Upload
aseska-mahendra
View
79
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
just started kti
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma/cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit
neurologis yang serius diantara penyakit neurologis lainnya serta
mempunyai proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan
raya.Diperkirakan 100 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat
cedera kepala dan lebih dari 700 ribu orang mengalami cedera cukup
berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua pertiga dari
kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki – laki lebih
banyak dari wanita. Menurut hasil data dari rekam medis Rumah Sakit
Dirgahayu Samarinda periode Januari – Juni 2009 di dapatkan kasus
cedera kepala sebanyak 238 orang yang terdiri dari laki – laki 149
orang dan perempuan 89 orang, dan 5 diantaranya meninggal dunia.
Dari hasil ini didapatkan usia yang sering terkena cedera kepala antara
usia 15 – 44 tahun. Didapatkan pula dari data yang terdapat di ruang
St. Antonius Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda kasus cedera kepala
ringan sebanyak 117 orang dari periode 01 Januari sampai dengan
07 Agustus 2009.
Penyebab dari cedera kepala ringan adalah kecelakaan bermotor
atau bersepeda dan mobil, jatuh, kecelakaan pada saat olahraga dan
cedera akibat kekerasan.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respons terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial (TIK). Dampak lain yang bisa ditimbulkan akibat CKR
(cedera kepela ringan) adalah hemoragik (perdarahan), infeksi, edema
dan herniasi.
Tindakan anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis
harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat
mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur. Tindakan
keperawatan lain yang juga diperlukan adalah mempertahankan tirah
baring dan mengobservasi tingkat kesadaran 24 jam pertama. Jika
pasien masih muntah kesadaran dipuasakan terlebih dahulu berikan
terapi intravena bila ada indikasi dan pemberian obat – obat analgetik.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini :
1. Umum
Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman secara langsung
tentang pelaksanaan asuhan keperawatan secara komprehensif
pada klien dengan diagnosa medis cedera kepala ringan.
2. Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah :
2.1 Mampu memahami konsep penyakit cedera kepala ringan.
2.2 Mampu melakukan pengkajian pada pasien yang menderita
cedera kepala ringan.
2.3 Mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada klien
dengan cedera kepala ringan.
2.4 Mampu melakukan perencanaan tindakan keperawatan yang
sesuai dengan klien cedera kepala ringan.
2.5 Mampu melakukan tindakan keperawatan dengan klien cedera
kepala ringan.
2.6 Mampu melakukan evaluasi asuhan keperawatan yang
diberikan.
2.7 Mampu melakukan pendokumentasian atau tindakan
keperawatan yang telah dilakukan.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah
pemberian asuhan keperawatan kepada sdr.H yang dirawat di ruang St.
Antonius Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda pada tanggal 06 – 08
Agustus 2009 dengan diagnosa medis CKR.
D. Metode Penulisan
Karya tulis ilmiah ini ditulis dengan menggunakan metode
pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan
dan evaluasi. Adapun data yang diperlukan sebagai bahan untuk
menyusun karya tulis ilmiah ini didapat dari :
1. Wawancara
Yaitu pengumpulan data melalui tanya jawab dengan klien (secara
lansung) dan tanya jawab dengan keluarga klien (secara langsung)
untuk mendapatkan data yang akurat dan validasi mengenai
keadaan klien.
2. Observasi klien
Yaitu pengamatan langsung tentang kondisi klien dalam kerangka
asuhan keperawatan.
3. Studi dokumentasi
Yaitu dengan mengkaji catatan medik dan keperawatan serta
catatan tim medis lain yang berhubungan dengan kasus klien.
4. Studi kepustakaan
Yaitu mempelajari dan mengambil data dari buku – buku yang
berhubungan dengan judul dan masalah dalam penulisan karya
tulis ilmiah ini.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini terdiri dari lima bab yaitu :
Bab I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan
penulisan, rungan lingkup, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan teori yang meliputi konsep dasar medis dan
asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
Bab III : Tinjuan kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Bab IV : Berisikan tentang uraian pembahasan kesenjangan
asuhan keperawatan secara nyata yang meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi dengan landasan teoritis.
Bab V : Penutup berisikan tentang kesimpulan yang merupakan
jawabab dari tujuan penulisan dan saran yang merupakan
tanggapan dari kesimpulan yang telah dibuat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi SSP (Sistem Saraf Pusat)
Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel
penyokong (neuroglia dan sel Schwann). Kedua jenis sel tersebut
demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain sehingga
bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron adalah sel-sel
sistem saraf khusus peka rangsang yang menerima masukan
sensorik atau masukan aferen dari ujung-ujung saraf perifer khusus
atau dari organ reseptor sensorik, dan menyalurkan masukan
motorik atau masukan eferen ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar,
yaitu organ-organ efektor. Neuroglia merupakan penyokong,
pelindung, dan sumber nutrisi bagi neuron-neuron otak dan medula
spinalis. Sel Schwann merupakan pelindung dan penyokong,
neuron-neuron dan tonjolan neuronal di luar sistem saraf pusat.
Sistem saraf dibagi menjadi: sistem saraf pusat (SSP) dan
sistem saraf tepi (PNS). SSP terdiri dari otak dan medula spinalis.
PNS terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan
neuron sistem saraf autonom.
Sel saraf
SSP dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang.
Selanjtunya, SSP dilindungi pula oleh suspensi cairan
serebrospinal yang diproduksi dalam ventrikel otak. SSP juga
diliputi oleh tiga jenis lapis jaringan yang secara bersama-sama
disebut sebagai meningen (durameter, arakhnoid, dan piameter).
Otak dibagi menjadi: otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
Bagian-Bagian Otak
Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang
memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan
terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi
vertebra lumbalis pertama (L1) orang dewasa. Medula spinalis
terbagi menjadi 31 pasang saraf spinal. Segmen-segmen tersebut
diberi nama sesuai dengan vertebra tempat keluarnya radiks sarat
yang bersangkutan, sehingga medula spinalis dibagi menjadi
bagian servikal, torakal, lumbal, dan sakral.
Saraf perifer terdiri dari neuron-neuron yang menerima pesan-
pesan sensorik yang menuju SSP atau menerima pesan-pesan
motorik dari SSP, atau keduanya. Saraf spinal menghantarkan
pesan-pesan sensorik maupun pesan-pesan motorik dan
campuran. Saraf kranial berasal dari bagian permukaan otak. Lima
pasang merupakan saraf motorik (saraf no III, IV, VI, XI, dan XII),
tiga pasang merupakan saraf sensorik (saraf no I, II, dan VIII), dan
empat pasang merupakan saraf campuran: motorik dan sensorik
(saraf no V, VII, IX, dan X).
Pembagian sistem saraf pusat
2. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury
baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi
& Rita Yuliani, 2006)
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan
oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat
kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi
tingkah laku, dan emosional. (Wahyu Widagdo, S.Kp, dkk. 2008)
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS:15
(sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing
dan nyeri kepala. (Mansjoer,2000)
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tulang tengkorak,
dan otak, paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologik
yang serius diantara penyakit neurologi dan merupakan proporsi
epidemiologi sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner &
Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah Vol.3.2002)
Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak
mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi
(klien tidak sadarkan diri). (Brunner & Suddarth. Keperawatan
Medikal Bedah Vol.3.2002)
Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau
kejatuhan benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi
neurology sementara atau menurunnya kesadaran sementara,
mengeluh pusing, nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.
3. Etiologi
- Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau
sepeda, dan mobil.
- Kecelakaan pada saat olahraga.
- Cedera akibat kekerasan.
- Luka tembus dan luka tembus lainnya.
4. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):
1. Ringan
- GCS 13 – 15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit.
- Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral,
hematoma.
2. Sedang
- GCS 9 – 12
- Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
- Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
- GCS 3 – 8
- Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma.
5. Tanda dan Gejala
- Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
- Pusing, nyeri kepala
- Kebingungan
- Iritabel
- Pucat
- Mual dan muntah
- Terdapat hematoma
- Kecemasan
- Sukar untuk dibangunkan
- Bila ada fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang
keluar dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur
tulang temporal.
- Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran.
- Gangguan pergerakan/kejang otot.
- Syok mungkin menunjukan cedera multi system.
6. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda
yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan
posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer adalah trauma yang langsung mengenai kepla
saat kejadian. Sedangkan cedera sekunder merupakan kelanjutan
dari trauma primer. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan
adanya fraktur pada tulang tengkorak dan terdapat lesi antara
tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini dapat meluas
hingga menekan serebral oleh karena adanya tekanan arteri yang
tinggi. Gejalanya akan tampak seperti kebingungan, letargi, sukar
untuk dibangunkan dan akhirnya bisa coma. Nadi dan napas
menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparase.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya
ruptur pembuluh darah vena dan perdarahan terjadi antara dura
dan serebrum atau antara durameter dan lapisan arachnoid.
Serebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi
adanya memar dan robekan pada serebral yang akan berdampak
pada perubahan vaskularisasi sehingga dapat berakibat pada
statisnya vaskularisasi, diltasi, dan edema. Kemudian proses
tersebut akan mengakibatkan terjadinya herniasi otak yang akan
mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya
tekanan intakranial.
Skema Patofisiologi
Jatuh, kecelakaan (bermotor, sepeda, mobil)
Trauma kepala
Terjadinya perdarahan serebral
Aliran darah ke otak menurun
Gangguan oksigenasi
Kekurangan suplai oksigen dan glukosa
Gangguan metabolisme ( metabolisme an aerob )
Peningkatan asam laktat Edema jaringan otak
Asidosis metabolik Meningkatnya volume dan TIK
Nekrosis jaringan otak TIK Meningkat
Penurunan kesadaran - Papil edema
Gangguan perfusi jaringan - Nyeri kepala luar biasa
- Muntah proyektil
Nyeri
Herniasi
Herniasi
Pernapasan Kardiovaskular Gastrointestinal
Hiperventilasi paru & Hipertensi Ransangan hypotalamus
edema paru Meningkatnya dan stimulasi vagus
frekuensi jantung
Hiperventilasi Peningkatan katekolamin
Gangguan pola napas Penurunan curah Peningkatan asam lambung
jantung Mual, muntah
Gangguan pemenuhan nutrisi
( Sumber : Suriadi & Rita Yulianni, 2006)
7. Komplikasi
- Hemorrhagie
- Infeksi
- Edema
- Herniasi
8. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
- Rotgen foto
- CT Scan
- MRI
9. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma
kepala adalah sebagai berikut:
Penatalaksanaan Keperawatan
1. Observasi tingkat kesadaran 24 jam.
2. Pertahankan tieah baring.
3. Monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit samapi dengan 1 jam
sekali atau sesuai kebutuhan.
4. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat untuk menurunkan
tekanan vena jugularis.
5. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih
dahulu.
6. Batasi aktivitas pasien pada fase akut (nyeri kepala, pusing) dan
bantu aktivitas yang tidak dapat dilakukan untuk memenuhi
kebuhannya.
Penatalaksanaan Medis
1. Rontgen kepala.
2. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
3. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
4. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
5. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
6. Pemberian obat-obat analgetik.
7. Pembedahan bila ada indikasi.
10. Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi klien yang memerlukan perawatan dan
pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk
menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam,
kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek
samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang:
penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama
kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk
aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal,
makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak
mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan
alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan
tekanan intrakranial.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi
saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull,
cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau
pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
- Kesadaran GCS.
- Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf
kranial.
- Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal,
nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
- Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks
menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk,
mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola
makan?
- Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan
cairan.
- Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM,
kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan
saraf fasialis.
g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan
yang didapat pasien dari keluarga.
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya
pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi,
gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan
muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat
trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua klien berhubungan dengan kondisi
penyakit akibat trauma kepala.
3. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola
nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi,
gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang
ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran
bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam
batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji klien, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada
hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam
mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret.
Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit
ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan
tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan
tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi
“semiflower” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
- Peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau
hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava
meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan
lendir atau suction, perkusi).
- Tekanan pada vena leher.
- Kembalikan posisi dari samping ke samping (dapat
menyebabkan kompresi pada vena leher).
Bila akan memiringkan klien, harus menghindari adanya
tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava
maneuver.
Hindari tangisan pada klien, ciptakan lingkungan yang
tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan
yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau
tekanan intrakranial sesuai program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan
cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah
aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan klien dan jelaskan hal-
hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai
dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan
penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh klien
bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan
kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan –
minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan
tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja
untuk memudahkan BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara
memandikan klien.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual
dan muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan
atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa
lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam
batas normal.
Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa,
dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: klien terbebas dari injuri.
Intervensi:
Kaji status neurologis klien: perubahan kesadaran,
kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks,
perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor tanda-tanda vital klien setiap jam atau sesuai
dengan protokol.
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
Berikan analgetik sesuai program.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien
tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam
batas normal.
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat
lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas
cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan klien untuk mengurangi
nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan
tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam
batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam
batas normal.
Intervensi:
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku
kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit
akibat trauma kepala.
Tujuan: Klien dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas
berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan
orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang
kondisi dan aktif dalam perawatan klien.
Intervensi :
Jelaskan pada klien dan orang tua tentang prosedur yang
akan dilakukan, dan tujuannya.
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan klien dan orang tua untuk mengekspresikan
perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.