca bergenerasi-gene-rasi.

Kapan itu akan terjadi?Itu akan terjadi segera setelah Tuhan

Yang Maha Esa tahu diriNya dijadikan Pelindung sebuah majalah berbasis soli-daritas! (*)

Page 22: SOLIDARITAS Edisi 2

�� | Volume II/2010 | SOLIDARITAS

Dr. I Gede Kamajaya, lahir 10 November 1969, di Nusa Penida. Ia dilahirkan dari keluarga pemangku. Sejak kecil sudah menyenangi dunia metafisik. Setelah lulus Dari Universitas Airlangga Surabaya, ia memutuskan untuk tdk berpraktik sebagai dokter umum. Tapi memilih jalur pengobatan alternatif. Alasan lain adalah ketika ia pernah mencoba untuk beraktivitas sebagai dokter umum merasa kurang nyaman. Sebelum-nya, dia pernah praktek di sebuah klinik di Jakarta selama 1 tahun dan 3 tahun di nusa penida.

Alamat praktek: Klinik alternatif Dhanvantri Usada JL. Ratna no 6� telp. 0361 3600�90Konsultasi lewat media bisa melalui email: [email protected]

Yudi, sebut saja namanya begitu. Berasal dari Karangasem, dia tinggal di Kuta, bekerja di sebuah agensi tourist information. Pada suatu sore dia datang diantar oleh temannya ke tempat praktek kami. Dia tampak gagah dengan body yang seimbang dan atletis. Tampaknya sehat dan energik.

Setelah basa-basi sewajarnya, dia mulai bercerita mengenai penyakitnya. “Pak, saya bingung dari mana mulainya. Tapi yang jelas kepala saya sering terasa kosong, terutama daerah otak belakang saya. Jika saat seperti itu tiba, s a y a sering dengar bisikan-bisikan yang menyuruh saya ini atau itu. Pokoknya disuruh yang aneh-aneh. Saya tidak berdaya menolaknya. Pikiran saya terasa dikuasai oleh mereka, entah siapa. Pikiran dibuat bingung. Ini sangat mengganggu pekerjaan saya.” Demikianlah dia memulai ceritanya.

Dia juga bercerita, bahwa pada malam hari saat berbaring, antara sadar dan tidak sadar dia dijemput beramai-ramai oleh serombongan cewek cantik. Kemudian diajak pergi ke beberapa tempat. Setelah sadar dari kondisi itu badannya terasa lemas, batin terasa kosong seolah-olah menjadi orang yang tanpa daya. Sampai dia berpikir, “Jangan- jangan saya telah gila”.

Mendengar penjelasannya mengertilah kami, bahwa problem ini adalah urusan dengan dunia roh. Tapi roh apa? Kami membuka Mata Dewa, meneliti keadaan dari Pak Yudi. Terlihat oleh batin kami bahwa dia memiliki frekuensi gelombang roh yang selaras dengan para m a k h l u k halus. Terutama dengan makhluk halus dari golongan

bawah, yang sering dikenal dengan nama para wong samar. Dengan kondisi seperti ini maka para makhluk halus senang bergaul dengan Pak Yudi ini. Para makhluk halus itu tidak bermaksud mengganggu, tapi akibat “pergaulan antardimensi” itulah yang membawa masalah. Ini juga salah satu bentuk salah pergaulan.

Melihat kondisi itu, kami memasuki meditasi tantra, memusatkan pikiran kepada Sang Lautan Energi. Kami mengundang kehadiran Kawaca Gaib. Ini adalah energi pelindung gaib. Segera Pak Yudi terbungkus oleh semacam telur gaib yang bening dan transparan, tapi amat kuat. Kawaca ini melindungi dirinya dari frekuensi negatif dari alam roh bawah, dan mengubah frekuensi rohnya agar tidak bersesuaian lagi dengan frekwensi dari alam roh bawah. Kami juga memberinya beberapa Fu untuk diminum untuk membersihkannya dari hawa setan. Perlu diketahui bahwa Kawaca Gaib ini jenisnya bermacam macam. Tergantung kondisi pasien, kondisi tertentu memerlukan kawaca tertentu.

Kami berpesan kepada Pak Yudi, “besok atau lusa tolong hubungi kami, biar kami tahu keadaan Bapak, kalau tidak ada perubahan, kami akan memikirkan cara lain.” Beberapa hari kemudian dia menghubungi kami dan mengatakan bahwa dia tidak pernah diganggu lagi seperti sebelumnya. Dia juga mengatakan seperti ada yang melindungi dirinya. Dan dia juga bilang, “Pak Dokter, sebenarnya saya juga senang akan hal-hal spiritual, boleh gak saya belajar tenaga dalam dari Bapak, minimal untuk meningkatkan kesehatan.” Kami jawab,”Silahkan datang.”

DikontrolMakhluk Halus

Konsultasi Kesehatan

Page 23: SOLIDARITAS Edisi 2
Page 24: SOLIDARITAS Edisi 2