21
33 BAB V PEMAHAMAN DAN PRAKTEK NILAI HIBUA LAMO OLEH MASYARAKAT DESA DUMA DAN DESA MAMUYA SEBELUM DAN SESUDAH PERPECAHAN JEMAAT 5.1. Hibua Lamo Sebagai Nilai Kehidupan. Dalam pembahasan sub bab ini, peneliti akan membahasnya secara berurutan dalam empat (4) sub-sub bab, diantaranya: (1) Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo dalam Kehidupan Warga Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya; (2) Nilai Hibua Lamo dalam Relasi Anak Muda di Desa Duma dan Desa Mamuya; (3) Nilai Hibua Lamo dalam Relasi Warga Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya, dan; (4) Hibua Lamo dalam Relasi Warga Jemaat dan Pendeta di Desa Duma dan Desa Mamuya. 5.1.1. Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan Warga Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya. Nilai-nilai Hibua Lamo sebagaimana dipahami oleh warga masyarakat di wilayah Galela (termasuk Desa Duma dan Desa Mamuya) dapat ditemukan melalui berbagai tradisi yang dipraktekan oleh masyarakat setempat. Adapun tradisi saling hormat-menghormati adalah salah satunya. Tradisi hormat-menghormati tersebut dijelaskan oleh Bapak Y. Etha 1 , bahwa: “Ketika orang sedang duduk maupun berjalan. Orang yang sedang berjalan diwajibkan memberi salam kepada siapa saja yang sedang duduk di depan rumah. Salam yang harus diucapkan adalah: “e ngohi ta ka hoko si... atau e ngohi ta ka hie si...” (saya mau ke Selatan ya... atau saya mau ke Utara ya). Sedangkan orang yang duduk wajib menyambut dan membalas salam itu dengan mengucapkan “tulu kasi, ma suyu kasi, ma moku kasi” (mampir sebentar, mari merokok, mari makan pinang)”. 2 Tradisi hormat-menghormati ini merupakan ekspresi nyata dari pemahaman masyarakat akan nilai O‟Baliara (Pelihara/Peduli) dan O‟Hayangi (sayang). Makna dari nilai OBaliara yang terekspresikan melalui tradisi tersebut menandakan adanya “rasa saling peduli” diantara mereka. Sedangkan nilai O‟Hayangi melalui tradisi ini merupakan sikap “saling sayang” yang diwujudkan melalui „tegur sapa, mampir walaupun hanya duduk sebentar saja, dan berbagi cerita tentang seputar kehidupan mereka‟. 1 Almarhum Bpk.Yosafat Etha seorang Tokoh Masyarakat Desa Duma diakses dalam bukunya Sefnat Hontong tentang Eksistensi Pusara Dodara, 2012. 2 Sapan salam tersebut digunakan dalam bahasa daerah (suku) Galela.

BAB V PEMAHAMAN DAN PRAKTEK NILAI HIBUA LAMO …...dan praktek nilai Hibua Lamo dapat ditemukan melalui bentuk-bentuk relasi yang terbangun diantara pertemanan. Konkretnya berbentuk

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 33

    BAB V

    PEMAHAMAN DAN PRAKTEK NILAI HIBUA LAMO OLEH MASYARAKAT

    DESA DUMA DAN DESA MAMUYA SEBELUM DAN SESUDAH

    PERPECAHAN JEMAAT

    5.1. Hibua Lamo Sebagai Nilai Kehidupan.

    Dalam pembahasan sub bab ini, peneliti akan membahasnya secara berurutan dalam

    empat (4) sub-sub bab, diantaranya: (1) Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo dalam

    Kehidupan Warga Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya; (2) Nilai Hibua Lamo dalam

    Relasi Anak Muda di Desa Duma dan Desa Mamuya; (3) Nilai Hibua Lamo dalam Relasi

    Warga Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya, dan; (4) Hibua Lamo dalam Relasi Warga

    Jemaat dan Pendeta di Desa Duma dan Desa Mamuya.

    5.1.1. Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan Warga

    Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya.

    Nilai-nilai Hibua Lamo sebagaimana dipahami oleh warga masyarakat di wilayah

    Galela (termasuk Desa Duma dan Desa Mamuya) dapat ditemukan melalui berbagai tradisi

    yang dipraktekan oleh masyarakat setempat. Adapun tradisi saling hormat-menghormati

    adalah salah satunya. Tradisi hormat-menghormati tersebut dijelaskan oleh Bapak Y. Etha1,

    bahwa:

    “Ketika orang sedang duduk maupun berjalan. Orang yang sedang berjalan

    diwajibkan memberi salam kepada siapa saja yang sedang duduk di depan

    rumah. Salam yang harus diucapkan adalah: “e ngohi ta ka hoko si... atau e

    ngohi ta ka hie si...” (saya mau ke Selatan ya... atau saya mau ke Utara ya).

    Sedangkan orang yang duduk wajib menyambut dan membalas salam itu

    dengan mengucapkan “tulu kasi, ma suyu kasi, ma moku kasi” (mampir

    sebentar, mari merokok, mari makan pinang)”.2

    Tradisi hormat-menghormati ini merupakan ekspresi nyata dari pemahaman

    masyarakat akan nilai O‟Baliara (Pelihara/Peduli) dan O‟Hayangi (sayang). Makna dari nilai

    O‟Baliara yang terekspresikan melalui tradisi tersebut menandakan adanya “rasa saling

    peduli” diantara mereka. Sedangkan nilai O‟Hayangi melalui tradisi ini merupakan sikap

    “saling sayang” yang diwujudkan melalui „tegur sapa, mampir walaupun hanya duduk

    sebentar saja, dan berbagi cerita tentang seputar kehidupan mereka‟.

    1 Almarhum Bpk.Yosafat Etha seorang Tokoh Masyarakat Desa Duma – diakses dalam bukunya Sefnat

    Hontong tentang Eksistensi Pusara Dodara, 2012. 2 Sapan salam tersebut digunakan dalam bahasa daerah (suku) Galela.

  • 34

    Tradisi hormat-menghormati ini nampak dalam pola relasi dan interaksi yang

    terbangun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Adapun tujuannya adalah untuk saling

    menguatkan jalinan persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka, sehingga melalui tradisi

    ini, sikap penghormatan dan penghargaan terhadap sesama manusia mendapatkan tempatnya.

    5.1.2. Nilai Hibua Lamo Dalam Relasi Pergaulan Anak Muda di Desa Duma dan Desa

    Mamuya.

    Dalam relasi pergaulan anak muda di Desa Duma dan Desa Mamuya. Pemahaman

    dan praktek nilai Hibua Lamo dapat ditemukan melalui bentuk-bentuk relasi yang terbangun

    diantara pertemanan. Konkretnya berbentuk „sapaan atau panggilan nama‟ yang berbeda dari

    pemberian nama asli oleh orang tua. Misalkan saja, sapaan nama yang diberikan oleh teman-

    teman terhadap saya (peneliti), dimana nama asli saya adalah Roberto, namun dipanggil

    dengan sapaan nama, yakni „Boronto‟3. Kebiasaan dengan sapaan nama yang dilakukan ini

    telah terlembaga dalam jalinan pergaulan atau pertemanan yang terbangun diantara sesama

    teman4. Pemberian nama ini pastinya memiliki alasan-alasan, diantaranya: melihat ciri-ciri

    fisik, keunikan diri, dan hal unik lainnya yang dimiliki oleh seseorang.

    Menurut hemat peneliti, kandungan makna yang terkandung dalam pola interaksi

    (relasi) pergaulan anak muda ini merupakan wujud nyata dari nilai O‟Hayangi (Sayang).

    Pemaknaan nilai O‟Hayangi tersebut diwujudkan melalui „sapaan atau panggilan nama‟ yang

    maknanya adalah ungkapan rasa sayang diantara sesama teman. Hal ini bertujuan untuk

    membangun kedekatan emosional dan kebersamaan. Sehingga, pergaulan anak muda yang

    didasarkan oleh sikap saling menyayangi ini semakin memperkuat relasi-relasi pertemanan,

    mengingat ada trust (kepercayaan) yang terbangun didalamnya.

    5.1.3. Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan Warga Jemaat di Desa Duma dan Desa

    Mamuya.

    Dalam kehidupan warga jemaat di Desa Duma maupun Desa Mamuya, warga

    setempat mengenal suatu tradisi yang namanya „Babilang‟. Adapun bentuk dan makna dari

    tradisi „Babilang‟ sebagaimana yang dijelaskan oleh Bapak J. Buladja5, bahwa:

    3 ‘Boronto‟ bermakna “gendut” – hal ini dikarenakan peneliti pada usia remaja secara fisik terlihat gendut dari

    teman-teman yang lain. 4 Kebiasaan „sapaan nama‟ tersebut pada umumnya dipraktekan oleh anak muda di Halmahera Utara - telah

    terbangun lama (dari orang tua-tua sebelumnya) – waktu penelitian dilapangan, peneliti juga masih merasakan

    pola tersebut ketika peneliti sedang duduk dan bercerita bersama teman-teman (anak muda). 5 Beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa Duma, yang diwawancarai pada Jumat, 26 Mei 2017.

  • 35

    “Torang di wilayah Galela kanal satu tradisi yang biasanya torang jaga

    bilang “Babilang”. Tradisi „Babilang‟ ini biasanya torang lia kalu ada

    orang mati maupun orang kawin. „Babilang‟ itu maknanya torang saling

    baku peduli, saling baku tolong secara sukarela deng torang pe sesama.

    Babilang biasanya kase baras, doi, deng barang-barang yang dong butuh.

    (Masyarakat di wilayah Galela mengenal suatu tradisi yang dinamakan

    dengan tradisi “Babilang” (dalam bahasa Galela). Tradisi „Babilang‟ ini

    biasanya dipraktekan oleh masyarakat pada saat peristiwa kematian maupun

    pada acara pernikahan. Tradisi “Babilang” tersebut maknanya adalah sikap

    kepedulian dan tolong-menolong (gotong royong) secara sukarela dengan

    sesama yang menimpah peristiwa duka maupun suka. Tradisi “Babilang”

    biasanya dilakukan dalam bentuk memberikan beras, uang, maupun barang-

    barang dibutuhkan)”.

    Melihat uraian penjelasan dari Bapak J. Buladja di atas, ditemukan bahwa ada kaitan

    erat antara tradisi “babilang” yang dipraktekan oleh sesama warga jemaat dengan nilai-nilai

    Hibua Lamo yang adalah nilai O Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara), dan O, Dora

    (Kasih). Tradisi ini merupakan bentuk dari sikap kepedulian, saling menopang atau

    menunjang, serta saling melayani dengan tujuan untuk meringankan beban bagi keluarga

    yang menimpa peristiwa kematian (duka cita) maupun keluarga yang merayakan acara

    pernikahan (suka cita). Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara yang dilakukan

    oleh peneliti terhadap beberapa informan kunci di dua lokasi penelitian (Desa Duma dan

    Desa Mamuya), ditemukan bahwa tradisi “Babilang” ini masih sering dipraktekan oleh warga

    jemaat yang ada di dua Desa tersebut, mengingat bahwa latar belakang kesukuan warga

    jemaat adalah masyarakat suku Galela.

    Relasi antara sesama warga jemaat dalam bentuk konkrit juga ditemukan melalui

    proses pembangunan gedung gereja6. Tentunya pembangunan gedung gereja membutuhkan

    kerja sama dari seluruh warga jemaat untuk dapat menyelesaikannya. Adapun bentuk kerja

    sama yang dilakukan oleh warga jemaat ini selalu didasarkan pada penggabungan beberapa

    lingkungan layanan (LIP), dengan pembagian tugasnya masing-masing. Peneliti

    menggambarkannya sebagai berikut:

    “Warga jemaat laki-laki (kaum muda maupun kaum bapa) melakukan kerja,

    dengan pembagian kerja, diantaranya:LIP I – LIP III bertanggung jawab

    mengambilbahan-bahan seperti bambu (bulu), kayu-kayu besar, papan, balok

    dan bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan guna membangun tiang

    penyangga(tiang uatama) bangunan dari gedung gereja; LIP IV – LIP VI

    6 Bentuk kerja sama ini sering dipraketkan oleh sesama warga jemaat sebelum adanya perpecahan jemaat.

  • 36

    melakukancampuran dari bahan semen dan pasir untuk dimasukan dalam

    rangka tiang utama tersebut; LIP VII – LIP X melakukan kerja-kerja untuk

    melanjutkan kerja-kerja dari LIP sebelumnya. Sedangkan warga jemaat

    perempuan (kaum mudi maupun kaum ibu) bertugas untuk mempersiapkan

    makanan yang akan di makan oleh warga jemaat laki-laki yang sedang

    bekerja, baik pada waktu siang hari (waktu makan) tepatnya pada Pukul 12.00

    WIB dan pada waktu sore hari yang berkisar pada pukul 15.00 - 17.00 WIB.

    Kerja-kerja ini dilakukan secara rutin sebagaimana ditetapkan melalui jadwal

    kerja dan pembagian tugas-tugas menurut LIP yang disepakati bersama oleh

    warga jemaat hingga pembangunan gedung gereja selesai”.7

    Gambaran kerja pembangunan gedung gereja oleh warga jemaat merupakan bentuk

    gotong royong, dimana masyarakat setempat mengnyebutnya „Mabari‟ (dalam bahasa

    Galela) atau „Hirono‟ (dalam bahasa Tobelo) yang artinya adalah suatu ajakan untuk

    melakukan pekerjaan secara bersama-sama dalam rangka untuk bahu-membahu atau

    bersama-sama meringankan beban kerja yang ada. Adapun tradisi Mabari dalam kaitanya

    dengan pembangunan gedung gereja merupakan wujud nyata dari nilai O‟Dora (Kasih) dan

    O‟Hayangi (Sayang).

    O Dora (Kasih) memiliki makna mendalam sebagai dasar (foundation) hubungan

    saling mengasihi antar sesama. Inilah unsur yang mengikat mereka ke dalam suatu hubungan

    yang arahnya membangun hidup bersama. Tentunya pembangunan gereja memerlukan

    semangat dasar. Semangat O‟Dora merupakan bentuk kecintaan atau rasa saling memiliki

    terhadap gedung gereja tersebut, sehingga O‟Dora ini merupakan nilai dasar yang melekat

    pada semua warga jemaat dalam upaya menyelesaikan kerja-kerja yang ada.

    Sedangkan nilai O Hayangi, maknanya sama dengan kata „Sayang‟ yang artinya

    masih dekat pula dengan O Dora. Akan tetapi nilai O Hayangi lebih dekat maknanya pada

    tolong-menolong serta saling menjaga perasaan, dan tidak saling menyakiti. Sifat tolong

    menolong itu nampak saat membangun gedung gereja yang bertujuan untuk meringankan

    beban yang begitu besar; rasa saling menjaga perasaan dan tidak saling menyakiti

    mengindikasikan makna bahwa proses pekerjaan seharusnya dilakukan secara sungguh-

    sungguh serta tidak mengharapkan satu sama lain, mengingat semua warga jemaat memiliki

    tugas masing-masing. Sehingga melalui semangat O‟Hayangi itulah, beban yang begitu besar

    mampu dikerjakan dan dituntaskan.

    7 Gambaran kerja sama oleh warga jemaat dalam proses pembangunan gedung gereja Nita Duma. Hasil

    wawancara dengan Bpk. J. Buladja pada tanggal 26 Mei 2017.

  • 37

    5.1.4. Nilai Hibua Lamo Dalam Relasi Antara Warga Jemaat dan Pendeta di Desa

    Duma dan Desa Mamuya.

    Dalam relasi persekutuan yang dilakukan oleh warga jemaat dan pelayan (pendeta),

    ditemui adanya kerja sama dalam bentuk kerja „panen buah kelapa‟ (kopra)8. Proses kerja

    sama ini dapat digambarkan sebagai berikut:

    “Proses panen buah kelapa dimulai dari beberapa tahapan, yakni:„ba paras‟

    (pembersihan rumput disekitar pohon kelapa); “ba nae‟(tahap pengambilan

    buah kelapa, dengan cara memanjat pohon kelapa serta menjatuhkan

    buahnya); „ba balah‟ dan „ba kore‟ (tahapan membelah buah kelapa dan

    mengeluarkan isinya); „ba fufu‟ (tahapan memasak); sampai pada tahapan

    penjualan kopra (kelapa yang telah matang) ke pembeli (pengusaha)”.

    Bentuk kerja kelapa yang dilakukan oleh warga jemaat dan pimpinan (pendeta) ini

    merupakan tradisi „mabari‟9 (ajakan kerja sama). Melihat kerja kelapa sebagaimana

    digambarkan dalam tahapan-tahapan kerja tersebut, menunjukan kompleksitas dari pekerjaan

    yang ada, yang dimulai dari proses pembersihan rumput pada sekitaran pohon kelapa sampai

    pada tahapan untuk penjualan buah kelapa yang telah matang (kopra). Bentuk kerja ini

    memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak.

    Selain membutuhkan tenaga kerja yang banyak, dalam prakteknya pekerjaan ini

    membutuhkan kerja sama yang baik, kompak dan tidak saling mengharapkan diantara tenaga

    kerja yang ada, sehingga tiap-tiap tahapan dari kerja tersebut dapat terselesaikan dengan baik

    dan tepat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan bersama. Tentunya bentuk kerja sama

    ini mengindikasikan terbangunnya relasi yang sifatnya harmonis antara warga jemaat dan

    pimpinan jemaat.

    Dalam konteks ini, peneliti melihat ada korelasi antara tradisi mabari dengan nilai

    O‟Hayangi yang maknanya tolong-menolong. Perihal tolong menolong itu nampak dalam

    praktek kerja panen buah kelapa (kopra) anatar warga jemaat dan pimpinan jemaatnya.

    Bentuk kerja ini bertujuan untuk meringankan beban besar yang dihadapi oleh keluarga yang

    bersangkutan. Sehingga melalui semangat O‟Hayangi itulah, beban yang begitu besar mampu

    dikerjakan dan diselesaikan secara bersama-sama.

    8 Kopra adalah hasil buah kelapa yang telah matang (masak) – dalam pengalaman hidup, peneliti pernah terlibat

    dalam kerja-kerja seperti ini. 9 Tradisi „Mabari‟ adalah suatu bentuk kerja sama yang dipraktekan oleh masyarakat suku Galela (termasuk

    Desa Duma dan Desa Mamuya).

  • 38

    5.2. Implikasi Konflik GMIH Dalam Kehidupan Jemaat di Desa Duma.

    Dalam sub bab ini, peneliti membaginya (klasifikasi) dalam empat (4) sub-sub bab,

    yang akan dibahas secara berurutan, diantaranya: (1) Jemaat yang retak dan Pecah di Desa

    Duma; (2) Posisi Hibua Lamo dalam Perpecahan Jemaat (Relasi Antar Warga dan Pimpinan

    Jemaat); (3) Hibua Lamo Menguat Melalui Basis Kekeluargaan; serta (4) Sentimen

    Kelompok (jemaat) Menguat Melalui Klaim Aset Gereja.

    5.2.1. Jemaat yang Retak dan Pecah di Desa Duma.

    Jemaat Nita Duma yang adalah tonggak awal dari perjalanan sejarah Kekristenan di

    Halmahera diperhadapkan dengan perpecahan jemaat akibat imbas dari adanya konflik

    kepentingan BPHS Sinode GMIH. Adapun kronologis perpecahan jemaat Di Desa Duma,

    dapat digambarkan oleh Bpk. Y.Sumtaki10

    , diantaranya bahwa:

    “Awalnya konflik internal elit GMIH (Sinode) terasa tegang dan memanas.

    Maka pada saat itu dilakukanlah rapat jemaat11

    pada tahun 2013. Hasil dari

    rapat jemaat adalah sebagian besar warga jemaat Nita Duma berpihak

    (mendukung) Sinode (GMIH) Pembaharuan. Sehingga muncul ketidak

    puasan dari sebagian kelompok warga jemaat yang tidak mendukung tersebut

    memilih berada pada status quo12

    . Akhirnya kelompok yang pro status quo

    tersebut memilih untuk membentuk jemaat dengan nama Hendrik van

    Dijken13

    dan melakukan aktivitas persekutuan ibadah di lapangan Desa

    Duma. Terjasi saling curiga, fitnah, gosip, serta gesekan-gesekan fisik yang

    dilakukan antara warga jemaat yang telah berbeda tersebut. Pemerintah Desa

    (Pemdes) melihat kondisi inidapat memunculkan resiko-resiko sosial.

    Sehingga pada Februari 2014, Pemdes menginisiasi dan memfasilitasi dalam

    bentuk suatu pertemuan bersama yang melibatkan berbagai pihak

    diantaranya: kedua pihak jemaat di Desa Duma, Tokoh Masyarakat Desa

    Duma, Tokoh Pemuda Desa Duma, Tokoh Perempuan, Komandan Rayon

    Militer (Danramil) Galela, Kepala Kepolisian Sektor(Kapolsek) Galela, dan

    Camat. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bersama bahwa kedua

    jemaat mengambil sikap netral, yakni tidak memihak ke Sinode Lama

    maupun Sinode Baru. Namun berlangsungnya persekutuan ibadah oleh warga

    jemaat yang mengambil sikap netral tersebut hanya bertahan dalam waktu

    dua minggu saja. Kelompok yang sebelumnya memisahkan diri, tetap

    mengambil sikap untuk berpihak kembali ke status quo (pro terhadap BPHS

    GMIH Lama). Begitu pula bagi sebagian warga jemaat yang memutuskan

    10

    Beliau adalah Kepala Desa Duma – di wawancarai pada 22 Juni 2017. 11

    Rapat jemaat dihadiri oleh warga jemaat dan pimpinan jemaat dengan agenda untuk mengambil sikap dalam

    menghadapi dualisme BPHS Sinode GMIH pada waktu itu. 12

    Status quo berarti keadaan tetap – tetap pada Sinode Lama (SSD). 13

    Jemaat Hendrik van Dijken adalah jemaat pro GMIH Lama (SSD).

  • 39

    untuk kembali berpihak pada BPHS Sinode GMIH Pembaharuan. Hal ini

    disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar – kondisi internal Sinode yang

    sementara dilanda dualisme kepemimpinan”.

    Mencermati konten wawancara ini, awalnya peneliti mengapresiasi sikap bijak dari

    warga dan pimpinan jemaat di Desa Duma yang mengadakan forum bersama (rapat jemaat)

    untuk membicarakan masalah yang ada. Hal ini menandakan bahwa ada kepedulian warga

    jemaat untuk turut menggumuli permasalahan yang terjadi dalam tubuh sinode GMIH.

    Adapun yang disayangkan oleh peneliti adalah kenapa warga jemaat di Desa Duma

    bisa terpecah melalui sikap dan dukungan terhadap salah satu BPHS Sinode yang ada?

    Mengapa warga jemaat tidak mengambil sikap untuk berada pada posisi netral? Mengingat

    bahwa warga jemaat Nita Duma sebagai jemaat „mula-mula‟ yang bisa dikatakan dewasa

    dalam ke-Iman-an terhadap Kekristenan. Pertanyaan diatas tentunya sejalan dengan asumsi

    peneliti, bahwa konteks permasalahan yang ada, warga jemaat seharusnya mampu

    memposisikan dirinya secara netral dan tidak terkontaminasi oleh konflik kepentingan atau

    dualisme BPHS sinode GMIH. Tentunya, asumsi dari peneliti ini bertolak belakang dengan

    realitas yang terjadi, dimana fondasi jemaat mula-mula yang terbangun telah lama tersebut

    akhirnya juga mengalami keretakan dan pecah akibat ganasnya hantaman gelombang konflik

    kepentingan yang terjadi ditubuh elit sinodal.

    Berselang waktu setahun, warga jemaat yang sebelumnya terpecah kemudian

    menyatakan sikap untuk kembali bersatu dengan posisi netral tanpa berpihak pada salah satu

    Sinode. Keputusan ini dihasilkan melalui forum (pertemuan) yang dimediasi oleh Pemerintah

    Desa (Pemdes) pada Februari 2014. Pernyataan sikap untuk kembali utuh menjadi satu

    jemaat merupakan kesepakatan yang manis dan membawa angin segar dalam kehidupan

    berjemaat di Desa Duma. Namun, potret dari penggalan kalimaat „cerai, kawin dan cerai lagi‟

    merupakan realitas yang mewarnai kehidupan berjemaat di Desa Duma, dimana berselang

    hanya dalam waktu dua minggu, masing-masing jemaat tersebut bercerai lagi dengan

    menyatakan dukungan terhadap masing-masing BPHS Sinode GMIH.

    Bagi peneliti, perpecahan jemaat ini kemungkinannya disebabkan oleh kalimat

    terakhir dari hasil wawancara bersama Bpk. Y. Sumtaki, yakni adanya pengaruh-pengaruh

    dari luar. Menurut hemat peneliti, penggalan kalimat terakhir dari hasil wawancara diatas,

    yakni ”pengaruh dari luar”, ditujukan kepada pihak elit gereja (Sinode) yang sementara

    dilanda oleh dualisme kepemimpinan sinode GMIH, yang masing-masingnya berupaya untuk

  • 40

    mencari basis dan dukungan dari jemaat-jemaat di wilayah GMIH, termasuk jemaat di Desa

    Duma.

    Perpecahan jemaat di Desa Duma tidak berhenti sampai disitu saja, tepatnya pada Mei

    2017 terbentuk lagi jemaat ketiga14

    hasil pemisahan diri dari jemaat Nita Duma (GMIH

    Pembaharuan) dengan nama jemaat yang sama, yakni jemaat “Nita Duma” (GMIH Lama).

    Adanya empat (4)15

    orang Majelis, diantaranya; Bpk. Halen Tamera, Delfis Etha, Heryanda

    Imlalay, dan Nelman Tamera serta 47 jumlah kepala keluarga (KK) yang ada dalam jemaat

    ini. Berdasarkan observasi dilapangan, ditemukan sebuah Baliho16

    yang telah terpasang

    (tertanam) tepatnya didepan rumahnya Bapak Halen Tamera, Sekretariat jemaat berada

    tepatnya dirumah Bapak Nelman Tamera, serta aktivitas persekutuan Ibadah Minggu Pagi

    biasanya dilakukan di rumah Bapak Indres Etha.

    Sikap dari sebagian kelompok untuk membentuk jemaat ketiga tersebut mendapatkan

    respon dari kedua kelompok warga jemaat yang sebelumnya telah terpecah. Adapun respon

    warga jemaat lainya diantaranya; ada yang mendukung, ada pula yang tidak mendukung

    dengan menimbulkan sikap sinis, marah, perasaan negatif terhadap kelompok tersebut.

    Ditemukan juga letupan-letupan fisik yang ditimbulkan antara warga jemaat. Berdasarkan

    observasi dilapangan, ditemukan bahwa sebagian besar warga jemaat yang tidak mendukung

    adanya jemaat ketiga ini adalah kelompok warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan).

    Berdasarkan kondisi dari dinamika kehidupan bergereja yang ada di Desa Duma,

    peneliti hendak mempertanyakan kepada pihak Pemerintah Desa dalam satu konten

    pertanyaan, yakni: “apa peran yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Desa dalam upaya

    untuk meredam resiko-resiko sosial yang mungkin saja akan terjadi? Adapun respon dari

    Bapak Y. Sumtaki saat diwawancarai adalah sebagai berikut:

    “Munculnya jemaat ketiga ini tercipta sekat baru, dan menimbulkan potensi

    gesekan (konflik) baru, terlebih khususnya antara warga jemaat Nita Duma

    (GMIH Baru) dan jemaat Nita Duma (GMIH Lama). Gesekan ini baru saja

    14

    Jemaat ini terbentuk saat peneliti sedang melakukan penelitian. Anggota/warga jemaat adalah warga jemaat

    Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap keluar dan mengorganisir dirinya dalam satu jemaat.

    Penggunaan nama jemaat yang sama memiliki alasan-alasan substansi yang nantinya akan dibahas dalam bab

    pembahasan selanjutnya. 15

    (4) orang Majelis di jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Lama) awalnya bertugas juga sebagai Majelis di

    Jemaat sebelumnya – jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan) 16

    Diatas Baliho tersebut bertuliskan; “Dirgahayu GMIH yang ke-68 Tahun, Pimpinan dan Majelis serta Warga

    Jemaat GMIH Nita Duma”. Sedangkan dibawah tulisan tersebut terpampang foto ke-4 anggota Majelis tersebut,

    dan ditengahnya adalah Ibu Pdt. S. E. Lasano, sebagai Pimpinan Jemaat sementara. – Di dokumentasikan pada

    22 Juni 2017.

  • 41

    terjadi, yang menimbulkan perkelahian antara Bapak Ilu Watileo (warga

    jemaat Nita Duma GMIH Pembaharuan) dan Delfis Etha (Majelis Jemaat

    Nita Duma GMIH Lama – Jln. Kemakmuran), pada minggu 18 Juni 2017.

    Kami (Pemdes) memediasi penyelesaian masalah tersebut, dengan

    dilakukannya pola pendekatan secara kekeluargaan (adat), karena memang

    tidak ada pendekatan lain. Nah...ternyata mereka (kedua pihak) bukanlah

    orang lain, karena dari sisi adat mereka menyandang status papa mantu dan

    anak mantu yang telah diikat oleh ikatan adat, sehingga keduanya mengambil

    sikap untuk berdamai”.

    Melihat realitas kehidupan bergereja yang ada di Desa Duma, ditemukan bahwa

    kondisi masyarakat tidak selalu berada dalam keadaan tetap (statis), melainkan berada dalam

    arus gonjang-ganjing seputar dinamika hidup bergereja. Sampai sekarang dinamika bergereja

    masih berlangsung, dimana klaim kebenaran terjadi diantara kelompok jemaat yang telah

    berbeda tersebut, sehingga pola relasi yang terbangun antara warga jemaat pun terkesan kaku,

    dengan adanya sentimen-sentimen hidup bergereja. Kondisi semacam ini sangat

    mempengaruhi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Potret dari dinamika kehidupan

    bergereja seperti ini akan lebih menambah resiko kerusakan tatanan sosial yang ada, jika

    tidak dibendung oleh nilai-nilai kekeluargaan yang telah terbangun lama tersebut.

    5.2.2. Posisi Hibua Lamo Dalam Perpecahan Jemaat di Desa Duma.

    Tentunya, perpecahan yang terjadi pada jemaat di Desa Duma turut serta meretakan

    dan merusak relasi-relasi sosial. Hal ini dapat dilihat melalui pola relasi dan interaksi yang

    terbangun tidak lagi berjalan secara harmonis; diantaranya muncul sensitifitas antara sesama

    warga jemaat melalui rasa curiga yang mendalam, saling memfitnah, sehingga dalam hal ini

    posisi Hibua Lamo sebagai institusi sosial sebagai basis jalinan kekeluargaan juga

    diperhadapkan dengan keretakan-keretakan. Kondisi keretakan sosial yang terjadi pada warga

    masyarakat di Desa Duma digambarkan oleh Bapak S.P. Sumtaki17

    , yang pada intinya

    mengatakan bahwa:

    “Kami selaku warga jemaat dan juga selaku tokoh adat sangat menyesalkan

    kenapa perpecahan ini bisa terjadi. Pada waktu awal perpecahan, hubungan-

    hubungan kekeluargaan mulai tercemar akibat adanya perbedaan jemaat ini.

    Hubungan saudara-bersaudara sudah tidak lagi baik seperti sebelumnya,

    muncul rasa saling curiga, rasa saling tidak percaya antara sesama keluarga

    mulai memudar karena alasan berbeda gereja. Waktu awal perpecahan pun

    17

    Beliau adalah Tokoh Adat – juga menjadi bagian dari warga jemaat Nita Duma pro BPHS Sinode GMIH

    Pembaharuan.

  • 42

    ada tindakan-tindakan kekerasan yang pernah terjadi. Namun yang terpenting

    bagi saya, walaupun kita sudah berbeda jemaat (gereja), kita tetap

    mempertahankan yang namanya jalinan kekeluargaan18

    , karena torang (kita)

    samua yang tinggal di Desa Duma ini adalah keluarga”.

    Melihat konten wawancara pada kalimat kedua dan ketiga di atas, Hibua Lamo yang

    memuat nilai-nilai hidup bersama juga mengalami keretakan bahkan pecah akibat hantaman

    konflik internal gereja (jemaat) tersebut. Hubungan-hubugan kekeluargaan yang mulai

    tercemar merupakan indikasi dari retak dan rusaknya bangunan nilai Hibua Lamo. Pola relasi

    yang tidak lagi harmonis bahkan terjadinya gesekan-gesekan fisik (kekerasan) sangat bertolak

    belakang dengan nilai-nilai Hibua Lamo yang menyimpan makna tentang indahnya hidup

    dalam rasa persaudaraan dan keluargaan.

    Sedangkan kalimat terkahir dari Bapak S.P. Sumtaki merupakan suatu bentuk

    ungkapan hati, dimana terdapat harapan besar bagi warga masyarakat di Desa Duma untuk

    tetap hidup dan mempertahankan jalinan kekeluargaan guna dipersatukan dalam kondisi

    kekeluargaan yang damai, sebagaimana sebelumnya. Namun, harapan untuk hidup dan

    dipersatukan dalam kondisi yang damai itu telah diceraikan dengan sikap keberpihakan

    warga jemaat terhadap salah satu BPHS GMIH yang dilanda dualisme kepemimpinan

    tersebut. Misalkan, Bapak S.P. Sumtaki sebagai tokoh adat Desa Duma mampu

    memposisikan diri sebagai warga masyarakat Duma, namun pada sisi yang lain Bapak S.P.

    Sumtaki juga merupakan bagian dari warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan).

    Konteks perbedaan jemaat inilah yang dimaksudkan oleh peneliti sebagai bentuk keretakan

    dan perceraian sosial yang terjadi antara sesama warga masyarakat di Desa Duma.

    Adapun perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perpecahan jemaat dalam

    kehidupan sosial di Desa Duma digambarkan oleh Bapak Y. Sumtaki, yakni bahwa:

    “Ia memang sebelum dan setelah adanya persoalan gereja ini berbeda, walapun

    ini persolan agama tetapi punya dampak terhadap hubungan-hubungan sosial.

    Kalau dulunya dalam relasi sosial itu terjalin dengan baik, artinya tidak ada

    sekat-sekat, ketika adanya persoalan gereja seakan-akan ada tembok pemisah

    dalam hal ini semacam sentimen-sentimen organisasi yang terbangun sehingga

    terjadi pengelompokan-pengelompokan berdasarkan atribut organisasi,

    misalnya; klaim kebenaran „saya lama‟ dan „ngana (kamu) baru‟, saya yang

    paling benar dan ngana salah. Dengan sendirinya masyarakat ini saling

    menghakimi; bahwa kelompok kalian salah dan kelompok kami benar.

    18

    Jalinan keluarga dalam konteks ini dapat dilihat sistem marga yang ada di Desa Duma (Lihat bab 4.2.1).

  • 43

    Ahh...disinilah hubungan-hubungan kekeluargaan mulai renggang. Jadi

    perbedaannya sangat signifikan sebelum dan sesudah persoalan ini terjadi.

    Adapun pengaruhnya ketika saling klaim kebenaran oleh masing-masing kubu

    tersebut, berpengaruh pada proses sehar-hari, yakni sering terjadi saling

    menyinggung, saling memprovokasi. Akibat sentimen tersebut, meledaklah

    resiko sosial dalam bentuk saling memfitnah, baku mumake (saling memaki

    dengan kata-kata kotor), bahkan saling baku pukul (berkelahi). Dengan

    sendirinya laporan ke pihak Pemerintah Desa juga meningkat terkait dengan

    persoalan-persolan sosial ini, oleh karena persoalan gereja, sehingga persoalan

    sosial ini secara statistik terus mengalami peningkatan”.

    Gambaran dari kondisi sebelum dan sesudah perpecahan gereja (jemaat) di Desa

    Duma memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Permasalahan yang terjadi dalam ranah

    gereja (agama) telah merambat dan melibas pada hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan.

    Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan internal gereja mampu mempengaruhi serta

    melampaui batas-batas dimensi bidang sosial budaya yang mengakibatkan teretaknya jalinan

    kebersamaan dan kekeluargaan yang sudah terbangun sejak lama. Ditengah-tengah

    permasalahan ini, Hibua Lamo yang memuat nilai-nilai ideal yang arahnya menciptakan

    keharmonisan hidup bersosial seakan-akan tidak bermakna lagi. Terkesan adanya tembok

    pemisah, dikarenakan adanya egoistik kelembagaan gereja yang terbangun diantara kelompok

    jemaat tersebut.

    5.2.3. Hibua Lamo Menguat Melalui Basis Kekeluargaan (Adat).

    Berjalannya waktu, relasi sosial antara kedua kelompok jemaat yang awalnya

    renggang bahkan retak tersebut mulai menemukan titik terangnya. Hal ini ditandai dengan

    terbangunnya kembali pola relasi diantara kedua pimpinan jemaat (pendeta), seperti yang

    diungkapkan oleh Pdt. R. Tukang19

    , bahwa:

    “Berjalannya waktu 3 tahun perpecahan jemaat ini, saya masuk, dan saya

    berupaya supaya kehadiran saya disini bisa mengubah kondisi ini. Kita

    berupaya supaya keadaan ini bisa kembali seperti semula, seperti sebelum

    perpecahan ini terjadi. Sekalipun kondisi perbaikan ini belum 100 % namun

    itu dalam upaya saya, sekalipun telah terbentuk dua bahka tiga jemaat

    (gereja), akan tetapi hubungan sebagai masyarakat itu harus menjadi baik”.

    Adapun komunikasi yang pernah kami lakukan bersama Pdt. M. Bahagia

    selaku pimpinan jemaat Nita Duma, baik itu di rumah sakit waktu beliau sakit

    dan juga pertemuan waktu itu dikantor camat. Bentuk lainnya ketika ada

    19

    Beliau adalah Pimpinan Jemaat Hendrik van Dijken (GMIH Lama) yang mulai bertugas pasca perpecahan

    jemaat – diwawancarai pada Minggu 25 Juni 2017.

  • 44

    peristiwa kematian, kami saling melayat, sama-sama menaruh krans bunga di

    makam/pekuburan sebagai bukti kepedulian diantara kami, selanjutnya acara

    perkawinan kami juga sama-sama hadir. Jadi sepertinya kalau saya melihat

    hubungan komunikasi ini semakin mempererat relasi kami selaku pimpinan

    jemaat dan tentunya ini adalah pertanda semakin membawa hasil baik dalam

    kehidupan berjemaat di Desa Duma ini.”

    Hal yang sama juga disampaikan oleh Pdt. M. Bahagia20

    yang diwawancarai oleh

    peneliti pada tanggal 24 Juni 2017. Beliau menggambarkan diantaranya adalah:

    “Walaupun kami bertugas disini dalam kondisi jemaat telah pecah, namun

    selama kami disini melihat kondisi persekutuan budaya, misalnya persekutuan

    masyarakat saat orang kawin (nikah) atau orang mati (meninggal) sangat luar

    biasa. Orang kawin (menikah) misalnya, masing-masing torang (kami)

    membawa „babilang‟ dalam bentuk finansial”. Memang kondisi awal

    perpecahan tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan pastinya renggang dan

    berpengaruh pada hubungan persekutuan. Namun berselangnya waktu, kami

    yang mulai bertugas juga sudah membangun komunikasi dengan warga jemaat

    maupun pimpinan jemaat Hendrik van Dijken; yakni, baku maso (saling

    bertemu), duduk bersama, dan melakukan aktivitas persekutuan secara

    bersama-sama. Contohnya pada waktu kami merayakan acara pernikahan anak

    kami yang bernama Nona, justru dari jemaat van Dijken juga datang untuk

    babilang dengan memberikan sumbangan. Jadi, memang nilai-nilai kehidupan

    budaya ditemukan mulai membaik, sekalipun kondisi gereja sudah seperti ini”.

    Mencermati hasil wawancara dengan kedua pimpinan jemaat di Desa Duma tersebut,

    dipandang bahwa kondisi sosial masyarakat pasca perpecahan jemaat bisa dikatakan mulai

    membaik kembali yang tergambarkan melalui bentuk perjumpaan serta pola komunikasi yang

    intens dilakukan oleh kedua pimpinan jemaat tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya

    keterbukaan antara kedua pimpinan jemaat untuk saling menerima dan melayani warga

    jemaat tanpa memandang latar belakang jemaat yang telah terpecah. Pola relasi seperti ini

    patut untuk diapresiasi dan dipertahankan sehingga dapat dijadikan contoh oleh warga

    jemaat.

    Tentunya relasi yang mulai terbangun membaik diantara kedua pimpinan jemaat

    tersebut berpengaruh pula pada membaiknya relasi diantara warga jemaatnya. Hal ini

    mengindikasikan bahwa nilai-nilai Hibua Lamo masih tetap hidup, eksis serta posisinya

    mulai menguat dalam relasi-relasi sosial pasca perpecahan jemaat. Jika dikaitkan dengan

    perspektif nilai Hibua Lamo, maka pola relasi sebagaimana tergambarkan melalui hasil

    20

    Beliau mulai bertugas pada bulan Juli 2015 sebagai Pimpinan Jemaat (Pendeta) Nita Duma (GMIH

    Pembaharuan).

  • 45

    wawancara oleh kedua pimpinan jemaat tersebut memiliki korelasi baik dengan nilai O‟Dora

    (Kasih) dan O‟Baliara (Pelihara/Peduli).

    Dalam konteks ini, nilai O‟Dora yang artinya „Kasih‟ terhadap sesama manusia

    dipraktekan oleh kedua pimpinan jemaat tanpa mengenal perbedaan latar belakang

    jemaatnya. Nilai O‟Dora diwujudkan melalui tradisi babilang, dimana saat peristiwa

    kematian keduanya saling melayat; sama-sama menaruh krans bunga di makam/pekuburan.

    Adapun perjumpaan-perjumpaan serta pola komunikasi yang terbangun merupakan

    keterpanggilan akan sikap saling melayani diantara kedua pimpinan jemaat tersebut.

    Sehingga, dalam konteks yang demikian kedua jemaat melalui pimpinan jemaatnya diikat

    dalam suatu jalinan hubungan yang bisa dikatakan harmonis.

    Nilai O‟Baliara diartikan sebagai sikap tolong-menolong yang bertujuan untuk

    meringankan beban orang lain. Adapun perwujudan dari nilai O‟Baliara dapat ditemui

    melalui tradisi babilang, dimana warga jemaat jemaat Hendrik van Dijken juga turut

    mendukung dan meringankan beban dalam perayaan pernikahan seorang anak perempuan

    dari Pimpinan Jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Sehingga melalui tradisi babilang

    inilah semua warga jemaat di Desa Duma yang telah berbeda jemaat (gereja) dapat

    dipertemukan dan dipersatukan.

    Selama melakukan observasi dilapangan, peneliti melihat bahwa pola relasi dan

    interaksi yang terbangun melalui tradisi babilang dalam peristiwa kematian maupun

    pernikahan oleh keluarga tertentu bisa dikatakan cukup harmonis, dimana perjumpaan-

    perjumpaan yang melibatkan dua kelompok jemaat tersebut semacam tidak ada persoalan

    atau gesekan yang sebelumnya pernah terjadi.21

    5.2.4. Sentimen Kelompok (Jemaat) Menguat Melalui Basis Aset Gereja.

    Relasi sosial warga jemaat yang semakin menguat sebagaimana terjelaskan dalam sub

    bab (5.2.3), tentunya tidak selalu berada dalam keadaan tetap (statis). Dinamika kehidupan

    bergereja kembali memanas dengan adanya aksi tuntutan yang dilakukan oleh jemaat

    Hendrik van Dijken. Aksi tuntutan tersebut berlokasi didepan gereja miliki jemaat Hendrik

    van Dijekan, tepatnya pada tanggal 13 Mei 2017. Adapun tuntutan dari warga jemaat adalah

    menuntut kepemilikan aset gereja (GMIH) di Desa Duma, diantaranya adalah Gedung Gereja

    Nita Duma dan Tanjung Wisata Duma yang sekarang ini digunakan dan dikelola oleh jemaat

    21

    Hasil observasi lapangan – peneliti melihat aktifitas (interaksi dan relasi) masyarakat yang berbeda jemaat saat

    peristiwa kematian maupun pernikahan.

  • 46

    Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Situasi aksi kelompok (jemaat) pada saat itu bisa

    digambarkan oleh peneliti, diantaranya:

    “Ketika mendengar suara keributan dengan nada yang lantang dan keras,

    peneliti keluar dari rumah dan mendekatkan diri pada sumber suara keributan

    tersebut. Jarak dari rumah peneliti ke lokasi aksi kelompok tersebut berjarak

    sekitar 100 Meter. Peneliti mulai berjalan dan mendapatkan massa (warga

    jemaat) yang kelihatannya cukup banyak sedang berkumpul ramai dalam

    badan jalan tepatnya didepan gereja Hendrik van Dijken dengan posisi

    menghadap ke arah Selatan Desa Duma atau menghadap ke arah gedung

    gereja jemaat Nita Duma. Adapun yang dilihat peneliti saat aksi berlangsung

    adalah, warga jemaat mengelilingi Bapak Lodewik Sumtaki yang sedang

    berorasi dalam posisi berdiri didalam mobil “open cap” disertai dengan

    memegang sebuah “Mic” dan “TOA” sebagai alat pengeras suara. Adapun 4

    orang (ibu-ibu) yang sedang memegang bendera Merah Putih berdiri di

    samping kanannya Bapak L. Sumtaki yang sangat lantang menyuarakan

    tuntutan yang ada. Adapun pihak aparat keamanan (Tentara dan Polisi)

    berada didepan para kelompok aksit tersebut. Peneliti dengan serius

    mendengar tuntuan yang disampaikan melalui orasi dari para kelompok aksi

    tersebut. Namun yang terdengar sepintas ditelinga peneliti adalah: „pemilik

    sah aset, yakni gedung gereja Nita Duma dan Tanjung Wisata adalah jemaat

    Hendrik vann Dijken‟. Tuntutan tersebut disuarakan dan diteriakan kepada

    pihak jemaat Nita Duma (Pembaharuan), disertai dengan ungkapan-ungkapan

    akan melakukan tindakan penyegelan gedung gereja Nita Duma,

    sebagaimana yang di klaim oleh kelompok aksi tersebut. Pengklaiman akan

    aset gereja tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa jemaat Nita Duma

    yang secara organisatoris berada dibawah payung Sinode GMIH

    Pembaharuan (BPHS GMIH Hasil SSI) telah „kalah‟ dan dinyatakan ilegal,

    sehingga yang pantas (sah) menggunakan aset GMIH adalah jemaat Hendrik

    van Dijken selaku jemaat yang sah dibawah payung Sinode GMIH Jalan

    Kemakmuran – Tobelo”.

    Melihat kondisi aksi tuntutan kelompok (jemaat) tersebut, maka Bapak Y. Sumtaki

    selaku Kepala Desa dalam responnya mengatakan bahwa:

    “Kelompok jemaat Hendrik van Dijken yang melakukan aksi tuntutan pada

    waktu itu di inisiasi oleh Bapak L. Sumtaki, dengan rencana atau maksud untuk

    mengambil alih gereja Nita Duma dan Tanjung Wisata sebagai aset GMIH atas

    dasar keputusan Pengadilan Negeri Tobelo. Aksi ini kan pake TOA jadi nada-

    nadanya ini banyak menyinggung. Dalam hal ini, memang ada orang-orang

    tertentu yang masih berkeingingan untk merusak tatanan sosial yang mulai

    terjalin kembali”.

  • 47

    Sebagaimana ungkapan Bapak Y. Sumtaki, aksi kelompok (jemaat) tersebut

    didasarkan pada keputusan Pengadilan Negeri Tobelo, dimana menurut kelompok aksi,

    bahwa yang sah menggunakan dan mengelola aset-aset GMIH adalah Sinode GMIH Lama –

    Jln. Kemakmuran Tobelo, yang dalam hal ini adalah jemaat Hendrik van Dijken. Bagi

    peneliti, terlepas dari benar atau tidaknya tuntutan tersebut, siapa yang pantas atau tidaknya

    menggunakan aset GMIH yang ada, bahwa aspirasi (tuntutan) ada baiknya jika ditempatkan

    dan disampaikan melalui suatu wadah yang sifatnya lebih etis lagi. Misalkan saja, melalui

    “pertemuan bersama” dimana pihak Pemerintah Desa sebagai mediator dengan melibatkan

    pihak penuntut dan pihak yang dituntut. Sehingga aspirasi tersebut tidak melebar dan

    menimbulkan bias tafsiran oleh pihak yang menjadi sasaran aksi ini, mengingat ada muatan

    kata-kata yang kurang enak didengar dalam seruan orasi tersebut.

    Menjadi pertanyaan adalah apa makna gedung Gereja dan Tanjung Wisata bagi warga

    jemaat di Desa Duma? sehingga melalui aset tersebut menimbulkan sentimen-sentimen yang

    kemudian meledak dalam bentuk aksi tuntutan oleh kelompok warga jemaat Hendrik van

    Dijken. Bagi peneliti, terlepas dari aspek legalitas terkait siapa yang berhak menggunakan

    dan mengelola aset GMIH di Desa Duma, „gedung gereja dan tanjung wisata‟ memiliki

    makna tersendiri bagi kehidupan warga jemaat di Desa Duma.

    Gedung Gereja Nita Duma merupakan bangunan yang penting bagi warga jemaat di

    Desa Duma. Mengingat bahwa sebelum perpecahan jemaat, semua warga jemaat terorganisir

    dalam satu jemaat, yaitu jemaat Nita Duma. Seluruh bentuk aktivitas persekutuan ibadah

    dilaksanakan dalam gedung gereja Nita Duma ini. Proses pembangunan gedung gereja Nita

    Duma, yang mulai dibangun pada saat „pemulangan‟22

    sampai ditahbiskannya (diresmikan)

    pada tanggal 19 Juni 201323

    adalah hasil upaya kerja sama dan tanggung jawab oleh seluruh

    warga jemaat pada saat itu. Adapun tanggung jawab finansial (uang)24

    yang dibebankan

    kepada setiap kepala keluarga (KK) serta adanya sistem pembagian kerja berdasarkan

    lingkungan pelayanan (LIP) pada waktu itu25

    . Gedung gereja Nita Duma adalah buah dari

    upaya dan kerja keras seluruh warga jemaat di Desa Duma, sehingga bisa dikatakan bahwa

    melalui aksi tuntutan kelompok (jemaat) tersebut, terselip suatu sikap bahwa gedung gereja

    Nita Duma adalah “milik kita bersama”.

    22

    Pemulangan adalah kembalinya warga jemaat Nita Duma dari tempat pengungsian di Tobelo pasca konflik

    Agama (Islam-Kristen), yakni pada oktober 2003. 23

    Tanggal 19 Juni merupakan moment peringatan Pekabaran Injil oleh Hendrik van Dijken pada tahun 1866. 24

    Tanggung jawab Finansial (uang) dilaksanakan dalam 6 tahap. Besaran uang dari masing-masing KK

    berbeda-beda tergantung dari latar belakang ekonomi – PNS, pemiliki lahan (inikator besar atau kecil), dll. 25

    Hasil wawancara bersama Ibu H. Djodjaga melalui via Hand Phone - pada 20 Juli 2017, pukul 14.00 WIB

  • 48

    Sedangkan tanjung wisata memiliki nilai sejarah yang sifatnya penting bagi

    masyarakat setempat, dimana pada lokasi ini terdapat beberapa pohon mangga yang

    merupakan bentuk peninggalam sejarah yang ditanam langsung oleh Hendrik van Dijken

    pada tahun 1866. Pada sisi lainnya, tanjung wisata Duma merupakan salah satu tempat

    wisata di Halmahera Utara, yang cukup ramai dikunjungi oleh para wisatawan, baik

    wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Sehingga tanjung wisata Duma merupakan

    tempat yang strategis sekaligus potensial bagi masyarakat di Desa Duma. Bertolak dari hal

    itulah, maka tanjung wisata Duma merupakan suatu “basis aset” yang menimbulkan

    sentimen-sentimen antara kelompok (jemaat) tersebut.

    Gambar 5.2.4.

    Aksi Tuntutan kelompok (Jemaat) Hendrik van Dijken

    Dokumentasi foto oleh peneliti pada 13 Mei 2017

    5.3. Implikasi Konflik GMIH Pada Kehidupan Jemaat di Desa Mamuya.

    Dalam sub bab ini, peneliti membaginya dalam tiga (3) sub-sub bab, yang akan

    dibahas secara berurutan, diantaranya: (1) Realitas Konflik di Mamuya; (2) Posisi Hibua

    Lamo dalam Konflik Jemaat Imanuel Mamuya; Sentimen Agama (Gereja) Menguat

    Menghancurkan Nilai „Rumah Bersama‟, serta; (3) Eksodus sebagian Warga Jemaat.

    5.3.1. Realitas Perpecahan Jemaat di Desa Mamuya.

    Konflik kepentingan dan perpecahan pada tubuh BPHS GMIH berimbas pula pada

    terpecahnya kehidupan berjemaat (bergereja) di Desa Mamuya. Indikasi dari perpecahan

  • 49

    jemaat ini ditandai dengan adanya dua jemaat, yaitu jemaat “Imanuel Mamuya” (pro BPHS

    GMIH Lama) dan jemaat “Imanuel Baru Mamuya” (pro BPHS GMIH Pembaharuan).

    Adapun perbandingan kondisi sebelum dan sesudah adanya perpecahan jemaat di Desa

    Mamuya tersebut dapat digambarkan oleh Bpk. Kalvin Kololi26

    , bahwa:

    “Berbicara tentang kondisi sebelum dan sesudah perpecahan, secara

    kekeluargaan dulunya memang luar biasa sangat akrab sekali, ketika terjadi

    perpecahan soal gereja ini justru perbedaanya sangat jauh. Kondisinya tidak

    seperti dulu lagi. Saya bisa katakan bahwa perpecahan gereja yang parah itu

    ada di Mamuya ini. Sekian lama kondisi seperti ini tidak pernah terjadi dan

    kondisinya tidak seburuk seperti ini”.

    Perpecahan jemaat ini tentunya mencerai-beraikan kehidupan warga jemaat yang

    sebelumnya tergabung dalam satu jemaat (gereja). Perceraian pada ruang lingkup bergereja

    turut menyumbang (berdampak) pada retaknya hubungan-hubungan sosial yang tidak lagi

    harmonis seperti sebelumnya. Adapun bentuk kekerasan fisik, pengrusakan rumah dan

    indikasi pembakaran satu rumah milik warga jemaat Imanuel Baru merupakan hal yang tidak

    dihindarkan dari adanya perpecahan jemaat di Desa Mamuya. Kondisi ini lebih jelasnya akan

    dibahas secara mendalam pada sub bab berikutnya.

    Gambar 5.3.1.

    Salah Satu Rumah Rusak di Desa Mamuya.

    Dokumentasi foto oleh peneliti pada 4 Mei 2017

    26

    Beliau adalah tokoh adat Desa Mamuya, dan juga sebagai warga jemaat Imanuel Mamuya –diwawancarai

    pada tanggal 3 Mei 2017.

  • 50

    5.3.2. Posisi Hibua Lamo Dalam Konflik Jemaat di Desa Mamuya

    Kondisi perpecahan jemaat turut meretakan dan merusak jalinan relasi antara warga

    jemaat serta saudara-bersaudara di Desa Mamuya. Jalinan relasi-relasi yang retak dan rusak

    tersebut digambarkan oleh Bapak Kalvin Kololi, bahwa:

    ”Persoalan ini membuat hubungan antara orang tua dan anak sudah kurang

    baik; baik itu papa (ayah) dengan anak , mama (Ibu) dengan anak sudah tidak

    mengenal lagi; Baku pukul (Saling berkelahi), baku dusu (kejar mengejar)

    dengan menggunakan parang. Ada juga tindakan-tindakan pengrusakan dan

    pembakaran rumah. Setelah konflik mereka (warga jemaat Imanuel Baru

    Mamuya) melaporkan diri untuk keluar dari masyarakat Desa Mamuya, dan

    sekarang menetap di wilayah Desa Wari”.

    Dalam konteks perpecahan jemaat yang menimbulkan bentuk-bentuk kekerasan

    antara warga jemaat, posisi nilai „hidup bersama‟ (Hibua Lamo) melalui jalinan “orang

    bersaudara” atau “kekeluargaan” di Desa Mamuya juga mengalami goncangan, bahkan

    mengalami kerusakan akibat ganasnya hantaman konflik gereja (jemaat) tersebut. Adapun

    rusaknya jalinan kekeluargaan dapat dilihat pada tidak ada lagi sikap saling menghargai dan

    menghormati antara anak dan orang tua.

    Pada posisi ini slogan Ngone O Ria de O Nongoru yang artinya „kita semua

    bersaudara‟ seakan-akan tidak bermakna lagi. Eksodusnya sebagian warga masyarakat yang

    tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya ke wilayah (desa) lain menandakan bahwa

    jalinan kekeluargaan di Desa Mamuya diperhadapkan dengan kondisi yang fatal dan

    memprihatinkan. Hal ini lebih jelasnya akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

    5.3.3. Eksodus Sebagian Warga Jemaat Imanuel Mamuya

    Adanya perpecahan dan tindakan-tindakan kekerasan fisik antara kelompok (jemaat)

    membuat sebagian warga masyarakat di Desa Mamuya yang tergabung dalam jemaat

    Imanuel Baru Mamuya memutuskan untuk keluar dan berdomisili di salah satu wilayah RT –

    Desa Wari. Adapun yang menjadi alasan kelompok jemaat tersebut adalah sebagaimana yang

    di jelaskan oleh Bapak. Cornelius Jai27

    , sebagai berikut:

    “Kami yang meminta sendiri kepada pihak Kepala Desa selaku Pemerintah

    Desa. Alasannya bahwa mereka (warga jemaat Imanuel Mamuya) tidak

    menginjinkan kami membangun gereja di Desa Mamuya; dapat aturan dari

    27

    Beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa Mamuya dan juga warga jemaat Imanuel Baru Mamuya – Sekarang

    ditugaskan sebagai Ketua RT. Diwawancarai pada 4 Mei 2017.

  • 51

    mana sehingga kami tidak bisa membangun gereja di wilayah Desa Mamuya?

    Ini yang kitorang (kami) tidak suka sekali. Pemerintah Desa pun dilematis

    terhadap hal ini. Maka dari itu, kami tidak senang, dan kami tetap

    mempertahankan sikap kami untuk tidak mau lagi bergabung dengan saudara-

    saudara kita disana dalam satu gereja. Yang namanya prinsip tetaplah prinsip,

    jangan mengekor dan lain sebagainya. Maka pada akhirnya kami sudah

    tinggal disini, dan kami sudah berdomisili disini. Sekarang kami disini

    menjadi satu RT sebagai bagian dari wilayah administratif Desa Wari. Kami

    disini sekitar 52 KK28

    . Harapan dan rencana kedepan kami, kami akan

    berupaya untuk membentuk satu Desa defenitif”.

    Adapun alasan-alasan lainnya yang membuat sebagian warga jemaat Imanuel

    Mamuya tidak mau kembali lagi untuk tinggal di wilayah Desa Mamuya disampaikan oleh

    Bapak M. Selong,29

    adalah sebagai berikut:

    “Saya salah satunya korban dari peristiwa ini. Rumah saya hancur; kaca-kaca

    rumah habis, seng rumah juga „tatarabe” (robek) akibat dihantam

    menggunakan batu-batu besar. Dan rumah itu sudah saya jual kepada saudara

    saya. „Hati sakit‟ kalau tinggal dibawah (Desa Mamuya) deng lia-lia (dengn

    melihat kondisi rumah yang ada). Jadi memang niat untuk tinggal di Mamuya

    itu so tarada sudah (sudah tidak ada). „Kasihan...kitorang lihat anak-anak

    sekolah kong kamari ancam pa torang, ngoni tra inga so jadi orang itu kalau

    sapa kong? Yang urus kamu kalau bukan torang ini?‟ (kasihan...saya lihat

    anak-anak sekolah datang dan ancam sama kami, kalian tidak ingat siapa yang

    membuat kalian sampai sukses sekarang ini? Yang mengurusi kalian kalau

    bukan kami ini?) Hanya karena masalah gereja kita harus begini?.”

    Mencermati alasan-alasan yang di sampaikan oleh Bpk. C. Jai dan Bpk. M. Selong di

    atas, bahwa perpecahan dan tindakan kekerasan fisik yang terjadi diantara kedua warga

    jemaat merupakan peristiwa pahit yang sangat dirasakan oleh warga jemaat Imanuel Baru

    Mamuya. Munculnya ungkapan rasa sakit hati serta trauma tersebut merupakan potret dari

    kekecewaan mereka atas semua tindakan-tindakan kekerasan yang dialami. Selain itu, alasan

    tidak diberikan restu oleh warga jemaat Imanuel Mamuya untuk dibangunnya gedung gereja

    milik jemaat Imanuel Baru Mamuya memperkuat sikap mereka untuk tidak berkeinginan

    kembali, sehinga memilih tinggal dan berdomisili ditempat lain.

    Berdasarkan observasi lokasi tempat tinggal dari warga jemaat Imanuel Baru

    Mamuya, peneliti melihat sudah dibangunnya rumah-rumah warga, adanya sarana dan

    28

    Jumlah 52 KK tersebut sudah ditambahkan dengan beberapa KK dari jemaat Desa Ruko yang mengalami

    kasus yang sama. 29

    Beliau adalah seorang Guru dan juga warga jemaat Imanuel Baru Mamuya – di wawancarai pada tanggal 4

    Mei 2017.

  • 52

    prasarana umum; diantaranya berupa 1 gedung Sekolah Dasar (SD) darurat, 1 gedung gereja

    darurat Imanuel Baru Mamuya, serta sementara berlangsungnya pembangunan 1 gedung

    Gereja jemaat Imanuel Baru Mamuya.

    Gambar 5.3.3.

    Bangunan Gereja Darurat, Bangunan SD Darurat, dan Proses Pembangunan Gedung Gereja

    Milik Jemaat Imanuel Mamuya

    Dokumentasi oleh peneliti pada 4 Mei 2017

    Bapak Sefnat Dawile selaku Kepala Desa Mamuya yang diwawancarai pada tanggal 4

    Mey 2017 juga memberikan informasi seputar warganya yang memutuskan untuk tidak lagi

    berkeinginan pulang ke Desa Mamuya, diantaranya sebagai berikut:

    “Berkaitan dengan hal itu adalah pilihan dan hak sebagai masyarakat untuk

    tinggal dimana saja, dan itu pilihan mereka dan sudah ada permintaan

    pemutasian penduduk secara kolektif. Jadi kami sudah mengeluarkan surat

    mutasi penduduk, dan kurang lebih 40 KK sudah masuk di Desa Wari. Dan

    „terus terang‟ ini sebuah kerugian, kerugian besar untuk kami. Hal ini

    berpengaruh terhadap hubungan saudara-bersaudara, dimana saudara-saudara

    kami meninggalkan rumah dan kampung (desa) ini. Alasan lainnya, mereka

    trauma dan sakit hati, karena ada 10 rumah milik warga jemaat Imanuel Baru

    Mamuya yang hancur dan 1 rumah terbakar pasca 1 tahun perpecahan itu

    terjadi. Penyebab rumah terbakar itu kami tidak tahu, karena waktu itu lampu

    mati dan tidak orang didalamnya, serta tidak ada titik api yang coslet akibat

  • 53

    listrik karena kan lampu mati, namun kecurigaannya dibakar, tetapi

    pelakunya kami tidak tahu sampai sekarang ini. Awalnya ada 67 KK yang

    keluar, dan yang kembali hampir 20 KK, sisanya ada sekitar 40-an lebih KK

    masih tetap bertahan. Tetapi sekarang hubungan sudah mulai membaik,

    dimana ada acara malam penghiburan bagi keluarga yang lagi berduka itu

    sudah mulai saling „baku maso‟ (bertemu). Namun kami tetap memiliki

    kerinduan besar kalau saudara-saudara kami bisa kembali, kami terima

    sebagai keluarga dan masyarakat, karena mutasi penduduk ini kan tidak

    mutlak mereka menetap seumur hidup ditempat itu. Jika suatu saat kalau

    mereka menginginkan untuk mutasi penduduk di desa tersebut, dan kembali

    bersama kami, kami tetap menerima mereka, karena mereka adalah keluarga

    kami, dan juga rumah mereka masih ada disini”.

    Adapun upaya-upaya yang pernah dilakukan, baik oleh Pemerintah Desa melalui

    pertemuan, serta pendekatan oleh sesama keluarga dari jemaat Imanuel Mamuya (GMIH

    Lama) dengan maksud untuk bernegosiasi memulangkan mereka. Hasilnya, ada yang mau

    kembali dengan jumlah sedikit, namun dalam jumlah yang besar, yakni sekitar 40-an KK

    mengambil sikap untuk tidak mau kembali lagi ke Mamuya.

    Sikap untuk tidak berkeinginann kembali lagi di Desa Mamuya didasarkan karena

    rasa trauma dan sakit hati yang menimpa mereka. Adapun tidak di izinkan membangun

    rumah ibadah (gereja) merupakan alasan lainnya yang turut memperkuat sikap mereka untuk

    tidak berkeingingan kembali lagi. Tentunya, eksodusnya sebagian warga masyarakat Desa

    Mamuya merupakan tingkat kefatalan yang tinggi akibat konflik dan perpecahan jemaat di

    Desa Mamuya tersebut.